Thursday, April 20, 2006
Tuanku Rao. Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak
Perang Paderi (Ada yang berpendapat kata ini berasal dari Pidari di Sumatera Barat, dan ada yang berpendapat kata Paderi berasal dari kata Padre, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama) di Sumatera Barat berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama. Sebagaimana seluruh wilayah di Asia Tenggara lainnya, sebelum masuknya agama Islam, agama yang dianut masyarakat di Sumatera Barat juga agama Buddha dan Hindu. Sisa-sisa budaya Hindu yang masih ada misalnya sistem matrilineal (garis ibu), yang mirip dengan yang terdapat di India hingga sekarang. Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina.
Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah Perang Paderi yang berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833.
Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian mengIslamkan Tanah Batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan di beberapa tempat dengan tindakan yang sangat kejam.
Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Çaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu.
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di Jawa Timur dan Banten rakyat setempat yang tidak mau masuk Islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum Paderi dari Bonjol, tak sedikit yang melarikan diri sampai Malaya.
Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X.
Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar meminta Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak.
Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan.
Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X.
Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari jalan keluar untuk masalah ini. Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela, yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan “dijual” kepada Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam.
Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya.
Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung.
Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di Minangkabau, yang menganut aliran Syi’ah. Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan Mazhab Hambali, termasuk rencana untuk mengislamkan Mandailing.
Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo, mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya untuk dididik olehnya.
Pada 9 Rabiu’ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diislamkan dan diberi nama Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca: Batak!
Penyebaran Mazhab Hambali dimulai tahun 1804 dengan pemusnahan keluarga Kerajaan Pagarruyung di Suroaso, yang menolak aliran baru tersebut. Hampir seluruh keluarga Raja Pagarruyung dipenggal kepalanya oleh pasukan yang dipimpin oleh Tuanku Lelo, yang nama asalnya adalah Idris Nasution. Hanya beberapa orang saja yang dapat menyelamatkan diri, di antaranya adalah Yang Dipertuan Arifin Muning Alamsyah yang melarikan diri ke Kuantan dan kemudian meminta bantuan Belanda. Juga putrinya, Puan Gadis dapat menyelamatkan diri, dan pada tahun 1871 menceriterakan kisahnya kepada Willem Iskandar.
Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana ia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri janitsar Turki. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atas kuda.
Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi. Kepala Singamangaraja X ditusukkan ke ujung satu tombak dan ditancapkan ke tanah. Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan menantang putra-putra Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan sebagaimana di tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk Bakkara, termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar 30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.
Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.
Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.
Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.
Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Catatan:
Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan Siregar, “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak”, Penerbit Tanjung Pengharapan, Jakarta, 1964.
Tuanku Lelo/Idris Nasution adalah kakek buyut dari Mangaraja Onggang Parlindungan ( hlm. 358). Dari ayahnya, Sutan Martua Raja Siregar, seorang guru sejarah, M.O. Parlindungan memperoleh warisan sejumlah catatan tangan yang merupakan hasil penelitian dari Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja dan Residen Poortman. Sebenarnya ia hanya bermaksud menulis buku untuk putra-putranya. Buku tersebut memuat banyak rahasia keluarga, termasuk kebiadaban yang dilakukan oleh Tuanku Lelo tersebut.
Mayjen TNI (purn.) T.Bonar Simatupang menilai, bahwa tulisan tersebut banyak mengandung sejarah Batak, yang perlu diketahui oleh generasi muda Batak. Parlindungan Siregar setuju untuk menerbitkan karyanya untuk publik. Parlindungan Siregar meminta T.B. Simatupang, Ali Budiarjo, SH dan dr. Wiliater Hutagalung memberi masukan-masukan dan koreksi terhadap naskah buku tersebut.
********
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
17 comments:
Horas,
01. A very descriptive explanation.
02. Terima kasih banyak.
Salam,
Baduraman Dorpi P.
Horas,
Mauliate ma tu Amang Hutagalung, atas pencerahannya. terus semangat!!
GBU,
SM.Nainggolan
in my stupid opinion, setelah mencari-cari korelasi judul dengan isi, ada pemutarbalikan fakta oleh boss hutagalung
"....Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X..."
Siapakah anak hasil incest tersebut?
"...Ibu dari Pongkinangolngolan adalah Gana Sinambela, putri dari Singamangaraja IX sedangkan ayahnya adalah Pangeran Gindoporang Sinambela adik dari Singamangaraja IX. Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra-putra Singamangaraja VIII. Dengan demikian, Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Putri Gana Sinambela dengan Pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela.
Siapakah Pongkinangolngolan ??
Kesimpulan:
Judul yang tepat, Tuanku Rao alias Pongkinangolngolan, memperalat Islam untuk membalaskan dendam pribadi
Kalau didukung dengan bukti-bukti yang kuat dan link atau sumber yang ada, akan sangat bagus pencerahan ini, tetapi jika tidak ... jangan-jangan hanya sensasi saja
Perkawinan Sumbang (Inses)di Tanah Batak
Si Raja Batak mempunyai dua anak yang diketahui silsilahnya sampai sekarang. Pertama Guru Tatea Bulan dan yang kedua adalah Raja Isumbaon. Ada yang mengatakan bahwa ada bungsunya satu lagi bernama Toga Laut yang mengembara ke arah utara menuju Aceh yang tidak pernah kembali di masa mudanya.
Guru Tatea Bulan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo.
Selanjutnya Raja Isumbaon mempunyai tiga orang anak yaitu Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkarsomaling (Hutagalung, 1991:34)
Dari keturunan Raja Tatea Bulan terjadi perkawinan sumbang yaitu antara Tuan Sariburaja dengan adik kandungnya si Boru Pareme yang akhirnya menyebabkan perpecahan antara Sariburaja dengan adik-adiknya. Sariburaja memilih untuk melarikan diri ke hutan meninggalkan si Boru Pareme yang sedang hamil.
Si Boru Pareme tidak putus asa lalu mencarinya ke hutan. Di sana dia melahirkan putra yang sedang dikandungnya dan diberi nama Lontung atau dikenal kemudian Si Raja Lontung.
Dalam pengembaraan, Sariburaja kemudian menikah dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.
Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan "amangboru" yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.
Selanjutnya menurut A. Adnan Situmorang, Si Raja Lontung yang menikah dengan si Boru Pareme, yakni namborunya sendiri mendapat sembilan anak yakni Aritonang, Siregar, Simatupang, Situmorang, Toga Nainggolan, Toga Pandiangan. Toga Sinaga, Si Boru Panggabean, Si Boru makpandan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh W. Hutagalung (1991:63)
Dengan terjadinya perkawinan sumbang atau kawin sedarah ini, maka dirasa sulit untuk menentukan posisi adat seperti "hula-hula", "dongan sabutuha" dan "borunya". Dengan kebuntuan ini, muncullah tokoh seperti Sorimangaraja putra dari Raja Isumbaon yang berinisiatif mendamaikan masalah perkawinan sumbang ini dengan mengambil beberapa keputusan yang pada akhirnya menjadi prinsip-prinsip adat dalam kebudayaan Batak yang diwarisi sampai sekarang.
Keputusan itu adalah:
1. Bahwa sesuatu masalah dapat dipecahkan dalam musyawarah untuk mendapat kesepakatan antara keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja.
2. Bahwa perkawinan sesama saudara adalah tabu. Tidak diperkenalkan terjadi dalam keturunan Si Raja Batak.
3. Bahwa segala "horja" dan bentuk peradatan, baru dapat berlaku apabila telah mendapat dukungan dari Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Tuan Sorimangaraja. Ibarat tungku yang sama besar kokoh menampung periuk di atasnya. (Rajamarpodang, 1992:14)
Keputusan ini dilengkapi dengan peraturan-peraturan yang diabadikan dalam bentuk janji. Kemudian janji tersebut menjadi sumber hukum adat Batak yang disebut dengan Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga. (Lihat: Lamhot Simarmata, Skripsi di IAIN Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Medan pada tahun 1997 dengan judul Pendayagunaan Dalihan Na Tolu Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah di Kecamatan Harian Kabupaten Tapanuli Utara)
Dalam pemerintahan Sisingamangaraja, dikenal ada tiga pendetaraja yang menjadi penasehat politik dan adat bagi Dinasti Sisingamangaraja. Pertama adalah Ompu Palti Raja (selalu dijabat oleh marga keturunan Si Raja Lontung), Jonggi Manoar (dijabat oleh marga Borbor Bersatu biasanya Limbong atau Sagala) dan Baligeraja (yang selalu dijabat oleh keturunan Raja Isumbaon).
Tarik menarik pengaruh politik sering terjadi antara ketiga pendetaraja tersebut dalam hubungan dengan kedaulatan Sisingamangaraja. Pada pemerintahan Sisingamangaraja X terjadi friksi antara Sisingamangaraja X dengan Ompu Palti Raja saat putri Sisingamangaraja X yang bernama Nai Napatihan berkeinginan menikah dengan putra Ompu Palti Raja.
Nai Napatihan merupakan putri satu-satunya Sisingamangaraja X, dan putri pertama dari dinasti Sisingamaraja, di mana sejak Sisingamangaraja I sampai dengan yang kesembilan tidak pernah mempunyai anak perempuan. Hal ini dikaitkan sejarah akibat karma yang terjadi kepada Manghuntal, Sisingamangaraja I yang berseteru dengan namborunya yang juga bernama Nai Napatihan boru Sinambela. Perselisihan terjadi akibat kebijakan Sisingamangaraja yang terlalu pro kepada pihak miskin dan yang tertindas. Sebuah kebijakan yang tidak disukai oleh namborunya tersebut. Nai Napatihan akhirnya tewas dalam perang saudara dengan Sisingamangaraja I yang mendapat bantuan dari pasukan kavaleri penunggang gajah dari Kesultanan Barus.
Namun akhirnya, Sisingamangaraja dan keturunannya harus menerima kutukan alam saat semua keturunannya tidak pernah mendapat anak perempuan. Kutukan tersebut akhirnya bisa ditanggalkan pada Sisingamangaraja X, yang akhirnya mempunyai seorang putri dan diberi nama Nai Napatihan untuk menghormati Namboru S. M. Raja pertama yaitu Nai Napatihan.
Namun sayang, putri satu-satunya dan kesayangan tersebut akhirnya memilih menikah dengan putra Ompu Palti Raja dari marga keturunan Si Raja Lontung. Sisingamangaraja X khawatir dengan keamanan tahtanya apabila generasi Si Raja Lontung menikah dengan putrinya boru Sinambela akan menghasilkan persaingan politik yang berkepanjangan. Ketiga turunan di atas, yakni keturunan Si Raja Lontung, Borbor Bersatu dan Sumba terlibat dalam persaingan politik di berbagai daerah atau huta di tanah Batak. Lontung menguasai tanah Batak Selatan atau Tapanuli Selatan dan sebagian pulau Samosir, Borbor Bersatu menguasai tanah Batak Pesisir dan Sumba di pusat tanah Batak.
Akhirnya Nai Napatihan dan Suaminya yang putra pejabat lembaga Ompu Palti Raja tersebut, diungsikan secara santun oleh Sisingamangaraja X ke tanah Aceh atau tepatnya Singkil, agar tidak menjadi pesaingnya.
Dalam pengungsian lahirlah seorang anak yang bernama Pongkinangolngolan yang kemudian dikenal bernama Fakih Amiruddin, sesuai dengan kebiasaaan nama-nama Batak Singkil di sana.
Sejarah akhirnya berputar dimana Fakih Amiruddin ditakdirkan menjadi pemimpin sebuah pasukan Batak Padri yang datang dari tanah Batak selatan yang kemudian berseteru dengan Sisingamangaraja X di Bakkara. Fakih Amiruddin akhirnya memenangi pertempuran tersebut setelah seorang pasukannya dari marga Siregar berhasil menewaskan Sisingamangaraja X dan mendirikan pemerintahan Bataknya berpusat di Siborong-borong selama beberapa tahun. Dengan tewasnya Fakih Amiruddin atau yang dikenal dengan Tuanku Rao tersebut dalam pertempuran di Air Bangis melawan penjajah, maka kekuasaannya juga pudar di tanah Batak.
Ini adalah satu versi mengenai Fakih Amiruddin. Versi lain mengatakan bahwa dia sebenarnya marga Sinambela dari Ibu yang bernama Gana Sinambela putri Sisingamangaraja IX. Tapi pandangan ini sangat lemah karena putri kerajaan yang boru Sinambela hanya Nai Napatihan boru Sinambela, itupun baru pada era Sisingamangaraja X, akibat karma yang menimpa Dinasti Sisingamangaraja.
Versi lain mengatakan bahwa Ibunya adalah Nai Napatihan Sinambela yang menikah dengan seorang putra Aceh dan kemudian diusir dari tanah Batak. Ada juga versi lainnya yang mengatakan, dari sebuah disertasi sarjana Batak di UGM, bahwa Pongkinangolngolan bukanlah Tuanku Rao, tapi orang yang berbeda. Pongkinangolngolan bersama Tuanku Rao berseteru dengan Sisingamangaraja X dalam sebuah konstalasi politik saat itu.
Dimana Pongkinangolngolan yang orang batak penganut Islam dan Tuanku Rao bermaksud melakukan pembaharuan agama Islam di tanah Batak yang sudah banyak menganut Islam sejak abad ke-7 tapi berbau syiah, sinkretis dan adat. Pasukan Muslim Batak di bawah pimpinan Syarif Tanjung seorang panglima pasukan Sisingamangaraja X dan dengan dukungan Sisingamangaraja X, berhadapan dengan pasukan Batak Padri. Perang ini terjadi pada abad ke-19.
Pongkinangolngolan adalah Tokoh Batak yang dirusak oleh orang Batak sendiri. Ada tuju versi mengenai dirinya. Bandingkan untuk mengetahui dimana penambahan dan dimana pembohongan. Lihat: Pongkinangolngolan (Tuanku Rao)
Lihat: http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html
sebagai perbandingan
Sederhana saja...
Bisa diedit ulang sehingga enak dibaca, tidak?
Gunakan spasi 2 kali untuk memisahkan paragraf.
Terima kasih
napa yak kalo yg komennya negatif selalu pake "anonymous" aka "pengecut" LOL
“Jasmerah” kata Bung Karno, yang artinya “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Namun pelajaran sejarah memang sangat kurang diminati dibanding dengan bidang eksak, bahkan murid-murid program ilmu-ilmu social pun kerap membolos kalau tiba saatnya belajar sejarah. Hal ini membuat banyak orang menjadi buta sejarah sehingga ketika ada para penulis yang imajinatif merubah tulisan-tulisan sejarah dan menyebar luaskannya melalui internet banyak orang yang menelan bulat-bulat, atau kalau pun curiga tidak mampu memberikan penyeimbang. Tulisan dibawah ini “Dakwah Islam di Tanah Batak” adalah upaya memberikan wacana alternative bagi kehadiran tulisan-tulisan revisionis mengenai sejarah Batak, khususnya mengenai penyebaran agama-agama Kristen dan Islam. Tentulah tulisan ini masih perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut.
Selamat membaca !
Brother Samuel Hutagalung, S.Ag
DAKWAH ISLAM DI TANAH BATAK
Oleh : Samuel Hutagalung, S.Ag
“The dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks”
drs. M.D. Mansoer
Bangsa yang Membuka Diri
Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang Maha Esa, yaitu setiap penduduknya diwajibkan untuk mengimani adanya suatu Kuasa Mutlak yang jauh berada di atasnya yang kita sebut sebagai ‘Tuhan’. Kepercayaan ini bukanlah kepercayaan yang ‘diimport’ dari negara-negara asing karena memang nenek moyang Bangsa Indonesia, termasuk Bangsa Batak adalah orang-orang yang beragama atau berke-Tuhan-an. Ketut Wiradnyana seorang arekolog yang meneliti situs Bukit Kerang yang terletak 120 kilo barat laut kota Medan menemukan kerangka-kerangka manusia yang berasal dari 5000 – 7000 tahun yang lalu. Situs ini tersebar antara wilayah Deli Serdang, Langkat di Sumatera Utara hingga mencapai Aceh Tamiang. Dari cara penguburan kerangka ini diketahui mereka tinggal di lingkungan yang beragama, karena beserta kerangka ditemukan juga bekal kubur, hematite (batuan lembek berwarna kemerahan) dan letak kerangka membujur utara – selatan. Kerangka ini adalah campuran ras Mongoloid dan Austromelanesaid yang juga mirip dengan temuan manusia purba di Hoa Binh, Vietnam.
Pada masa kuno pun telah terjadi persebaran dan percampuran antar ras manusia yang melahirkan peradaban-peradaban baru. Hornell seorang peneliti khusus Indonesia menemukan data bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bahkan telah merantau sampai ke Sailon (Srilanka), India Selatan dan Madagaskar. Hal ini diketahui dari digunakannya perahu cadik yang merupakan khas Indonesia di daerah-daerah itu, adanya suku bangsa Parawar dan Shanan yang perawakannya mirip orang Indonesia, diketahuinya pohon kelapa di India berasal dari Indonesia dan bahasa Malagasi di Madagaskar termasuk ke dalam rumpun bahasa-bahasa di Indonesia. Maka tidak usahlah kita merasa heran jika sejak awalnya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mulit-etnis, mulit-bahasa dan multi agama serta selalu terbuka untuk saling mempengaruhi dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Itulah juga yang menjadi sifat orang Batak sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Suku Bangsa Batak yang juga sering disebut sebagai Bangsa Batak berdasarkan pembagian menurut bahasa (linguistic) dapat dibagi menjadi :
1. Batak Toba
2. Batak Karo
3. Batak Simalungun
4. Batak Pakpak
5. Batak Angkola – Mandailing
Sebenarnya suku bangsa Batak sama seperti sebagian besar suku-suku bangsa lainnya di Indonesia adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika Bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku-suku bangsa lainnya adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku Toraja di Sulewesi Selatan dan dengan Suku Karen di Mnyamar (Burma). Hubungan antara suku di Birma dan suku Batak juga ditegaskan oleh pakar musik etnis Bung Irwansyah Harahap yang mengatakan alat musik Taganing (sejenis gendang) dalam Gondang Batak Toba hanya ditemukan juga di Uganda dan Birma. Walaupun kepercayaan tradisional Bangsa Batak mengatakan orang Batak berasal dari Pusuk Bukit, keturunan si Raja Batak namun menurut penelitian ilmiah orang Batak berasal dari beberapa kelompok yang beremigrasi ke tanah Batak secara terpisah dalam kurun waktu yang berbeda. Dengan keanekaragaman daerah yang ditempati oleh gelombang migrasi ini maka kebudayaan yang pada mulanya satu bertumbuh dengan sendiri-sendiri karena terpisah oleh geografis, namun tetap sebagai orang Batak, hal ini misalnya dibuktikan dengan abjad Batak yang hampir sama dalam kelima sub-etnis Batak di atas. Kehidupan Bangsa Batak pun berlangsung secara alami tanpa ada peninggalan tertulis.
Walaupun sampai kini belum ditemukan peninggalan tertulis sejarah Batak seperti prasasti namun keberadaan daerah yang kita kenal sebagai Sumatera Utara saat ini sudah dikenal sejak masa-masa awal Masehi. Ptolomeus yang hidup pada pertengahan abad ke-dua Masehi di Kota Iskandariyah, Mesir menulis buku Geographia yang tetap jadi buku pegangan hingga abad ke- 15 M menyinggung tentang Pulau Sumatera dan pelabuhan Barus (Fansur) yang ia sebut dengan nama Barousai yang kira-kira terletak di Desa Lobu Tua ( Labadiou). Dalam literature Hindu India, Pulau Sumatera disebut Karpuradwipa yang berarti ‘Pulau Kapur (Barus)’ dengan pelabuhannya yang terkenal Baraukacha (Barus). Barus dikenal terutama karena perdagangan kapur barus yang sangat popular masa itu. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan sebagai dasar bahwa agama Islam telah masuk ke Tanah Bata melalui Barus sejak masa Nabi Muhammad masih hidup atau tidak lama setelah beliau mangkat. Pendapat ini dianut oleh Haji Mohammad Said, Djasmun Qoharuddin Nasution, Dada Mueraxa. HAMKA juga menganut teori bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad I Hijriyah ( 600-an Masehi) langsung dari Tanah Arab. Dugaan ini diambil dari catatan-catatan perjalanan Bangsa Arab maupun Tiongkok. Thomas W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam mengatakan sejak abad ke-2 sebelum Masehi para pedagang Arab telah menguasai perdagangan di Timur, dan walaupun tak ada bukti arkeologis dan tertulis diyakini Bangsa Arab ini tentu juga telah membangun pos perdagangan di Indonesia. Tetapi barulah pada abad ke-9 Masehi para ahli ilmu bumi Arab menyebut kepulauan Indonesia dalam tulisan mereka, tetapi dalam Tarikh Tionkgok pada tahun 674 M terdapat catatan mengenai seorang pemimpin Arab (Amir – Red.) dan rombongannya menetap di Pantai Barat Sumatera. HAMKA menjelaskan sebuah catatan Tiongkok kuno lainnya secara lebih rinci. Dalam catatan Tiongkok ini disebut mengenai Kerajaan Holing ( Kalingga ) yang diperintah oleh Sima ( Ratu Sima ) yang memeluk Agama Buddha. Karena kemamuran dan keamanannya negeri ini terkenal sampai ke berbagai penjuru dunia hingga Bangsa Ta-Cheh (Arab) datang ke Kerajaan Holing sekitar tahun 674 – 675 M (sekitar 12 tahun setelah Nabi Muhammad wafat). Dengan jelas HAMKA menyamakan orang Arab ini sebagai orang Islam, “Orang Arab atau orang Islam itu, masuk tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan…” tulisnya.
Pengaruh Arab
Bangsa Arab dalam sejarah kuno sudah diakui sebagai salah satu bangsa yang mengenal perdagangan dan saling berinteraksi dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain melalui jalur perdagangan ini, kota dagang Petra da Mekah adalah contohnya. Jadi tidaklah heran bila baik sejarah Yahudi, Kristen maupun Islam misalnya telah mencatat keberadaan orang-orang Yahudi dan berbagai penganut agama lain di tanah Arab. Dalam Kitab Kisah Para Rasul dikatakan sejak hari Pentakosta dimana Roh Kudus dicurahkan bagi umat manusia Injil telah diberitakan dalam bahasa dan budaya Arab (Kisah Para Rasul 2:12), bahkan Rasul Paulus sempat memperdalam ilmu agama Kristen di tanah Arab (Galatia 1:17-18). Salah satu suku Arab yang menjadi Kristen berhasil mendirikan sebuah kerajaan Kristen yang disegani yang dikenal sebagai Kerajaan Ghasanid yang terdiri dari Bani Ghasanid yang menganut Kristen Orthodox Syria. Pada umumnya orang-orang Arab yang beragama Kristen adalah orang-orang terdidik baik sebagai pemimpin agama, ilmuan, negarawan dan pedagang serta kedokteran. Pengaruh Byzantium (Romawi Timur) waktu itu sangat terasa di sebagian wilayah Arab. Kemudian muncullah Agama Islam. Walaupun banyak orang berusaha membentuk opini bahwa agama Islam disiarkan secara damai namun fakta sejarah membeberkan Agama Islam baru bisa berkembang di Asia termasuk Arab, Afrika dan Eropa setelah didahului oleh penaklukan-penaklukan ( baca : penjajahan ) pasukan Arab Islam. Sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406 M ) melukiskan keadaan sejarah awal berhasilnya Bangsa Arab Islam menaklukkan musuh-musuh kafirnya, “Apabila Bangsa Arab menaklukkan suatu negeri, maka kehancuran segera menimpa negeri itu… sebab tujuan mereka yang pokok ialah mendapatkan uang dengan perampokan atau penarikan denda (jizyah). Sekali tujuan ini sudah tercapai maka mereka sedikitpun tidak menaruh perhatian untuk mencegah kejahatan, atau untuk memperbaiki keadaan rakyat atau meninggikan kesejahteraan mereka.” Ibnu Khaldun dengan jeli telah melihat bahwa politik Byzantium beda dengan politik Islam. Dalam tradisi Byzantium motivasi melakukan penyerbuan ke tempat lain semata-mata karena dasar politis dan ekonomis, agama tidak begitu menonjol. Maka Ibnu Khaldun menulis, “… ajaran agama lain… tidak memaksakan kekuasaannya kepada mereka, karena agama itu tidak menuntut dari mereka supaya menguasai orang lain, sebagaimana halnya dengan Islam melainkan hanya menegakkan kepercayaan mereka diantara mereka sendiri.” Tetapi Islam adalah sebuah agama kaffah (holistic) sehingga “… berusaha mengislamkan seluruh umat manusia dengan ajakan atau kekerasan, maka jihad terhadap orang-orang kafir adalah wajib.” Karena Islam adalah agama kaffah (holistic) yang meliputi din wa daulah ( agama dan politik) maka intrik-intrik politik juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah Islam, termasuk masalah seks, uang dan kekuasaan atau yang sering disebut juga sebagai harta, takhta, wanita.
Kepada umat non-Muslim hanya diberikan tiga pilihan yaitu :
1. Masuk Islam
2. Bayar pajak sebagai warga negara kelas dua yang dikenal sebagai dhimi/ dzimi
3. Diperangi atau dimusnahkan
Ternyata banyak yang mengambil pilihan pertama dan kedua, sedangkan Byzantium yang memilih untuk mempertahankan kemerdekaannya tidak mampu menghempang serangan pasukan Islam. Meskipun begitu tidak serta merta bangsa-bangsa Arab dan lainnya yang telah takluk di bawah kekuasaan Islam menjadi murtad dari agama mereka dan masuk Islam. Karena kurangnya tenaga ahli dari Bangsa Arab maka mau tidak mau para penguasa Arab Muslim tetap memakai orang-orang kafir sebagai pegawai-pegawai mereka, karena orang-orang Arab yang baru berkuasa ini masih awam dalam ilmu kedokteran, tata negara, pembukuan dan lainnya. Sejarah mencatat Khalifah Umar II ( 717 – 720 ) memiliki seorang dokter (tabib) terbaik di zamannya yang adalah seorang Kristen bernama Tayadzuq. Pada masa Khalifah al-Mu’tasim (834 – 842), Saimujah seorang Kristen menjadi pejabat penting negara yang berhak mensahkan dokumen-dokumen negara, Ibrahim seorang Kristen yang lain adalah Bendahara Negara. Pada masa al-Mu’tadil ( 892-902M) Umar bin Yusuf, Gubernur Anbar adalah seorang Kristen. Adud al-Dawlah (949-952) dari Dinasti Buwaihid memiliki Perdana Menteri yang beragama Kristen yaitu Nasr bin Harun. Sebelumnya pada masa Kahlifah Mua’awiah (661-680 M) banyak juga orang Kristen memegang posisi kunci dalam pemerintahan. Bahkan sewaktu pemerintahan Islam masih menjajah Spanyol (Cordova) pernah muncul Subh, seorang wanita Kristen yang sangat berpengaruh untuk menentukan jalannya pemerintahan. Secara perlahan namun pasti posisi orang-orang Kristen ini digeser begitu umat Islam sudah menguasai ilmu-ilmu dari pemilik kebudayaan yang mereka taklukkan, dan ini terjadi sebelum masa Perang Salib yang dilancarkan Barat sebagai reaksi atas aksi jihad fisabilillah umat Muslim. Bahkan nasib orang-orang taklukan sering tidak mendapatkan perlindungan hukum. Banyak anggota keluarga yang dipisahkan paksa dan dijadikan budak, termasuk para gadis yang mengalami kawin paksa dan pelecehan seksual lainnya. Wanita-wanita budak ini tetap boleh menganut agama mereka tapi anak-anaknya yang lahir harus dididik secara Islam. Bahkan ssalah seorang istri Nabi Muhammad yang bernama Shofiyah adalah hasil rampasan perang. Sumber lain mengatakan Mariyah al-Qibtibiyah (Maria orang Kristen Koptik Mesir) yang dihadiahkan Gubernur Mesir, Mawqaqis (yang adalah seorang Orthodox Yunani) juga adalah seorang budak (sahaya) Nabi. Baik Kitab Suci umat Muslim yaitu Al-Qur’an maupun Nabi Muhammad tidak melarang praktek perbudakan terhadap umat non-Muslim ini, mudah terkesan memberi legalitas. Qur’an maupun hadits, yang adalah sumber riwayat Nabi Muhammad dan sumber teladan bagi seluruh umat Muslim mencatat :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Bolah jadi kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu amat baik bagimu.” (Al Baqarah 2:216)
“Perangilah orang-orang… yang diberikan Alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (= pajak ketundukan kepada tuan Arab Muslim) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (hina).” (QS At Taubah 9:29).
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki…” (QS An Nisa’a 4:24).
“Nabi Muhammad bersabda, “Berperang kalian, kalian akan dapat ghanimah (harta rampasan perang) gadis-gadis Romawi.”
Nabi Muhammad bersabda, “Setiap ummat itu mempunyai waktu rekreasi dan rekreasi ummatku adalah jihad fisabilillah (berperang)”
Nabi Muhammad bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku (Nabi Muhammad) utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat” (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu penggunaan materi untuk mengajak orang masuk Islam dilegalkan dalam sistem zakat, “Sesungguhnya zakat-zakat itujhanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya…” (QS at-Tabah 9: 60).
Selain mendapatkan kekuasaan politik bagi agama Islam dan budak-budak wanita yang bisa digunakan untuk kawin paksa maka kekayaan materi juga merupakan salah satu alasan bagi para da’I (pendakwah/misionaris) Muslim untuk menyebarkan agama Islam. Dalam QS Al Fath (48): 18-21 dapat diketahui bahwa, “… Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil… Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak, yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu… Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang belum dapat menguasainya…”. Perhatikanlah bahwa ternyata para mujahidin (pejuang Muslim) sangat terpikat oleh motivasi duniawi hingga Allah membujuk mereka dengan berbagai jenis harta hasil rompakan/jarahan. Para penerus Nabi mewarisi semangat yang sama. Khalifah Abu Bakr menulis surat kepada orang-orang Mekah, Taif, Yaman dan semua orang Arab di Nejed dan Hijaz, yang berisi seruan untuk ikut dalam jihad fisabilillah (perang suci/perang di jalan Allah) dan memperoleh rampasan perang dari orang-orang Yunani.”
Terdesaknya orang-orang non Muslim akibat serangan pasukan Arab Muslim mengakibatkan orang-orang non Muslim terutama Kristen mencari alternative di luar daerah-daerah jajahan Islam. Sejak lama orang-orang Kristen dan orang-orang Arab non Muslim (termasuk Arab Kristen) dan orang-orang Timur Tengah lainnya telah memiliki keahlian berlayar dan berdagang. Keahlian berlayar belum dimiliki oleh penduduk Mekah dan Madinah tempat dimana agama Islam lahir dan tumbuh karena daerah itu bukan daerah maritim. Selain itu dalam daerah yang telah ditaklukkan Islam ada larangan bagi umat non-Muslim untuk berdakwah pada umat Muslim, tapi umat Muslim sebagai penakluk bebas berdakwah pada umat non Muslim. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau para misionaris Kristen yang masih terisisa di Timur Tengah bergerak keluar dari Darul Islam (daerah yang dikuasai Islam dengan berlakunya Syari’at Islam) dan bermisi di luar Darul Islam. Penduduk non Muslim dalam Darul Islam dalam berbagai cara mendapatkan tekanan bahan terkadang paksaan untuk murtad dan masuk Islam. Tekanan berupa pajak yang tinggi tapi mendapat status yang rendah dalam hukum, penghalangan dari partisipasi politik dan ekonomi membuat banyak orang lebih memilih untuk masuk Islam dan murtad dari agama lamanya. Di Bukhara misalnya, kekuasaan agama Buddha dihancurkan dengan memberi kemudahan financial (keuangan) bagi yang mau masuk Islam dan menghancurkan rumah-rumah ibdah non Muslim. Namun bahkan sebelum agama Islam menekan agama Kristen, misi Kristen telah dijalankan sampai ke Asia bahkan ke Indonesia.
Seorang penulis sejarah yaitu Syekh Abu Salih al-Armini menulis mengenai gereja-gereja di benua Asia dan Afrikamengatakan bahwa agama Kristen telah masuk ke pulau Sumatera, khususnya di pantai barat Sumatera Utara sejak abad ke-7 Masehi. Pada masa itu para pedagang Arab, Persia dan India yang Kristen sering juga membawa para rahib dalam pelayaran dagang mereka. Al-Armini menulis, “Fanshur (Barus) adalah kota yang terkenal karena kapur barus yang berasal dari sana… Di sana terdapat banyak gereja, salah satunya adalah Gereja Saidat al-Adhara al Thaharat Martamiryam ( Santa Maria Perawan yang Murni). Jadi HAMKA memang terlalu buru-buru dalam menyimpulkan bahwa agama Islam pasti telah masuk sejak abad pertama Hijriah di Indonesia karena sudah ada orang Arab yang hadir di Indonesia. Pertama Arab waktu itu masih banyak dihuni oleh orang Kristen Arab, kedua : umat Muslim pada abad pertama belumlah menjadi pedagang tangguh yang melintasi lautan menuju ke luar negeri. Armada laut Muslim baru ada sejak pemerintahan Yazid – 1 dari Dinasti Muawiyah. Namun harus diingat bahwa orang-orang Kristen Arab waktu itu masih sangat berpengaruh dalam politik, ekonomi Arab Muslim. Umat Muslim lahir dari daerah non Maritim, justru pedagang-pedagang Arab Kristenlah yang lebih banyak bergerak waktu itu. Jadi sebelum mesjid berdiri di Sumatera Utara, Gerejalah yang yang sudah ada lebih dahulu.
Batak di Barus
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Ptolomeus adalah orang pertama yang kita ketahui mencatat tentang penduduk di Sumatera Utara pada pertengahan abad ke dua Masehi. Dalam catatannya itu Ptolomeus mencatat adanya praktek kanibalisme di Barus. Sumber-sumber Arab, India dan Eropa juga menegaskan adanya praktek kanibalisme di Sumatera, juga Marco Polo membenarkannya. Pada tahun 1430, Nicola de Conti menjadi orang Eropa pertama yang menggunakan kata “Batak” (Batech) untuk menyebut suku kanibal di Sumatera. Dalam catatan-catatan Tiongkok kuno seperti catatan Chau Ju-Kua (1226 M) ditemukan kata Bo-ta yang dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Sedang dalam catatan Dinasti Yuan (Mongol) dikatakan bahwa Kerajaan Samudra Pasai dan Ma-da (Ba-ta) memberikan upeti pada Kaisar Tiongkok pada tahun 285-1286 Masehi. Tome Pires seorang penjelajah menulis di tahun 1515, “Kerajaan Bata berbatasan dengan Kerajaan Pase dan Kerajaan Aru (Daruu). Raja negeri ini bergelar Raja Tomjano (Timor Raja?). Dia seorang prajurit Muslim. Ia sering berlayar untuk merampas (ghonimah). Dia adalah menantu Raja Aru.” Raja Tomjano ini juga mungkin merupakan orang yang sama atau keturunannya yang ditemui oleh seorang penjelajah Eropa lain yang bernama Mandes Pinto di tahun 1540 M. Pinto Tome Pire menyatakan Kerajaan Batak ini menguasai daerah Tamiang – Perlak yang memiliki sumber bahan bakar minyak. Di daerah ini dari Langkat sampai Ramiang terdapat situs-situs bukti kerang yang menjadi salah satu bukti asal leluhur penduduk di Sumatera, mungkin termasuk orang Batak dan Aceh saat ini. Mungkin ini juga berhubungan dengan kepercayaan orang Batak Toba bahwa leluhur orang Batak punya tiga orang keturunan. Yang satu pergi ke Aceh, yang satu pergi ke Padang (Minangkabau) dan yang satu lagi tetap tinggal di Tanah Batak. Namun bagi penjelajah Mendes Pinto, Kerajaan Bata yang mungkin merupakan campuran Batak Karo dengan etnis lain ini bukanlah kerajaan kanibal. “Kehormatan” kanibal ini diberikan Pinto pada penduduk pantai barat (west coast) di atas Singkil, yang sekarang merupakan bagian dari Aceh. Pada masa penulisan Pinto ditahun 1639-1640 ini Kerajaan Aceh yang Muslim memang telah melakukan jihad fisabilillah dan menguasai kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Sumatera Utara, sebagaimana yang dicatat dalam sumber-sumber sejarah Aceh dan Turki. Pada masa Pinto ini Kerajaan Batak yang non Muslim dipertentangkan dengan Kerajaan Aceh yang Muslim yang terus berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Pinto menggambarkan Kerajaan Batak yang bertahan dari invasi Islam ini beribukotadi Panaju, pada pantai barat (west coast) sekitar 50 km dari Guatemgin (Pinto tidak menulis nama lokal kota ini). Namun mungkin ini adalah salah satu sungai di pantai barat di selbelah selatan Singkil sebagai jalur memperoleh kapur (barus) dan kemenyan (camphor and benzoin) dari daerah sekitar Danau Toba. Ibu kota Panaju dari Kerajaan Batak ini adalah sisa dari Kerajaan Pano (Pao – Barus) yang pada masa itu telah takluk kepada Islam. Pada akhirnya Raja Batak ini terpaksa mengikat janji dengan Sultan Aceh setelah tidak mampu bertahan dari invasi yang terus menerus. Namun Sultan Aceh mengkhianati Raja Batak dan membunuh keluarganya. Raja Batak dengan bantuan pemimpin lokal berjuang melawan penjajahan Aceh, tetapi rezim Aceh yang dibeking imperium ( kekhalifahan ) Turki yang adalah negara super power (adi daya) waktu itu jelas terlalu kuat bagi Bangsa Batak. Bangsa Batak mengungsi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan internasionalnya dikuasai pasukan pendudukan Aceh dengan dukungan Turki, mirip seperti rezim Irak yang dilindungi AS saat ini.
Sejak saat itu orang Aceh dengan memandang hina menyebut semua orang-orang yang tidak mau dipaksa masuk Islam dan tunduk pada penjajahan Aceh sebagai ‘Batak’. Teks Aceh yang ditulis pada abad ke-17 yang berjudul “Hikayat Aceh” menyebut etnis Batak sebagai orang-orang non Muslim. Arona Diego Barros (1824-1907) professor geografi dari Amerika Latin menggambarkan kondisi pulau Sumatera yang dihuni oleh dua golongan, Muslim dan non Muslim. Orang Muslim adalah kaum pendatang yang berkembang melebihi penduduk asli yang dulunya tidak mengenal hubungan internasional seperti pendatang Muslim ini. Akibatnya penduduk asli tersingkir dan para pendatang menjadi tuan-tuan dan penguasa-penguasa baru. Penduduk yang tersingkir ini dipandang tidak berbudaya dan kenibal yang disebut sebagai Batak. Belakangan ketika orang-orang Tionghoa dan Minahasa masuk ke Sumatera mereka disebut sebagai ‘Batak’ karena tidak memeluk Islam.
Kampak Belah Kayu
Karena posisinya yang stragegis, Barus mengalami berbagai serangan dari luar untuk dikuasai. Salah satu serangan itu berasal dari Kerajaan Chola di tahun 1025 M dari India yang berhasil menaklukan Barus dan Aceh yang waktu itu merupakan kerajaan bawahan Sriwijaya. Koloni pedagang India di Lobu sekitar satu kilo dari Barus muncul sebagai hasil dari serangan kerajaan dari Raja Chola itu. Pada tahun 1872 ditemukan prasasti di Lobu yang isinya, “Pada tahun 1088 ada 1500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Barus. Mereka mendirikan kongsi dagang bagi para pedagang kapur barus dan kemenyaan.” Menarik untuk kita ketahui bahwa India Selatan berisi bukan saja penduduk yang beragama Hindu, namun juga beragama Kristen yang dikenal sebagai Kristen Mar Thoma, mereka disebut juga sebagai Kristen Malabar.
Meskipun begitu candi-candi Buddha Tantrayana – lah yang justru masuk jauh sampai ke dalam Sumatera Utara, yakni di Padang Lawas dimana Kerajaan Portibi, Tapanuli Selatan yang berasal dari bahasa sansekerta pertiwi berdiri dan meninggalkan kompleks candi Bahal. Candi-candi ini berasal dari tahun 1042 Masehi. Jadi sezaman juga dengan masa serangan Kerajaan Chola dari India. Para peneliti seperti Harry Parkins menemukan adanya pengaruh India setidaknya dalam budaya Batak Karo dan Toba, namun dalam budaya Batak Toba pengaruh Hindu itu tidak sampai meresap.
Sedangkan situasi dunia waktu itu Islam sedang mengalami masa-masa kejayaannya sebagai kekuatan super power dunia yang dapat bertindak sewenang-wenang demi kepentingannya, mirip seperti Amerika Serikat saat ini. Sebagian benua Eropa, khususnya Eropa Timur termasuk Spanyol dan Portugis masih berada dalam penjajahan Islam. Misalnya Spanyol dijajah selama 781 tahun (711-1491 M), Portugis dijajah Islam selama 533 tahun (716-1249M). Di India pasukan Arab telah menginvasi daerah yang kini kita kenal sebagai Afghanistan sejak abad ke-10 Masehi dan menghilangkan Agama Buddha di sana dan terus masuk secara perlahan namun pasti ke India dan memunculkan dinasti-dinasti Muslim di India. Kesultanan Delhi (1206-1526) pada umumnya bersikap ekslusif dan menolak keterlibatan non-Muslim (kafir). Kekhalifahan Turki Seljuk dan Usmaniyah yang dasarnya sudah dimulais ejak 1071 M dan berkembang menjadi ‘polisi dunia’ waktu itu memberikan hadiah bagi orang-orang Kristen yang mau murtad ke Islam dengan menggunakan jizyah dari orang-orang yang tetap setia pada iman Kristen. Bahkan pada abad ke-13 rezim Turki menindas orang Kristen dan menutup gereja-gereja, rumah sakit- rumah sakit Kristen, sekolah, pasnti asuhan bagi anak-anak Kristen dan menyitanya. Anak-anak Kristen dirampas paksa dan dijadikan sebagai budak militer. Tetapi karena di Balkan kekuasaan Turki tidak sekuat di Asia Kecil maka terpaksa diberikan toleransi bagi umat Kristen. Dalam masa dan kondisi seperti inilah Aceh membuka hubungan politik dengan Turki. Sama seperti rezim-rezim yang berkuasa saat ini membutuhkan dukungan dari negara super power untuk mempertahankan rezimnya, pada zaman dulu juga situasinya sama. Misalnya Sultan Agung setelah menerima gelar Sultan dari Mekah yang merupakan bagian dari kekhalifahan Turki di tahun 1641 M maka ia segera melakukan ekspansi-ekspansi. Ekspansi ini dilakukan baik terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya maupun kerajaan-kerajaan Hindu. Para tawanan non Muslim atau penduduk taklukkan dipaksa masuk Islam, sesuai dengan syariat Islam dan adab jihad fisabilillah. Di sisi lain pada masa ini juga sebagian daerah jajahan Islam seperti Portugis berhasil merdeka dan kini mereka harus berjuang untuk melemahkan kekhalifahan Turki agar mereka tidak diancam oleh penjajahan Turki lagi. Salah satu cara adalah dengan mencari sumber rempah-rempah yang waktu itu sangat dibutuhkan bangsa-bangsa Eropa. Selama ini para pedagang Muslim mendapatkan keuntungan yang besar dengan menjadi pedangan perantara. Dan keuntungan itu secara tidak langsung juga memperkuat kekhalifahan Turki yang adalah ancaman bagi kemerdekaan dunia waktu itu. Para pedagang perantara ini memang mengambil keuntungan yang berlipat ganda dan jauh lebih tinggi daripada para petani Indonesia yang menghasilkan rempah-rempah itu. Misalnya 112 pound cengkeh dijual seharga dua dukkat oleh pedagang Indonesia pribumi pada para pedagang Muslim dari Jawa dan lainnya, tiba di Malaka harganya telah menjadi 10 dukkat oleh pedagang Muslim, dan diteruskan ke pedagang Arab Muslim sehingga kita bisa bayangkan berapa kali lipat harganya ketika tiba di Eropa. Aneh kalau hanya dikatakan orang Eropa Kristen yang menindas Bangsa Indonesia ketika orang yang menyebut diri sebagai ‘saudara-saudara Muslim’ (ikhwan) juga tidak kalah serakahnya. Inilah kapitalisme zaman klasik, dimana pedagang Muslim dari Gujarat, Jawa dan mungkin Tiongkok menindas atau menipu orang-orang Muslim baru di Tarnate dan Tidore. Maka kedatangan Bangsa Portugis disambut baik oleh Sultan Tarnate dan Tidore yang berebut mengundang Portugis untuk mendirikan kongsi dagang mereka agar penghasilan Sultan bertambah. Keserakahan Portugis dan penindasan Sultan Hairun dari Tarnate terhadap ummat Kristen akhirnya merusak hubungan ini.
Dengan menyadari dan mengetahui kondisi ini tidaklah mudah bagi kita untuk melihat sejarah secara ‘hitam-putih’. Kita tahu tidaklah benar bahwa bangsa-bangsa Barat adalah para penjahat sedangkan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dibantu oleh orang-orang Muslim adalah orang baik-baik yang dijadikan korban oleh bangsa Barat. Sebelum bangsa Barat datang Kerajaan-Kerajaan di Indonesia sudah berperang satu sama lainnya, kedatangan Islam tidak meredakan hal ini malah menambah jumlah dan intensitas konflik, bahkan terhadap sesama kerajaan Islam seperti Aceh, Johor dan Demak. Bahkan Kerajaan Aceh ini juga yang menghancurkan Kerajaan Islam pendahulunya yaitu Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai dengan raja yang berpangkat Al Malikush Shalih (Seorang Raja Yang Taat Beragama/Saleh) mendapat pengaruh dari raja Damasukus yang bernama Al-Malikush Shaleh Ismail (memerintah 1237-1238) atau Al Malikush Nadjmuddin Ayubi yang merebut Yerusalem dari Tentara Perang Salib. Kesultanan Aceh dengan bantuan pasukan dan persenjataan Turki dan Muslim Ethiopia (Abbysina) berjihad dan berhasil menguasai kota-kota pelabuhan penting di Sumatera, bahkan pada pertengahan abad ke enam belas berhasil menyerbu dan mengislamkan Minangkabau yang masih Hindu waktu itu. Dan penguasaan ekonomi melalui peperangan (jihad fisabilillah) adalah sesuatu yang dibenarkan dalam agama Islam dan tidak asing untuk dilakukan. Sedangkan bangsa Barat yang datang lebih mementingkan dagang (untung) daripada agama. Persatuan Dagang Inggris bahkan memiliki rencana untuk memberikan seorang wanita terpelajar Inggris untuk menjadi salah satu isteri Sultan Aceh dengan berkata, “Agama tidak menjadi soal.” Jadi pendapat Profesor Ahmad Mansur Suryanegara yang meneruskan opini bahwa penjajah Kristen datang ke Indonesia dengan motivasi gold, glory, Gospel (eman – kekayaan, kemuliaan dan penginjilan), serta memaksa pribumi Islam melepaskan agamanya untuk masuk agama penjajah dapat ditinjau kembali.
Para penulis dan sejarawan Muslim berusaha merevisi jalannya dakwah Islam di Indonesia, “… sejarah negeri Aru (Haru/Karo)… sebagai masa peralihan antara sistem ke Hinduan kepada sistem Islam…, jelaslah bagi kita bahwa penyiaran Agama Islam itu berlangsung di kerajaan yang bersifat Hindu dengan aman dan damai.” Memang Indonesia pada dasarnya memiliki penduduk yang bersikap terbuka terhadap pendatang asing, maka dalam masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha dengan sekolah Buddha yang terkenal di Sumatera kita melihat, “di Bandar Kalah ditemui berbagai penduduk: Muslim, Hindu dan Parsia” menurut laporan Abu’l-Fida. Sedang di dekat Bandar Kalah ada juga Zobog dimana seorang pedagang Arab menjual burung kakaktua yang mampu berbicara Arab, Persia, Hindu dan Yunani. Kerajaan-kerajaan Hindu Melayu menjadikan orang-orang Muslim sebagai penasehat Raja Hindu. Patutlah diingat pada masa Kerajaan Sriwijaya ini, kekuasaan Byzantium yang Kristen masih kuat sehingga adanya pedagang Arab yang menjual burung kakaktua yang bisa berbahasa Yunani menandakan adanya juga kehadiran orang-orang Yunani atau Byzantium yang beragama Kristen di Indonesia. Namun begitu pengaruh Islam kuat maka hilanglah semangat toleransi dan pluralisme ini. Misalnya pelabuhan Barus yang dulu dikuasai bangsa India Hindu akhirnya dikuasai oleh kekuasaan kaum Muslim dan mendesak para pendahulu mereka ke pedalaman Pakpak, Karo dan lainnya. Terbentuklah marga-marga Karo dari India seperti Sembiring dan Lingga. Sayang sekali keterbukaan Hindu – Buddha tidak begitu dilanjutkan oleh para penguasa Muslim yang baru. Berbeda dengan pengakuan penulis Muslim bahwa Islam masuk secara damai di kerajaan Hindu, sejarawan lain mencatat Haru (Karo) diislamkan dengan paksa oleh Aceh melalui jihad fisabilillah. Alas, Gayo, Singkil yang dulunya termasuk wilayah Haru (Batak Karo) semuanya mengalami islamisasi paksa antara 1539 – 1564. Dalam pertempuran ini kesultanan Aceh dibantu oleh mujahiddin (tentara) asing Muslim dari Turki dan Gujarat. Dengan menggunakan meriam-meriam yang sebelumnya digunakan untuk membantai orang-orang Kristen di Konstantinopel yang menamatkan riwayat Byzantium maka penduduk dan pejuang-pejuang Hindu Karo pun mengalami pembantaian yang sama. Mendez Pinto adalah seorang saksi mata pertentangan antara orang-orang Batak Karo Hindu melawan agresi militer Aceh Muslim. Orang-orang Karo memintabantuan Portugis dan berhasil membantai tentara Aceh termasuk tentara asing (koalisi internasional Islam) Muslim dari Turki, Arab, Malabar dan Ethiopia. Kemenangan ini tidak lama dinikmati karena kelak Sultan Iskandar Muda berhasil menembus Kerajaan Hindu dan masuk ke Minangkabau yang juga masih Hindu waktu itu dan memaksa semua penduduk untuk murtad dan masuk Islam. Agama Islam dijadikan alat politi untuk seragamkan dan tundukkan penduduk. Para pendongeng Muslim awal mencoba menghapus ingatan ini dengan menjadikan Bangsa Portugis sebagai kambing hitam. Dalam versi mereka Putri Hijau beru Sembiring diperkosa beramai-ramai oleh tentara Portugis dan tubuhnya diledakkan dengan meriam. Sedangkan sejarah justru mencatat bahwa orang-orang Muslim dari Acehlah yang membantai Putri Hijau bre Sembiring Meliala dalam jihad fisabilillah mereka. Putri Hijau sebenarnya justru mendapat bantuan dari Portugis untuk melawan agresi militer Aceh. Setelah masuk Islam maka orang-orang Batak Karo dilepaskan dari budaya aslinya dan dijadikan sebagai orang Melayu. Dengan kemenangan Sultan Aceh ini maka ia secara sepihak menyebut dirinya sendiri sebagai ; Sultan Alauddin Riayisah al Kahhar Raja Barus, Raja Negeri Pedir dan Pasai, Maharaja Batak, Pangeran Lumbung Emas Minangkabau dan Penakluk Haru. Sejak itu juga kesultanan Aceh makin memonopoli perdagangan yang melintasi Pulau Sumatera. Aceh menguasai sumber-sumber merica yang sangat tinggi harganya waktu itu. Motivasi agama, dan dagang (ekonomi) menjadi satu dalam invasi Aceh ini. Diakui bahwa Sultan Iskandar Muda memerangi orang Batak dalam rangka jihad fisabilillah demi :
1. Mengikis habis pengaruh Portugis
2. Menyebarkan agama Islam pada orang Batak (Karo)
3. Menguasai perdagangan merica yang sangat strategis dan menggiurkan waktu itu
Berkali-kali para pejuang Batak melawan penindasan Aceh namun berhasil ditumpas.
Proses de-Batakisasi ini bukan dialami oleh orang Batak Karo saja tetapi juga orang Batak lainnya. Sejarawan dan budayawan Melayu Muslim, Tengku Luckman Sinar mengakui, “di kalangan suku-suku Karo, Simalungun dan Perdambanan, Islamisasi itu sekaligus dilaksanakan dengan proses’melayunisasi’. Sekali sudah masuk Melayu ( masuk Islam ) maka marga-marga tidak dipakai lagi, bahasa Melayu dipakai sehari-hari, begitu juga cara berpakaian dan adat Melayu.” Ia melanjutkan, “orang-orang Mandailing, Sipirok bahkan orang-orang Toba yang Islam, telah mencatatkan diri sebagai ‘Melayu’ ketika akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah masa itu.” Hasilnya sangat efektif. Orang Batak melupakan identitas sendiri, Batak Pardembanan malah punah dan jadi Melau sehingga muncul istilah Kampak belah kayu, Batak jadi Melayu. Sewaktu Belanda masuk maka sultan-sultan Melayu asal Btak ini merampas tanah penduduk yang tidak mau murtad dan masuk Islam dan menyerahkan tanah itu untuk perkebunan-perkebunan asing. Orang-orang Batak terutama suku Batak Karo didesak untuk mendiami lahan lahan yang tidak baik. .
Islamisasi Tanah Batak
Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh mengakibatkan orang Batak kehilangan jati dirinya sebagai Batak dan menjadi Melayu, mirip dengan dampak kuatnya pengaruh Barat saat ini yang membuat orang menjadi kebarat-baratan. Hilangnya jati diri seseorang atau suatu masyarakat dapat dikarenakan :
1. Dominasi budaya lain yang lebih kuat dan lebih berpengaruh dari budaya lokal
2. Rasa malu denagn jati diri sendiri, dan
3. Dengan mengambil budaya dominan diharapkan dapat ikut ambil bagian dalam kekuasaannya juga
Selain itu juga didorong oleh adanya pengaruh dari luar seperti manipulasi data dan pemutarbalikan fakta. Lance Castle mencatat marga Hasibuan pada abad ke-19 Masehi sempat mengira diri mereka adalah keturunan Raja Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung). Besar kemungkinan keyakinan tidak berdasar ini muncul akibat serangan dan Islamisasi kaum Padri dari Minangkabau ke Tanah Batak. Sebelumnya Minangkabau sendiri mengalami serbuan Aceh yang mengislamkan mereka. Kesultanan Aceh memang meyakini bahwa Sultan Aceh adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung). Dan Aceh sendiri didukung oleh kekhalifahan Turi dengan memberi gelar “Serambi Mekah” pada Aceh. Maka Aceh berperang dengan orang Kristen dan Hindu yang ada di Indonesia demi menyebarkan dakwah Islam ini. Tidaklah heran jika kedatangan nilai-nilai baru mengancam kedudukan nilai-nilai lama dalam masyarakat terutama jika masyarakat melihat nilai-nilai baru itu dibawa oleh suatu bangsa yang lebih kuat. Dewasa ini sering pula para alim ulama mengeluhkan apa yang disebut sebagai sikap kebarat-baratan. Pada zaman dahulu penjajahan budaa itu adalah sifat kearab-araban atau kemelayuan. Misalnya Bangsa Pakistan saat ini tidak bangga akan nenek moyang mereka yang meninggalkan peradaban agung di Mohenjo-Daro, melainkan lebih membanggakan budaya Arab yang sangat dominan dalam masyarakat mereka. Penyelewengan tafsir histories ini juga dilakukan di Indonesia. Kaum revisionis (orang yang merubah penulisan sejarah) membuat opini bahwa di Minangkabau perselisihan antara kaum adat dan kaum Muslim terjadi karena adu domba Belanda, walau faktanya Belanda baru turun tangan kerena diundang oleh kaum Adat Minangkabau. Belanda sendiri enggan perang waktu itu karena masih harus menghadapi Perang Diponegoro.
Para penulis Muslim saat ini suka mengutip pendapat yang mengatakan :
1. Ada hubungan baik antara para saudagar (pedagang) Islam dengan penduduk lokal
2. Orang-orang Islam menampakkan perilaku yang bersih dan sehat (dari Pribumi)
3. Orang-orang Islam itu memberi teladan untuk menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat
4. Persamaan derajad manusia yang tertanam dalam pandangan hidup mereka.
Menurut HAMKA para pedagang yang berpengaruh menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para pedagang Arab. Sayangnya para pedagang Muslim dari Arab ini tidak sebaik yang dceritakan oleh para penulis Muslim masa kini, termasuk HAMKA. Ibnu Khaldun, sejarawan besar Muslim mengakui mental para pedagang Muslim Arab sebagai berikut, “Tingkah laku pedangan lebih rendah dibandingkan dengan tingkah laku orang-orang yang memegang pemerintahan, dan jauh lebih rendah daripada keprawiraan dan kejujuran.” Dengan kata lain hubungan antara para pedagang dan penduduk setempat memang dilandasi oleh cinta akan uang, maka para pedagang akan menikahi putri-putri orang yang berpengaruh, bukan putrid dari rakyat jelata. Bagi orang yang mau masuk Islam akan diberi kemudahan dan fasilitas untuk berdagang demi mencari keuntungan. Perintah untuk menjadikan seks, terutama melalui perkawinan sebagai alat dakwah Islam berasal dari Nabi Muhammad sendiri, “Aku memerintahkan berperang dengan asma (nama) Allah di jalan Allah ( jihad fisabilillah ). Bunuhlah siapa yang kafir kepada Alllah… kalau mereka menyambut seruanmu maka kawinilah putri raja (Arab = Amir – pemimpin)nya.” Karena Islam mengizinkan poligami maka para pedagang Arab dapat memiliki istri di beberapa tempat. Namun tetap saja bangsa-bangsa bukan Arab walaupun telah memeluk agama Islam dipandang rendah oleh Arab Muslim. Orang-orang Arab Muslim sangat tidak senang ketika orang-orang Muslim dari bangsa-bangsa lain mendapat posisi yang setara dengan orang Arab, dan orang Arab Muslim ini menghina dan meremehkan Muslim non Arab. Di Indonesia sampai saat ini sifat kesombongan ini masih terus dilakukan oleh banyak orang Arab yang merasa menikah dengan orang Indonesia pribumi berarti menikah dengan orang yang tidak sederajad.
Pendapat kedua yang mengatakan umat Muslim lebih bersih dari kaum pribumi juga tidak diminati oleh drs. Mansoer. Beliau mempertanyakan pendapat yang mengatakan bahwa penduduk pribumi jorok terutama orang Batak yang membiarkan jenazah sampai bertahun-tahun sebelum dikuburkan. Secara salah drs. Mansoer menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris, the dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks padahal yang dimaksudnya adalah orang Batak makan daging anjing, babi dan monyet/kera. Namun bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang sangat maju juga makan daging babi dan itu tidak membuat mereka kotor secara lahiriah atau bodoh secara lahiriah. Jelaslah sekedar kebersihan secara relijius tidak kuat untuk menjadikan orang berduyun-duyun masuk Islam. Alasan ketiga bahwa orang Islam menjadi teladan karena membela kepentingan diri sendiri, keluarga dan masyarakat juga terasa aneh, karena hal ini juga dilakukan oleh orang-orang non-Muslim. Jadi alasan ketiga bukanlah alasan yang baik. Dan alasan keempat bahwa agama Islam menjanjikan persamaan derajad juga tidaklah sepenuhnya benar. Kita telah mengetahui bahwa orang-orang Muslim Arab memandang rendah terhadap orang Muslim non Arab. Maka ada kemungkinan lain Islam dapat berkembang, dan ini diakui oleh para penulis Muslim awal walau disangkal oleh penulis-penulis Muslim masa kini. Cara itu adalah jihad fisabilillah.
Fakta bahwa Islam masuk ke tanah Batak khsusunya Batak Mandailing, Angkola dan Toba mula-mula dengan kekerasan berusaha disangkal oleh para apologet Muslim, sama sepeti sejarawan Muslim di Pakistan menyangkal bahwa orang Arablah yang mula-mula menyerbu Sind (India). Kedatangan kaum Padri, menurut revisionis (orang yang menulis ulang sejarah) adalah semata-mata untuk berdagang, tapi rombongan pedagang padri ini diserang oleh orang Batak hingga timbullah peperangan. Mengingat wialah kekuasaan suku-suku Batak waktu itu tidak dipersatukan dalam bentuk kerajaan seperti Kerajaan Aceh melainkan merupakan suku-suku dan negeri-negeri yang independent maka dari argumen di atas dapat kita ambil kesimpulan :
1. sungguh jahat orang-orang Batak ini karena tanpa ada komando dari pusat maka setiap rombongan padri yang masuk ke tanah Batak diserang – mulai dari Tapanuli Selatan sampai ke Bakkara (Bakti Raja)
2. sungguh gigih para pedagang padri ini yang walau ditolak tapi memaksa terus untuk berdagang bahkan dengan cara membantai Raja Sisingamangaraja X
Tapi kita semua tahu Pasukan Padri masuk ke tanah Batak bukan untuk berdagang secara baik-baik. Adapun kedatangan pasukan penjajah Padri Muslim ke Tanah Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam. Diperkirakan setidkanya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini. Di daerah Silindung – Pahae – Hutagalung diambil kanak-kanak yang setelah diislamkan bernama Tuan Syekh Basyir Simorangkir oleh Pasukan Padri. Setelah kembali dari Minang, ia berusaha mengislamkan orang-orang Batak. Dari Hutagalung muncul Abid Hutagalung yang juga dididik dan dibesarkan di Minangkabau. Abid membuang marganya dan menjadi Melayu yang bernama Tuan Syekh Arsyad gelar Tuan Faqih. Sementara itu kelak di Kerajaan Serdang, para sultan juga melakukan politik yang sama dengan Mujahidin Padri, yakni mengambil putra-putra tokoh Batak untuk dimurtadkan ke Islam. Praktek keji seperti ini bukanlah hal yang asing dalam sejarah Islam Internasional. Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam sudah menyinggung praktek ini dan Daniel Pipes dalam Slave Soldiers and Islam membahas dengan lebih dalam lagi. Anak-anak diculik, diasingkan dari budayanya, dibesarkan dalam budaya dan agama si penjajah dan penculik kemudian dijadikan sebagai alat untuk menindas bangsa sendiri. Kalau kita menyangka ini adalah praktek masa lampau maka kita salah. Saat ini misalnya praktek ini masih dilakukan di Sudan yang dijajah Arab dan yang berhasil memecah penduduk Sudan ke dalam dua bagian yaitu Muslim dan non-Muslim. Anak-anak Kristen Katolik di Timor Leste juga banyak diculik dan dimurtadkan di pesantren-pesantren Indonesia untuk kelak dikirim kembali ke Timor Leste demi merusak budaya Timor Leste. Alangkah biadabnya perbuatan ini. Dengan cuci otak seperti ini maka tidaklah heran Parlindungan dalam “Tuanku Rao” mengakui bahwa diantara kaum penjajah Padri yang menyerbu Tanah Batak dan membantai orang-orang Batak banyak terdapat mujahid Batak (orang Batak yang telah dimurtadkan menjadi Islam). Orang-orang ini telah dididik untuk membenci kekafiran yaitu agama apapun di luar Islam. Dalam QS Al – Baqarah 2:23, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu (menjadi) pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan (Islam) dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dholim (zalim).” Dalam riwayat lain diceritakan mengenai Abi ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang membunuh bapak kandungnya sendiri dalam Perang Badar. Anak ini bukanlah anak durhaka tapi malah menjadi sahabat Nabi Muhammad karena dipandang lebih setia pada agama daripada pada darah dagingnya sendiri. Begitulah sejarah juga mencatat orang Batak yang masuk Islam menjadi malu dengan kebatakannya dan menolak mengakui diri mereka sebagai Batak. Bagi orang Melayu waktu itu kata ‘Batak’ jarang diartikan sebagai suku atau etnis melainkan “ petualang, pengembara, gelandangan, perampok, penyamun, merampas” seperti yang masih dapat kita lihat pada Kamus Poerwadarminta maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun revisionis Muslim saat ini menulis, “Aibat dari propaganda Belanda, timbul anggapan umum bahwa setiap yang bermarga Batak dianggap beragama Kristen. Sehingga bila ada suku Batak yang memasuki agama Islam, tidak mau membubuhi marganya lagi.” Alangkah menyesatkannya dusta-dusta mereka.
Malim dan Muslim
Haji Mohammad Said di tahun 1960-an membuat sebuah teori baru yang mengatakan Raja Sisingamangaraja XII telah memeluk Islam. Opini ini kini dijadikan sebagai fakta oleh Profesor Ahmad Mansur Suryanegara seorang sejarawan Muslim. Pada masa itu Adniel Lumbantobing, seorang Kristen dan teman-temannya yang mengakui Raja Sisingamangaraja XII sebagai penganut agama tradisional Batak sedang gencar-gencarnya memperjuangkan pengakuan nasional terhadap kepahlawanan Sisingamangaraja XII. Perjuangan ini berhasil dengan diakuinya Raja Sisingamangaraja XII menjadi Pahlawan Nasional pertama di luar Pulau Jawa. Adniel Lumbantobing juga merancang dan membangun tugu Sisingamangaraja. Meskipun begitu memang ada kepercayaan yang muncul belakangan diantara orang Melayu di Barus Hilir sebagaimana yang diangkat oleh Jane Drakard bahwa Sultan Ibrahim, Sultan pertama Barus Hilir mengajak orang Batak masuk Islam taip orang Batak menolak. Sultan Ibrahim kemudian pergi setelah mendapatkan anak dari seorang putri Batak yang kelak menjadi Raja Sisingamangaraja I. Karena Barus berhubungan dengan Aceh, maka memori tentang Aceh juga masuk ke tengah orang Batak Toba yang akhirnya membuat bendera Sisingamangaraja XII dan stempel pribadinya mendapat pengaruh Aceh. Sebenarnya ada kemungkinan lain, yaitu pada mulanya orang-orang Batak saling berhubungan. Namun sejak sebagian Kerajaan Batak dikuasai Aceh dan Gayo, Alas, Singkel, Tamiang bahkan sampai ke Barus berhasil ditaklukkan dan diislamkan Aceh melalui jihad fisabilillah sehingga terjadilah pemutusan hubungan antara orang Batak yang dimelayukan atau diacehkan dengan orang Batak yang masih setia dengan budayanya. Namun orang-orang Batak yang masih memegang teguh adat istiadatnya ini, khususnya Batak Toba memiliki memori tersamar akan hubungan mereka dengan saudara-saudaranya di Barus atau dareah lainnya yang telah diislamkan. Islam tidak berhasil masuk ke Tanah Batak jika tidak didahului oleh serangan jihad fisabilillah, baik dari Aceh maupun Minangkabau. Setelah Tanah Batak diduduki baru bisa dilakukan proses Islamisasi. Maka orang Batak di Bakara yang berasal dari kelompok (keturunan) Sumba maupun orang Batak yang berasal (keturunan) dari Borbor sama sekali tidak memiliki memori seperti di Barus Hilir, bahwa Sisingamangaraja I berasal dari keturunan Sultan Ibrahim. Berarti kemungkinan besar cerita Barus Hilir itu hanyalah dongeng untuk melegalkan kekuasaan Barus Hilir yang telah memeluk Islam atas Tanah Batak yang masih merdeka.
Kerjasama antara Raja Sisingamangaraja XII dengan Aceh tidak membuktikan bahwa ia telah beragama Islam karena Sisingamangaraja XII adalah Raja yang menghargai semua raja-raja lain sebagai sederajad, bukan dalam relasi raja taklukan dengan sultan penakluknya. Penggunaan huruf Arab melayu dalam stempel Raja Sisingamangaraja XII juga merupakan bukti dari pendapat diatas. Pengguna bahasa Inggris tidak membuktikan bahwa ia warga negara Inggris dan beragama Kristen, begitu juga huruf Arab Melayu waktu itu adalah semacam bahasa internasional di Nusantara. Maka penggunaan huruf itu menunjukkan adanya kesadaran yang luas untuk saling berinteraksi antar bangsa dengan asas kesetaraan. Maka hal stempel ini juga tidak dapat dijadikan bukti mengatakan Sisingamangaraja XII telah masuk Islam. Sedangkan argumen lain mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII berwarna hijau – warna Islam dan bukannya warna Batak : merah – putih – hitam, pendapat ini tidak mendapat bukti histories apapun. Alasannya karena tidak pernah ada yang bisa memperlihatkan benderah hijau itu, yang kedua adalah dengan logika berpikir ini kita juga bisa mengatakan Adolf Hitler itu pasti orang Batak, ‘bukti’nya bendera Nazi berwarana : merah – putih – hitam. Para misionaris yang menduga Sisingamangaraja XII masuk Islam juga tidak pernah bisa memberikan bukti selain dari ‘katanya’ (kabar angin). Bukannya memerintahkan rakyatnya untuk masuk Islam dan melawan Belanda, Raja Sisingamangaraja XII malah akhirnya minta agar Zending Kristen jangan diganggu. Pendekatan penginjilan Nommensen yang lemah lembut memang jauh beda dengan metode dakwah yang disampaikan oleh Pasukan Padri. Menurut Bapak Naipospos wakil dari Agama Permalim dalam Seminar Gugurnya Sisingamangaraja XII Juni 2007 lalu di Hotel Danau Toba Internasional, Raja Sisingamangaraja XII malah menegur Guru Somalaing Pardede, yang juga seorang yang dipercayakan melanjutkan agama Permalim, karena membawa-bawa nama Raja Rum ( Kekhalifahan Turki yang menguasai dan berpusat di Romawi Timur) dalam doanya. Raja Sisingamangaraja XII menegaskan keindependennya dengan memberikan surat pengangkatan raja (Parbaringin) Bius Laguboti yaitu Raja Mulia Naipospos. Dengan adanya kebanggaan ini maka Agama Permalim ini masih kuat hingga saat ini karena mereka tahu Raja Sisingamangaraja sebagai Malim (pemimpin agama) mereka tidak pernah menjadi Muslim, maka dengan bangga mereka tetap menyebut diri mereka sebagai Permalim dan melakukan ibadah yang sama sekali tidak mirip dengan ibadah umat Muslim. Belakangan muncul cerita bahwa Guru Patimpus, pendiri desa (kini kota) Medan adalah keturunan Raja Sisingamangaraja juga, namun hal ini engan tegas dibantah oleh Keturunan Raja Sisingamangaraja yang mengatakan dalam silisilah marga mereka, yaitu Sinambela tidak dikenal keberadaaan Guru Patimpus yang bermarga Sembiring Pelawi, walau saat ini ada juga penulis Muslim yang memaksakan marga ‘Sinambela’ pada pendiri kota Medan ini.
Al-Ghazwul Fikri
“Misi Kristiani Pisahkan Budaya Tapanuli” begitu artikel dalam majalah Islami Sabili No.12 Tahun XIV 28 Desember 2006/ Dzulhijjah 1407, halaman 56. Sub judul selanjutnya menambahkan, “Identitas ini terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya di Selatan” yakni Mandailing. Jelaslah ini berita bohong karena kita tahu justru Islamisasilah yang pertama-tama menghancurkan budaya Batak yang disebut Sabili sebagai ‘Budaya Tapanuli’. Jihad fisabilillah Aceh telah membuat Batak mengalami statelessness (ketiadaan akan negara) tulis Antony Reid. Selanjutnya serangan jihad fisabilillah Padri membuat orang Batak Mandailing kehilangan jatidirinya sebagai Batak menurut Lance Castles. Lantas mengapa para juru dakwah Muslim ini menjadikan umat Kriten sebagai terdakwa perusak kebersamaan orang Batak? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari al-ghazwu’l fikri atau “serangan pemikiran”. Istilah ini dipopulerkan oleh penulis-penulis Muslim. Al-ghazwu’l fikri mempunyai unsure kekerasan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain yang hendak ditaklukkan. Sebagai serangan non fisik, ia mempunyai pemahaman yang dekat dengan cuci otak atau dengan istilah-istilah lain: kontrol pemikiran, reformasi ideologi. Adian Husaini menyebutnya dengan “penyesatan opini”. Melalui penyesatan opini di mass media misalnya, orang digiring untuk meyakini opini (pendapat yang belum terbukti) yang ditulis oleh penulis sebagai fakta (peristiwa yang benar-benar terjadi), maka hilanglah kesempatan untuk melihat satu peristiwa dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan menganalisanya secara kritis. Artikel ringkas “Dakwah Islam di Tanah Batak” atau yang bisa disebut juga dengan “Islamisasi Tanah Batak” ini hadir untuk menjadi pembanding dan penyeimbang atas berbagai opini yang beredar luas di media massa. Tampaknya ada pihak-pihak yang berusaha merevisi sejarah dengan menonjolkan kekurangan pihak lain sambil menyembunyikan kesalahan sama atau yang lebih parah yang telah dilakukan oleh pihaknya sendiri. Inilah yang kita kenal sebagai “standar ganda”.
Ahmad Arief Rangkuti, ketua Majelis Ulama dearah Pematang Siantar menulis, “colonial Belanda memaksakan Kristen kepada penduduk… Jadi colonial Belanda di Indonesia, selain menjajah negeri ini adalah menjajah keyakinan dan agama Bangsa Indonesia.” Tentu Rangkuty melupakan penjajahan Aceh dengan dukungan Kekhalifahan Turki dan pasukan-pasukan Muslim asing atas Tanah Batak dan memaksakan Islam pada penduduk, langkah yang sama dilakukan juga oleh Pasukan Padri ratusan tahun kemudian pada orang Batak. Selanjutnya Rangkuty menulis mengenai Raja Siantar, Sang Nualuh Damanik yang dicopot karena masuk Islam. Konon Belanda takut karena agama Islam mengajarkan “anti penjajahan sesaman manusia”. Rangkuty juga abaikan fakta bahwa sewaktu pasukan Aceh menyerbu Kerajaan (Batak) Haru maka, “Raja Mbelin-Raja Mbelin Karo yang tetap mempertahankan agama nenek moyangnya Perbegu, seperti Sibayak Namo Surou, dicopto kekuasaannya… Sibayak Lau Cih/Kabanjahe tetap taat menjalankan agama nenek moyangnya, maka wilayahnya yang di Karo Jahe dicopot , dan didudukkan Guru Mbelin Pa Timpus Sembiring Pelawi…” Lance Castles yang sama sekali tidak bersimpati pada Zending Kristen dengan berusaha menunjukkan kerjasama antara Zending dan Belanda justru melihat adanya fakta bahwa di Tapanulis Selatan, “agama tradisional dihancur leburkan kaum Padri… Di Mandailing, penduduk kelihatan tidak bangga dengan kebatakannya, bahkan sebagaimana akan kita lihat, menyangkalnya sekeras-kerasnya… Bahkan orang Batak Toba yang merantau ke Medan boleh jadi terpaksa masuk Islam dan berasimilasi dengan budaya Melayu yang dominan secepat mungkin.” Bahkan dengan dukungan kekuatan ekonomi yang mereka miliki orang Mandailing berusaha menghancurkan identitas kebatakan pada orang-orang Batak Muslim.
Lucu sekali fakta-fakta ini tidak mau diperhatikan oleh Sabili yang hanya mengutip pendapat Castle mengenai Belanda yang peralat agama Kristen sebagai penyebab terpecahnya orang Batak, tapi mengabaikan bahwa Islamlah yang pertama kali secara besar-besaran dan vulgar berusaha hancurkan kebatakan (habatahon). Justru Gereja Methodist dan bukan yang lain yang pertma-tama memberikan harga diri bagi orang Batak perantauan untuk menunjukkan kebatakannya dengan mengadakan kebaktian dalam Bahasa Batak di Batavia (Jakarta). Bahkan sampai masa modern adapt Batak (terutama Batak Toba) dipandang sebagai penghambat laju agama Islam diantara orang Batak. Siasat yang dipakaipun adalah strategi yang sama dengan yang digunakan oleh para juru dakwah (da’i) Islam di masa Kolonial Belanda. Pada masa Kolonial Belanda, para pegawai pemerintah yang beragama Islam masuk sebagai kaki tangan kolonialisme Belanda di Tanah Batak. Tapi mereka juga sekaligus memanfaatkan dukungan Belanda berupa fasilitas, gaji, transportasi dan lainnya untuk melakukan Islamisasi diantara orang Batak. Sampai saat ini siasat itu masih dilakukan, Seminar Dakwah Islam yang diadakan di Medan tahun 1983 merekomendasikan agar pemerintah mengirim pegawai-pegawai negeri yang Muslim ke Tanah Batak Toba untuk melakukan Islamisasi.
Di Humbahas yang 90% penduduknya beragama Kristen tetap saja dipaksakan pengangkatan pejabat Departemen Agama yang beragama Islam tanpa perduli dengan lingkungan dan perasaan masyarakat daerah setempat. Di Tapanuli Utara, pejabat Kejasaan Negeri Tarutung yang Muslim mulai mengadakan kegiatan Islami di kantor pemerintahan. Di Desa Buntu Pane Asahan, camatnya drs Romihi Hasbi menghentikan pembangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang didirikan di tengah kebun coklat milik orang Kristen. Sebelumnya camat Labuhan Deli, drs Azwan Supradi menyuruh bulldozer untuk menggusur Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Jl. Veteran Pasar V Desa Manunggal. Dalam wacana pembentukan Propinasi Tapanuli (Protap), Yusnan Pasaribu dari DPRD Sibolga mengatakan Tim Pemrakarsa Protap mengingini sebuah propinsi Kristen. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sibolga, Nadzar juga mengkhawatirkan umat Islam jadi minoritas di propinsi Kristen. Juga ada nama-nama lain seperti Syukran Tanjung dari Fraksi Golkar, Haji Raden M. Syafei dari Partai Bintang Reformasi, Haji Banuaran Ritonga dari DPRD-SU yang mengaitkan Protap dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), misalnya Haji Syafei mengatakan umat Muslim Tapanuli tidak mendukung Protap. Statement (pernyataan) yang tidak bijak ini menimbulkan reasi dari umat Muslim di Tapanuli yang mendukung Protap sehingga mereka tampil di barisan depan. Tapi hal ini ditafsir berbeda oleh Komandan Banser GP Ansor, Raidir Sigalingging. Raidir yang juga merupakan ketua umum DPP Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batak Islam (P3MBI) menyatakan agar : khusus umat Islam dihimbau menguatkan barisan menghadapi kemungkinan terburuk, terutama kecendrungan kelompok Protap menjadikan oknum beragama Islam sebagai tameng.” Anehnya mereka lupa atau mungkin sengaja mengabaikan sejarah mencatat justru umat Kristen yang sangat toleran pada umat Muslim. Waktu Bupati Nias yang 90% pendudukanya Kristen dijabat oleh Haji Zakaria Lafau tak ada orang Kristen yang protes atau menuduh islamisasi. Waktu daerah-daerah dimekarkan dan perda (peraturan daerah) berbau Syariat Islam seperti di Bulukumba diterapkan umat Kristen dan non Muslim lainnya bisa menghargainya. Saat ini saja menurut laporan yang diterbitkan oleh group Jawa Pos, sudah ada 22 daerah yang menetapkan Perda bernuansa Syari’at Islam. Lantas mengapa jika ada keinginan dari orang Batak Toba yang sebenarnya pluralis ini untuk membentuk Protap dicegat karena motif kebencian terhadap agama Kristen? Umat Kristen di Tanah Batak dipaksa untuk terbuka pada umat Islam tapi umat Islam menolak untuk terbuka, hidup sederajad dan saling menghargai dengan orang lain. HAMKA misalnya memuji orang-orang Muslim yang merantau ke daerah Kristen, kawin dan mengislamkan gadis-gadis Kristen dan membuka mesjid, tapi mencela orang Batak yang menikahi gadis Minang di Gereja. Sungguh suatu standar ganda! Hal ini tetap meracuni pemikiran ‘intelektual’ Muslim, seperti yang dapat kita baca dalam buku karangan Ronidin, dosen Universitas Andalas Padang dan diterbitkan oleh Andalas University Press. “Intelektual” ini menulis, “para misionaris berupaya meracuni mental generasi muda Islam melalui narkoba, miras, trend, mode, pergaulan bebas, serta penyusupan pemikir-pemikir Kristen ke tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara.” Lupalah ‘intelektual’ kita ini bahwa budaya free sex dalam Islam dihalalkan melalui kawin cerai dan bahkan perbudakan; juga penghasil opium terbesar di dunia adalah Afghanistan yang merupakan negara Islam dengan penduduk Muslim yang sangat fanatic. Mengapa umat Muslim kalau mayoritas tak mau terbuka pada umat lain, tapi jika umat Islam minoritas maka dengan berbagai cara minta agar orang lain harus menghargai dan menuruti keinginan mereka? Penulis ingat peristiwa yang dicatat dalam Kitab Hakim-Hakim pasal 9 mengenai Abimelekh seorang tiran yang haus darah, penuh nafsu untuk membunuh dan dikuasai angkara murka. Mula-mula ia masuk dan mempengaruhi orang-orang untuk mendukung dia dengan alasan persaudaraan (hubungan darah dan kekerabatan). Setelah ia berkuasa maka orang-orang menyesal tapi tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Maka kita juga dituntut untuk bersikap arif agar dapat saling menghargai dalam kehidupan beragama dan melakukan syiar agama.
Medan, 25 Juni 2007
Saya menemukan ini dan meneruskannya untuk kita semua, kiranya ditanggapi sebagai penambah wacana bagi kita semua, bukan sebagai usaha untuk memojokkan pihak tertentu, namun justru untuk melihat dari sisi yang lain demi menjawab tuduhan-tuduhan atau dugaan-dugaan yang tak kalah kritisnya:
“Jasmerah” kata Bung Karno, yang artinya “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Namun pelajaran sejarah memang sangat kurang diminati dibanding dengan bidang eksak, bahkan murid-murid program ilmu-ilmu social pun kerap membolos kalau tiba saatnya belajar sejarah. Hal ini membuat banyak orang menjadi buta sejarah sehingga ketika ada para penulis yang imajinatif merubah tulisan-tulisan sejarah dan menyebar luaskannya melalui internet banyak orang yang menelan bulat-bulat, atau kalau pun curiga tidak mampu memberikan penyeimbang. Tulisan dibawah ini “Dakwah Islam di Tanah Batak” adalah upaya memberikan wacana alternative bagi kehadiran tulisan-tulisan revisionis mengenai sejarah Batak, khususnya mengenai penyebaran agama-agama Kristen dan Islam. Tentulah tulisan ini masih perlu diperbaiki dan dikembangkan lebih lanjut.
Selamat membaca !
Brother Samuel Hutagalung, S.Ag
DAKWAH ISLAM DI TANAH BATAK
Oleh : Samuel Hutagalung, S.Ag
“The dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks”
drs. M.D. Mansoer
Bangsa yang Membuka Diri
Indonesia adalah negara yang berketuhanan yang Maha Esa, yaitu setiap penduduknya diwajibkan untuk mengimani adanya suatu Kuasa Mutlak yang jauh berada di atasnya yang kita sebut sebagai ‘Tuhan’. Kepercayaan ini bukanlah kepercayaan yang ‘diimport’ dari negara-negara asing karena memang nenek moyang Bangsa Indonesia, termasuk Bangsa Batak adalah orang-orang yang beragama atau berke-Tuhan-an. Ketut Wiradnyana seorang arekolog yang meneliti situs Bukit Kerang yang terletak 120 kilo barat laut kota Medan menemukan kerangka-kerangka manusia yang berasal dari 5000 – 7000 tahun yang lalu. Situs ini tersebar antara wilayah Deli Serdang, Langkat di Sumatera Utara hingga mencapai Aceh Tamiang. Dari cara penguburan kerangka ini diketahui mereka tinggal di lingkungan yang beragama, karena beserta kerangka ditemukan juga bekal kubur, hematite (batuan lembek berwarna kemerahan) dan letak kerangka membujur utara – selatan. Kerangka ini adalah campuran ras Mongoloid dan Austromelanesaid yang juga mirip dengan temuan manusia purba di Hoa Binh, Vietnam.
Pada masa kuno pun telah terjadi persebaran dan percampuran antar ras manusia yang melahirkan peradaban-peradaban baru. Hornell seorang peneliti khusus Indonesia menemukan data bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bahkan telah merantau sampai ke Sailon (Srilanka), India Selatan dan Madagaskar. Hal ini diketahui dari digunakannya perahu cadik yang merupakan khas Indonesia di daerah-daerah itu, adanya suku bangsa Parawar dan Shanan yang perawakannya mirip orang Indonesia, diketahuinya pohon kelapa di India berasal dari Indonesia dan bahasa Malagasi di Madagaskar termasuk ke dalam rumpun bahasa-bahasa di Indonesia. Maka tidak usahlah kita merasa heran jika sejak awalnya Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mulit-etnis, mulit-bahasa dan multi agama serta selalu terbuka untuk saling mempengaruhi dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Itulah juga yang menjadi sifat orang Batak sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.
Suku Bangsa Batak yang juga sering disebut sebagai Bangsa Batak berdasarkan pembagian menurut bahasa (linguistic) dapat dibagi menjadi :
1. Batak Toba
2. Batak Karo
3. Batak Simalungun
4. Batak Pakpak
5. Batak Angkola – Mandailing
Sebenarnya suku bangsa Batak sama seperti sebagian besar suku-suku bangsa lainnya di Indonesia adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika Bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku-suku bangsa lainnya adalah kaum pendatang. Tidaklah heran jika bangsa Batak masih satu rumpun dengan suku Toraja di Sulewesi Selatan dan dengan Suku Karen di Mnyamar (Burma). Hubungan antara suku di Birma dan suku Batak juga ditegaskan oleh pakar musik etnis Bung Irwansyah Harahap yang mengatakan alat musik Taganing (sejenis gendang) dalam Gondang Batak Toba hanya ditemukan juga di Uganda dan Birma. Walaupun kepercayaan tradisional Bangsa Batak mengatakan orang Batak berasal dari Pusuk Bukit, keturunan si Raja Batak namun menurut penelitian ilmiah orang Batak berasal dari beberapa kelompok yang beremigrasi ke tanah Batak secara terpisah dalam kurun waktu yang berbeda. Dengan keanekaragaman daerah yang ditempati oleh gelombang migrasi ini maka kebudayaan yang pada mulanya satu bertumbuh dengan sendiri-sendiri karena terpisah oleh geografis, namun tetap sebagai orang Batak, hal ini misalnya dibuktikan dengan abjad Batak yang hampir sama dalam kelima sub-etnis Batak di atas. Kehidupan Bangsa Batak pun berlangsung secara alami tanpa ada peninggalan tertulis.
Walaupun sampai kini belum ditemukan peninggalan tertulis sejarah Batak seperti prasasti namun keberadaan daerah yang kita kenal sebagai Sumatera Utara saat ini sudah dikenal sejak masa-masa awal Masehi. Ptolomeus yang hidup pada pertengahan abad ke-dua Masehi di Kota Iskandariyah, Mesir menulis buku Geographia yang tetap jadi buku pegangan hingga abad ke- 15 M menyinggung tentang Pulau Sumatera dan pelabuhan Barus (Fansur) yang ia sebut dengan nama Barousai yang kira-kira terletak di Desa Lobu Tua ( Labadiou). Dalam literature Hindu India, Pulau Sumatera disebut Karpuradwipa yang berarti ‘Pulau Kapur (Barus)’ dengan pelabuhannya yang terkenal Baraukacha (Barus). Barus dikenal terutama karena perdagangan kapur barus yang sangat popular masa itu. Bagi sebagian orang hal ini dijadikan sebagai dasar bahwa agama Islam telah masuk ke Tanah Bata melalui Barus sejak masa Nabi Muhammad masih hidup atau tidak lama setelah beliau mangkat. Pendapat ini dianut oleh Haji Mohammad Said, Djasmun Qoharuddin Nasution, Dada Mueraxa. HAMKA juga menganut teori bahwa agama Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad I Hijriyah ( 600-an Masehi) langsung dari Tanah Arab. Dugaan ini diambil dari catatan-catatan perjalanan Bangsa Arab maupun Tiongkok. Thomas W Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam mengatakan sejak abad ke-2 sebelum Masehi para pedagang Arab telah menguasai perdagangan di Timur, dan walaupun tak ada bukti arkeologis dan tertulis diyakini Bangsa Arab ini tentu juga telah membangun pos perdagangan di Indonesia. Tetapi barulah pada abad ke-9 Masehi para ahli ilmu bumi Arab menyebut kepulauan Indonesia dalam tulisan mereka, tetapi dalam Tarikh Tionkgok pada tahun 674 M terdapat catatan mengenai seorang pemimpin Arab (Amir – Red.) dan rombongannya menetap di Pantai Barat Sumatera. HAMKA menjelaskan sebuah catatan Tiongkok kuno lainnya secara lebih rinci. Dalam catatan Tiongkok ini disebut mengenai Kerajaan Holing ( Kalingga ) yang diperintah oleh Sima ( Ratu Sima ) yang memeluk Agama Buddha. Karena kemamuran dan keamanannya negeri ini terkenal sampai ke berbagai penjuru dunia hingga Bangsa Ta-Cheh (Arab) datang ke Kerajaan Holing sekitar tahun 674 – 675 M (sekitar 12 tahun setelah Nabi Muhammad wafat). Dengan jelas HAMKA menyamakan orang Arab ini sebagai orang Islam, “Orang Arab atau orang Islam itu, masuk tetap meramaikan pelayaran dan perniagaan…” tulisnya.
Pengaruh Arab
Bangsa Arab dalam sejarah kuno sudah diakui sebagai salah satu bangsa yang mengenal perdagangan dan saling berinteraksi dengan kebudayaan bangsa-bangsa lain melalui jalur perdagangan ini, kota dagang Petra da Mekah adalah contohnya. Jadi tidaklah heran bila baik sejarah Yahudi, Kristen maupun Islam misalnya telah mencatat keberadaan orang-orang Yahudi dan berbagai penganut agama lain di tanah Arab. Dalam Kitab Kisah Para Rasul dikatakan sejak hari Pentakosta dimana Roh Kudus dicurahkan bagi umat manusia Injil telah diberitakan dalam bahasa dan budaya Arab (Kisah Para Rasul 2:12), bahkan Rasul Paulus sempat memperdalam ilmu agama Kristen di tanah Arab (Galatia 1:17-18). Salah satu suku Arab yang menjadi Kristen berhasil mendirikan sebuah kerajaan Kristen yang disegani yang dikenal sebagai Kerajaan Ghasanid yang terdiri dari Bani Ghasanid yang menganut Kristen Orthodox Syria. Pada umumnya orang-orang Arab yang beragama Kristen adalah orang-orang terdidik baik sebagai pemimpin agama, ilmuan, negarawan dan pedagang serta kedokteran. Pengaruh Byzantium (Romawi Timur) waktu itu sangat terasa di sebagian wilayah Arab. Kemudian muncullah Agama Islam. Walaupun banyak orang berusaha membentuk opini bahwa agama Islam disiarkan secara damai namun fakta sejarah membeberkan Agama Islam baru bisa berkembang di Asia termasuk Arab, Afrika dan Eropa setelah didahului oleh penaklukan-penaklukan ( baca : penjajahan ) pasukan Arab Islam. Sejarawan Muslim klasik, Ibnu Khaldun ( 1332 – 1406 M ) melukiskan keadaan sejarah awal berhasilnya Bangsa Arab Islam menaklukkan musuh-musuh kafirnya, “Apabila Bangsa Arab menaklukkan suatu negeri, maka kehancuran segera menimpa negeri itu… sebab tujuan mereka yang pokok ialah mendapatkan uang dengan perampokan atau penarikan denda (jizyah). Sekali tujuan ini sudah tercapai maka mereka sedikitpun tidak menaruh perhatian untuk mencegah kejahatan, atau untuk memperbaiki keadaan rakyat atau meninggikan kesejahteraan mereka.” Ibnu Khaldun dengan jeli telah melihat bahwa politik Byzantium beda dengan politik Islam. Dalam tradisi Byzantium motivasi melakukan penyerbuan ke tempat lain semata-mata karena dasar politis dan ekonomis, agama tidak begitu menonjol. Maka Ibnu Khaldun menulis, “… ajaran agama lain… tidak memaksakan kekuasaannya kepada mereka, karena agama itu tidak menuntut dari mereka supaya menguasai orang lain, sebagaimana halnya dengan Islam melainkan hanya menegakkan kepercayaan mereka diantara mereka sendiri.” Tetapi Islam adalah sebuah agama kaffah (holistic) sehingga “… berusaha mengislamkan seluruh umat manusia dengan ajakan atau kekerasan, maka jihad terhadap orang-orang kafir adalah wajib.” Karena Islam adalah agama kaffah (holistic) yang meliputi din wa daulah ( agama dan politik) maka intrik-intrik politik juga tidak dapat dilepaskan dari sejarah Islam, termasuk masalah seks, uang dan kekuasaan atau yang sering disebut juga sebagai harta, takhta, wanita.
Kepada umat non-Muslim hanya diberikan tiga pilihan yaitu :
1. Masuk Islam
2. Bayar pajak sebagai warga negara kelas dua yang dikenal sebagai dhimi/ dzimi
3. Diperangi atau dimusnahkan
Ternyata banyak yang mengambil pilihan pertama dan kedua, sedangkan Byzantium yang memilih untuk mempertahankan kemerdekaannya tidak mampu menghempang serangan pasukan Islam. Meskipun begitu tidak serta merta bangsa-bangsa Arab dan lainnya yang telah takluk di bawah kekuasaan Islam menjadi murtad dari agama mereka dan masuk Islam. Karena kurangnya tenaga ahli dari Bangsa Arab maka mau tidak mau para penguasa Arab Muslim tetap memakai orang-orang kafir sebagai pegawai-pegawai mereka, karena orang-orang Arab yang baru berkuasa ini masih awam dalam ilmu kedokteran, tata negara, pembukuan dan lainnya. Sejarah mencatat Khalifah Umar II ( 717 – 720 ) memiliki seorang dokter (tabib) terbaik di zamannya yang adalah seorang Kristen bernama Tayadzuq. Pada masa Khalifah al-Mu’tasim (834 – 842), Saimujah seorang Kristen menjadi pejabat penting negara yang berhak mensahkan dokumen-dokumen negara, Ibrahim seorang Kristen yang lain adalah Bendahara Negara. Pada masa al-Mu’tadil ( 892-902M) Umar bin Yusuf, Gubernur Anbar adalah seorang Kristen. Adud al-Dawlah (949-952) dari Dinasti Buwaihid memiliki Perdana Menteri yang beragama Kristen yaitu Nasr bin Harun. Sebelumnya pada masa Kahlifah Mua’awiah (661-680 M) banyak juga orang Kristen memegang posisi kunci dalam pemerintahan. Bahkan sewaktu pemerintahan Islam masih menjajah Spanyol (Cordova) pernah muncul Subh, seorang wanita Kristen yang sangat berpengaruh untuk menentukan jalannya pemerintahan. Secara perlahan namun pasti posisi orang-orang Kristen ini digeser begitu umat Islam sudah menguasai ilmu-ilmu dari pemilik kebudayaan yang mereka taklukkan, dan ini terjadi sebelum masa Perang Salib yang dilancarkan Barat sebagai reaksi atas aksi jihad fisabilillah umat Muslim. Bahkan nasib orang-orang taklukan sering tidak mendapatkan perlindungan hukum. Banyak anggota keluarga yang dipisahkan paksa dan dijadikan budak, termasuk para gadis yang mengalami kawin paksa dan pelecehan seksual lainnya. Wanita-wanita budak ini tetap boleh menganut agama mereka tapi anak-anaknya yang lahir harus dididik secara Islam. Bahkan ssalah seorang istri Nabi Muhammad yang bernama Shofiyah adalah hasil rampasan perang. Sumber lain mengatakan Mariyah al-Qibtibiyah (Maria orang Kristen Koptik Mesir) yang dihadiahkan Gubernur Mesir, Mawqaqis (yang adalah seorang Orthodox Yunani) juga adalah seorang budak (sahaya) Nabi. Baik Kitab Suci umat Muslim yaitu Al-Qur’an maupun Nabi Muhammad tidak melarang praktek perbudakan terhadap umat non-Muslim ini, mudah terkesan memberi legalitas. Qur’an maupun hadits, yang adalah sumber riwayat Nabi Muhammad dan sumber teladan bagi seluruh umat Muslim mencatat :
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Bolah jadi kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu amat baik bagimu.” (Al Baqarah 2:216)
“Perangilah orang-orang… yang diberikan Alkitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (= pajak ketundukan kepada tuan Arab Muslim) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (hina).” (QS At Taubah 9:29).
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki…” (QS An Nisa’a 4:24).
“Nabi Muhammad bersabda, “Berperang kalian, kalian akan dapat ghanimah (harta rampasan perang) gadis-gadis Romawi.”
Nabi Muhammad bersabda, “Setiap ummat itu mempunyai waktu rekreasi dan rekreasi ummatku adalah jihad fisabilillah (berperang)”
Nabi Muhammad bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan aku (Nabi Muhammad) utusan Allah, menegakkan sholat, membayar zakat” (HR Bukhari dan Muslim).
Selain itu penggunaan materi untuk mengajak orang masuk Islam dilegalkan dalam sistem zakat, “Sesungguhnya zakat-zakat itujhanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya…” (QS at-Tabah 9: 60).
Selain mendapatkan kekuasaan politik bagi agama Islam dan budak-budak wanita yang bisa digunakan untuk kawin paksa maka kekayaan materi juga merupakan salah satu alasan bagi para da’I (pendakwah/misionaris) Muslim untuk menyebarkan agama Islam. Dalam QS Al Fath (48): 18-21 dapat diketahui bahwa, “… Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil… Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak, yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu… Dan (telah menjanjikan pula kemenangan-kemenangan) yang lain (atas negeri-negeri) yang belum dapat menguasainya…”. Perhatikanlah bahwa ternyata para mujahidin (pejuang Muslim) sangat terpikat oleh motivasi duniawi hingga Allah membujuk mereka dengan berbagai jenis harta hasil rompakan/jarahan. Para penerus Nabi mewarisi semangat yang sama. Khalifah Abu Bakr menulis surat kepada orang-orang Mekah, Taif, Yaman dan semua orang Arab di Nejed dan Hijaz, yang berisi seruan untuk ikut dalam jihad fisabilillah (perang suci/perang di jalan Allah) dan memperoleh rampasan perang dari orang-orang Yunani.”
Terdesaknya orang-orang non Muslim akibat serangan pasukan Arab Muslim mengakibatkan orang-orang non Muslim terutama Kristen mencari alternative di luar daerah-daerah jajahan Islam. Sejak lama orang-orang Kristen dan orang-orang Arab non Muslim (termasuk Arab Kristen) dan orang-orang Timur Tengah lainnya telah memiliki keahlian berlayar dan berdagang. Keahlian berlayar belum dimiliki oleh penduduk Mekah dan Madinah tempat dimana agama Islam lahir dan tumbuh karena daerah itu bukan daerah maritim. Selain itu dalam daerah yang telah ditaklukkan Islam ada larangan bagi umat non-Muslim untuk berdakwah pada umat Muslim, tapi umat Muslim sebagai penakluk bebas berdakwah pada umat non Muslim. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau para misionaris Kristen yang masih terisisa di Timur Tengah bergerak keluar dari Darul Islam (daerah yang dikuasai Islam dengan berlakunya Syari’at Islam) dan bermisi di luar Darul Islam. Penduduk non Muslim dalam Darul Islam dalam berbagai cara mendapatkan tekanan bahan terkadang paksaan untuk murtad dan masuk Islam. Tekanan berupa pajak yang tinggi tapi mendapat status yang rendah dalam hukum, penghalangan dari partisipasi politik dan ekonomi membuat banyak orang lebih memilih untuk masuk Islam dan murtad dari agama lamanya. Di Bukhara misalnya, kekuasaan agama Buddha dihancurkan dengan memberi kemudahan financial (keuangan) bagi yang mau masuk Islam dan menghancurkan rumah-rumah ibdah non Muslim. Namun bahkan sebelum agama Islam menekan agama Kristen, misi Kristen telah dijalankan sampai ke Asia bahkan ke Indonesia.
Seorang penulis sejarah yaitu Syekh Abu Salih al-Armini menulis mengenai gereja-gereja di benua Asia dan Afrikamengatakan bahwa agama Kristen telah masuk ke pulau Sumatera, khususnya di pantai barat Sumatera Utara sejak abad ke-7 Masehi. Pada masa itu para pedagang Arab, Persia dan India yang Kristen sering juga membawa para rahib dalam pelayaran dagang mereka. Al-Armini menulis, “Fanshur (Barus) adalah kota yang terkenal karena kapur barus yang berasal dari sana… Di sana terdapat banyak gereja, salah satunya adalah Gereja Saidat al-Adhara al Thaharat Martamiryam ( Santa Maria Perawan yang Murni). Jadi HAMKA memang terlalu buru-buru dalam menyimpulkan bahwa agama Islam pasti telah masuk sejak abad pertama Hijriah di Indonesia karena sudah ada orang Arab yang hadir di Indonesia. Pertama Arab waktu itu masih banyak dihuni oleh orang Kristen Arab, kedua : umat Muslim pada abad pertama belumlah menjadi pedagang tangguh yang melintasi lautan menuju ke luar negeri. Armada laut Muslim baru ada sejak pemerintahan Yazid – 1 dari Dinasti Muawiyah. Namun harus diingat bahwa orang-orang Kristen Arab waktu itu masih sangat berpengaruh dalam politik, ekonomi Arab Muslim. Umat Muslim lahir dari daerah non Maritim, justru pedagang-pedagang Arab Kristenlah yang lebih banyak bergerak waktu itu. Jadi sebelum mesjid berdiri di Sumatera Utara, Gerejalah yang yang sudah ada lebih dahulu.
Batak di Barus
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Ptolomeus adalah orang pertama yang kita ketahui mencatat tentang penduduk di Sumatera Utara pada pertengahan abad ke dua Masehi. Dalam catatannya itu Ptolomeus mencatat adanya praktek kanibalisme di Barus. Sumber-sumber Arab, India dan Eropa juga menegaskan adanya praktek kanibalisme di Sumatera, juga Marco Polo membenarkannya. Pada tahun 1430, Nicola de Conti menjadi orang Eropa pertama yang menggunakan kata “Batak” (Batech) untuk menyebut suku kanibal di Sumatera. Dalam catatan-catatan Tiongkok kuno seperti catatan Chau Ju-Kua (1226 M) ditemukan kata Bo-ta yang dihubungkan dengan Kerajaan Sriwijaya. Sedang dalam catatan Dinasti Yuan (Mongol) dikatakan bahwa Kerajaan Samudra Pasai dan Ma-da (Ba-ta) memberikan upeti pada Kaisar Tiongkok pada tahun 285-1286 Masehi. Tome Pires seorang penjelajah menulis di tahun 1515, “Kerajaan Bata berbatasan dengan Kerajaan Pase dan Kerajaan Aru (Daruu). Raja negeri ini bergelar Raja Tomjano (Timor Raja?). Dia seorang prajurit Muslim. Ia sering berlayar untuk merampas (ghonimah). Dia adalah menantu Raja Aru.” Raja Tomjano ini juga mungkin merupakan orang yang sama atau keturunannya yang ditemui oleh seorang penjelajah Eropa lain yang bernama Mandes Pinto di tahun 1540 M. Pinto Tome Pire menyatakan Kerajaan Batak ini menguasai daerah Tamiang – Perlak yang memiliki sumber bahan bakar minyak. Di daerah ini dari Langkat sampai Ramiang terdapat situs-situs bukti kerang yang menjadi salah satu bukti asal leluhur penduduk di Sumatera, mungkin termasuk orang Batak dan Aceh saat ini. Mungkin ini juga berhubungan dengan kepercayaan orang Batak Toba bahwa leluhur orang Batak punya tiga orang keturunan. Yang satu pergi ke Aceh, yang satu pergi ke Padang (Minangkabau) dan yang satu lagi tetap tinggal di Tanah Batak. Namun bagi penjelajah Mendes Pinto, Kerajaan Bata yang mungkin merupakan campuran Batak Karo dengan etnis lain ini bukanlah kerajaan kanibal. “Kehormatan” kanibal ini diberikan Pinto pada penduduk pantai barat (west coast) di atas Singkil, yang sekarang merupakan bagian dari Aceh. Pada masa penulisan Pinto ditahun 1639-1640 ini Kerajaan Aceh yang Muslim memang telah melakukan jihad fisabilillah dan menguasai kerajaan-kerajaan kecil lainnya di Sumatera Utara, sebagaimana yang dicatat dalam sumber-sumber sejarah Aceh dan Turki. Pada masa Pinto ini Kerajaan Batak yang non Muslim dipertentangkan dengan Kerajaan Aceh yang Muslim yang terus berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Sumatera. Pinto menggambarkan Kerajaan Batak yang bertahan dari invasi Islam ini beribukotadi Panaju, pada pantai barat (west coast) sekitar 50 km dari Guatemgin (Pinto tidak menulis nama lokal kota ini). Namun mungkin ini adalah salah satu sungai di pantai barat di selbelah selatan Singkil sebagai jalur memperoleh kapur (barus) dan kemenyan (camphor and benzoin) dari daerah sekitar Danau Toba. Ibu kota Panaju dari Kerajaan Batak ini adalah sisa dari Kerajaan Pano (Pao – Barus) yang pada masa itu telah takluk kepada Islam. Pada akhirnya Raja Batak ini terpaksa mengikat janji dengan Sultan Aceh setelah tidak mampu bertahan dari invasi yang terus menerus. Namun Sultan Aceh mengkhianati Raja Batak dan membunuh keluarganya. Raja Batak dengan bantuan pemimpin lokal berjuang melawan penjajahan Aceh, tetapi rezim Aceh yang dibeking imperium ( kekhalifahan ) Turki yang adalah negara super power (adi daya) waktu itu jelas terlalu kuat bagi Bangsa Batak. Bangsa Batak mengungsi ke pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan internasionalnya dikuasai pasukan pendudukan Aceh dengan dukungan Turki, mirip seperti rezim Irak yang dilindungi AS saat ini.
Sejak saat itu orang Aceh dengan memandang hina menyebut semua orang-orang yang tidak mau dipaksa masuk Islam dan tunduk pada penjajahan Aceh sebagai ‘Batak’. Teks Aceh yang ditulis pada abad ke-17 yang berjudul “Hikayat Aceh” menyebut etnis Batak sebagai orang-orang non Muslim. Arona Diego Barros (1824-1907) professor geografi dari Amerika Latin menggambarkan kondisi pulau Sumatera yang dihuni oleh dua golongan, Muslim dan non Muslim. Orang Muslim adalah kaum pendatang yang berkembang melebihi penduduk asli yang dulunya tidak mengenal hubungan internasional seperti pendatang Muslim ini. Akibatnya penduduk asli tersingkir dan para pendatang menjadi tuan-tuan dan penguasa-penguasa baru. Penduduk yang tersingkir ini dipandang tidak berbudaya dan kenibal yang disebut sebagai Batak. Belakangan ketika orang-orang Tionghoa dan Minahasa masuk ke Sumatera mereka disebut sebagai ‘Batak’ karena tidak memeluk Islam.
Kampak Belah Kayu
Karena posisinya yang stragegis, Barus mengalami berbagai serangan dari luar untuk dikuasai. Salah satu serangan itu berasal dari Kerajaan Chola di tahun 1025 M dari India yang berhasil menaklukan Barus dan Aceh yang waktu itu merupakan kerajaan bawahan Sriwijaya. Koloni pedagang India di Lobu sekitar satu kilo dari Barus muncul sebagai hasil dari serangan kerajaan dari Raja Chola itu. Pada tahun 1872 ditemukan prasasti di Lobu yang isinya, “Pada tahun 1088 ada 1500 orang Tamil dari India Selatan bertempat tinggal di Barus. Mereka mendirikan kongsi dagang bagi para pedagang kapur barus dan kemenyaan.” Menarik untuk kita ketahui bahwa India Selatan berisi bukan saja penduduk yang beragama Hindu, namun juga beragama Kristen yang dikenal sebagai Kristen Mar Thoma, mereka disebut juga sebagai Kristen Malabar.
Meskipun begitu candi-candi Buddha Tantrayana – lah yang justru masuk jauh sampai ke dalam Sumatera Utara, yakni di Padang Lawas dimana Kerajaan Portibi, Tapanuli Selatan yang berasal dari bahasa sansekerta pertiwi berdiri dan meninggalkan kompleks candi Bahal. Candi-candi ini berasal dari tahun 1042 Masehi. Jadi sezaman juga dengan masa serangan Kerajaan Chola dari India. Para peneliti seperti Harry Parkins menemukan adanya pengaruh India setidaknya dalam budaya Batak Karo dan Toba, namun dalam budaya Batak Toba pengaruh Hindu itu tidak sampai meresap.
Sedangkan situasi dunia waktu itu Islam sedang mengalami masa-masa kejayaannya sebagai kekuatan super power dunia yang dapat bertindak sewenang-wenang demi kepentingannya, mirip seperti Amerika Serikat saat ini. Sebagian benua Eropa, khususnya Eropa Timur termasuk Spanyol dan Portugis masih berada dalam penjajahan Islam. Misalnya Spanyol dijajah selama 781 tahun (711-1491 M), Portugis dijajah Islam selama 533 tahun (716-1249M). Di India pasukan Arab telah menginvasi daerah yang kini kita kenal sebagai Afghanistan sejak abad ke-10 Masehi dan menghilangkan Agama Buddha di sana dan terus masuk secara perlahan namun pasti ke India dan memunculkan dinasti-dinasti Muslim di India. Kesultanan Delhi (1206-1526) pada umumnya bersikap ekslusif dan menolak keterlibatan non-Muslim (kafir). Kekhalifahan Turki Seljuk dan Usmaniyah yang dasarnya sudah dimulais ejak 1071 M dan berkembang menjadi ‘polisi dunia’ waktu itu memberikan hadiah bagi orang-orang Kristen yang mau murtad ke Islam dengan menggunakan jizyah dari orang-orang yang tetap setia pada iman Kristen. Bahkan pada abad ke-13 rezim Turki menindas orang Kristen dan menutup gereja-gereja, rumah sakit- rumah sakit Kristen, sekolah, pasnti asuhan bagi anak-anak Kristen dan menyitanya. Anak-anak Kristen dirampas paksa dan dijadikan sebagai budak militer. Tetapi karena di Balkan kekuasaan Turki tidak sekuat di Asia Kecil maka terpaksa diberikan toleransi bagi umat Kristen. Dalam masa dan kondisi seperti inilah Aceh membuka hubungan politik dengan Turki. Sama seperti rezim-rezim yang berkuasa saat ini membutuhkan dukungan dari negara super power untuk mempertahankan rezimnya, pada zaman dulu juga situasinya sama. Misalnya Sultan Agung setelah menerima gelar Sultan dari Mekah yang merupakan bagian dari kekhalifahan Turki di tahun 1641 M maka ia segera melakukan ekspansi-ekspansi. Ekspansi ini dilakukan baik terhadap kerajaan-kerajaan Islam lainnya maupun kerajaan-kerajaan Hindu. Para tawanan non Muslim atau penduduk taklukkan dipaksa masuk Islam, sesuai dengan syariat Islam dan adab jihad fisabilillah. Di sisi lain pada masa ini juga sebagian daerah jajahan Islam seperti Portugis berhasil merdeka dan kini mereka harus berjuang untuk melemahkan kekhalifahan Turki agar mereka tidak diancam oleh penjajahan Turki lagi. Salah satu cara adalah dengan mencari sumber rempah-rempah yang waktu itu sangat dibutuhkan bangsa-bangsa Eropa. Selama ini para pedagang Muslim mendapatkan keuntungan yang besar dengan menjadi pedangan perantara. Dan keuntungan itu secara tidak langsung juga memperkuat kekhalifahan Turki yang adalah ancaman bagi kemerdekaan dunia waktu itu. Para pedagang perantara ini memang mengambil keuntungan yang berlipat ganda dan jauh lebih tinggi daripada para petani Indonesia yang menghasilkan rempah-rempah itu. Misalnya 112 pound cengkeh dijual seharga dua dukkat oleh pedagang Indonesia pribumi pada para pedagang Muslim dari Jawa dan lainnya, tiba di Malaka harganya telah menjadi 10 dukkat oleh pedagang Muslim, dan diteruskan ke pedagang Arab Muslim sehingga kita bisa bayangkan berapa kali lipat harganya ketika tiba di Eropa. Aneh kalau hanya dikatakan orang Eropa Kristen yang menindas Bangsa Indonesia ketika orang yang menyebut diri sebagai ‘saudara-saudara Muslim’ (ikhwan) juga tidak kalah serakahnya. Inilah kapitalisme zaman klasik, dimana pedagang Muslim dari Gujarat, Jawa dan mungkin Tiongkok menindas atau menipu orang-orang Muslim baru di Tarnate dan Tidore. Maka kedatangan Bangsa Portugis disambut baik oleh Sultan Tarnate dan Tidore yang berebut mengundang Portugis untuk mendirikan kongsi dagang mereka agar penghasilan Sultan bertambah. Keserakahan Portugis dan penindasan Sultan Hairun dari Tarnate terhadap ummat Kristen akhirnya merusak hubungan ini.
Dengan menyadari dan mengetahui kondisi ini tidaklah mudah bagi kita untuk melihat sejarah secara ‘hitam-putih’. Kita tahu tidaklah benar bahwa bangsa-bangsa Barat adalah para penjahat sedangkan kerajaan-kerajaan di Indonesia yang dibantu oleh orang-orang Muslim adalah orang baik-baik yang dijadikan korban oleh bangsa Barat. Sebelum bangsa Barat datang Kerajaan-Kerajaan di Indonesia sudah berperang satu sama lainnya, kedatangan Islam tidak meredakan hal ini malah menambah jumlah dan intensitas konflik, bahkan terhadap sesama kerajaan Islam seperti Aceh, Johor dan Demak. Bahkan Kerajaan Aceh ini juga yang menghancurkan Kerajaan Islam pendahulunya yaitu Samudra Pasai. Kerajaan Samudra Pasai dengan raja yang berpangkat Al Malikush Shalih (Seorang Raja Yang Taat Beragama/Saleh) mendapat pengaruh dari raja Damasukus yang bernama Al-Malikush Shaleh Ismail (memerintah 1237-1238) atau Al Malikush Nadjmuddin Ayubi yang merebut Yerusalem dari Tentara Perang Salib. Kesultanan Aceh dengan bantuan pasukan dan persenjataan Turki dan Muslim Ethiopia (Abbysina) berjihad dan berhasil menguasai kota-kota pelabuhan penting di Sumatera, bahkan pada pertengahan abad ke enam belas berhasil menyerbu dan mengislamkan Minangkabau yang masih Hindu waktu itu. Dan penguasaan ekonomi melalui peperangan (jihad fisabilillah) adalah sesuatu yang dibenarkan dalam agama Islam dan tidak asing untuk dilakukan. Sedangkan bangsa Barat yang datang lebih mementingkan dagang (untung) daripada agama. Persatuan Dagang Inggris bahkan memiliki rencana untuk memberikan seorang wanita terpelajar Inggris untuk menjadi salah satu isteri Sultan Aceh dengan berkata, “Agama tidak menjadi soal.” Jadi pendapat Profesor Ahmad Mansur Suryanegara yang meneruskan opini bahwa penjajah Kristen datang ke Indonesia dengan motivasi gold, glory, Gospel (eman – kekayaan, kemuliaan dan penginjilan), serta memaksa pribumi Islam melepaskan agamanya untuk masuk agama penjajah dapat ditinjau kembali.
Para penulis dan sejarawan Muslim berusaha merevisi jalannya dakwah Islam di Indonesia, “… sejarah negeri Aru (Haru/Karo)… sebagai masa peralihan antara sistem ke Hinduan kepada sistem Islam…, jelaslah bagi kita bahwa penyiaran Agama Islam itu berlangsung di kerajaan yang bersifat Hindu dengan aman dan damai.” Memang Indonesia pada dasarnya memiliki penduduk yang bersikap terbuka terhadap pendatang asing, maka dalam masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Buddha dengan sekolah Buddha yang terkenal di Sumatera kita melihat, “di Bandar Kalah ditemui berbagai penduduk: Muslim, Hindu dan Parsia” menurut laporan Abu’l-Fida. Sedang di dekat Bandar Kalah ada juga Zobog dimana seorang pedagang Arab menjual burung kakaktua yang mampu berbicara Arab, Persia, Hindu dan Yunani. Kerajaan-kerajaan Hindu Melayu menjadikan orang-orang Muslim sebagai penasehat Raja Hindu. Patutlah diingat pada masa Kerajaan Sriwijaya ini, kekuasaan Byzantium yang Kristen masih kuat sehingga adanya pedagang Arab yang menjual burung kakaktua yang bisa berbahasa Yunani menandakan adanya juga kehadiran orang-orang Yunani atau Byzantium yang beragama Kristen di Indonesia. Namun begitu pengaruh Islam kuat maka hilanglah semangat toleransi dan pluralisme ini. Misalnya pelabuhan Barus yang dulu dikuasai bangsa India Hindu akhirnya dikuasai oleh kekuasaan kaum Muslim dan mendesak para pendahulu mereka ke pedalaman Pakpak, Karo dan lainnya. Terbentuklah marga-marga Karo dari India seperti Sembiring dan Lingga. Sayang sekali keterbukaan Hindu – Buddha tidak begitu dilanjutkan oleh para penguasa Muslim yang baru. Berbeda dengan pengakuan penulis Muslim bahwa Islam masuk secara damai di kerajaan Hindu, sejarawan lain mencatat Haru (Karo) diislamkan dengan paksa oleh Aceh melalui jihad fisabilillah. Alas, Gayo, Singkil yang dulunya termasuk wilayah Haru (Batak Karo) semuanya mengalami islamisasi paksa antara 1539 – 1564. Dalam pertempuran ini kesultanan Aceh dibantu oleh mujahiddin (tentara) asing Muslim dari Turki dan Gujarat. Dengan menggunakan meriam-meriam yang sebelumnya digunakan untuk membantai orang-orang Kristen di Konstantinopel yang menamatkan riwayat Byzantium maka penduduk dan pejuang-pejuang Hindu Karo pun mengalami pembantaian yang sama. Mendez Pinto adalah seorang saksi mata pertentangan antara orang-orang Batak Karo Hindu melawan agresi militer Aceh Muslim. Orang-orang Karo memintabantuan Portugis dan berhasil membantai tentara Aceh termasuk tentara asing (koalisi internasional Islam) Muslim dari Turki, Arab, Malabar dan Ethiopia. Kemenangan ini tidak lama dinikmati karena kelak Sultan Iskandar Muda berhasil menembus Kerajaan Hindu dan masuk ke Minangkabau yang juga masih Hindu waktu itu dan memaksa semua penduduk untuk murtad dan masuk Islam. Agama Islam dijadikan alat politi untuk seragamkan dan tundukkan penduduk. Para pendongeng Muslim awal mencoba menghapus ingatan ini dengan menjadikan Bangsa Portugis sebagai kambing hitam. Dalam versi mereka Putri Hijau beru Sembiring diperkosa beramai-ramai oleh tentara Portugis dan tubuhnya diledakkan dengan meriam. Sedangkan sejarah justru mencatat bahwa orang-orang Muslim dari Acehlah yang membantai Putri Hijau bre Sembiring Meliala dalam jihad fisabilillah mereka. Putri Hijau sebenarnya justru mendapat bantuan dari Portugis untuk melawan agresi militer Aceh. Setelah masuk Islam maka orang-orang Batak Karo dilepaskan dari budaya aslinya dan dijadikan sebagai orang Melayu. Dengan kemenangan Sultan Aceh ini maka ia secara sepihak menyebut dirinya sendiri sebagai ; Sultan Alauddin Riayisah al Kahhar Raja Barus, Raja Negeri Pedir dan Pasai, Maharaja Batak, Pangeran Lumbung Emas Minangkabau dan Penakluk Haru. Sejak itu juga kesultanan Aceh makin memonopoli perdagangan yang melintasi Pulau Sumatera. Aceh menguasai sumber-sumber merica yang sangat tinggi harganya waktu itu. Motivasi agama, dan dagang (ekonomi) menjadi satu dalam invasi Aceh ini. Diakui bahwa Sultan Iskandar Muda memerangi orang Batak dalam rangka jihad fisabilillah demi :
1. Mengikis habis pengaruh Portugis
2. Menyebarkan agama Islam pada orang Batak (Karo)
3. Menguasai perdagangan merica yang sangat strategis dan menggiurkan waktu itu
Berkali-kali para pejuang Batak melawan penindasan Aceh namun berhasil ditumpas.
Proses de-Batakisasi ini bukan dialami oleh orang Batak Karo saja tetapi juga orang Batak lainnya. Sejarawan dan budayawan Melayu Muslim, Tengku Luckman Sinar mengakui, “di kalangan suku-suku Karo, Simalungun dan Perdambanan, Islamisasi itu sekaligus dilaksanakan dengan proses’melayunisasi’. Sekali sudah masuk Melayu ( masuk Islam ) maka marga-marga tidak dipakai lagi, bahasa Melayu dipakai sehari-hari, begitu juga cara berpakaian dan adat Melayu.” Ia melanjutkan, “orang-orang Mandailing, Sipirok bahkan orang-orang Toba yang Islam, telah mencatatkan diri sebagai ‘Melayu’ ketika akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekah masa itu.” Hasilnya sangat efektif. Orang Batak melupakan identitas sendiri, Batak Pardembanan malah punah dan jadi Melau sehingga muncul istilah Kampak belah kayu, Batak jadi Melayu. Sewaktu Belanda masuk maka sultan-sultan Melayu asal Btak ini merampas tanah penduduk yang tidak mau murtad dan masuk Islam dan menyerahkan tanah itu untuk perkebunan-perkebunan asing. Orang-orang Batak terutama suku Batak Karo didesak untuk mendiami lahan lahan yang tidak baik. .
Islamisasi Tanah Batak
Islamisasi yang dilakukan oleh Kesultanan Aceh mengakibatkan orang Batak kehilangan jati dirinya sebagai Batak dan menjadi Melayu, mirip dengan dampak kuatnya pengaruh Barat saat ini yang membuat orang menjadi kebarat-baratan. Hilangnya jati diri seseorang atau suatu masyarakat dapat dikarenakan :
1. Dominasi budaya lain yang lebih kuat dan lebih berpengaruh dari budaya lokal
2. Rasa malu denagn jati diri sendiri, dan
3. Dengan mengambil budaya dominan diharapkan dapat ikut ambil bagian dalam kekuasaannya juga
Selain itu juga didorong oleh adanya pengaruh dari luar seperti manipulasi data dan pemutarbalikan fakta. Lance Castle mencatat marga Hasibuan pada abad ke-19 Masehi sempat mengira diri mereka adalah keturunan Raja Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung). Besar kemungkinan keyakinan tidak berdasar ini muncul akibat serangan dan Islamisasi kaum Padri dari Minangkabau ke Tanah Batak. Sebelumnya Minangkabau sendiri mengalami serbuan Aceh yang mengislamkan mereka. Kesultanan Aceh memang meyakini bahwa Sultan Aceh adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnaen (Iskandar Agung). Dan Aceh sendiri didukung oleh kekhalifahan Turi dengan memberi gelar “Serambi Mekah” pada Aceh. Maka Aceh berperang dengan orang Kristen dan Hindu yang ada di Indonesia demi menyebarkan dakwah Islam ini. Tidaklah heran jika kedatangan nilai-nilai baru mengancam kedudukan nilai-nilai lama dalam masyarakat terutama jika masyarakat melihat nilai-nilai baru itu dibawa oleh suatu bangsa yang lebih kuat. Dewasa ini sering pula para alim ulama mengeluhkan apa yang disebut sebagai sikap kebarat-baratan. Pada zaman dahulu penjajahan budaa itu adalah sifat kearab-araban atau kemelayuan. Misalnya Bangsa Pakistan saat ini tidak bangga akan nenek moyang mereka yang meninggalkan peradaban agung di Mohenjo-Daro, melainkan lebih membanggakan budaya Arab yang sangat dominan dalam masyarakat mereka. Penyelewengan tafsir histories ini juga dilakukan di Indonesia. Kaum revisionis (orang yang merubah penulisan sejarah) membuat opini bahwa di Minangkabau perselisihan antara kaum adat dan kaum Muslim terjadi karena adu domba Belanda, walau faktanya Belanda baru turun tangan kerena diundang oleh kaum Adat Minangkabau. Belanda sendiri enggan perang waktu itu karena masih harus menghadapi Perang Diponegoro.
Para penulis Muslim saat ini suka mengutip pendapat yang mengatakan :
1. Ada hubungan baik antara para saudagar (pedagang) Islam dengan penduduk lokal
2. Orang-orang Islam menampakkan perilaku yang bersih dan sehat (dari Pribumi)
3. Orang-orang Islam itu memberi teladan untuk menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan masyarakat
4. Persamaan derajad manusia yang tertanam dalam pandangan hidup mereka.
Menurut HAMKA para pedagang yang berpengaruh menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para pedagang Arab. Sayangnya para pedagang Muslim dari Arab ini tidak sebaik yang dceritakan oleh para penulis Muslim masa kini, termasuk HAMKA. Ibnu Khaldun, sejarawan besar Muslim mengakui mental para pedagang Muslim Arab sebagai berikut, “Tingkah laku pedangan lebih rendah dibandingkan dengan tingkah laku orang-orang yang memegang pemerintahan, dan jauh lebih rendah daripada keprawiraan dan kejujuran.” Dengan kata lain hubungan antara para pedagang dan penduduk setempat memang dilandasi oleh cinta akan uang, maka para pedagang akan menikahi putri-putri orang yang berpengaruh, bukan putrid dari rakyat jelata. Bagi orang yang mau masuk Islam akan diberi kemudahan dan fasilitas untuk berdagang demi mencari keuntungan. Perintah untuk menjadikan seks, terutama melalui perkawinan sebagai alat dakwah Islam berasal dari Nabi Muhammad sendiri, “Aku memerintahkan berperang dengan asma (nama) Allah di jalan Allah ( jihad fisabilillah ). Bunuhlah siapa yang kafir kepada Alllah… kalau mereka menyambut seruanmu maka kawinilah putri raja (Arab = Amir – pemimpin)nya.” Karena Islam mengizinkan poligami maka para pedagang Arab dapat memiliki istri di beberapa tempat. Namun tetap saja bangsa-bangsa bukan Arab walaupun telah memeluk agama Islam dipandang rendah oleh Arab Muslim. Orang-orang Arab Muslim sangat tidak senang ketika orang-orang Muslim dari bangsa-bangsa lain mendapat posisi yang setara dengan orang Arab, dan orang Arab Muslim ini menghina dan meremehkan Muslim non Arab. Di Indonesia sampai saat ini sifat kesombongan ini masih terus dilakukan oleh banyak orang Arab yang merasa menikah dengan orang Indonesia pribumi berarti menikah dengan orang yang tidak sederajad.
Pendapat kedua yang mengatakan umat Muslim lebih bersih dari kaum pribumi juga tidak diminati oleh drs. Mansoer. Beliau mempertanyakan pendapat yang mengatakan bahwa penduduk pribumi jorok terutama orang Batak yang membiarkan jenazah sampai bertahun-tahun sebelum dikuburkan. Secara salah drs. Mansoer menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris, the dogs, pigs and monkeys eating stupid Bataks padahal yang dimaksudnya adalah orang Batak makan daging anjing, babi dan monyet/kera. Namun bangsa-bangsa lain dengan peradaban yang sangat maju juga makan daging babi dan itu tidak membuat mereka kotor secara lahiriah atau bodoh secara lahiriah. Jelaslah sekedar kebersihan secara relijius tidak kuat untuk menjadikan orang berduyun-duyun masuk Islam. Alasan ketiga bahwa orang Islam menjadi teladan karena membela kepentingan diri sendiri, keluarga dan masyarakat juga terasa aneh, karena hal ini juga dilakukan oleh orang-orang non-Muslim. Jadi alasan ketiga bukanlah alasan yang baik. Dan alasan keempat bahwa agama Islam menjanjikan persamaan derajad juga tidaklah sepenuhnya benar. Kita telah mengetahui bahwa orang-orang Muslim Arab memandang rendah terhadap orang Muslim non Arab. Maka ada kemungkinan lain Islam dapat berkembang, dan ini diakui oleh para penulis Muslim awal walau disangkal oleh penulis-penulis Muslim masa kini. Cara itu adalah jihad fisabilillah.
Fakta bahwa Islam masuk ke tanah Batak khsusunya Batak Mandailing, Angkola dan Toba mula-mula dengan kekerasan berusaha disangkal oleh para apologet Muslim, sama sepeti sejarawan Muslim di Pakistan menyangkal bahwa orang Arablah yang mula-mula menyerbu Sind (India). Kedatangan kaum Padri, menurut revisionis (orang yang menulis ulang sejarah) adalah semata-mata untuk berdagang, tapi rombongan pedagang padri ini diserang oleh orang Batak hingga timbullah peperangan. Mengingat wialah kekuasaan suku-suku Batak waktu itu tidak dipersatukan dalam bentuk kerajaan seperti Kerajaan Aceh melainkan merupakan suku-suku dan negeri-negeri yang independent maka dari argumen di atas dapat kita ambil kesimpulan :
1. sungguh jahat orang-orang Batak ini karena tanpa ada komando dari pusat maka setiap rombongan padri yang masuk ke tanah Batak diserang – mulai dari Tapanuli Selatan sampai ke Bakkara (Bakti Raja)
2. sungguh gigih para pedagang padri ini yang walau ditolak tapi memaksa terus untuk berdagang bahkan dengan cara membantai Raja Sisingamangaraja X
Tapi kita semua tahu Pasukan Padri masuk ke tanah Batak bukan untuk berdagang secara baik-baik. Adapun kedatangan pasukan penjajah Padri Muslim ke Tanah Batak adalah untuk membawa misi 3 G yaitu Gold, Glory dan Glorious Qur’an atau dengan kata lain untuk mencari harta (ghanimah – rampasan perang), kekuasaan politik atas darul harbi (daerah perang karena belum diislamkan) dan membawa Al-Qur’anul karim (kitab suci Al-Qur’an yang mulia) agar orang Batak masuk Islam. Diperkirakan setidkanya 200.000 (dua ratus ribu) orang Batak menjadi korban jihad fisabilillah Mujahiddin Padri ini, sebuah jumlah yang sangat luar biasa mengingat populasi waktu itu tidak sebesar saat ini. Di daerah Silindung – Pahae – Hutagalung diambil kanak-kanak yang setelah diislamkan bernama Tuan Syekh Basyir Simorangkir oleh Pasukan Padri. Setelah kembali dari Minang, ia berusaha mengislamkan orang-orang Batak. Dari Hutagalung muncul Abid Hutagalung yang juga dididik dan dibesarkan di Minangkabau. Abid membuang marganya dan menjadi Melayu yang bernama Tuan Syekh Arsyad gelar Tuan Faqih. Sementara itu kelak di Kerajaan Serdang, para sultan juga melakukan politik yang sama dengan Mujahidin Padri, yakni mengambil putra-putra tokoh Batak untuk dimurtadkan ke Islam. Praktek keji seperti ini bukanlah hal yang asing dalam sejarah Islam Internasional. Thomas W Arnold dalam The Preaching of Islam sudah menyinggung praktek ini dan Daniel Pipes dalam Slave Soldiers and Islam membahas dengan lebih dalam lagi. Anak-anak diculik, diasingkan dari budayanya, dibesarkan dalam budaya dan agama si penjajah dan penculik kemudian dijadikan sebagai alat untuk menindas bangsa sendiri. Kalau kita menyangka ini adalah praktek masa lampau maka kita salah. Saat ini misalnya praktek ini masih dilakukan di Sudan yang dijajah Arab dan yang berhasil memecah penduduk Sudan ke dalam dua bagian yaitu Muslim dan non-Muslim. Anak-anak Kristen Katolik di Timor Leste juga banyak diculik dan dimurtadkan di pesantren-pesantren Indonesia untuk kelak dikirim kembali ke Timor Leste demi merusak budaya Timor Leste. Alangkah biadabnya perbuatan ini. Dengan cuci otak seperti ini maka tidaklah heran Parlindungan dalam “Tuanku Rao” mengakui bahwa diantara kaum penjajah Padri yang menyerbu Tanah Batak dan membantai orang-orang Batak banyak terdapat mujahid Batak (orang Batak yang telah dimurtadkan menjadi Islam). Orang-orang ini telah dididik untuk membenci kekafiran yaitu agama apapun di luar Islam. Dalam QS Al – Baqarah 2:23, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu (menjadi) pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan (Islam) dan siapa diantara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang dholim (zalim).” Dalam riwayat lain diceritakan mengenai Abi ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang membunuh bapak kandungnya sendiri dalam Perang Badar. Anak ini bukanlah anak durhaka tapi malah menjadi sahabat Nabi Muhammad karena dipandang lebih setia pada agama daripada pada darah dagingnya sendiri. Begitulah sejarah juga mencatat orang Batak yang masuk Islam menjadi malu dengan kebatakannya dan menolak mengakui diri mereka sebagai Batak. Bagi orang Melayu waktu itu kata ‘Batak’ jarang diartikan sebagai suku atau etnis melainkan “ petualang, pengembara, gelandangan, perampok, penyamun, merampas” seperti yang masih dapat kita lihat pada Kamus Poerwadarminta maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun revisionis Muslim saat ini menulis, “Aibat dari propaganda Belanda, timbul anggapan umum bahwa setiap yang bermarga Batak dianggap beragama Kristen. Sehingga bila ada suku Batak yang memasuki agama Islam, tidak mau membubuhi marganya lagi.” Alangkah menyesatkannya dusta-dusta mereka.
Malim dan Muslim
Haji Mohammad Said di tahun 1960-an membuat sebuah teori baru yang mengatakan Raja Sisingamangaraja XII telah memeluk Islam. Opini ini kini dijadikan sebagai fakta oleh Profesor Ahmad Mansur Suryanegara seorang sejarawan Muslim. Pada masa itu Adniel Lumbantobing, seorang Kristen dan teman-temannya yang mengakui Raja Sisingamangaraja XII sebagai penganut agama tradisional Batak sedang gencar-gencarnya memperjuangkan pengakuan nasional terhadap kepahlawanan Sisingamangaraja XII. Perjuangan ini berhasil dengan diakuinya Raja Sisingamangaraja XII menjadi Pahlawan Nasional pertama di luar Pulau Jawa. Adniel Lumbantobing juga merancang dan membangun tugu Sisingamangaraja. Meskipun begitu memang ada kepercayaan yang muncul belakangan diantara orang Melayu di Barus Hilir sebagaimana yang diangkat oleh Jane Drakard bahwa Sultan Ibrahim, Sultan pertama Barus Hilir mengajak orang Batak masuk Islam taip orang Batak menolak. Sultan Ibrahim kemudian pergi setelah mendapatkan anak dari seorang putri Batak yang kelak menjadi Raja Sisingamangaraja I. Karena Barus berhubungan dengan Aceh, maka memori tentang Aceh juga masuk ke tengah orang Batak Toba yang akhirnya membuat bendera Sisingamangaraja XII dan stempel pribadinya mendapat pengaruh Aceh. Sebenarnya ada kemungkinan lain, yaitu pada mulanya orang-orang Batak saling berhubungan. Namun sejak sebagian Kerajaan Batak dikuasai Aceh dan Gayo, Alas, Singkel, Tamiang bahkan sampai ke Barus berhasil ditaklukkan dan diislamkan Aceh melalui jihad fisabilillah sehingga terjadilah pemutusan hubungan antara orang Batak yang dimelayukan atau diacehkan dengan orang Batak yang masih setia dengan budayanya. Namun orang-orang Batak yang masih memegang teguh adat istiadatnya ini, khususnya Batak Toba memiliki memori tersamar akan hubungan mereka dengan saudara-saudaranya di Barus atau dareah lainnya yang telah diislamkan. Islam tidak berhasil masuk ke Tanah Batak jika tidak didahului oleh serangan jihad fisabilillah, baik dari Aceh maupun Minangkabau. Setelah Tanah Batak diduduki baru bisa dilakukan proses Islamisasi. Maka orang Batak di Bakara yang berasal dari kelompok (keturunan) Sumba maupun orang Batak yang berasal (keturunan) dari Borbor sama sekali tidak memiliki memori seperti di Barus Hilir, bahwa Sisingamangaraja I berasal dari keturunan Sultan Ibrahim. Berarti kemungkinan besar cerita Barus Hilir itu hanyalah dongeng untuk melegalkan kekuasaan Barus Hilir yang telah memeluk Islam atas Tanah Batak yang masih merdeka.
Kerjasama antara Raja Sisingamangaraja XII dengan Aceh tidak membuktikan bahwa ia telah beragama Islam karena Sisingamangaraja XII adalah Raja yang menghargai semua raja-raja lain sebagai sederajad, bukan dalam relasi raja taklukan dengan sultan penakluknya. Penggunaan huruf Arab melayu dalam stempel Raja Sisingamangaraja XII juga merupakan bukti dari pendapat diatas. Pengguna bahasa Inggris tidak membuktikan bahwa ia warga negara Inggris dan beragama Kristen, begitu juga huruf Arab Melayu waktu itu adalah semacam bahasa internasional di Nusantara. Maka penggunaan huruf itu menunjukkan adanya kesadaran yang luas untuk saling berinteraksi antar bangsa dengan asas kesetaraan. Maka hal stempel ini juga tidak dapat dijadikan bukti mengatakan Sisingamangaraja XII telah masuk Islam. Sedangkan argumen lain mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII berwarna hijau – warna Islam dan bukannya warna Batak : merah – putih – hitam, pendapat ini tidak mendapat bukti histories apapun. Alasannya karena tidak pernah ada yang bisa memperlihatkan benderah hijau itu, yang kedua adalah dengan logika berpikir ini kita juga bisa mengatakan Adolf Hitler itu pasti orang Batak, ‘bukti’nya bendera Nazi berwarana : merah – putih – hitam. Para misionaris yang menduga Sisingamangaraja XII masuk Islam juga tidak pernah bisa memberikan bukti selain dari ‘katanya’ (kabar angin). Bukannya memerintahkan rakyatnya untuk masuk Islam dan melawan Belanda, Raja Sisingamangaraja XII malah akhirnya minta agar Zending Kristen jangan diganggu. Pendekatan penginjilan Nommensen yang lemah lembut memang jauh beda dengan metode dakwah yang disampaikan oleh Pasukan Padri. Menurut Bapak Naipospos wakil dari Agama Permalim dalam Seminar Gugurnya Sisingamangaraja XII Juni 2007 lalu di Hotel Danau Toba Internasional, Raja Sisingamangaraja XII malah menegur Guru Somalaing Pardede, yang juga seorang yang dipercayakan melanjutkan agama Permalim, karena membawa-bawa nama Raja Rum ( Kekhalifahan Turki yang menguasai dan berpusat di Romawi Timur) dalam doanya. Raja Sisingamangaraja XII menegaskan keindependennya dengan memberikan surat pengangkatan raja (Parbaringin) Bius Laguboti yaitu Raja Mulia Naipospos. Dengan adanya kebanggaan ini maka Agama Permalim ini masih kuat hingga saat ini karena mereka tahu Raja Sisingamangaraja sebagai Malim (pemimpin agama) mereka tidak pernah menjadi Muslim, maka dengan bangga mereka tetap menyebut diri mereka sebagai Permalim dan melakukan ibadah yang sama sekali tidak mirip dengan ibadah umat Muslim. Belakangan muncul cerita bahwa Guru Patimpus, pendiri desa (kini kota) Medan adalah keturunan Raja Sisingamangaraja juga, namun hal ini engan tegas dibantah oleh Keturunan Raja Sisingamangaraja yang mengatakan dalam silisilah marga mereka, yaitu Sinambela tidak dikenal keberadaaan Guru Patimpus yang bermarga Sembiring Pelawi, walau saat ini ada juga penulis Muslim yang memaksakan marga ‘Sinambela’ pada pendiri kota Medan ini.
Al-Ghazwul Fikri
“Misi Kristiani Pisahkan Budaya Tapanuli” begitu artikel dalam majalah Islami Sabili No.12 Tahun XIV 28 Desember 2006/ Dzulhijjah 1407, halaman 56. Sub judul selanjutnya menambahkan, “Identitas ini terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya di Selatan” yakni Mandailing. Jelaslah ini berita bohong karena kita tahu justru Islamisasilah yang pertama-tama menghancurkan budaya Batak yang disebut Sabili sebagai ‘Budaya Tapanuli’. Jihad fisabilillah Aceh telah membuat Batak mengalami statelessness (ketiadaan akan negara) tulis Antony Reid. Selanjutnya serangan jihad fisabilillah Padri membuat orang Batak Mandailing kehilangan jatidirinya sebagai Batak menurut Lance Castles. Lantas mengapa para juru dakwah Muslim ini menjadikan umat Kriten sebagai terdakwa perusak kebersamaan orang Batak? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari al-ghazwu’l fikri atau “serangan pemikiran”. Istilah ini dipopulerkan oleh penulis-penulis Muslim. Al-ghazwu’l fikri mempunyai unsure kekerasan atau pemaksaan kehendak kepada pihak lain yang hendak ditaklukkan. Sebagai serangan non fisik, ia mempunyai pemahaman yang dekat dengan cuci otak atau dengan istilah-istilah lain: kontrol pemikiran, reformasi ideologi. Adian Husaini menyebutnya dengan “penyesatan opini”. Melalui penyesatan opini di mass media misalnya, orang digiring untuk meyakini opini (pendapat yang belum terbukti) yang ditulis oleh penulis sebagai fakta (peristiwa yang benar-benar terjadi), maka hilanglah kesempatan untuk melihat satu peristiwa dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan menganalisanya secara kritis. Artikel ringkas “Dakwah Islam di Tanah Batak” atau yang bisa disebut juga dengan “Islamisasi Tanah Batak” ini hadir untuk menjadi pembanding dan penyeimbang atas berbagai opini yang beredar luas di media massa. Tampaknya ada pihak-pihak yang berusaha merevisi sejarah dengan menonjolkan kekurangan pihak lain sambil menyembunyikan kesalahan sama atau yang lebih parah yang telah dilakukan oleh pihaknya sendiri. Inilah yang kita kenal sebagai “standar ganda”.
Ahmad Arief Rangkuti, ketua Majelis Ulama dearah Pematang Siantar menulis, “colonial Belanda memaksakan Kristen kepada penduduk… Jadi colonial Belanda di Indonesia, selain menjajah negeri ini adalah menjajah keyakinan dan agama Bangsa Indonesia.” Tentu Rangkuty melupakan penjajahan Aceh dengan dukungan Kekhalifahan Turki dan pasukan-pasukan Muslim asing atas Tanah Batak dan memaksakan Islam pada penduduk, langkah yang sama dilakukan juga oleh Pasukan Padri ratusan tahun kemudian pada orang Batak. Selanjutnya Rangkuty menulis mengenai Raja Siantar, Sang Nualuh Damanik yang dicopot karena masuk Islam. Konon Belanda takut karena agama Islam mengajarkan “anti penjajahan sesaman manusia”. Rangkuty juga abaikan fakta bahwa sewaktu pasukan Aceh menyerbu Kerajaan (Batak) Haru maka, “Raja Mbelin-Raja Mbelin Karo yang tetap mempertahankan agama nenek moyangnya Perbegu, seperti Sibayak Namo Surou, dicopto kekuasaannya… Sibayak Lau Cih/Kabanjahe tetap taat menjalankan agama nenek moyangnya, maka wilayahnya yang di Karo Jahe dicopot , dan didudukkan Guru Mbelin Pa Timpus Sembiring Pelawi…” Lance Castles yang sama sekali tidak bersimpati pada Zending Kristen dengan berusaha menunjukkan kerjasama antara Zending dan Belanda justru melihat adanya fakta bahwa di Tapanulis Selatan, “agama tradisional dihancur leburkan kaum Padri… Di Mandailing, penduduk kelihatan tidak bangga dengan kebatakannya, bahkan sebagaimana akan kita lihat, menyangkalnya sekeras-kerasnya… Bahkan orang Batak Toba yang merantau ke Medan boleh jadi terpaksa masuk Islam dan berasimilasi dengan budaya Melayu yang dominan secepat mungkin.” Bahkan dengan dukungan kekuatan ekonomi yang mereka miliki orang Mandailing berusaha menghancurkan identitas kebatakan pada orang-orang Batak Muslim.
Lucu sekali fakta-fakta ini tidak mau diperhatikan oleh Sabili yang hanya mengutip pendapat Castle mengenai Belanda yang peralat agama Kristen sebagai penyebab terpecahnya orang Batak, tapi mengabaikan bahwa Islamlah yang pertama kali secara besar-besaran dan vulgar berusaha hancurkan kebatakan (habatahon). Justru Gereja Methodist dan bukan yang lain yang pertma-tama memberikan harga diri bagi orang Batak perantauan untuk menunjukkan kebatakannya dengan mengadakan kebaktian dalam Bahasa Batak di Batavia (Jakarta). Bahkan sampai masa modern adapt Batak (terutama Batak Toba) dipandang sebagai penghambat laju agama Islam diantara orang Batak. Siasat yang dipakaipun adalah strategi yang sama dengan yang digunakan oleh para juru dakwah (da’i) Islam di masa Kolonial Belanda. Pada masa Kolonial Belanda, para pegawai pemerintah yang beragama Islam masuk sebagai kaki tangan kolonialisme Belanda di Tanah Batak. Tapi mereka juga sekaligus memanfaatkan dukungan Belanda berupa fasilitas, gaji, transportasi dan lainnya untuk melakukan Islamisasi diantara orang Batak. Sampai saat ini siasat itu masih dilakukan, Seminar Dakwah Islam yang diadakan di Medan tahun 1983 merekomendasikan agar pemerintah mengirim pegawai-pegawai negeri yang Muslim ke Tanah Batak Toba untuk melakukan Islamisasi.
Di Humbahas yang 90% penduduknya beragama Kristen tetap saja dipaksakan pengangkatan pejabat Departemen Agama yang beragama Islam tanpa perduli dengan lingkungan dan perasaan masyarakat daerah setempat. Di Tapanuli Utara, pejabat Kejasaan Negeri Tarutung yang Muslim mulai mengadakan kegiatan Islami di kantor pemerintahan. Di Desa Buntu Pane Asahan, camatnya drs Romihi Hasbi menghentikan pembangunan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) yang didirikan di tengah kebun coklat milik orang Kristen. Sebelumnya camat Labuhan Deli, drs Azwan Supradi menyuruh bulldozer untuk menggusur Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) di Jl. Veteran Pasar V Desa Manunggal. Dalam wacana pembentukan Propinasi Tapanuli (Protap), Yusnan Pasaribu dari DPRD Sibolga mengatakan Tim Pemrakarsa Protap mengingini sebuah propinsi Kristen. Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sibolga, Nadzar juga mengkhawatirkan umat Islam jadi minoritas di propinsi Kristen. Juga ada nama-nama lain seperti Syukran Tanjung dari Fraksi Golkar, Haji Raden M. Syafei dari Partai Bintang Reformasi, Haji Banuaran Ritonga dari DPRD-SU yang mengaitkan Protap dengan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), misalnya Haji Syafei mengatakan umat Muslim Tapanuli tidak mendukung Protap. Statement (pernyataan) yang tidak bijak ini menimbulkan reasi dari umat Muslim di Tapanuli yang mendukung Protap sehingga mereka tampil di barisan depan. Tapi hal ini ditafsir berbeda oleh Komandan Banser GP Ansor, Raidir Sigalingging. Raidir yang juga merupakan ketua umum DPP Persatuan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batak Islam (P3MBI) menyatakan agar : khusus umat Islam dihimbau menguatkan barisan menghadapi kemungkinan terburuk, terutama kecendrungan kelompok Protap menjadikan oknum beragama Islam sebagai tameng.” Anehnya mereka lupa atau mungkin sengaja mengabaikan sejarah mencatat justru umat Kristen yang sangat toleran pada umat Muslim. Waktu Bupati Nias yang 90% pendudukanya Kristen dijabat oleh Haji Zakaria Lafau tak ada orang Kristen yang protes atau menuduh islamisasi. Waktu daerah-daerah dimekarkan dan perda (peraturan daerah) berbau Syariat Islam seperti di Bulukumba diterapkan umat Kristen dan non Muslim lainnya bisa menghargainya. Saat ini saja menurut laporan yang diterbitkan oleh group Jawa Pos, sudah ada 22 daerah yang menetapkan Perda bernuansa Syari’at Islam. Lantas mengapa jika ada keinginan dari orang Batak Toba yang sebenarnya pluralis ini untuk membentuk Protap dicegat karena motif kebencian terhadap agama Kristen? Umat Kristen di Tanah Batak dipaksa untuk terbuka pada umat Islam tapi umat Islam menolak untuk terbuka, hidup sederajad dan saling menghargai dengan orang lain. HAMKA misalnya memuji orang-orang Muslim yang merantau ke daerah Kristen, kawin dan mengislamkan gadis-gadis Kristen dan membuka mesjid, tapi mencela orang Batak yang menikahi gadis Minang di Gereja. Sungguh suatu standar ganda! Hal ini tetap meracuni pemikiran ‘intelektual’ Muslim, seperti yang dapat kita baca dalam buku karangan Ronidin, dosen Universitas Andalas Padang dan diterbitkan oleh Andalas University Press. “Intelektual” ini menulis, “para misionaris berupaya meracuni mental generasi muda Islam melalui narkoba, miras, trend, mode, pergaulan bebas, serta penyusupan pemikir-pemikir Kristen ke tengah-tengah masyarakat dengan berbagai cara.” Lupalah ‘intelektual’ kita ini bahwa budaya free sex dalam Islam dihalalkan melalui kawin cerai dan bahkan perbudakan; juga penghasil opium terbesar di dunia adalah Afghanistan yang merupakan negara Islam dengan penduduk Muslim yang sangat fanatic. Mengapa umat Muslim kalau mayoritas tak mau terbuka pada umat lain, tapi jika umat Islam minoritas maka dengan berbagai cara minta agar orang lain harus menghargai dan menuruti keinginan mereka? Penulis ingat peristiwa yang dicatat dalam Kitab Hakim-Hakim pasal 9 mengenai Abimelekh seorang tiran yang haus darah, penuh nafsu untuk membunuh dan dikuasai angkara murka. Mula-mula ia masuk dan mempengaruhi orang-orang untuk mendukung dia dengan alasan persaudaraan (hubungan darah dan kekerabatan). Setelah ia berkuasa maka orang-orang menyesal tapi tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Maka kita juga dituntut untuk bersikap arif agar dapat saling menghargai dalam kehidupan beragama dan melakukan syiar agama.
Medan, 25 Juni 2007
Saya sudah membaca buku Tuanku Rao yang kontroversial yang setelah reformasi diterbitkan kembali...menurut saya cerita2 tersebut membuka wawasan dan banyak benarnya, saya sendiri adalah keturunan salah seorang yang namanya terdpt di dalam buku tersebut, banyak kecocokan cerita antara buku tersebut dengan fakta2 barang peninggalan dan cerita2 turun temurun yang disampaikan dari generasi ke generasi di kampung halaman saya..saya menyarankan seandainya bisa dibaca dahulu tersebut karena agak sulit memahami apabila tidak dibaca secara keseluruhan...mudah2an akan membuat persaudaraan antara kita semakin erat..
salam perdamaian
S.Lubis
Saya sudah membaca buku Tuanku Rao yang kontroversial yang setelah reformasi diterbitkan kembali...menurut saya cerita2 tersebut membuka wawasan dan banyak benarnya, saya sendiri adalah keturunan salah seorang yang namanya terdpt di dalam buku tersebut, banyak kecocokan cerita antara buku tersebut dengan fakta2 barang peninggalan dan cerita2 turun temurun yang disampaikan dari generasi ke generasi di kampung halaman saya..saya menyarankan seandainya bisa dibaca dahulu tersebut karena agak sulit memahami apabila tidak dibaca secara keseluruhan...mudah2an akan membuat persaudaraan antara kita semakin erat..
salam perdamaian
S.Lubis
Amang Hutagalung, maulite!!! Saya bener2 gak bisa ngomong pa2. Speachless...karena sejarah ini cukup mengetarkan.
Untuk teman2 yang lain, tulisan ini adalah sebuah sejarah. Di ketengahkan kembali dengan apa adanya.
Saya mengerti klo ada teman2 yang lain yang merasa tidak enak membacanya. Apapun yang terjadi, tidak akan merubah apapun kan.
Yang ingin membaca buku Tuanku Rao selengkapnya, judul buku:
Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam
Mazhab Hambali Di Tanah Batak.
Penulis: Mangaradja Onggang Parlindungan
Editor: Ahmad Fikri A.F.
Penerbit: LKiS, Jogjakarta
Cetakan I, Juni 2007
Isi buku: iv + 691 halaman-Hardcover
Harga: Rp 135.000,-
Batak Israeli
BANGSO BATAK TOBA, KETURUNAN ISRAEL YANG HILANG
Edisi - Revisi
Batak - Israeli)
Bangsa Israel kuno terdiri dari 12 suku. Setelah raja Salomo wafat,
negara Israel pecah menjadi dua bagian. Bagian Selatan terdiri dari
dua suku yaitu Yehuda dan Benjamin yang kemudian dikenal dengan nama
Yehuda, atau dikenal dengan nama Yahudi. Kerajaan Selatan ini
disebut Yehudah, ibukotanya Yerusalem, dan daerahnya dinamai Yudea.
Bagian utara terdiri dari 10 suku, disebut sebagai Kerajaan Israel.
Dalam perjalanan sejarah, 10 suku tersebut kehilangan identitas
kesukuan mereka. Kerajaan utara Israel tidak lama bertahan sebagai
sebuah negara dan hilang dari sejarah. Konon ketika penaklukan
bangsa Assyria, banyak orang Kerajaan Utara Israel yang ditawan dan
dibawa ke sebelah selatan laut Hitam sebagai budak. Sebagian lagi
lari meninggalkan asalnya untuk menghindari perbudakan.
Sementara itu Kerajaan Yehudah tetap exist hingga kedatangan bangsa
Romawi. Setelah pemusnahan Yerusalem pada tahun 70 oleh bala tentara
Romawi yang dipimpin oleh jenderal Titus, orang-orang Yehudah pun
banyak yang meninggalkan negerinya dan menetap di negara lain,
terserak diseluruh dunia.
Jauh sebelum itu, ketika masa pembuangan ke Babilon berakhir dan
orang-orang Yehudah atau disebut Yahudi diijinkan kembali ke
negerinya, dan sepuluh suku Israel dari Kerajaan utara memilih tidak
pulang tetapi meneruskan petualangan kearah Timur. Demikian juga
dengan mereka yang diperbudak di selatan laut Hitam, setelah masa
perbudakan selesai, tidak diketahui kemana mereka pergi melanjutkan
hidup.
Dengan demikian banyak diantara bangsa Israel kuno kemudian
kehilangan identitas mereka sebagai orang Israel. Ada sekelompok
penduduk di daerah Tiongkok barat, diterima sebagai puak Cina,
tetapi secara umum profil wajah mereka agak berbeda dengan penduduk
Cina pada umumnya. Perawakan mereka lebih besar, hidung agak
mancung, namun berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka menyembah
Allah yang bernama Yahwe. Sangat mungkin mereka adalah keturunan
sepuluh suku Israel yang hilang yang telah kawin campur dengan
penduduk lokal sehingga kulit dan mata menjadi seperti penduduk asli.
Saya percaya banyak diantara para pembaca yang mengetahui bahwa di
negeri Israel ada sekelompok kecil orang Israel yang berkulit hitam.
Mereka adalah suku Falasha, yang sebelum berimigrasi ke Israel hidup
di Etiopia selama ratusan generasi. Fisik mereka persis seperti
Negro dengan segala spesifikasinya yaitu kulit hitam legam, bibir
tebal, rambut keriting, dll.
Mereka mengklaim diri mereka sebagai keturunan Israel atau disebut
Beta Israel, dan dengan bukti-bukti yang dimiliki, mereka mampu
memenuhi seluruh kriteria yang dituntut oleh Pemerintah Israel yang
merupakan syarat mutlak supaya diakui sebagai Israel perantauan.
Setelah memperoleh pengakuan sebagai keturunan Israel, sebagian dari
mereka kembali ke Tanah Perjanjian sekitar 15 tahun lalu dengan
transportasi yang disediakan oleh Pemerintah Israel. Itulah sebabnya
mengapa ada Israel hitam.
Mereka seperti orang Negro karena intermarriage dengan perempuan-
perempuan lokal sejak kakek moyang mereka pergi ke Ethiopia. Kita
tahu bahwa bahwa Ethiopia adalah salah satu negara yang penduduknya
mayoritas Kristen yang paling tua didunia. Ingat sida-sida yang
dibaptis oleh Filipus dalam Kisah 8:26-40. Bahkan sebelum era
Kekristenan pun sudah ada penganut Yudaisme disana.Walaupun banyak
yang kembali, sebahagian lagi tetap memilih menetap di negeri itu,
dan merekalah yang menjaga dan memelihara Tabut Perjanjian yang
konon ada disana.
Apakah ada diantara para pembaca yang pernah mendengar selentingan
bahwa etnik Bangso Batak Toba, adalah juga keturunan bangsa Israel
kuno yang hilang? Mungkin saja tidak, karena orang-orang Batak Toba
sendiri banyak yang tidak mengetahuinya, kecuali segelintir yang
memberikan perhatian terhadap hal ini.
Menurut kamus umum bahasa Indonesia Batak mempunyai arti (sastra),
adalah petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang,
pergi mengembara. Walaupun demikian orang Batak dikenali dengan
sikap dan tindakannya yang khas, yaitu terbuka, keras dan apa-adanya.
Hosea 19:17: Allahku akan membuang mereka (ISRAEL YANG MURTAD),
sebab mereka tidak mendengar Dia, maka mereka akan MENGEMBARA
diantara bangsa-bangsa.
Mengapa di Sumatera, karena Sumatera adalah salah satu pulau di
Hindia yang berdekatan dengan India. Sumatera juga merupakan salah
satu pulau di Lautan Samudera Hindia.
Bandingkan Yesaya 11:11: Pada waktu Tuhan akan mengangkut pula
tangaNya untuk menebus sisa-sisa umatNya (Bangsa ISRAEL YANG MURTAD)
yang tertinggal di Asyur, dan di Mesir, di Patros, di Ethiopia, dan
di Elam, di Sinear, di Hamat dan
di Pulau-pulau di Laut.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang anthropolog dan juga pendeta
dari Belanda, profesor Van Berben, dan diperkuat oleh prof Ihromi,
guru besar di UI (Universitas In 782 donesia), bahwa tradisi etnik
Tapanuli (Batak Toba) sangat mirip dengan tradisi bangsa Israel kuno.
Pendapat itu didasarkan atas alasan yang kuat setelah membandingkan
tradisi orang Tapanuli dengan catatan-catatan tradisi Israel dalam
Alkitab yang terdapat pada sebahagian besar kitab Perjanjian Lama,
dan juga dengan catatan-catatan sejarah budaya lainnya diluar
Alkitab.
Beberapa peneliti dari etnis Tapanuli juga yakin bahwa Batak adalah
keturunan Israel yang sudah lama terpisah dari induk bangsanya, tapi
karena intermarriage dengan penduduk lokal ditempat mana mereka
bermukim membuat orang Batak secara fisik menjadi seperti orang
Melayu.
Seorang Batak Toba, yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Israel
dan menjadi warga negara, berusaha mengumpulkan data-data untuk
pembuktian. Setelah merasa sudah cukup, dia mengajukannya ke
pemerintah Israel yang waktu itu masih dipimpin oleh PM Yitzak Rabin.
Tetapi tenyata data tersebut belum bisa memenuhi seluruh kriteria.
Pemerintah Israel kemudian meminta agar kekurangannya dicari hingga
dapat mencapai 100 persen supaya pengakuan atas etnis Batak sebagai
orang Israel diperantauan dapat diberi. Konon kekurangan itu
terutama terletak pada silsilah yang banyak missing links-nya, dan
menelusuri silsilah itu agar sempurna sama sulitnya dengan menyelam
ke perut bumi.
Peneliti berharap suatu waktu pada masa depan, Pemerintah Israel
bisa saja mengubah kriterianya dengan menjadi lebih lunak dan etnik
Batak diterima sebagai bahagian yang terpisah dari mereka.
Setelah mendengar selentingan itu, saya benar-benar menaruh minat
untuk menyelidiki sejauh mana budaya Bangso Batak Toba dapat memberi
bukti similaritasnya dengan tradisi Israel kuno. Alkitab adalah buku
yang prominent dan sangat layak serta absah sebagai kitab pedoman
untuk mencari data budaya Israel kuno yang menyatu dengan unsur
sejarah dan spiritual.
Beberapa diantara kesamaan tradisi Batak Toba dengan tradisi Israel
kuno adalah sebagai berikut:
1). Pemeliharaan silsilah (Tarombo dan Marga)
Semua orang Tapanuli, terutama laki-laki, dituntut harus mengetahui
garis silsilahnya. Demikian pentingnya silsilah, sehingga siapa yang
tidak mengetahui garis keturunan kakek moyangnya hingga pada dirinya
dianggap na lilu - tidak tahu asal-usul - yang merupakan cacat
kepribadian yang besar.
Bangsa Israel kuno juga memandang silsilah sebagai sesuatu yang
sangat penting. Alkitab, sejak Perjanjian Lama hingga Perjanjian
Baru sangat banyak memuat silsilah, terutama silsilah dari mereka
yang menjadi figur penting, termasuk silsilah Yesus Kristus yang
ditelusuri dari pihak bapak(angkat) Nya Yusuf, yang keturunan Daud
dan pihak ibuNya (Maria).
Catatan:
MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah
(patrilineal) .Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis
keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang ayah
merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang
meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini,
dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.
Menurut buku “Leluhur Marga Marga Batak”, jumlah seluruh Marga Batak
sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
Catatan: Marga dalam kamus Inggris Hassan Shadily dan John Echols
adalah CLAN, yakni Suku, Marga, dan KAUM. Dalam arti yang lain,
Marga bias berarti Warga, dari bahasa India (Sansekerta,
kemungkinannya) . Jadi, kalau ada orang Batak bermarga Tampubolon,
berarti dia berasal dari KAUM TAMPUBOLON. Bandingkan dengan KAUM
LEWI, KAUM YEHUDAH, KAUM SIMEON dan lain-lain.
TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.
Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila
orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya
Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui
apakah mereka saling “mardongan sabutuha” (semarga) dengan
panggilan “ampara” atau “marhula-hula” dengan
panggilan “lae/tulang” . Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah
ia harus memanggil “Namboru” (adik perempuan
ayah/bibi), “Amangboru/Makela” ,(suami dari adik ayah/Om), “Bapatua/
Amanganggi/ Amanguda” (abang/adik ayah), “Ito/boto” (kakak/adik) ,
PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang
dapat kita jadikan istri, dst.
2). Perkawinan yang ber-pariban
Ada perkawinan antar sepupu yang diijinkan oleh masyarakat Batak,
tapi tidak sembarang hubungan sepupu. Hubungan sepupu yang diijinkan
untuk suami-istri hanya satu bentuk, disebut marpariban. Cukup
report menerangkan hal ini dalam bahasa Indonesia karena bahasa ini
tidak cukup kaya mengakomodasi sebutan hubungan perkerabatan dalam
bahasa Batak. Yang menjadi pariban bagi laki-laki ialah boru ni
tulang atau anak perempuan dari saudara laki-laki ibu. Sedangkan
yang menjadi pariban bagi seorang gadis ialah anak ni namboru atau
anak laki-laki dari saudara perempuan bapa.
Hanya hubungan sepupu yang seperti itu yang boleh menjadi suami-
isteri. Karena suku Batak penganut patriarch yang murni, ini adalah
perkawinan ulang dari kedua belah pihak yang sebelumnya sudah
terjalin dengan perkawinan.
Mari kita bandingkan dengan Alkitab. Pada kitab Kejadian, Yakub
menikah dengan paribannya, anak perempuan Laban yaitu Lea dan Rahel.
Laban adalah tulang dari Yakub. (Saudara laki-laki dari Ribka, ibu
dari Yakub). Didunia ini sepanjang yang diketahui hanya orang Israel
kuno dan orang Batak yang sekarang memegang tradisi hubungan
perkawinan seperti itu.
3). Pola alam semesta
Orang Batak membagi tiga besar pola alam semesta, yaitu banua
ginjang (alam sorgawi), banua tonga (alam dimensi kita), dan banua
toru (alam maut). Bangsa Israel kuno juga membagi alam dengan pola
yang sama.
4). Kredibilitas
Sebelum terkontaminasi dengan racun-racun pikiran jaman modern,
setiap orang Batak, terutama orang tua, cukup menitipkan sebuah
tempat sirih (salapa atau gajut), ataupun sehelai ulos, sebatang
tongkat, atau apa yang ada pada dirinya sebagai surat jaminan hutang
pada pihak yang mempiutangkan, ataupun jaminan janji pada orang yang
diberi janji. Walaupun nilai ekonomis barang jaminan bisa saja
sangat rendah tetapi barang tsb adalah manifestasi dari martabat
penitip, dan harus menebusnya suatu hari dengan merelealisasikan
pembayaran hutang ataupun janjinya. Budaya Israel kuno juga
demikian. Lihat saja Yehuda yang menitipkan tongkat kepada Tamar
sebagai jaminan janji (Kej. 38).
5). Hierarki dalam pertalian semarga
Dalam budaya Batak, jika seorang perempuan menjadi janda, maka laki-
laki yang paling pantas untuk menikahinya ialah dari garis keturunan
terdekat dari mendiang suaminya. Ini dimaksudkan agar keturunan
perempuan tsb dari suami yang pertama tetap linear dengan garis
keturunan dari suami yang kedua. Misalnya, seorang janda dari
Simanjuntak sepatutnya menikah lagi adik laki -laki mendiang
(bandingkan dengan Rut 1:11).
Jika tidak ada adik laki-laki kandung, sebaiknya menikah dengan
saudara sepupu pertama dari mendiang yang dalam garis silsilah
tergolong adik. Jika tidak ada sepupu pertama, dicari lagi sepupu
kedua. Demikian seterusnya urut-urutannya. Hal semacam ini
diringkaskan dalam ungkapan orang Batak : “Mardakka do salohot,
marnata do na sumolhot. Marbona do sakkalan, marnampuna do ugasan”.
Dalam tradisi Israel kuno, kita dapat membaca kisah janda Rut dan
Boas. Boas masih satu marga dengan mendiang suami Rut, Kilyon. Boas
ingin menikahi Rut, tapi ditinjau dari kedekatannya menurut garis
silsilah, Boas bukan pihak yang paling berhak. Oleh sebab itu dia
mengumpulkan semua kerabat yang paling dekat dari mendiang suami
Rut, dan mengutarakan maksudnya. Dia akan mengurungkan niatnya jika
ada salah satu diantara mereka yang mau menggunakan hak adat-nya,
mulai dari pihak yang paling dekat hubungan keluarganya hingga yang
paling jauh sebelum tiba pada urutan Boas sendiri. Ya, mardakka do
salohot, marnata do na sumolhot. (Baca kitab Rut).
6). Vulgarisme
Setiap orang dapat marah. Tetapi caci maki dalam kemarahan berbeda-
beda pada tiap-tiap etnik. Orang Amerika terkenal dengan serapah:
son of a bitch, bastard, idiot, dll yang tidak patut disebut disini.
Suku-suku di Indonesia ini umumnya mengeluarkan makian dengan
serapah : anjing, babi, sapi, kurang ajar, dll.
Pada suku Batak makian seperti itu juga ada, tetapi ada satu yang
spesifik. Dalam sumpah serapahnya seorang Batak tak jarang memungut
sehelai daun, atau ranting kecil, atau apa saja yang dapat diremuk
dengan mudah. Maka sambil merobek daun atau mematahkan ranting yang
dipungut/dicabik dari pohon dia mengeluarka 6ea n sumpah
serapahnya:, , Sai diripashon Debata ma au songon on molo so hudege,
hubasbas, huripashon ho annon !!!”. Terjemahannya kira-kira
begini:,,Beginilah kiranya Tuhan menghukum aku kalau kamu tidak
kuinjak, kulibas, kuhabisi !!!”.
Robeknya daun atau patahnya ranting dimaksudkan sebagai simbol
kehancuran seterunya. Orang-orang Israel kuno juga sangat terbiasa
dengan sumpah serapah yang melibatkan Tuhan didalamnya. Vulgarisme
seperti ini terdapat banyak dalam kitab Perjanjian Lama, diantaranya
serapah Daud pada Nabal. (1 Sam. 25, perhatikan ayat 22 yang persis
sama dengan sumpah serapah orang Batak).
7). Nuh dan bukit Ararat
Ada beberapa etnik didunia ini yang mempunyai kisah banjir besar
yang mirip dengan air bah dijaman Nuh. Tiap etnik berbeda alur
ceritanya tetapi polanya serupa. Etnik Tapanuli juga punya kisah
tentang air bah, tentu saja formatnya berbeda dengan kisah Alkitab.
Apabila orang-orang yang sudah uzur ditanya tentang asal-usul suku
Batak, mereka akan menceritakan mitos turun temurun yang mengisahkan
kakek moyang orang Batak diyakini mapultak sian bulu di puncak bukit
Pusuk Buhit.
Pusuk Buhit adalah sebuah gunung tunggal yang tertinggi di Tapanuli
Utara, dipinggiran danau Toba. Pusuk Buhit sendiri artinya adalah
puncak gunung. Pusuk Buhit tidak ditumbuhi pohon, jelasnya tidak ada
bambu disana. Yang ada hanya tumbuhan perdu, ilalang, dan rumput
gunung. Bambu – dari mana kakek moyang keluar – menurut nalar
mendarat di puncak gunung itu dan mereka keluar dari dalamnya
setelah bambunya meledak hancur. Mengapa ada bambu pada puncak Pusuk
Buhit yang tandus dan terjal? Tentu saja karena genangan air yang
mengapungkannya, yang tak lain adalah banjir besar.
Dapat dipahami mengapa jalan cerita menjadi seperti itu, karena
setelah ribuan tahun terpisah dari induk bangsanya, narasi jadi
berbeda. Bahtera Nuh berubah menjadi sebentuk perahu bambu berbentuk
pipa yang kedua ujungnya ditutup, dan Bukit Ararat berubah menjadi
Pusuk Buhit.
8). Mangokal Holi atau Eksumasi (Pemindahan tulang belulang)
Jika Pemerintah mengubah fungsi lahan pekuburan, wajar jika tulang-
belulang para almarhum/ah dipindahkan oleh pihak keluarga yang
terkait. Alasan ini sangat praktis.
Bagi orang Tapanuli, penggalian tulang belulang (eksumasi) dari
kerabat yang masih satu dalam garis silsilah dan dikuburkan didaerah
lain adalah praktek yang sangat umum hingga sekarang. Sering
alasannya hanya untuk kepuasan batin belaka walaupun biayanya sangat
mahal karena termasuk dalam kategori perhelatan besar.
Pada bangsa Israel kuno hal semacam adalah kebiasaan umum. Sejarah
sekuler menuturkan bahwa tulang belulang Yusuf dibawa dari Mesir
ketika bangsa ini keluar dari sana. Juga dalam kitab lain dalam
Perjanjian Lama, sekelompok masyarakat berniat memindahkan tulang
belulang dari satu pekuburan (walaupun kemudian dihalangi oleh
seorang nabi).
9). Peratap/Ratapan
Adalah wajar bagi jika satu keluarga menangis disekeliling anggota
keluarga / kerabat yang meninggal dan terbujur kaku. Mereka
menangisi si mati, dan seseorang meratapinya. Meratap berbeda dengan
menangis. Meratap dalam bahasa Tapanuli disebut mangandung.
Mangandung ialah menangis sambil melantunkan bait-bait syair
kematian dan syair kesedihan hati.
Karena sepenuhnya terikat dengan komponen syair-sayir maka
mangandung ad 676 alah satu bentuk seni yang menuntut keahlian.
Untuk memperoleh kepiawaian harus belajar. Bahasa yang digunakan
sangat klasik, bukan bahasa sehari-hari. Setiap orang-tua yang
pintar mangandung akan mendapat pujian dan sering diharapkan
kehadirannya pada setiap ada kematian.
Di desa-desa, terutama di daerah leluhur - Tapanuli - tidak
mengherankan kalau seseorang orang yang tidak ada hubungan keluarga
dengan orang yang meninggal, bahkan tidak dikenal oleh masyarakat
setempat, namun turut mangandung disisi mayat. Masyarakat mendukung
hal seperti itu. Kata-kata yang dilantukan dalam irama tangisan
sangat menyentuh kalbu. Tak jarang pihak keluarga dari si mati
memberi pasinapuran (ang pao) kalau si peratap tersebut pintar,
sekedar menunjukkan rasa terima kasih.
Peratap-peratap dari luar ini sebenarnya tidak menangisi kepergian
si mati yang tidak dikenalnya itu. Alasannya untuk turut meratap
adalah semata-mata mengeluarkan kesedihan akibat kematian keluarga
dekatnya sendiri pada waktu yang lalu, dan juga yang lebih spesifik
yaitu mengekspresikan seni mangandung itu.
Ini sangat jelas dari ungkapan pertama sebelum melanjutkan andung-
andungnya :,,Da disungguli ho ma sidangolonhi tu sibokka nahinan”
Sibokka nahinan adalah anggota keluarga sipangandung yang sudah
meninggal sebelumnya. Selanjutnya dia akan lebih banyak berkisah
tentang mendiang familinya itu.
Bagaimana dengan bangsa Israel? Dari sejarah diketahui bahwa ketika
Yusuf (perdana menteri Mesir) meninggal, sanak keluarganya membayar
para peratap untuk mangandung. Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru berkali-kali mencatat kata -kata ratapan, meratap, peratap.
Kitab Ratapan yang ditulis oleh raja Salomo, dalam praktek Israel
kuno adalah syair-syair yang dilantunkan sambil mangandung, kendati
bukan pada acara kematian.
10). Hierarki pada tubuh
Dalam budaya Batak, kepala adalah anggota tubuh yang paling tinggi
martabatnya. Menyentuh kepala seseorang dengan tidak disertai
permintaan maaf yang sungguh-sungguh, bisa berakibat parah.
Sebaliknya anggota tubuh yang paling rendah derajatnya ialah telapak
kaki. Adalah penghinaan besar jika seseorang berkata kepada
seseorang lain:,,Ditoru ni palak ni pathon do ho = Kau ada dibawah
telapak kakiku ini”, sambil mengangkat kaki memperlihatkan telapak
kakinya pada seteru. Penghinaan seperti ini hanya dilontarkan oleh
seseorang yang amarahnya sudah memuncak dan sudah siap berkelahi.
Pada zaman dulu, dalam setiap pertemuan, telapak kaki selalu
diusahakan tidak nampak ketika duduk bersila. Pada bangsa-bangsa
Semitik tertentu di Timur Tengah, tradisi semacam ini masih tetap
dijaga hingga sekarang karena memperlihatkan telapak kaki pada orang
lain adalah pelanggaran etika yang berat, karena telapak kaki tetap
dianggap anggota tubuh yang paling hina derajatnya.
11). Tangan kanan dan sisi kanan
Dalam budaya Tapanuli, sisi kanan dan tangan kanan berbeda tingkat
kehormatannya dengan sisi kiri dan tangan kiri. Jangan sekali-kali
berinteraksi dengan orang lain melalui tangan kiri jika tidak karena
terpaksa. Itupun harus disertai ucapan maaf. Dalam Alkitab banyak
tercatat aktivitas sisi `kanan’ yang melambangkan penghormatan atau
kehormatan.
Yusuf sang perdana menteri Mesir memprotes ayahnya Yakub yang
menyilangkan tangannya ketika memberkati Manasye dan Efraim (baca
Kejadian 48). Rasul Paulus dalam salah satu suratnya menyiratkan
hierarki anggota tubuh ini. Juga baca Pengkhotbah 10:2, Mzm 16:8,
Mat 25:33, 26:64 Mrk 14:62, Kis 7:55-56, 1Pet 3:22, dll.
12). Anak sulung
Dalam hierarki keluarga, posisi tertinggi diantara seluruh keturunan
bapak/ibu ialah anak sulung. Ia selalu dikedepankan dalam memecahkan
berbagai masalah, juga sebagai panutan bagi semua adik-adiknya. Jika
ayah (sudah) meninggal, maka anak sulung yang sudah dewasa akan
mengganti posisi sang ayah dalam hal tanggung jawab terhadap seluruh
anggota keluarga seperti yang diungkapkan dalam umpasa : Pitu batu
martindi-tindi, alai sada do sitaon na dokdok. Sitaon na dokdok itu
adalah si anak sulung. Tanggung jawab itulah yang membuat dia besar,
memberi karisma dan wibawa. Karisma dan wibawa, itulah profil yang
melekat pada anak sulung.
Alkitab ditulis dengan bahasa manusia, bangsa Israel kuno. Deskripsi
tentang anak sulung pada bangsa ini sama seperti yang ada pada suku
Batak yang sekarang, sehingga the term of the firstborn (istilah
anak sulung) banyak terdapat dalam kitab tersebut. (baca Kel 4:22,
34:20, 13:12 dan 15, Im 27:26, Bil 3:13, 8:17, Mzm 89:28, Yer 31:9,
Hos 9:20, Rom 8:23, Luk 2:27, 11:16, 1Kor 15:20 dan 23, Kol 1:15 dan
18, Ibr 1:6, Yak 1:18, dll)
13). Gender
Hingga sekarang posisi perempuan dalam hubungan dengan pencatatan
silsilah selamanya tidak disertakan karena perempuan dianggap milik
orang lain, menjadi paniaran ni marga yang berbeda. Hal yang sama
terjadi pada bangsa Israel kuno ; bangsa ini tidak memasukkan anak
perempuan dalam silsilah keluarga. Ada banyak silsilah dalam
Alkitab, tetapi nama perempuan tidak terdapat didalamnya kecuali
jika muncul sebagai yang sangat penting seperti Rut dan Maria (ibu
Yesus). Kalaupun nama Dina disebut juga dalam Alkitab, itu bukan
karena posisinya yang penting tetapi hanya sebagai pelengkap nama-
nama keturunan Yakub yang kemudian menurunkan seluruh bangsa Israel.
Dalam Tradisi Israel, anak perempuan tidak dihitung sebagai bangsa,
tetapi anak laki-laki, red.
13). Kemenyan BATAK TOBA
Ada cerita yang sangat dipercaya oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera
Utara. Salah satu persembahan yang dibawa tiga majuz atau
cendekiawan dari timur untuk bayi Yesus yang baru dilahirkan di
Betlehem itu berasal dari Tanah Tapanuli. Persembahan itu berupa
kemenyan, mendampingi dua persembahan lainnya, emas dan mur. Lewat
cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan itu
dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan
besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Cerita itu semakin
bergulir mengingat sebagian besar penduduk Tapanuli beragama Kristen
dan Katolik yang erat dengan cerita kelahiran Yesus Kristus.
Kebenarannya memang perlu diteliti, tetapi setidaknya dari cerita
itu bisa terlihat bahwa sampai sekarang pun getah harum bernama
kemenyan, yang dalam bahasa Batak disebut haminjon, itu begitu erat
dengan kehidupan orang Tapanuli. Kepala Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara yang juga mantan Bupati
Tapanuli Utara RE Nainggolan menjelaskan, kemenyan pernah sangat
menyejahterakan masyarakat Tapanuli.
Dan, getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. “Nenek saya
pedagang kemenyan,” tuturnya. Ia tahu persis, pada tahun 1936
neneknya sudah mempunyai mobil untuk mengangkut kemenyan dari
Tapanuli ke Pelabuhan Sibolga. Saat itu harga satu kilogram kemenyan
sama dengan satu gram emas. Standar itu dipakai terus oleh petani
dan pengepul di Tapanuli: Satu kilogram kemenyan sama dengan satu
gram emas. Satu kilogram kemenyan juga setara satu kaleng (16
kilogram) beras. Selain cerita tentang persembahan dari timur untuk
Nabi Isa itu, tak banyak orang tahu sejarah kemenyan di Tapanuli.
Kebanyakan warga menyebutkannya sebagai tanaman ajaib yang sudah ada
ratusan tahun dan menghidupi masyarakat Tapanuli.
14). Pemberian Nama Bayi yang Lahir Tujuh Hari
Di dalam tradisi Parmalim - Agama Leluhur Batak Kuno, setiap anak
bayi yang lahir selama tujuh hari harus di bawa ke Pancur untuk
Permandian dan sekaligus pemberian nama. Permandian bayi yang sudah
tujuh hari itu diserahkan ke Imam Parmalim. Setelah itu diberi nama
dengan diadakannya Pesta Martutu Aek.
Memang tidak ada sunat, tetapi beberapa suku Israel seperti Bene
Menashe di India dan Suku Chiang Min pun melakukan hal yang sama.
Karena apa? Karena mereka sudah melalui generasi ke generasi,
asimilasi, masuknya unsur-unsur lokal dan sebagainya, seperti nama-
nama dewa-dewi sesembahan lokal dimana mereka tinggal. Seperti
itulah, tetapi identitas keaslian mereka sebagai keturunan Israel
masih kelihatan. Seperti budaya, adat, Agama -Kepercayaan
Monotheisme (meskipun masuknya paham lokal setempat), dan beberapa
kebiasaan yang berbeda dengan suku - suku yang lainnya.
15). Monoteisme Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim
Hamalimon – Parmalim – Ugamo Malim, Agama Leluhur Bangso Batak Toba
Parmalim, kaum minoritas yang tegar mempertahankan nilai leluhur
batak. Kata Malim berasal dari bahasa Arab yang terdapat di kitab-
kitab suci; yang berarti suci dan saleh dari asal kata Muallim.
Dalam bahasa Arab Muallim merujuk kepada istilah orang suci yang
menjadi pembimbing dan sokoguru. Parmalim diistilah Batak berkembang
ke dalam pengertian; orang-orang saleh berpakaian sorban putih.
Parmalim merupakan agama monotheis asli Bangso Batak Toba. Parmalim
sudah ada sejak 497 Masehi atau 1450 tahun Batak.
TUHAN menurut Hamalimon –Parmalim – Ugamo Malim
Ugamo malim menyebut Tuhan adalah Mulajadi na Bolon (Awal Mula Yang
Besar, red). Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak
bermula dan tidak berujung. Bahwa Mulajadi na Bolon atau Tuhan itu
wujud atau ada. Tetapi tidak dapat dilihat. Dia tidak bermula dan
tidak mempunyai ujung. Dia adalah mutlak absolut, Maha Esa, Maha
Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia dekat dan jauh
dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa yang menghukum dan kuasa
mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifat
Mulajadi Na Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Ugamo Malim.
Dalam Injil Perjanjian Lama, menceritakan Raja Salomo dikenal dengan
Nabi Sulaiman, memerintahkan rakyatnya melakukan perdagangan dan
membeli rempah-rempah hingga ke Ophir. Ophir patut diduga adalah
Barus di Tapanuli. Perkiraan itu punya jejak spiritual berbentuk
kepercayaan monotheisme. Misalnya Ugamo Parmalim yang menjadi agama
asli etnis Batak, meyakini Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Ompu
Mulajadi Na Bolon (Parmalim atau Ugamo Malim, pen).
Selain itu, sekelompok penyebar ajaran Kristen Nestorian dari Persia
yakni Iran, yang menjejakkan kakinya di Barus. Kelompok itu
diperkirakan datang sekira tahun 600an Masehi dan mendirikan gereja
pertama di Desa Pancuran, Barus.
Tambahan: Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9,
diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420
talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau.
Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-
Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s.
berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-
Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati
Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir
itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat
pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis
Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang
Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-
15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di
sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.
Secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut
paham monoteistik, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena
tujuan akhir semua doa mereka tetap diarahkan kepada debata Mulajadi
Nabolon (Tuhan Pencipta langit dan bumi). Ini hal yang luar biasa
uniknya. Tidak ada analisis yang dapat menerangkan itu jika tidak
menghubungkannya dengan faham monoteisme Yudaisme bangsa Israel kuno
yang terbawa melekat hingga sekarang, tidak lekang oleh kikisan
kurun waktu ribuan tahun.
16). Ibadah Parmalim
Dalam melaksanakan ibadah, Parmalim melaksanakan upacara (ritual)
Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan dan dosa, serta
memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat
melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7
aturan Ugamo Malim dengan melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan
tersebut adalah :
1. Martutuaek (kelahiran)
2. Pasahat Tondi (kematian)
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan
Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)
Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus
menjunjung tinggi nilai – nilai kemanusiaan seperti menghormati dan
mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin, tidak boleh
berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya. Diluar
hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging
babi, daging anjing dan binatang liar lainnya, serta darah.
Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran Tuhan dan melakukannya
dalam kehidupannya, memiliki pengharapan kelak ia akan mendapat
kehidupan roh suci nan kekal.-Kata bijak Ugamo Malim
Secara implisit, inilah yang menjadi ajaran suci keyakinan Ugamo
Malim atau lebih dikenal dengan Parmalim di Tanah Batak sejak turun
temurun, seperti yang dikatakan Raja Marnakkok Naipospos selaku Ulu
Punguan (pemimpin spiritual) Parmalim terbesar di Desa Hutatinggi
Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Menurut beberapa pandangan ilmuwan sosial, sebenarnya Ugamo Malim
layak menjadi sebuah agama resmi. Alasannya ialah dalam ajaran
aliran ini juga terdapat nilai-nilai religius yang bertujuan menata
pola kehidupan manusia menuju keharmonisan, baik sesama maupun
kepada Pencipta.
Dan secara ilmu sosial tujuan ini mengandung nilai luhur. Bahkan,
ajaran Parmalim menuntut manusia agar hidup dalam kesucian,”
jelasnya kemudian menerangkan secara detail asal-muasal kata
Parmalim yang berasal dari kata “malim”.
Malim berarti suci dan hidup untuk mengayomi sesama dan meluhurkan
Oppu Mulajadi Nabolon atau Debata (Tuhan pencipta langit dan
bumi). “Maka, Parmalim dengan demikian merupakan orang-orang
mengutamakan kesucian dalam hidupnya,” jelas Marnangkok. Yang kami
puja tak lain adalah Oppu Mula Jadi Na Bolon bukan”begu” (roh
jahat),” katanya.
“Dan inilah yang menjadi bias negatif dari masyarakat terhadap
Parmalim.” Marnangkok kemudian menjelaskan, Oppu Mula Jadi Nabolon
adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, sehingga Ia
mengutus sewujud manusia sebagai perantaraannya (parhiteon), yakni
Raja Sisingamangaraja yang juga dikenal dengan Raja Nasiak Bagi.
Raja Nasiak Bagi merupakan julukan terhadap kesucian (hamalimon)
serta jasa-jasanya yang hingga akhir hidupnya tetap setia mengayomi
Bangsa Batak. Nasiak Bagi sendiri berarti ditakdirkan untuk hidup
menderita. Ia bukan raja yang kaya raya tetapi hidup sama miskin
seperti rakyatnya.
Dengan demikian, Parmalim meyakini bahwa Raja Sisingamangaraja dan
utusan-utusannya mampu mengantarkan mereka (Bangsa Batak) kepada
Debata. Ugamo Malim diyakini sebagian orang sudah ada sebelum ajaran
Kristen dan Islam masuk ke daerah itu. Hidup dalam kepasrahan.
Barangkali itu jugalah intisari dari pernyataan kata bijak Parmalim
yang mengatakan: “Baen aha diakkui sude bangso on hita, ia anggo so
diakkui Debata pangalahon ta.” (Tidakklah begitu berarti pengakuan
semua bangsa terhadap kita, dibandingkan pengakuan Tuhan terhadap
perilaku kita).
Catatan: Sisingamangaraja, adalah Singa yang merajai. Para Datu atau
Tua-Tua Batak Toba, menjuluki Singa bagi Hukum dan Singa bagi para
raja. Padahal Singa tidak ada di Tapanuli, yang ada hanyalah
Harimau. Kalau dilihat dari makna simbolis alkitab, hanya Suku
Yehuda yang dijuluki Singa.
Seperti apa yang kemudian dijelaskan Marnangkok, Pemimpin
Parmalim, ” Untuk apa pengakuan dari setiap bangsa jika Tuhan
sendiri tidak mengakui perbuatan kita di dunia ini?” Nampaknya,
perjuangan Ugamo Parmalim sudah berujung pada kepasrahan. Dalam
kepasrahan ini tentu saja masih ada harapan. Tapi, harapan itu
bukanlah berasal dari dunia, melainkan dari Oppu Mula Jadi Nabolon.
Dalam harapan itu, ada pula ketaatan untuk selalu mempertahankan
hidup suci.
Selanjutnya ia mengucapkan kalimat dalam bahasa Batak, “Berilah
kepada kami
penghiburan yang menangis ini, bawalah kami dari kegelapan dunia ini
dan berilah kejernihan dalam pikiran kami.” Mereka yakin Debata
hanya akan memberkati orang yang menangis. Nah, dalam kepasrahan
yang berpengharapan inilah mereka hidup. Dalam keterasingan itu juga
mereka menyerahkan hidupnya pada “kemaliman” (kesucian). “Parmalim
adalah mereka yang menangis dan meratap,” katanya.
17). Ibadah setiap Hari Sabtu - Samisara -Marari Sabtu
Dalam ritual Ugamo Parmalim sendiri, terdapat beberapa aturan dan
larangan. Selain mengikuti 5 butir Patik ni Ugamo Malim (5 Titah
Ugamo Malim), juga terdapat berbagai kewajiban lainnya seperti
Marari Sabtu atau ibadah rutin yang diadakan setiap Sabtu. Dalam
menjelang hari Sabtu, pengikut Parmalim dilarang bekerja atau
melakukan kegiatan apapun. Penganut Parmalim melakukan ucapan syukur
pada setiap hari Sabtu.
Marnakkok Naipospos, pemimpin Parmalim mengatakan: “Samisara itu
hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari Sabtu,
supaya berlaku untuk selamanya.
Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak, yang muda ini bisa
bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu.”
Kewajiban lain di antaranya adalah Martutu Aek, yakni pemandian bayi
yang diadakan sebulan setelah kelahiran, Pasahat Tondi yaitu ritual
sebulan setelah kematian, Pardebataan, Mangan na Paet dan Pangkaroan
Hatutubu ni Tuhan.
18). Larangan makan Babi, Anjing, Binatang liar, dan Darah
Ada pun larangan yang hingga kini masih tetap dipertahankan di
antaranya adalah larangan untuk memakan daging babi dan darah hewan
seperti yang lazim bagi umat Kristen. Memakan daging babi atau darah
dianggap tidak malim (suci) di hadapan Debata. Padahal dalam ajaran
Parmalim sendiri dikatakan, jika ingin menghaturkan pujian kepada
Debata, manusia terlebih dahulu harus suci. Ketika menghaturkan
pelean (persembahan) kesucian juga dituntut agar Debata dan manusia
dapat bersatu. Selanjutnya, Raja Sisingamangaraja memiliki keturunan
hingga 12 keturunan. Itu pun secara roh.
19). Ritual
Inilah yang kemudian menjadi acuan pada acara atau ritual-ritual
besar Ugamo Parmalim yang diadakan rutin setiap Sabtu dan setiap
tahunnya. Ritual-ritual besar Parmalim itu seperti Parningotan
Hatutubu ni Tuhan (Sipaha Sada) dan Pameleon Bolon (Sipaha Lima),
yang diadakan pertama pada bulan Maret dan yang kedua bulan Juli.
Yang kedua diadakan secara besar-besaran pada acara ini para
Parmalim menyembelih kurban kerbau atau lembu. “Ini merupakan tanda
syukur kami kepada Debata yang telah memberikan kehidupan,” kata
Marnangkok.
20.) Kisah - Mitos
Dalam Kitab Parmalim, yakni Tumbaga Holing, terdapat kisah
manusia pertama, Adam dan Hawa termasuk taman eden dimana hawa
digoda si ular. Hal itu dalam istilah bahasa Batak Toba. Parmalim
itu bisa jadi merupakan ajaran usianya sudah ribuan tahun, jauh
sebelum Islam dan Kristen masuk dan mempengaruhi keyakinan etnis
Batak. Demikian pula dengan simbol dan pakaian kebesaran kerajaan
Batak Toba dan Parmalim, agama leluhur Bangso Batak Toba, cenderung
mendekati simbol-simbol agama Samawi, misalnya, tongkat, pedang,
sorban berwarna putih serta stempel kerajaan. Jika dihubungkan
cerita tentang penemuan mummy Mesir yang dibalsem dengan rempah-
rempah pengawet di antaranya kanfer (kapur barus) serta kisah
tentang Raja (Nabi) Sulaiman/ Salomo membutuhkan rempah-rempah dari
Ophir (Barus) di Tapanuli, diperkirakan jejak agama monotheisme
Israel terserap dan kemudian mengakar dalam keyakinan Parmalim –
Hamlimon – Ugamo Malim, agama Bangso Batak Toba.
dan masih banyak lainnya lagi….
Saya cukupkan saja dulu hingga disitu, karena terlalu letih untuk
membeberkan semua, termasuk indikasi-indikasi lemah yang banyak
jumlahnya. Jika data yang diatas itu saja dibawa kepada ahli
statistik, yang tentu akan mempertimbangkan semua aspek-aspek lain
yang terkait kedalamnya, simililaritasnya dengan tradisi bangsa
Israel kuno dengan bukti autentik tertulis dalam Alkitab, informasi
sejarah sekuler, tradisi Semitik yang ada hingga sekarang, serta
kesamaan tradisi itu pada suku Batak setelah kurun waktu kurang
lebih 3000 tahun, angka perbandingan untuk mengatakan bahwa suku
Batak Toba bukan keturunan Israel mungkin 1 : 1,000,000 bahkan bisa
jadi lebih.
Tulisan ini tidak bermaksud menampilkan superioritas ras, suku atau
bangsa atau budaya tertentu. Jika tulisan ini menimbulkan kesan
seolah-olah menonjolkan superioritas suatu budaya tertentu, hal itu
semata-mata terjadi karena topik yang berfokus pada peran suatu
etnis atau Bangso Batak Toba. Keberadaan unsur asing dalam
kebudayaan suatu bangsa adalah sebuah kewajaran. Penyerapan unsur
asing ke dalam suatu budaya lokal tidak berarti menunjukkan
inferioritas kebudayaan yang menyerapnya.
Sejarah justru mencatat, kebesaran suatu kebudayaan berkorelasi
positif dengan banyaknya unsur asing yang diserap dan dikembangkan
oleh komunitas budaya bersangkutan. Sejarah juga mencatat interaksi
suatu komunitas budaya dengan komunitas budaya lain, berjalan timbal
balik, tidak pernah searah saja. Tulisan ini mestilah dipahami
sebagai upaya menampilkan kemungkinan terjadinya pertukaran nilai
budaya dalam rentang waktu beberapa abad antara Timur dengan Barat.
Pada jaman Raja-raja Israel dan Yehudah, telah dilakukan kontak
dengan Barus, Tapanuli dengan Israel, Mesir, Persia, Cina, India,
Arab, Yunani dan Pakistan yang terjadi satu milenium sebelumnya,
hubungan dagang tersebut sudah berlangsung beberapa abad sebelum
masehi).
Dari berbagai sumber.
tulisan ini telah direvisi ulang lagi…
sumber:
http://dhymas.wordpress.com/israel-konspirasi/
ts ini cukup jelas dan berlogika , dan cukup berimbang dalam penjelasannya, dan biarlah apadanya seperti demikian , meski pahit , namun itulah realitanya , ditutup ? sudah pasti , demi kepentingan dan tujuan lebih besar...kemenangan ? tanyalah pada diri sendiri....Mulialah para tua2 yg telah bernyanyi lirih demi anak cucunya dan darah yg telah menjadi tanah menjadi saksi...dilupakan ? pastinya diharapkan...Tujuan tercapai ? diharapkan demikian...
sejarah adalah hidup manusia, dan apapun itu akan tetap ada meskipun ditutp dan disangkal... tetap semangat batak , meski saya orang lahir dan besar di rantau , namun saya tetap menjunjung hormat kaum leluhur saya...dibilang kanibal kah,, tidak ber-Tuhan kah, atau apapun itu julukan yg ditujukan dari dulu hingga sekarang , saya tetap bangga menjadi bagian dari batak..horas
Post a Comment