Kronologi
Perjuangan
Menuntut Pemerintah Belanda
Untuk:
1. Mengakui
de jure Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945
2. Meminta Maaf Kepada Bangsa Indonesia Atas Penjajahan, Perbudakan, Genosida
Perampokan Kekayaan Nusantara di Masa Penjajahanm dan Atas kejahatan Perang
Serta Kejahatan Atas Kemanusiaan di Masa Agresi Militer Belanda di Republik Indonesia
Antara Tahun 1945 – 1950.
3. Bertanggungjawab Atas Masa Penjajahan dan Akibat Dari Agresi Militer
Belanda di Indonesia: Belanda Harus Membayar Pampasan Perang.
Diampaikan oleh
Batara R. Hutagalung
Pendiri/Ketua Komite
Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia,
Pendiri/Ketua Umum Komite
Utang Kehormatan Belanda
Berdirinya dan kegiatan-kegiatan KNPMBI - KUKB
Bagi mereka yang mengikuti
kegiatan Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak 8 Maret 2002, dan kemudian
dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB) sejak 5 Mei 2005, berita mengenai putusan pengadilan sipil
di Belanda ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena ini adalah sebagian dari
yang dituntut oleh KNPMBI dan kemudian oleh KUKB.
Berbagai media di Belanda
dan di Indonesia –terutama media cetak- telah sering memberitakan mengenai
kegiatan KNPMBI dan KUKB, namun mungkin kurang mendapat perhatian, dan banyak
yang tidak percaya, bahwa semua tuntutan tersebut akan direspons oleh pihak
Belanda, apalagi pengadilan di Den Haag, Ibukota Belanda, akan memenangkan
gugatan terhadap pemerintah Belanda.
Seluruh kegiatan ini
dirintis oleh Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 8 Maret 2002 oleh
10 organisasi. Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun
berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische
Compagnie), KNPMBI melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jl.
Rasuna Said dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Hasilnya adalah,
Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra mengusulkan untuk
diselenggarakannya suatu seminar internasional, di mana akan dibahas dua sisi
dari VOC. KNPMBI menyetujuinya.
Disampaikan oleh
Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)
Dan
Pendiri/Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda
Pendahuluan
Pada 14 September 2011, banyak kalangan di Indonesia dan di Belanda yang terkejut membaca atau mendengar berita mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag, yang memenangkan sebagian tuntutan beberapa janda dari Desa Rawagede terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda diputuskan bersalah dan bertanggung jawab atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana pada waktu itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Desa tersebut tanpa proses. Semuanya laki-laki di atas usia 15 tahun. Oleh karena itu pengadilan memutuskan, pemerintah Belanda harus memberi kompensasi kepada 9 janda yang masih hidup dan kepada Sa’ih bin Sarkam, seorang korban yang selamat terakhir dari pembantaian tersebut.
Namun putusan pengadilan di Belanda ini juga menunjukkan dengan jelas, bahwa tentara Belanda pada waktu itu dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadap warganya sendiri dan bukan terhadap warga Indonesia, karena baik pemerintah maupun pengadilan Belanda tetap menganggap de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, oleh karena itu, sampai tahun 1949 bagi pemerintah Belanda, Indonesia tetap merupakan bagian dari Belanda. Dalam pertimbangan putusannya pengadilan sipil di Belanda menyebut sebagai “fakta”:
2. De feiten
2.1. Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
Hal ini menunjukkan dengan jelas, bahwa bagi pemerintah Belanda dan pengadilan Belanda, sampai 27 Desember 1949, Republik Indonesia masih bagian dari Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, sampai detik ini pemerintah tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 agustus 1945.
Di Indonesia tidak banyak yang mengetahui, bahwa hingga saat ini, pemerintah Belanda tetap menolak untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima (Aanvarding) proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis, alias hanya de facto. Pernyataan ini seharusnya mengejutkan pemerintah dan rakyat Indonesia, karena pernyataan ini mengungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak eksis sama sekali, dan baru mulai tangal 16 agustus 2005, pemerintah Belanda “menerima eksistensi” Republik Indonesia. Dengan hanya diterima eksistensinya namun tidak diakui legalitasnya, maka pemerintah Belanda menganggap NKRI adalah “ANAK HARAM.”
Berdirinya dan kegiatan-kegiatan KNPMBI dan KUKB.
Bagi mereka yang mengikuti kegiatan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) sejak 8 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak 5 Mei 2005, berita mengenai putusan pengadilan sipil di Belanda ini tidaklah terlalu mengejutkan, karena ini adalah sebagian dari yang dituntut oleh KNPMBI dan kemudian oleh KUKB.
Berbagai media di Belanda dan di Indonesia –terutama media cetak- telah sering memberitakan mengenai kegiatan KNPMBI dan KUKB, namun mungkin kurang mendapat perhatian, dan banyak yang tidak percaya, bahwa semua tuntutan tersebut akan direspons oleh pihak Belanda, apalagi pengadilan di Den Haag, Ibukota Belanda, akan memenangkan gugatan terhadap pemerintah Belanda.
Seluruh kegiatan ini dirintis oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 8 Maret 2002 oleh 10 organisasi. Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie), KNPMBI melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jl. Rasuna Said dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Hasilnya adalah, Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra mengusulkan untuk diselenggarakannya suatu seminar internasional, di mana akan dibahas dua sisi dari VOC. KNPMBI menyetujuinya.
Spanduk Demo tanggal 20.3.2002.
Delegasi KNPMBI dipimpin oleh Batara R. Hutagalung,
diterima oleh Wakil Dubes Belanda, Alfons Stoelinga.
Pada 3 April 2002 pengurus KNPMBI dipimpin oleh Batara R. Hutagalung,
diterima oleh Dubes Belanda Baron Schelto van Heemstra
Pengurus KNPMBI bersama Dubes Baron Schelto van Heemstra.
Dari kiri: Dubes Baron Schelto van Heemstra, Dra. Irna Hadi Soewito,
Lukitaningsih Radjamin, Ketua Wirawati Catur-Panca, Batara R. Hutagalung
Pada 3 dan 4 September 2002, bertempat di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, dilaksanakan penyelenggaraan seminar tersebut. Pembicara adalah 4 sejarawan dari Belanda, dan 6 sejarawan Indonesia.
Pada 8 Maret 2005, KNPMBI memperbarui tuntutan kepada pemerintah Belanda. Tuntutan tersebut dideklarasikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan di Gedung Joang ’45, pada 8 Maret 2005.
Deklarasi tuntutan KNPMBI. Dari kiri: Ir. Agam Saifudin, Sekretaris KNPMBI,
Batara R. Hutagalung, Ketua Umum KNPMBI,
dan Ir. Raswari, pendukung KNPMBI
Peserta deklarasi tuntutan kepada pemerintah Belanda
Setelah acara selesai, pengurus KNPMBI berbincang-bincang
dengan hadirin. Duduk di sebelah Ir. Teuku Agam, Jeffry Pondaag,
yang kemudian bergabung dengan KUKB dan pada 18.12.2005 diangkat menjadi
Ketua KUKB Cabang Belanda
Tuntutan yang kemudian dimajukan oleh KNPMBI kepada pemerintah Belanda adalah agar pemerintah Belanda:
1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945,
2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Lihat:
http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html
Pada 9 Maret 2005, bekerjasama dengan Yayasan 19 September 1945, KNPMBI menyelenggarakan peringatan menyerahnya Belanda kepada Jepang di Kalijati.
Karena lingkup kegiatan dari KNPMBI sangat luas, dan tidak terbatas pada Belanda saja, maka diputuskan untuk membentuk suatu komite, yang fokus kegiatannya adalah meninjau semua permasalahan yang ada antara Republik Indonesia dan Belanda, baik masalah pengakuan de jure kemerdekaan Republik Indonesia, maupun masalah kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM.
Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung memberi kata sambutan di Kalijati, 9 Maret 2005.
Peserta peringatan di Kalijati.
Menurut para aktifis KNPMBI, masalah pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, adalah masalah harkat dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Dengan tidak diakuinya proklamasi 17.8.1945 oleh Pemerintah Belanda, berarti Pemerintah Belanda sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Apabila membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka ini merupakan pengkhianatan terhadap PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945, yang merupakan PILAR UTAMA bangsa Indonesia, dan menyia-nyiakan pengorbanan ratusan ribu rakyat Indonesia yang gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Alasan pemerintah Belanda ketika melancarkan “aksi polisional” adalah untuk membasmi para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang, guna memulihkan kembali “law and order.” Dengan membiarkan sikap pemerintah Belanda, maka berarti tetap membiarkan pandangan, bahwa para pejuang dan pahlawan Indonesia adalah para perampok, perusuh pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai Jepang.
Maka pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung Joang ’45, para aktifis KNPMBI meresmikan wadah baru, yaitu KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA. Pengurusnya indentik dengan pengurus KNPMBI. Sebagian terbesar kegiatan KNPMBI dan KUKB diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang sejak akhir Agustus 1945 merupakan salahsatu pusat pergerakan pemuda.
Pada 12 Mei 2005, bekerjasama dengan Yayasan 19 September '45, KUKB oertama kali menyelenggarakan seminar di Geung Joang '45, dengan judul "INDONESIA MENGGUGAT." Pembicara adalah HMS Tadjoedin (alm.), angkatan '45, Ketua Yayasan 19 September '45, Laksamana Madya (Purn.) Wahyono SK, PhD, Sekjend Legiun Veteran RI/anggota Dewan Penasihat KUKB), Batara R. Hutagalung, Ketua KNPMBI/KUKB. Moderator Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawati.
Dari kiri: Batara R. Hutagalung, HMS Tadjoedi (alm.),
Dra. Irna H.N. Hadi Soewito , Laks. Madya (Purn.) Wahyono, PhD
Pada 20 Mei 2005, seperti sebelumnya juga tuntutan KNPMBI, KUKB menyampaikan tuntutan kepada Pemerintah Belanda untuk:
1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945,
2. Meminta maaf atas penjajahan perbudakan, kejahatan perang dan berbagai pelanggaran HAM terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Sementara itu, dilakukan penelitian mengenai berbagai kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada bulan Agustus 2005, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung ke Makassar dan bertemu dengan Hj. Oemi Hani, 83 tahun, seorang saksi mata pembantaian yang dilakukan oleh Westerling (Lihat
KUKB juga melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede pada 9 Desember 1947 tentara Belanda yang membantai 431 penduduk desa (lihat
Dari berbagai penelitian tersebut, ternyata masih banyak janda korban pembantaian yang masih hidup, juga beberapa orang korban yang selamat.
Setelah melakukan berbagai penelitian mengenai peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda, maka butir tuntutan kepada Pemerintah Belanda ditambah dengan:
3. Memberi kompensasi kepada keluarga korban agresi militer Belanda yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Tuntutan ini tidak hanya terbatas pada peristiwa pembantaian di Rawagede, melainkan untuk seluruh korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Pada 16 Agustus 2005, dalam sambutannya di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda MENERIMA Proklamasi 17.8.1945 secara politis dan moral. Artinya hanya de facto, namun tidak secara yuridis, de jure, karena menurut Menlu Ben Bot sebagaimana disampaikannya dalam wawancara di Metro TV pada 18.8.2005, pengakuan kemerdekaan telah diberikan pada 27 Desember 1949, dan pengakuan hanya diberikan satu kali.
Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, dalam sambutannya di Den Haag pada 15.8.2005, pada peringatan pembebasan para interniran orang Belanda yang diinternir oleh tentara Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945. Ben Bot dengan jelas menyatakan, bahwa kini Pemerintah Belanda menerima de facto Proklamasi 17.8.1945 sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Pernyataan ini seharusnya sangat mengejutkan, karena dengan demikian terungkap, bahwa hingga 16 Agustus 2005, bagi Pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, TIDAK EKSIS SAMASEKALI!
Menjelang 17 Agustus 2005, pada 1 Agustus 2005, KUKB menyelenggarakan seminar dengan judul ’60 Tahun Kemerdekaan RI. Pemerintah Belanda Tidak Mengakui Kemerdekaan RI 17.8.1945.’ Pembicara adalah Drs. Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn.) Soekotjo Tjokroatmodjo, pelaku sejarah dan moderator Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, sejarawati.
Dari kiri: Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Irna HN Hadi Soewito, Soekotjo Tjokroatmodjo.
Setelah data mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede lengkap, pada 15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono, SH., MSc, menyampaikan masalah ini ke Tweede Kamer (Parlemen Belanda), dan diterima oleh dua anggota Parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders (waktu itu sebagai juru bicara PvdA- Partai Buruh. Sejak Februari 2007 menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan), dan Angelien Eijsink, juga dari PvdA. (lihat http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html
)
KUKB menyampaikan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab oleh Menlu Belanda, dan juga menyampaikan mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede, yang merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan.
Di International Criminal Court (ICC) di Den Haag, ada empat jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu genocide (pembantaian etnis), war crimes (kejahatan perang), crimes against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan) dan crime of aggression (Kejahatan agresi). Bert Koenders berjanji akan membawa masalah ini ke Parlemen Belanda.
Batara R. Hutagalung bersama Bert Koenders dan Angelien Eijsink di Parlemen Belanda di Den Haag.
Pada bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa tuntutan KUKB ke Parlemen Belanda dan meminta Menlu Ben Bot memberikan jawaban. Jawaban tertulis Menlu Ben Bot diberikan pada 28 Juni 2006.
(Teks surat lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/foreign-minister-ben-bot-answers.html)
Di Hilversum Batara R. Hutagalung dan Mulyo Wibisono bertemu dengan Ad van Liempt, Journalis senior dari media Andere Tijden. Ad van Liempt melakukan penelitian dan menerbitkan buku mengenai ‘Kereta Mayat Bondowoso’ (Lijken Trein van Bondowoso).
Dari Kiri: Sie Hok Tjwan, Batara R. Hutagalung, Ad van Liempt, Mulyo Wibisono, Charles Suryandi.
Ad van Liempt mengatakan, bahwa bagi pemerintah Belanda sangat dilematis, apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Apabila hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda, maka dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah, pemerintah Republik Indonesia dapat menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda, dan “ekses-ekses” yang dilakukan oleh tentara Belanda, sebagaimana disebut oleh pemerintah Belanda dalam laporannya tahun 1969 kepada parlemen Belanda dengan judul ‘De Excessennota’, adalah kejahatan perang.
Juga dalam kunjungan ke Belanda pada bulan Desember 2005, pimpinan KUKB bertemu dengan Jan Maassen, seorang ‘indonesië weigeraar’, yaitu wajib militer yang menolak untuk dikirim sebagai tentara ke Indonesia antara tahun 1946 – 1949. Pada waktu itu sekitar 6000 pemuda Belanda yang menolak untuk ikut dalam –menurut mereka- perang kolonial.
Batara R. Hutagalung bersama Jan Maassen.
Dalam kunjungan ke Belanda ini, pada 18 Desember 2005 bertempat di Wisma Indonesia di Den Haag, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung meresmikan berdirinya KUKB Cabang Belanda, dan mengangkat Jeffry Pondaag sebagai Ketua dan Charles Suryandi sebagai sekretaris. Seluruh kegiatan KUKB selama di Belanda tanggal 15 - 19 Desember 2005 dapat dilihat di Weblog, dengan judul: KUKB di Kandang Macan:
Ketua KUKB Batara R. Hutagalung (paling kanan) meresmikan KUKB Cabang Belanda.
Jeffry Pondaag (ketiga dari kanan) menjadi ketua, Charles Surjandi, (ketiga dari kiri) menjadi sekretaris
Sejak tahun 2005, setiap awal bulan Agustus KUKB menyelenggarakan seminar dengan tema yang sehubungan dengan tuntutan terhadap pemerintah Belanda, dan setiap tanggal 15 Agustus, KUKB mengadakan unjuk rasa di kedutaan Belanda di Jakarta. Tanggal 15 Agustus dipilih, karena di Belanda, setiap tanggal 15 Agustus dirayakan hari pembebasan para interniran dari kamp-kamp interniran Jepang dai Indonesia. Pada 15 Agustus 1945, orang-orang Belanda dan Eropa lain di internir oleh Jepang di berbagai kamp interniran.
Demo 15.8.2007. Diterima oleh Paul Ymkers, Sekretaris Bidang Politik.
Batara R. Hutagalung membuka seminar 11.8.2008.
Dari kiri, Dr. Saafroedin Bahar, alm. Ir. Nuli D. Siregar (moderator), Martin basiang, SH., Dr. Anhar Gonggong.
Pada bulan Oktober 2007, Ketua KUKB Batara Hutagalung dan Ketua Dewan Penasihat KUKB, Mulyo Wibisono berkunjung lagi ke Belanda dan bertemu dengan beberapa tokoh Belanda, dalam rangka pendekatan kepada mereka untuk mendukung tuntutan KUKB.
Bersama Prof. Henk Schulte-Nordholt.
Bersama Dr. Harry Poeze.
Di Belanda sendiri sudah banyak generasi muda Belanda, termasuk beberapa anggota parlemen Belanda, seperti Krista van velzen (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/open-brief-aan-minister-bot-erken-datum.html
) dan Harry van Bommel dari Partai Sosialis, yang tidak keberatan untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945 (lihat )
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/oppositie-wil-erkenning-17-augustus.html
. Demikian juga Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders, sebagaimana disampaikannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di Den Haag pada 15 Desember 2005, ketika dia menjabat sebagai jurubicara Fraksi PvdA (Partai Buruh).
Pada 22 April 2008, Ketua KUKB Batara Hutagalung berkunjung lagi ke Tweedekamer di Den Haag, dan bertemu dengan Krista van Velzen guna menggaris bawahi tuntutan KUKB). (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/05/kukb-gencar-lobi-parlemen-negeri-tulip.html
)
Korespondesi Batara R. Hutagalung dengan Krista van Velzen pada bulan Februari 2006 lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2007/02/letter-to-mrs-krista-van-velzen.html
Batara R. Hutagalung bersama Krista van Velzen di Parlemen Belanda di Den Haag.
Sejak bulan Juni 2006, peristiwa pembantaian di Rawagede telah lima kali dibahas di Parlemen Belanda. Pada 4 Januari 2008 Krista van Velzen mengajukan pertanyaan kepada Menlu Maxime Verhagen (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/kamervragen-krista-van-velzen-drs-mjm.htm. Terjemahan dalam bahasa Indonesia lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/tanya-jawab-parlemen-kamervragen.html
).
Pada pertengahan tahun 2006, KUKB telah menugaskan kantor pengacara di Belanda untuk mewakili kepentingan 9 orang janda korban dan satu korban selamat yang terakhir dari pembantaian di Rawagede 9 Desember 1947, untuk secara resmi mengajukan tuntutan kompensasi kepada Pemerintah Belanda. Tuntutan resmi dimajukan kepada Pemerintah Belanda pada bulan September 2008. (lihat
Demo, 15.8.2008, diterima oleh Paul Peters, Direktur Erasmus Huis.
Sebelum keberangkatan Harry van Bommel ke Jakarta, Harry van Bommel dan Krista van Velzen pada 10 Oktober 2008, menulis surat terbuka yang isinya mendesak Pemerintah Belanda memberikan kompensasi kepada para keluarga korban pembantaian di Rawagede. (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/10/harry-van-bommel-and-krista-van-velzen.html). Namun pada 24 November 2008, Pemerintah Belanda secara resmi menolak tuntutan tersebut dengan alasan, bahwa peristiwa tersebut telah lama berlalu (too old). Hal ini diberitakan oleh berbagai media internasional, yang mengutip berita dari Associated Press (AP).
Dalam kunjungannya ke Indonesia pada bulan Oktober 2008, delegasi parlemen Belanda masih mengkritisi masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sebagaimana disampaikan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selama ini, delegasi Belanda selalu mengunjungi Aceh, Maluku dan Papua barat, daerah-daerah yang letaknya ribuan kilometer dari Jakarta, yaitu daerah-daerah yang menjadi pusat perhatian Belanda, sehungan dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI.
Ketua KUKB mendesak delegasi Belanda untuk juga berkunjung ke desa Rawagede, yang jaraknya tidak sampai 100 kilometer dari Jakarta, di mana telah terjadi pelanggaran HAM berat, bahkan kejahatan perang, yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia, setelah bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17.8.1945.
Namun, sebagai hasil voting di antara delegasi Belanda, secara resmi mereka menolak untuk berkunjung ke Rawagede, dan bahkan juga menolak untuk bertemu dengan para janda korban pembantaian, yang akan berkunjung ke Hotel mereka di Jakarta. Dari 7 orang anggota Delegasi, semula hanya dua orang yang setuju untuk bertemu dengan 2 orang janda korban dan satu orang korban selamat dari pembantaian, yaitu Harry van Bommel dari Partai Sosialis dan Joel Voordewind dari Partai Christen Unie. Namun kemudian Harm Evert Waalkens anggota parlemen Belanda dari PvdA (Partai Buruh) juga menghadiri pertemuan tersebut, yang diselenggarakan di Hotel JW Merriott Jakarta pada 19 Oktober 2008. Pertemuan ini juga diberitakan oleh hampir seluruh media di Belanda.
Batara R. Hutagalung dan dua janda serta Sa'ih, korban selamat terakhir, bertemu
dengan tiga orang anggota Parlemen Belanda di Lounge Hotel JW Mariott.
Seluruh media di Belanda memberitakan mengenai hal ini, baik penolakan secara resmi dari delegasi parlemen, maupun kemudian pertemuan tiga orang anggota parlemen Belanda dengan para janda dan seorang korban selamat.
Sepulangnya di Belanda, ketiga anggota parlemen Belanda tersebut segera menyampaikan masalah ini kepada Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen. Pada 18 November 2008, Harry van Bommel menyampaikan MOSI di parlemen Belanda, yang isinya mendesak Pemerintah Belanda untuk menugaskan Duta Besar Belanda hadir pada peringatan peristiwa pembantaian yang akan diadakan di Rawagede pada 9 Desmber 2008. Mayoritas anggota parlemen Belanda mendukung Mosi tersebut, dan Menteri LN Belanda menugaskan Dubes Belanda Nikolaos van Dam untuk menghadiri acara peringatan tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/no-statute-of-limitations-on-dutch-past.html).
Duta Besar Belanda bersama Batara R. Hutagalung di Monumen Rawagede, 9 Desember 2008.
Hadirnya Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam pada acara peringatan pada 9 Desember 2008 merupakan suatu peristiwa yang sangat bersejarah, karena ini untuk pertamakalinya pejabat tertinggi Belanda di Indonesia hadir dalam suatu acara peringatan kekejaman tentara Belanda di Indonesia.
Pada 30 Desember 2008, Ketua KUKB, Batara R. Hutagalung mengirim surat terbuka kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/12/open-letter-to-minister-of-foreign.html).
Pada 14 Januari 2009, Batara R. Hutagalung mengadakan pertemuan sekitar 1 jam dengan Dirjen Kementerian LN Belanda, Pieter de Gooijer, di mana Pieter de Gooijer menyampaikan tanggapan atas surat terbuka dari Ketua KUKB. Batara Hutagalung menyampaikan a.l., bahwa pada peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana 431 penduduk laki-laki 15 tahun keatas dibunuh, maka tentara Belanda bukan hanya membuat desa Rawagede menjadi desa yang penuh janda dan anak yatim piatu, melainkan juga bagi suatu desa dengan dibunuhnya sebagian besar penduduk laki-laki usia produktif, maka hal ini menghancurkan perekonomian desa tersebut untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, terutama di Rawagede, Pemerintah Belanda benar-benar harus bertanggungjawab dan membantu pembangunan di Rawagede.
Melalui Pieter de Gooijer, Batara Hutagalung menyampaikan pesan kepada Menteri Kerjasama Pembangunan Bert Koenders untuk mengingatkan janjinya yang pernah diucapkannya dalam pertemuan pada 15 Desember 2005, di mana dia menyatakan akan membantu menyelesaikan masalah Rawagede.
Setelah pertemuan dengan Dirjen Pieter de Gooijer, Batara R. Hutagalung diundang untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Drs. Maxime Verhagen. Menlu Belanda mengatakan, bahwa Dirjennya telah menyampaikan kepadanya butir-butir pembicaraan dengan KUKB, dan menyatakan akan menanggapi hal-hal tersebut secara sungguh-sungguh.
Batara R. Hutagalung bersama Pieter de Gooijer.
Batara R. Hutagalung bersama Menlu Drs. Maxime Verhagen.
Pada bulan Februari 2009, Menteri Kerjasama Belanda Bert Koenders menyatakan akan membantu pembangunan di desa Rawagede, walaupun alasan yang dikemukannya adalah, bahwa desa Rawagede adalah suatu desa yang miskin. Alasan ini nampaknya untuk menghindari kesan, bahwa pemberian bantuan ini merupakan pemenuhan tuntutan KUKB, dan juga agar tidak memberikan kesan bahwa langkah ini bertentangan dengan pernyataan Menlu Maxime Verhagen pada bulan November 2008, yang telah menolak tuntutan pengacara para janda dari Rawagede. Pemerintah Belanda telah mengucurkan dana sebesar 1,16 juta US $ untuk bantuan pembangunan di Rawagede.
Yang kini perlu diawasi adalah penyaluran dana tersebut, yang dilakukan melalui Kementerian Dalam Negeri RI, agar tidak terjadi penyimpangan dalam penyaluran dana tersebut.
Proses di pengadilan sipil di Belanda berlangsung sejak tahun 2009, dan baru diputuskan pada 14 September 2011. Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mendengar mengenai desa Rawagede!
Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949.
*****
Dari tanggal 7 – 12 Oktober
2013, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara R. Hutagalung,
didampingi oleh Bendahara KUKB, Dipl.-Ing. Deddy Achmad Toekan berkunjung ke
Belanda.
Pada 9 Oktober, pimpinan
KUKB didampingi oleh dua anggota KUKB dari Jakarta dan sejumlah simpatisan di
Belanda, menemui dua anggota parlemen Belanda.
“Delegasi Indonesia” yang berjumlah 12 orang, diterima oleh dua anggota
parlemen Belanda yaitu, Angelien Eisjink, dari PvdA (PartaiBuruh)/partai pemerintah dan Harry van
Bommel, dari SP (Partai Sosialis)/partai oposisi, “Delegasi Indonesia” terdiri
dari Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB, Deddy Achmad Toekan, Bendahara KUKB,
Damis dan Satria Toekan, anggota KUKB, Sardjio Mintardjo, tokoh masyarakat
Indonesia di Belanda (Leiden), Sudarmoko, mahasiswa Indonesia di Universitas
Leiden, Dra. Farida Ishaja dan Revina Rahmat, pengurus Yayasan DIAN, Dr. Irman
Pasaribu, Eddy Djunaedy dan Anto Wibowo, pengurus Yayasan Bhinneka Tunggal Ika
(Amsterdam).
Selain itu hadir juga
sejarawan Belanda, Dr. Herman de Tollenaere, yang bersimpati terhadap
perjuangan KUKB. Beliau menulis disertasi untuk gelar Doktornya mengenai
gerakan Theosophy di Nederlands Indië.
Inti pembicaraan (Pertemuan
ini derekam dengan video camera berdurasi 40 menit):
1.
Terlebih dahulu KUKB memberikan klarifikasi,
bahwa tuntutan kompensasi untuk beberapa janda korban agresi militer Belanda,
bukan tuntutan KUKB, melainkan dilakukan oleh sempalan KUKB, yang telah keluar
dari konsep KUKB.
Tuntutan
utama KUKB adalah pengakuan de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Sebagaimana tertera
dalam informasi mengenai KUKB, KUKB menawarkan “Rekonsiliasi Yang bermartabat”,
artinya antara dua bangsa yang sederajat dan saling mengakui.
-
Harry van Bommel menjawab, bahwa sesuai hukum
internasional, pengakuan hanya dapat diberikan satu kali.
-
Batara Hutagalung mengatakan, bahwa Negara yang
diakui oleh pemerintah Belanda, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) sudah
dububarkan pada 16.8.1950, dan pada 17.8.1950 dinyatakan berdirinya kembali
Negara Kesatuan RI, yang kemerdekaannya 17.8.1945.
Apabila
pengakuan hanya diberikan satu kali, bagaimana dengan Negara-negara pecahan Uni
Sovyet dan Yugoslavia? Terutama Estonia dan Latvia, yang menyatakan
kemerdekaannya adalah sebelum diduduki oleh Uni Sovyet.
-
Harry van Bommel sepakat, bahwa mengenai hal ini
masih dapat dibicarakan.
2.
KUKB memberikan informasi, bahwa pada 1 Februari
2014 di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat, akan diselenggarakan peringatan
peristiwa pembantaian di Galung Lombok.
Pada 1
Februari 1947 pasukan elit Belanda, Depot
special Troepen di bawah komando Letnan Vermeulen telah membantai sekitar
700 penduduk desa. KUKB menyampaikan undangan kepada kedua anggota parlemen
Belanda untuk menghadiri acara peringatan tersebut.
-
Harry van Bommel menyatakan tidak dapat
meninggalkan Belanda, karena keadaan di Belanda cukup gawat.
3.
Juga disampaikan, bahwa pada akhir Oktober atau
awal November 2013 di Makassar akan diselenggarakan seminar, yang akan
mengungkap keterlibatan tentara Australia. Ternyata kedua anggota parlemen
Belanda tersebut tidak mengetahui adanya peran tentara Australia dalam membantu
Belanda untuk berkuasa kembali di wilayah Indonesia Timur.
4.
Terakhir disampaikan rencana menyelenggarakan
seminar di Belanda tahun 2014, yang akan membahas seluruh permasalahan yang ada
dalam hubungan Indonesia – Belanda. KUKB menanyakan kesediaan keduanya untuk
menjadi pembicara dalam seminar tersebut.
-
Keduanya bersedia menjadi pembicara dalam
seminar yang akan diselenggarakan di Belanda tahun 2014.
Catatan:
Pada bulan Juni 2008, pengacara yang mewakili para korban Rawagede menemukan dokumen yang menyebutkan, bahwa komandan tentara belanda yang memimpin penyerangan tehadap desa Rawagede pada 9 Desember 1947, Mayor Alfons Wijnen, ternyata mendapat pengampunan (impunity) dari Pemerintah Belanda pada tahun 1948.
Hal ini kembali menggemparkan masyarakat Belanda, karena mereka selama ini mengkritisi sikap Pemerintah Indonesia, yang dianggap memberikan pengampunan (impunity) kepada perwira-perwira TNI yang dianggap bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Timor Timur.
Pada 2 Juli 2009, Harry van Bommel dari Partai Sosialis, bersama Martijn van Dam dari Partai Buruh (PvdA) dan Marijko Peters dari Partai Hijau Kiri (Groenlinks) lagi mengajukan MOSI di Parlemen Belanda, yang isinya meminta Pemerintah belanda untuk meminta maaf atas pemberian pengampunan kepada Mayor Alfons Wijnen tersebut. (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/motie-van-het-lid-van-bommel-cs.html)
Namun Menlu Belanda Maxime Verhagen menolak Mosi ini dengan alasan, bahwa Pemerintah Belanda telah berulangkali menyatakan penyesalan atas terjadinya tindak kekerasan selama masa pengerahan militer Belanda di Indonesia.
Masyarakat Belanda baru sekarang mengetahui, bahwa semua hal yang mereka tuduhkan kepada Indonesia, ternyata telah dilakukan oleh tentara dan Pemerintah Belanda di masa lalu, dan selama ini semua hal tersebut selalu ditutup-tutupi oleh Pemerintah Belanda.
Sekarang di Belanda, boleh dikatakan hampir tidak ada orang yang tidak mengenal desa Rawagede!
Peristiwa pembantaian di Rawagede, bukanlah peristiwa pembantaian yang terbesar dan juga jumlah korban pembataian bukan jumlah terbanyak. Masih banyak lagi kasus-kasus yang jauh lebih besar, seperti pembantaian di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Raymond P.P. Westerling, di mana korbannya –menurut pihak Indonesia- mencapai 40.000 jiwa. Yang termasuk paling kejam adalah pembantaian di desa Galung Lombok, yang dilakukan pada 2 Februari 1947. Demikian juga peristiwa pembantaian di Kranggan, dekat Temanggung, Jawa Tengah, yang dilakukan oleh tentara Belanda bulan Januari dan Februari 1949.
Selain itu, peristiwa kudeta yang gagal yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elit Belanda KST (Korps Speciaale Troepen) pada 23 Januari 1950, setelah Pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” kepada Pemerintah RIS, di mana sekitar 90 orang TNI yang tidak bersesenjata tewas dibunuh di Bandung, adalah juga tanggungjawab Pemerintah Belanda, karena pimpinan tertinggi militer Belanda telah mengetahui rencana Westerling tersebut.
Setelah kudetanya gagal, pimpinan tertinggi militer Belanda membantu Westerling meloloskan diri ke Singapura, dan di Belanda, dia tidak dihukum, bahkan sebaliknya, dia disambut oleh masyarakat Belanda sebagai pahlawan.
Menurut informasi yang diperoleh KUKB baik dari Belanda maupun di Indonesia, Pemerintah Belanda sangat mengkhawatirkan pengungkapan kejahatan perang yang dilakukan oleh Westerling dengan pasukan elitnya, Depot Speciaale Troepen (DST) di Sulawesi Selatan antara tanggal 12 Desember 1946 – 7 Februari 1947, karena dampaknya akan lebih dahsyat dibandingkan dengan pembantaian di Rawagede.
Pengungkapan semua kejahatan perang dan berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara belanda di Indonesia, akan menjatuhkan pamor Belanda sebagai Negara tempat “pusat keadilan dunia”, dan akan memperkuat posisi tawar (Bargaining position) Pemerintah Indonesia dalam menghadapi Pemerintah Belanda.
Demikian juga di masa datang, apabila delegasi parlemen Belanda masih terus mempertanyakan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia serta tudingan pemberian pengampunan (impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM di Indonesia, maka hal ini dapat dibalikkan kepada mereka, dengan mempertanyakan kasus-kasus kejahatan perang dan pemberian pengampunan kepada penjahat perang Belanda.
Kegiatan KUKB juga mendapat dukungan dari banyak pihak di Belanda, terutama ketika mengumpulkan dana dari masyarakat Belanda yang telah mencapai lebih dari 100 juta rupiah untuk para janda korban pembantaian di Rawagede.
Voting di parlemen Belanda pada 18 November 2008, di mana Mosi yang dimajukan oleh Harry van Bommel telah disetujui oleh mayoritas anggota parlemen Belanda menunjukkan, bahwa di parlemen Belanda telah berhasil dibentuk suatu pandangan baru sehubungan dengan Indonesia, di mana selama ini citra Indonesia di mata parlemen Belanda sangat negatif, dan selalu dikritik.
Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan oleh KUKB, dan sebelumnya oleh KNPMBI, terbukti sangat efektif. Menurut beberapa kalangan, baik di Belanda maupun di Indonesia, termasuk beberapa mantan diplomat Indonesia, KNPMBI dan KUKB telah menjalankan second track diplomacy, atau diplomasi jalur kedua, yaitu melakukan hal-hal yang secara resmi tidak dapat dilakukan oleh satu pemerintah guna menyelesaikan beberapa permasalahan internasional.
Second track diplomacy -yang sebelumnya juga dilakukan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) terhadap Inggris- yang dijalankan oleh KNPMBI dan KUKB telah terbukti sangat effektf dan effisien, dan dapat merubah peta pro dan kontra di Belanda. Diakui atau tidak oleh Pemerintah Indonesia, kegiatan yang dilakukan oleh KNPMBI dan KUKB telah memperkuat posisi tawar Indonesia terhadap Belanda. Indonesia masih dapat memainkan “senjata pamungkas”, yaitu membuka semua lembaran hitam masa lalu Belanda di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
*****