KOMITE UTANG
KEHORMATAN BELANDA
(KUKB)
12 September 2013
Sehubungan dengan pemberian kompensasi dan
permintaan maaf pemerintah Belanda kepada beberapa keluarga korban pembantaian di Rawagede dan korban kekejaman
Westerling di Sulawesi Selatan serta di Sulawesi Barat, kami sampaikan sebagai
berikut:
1.
Hingga
saat ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Untuk
pemerintah Belanda, de jure
kemerdekaan RI adalah 27.12.1949, yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Ris
dibubarkan pada 16 Agustus 1950 dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya
kembali NKRI.
2.
Pemerintah
Belanda juga tidak mau bertanggungjawab atas kehancuran dan korban jiwa yang
diakibatkan oleh agresi militer Belanda,yang awalnya dibantu oleh tiga divisi
tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Diperkirakan, korban tewas
antara tahun 1945 – 1950 mencapai satu juta jiwa, sebagian terbesar adalah
penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum apapun.
3.
Sebagai
konsekuensi logis dari pengakuan de jure kemerdekaan RI 17.8.1945,
maka rakyat Indonesia menuntut PAMPASAN PERANG kepada pemerintah Belanda,
sebagaimana pemerintah Jepang dituntut oleh Negara-negara yang menjadi korban
agresi militer Jepang antara 1942 – 1945. Pemerintah Jepang telah membayar
pampasan perang kepada Indonesia.
4.
Pada
bulan September 2009, Sembilan orang keluarga korban pembantaian di Rawagede difasilitasi
oleh Yayasan KUKB yang berkedudukan di Belanda, mengajukan gugatan ke
pengadilan sipil di Den Haag, Belanda. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda
telah membantai 431 penduduk desa di Rawagede tanpa proses hukum. Pada 14
September 2011 pengadilan sipil di Belanda menjatuhkan vonis, di mana dinyatakan
bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus memberikan kompensasi kepada para
penggugat.
5.
Sebagai
dasar pertimbangan (butir dua) dinyatakan, bahwa Indonesia sampai tahun 1949
adalah wilayah Belanda dengan nama Nederlands
Indie. Hal ini sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa
Indonesia adalah wilayah Belanda sampai akhir tahun 1949. Dengan demikian, yang
mengajukan gugatan adalah warga Belanda yang menggugat pemerintahnya.
6.
Oleh
karena itu, ketika Duta Besar Belanda dalam acara peringatan di Monumen
Rawagede pada 9 Desember 2011 menyampaikan permintaan maaf, maka dia tidak
meminta maaf kepada rakyat Indonesia, melainkan kepada rakyat Belanda. Demikian juga yang menerima kompensasi adalah
warga Belanda, yang mendapat tindak kekerasan dari negaranya.
7.
Pemberian
kompensasi yang hanya diberikan kepada 9 orang menjadi masalah besar di
Rawagede, dan menimbulkan ketidak-adilan sosial. Keluarga korban yang lain
mempertanyakan mengapa kompensasi hanya diberikan kepada 9 orang, padahal
jumlah korban adalah 431 orang. Akhirnya para penerima kompensasi harus
menyerahkan 50% untuk dibagikan kepada keluarga korban yang lain.
8.
Yayasan
KUKB adalah kelanjutan dari KUKB Cabang Belanda, yang didirikan di Belanda oleh pimpinan
KUKB Pusat pada 18 Desember 2005. KUKB Cabang Belanda ditugaskan untuk mencari
pengacara yang mewakili KUKB menuntut pemerintah Belanda untuk:
I. Mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
II. Meminta maaf kepada
bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat, terutama yang dilakukan oleh tentara
Belanda selama agresi militer di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
9.
Pengakuan
de jure terhadap proklamasi 17
Agustus 1945 adalah masalah Kedulatan negara dan martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Tuntutan pampasan perang adalah untuk memberikan keadilan kepada seluruh
keluarga korban agresi militer Belanda.
10. Langkah Yayasan KUKB
yang berkedudukan di Belanda telah menyimpang dari garis perjuangan KUKB Pusat
yang berkedudukan di Jakarta. KUKB Pusat telah menegaskan kepada Yayasan KUKB melalui
perwakilannya yang ada di Jakarta, untuk tidak lagi mengajukan gugatan dengan
menggunakan hukum Belanda. Berdasarkan yurisprudensi yang juga dianut oleh
Belanda, gugatan untuk kasus serupa, dipastikan akan menang, sebagaimana
terbukti untuk 10 janda korban pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat. Namun yang menjadi masalah yang sangat mendasar adalah, apabila
para peggugat menggunakan hukum Belanda ini, maka dengan demikian para
penggugat mengakui, bahwa mereka adalah warga Belanda dan mengakui bahwa
Indonesia sampai tahun 1949 adalah wilayah Belanda. Hal ini sangat bertentangan
dengan tuntutan utama KUKB Pusat.
11. Anggapan pemerintah
Belada bahwa para korban Westerling adalah warga Belanda, merupakan penghinaan
terhadap martabat bangsa Indonesia dan pelanggaran terhadap kedaulatan Negara
Republik Indonesia, karena menyatakan bahwa rakyat Indonesia adalah warga
Belanda.
12. Pemberian kompensasi
hanya untuk beberapa orang janda saja, menimbulkan ketidak-adilan sosial,
karena jumlah korban yang sangat besar. Selain itu, jumlah kompensasi untuk
penderitaan sejak tahun 1946/1947 juga sangat kecil, karena apabila dihitung
per-bulan, maka jumlahnya hanya sekitar Rp. 300 ribu. Tentu tidak sepadan untuk
penderitaan selama lebih dari 67 tahun.
13. KUKB Pusat telah
menegaskan, bahwa KUKB Pusat tidak menuntut kompensasi untuk perorangan, karena
setelah lebih dari 60 tahun sangat sulit untuk dapat dengan tepat membuktikan,
siapa-siapa saja atau ahli warisnya yang berhak menerima kompensasi. KUKB
menuntut pemerintah Belanda untuk mendirikan sarana dan prasarana pendidikan
serta kesehatan, di tempat-tempat di mana tentara Belanda telah melakukan
pembantaian massal. Dengan demikian, fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh
seluruh keturunan korban di seluruh Indonesia, dan bukan hanya untuk seratus
atau dua ratus orang saja. Selain itu,korban agresi militer Belanda juga bukan
hanya di Jawa Barat dan Sulawesi saja, melainkan di seluruh Indonesia.
14. Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta, tetap pada tujuan
semula, yaitu membela martabat bangsa dan memperjuangkan keadilan untuk seluruh
keluarga korban agresi militer Belanda di seluruh Indonesia, bukan hanya di
Jawa Barat atau Sulawesi saja, karena apabila hanya memperjuangkan kompensasi
untuk seratus atau duaratus orang saja, padahal korban di seluruh Indonesia
berjumlah ratusan ribu jiwa, akan menciptakan ketidak-adilan sosial bagi
keluarga korban lain.
15. Oleh karena itu Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menolak pemberian kompensasi oleh pemerintah
Belanda kepada “warganya” dan telah memecat Jeffry Pondaag dari keanggotaan KUKB, karena telah mengkhianati perjuangan mempertahankan kedaulatan nergara dan membela martabat bangsa..
16. KUKB Pusat di Jakarta
menyerukan kepada Yayasan KUKB di Belanda untuk tidak melanjutkan mengajukan
gugatan dengan menggunakan hukum Belanda, karena ini merupakan pengkhianatan
terhadap para pejuang yang gugur dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945.
17. KUKB Pusat di Jakarta menyerukan kepada Yayasan
KUKB di Belanda untuk kembali ke garis perjuangan, yaitu MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NEGARA, MEMBELA MARTABAT
BANGSA dan MEMPERJUANGKAN KEADILAN untuk seluruh korban agresi Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
KOMITE
UTANG KEHORMATAN BELANDA (KUKB)
Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum
No comments:
Post a Comment