Rakyat Indonesia harus bersyukur dan berbahagia, karena sekarang memiliki Pemerintah dan Parlemen yang benar-benar sangat memperhatikan kehidupan warganya –dalam arti kata yang sesungguhnya- sampai ke masalah yang sekecil-kecilnya.
Setelah para wakil rakyat yang terhormat berinisiatif menyusun Rancangan Undang-Undang anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), kini Pemerintah telah menandatangani yang dinamakan Surat Peraturan Bersama (SPB) mengenai Pendirian Rumah Ibadah (lihat teks lengkap di bawah), menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) dua Menteri mengenai hal yang sama.
Sejumlah Kabupaten/Kota telah menerapkan butir-butir yang ada dalam RUU APP, yaitu kewajiban berbusana muslim bagi pegawai pemerintahan dan di sekolah-sekolah negri, seperti yang telah berlaku di Kabupaten Pamekasan, Ja-Tim, Kabupaten Maros, Sul-Sel, Kabupaten Sinjai, Sul-Sel, Kabupaten Gowa, Sul-Sel, Kabupaten Cianjur, Ja-Bar, Kabupaten Indramayu, Ja-Bar, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Kabupaten Maros, Sul-Sel, Tasikmalaya, Solok, Sum-Bar, Cianjur, Padang, Gowa, Gorontalo, juga di sekolah-sekolah negri di Jakarta, pada hari Jumat, para siswa/siswi telah diwajibkan mengenakan busana Muslim, bagi yang non-Muslim, harus mengenakan pakaian putih.
Bahkan Perda Tangerang No. 8 Tahun 2005 sudah lebih jauh lagi, tidak hanya mengatur busana, melainkan juga mengatur gerak-gerik warga –namun lebih cenderung yang dimaksud di sini adalah perempuan- di tempat-tempat umum, seperti tertera dalam pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "setiap orang yang bersikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, lapangan, penginapan, losmen, tempat hiburan, hotel, asrama warung kopi, jalan atau tempat lain."
Belum ada peraturan yang mengatur, apabila terjadi salah tangkap, karena pasti pemerintah tidak pernah berbuat salah, walaupun pada kenyataannya telah terjadi salah tangkap terhadap perempuan yang dicurigai sebagai pelacur, sehingga mereka terpaksa “menginap” di tahanan. Cuma ada satu kalimat untuk mereka: “Kacian deh lu!”
Tujuan dari RUU APP memang sangatlah mulia, seperti dirumuskan -oleh para penyusun, yang kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan- dalam Bab I, Bagian kedua, Pasal 3, yaitu:
“Anti pornografi dan pornoaksi bertujuan; Menegakkan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang beriman dan bertakwa dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian luhur kepadaTuhan Yang Maha Esa., Memberikan perlindungan, pembinaan, dan pendidikan moral dan akhlak masyarakat.”
Para penyusun yang kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan menilai, bahwa selama ini moral dan achlak masyarakat telah sangat rusak, telah terjadi dekadensi moral rakyat sehingga para pemimpin –pemerintah dan para wakil rakyat yang terhormat- kini memberikan petunjuk dan teladan mengenai achlak dan moral. Rakyat harus mencontoh moral dan achlak mereka yang menyusun dan mendukung RUU dan SPB ini, karena mereka adalah orang-orang yang kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan.
Sebagai salah satu cara untuk tercapainya tujuan ini, maka cara berpakaian setiap warga juga telah “diatur”, seperti tertera dalam RUU APP, Bab II, Bagian Kedua, Pornoaksi, Pasal 25 yang berbunyi: “Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual”, dan dalam penjelasan disebutkan: “Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.”
Jadi sangat jelas ‘khan? Para wakil rakyat yang terhormat telah membuktikan keakuratannya, sehingga tidak memungkinkan adanya multitafsir, karena yang berlaku hanya tafsir dan penjelasan para penyusun, yang kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan.
Agar semua warga mematuhi tata cara berpakaian dan perilaku yang diatur oleh Undang-Undang, maka sanksi pelanggaranpun telah dirinci, yaitu bagi para pelanggar, akan dikenakan hukuman penjara sampai sepuluh tahun dan/atau denda sampai dua milyar rupiah-. Jadi jangan coba-coba melanggar aturan ini. Lebih “aman” dagang narkoba daripada berurusan dengan hal-hal yang “sensual”, seperti “nasib baik” yang dialami oleh Hariono sang bandar narkoba, yang tertangkap basah memiliki 20 kg (!) sabu, hanya dituntut oleh jaksa tiga tahun penjara, dan pada hari yang sama divonis oleh hakim “sesuai” tuntutan jaksa, yaitu tiga tahun.
Dendanyapun sangat ringan. Dengan “berkelakuan baik”, setelah satu setengah tahun dia pasti sudah bisa resmi ke luar penjara, walaupun selama di penjara, kehidupan luxus tak perlu ditinggalkan; kamar pakai AC, ada TV, lemari es, makanan dari restoran terus, punya Handphone, sehingga tetap bisa mengendalikan “bisnis” dari dalam penjara, dan sering-sering “sakit” sehingga dapat surat dokter untuk “berobat” di luar penjara.
Para penyusun dan pendukung RUU APP - yang kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan- dipastikan, bahwa mereka tidak akan melanggar Undang-Undang yang mereka susun, dengan melakukan hal-hal yang terlarang tersebut di hotel-hotel berbintang atau di luar negeri, seperti yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang tidak bermoral, yang aman melakukannya di hotel-hotel berbintang atau di luar negeri, karena selama ini di hotel-hotel berbintang, tidak pernah dilakukan razia miras (minuman keras), narkoba, pornografi dan pornoaksi. Para penyusun dan pendukung RUU APP dipastikan tidak akan melakukan hal-hal tersebut, karena kredibilitas, achlak dan moralnya tidak boleh diragukan. Mereka tidak pernah menonton film porno atau berzinah. Lagi pula untuk apa berzinah, karena kawin-cerai ‘khan gampang! Kalau perlu masih ada jalan keluar, yaitu Kawin Siri.
Untuk mengatur kehidupan beragama dan “kerukunan beragama”, pemerintah telah mengeluarkan PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI, yang apabila diteliti pasal demi pasalnya, intinya bukanlah mengenai tatacara pendirian rumah ibadah, melainkan pengendalian kehidupan dan kerukunan beragama, yang lebih banyak “difasilitasi” dan dikendalikan oleh Pimpinan Pemerintahan Daerah, yaitu Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, sampai kepada Lurah dan Camat.
Pemerintah selama ini menilai, bahwa rakyat selalu berkonflik dalam masalah agama, (walaupun intinya adalah seringnya terjadi konflik dalam mendirikan rumah ibadah bagi umat non-Muslim), sehingga pemerintah “perlu” turun tangan untuk mengatur tatacara pendirian rumah ibadah (non-Muslim) tersebut. Juga dalam peraturan dua menteri ini tidak memungkinkan adanya multiinterpretasi, karena apabila timbul permasalahan, maka keputusan terakhir ada pada Gubernur untuk tingkat Provinsi, dan pada Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/kota.
Mungkin ini penjabaran slogan “Bersama Kita Bisa” dalam seluruh kehidupan masyarakat, sehingga menjadi “Bersama Kita Bisa Menyamakan Semua!”
Adanya RUU APP dan SPB dan berbagai Perda (Peraturan Daerah) di berbagai Kabupaten/Kota ini mengingatkan kita pada novel-fiksi karya George Orwell (nama samaran dari Eric Arthur Blair) dengan judul Nineteen Eighty-Four (1984) yang ditulis tahun 1948. Orwell menggambarkan suatu negara pada tahun 1984, di bawah suatu rezim totaliter yang mengawasi setiap tindak-tanduk warganya, sehingga tidak ada yang bisa lolos dari pengamatan penguasa yang disebut sebagai “Big Brother” (Bung Besar), dan di mana-mana ada plakat “Big Brother is watching you!” (Bung Besar mengawasimu!). Kini di banyak tempat, di perkantoran, hotel, tempat-tempat strategis dan penting, telah lama dipasang kamera yang memonitor lingkungan setempat (CCTV). Belakangan, Pemerintah DKI menambahkan kamera monitor di berbagai jalanan penting untuk pemantauan lingkungan.
Kalau dalam buku Orwell, tatacara berpakaian dan kehidupan spiritual tidak diatur atau dikendalikan, maka di Indonesia, apabila RUU APP ini disahkan dan SPB sudah diberlakukan (di sejumlah Kabupaten/Kota beberapa bagian telah diberlakukan), maka bukan hanya tindaktanduk di jalanan dan di tempat-tempat umum yang diawasi oleh “Big Brother” (Polisi susila?), melainkan tatacara berpakaian dan kehidupan/kerukunan beragama juga akan diatur dan dikendalikan oleh negara.
Semoga nama Ketua Pansus RUU APP, yaitu BALKAN Kaplale dari Fraksi Partai Demokrat, bukan merupakan petanda buruk bagi Kesatuan dan Persatuan RI. Ada pepatah bahasa Latin yang berbunyi: “Nomen est Omen”, artinya kurang lebih adalah: “Nama adalah petanda!” Semoga pengesahan RUU APP ini tidak mengakibatkan “Balkanisasi” Republik Indonesia, alias terpecah-belah seperti negara-negara di wilayah Balkan. Dipastikan, di beberapa Provinsi di Indonesia yang mayoritasnya adalah non-muslim, tidak menyetujui pengaturan yang berlebihan seperti ini!
Jadi untuk menghindari hukuman penjara dan denda yang besar, sebaiknya semua peraturan dipatuhi, dan jangan banyak kritik di tempat umum, karena apabila kritik rakyat sudah melampaui “batas” toleransi penguasa, maka Pemerintah dan DPR, yang mempunyai hak menyusun UU, termasuk seenaknya menaikkan gaji sendiri, dapat membuat Undang-Undang dan Peraturan, yang mengatur tatacara penyampaian pendapat di muka umum, bagaimana menunjukkan ekspresi wajah, nada suara akan diukur dengan alat pengukur dezibel, tidak boleh terlalu tinggi, mulut tidak boleh bau, dsb. Hal-hal lain akan diatur dalam perundang-undangan berikutnya.
Tidak tertutup kemungkinan, untuk mempermudah segala sesuatunya di kemudian hari para pecinta Niccolo Machiavelli hanya akan memberlakukan dua pasal dalam Undang-Undang, yaitu:
Pasal 1: Pemerintah dan DPR selalu benar,
Pasal 2: Apabila Pemerintah dan DPR melakukan kesalahan, maka otomatis Pasal 1 berlaku.
George Orwell sudah ketinggalan zaman!
Kita tak perlu memikirkan, mengatakan atau melakukan yang “macam-macam”!
Big Brother thinks everything for you.
Tidurlah dengan tenang dan nyenyak.
Good night, Big Brother is watching you. Farewell George Orwell!
Honi soit qui mal y pense! ( Wehe dem, der schlechtes dabei denkt!)
Wassalam,
Salam Sejahtera,
Shalom,
Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om,
Namo Buddhaya. Buddha Memberkati
Batara R. Hutagalung
==============================================
PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 9 TAHUN 2006
NOMOR : 8 TAHUN 2006
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan:
1. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
3. Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
4. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan yang selanjutnya disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
5. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setemapat sebagai panutan.
6. Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
7. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat.
8. Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya disebut IMB rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat.
BAB II
TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintah daerah dan Pemerintah.
Pasal 3
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur.(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi.
Pasal 4
(1) Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.(2) Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Pasal 5
(1) Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:a. memlihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsib. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil gubernur.
Pasal 6
(1) Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:a. memlihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota;b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama;c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat bergama;d. membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama;e. menerbitkan IMB rumah ibadat.(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada walikota/bupati/wakil walikota.(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada camat dan di wilayah kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/kepala desa melalui camat.
Pasal 7
(1) Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi:
a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.(2) Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi: a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilaya kelurahan/desa; dan b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.
BAB III
FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Pasal 8
(1) FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.(2) Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.(3) FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan yang bersifat konsultatif.
Pasal 9
(1) FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas:a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dand. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang bekaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.(2) FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas:a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota;d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan e. memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.
Pasal 10
(1) Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.(2) Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang.(3) Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota.(4) FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyarawah oleh anggota.
Pasal 11
(1) Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota.(2) Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:a. membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan b. memfasillitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antara sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.(3) Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan keanggotaan:a. Ketua : wakil gubernurb. Wakil Ketua : kepala kantor wilayah departemen agama provinsi;c. Sekretaris : badan kesatuan bangsa dan politik provinsi;d. Anggota : pimpinan instansi terkait.(4) Dewan Penasihat FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan keanggotaan:a. Ketua : wakil bupat/wakil walikota;b. Wakil Ketua : kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota; d. Anggota : pimpinan instansi terkait.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB IV
PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Pasal 13
(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.
Pasal 14
(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.
Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyarawah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Pasal 16
(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.(2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Pasal 17
Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
BAB V
IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG
Pasal 18
(1) Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan.a. laik fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:a. Izin tertulis pemilik bangunan;b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
Pasal 19
(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempetimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.
Pasal 20
(1) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.(2) Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.
BAB VI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 21
(1) Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.(2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat.
Pasal 22
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
BAB VII
PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasal 23
(1) Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah atas perlaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
Pasal 24
(1) Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. (2) Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
Pasal 25
Belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 26
(1) Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.(2) Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) FKUB dan Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.(2) FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan paling lambat 1(satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.
Pasal 28
(1) Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.(2) Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi.(3) Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud.
Pasal 29
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2006
MENTERI AGAMA
ttd MUHAMMAD M. BASYUNI
MENTERI DALAM NEGERI
ttd M. MOH MA'RUF
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
apa yang saya cari, terima kasih
Terima kasih atas informasi menarik
Post a Comment