Friday, September 20, 2013
Press Release KUKB, 12 September 2013
Sunday, September 01, 2013
MENLU RI: PROKLAMASI 17.8.1945 TIDAK SAH
Membedah Keynote Speech Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dalam Seminar
Peringatan Perjanjian Linggarjati
Di Kuningan, 11 November 20016
MENTERI LUAR
NEGERI RI HASSAN WIRAJUDA BERPENDAPAT,
PROKLAMASI 17
AGUSTUS 1945 TIDAK SAH
REAKSENTUASI
KEKUATAN DIPLOMASI
SEBUAH REFLEKSI
SEJARAH PERUNDINGAN LIGGARJATI
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
Pengantar
Dr. Hassan Wirajuda ketika sebagai Menteri Luar Negeri
RI memberi Keynote Speech dalam
Seminar peringatan Perjanjian Linggarjati
di Kuningan pada 11 November 2006. Dia mengatakan a.l.:
"… Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak menentukan nasib sendiri apabila demand metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak, tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak akan ada …
… saya sering
mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita
memaknai kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya,
pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara telah ketahui, tidak
bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia internasional pada saat itu…”
Dengan kata lain:”Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 TIDAK SAH, karena negara penjajah TIDAK SETUJU!
Teks lengkapnya, lihat di bawah ini:
(Link ini kemudian “hilang dari situs Kementerian Luar
Negeri RI)
Peringatan 60
Tahun Perundingan Linggarjati
Monday, 13 November 2006 20:14
Deplu bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan, menyelenggarakan Seminar Nasional Peran Diplomasi dalam Perjuangan Bangsa dengan tema “Reaksentuasi Kekuatan Diplomasi, Sebuah Refleksi Sejarah Perundingan Linggarjati” pada tanggal 11 November 2006 di Kabupaten Kuningan. Seminar yang didahului oleh upacara peringatan 60 tahun Perundingan Linggajati di Museum Perundingan Linggarjati, Kuningan, yang direncanakan akan dibuka oleh Menteri Luar Negeri dengan narasumber Prof. Dr. Rosihan Anwar, Duta Besar Nana S. Sutresna, Prof. Dr. Anhar Gonggong, dan Prof Dr. Leirissa.
Dalam kesempatan ini juga akan diluncurkan buku Museum Perundingan Linggarjati sebagai suatu bentuk kepedulian Departemen Luar Negeri dalam melestarikan bangunan bersejarah yang mengandung nilai-nilai perjuangan bangsa khususnya melalui jalur Diplomasi.
Perundingan Linggarjati merupakan tonggak sejarah yang sangat penting karena pada perundingan tersebut secara de facto eksistensi RI diakui oleh Belanda yang untuk pertama kalinya mau duduk berunding sejajar dengan Pemerintah Indonesia. Selain itu, perjuangan diplomasi Indonesia melalui Perundingan Linggarjati menunjukkan bahwa keterpaduan antara perjuangan fisik dan diplomasi telah membuahkan hasil pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia, sekaligus menjadi sumbangsih bangsa Indonesia bagi perubahan mendasar tata dunia ketika itu yang tidak mengakui kemerdekaan suatu negara sebagai hak namun diberikan bila mendapat persetujuan dari negara penjajahnya.
Perundingan Linggarjati juga merupakan simbol tekad dan kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai melalui dua kekuatan bangsa, yaitu kekuatan moderasi dan kekuatan dialog. Kekuatan moderasi sebagai karakter alamiah Indonesia sebagai bangsa yang moderat merupakan keyakinan akan kebenaran prinsip-prinsip yang dianut oleh Indonesia tanpa meniadakan sikap toleransi terhadap prinsip dan kepentingan pihak lain. (DIPLIK)
Seminar Nasional pada tanggal 11-12 November 2006
Press Briefing kali ini dimulai dengan penyampaian
mengenai penyelenggaraan seminar nasional tentang peran diplomasi dalam
perjuangan bangsa dengan tema ”Reaksentuasi Kekuatan Diplomasi: Sebuah Refleksi
Sejarah, Perundingan Linggarjati”, yang akan berlangsung pada tanggal 11-12
November 2006 di Hotel Grage Sangkan Linggarjati, Kuningan. Seminar ini
dihadiri oleh Menlu RI dan sejumlah narasumber, yaitu antara lain Rosihan
Anwar, Nana Sutresna, dan Anhar Gonggong.
Jubir menyampaikan lebih lanjut bahwa tujuan dari pelaksanaan seminar
ini adalah juga dalam rangka melestarikan bangunan sejarah yang mengandung
nilai-nilai perjuangan bangsa, khususnya melalui cara diplomasi.
Catatan: Tulisan di dalam kurung
dengan huruf Italic (huruf miring)
dan di-bold (dihitamkan), adalah
komentar dari Batara R. Hutagalung, disingkat dengan BRH.
********
Keynote Speech Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda Dalam Seminar “Reaksentuasi Kekuatan Diplomasi; Sebuah Refleksi Sejarah Perundingan Linggarjati”
Kuningan, 11
November 2006
Yang saya hormati Bupati Kuningan, Bpk. Aang Hamid Suganda,
Yang Mulia Bapak Duta Besar Belanda, Nikolaos Van Dam
Yang saya hormati Bapak Duta Besar Nana S. Sutresna,
Yang Saya Hormati Bapak Rosihan Anwar, dan Hadirin
Sekalian,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat Pagi, dan Salam sejahtera bagi kita semua,
Sungguh suatu hal yang menggembirakan ketika saya mendengar bahwa Pemerintah Kabupaten Kuningan bermaksud memperingati 60 tahun Perundingan Linggarjati. Inisiatif yang berasal dari Pemerintah Daerah ini merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap perjuangan diplomasi Bangsa Indonesia. Lebih dari itu, inisiatif ini mencerminkan kesadaran akan potensi yang dimiliki Kabupaten Kuningan, sekaligus keinginan untuk memanfaatkan potensi itu untuk kebaikan bersama.
Kita terkadang lupa untuk melihat potensi yang kita
miliki; sebaliknya kita justru melihat apa yang TIDAK kita miliki, atau apa
yang dimiliki orang lain.
Sejarah bangsa kita adalah milik kita bersama. Tugas
kita bersama adalah memelihara kebenaran sejarah dan belajar dari nilai-nilai
dan pengalaman bersama yang terkandung didalamnya. Periode tahun 1945 sampai
dengan 1950 merupakan bagian terpenting dalam sejarah perjuangan bangsa. Karena
kurun waktu itu merupakan periode pembentukan karakter dasar negara dan bangsa
Indonesia, atau disebut sebagai “the
formative years”, masa-masa pembentukan, seperti halnya kehidupan manusia,
masa lima tahun pertama merupakan masa sangat indah dan berpengaruh dalam
kehidupan seorang manusia.
Saya menganggap penting pemahaman yang baik, sungguh lebih baik oleh kita semua terhadap sejarah perjuangan bangsa periode 1945-1950. Sebagai seorang yang tidak mengalami babakan sejarah masa itu, saya memberikan perhatian penting termasuk dalam studi saya, saya melakukan penelitian dan menulis master thesis saya, ketika saya belajar di Amerika Serikat yang berjudul The Indonesian Questions and the Security Councils.
Bangsa Indonesia memiliki banyak pemikir dan negarawan besar dalam masa pembentukan itu. Mereka adalah para pendiri bangsa yang mempunyai visi bagi masa depan bangsa, sekaligus tekad untuk mewujudkannya. Ruh dan semangat juang itulah yang harus kita warisi sebagai inspirasi bagi upaya kita bersama mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Sebagai salah satu rangkaian peringatan 60 Tahun Perundingan Linggarjati, pada seminar ini saya ingin mengajak kita semua untuk melakukan refleksi, renungan tentang jati diri bangsa Indonesia. Apa alasan mendasar, “raison d’etre” dari negara ini dan apa potensi yang kita miliki? Apa sumbangsih yang bisa kita berikan sebagai bangsa kepada dunia?
Sejarah Indonesia di awal perjuangan menegakkan
kemerdekaan menunjukkan bahwa perjuangan diplomasi memainkan peranan yang signifikan. Terus terang dari penelitian saya, khususnya
pada periode sejarah ‘45-‘50 ini, saya melihat kurangnya apresiasi atau
penghargaan bangsa terhadap peran diplomasi. Kalau dalam upaya menegakkan
kemerdekaan (pandangan ini berarti bahwa Indonesia belum merdeka pada 17.8.1945 –
BRH) kita mengkombinasikan, memadukan perjuangan fisik dan diplomasi,
memang yang lebih membekas, berkesan, yang diberikan apresiasi yang sifatnya
lebih banyak pada perjuangan fisik, oleh karena itu tidak banyak nama jalan
yang diberikan kepada para pendahulu republik ini yang justru memberikan
kontribusi yang penting dalam menegakkan kemerdekaan bangsa.
Kalau kita menyelami apa yang terjadi pada babakan
sejarah pada waktu itu. Saya tadi menyatakan, dalam pidato saya sebelumnya,
memang kita berhadapan dengan Belanda, tetapi sesungguhnya kita berhadapan
dengan dunia,
(BRH:
Dunia yang mana? Di PBB mayoritas adalah Negara negara dunia ke-3 dan
Negara-negara blok komunis yang menentang imperialisme dan kolonialisme)
bayangkan pada waktu itu proklamator kita dengan lantang menyatakan “Kami
Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” demikian juga
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar, yang menyatakan bahwa “kemerdekaan itu
adalah hak segala bangsa” dapat kita pertanyakan apakah kemerdekaan itu dapat
dinyatakan?
(BRH:
Jelas dapat! Lihat pernyataan kemerdekaan Belanda, USA, negara-negara Amerika
Selatan, dll., yang memisahkan diri dari negara-negara penjajahnya.)
Saya yakin 100% bapak-bapak dan ibu-ibu mengatakan iya, tetapi mudah mengatakan
sekarang, tetapi 60 tahun lalu tidak demikian , mengapa?
Karena tatanan dunia atau international order yang berlaku setelah berakhirnya perang dunia kedua yang direfleksikan dalam piagam PBB, atau UN Charter, berbeda dengan tatanan nasional kita yang kita cerminkan dalam UUD 1945, mempunyai konsepsi yang tidak hanya berbeda, tetapi bertolak belakang. Yang saya maksud adalah bahwa dalam piagam PBB Prinsip hak menentukan nasib sendiri atau “self-determination” dalam tidak dimaksudkan sebagai hak suatu bangsa terjajah untuk merdeka. Saya mendalami bagaimana proses perundingan di San Fransisco.
(BRH: Ngawur sekali! Wirayuda tidak
mengikuti proses terciptanya kalimat “right for self determination of peoples
dari tahun 1896, kemudian pernyataan Woodrow Wilson tahun 1918 dan Atlantic
Charter 14 Agustus 1941 serta pernyataan Ratu Belanda Wilhelmina di London pada
7 Desember 1942)
Kebetulan bersamaan waktunya ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) antara periode bulan mei-agustus, merancang UUD 45 Ingat piagam jakarta, kecuali tujuh kata yang kemudian dihapuskan yang lalu menjadi pembukaan UUD 45 pada tanggal 22 juni 1945 sudah sangat jelas memuat kalimat pertama yang menegaskan Kemerdekaan sebagai hak suatu bangsa. Tetapi di San Fransisco, dalam perundingan tentang Piagam PBB disana disepakati bahwa dengan hak menentukan nasib sendiri dimaksudkan tidak lebih sebagai self rule, dan itu belum merdeka.
(BRH: Wirajuda harus menunjukkan, di mana tertera “kesepakatan” tersebut.
Apakah Negara-negara di PBB begitu bodoh untuk menyatakan, bahwa self rule itu
artinya belum merdeka?!)
Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak menentukan nasib sendiri apabila demand metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak, tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak akan ada.
(BRH: Wirajuda
juga tidak mengetahui, bahwa kemerdekaan Belanda, Amerika Serikat, dll.,tidak
tergantung dari pengakuan negara-negara mantan penjajah. Lihat antara lain
Konvensi Montevideo 26 Desember 1933).
Oleh sebab itu, ini yang harus kita pahami beratnya
perjuangan diplomasi pada masa itu, bahwa yang kita tentang pemerintah kolonial
Belanda, ya tetapi juga tatanan dunia (BRH: Telah disebutkan di atas, DUNIA YANG
MANA?). Kenapa konsepsi ini tidak memaknai hak kemerdekaan? Karena kita
tahu bahwa yang menjadi negara-negara anggota dalam perundingan itu sebagian
besar adalah negara eropa, dan kita tahu sebagian besar negara eropa mempunyai
negara jajahan (hanya 7 Negara dari 32 negara di Eropa. Juga hanya negara-negara Eropa
Barat, sedangkan Negara-negara Eropa Timur tidak ada yang mempunyai jajahan,
bahkan menentang kolonialisme!). Ada dua negara yang waktu itu
mendukung konsepsi self determination
sebagai hak untuk merdeka adalah AS dan Australia (Bukan hanya dua, Uni Soviet,
Ukraina, Argentina, dll., juga mendukung kemerdekaan Negara-negara terjajah).
Karena itulah dalam proses diplomasi kita menggalang pengakuan internasional, recognition akan kemerdekaan yang
diproklamirkan pada 17 Agustus tahun 1945 itu adalah perjuangan yang tidak
mudah.
Dengan kata lain, yang kita saksikan di tanah air, pada saat periode ‘45-‘50, katakanlah sampai dengan 27 Desember tahun 1949, peperangan bentrokan fisik sebetulnya merupakan semburan api dari benturan dua tatanan, tatanan nasional kita, berdasarkan UUD 45, dan tatanan dunia berdasarkan Piagam PBB yang pada saat itu belum mengakui hak kemerdekaan bangsa terjajah untuk merdeka. (BRH: Pernyataan yang luar biasa ngawur dan sangat menyesatkan, karena tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Di sini digambarkan, seolah-olah membenturkan Republik Indonesia sebagai satu-satunya bangsa dan Negara di dunia, melawan SELURUH DUNIA!)
Ketika kita diterima sebagai anggota PBB pada tahun 1950, apa yang kita yakini, kita tuangkan dalam UUD 45, kita nyatakan dalam proklamasi kita, kita perjuangkan, dan diterima sebagai konsep internasional. Melalui komite dekolonisasi, dimana kita menjadi salah satu pelopornya, melalui penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada tanggal 23 april 1955, maka baru pada tahun 1960, melalui resolusi PBB, untuk pertama kali diakui, all peoples have the rights to self determinations, in their virtue of their pride they shall determine their own political, economic and social system. ini dimuat dalam resolusi 1514 tahun 1960, yang berjudul pemberian kemerdekaan bagi bangsa-bangsa terjajah.
Jadi sekitar 15 tahun sejak PBB didirikan, baru tiba pada tahun 60 tentang hak bangsa terjajah merdeka, sesuatu yang telah menjadi keyakinan penuh pemimpin bangsa kita sejak jaman dahulu, bahwa kemerdekaan memang merupakan hak bangsa-bangsa, hal ini menjadi solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika, maka pada periode itu seterusnya pada tahun 60-an lahirlah bangsa-bangsa Asia Afrika yang merdeka. Coba bayangkan, perjuangkan kita untuk kita sendiri, memperoleh pengakuan hak kita sendiri, tetapi kita juga memperjuangkan hak-hak bangsa terjajah lain, umumnya di Asia dan di Afrika untuk merdeka. Mungkin ketika disampaikan baru kita menghargai bagaimana besaran konsep para pemimpin negara kita waktu itu, saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita memaknai kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia internasional pada saat itu.
(BRH: Sungguh luar biasa pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia,
yang terkesan ingin menyenangkan hati Duta Besar Belanda yang hadir. Dengan
demikian, Wirajuda membenarkan “aksi polisional” Belanda untuk membasmi para
perusuh, perampok, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh
Jepang, yang untuk bangsa Indonesia adalah pejuang yang mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia!)
Yang kedua karena kita katakan itu hak kita, maka
kalimat kedua, pemindahan kekuasaan diselenggarakan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya, kita bicara pemindahan, karena kemerdekaan itu hak kita,
kita tidak memerlukan persetujuan siapa-siapa, karena itu memang hak saya.
Karena itu kita tidak setuju dengan konsep serah terima kekuasaan. Disini saya
punya kesempatan diskusi panjang dengan Duta Besar Van Dam, kita mencoba
melihat kembali dengan penuh kematangan dan apresiasi kita terhadap sejarah,
kita sadari bahwa memang ada perbedaan-perbedaan, dengan refleksi penilaian
dengan sikap Belanda yang pada itu tidak menerima kemerdekaan Indonesia sebagai
bagian dari sejarah. Tetapi fakta bahwa kita bisa mendiskusikan hal tersebut
merupakan cermin dari kematangan diri kita.
(BRH:
Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta telah mengakui, bahwa . “… In retrospect, it is clear that its
large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands
on the wrong side of history. The fact that military action was taken and
that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and
bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A
large number of your people are estimated to have died as a result of the
action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I
wish to express my profound regret for all that suffering…”)
Jadi dalam rangkaian perjuangan diplomasi itulah, Linggajati telah memainkan peranan penting, saya tidak mengatakan bahwa Linggarjati merupakan persetujuan yang memuaskan, karena memang kita tahu ada penolakan, tapi Linggarjati setidaknya merupakan guliran pertama dari tiga guliran penting yang menuju pada ujungnya pengakuan dan penghormatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di masyarakat Internasional.
(BRH:
Pernyataan yang sangat menyesatkan lagi. 1. Linggarjati, Renville dan KMB
adalah tonggak-tonggak penghapusan RI, 2. Hasil KMB, pemerintah Belanda BUKAN
MENGAKUI, melainkan “MEMINDAHKAN KEDAULATAN” –“SOEVEREINITEITSOVERDRACHT”
KEPADA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT – RIS!, karena RIS dipandang sebagai
kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië, yang harus menanggung utang
pemerintah Nederlands Indië kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar
gulden, di mana di dalamnya termasuk biaya agresi militer 1 dan 2. RIS
dibubarkan pada 16 Agusus 1950. Tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya
kembali NKRI berdasarkan proklamari 17 Agustus 1945 )
Hadirin yang saya hormati,
Di era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi
sekarang ini, dengan interaksi antar-negara dan antar-masyarakat yang semakin
erat, dunia dan umat manusia masih dihadapkan pada berbagai konflik bersenjata.
Kekerasan dan kekuatan senjata masih menjadi pilihan dalam menyelesaikan
persoalan antar-manusia di berbagai belahan bumi.
Kita bersyukur bahwa di kawasan kita, selama 40 tahun terakhir ini kita menikmati suasana damai, jika kita bandingkan dengan situasi di belahan dunia lain, Palestina baru dua hari lalu, 18 korban meninggal akibat serangan Israel, di Irak, tiap hari puluhan rakyat Irak meninggal karena kekerasan. Tetapi bersyukur karena kawasan kita menikmati suasana damai. Dan itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi upaya diplomasi kita, salah satunya adalah ASEAN, jadi diplomasi juga turut menyumbangkan upaya menciptakan Indonesia yang aman, Indonesia yang damai, Asia Tenggara yang aman dan Asia Tenggara yang damai, dan dengan begitu kita memiliki waktu dan energi untuk kepentingan pembangunan ekonomi kita.
Karena itu kita berkepentingan untuk membantu menyelesaikan konflik di negara lain, entah melalui upaya peacemaking, misalnya melalui membantu konflik kamboja, konflik di Filipina selatan, kita mengirim pasukan-pasukan perdamaian, sekarang dalam proses ke Lebanon, saya kira amanat konstitusi kita agar Indonesia ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia, world order berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, merupakan amanat yang sangat penting, sebab dengan itu kita diamanatkan untuk menjadi bangsa yang tidak egois, yang hanya memikirkan diri sendiri, tetapi bangsa yang harus aktif , dalam upaya menciptakan perdamaian dunia.
Kita mungkin menganggap suatu kelumrahan apabila konflik diselesaikan cara-cara damai, melalui perundingan, karena sesungguhnya ini juga refleksi dari kecenderungan kita mungkin dapat dikatakan karakter kita yang sangat mengedepankan dialog. Linggarjati merupakan simbol dari kemampuan dan kemauan bangsa kita untuk menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai.
(BRG:
Perundingan Linggajati dan Renville hanyalah taktik Belanda untuk mengulur
waktu dalam rangka mempersiapkan agresi militernya secara besar-besaran
terhadap Republik Indonesia. Pada waktu yang bersamaan, Belanda memberlakukan
wajib militer di Belanda, dan kemudian mengirim 150.000 tentaranya ke
Indonesia, dibantu oleh 60.000 pribumi di Indonesia yang direkrut menjadi
serdadu KNIL dan sekitar 50.000 pasukan Po An TUI, yaitu pasukan bangsa Cina
yang tingal di Indonesia).
Kemampuan menciptakan perdamaian tersebut sangat ditentukan oleh dua kekuatan bangsa, yaitu kekuatan moderasi dan kekuatan dialog --- atau the force of moderation and the force of dialogue.
Kekuatan moderasi adalah karakter alamiah kita sebagai bangsa yang moderat. Moderasi bukanlah cara untuk mengalah. Justru kekuatan moderasi adalah keyakinan akan kebenaran prinsip-prinsip yang kita anut, tanpa harus menihilkan sikap toleransi terhadap prinsip dan kepentingan pihak lain. Keberhasilan suatu proses perundingan sangat tergantung pada kekuatan moderat di masing-masing pihak yang berunding.
Kekuatan dialog juga merupakan karakter bangsa kita, yang tidak lain lahir dari kebhinekaan kita. Bagi kita sebagai negara yang sangat pluralistik, sangat beragam, dialog merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. salah satu dasar refleksi adalah filosofi kita yaitu musyawarah untuk mufakat. Kekuatan dialog hanya bisa kita raih apabila secara sadar dan terus menerus kita pelihara dan perkuat. Sejarah telah banyak mencatat bahwa dialog adalah kunci dari penyelesaian konflik secara damai.
Karena itu saya menyambut baik pemikiran bapak Bupati untuk mengembangkan dialog, mengembangkan cara-cara damai dalam menyelesaikan, bukan menggunakan otot, tetapi menggunakan otak dan perasaan, sesuatu yang memang bisa dilatih, sebab itu di Departemen luar negeri, bagi para calon diplomat, terutama Diplomat Madya dan Senior, negosiasi merupakan suatu yang kita ajarkan, banyak buku referensi mengenai itu, yang paling populer adalah “Getting to Yes”, bagaimana orang lain mengiyakan apa yang kita mau, jadi bisa dipelajari, karena itu saya kira jika bapak mengembangkan dialog sebagai suatu cara penyelesaian masalah dengan mengambil sampel kelompok pecinta sepak bola, satu hal yang kelihatannya sederhana, tetapi saya melihat tidak sederhana, karena mempunyai makna penting dalam membina karakter bangsa.
Berkaca pada perjalanan sejarah bangsa, maka kita perlu terus memposisikan Indonesia sebagai kekuatan moderat dan kekuatan dialog dalam politik internasional. Saya ingin menyebut, bagi kita dialog antar agama, termasuk di Kabupaten Kuningan merupakan suatu keseharian, apapun persoalan terjadi antar kehidupan beragama negara kita. Saat ini Departemen Luar Negeri hampir secara berkala mengundang tokoh-tokoh agama untuk membahas berbagai masalah-masalah, tidak hanya masalah masyarakat, tetapi juga masalah-masalah dunia.
dan kita berdasarkan pengalaman kita, kita dorong, kita ambil inisiatif untuk dialog dan kerjasama antar agama di Asia Pasifik, bagi kita sepertinya mudah, tetapi tidak selalu demikian bagi orang lain, ketika mereka menyambut dan ingin mengembangkan proses ini sebagai proses yang berlanjut, karena itu pada bulan Juli kemarin diadakan dialog antar agama dan budaya di Cebu, Filipina, diikuti oleh 20 negara Asia Pasifik, diambil inisiatif dalam rangka kerjasama dengan negara Eropa (ASEM), diselenggarakan di bali, dua tahun lalu, kemudian menjadi kegiatan yang melembaga, bulan Juli lalu diadakan di Cyprus diadakan dialog ke dua , dan selanjutnya tahun depan akan dilakukan di China, dan tahun 2008, di Belanda.
Bagi kita, hal tersebut merupakan hal sehari-hari, tetapi bagi masyarakat internasional itu menjadi hal-hal yang luar biasa. Jadi ada aset bangsa kita yang dapat menjadi aset kita dalam hubungan kita dengan bangsa-bangsa lain, dan menarik, mereka ingin belajar, ketika Perdana Menteri Tony Blair berkunjung di Indonesia, mereka mengusulkan untuk membentuk suatu tim penasehat yang tokoh-tokoh agama kita, dengan tokoh-tokoh agama dari Inggris dengan jumlah yang sama. Demikian juga di negeri Belanda mengajak kita bekerjasama untuk mengadakan dialog, sebab dengan kehadiran jumlah komunitas Islam yang berjumlah 1 juta, dari 16 juta penduduk Belanda, mereka ingin berbagi pengalaman bagaimana mengelola pendidikan anak dalam keragaman agama.
Oleh karena itu sengaja saya sampaikan, hal kelihatanya ringan seperti kebudayaan kita yang mengedepankan dialog suatu hal yang punya nilai, karena itu penting untuk kita mengunjungi linggarjati, untuk mengenang bagaimana pemimpin kita di tengah situasi yang sulit berhasil menghasilkan suatu kesepakatan, yang belum tentu memuaskan, tetapi menjadi titik tolak dari perundingan selanjutnya.
Karena itu dari diplomasi indonesia kita berkepentingan suara indonesia sebagai kekuatan moderat dan kekuatan dialog akan makin berwibawa ketika kita sendiri dapat menyelesaikan konflik dalam negeri melalui jalan damai, dan perundingan. Terus terang dengan kita berhasil menyelesaikan masalah Aceh, dengan MoU yang ditandatangani 15 Agustus tahun lalu, beberapa tetangga kita berkunjung dan ingin belajar bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah Aceh. Tidak kurang Perdana Menteri Thailand yang baru berkunjung beberapa waktu yang lalu dengan terus terang kami mengakui bagaimana anda menyelesaikan masalah Aceh selama 29 tahun secara damai. Ini merupakan tes bagi kita apakah pilkada di Aceh akan berlangsung aman, damai dan demokratis, sehingga kita bicara mengenai dialog, perdamaian, kita akan kredibel, karena kita juga tunjukkan di dalam negara kita kita mampu menyelesaikan masalah secara damai.
Saya juga menerima tamu Perdana Menteri Sri Lanka, beberapa hari lalu, kunjungan Dubes Norwegia, karena dia menjadi penengah dalam perundingan Macan Tamil dengan pemerintah Sri Lanka, kita diskusikan, berbagi pengalaman bagaimana memecahkan masalah melalui perundingan. Kebetulan saya menjadi penengah dalam perundingan Moro dengan Pemerintah Filipina yang berujung pada perjanjian damai.
Dubes van Dam seperti saya juga pernah ditugaskan di Kairo, dalam situasi yang sedikit berbeda. Saya beruntung bahwa dalam pengalaman pertama penugasan diplomatik saya, saya dapat mengikuti dari dekat proses Perundingan damai Mesir dengan Israel. Saya tiba di Kairo 12 November 1977, dari penugasan tersebut banyak memberikan inspirasi saya dalam melakukan proses perdamaian yang tidak mudah, jangankan untuk perdamaian, orang yang melakukan perdamaian saja bisa dimusuhi. Tidak kurang Presiden Sadat dibunuh adalah karena dia mengadakan inisiatif dan menyelenggarakan proses damai. Kalau kita melihat sejarah, disitu kita bisa menghargai bagaimana nilai, makna dari pertemuan Linggarjati.
Saya kira saya berbicara cukup berkepanjangan, sekali lagi saya menyampaikan penghargaan kepada Bupati Kuningan, kepada Panitia Seminar ini, dan kepada seluruh hadirin.
Wassalamualaikum Warrahmatulahi Wabarrakatuh.
********
Komentar umum dari Batara R. Hutagalung:
Secara keseluruhan, pidato ini terkesan ingin
menyenangkan tamunya, yaitu Duta Besar Belanda, Nikolaos van Dam. Dalam
uraiannya, Wirajuda lebih menonjolkan versi Belanda, dan tidak memberikan
kesan, bahwa yang berbicara ini adalah Menteri Luar Negeri Republik Indonesia,
yang harusnya mempertahankan posisi Republik Indonesia dan mengangkat sisi
negatif Belanda dan membela keabsahan proklamasi 17.8.1945..
Padahal beberapa bulan sebelum pidato ini, tepatnya
pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda Ben Bot dalam pidatonya di gedung
Kementerian Luar Negeri di Jakarta telah mengakui terus terang, bahwa
pengerahan militer secara besar-besaran tahun 1947 telah menempatkan Belanda
pada sisi yang salah dari sejarah. Dia menyebut ‘militer’, dan bukan ‘polisi’.
Ben Bot mengatakan: “... In retrospect, it is clear that its large-scale
deployment of military forces in 1947 put
the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military
action was taken and that many people on both sides lost their lives or were
wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the
Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died
as a result of the action taken by the Netherlands ...”
Wirajuda salah membaca peta politik dunia pada waktu itu. Seusai Perang Dunia II, dunia internasional mengecam semua tindak kekerasan dan pengerahan militer untuk menyelesaikan sengketa antar negara.
Pidato ini juga sangat sedikit memberi penjelasan mengenai perundingan Linggarjati, yang mengakibatkan perpecahan di kalangan Republik Indonesia. Banyak kalangan di pihak Republik Indonesia menuntut PENGAKUAN KEMERDEKAAN 100% dari Belanda. Linggajati juga menjadi penyebab jatuhnya Perdana Menteri RI, Sutan Syahrir, karena dipandang terlalu lunak terhadap Belanda. Hasil perundingan Linggarjati merupakan kemenangan besar Belanda, di mana Republik Indonesia mengakui kekuasaan Belanda di SELURUH WILAYAH INDONESIA BAGIAN TIMUR, sedangkan Belanda hanya menerima de facto Republik Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura.
Kekalahan diplomasi di Linggajati ini berakibat fatal
untuk rakyat Indonesia di wilayah timur, terutama di Sulawesi dan Bali.
Persetujuan Linggajati memberikan “lampu hijau”kepada
Belanda untuk melakukan “pembersihan” terhadap kekuatan bersenjata pendukung
Republik Indonesia. Linggajati juga yang menyebabkan pembantaian ribuan rakyat
Indonesia di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian masuk wilayah
Provinsi Sulawesi Barat) dan tewasnya Kolonel I Gusti Ngurah Rai dalam
pertempuran Puputan Margarana.
Juga tidak ada kata-kata, bahwa Belanda kemudian
melanggar persetujuan Linggarjati dengan melancarkan agresi militer I.
Setelah agresi Belanda I, dilakukan perundingan
Renville, di mana kemudian de facto wilayah Republik Indonesia semakin
mengecil, yaitu hanya sebagian kecil Sumatera, dan sebagian kecil Jawa.
Agresi militer Belanda I diakhiri dengan perundingan
perdamaian di atas kapal perang AS Renville.
Satu hari setelah perundingan perdamaian Renville
dimulai, pada 9 Desember 1947 tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil
di desa Rawagede, dekat Karawang.
Perundingan Renville juga suatu kemenangan besar untuk
Belanda, dimana Belanda “memperoleh” sebagian besar wilayah Republik Indonesia.
Kemudian Belanda mendirikan 15 “Negara dan daerah otonom”, a.l. Negara Sumatera
Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, dll., yang sebelum
perundingan Renville, adalah wilayah Republik Indonesia.
Belanda kemudian juga melanggar persetujuan Renville
dengan melancarkan agresi militer II.
Agresi militer II diakhiri dengan Konferensi Meja
Bundar – KMB di Belanda.
Ketika KMB dimulai, Belanda menghentikan semua siding
pengadilan kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda selama
agresi ke II. Namun di tengah perundingan perdamaian di Belanda dari 21 Agustus
– 2 November 1949, pada 5 September 1949 dilaksanakan hukuman mati terhadap
pejuang Indonesia, Robert Wolter Mongisidi.
Setelah Konferensi Meja Bundar – KMB, Republik
Indonesia hanya merupakan satu dari 16 negara Bagian dalam Republik Indonesia
Serikat-RIS. Selain harus menanggung utang pemerintah Nederlands Indië kepada
pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden sebagai hasil perundingan KMB,
juga Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS. Sebagai konsekuensi hasil KMB
ini, maka untuk pemerintah Belanda, Irian/Papua Barat bukanlah wilayah Republik
Indonesia.
Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan pakar
sejarah,Prof. Drooglever untuk meneliti Penentuan Pendapat Rakyat – PEPERA,
yang adalah hasil keputusan PBB tahun 1969, yang memasukkan Papua Barat sebagai
bagian dari Republik Indonesia. Tahun 2005 Drooglever menerbitkan hasilnya
sebagai buku setebal lebih dari 700 halaman. Dengan satu kalimat dia
mengomentari, bahwa PEPERA adalah suatu penipuan besar. Yang menjadi pertanyaan
di sini, mengapa setelah 31 tahun Belanda mempermasalahkan lagi keputusan PBB
ini, di saat Indonesia sedang menghadapi
konflik dengan Organisasi Papua Merdeka –OPM.
KMB juga membentuk Uni Belanda-Indonesia dengan Ratu
Belanda sebagai Kepala Uni. Untuk hubungan internasional, RIS harus “meminta
izin” dari Belanda.
Tahun 1956, pemerintah Republik Indonesia secara
sepihak membatalkan hasil KMB. Namun 4 milyar gulden telah dibayar ke Belanda
sebagai hasil KMB.
Dalam pidatonya Wirajuda mengeluhkan kurang penghargaan bangsa terhadap peran diplomasi. Dia mengatakan: “… Terus terang dari penelitian saya, khususnya pada periode sejarah ‘45-‘50 ini, saya melihat kurangnya apresiasi atau penghargaan bangsa terhadap peran diplomasi…”
Melihat hasil perundingan Linggarjati, Renville dan KMB, tidaklah mengherankan, bahwa di kalangan pejuang Republik Indonesia, peran diplomasi dinilai gagal!
Belanda sendiri saat ini sedang berusaha menghapus lembaran hitam dalam sejarah Belanda, terutama periode 1945 – 1950. Dan untuk periode penjajahan di masa VOC, yang ditonjolkan hanya sisi manisnya saja, dengan mengglorifikasi zaman VOC sebagai zaman keemasan – de gouden Eeuw.
********
=============================================
August 14, 1941
Cuplikan Anggaran Dasar PBB
Signed at San Francisco, 26 June, 1945.
Entered into force on 24 October, 1945
List of United Nations Security Council Resolutions 27 to 86
Resolution
|
Date
|
Vote
|
Concerns
|
1
August 1947
|
To
invite Indonesia: 8-0-3 (abstentions: France, Belgium, United Kingdom)
To invite the Netherlands: 9-2-0 (abstensions: Poland, USSR) |
||
25
August 1947
|
7-0-4
(abstentions: Colombia, Poland, USSR, United Kingdom)
|
Indonesian National
Revolution
|
|
25
August 1947
|
8-0-3
(abstentions: Poland, Syria, USSR)
|
Committee
relating to resolution of the Indonesian
National Revolution
|
|
26
August 1947
|
10-0-1
(abstention: United Kingdom)
|
Condemning
continued violence in Indonesia
|
|
3
October 1947
|
9-0-2
(abstentions: Poland, USSR)
|
Work
schedule of committee relating to the revolution in Indonesia
|
|
1
November 1947
|
7-1-3
(against: Poland; abstentions: Columbia, Syria, USSR)
|
Calling
on parties involved in Indonesia
to implement prior resolutions
|
|
28
February 1948
|
8-0-3
(abstentions: Argentina, Ukraine, USSR)
|
Monitoring of the
situation in Indonesia
|
|
28
February 1948
|
7-0-4
(abstentions: Columbia, Syria, Ukraine, USSR)
|
Commending truce
signed in Indonesia
|
|
29
July 1948
|
9-0-2
(Ukraine, USSR)
|
Calling
on Indonesia and the Netherlands
to implement Renville Agreement
|
|
24
December 1948
|
7-0-4
(abstentions: Belgium, France, Ukraine, USSR)
|
Requesting
cessation of hostilities and release
of political prisoners in Indonesia
|
|
28 December 1948
|
8-0-3 (abstentions:
Belgium, France, United Kingdom)
|
Demanding the
Netherlands release political prisoners and the President of Indonesia
|
|
28
December 1948
|
9-0-2
(abstentions: Ukraine, USSR)
|
Requesting
a report on the situation in Indonesia
|
|
28
January 1949
|
Resolution
was adopted in parts, no vote taken on text as a whole
|
Calling
for the creation of the 'United States of Indonesia'
|
|
26
September 1950
|
10-0-1
(absention: Republic of China)
|
Admission of Indonesia
|
Security Council composition in
1947:
|
permanent members:
|
non-permanent members:
|
Jumat 24 Oct 2014, 17:27 WIB
Hassan Wirajuda: Bagusnya Menlu dari Kalangan Profesional
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sedang pempersiapkan susunan kabinet yang akan menempati posisi menteri untuk 5 tahun ke depan. Lalu, bagaimana pandangan Mantan Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda, terkait posisi Menteri Luar Negeri Jokowi?
"Saya juga belum tahu siapa," kata Hassan usai menjadi pembicara dalam diskusi yang diprakarsai Human Right Working Goverment (HRWG) bertajuk 'The Future of Human Rights in Asean Community: Opportunies and Challanges' di Auditorium CSIS Jalan Tanah Abang III No 23-27, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2014). Menurut Menlu yang menjabat sejak tahun 2001 sampai 2009 ini, orang yang cocok menjabat Menlu Jokowi adalah dari kalangan profesional.
"Menurut saya pribadi, bagus kalau Menlunya orang karir, profesional," kata
Hassan sendiri tidak menjawab gamblang mana yang lebih cocok menjadi Menlu saat disodorkan dua nama yang saat ini sedang menguat, yaitu Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi.
Kendati begitu, Menlu pada era Presiden Megawati Sookarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menyebut bahwa keduanya adalah orang-orang terbaik. "Itu orang-orang terbaik saya," ujarnya.
Sebelumnya, Selama dua hari terakhir, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Octavian Thamrin terlihat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yuri atau Retno, Menlu pilihan Jokowi?
Yuri memang salah satu orang dari dalam Kemlu yang disebut-sebut sebagai calon kuat Menlu. Selain Yuri, ada nama-nama lain seperti Retno LP Marsudi, Desra Percaya, Djauhari Oratmangun, dan Havaz Oegroseno.
Nah, Yuri pada Senin (20/10) malam dan Selasa (21/10), terlihat berada di dekat Jokowi di Istana Merdeka. Pria yang pernah menjadi jubir Kemlu dan Pewakilan Tetap RI di Jenewa yang selalu tampil rapi itu menemani Presiden Jokowi saat menerima beberapa tamu negara.
(idh/jor)
http://news.detik.com/berita/2729025/hassan-wirajuda-bagusnya-menlu-dari-kalangan-profesional?n991103605=
********