Ir. Joko Widodo ke Belanda Sebagai Apa?
Catatan
Batara R. Hutagalung
Ketua
Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Apabila dua Negara akan
menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya kedua Negara tersebut saling
mengakui. Ini sesuai dengan etika hubungan internasional, dan juga dengan Hak
Asasi Negara (Rights of a state), yaitu:
1. Kedaulatan,
2. Kesetaraan,
3. Mempertahankan
diri.
Juga adalah hak suatu
Negara untuk tidak mengakui Negara lain, dan ini berlaku resiprokal
(timbal-balik), sebagaimana Indonesia dengan Israel dan Taiwan, tidak saling
mengakui dan tidak ada hubungan diplomatik.
Tidak adanya hubungan
diplomatik tidak mempengaruhi perdagangan, investasi, pariwisata, bahkan
jual-beli senjata, sebagaimana dilakukan oleh Indonesia dengan Israel. Beberapa
tahun lalu terungkap, bahwa tahun 1980 Indonesia membeli 36 pesawat tempur Sky
Hawk dari Israel, yang disamarkan, seolah-olah membeli dari satu Negara Eropa
Barat.
Pada 5 Mei 2005, KUKB
menyampaikan Petisi kepada Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende yang
isinya menuntut pemerintah Belanda agar:
1.
Mengakui
de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
2. Meminta
maaf kepada rakyat Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggan HAM dan
kejahatan atas kemanusiaan.
Pada 16 Agustus 2005,
menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot datang ke Jakarta, dan dalam pidatonya di
gedung Kemlu mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda MENERIMA SECARA POLITIS
DAN MORAL Proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945. Namun sehari sebelumnya, dalam
pidatonya di Den Haag, dia mengatakan dengan lebih tegas, bahwa kini
(15.8.2005) pemerintah Belanda MENERIMA DE FACTO kemerdekaan Indonesia
17.8.1945. (Teks lengkap, ihat lampiran)
Pernyataan ini sangat
mengejutkan, karena artinya, hingga 15/16 Agustus 2005, NKRI untuk pemerintah
Belanda TIDAK EKSIS SAMA SEKALI, dan 60 tahun setelah kemerdekaan RI, sang
mantan penjajah berkenan SECARA LISAN, menerima de facto kemerdekaan Indonesia.
(Lihat tulisan: Mengapa Belanda tak mau akui de jure kemerdekaan RI
17.8.1945? Mengapa Pemerintah RI Membiarkannya? Dapat dibaca di: http://batarahutagalung.blogspot.com/2013/08/mengapa-belanda-tak-mau-akui-de-jure_11.html)
Juga dalam wawancara
dengan satu stasiun TV di Jakarta yang disiarkan pada 18.8.2005, dia
menggaris-bawahi, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan akhir 1949. Berarti
yang dimaksud adalah kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Sejarah mencatat,
bahwa RIS telah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17.8.1950, Ir.
Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan RI, yang kemerdekaannya
adalah 17.8.1945. Dengan demikian, Negara yang secara yuridis (de
jure) diakui oleh pemerintah Belanda, sudah tidak ada lagi.
Pada bulan Oktober
2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencananya akan ke Belanda, memenuhi
undangan dari Ratu Belanda. Namun pada menit-menit terakhir kunjungan tersebut
dibatalkan, karena adanya tuntutan dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku
Selatan) ke pengadilan di Belanda, agar mengeluarkan perintah untuk menangkap
Presiden RI atas tuduhan pelanggaran HAM terhadap warga Maluku di Ambon.
Juga diberitakan,
bahwa dalam kunjungan tersebut Presiden RI akan menerima pernyataan tertulis
dari pemerintah Belanda mengenai pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan RI
17 Agustus 1945.
Kemudian akhir Maret
2014 Presiden Yudhoyono rencananya akan ke Belanda untuk menghadiri Konferensi
Nuklir Internasional. Juga kali ini dibatalkan.
Presiden Yudhoyono
sampai akhir masa jabatannya sebagai Presiden, tidak pernah mengunjungi
Belanda, sehingga terhindar dari masalah besar yang menyangkut kedaulatan NKRI dan martabat bangsa
Indonesia.
Kini diberitakan,
bahwa Presiden Joko Widodo dari tanggal 18 – 22 April 2016 akan berkunjung ke empat
Negara di Eropa yaitu Jerman, Inggris, Belgia dan Belanda, serta ke Uni Eropa
di Brussel, Belgia.
.
Khusus, kunjungan seorang
Presiden Republik Indonesia ke Belanda, akan memunculkan tiga masalah:
Masalah pertama adalah, Pemerintah Belanda hingga saat ini tetap tidak
mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Bahkan
hingga 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda juga tidak mau mengakui de
facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945.
Pemerintah Belanda TIDAK mengakui de jure kemerdekaan RI
adalah 17.8.1945, dengan demikian, Ir. Joko Widodo datang bukan sebagai
Presiden, karena negaranya tidak diakui oleh pemerintah Belanda.
Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang diakui secara yuridis oleh pemerintah Belanda sudah
dibubarkan, sehingga Ir. Joko Widodo tidak mungkin mejadi Presiden dari Negara yang
sudah dibubarkan.
Oleh karena itu timbul
pertanyaan: Ir. Joko Widodo datang ke Belanda
sebagai apa?
Masalah kedua adalah, dikabarkan
bahwa pada kunjungan Presiden Yudhoyono (yang dibatalkan) ini akan disampaikan
naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan
RI. Pada 16.8.2005 di Jakarta, Ben Bot sebagai Menlu Belanda (waktu itu) hanya
menyampaikan secara lisan.
Staf Khusus Presiden
Yudhoyono Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah pada 30.9.2010
mengatakan, bahwa Presiden SBY akan mencatat sejarah hubungan Indonesia-Belanda
dengan melakukan kunjungan kenegaraan. Ini merupakan kunjungan kenegaraan yang
pertama dari seorang Kepala Negara RI ke Kerajaan Belanda. Faizasyah
mengatakan: “Waktu Pak Harto, Gusdur dan
Bu Mega dahulu bukan kunjungan kenegaraan.” (Berita dari media,
lihat lampiran)
Janggal
kedengarannya, bahwa untuk pengakuan dari suatu Negara, kepala Negara dari
Negara yang akan diberi pengakuan, harus datang ke Negara yang akan memberi
pengakuan. Mungkin hal ini pernah terjadi di antara Negara yang masih berstatus
jajahan, yang datang ke tuan penjajahnya untuk menerima “kemerdekaannya.”
Belum pernah ada
suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, bahkan yang sudah eksis sejak 70 tahun
dan diakui oleh dunia internasional, harus menghadap ke kepala Negara/pemerintah
yang akan memberi pengakuan.
Oleh karena itu,
apabila hal ini terjadi, yaitu dalam kunjungan ini, Kepala Negara Republik
Indonesia, baru menerima pernyataan tertulis pengakuan dari Kerajaan Belanda, bukankah
hal ini merupakan pelecehan terhadap KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA?
Peristiwa ini akan
dipandang, bahwa setelah 71 tahun (1945 – 2016), pemerintah Belanda akhirnya
“mengakui” (menerima de facto) kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus
1945. Peristiwa ini akan mengukuhkan “versi Belanda”, bahwa Indonesia belum
merdeka pada 17.8.1945. Bukankah ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap
MARTABAT BANGSA?
Masalah ketiga adalah, apa yang
akan diberikan oleh pemerintah Belanda kepada Kepala Negara Republik Indonesia?
Apakah PENGAKUAN DE JURE, atau hanya PENERIMAAN (ACCEPTANCE) DE FACTO?
Apabila yang akan
diberikan adalah PENERIMAAN DE FACTO,
maka ini adalah pengulangan sejarah, karena dalam Persetujaun Linggajati,
pemerintah Belanda telah menerima de
facto Republik Indonesia atas wilayah Sumatera, Jawa dan Madura.
Sebagai hasil
Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana didirikan Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS), Republik Indonesia adalah satu dari 16 Negara Bagian RIS.
Kemudian sejak berdirinya RIS, satu persatu Negara-Negara Bagian RIS
dibubarkan, dan bergabung dengan Republik Indonesia, sehingga ketika RIS
dibubarkan pada 16 Agustus 1950, maka 15 Negara Bagian bekas RIS telah
bergabung dengan Republik Indonesia, yang dinyatakan berdiri kembali oleh Ir.
Sukarno, mantan Presiden RIS, pada 17 Agustus 1950.
Peristiwa
penggabungan satu Negara ke Negara lain mirip dengan kasus Jerman Barat
(Republik Federal jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Tahun
1990 Jerman Timur dinyatakan bubar, dan bergabung dengan Republik Federal Jerman
(Jerman Barat). Dalam hal ini, wilayah Jerman Barat yang menjadi makin luas.
Demikian juga dengan Republik Indonesia, setelah bubarnya RIS.
Seharusnya, Republik
Indonesia sejak pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dapat
mengacu kepada Konvensi Montevideo yang ditandatangani di Montevideo, Uruguay
pada 26 Desember 1933. Ini sehubungan dengan persyaratan berdirinya suatu
Negara, yaitu:
1.
Adanya
wilayah tertentu,
2.
Adanya
penduduk yang permanen, dan
3.
Adanya
pemerintahan.
Juga dinyatakan, bahwa
walaupun tidak ada pengakuan dari Negara lain, Negara yang bersangkutan berhak
mempertahankan diri.
Kemudian mengenai
batas wilayah Negara, apabila mengacu kepada hukum internasional: UTI POSSIDETIS IURIS, maka wilayah
Negara Republik Indonesia adalah seluruh bekas wilayah Nederlands Indië (India Belanda).
Pernyataan
kemerdekaan Indonesia juga sejalan dengan semangat yang dituangkan oleh
Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Winston
Churchill di dalam Atlantic Charter
(Piagam Atlantik), mengenai Hak bangsa-Bangsa Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri
(Rights for selfdetermination of people).
Atlantic Charter ini juga didukung
oleh Ratu Belanda Wilhelmina, sebagaimana disampaikannya dalam pidato Radio di
London, Inggris, pada 7 Desember 1942.
Apabila dalam
kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Belanda, di mana hal-hal tersebut di
atas belum jelas, maka penyerahan “pernyataan pengakuan terhadap Republik
Indonesia oleh Belanda, merendahkan MARTABAT BANGSA INDONESIA. Bahkan yang paling
fatal adalah, apabila yang diserahkan, ternyata hanya PENERIMAAN DE FACTO
KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.
Pemerintah Belanda
hingga saat ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17 Agustus 1945, karena pemerintah Belanda sadar akan konsekuensinya,
yaitu, apa yang dinamakan oleh pemerintah Belanda tahun 1947 dan 1948 sebagai
“aksi poilisional”, adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka
dan berdaulat. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda harus membayar WAR REPARATION
(pampasan perang), dan yang lebih fatal untuk veteran Belanda yang ikut dalam
agresi militer tersebut menjadi WAR CRIMINALS (penjahat perang).
Apalagi sejak
diberlakukannya Statuta Roma, yang menjadi dasar dari International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda, semua kejahatan perang yang dilakukan oleh
tentara Belanda dapat dituntut. Hal ini pernah diusulkan oleh seorang Dosen
Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Manuel Kneepkens. Tahun 1993 dia
mengusulkan agar dibentuk tribunal internasional untuk mengadili penjahat
perang Belanda, terutama kejahatan Westerling.
Dalam Statuta Roma,
untuk empat jenis kejahatan dinyatakan tidak diterapkan azas kadaluarsa, yaitu
untuk:
1.
Genocide (pembersihan etnis),
2.
Crime against
humanity
(kejahatan atas kemanusiaan),
3.
War crimes (kejahatan perang),
dan
4.
Crime of aggression (kejahatan agresi).
Empat jenis kejahatn
tersebut telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 –
1950.
Tahun 1969, atas
desakan dari parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan
terhadap tindakan-tindakan militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
yang kemudian diterbitkan dengan judul De Excessennota (Catatan ekses), di
mana tercantum sekitar 100-an tindakan yang dilakukan oleh militer Belanda,
yang oleh pemerintah Belanda dinilai sebagai “ekses.”
Namun banyak pakar hukum
di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang telah dilakukan adalah kejahatan
perang. Beberapa peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil, seperti di
Sulawesi Selatan/Barat, Rawagede, dll., juga dicantumkan, walaupun jumlah
korbannya disebutkan jauh lebih kecil dibandingkan kenyataannya.
Pada 14 September
2011, pengadilan sipil di Den Haag Belanda, atas gugatan 8 orang janda dan satu
korban selamat dari pembantaian di desa Rawagede, telah menjatuhkan vonis,
bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab. Pada 9 Desember
1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dekat
Karawang, Jawa Barat. Tuntutan bahkan tidak perlu dimajukan ke Mahkamah
Kejahatan Internasional, cukup di pengadilan sipil di Belanda.
Oleh karena itu
sangat diragukan, bahwa pemerintah Belanda akan memberikan pernyataan tertulis
untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena berarti pemerintah
Belanda sendiri yang membuka pintu lebar-lebar untuk gugatan terhadap agresi
militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Sedangkan penerimaan
(ACCEPTANCE) de facto PROKLAMASI 17.8.1945, tidak dapat diterima oleh bangsa
Indonesia, karena merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan NKRI dan melecehkan
MARTABAT BANGSA.
Memang seorang
presiden tidak dapat mengetahui secara rinci semua persoalan yang menyangkut
Negara, bangsa dan masyarakat, Para pembantu presiden, dalam hal ini para
menteri yang harus memberikan masukan dan saran. Sehubungan dengan masalah
hubungan antar Negara, adalah tugas dari menteri Luar Negeri.
Namun dalam hubungan
antara Indonesia dengan Belanda, tentu menjadi masalah besar apabila menlu RI
justru membela sikap pemerintah Belanda, sebagaimana yang dilakukan oleh Hassan
Wirajuda ketika menjadi menlu.
Yang juga mengejutkan adalah
pernyataan Dr. Hasan Wirayudha ketika sebagai Menteri Luar Negeri RI memberi Keynote Speech di acara peringatan di
Linggajati pada 11 November 2006. Dia dengan gamblang membela versi Belanda
yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia mengatakan a.l. (Teks
lengkap dilampirkan secara terpisah):
“… Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak
menentukan nasib sendiri apabila demand
metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan
akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak, tetapi produk dari
perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak
akan ada …
… saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17
Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita memaknai kami bangsa indonesia dengan
ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa?
Seperti yang saudara telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut
tatanan dunia internasional pada saat itu…”
Yang sangat luar biasa di sini
adalah, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang Menteri Luar Negeri RI,
yang seharusnya membela proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 sebagai harga mati,
bahkan cenderung membodohi rakyat Indonesia mengenai “tatanan
dunia internasional pada waktu itu.” (Teks lengkap Keynote speech Hassan Wirajuda,
lihat: http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2013/09/menlu-ri-2006-mengeluh-kiurang.html).
Kalau
menlu RI sudah membela sikap Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia, apakah
akan memberi masukan kepada Presiden RI untuk bersikap tegas terhadap Belanda,
yang tidak mau mengakui kedaulatan RI?
Adalah hak belanda
untuk tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sebagaimana Indonesia tidak
mengakui Israel dan Taiwan, namun ini berlaku resiprokal (timbal-balik). Untuk “menormalisasi”
hubungan antara Indonesia dengan Belanda sesuai dengan etika internasional,
yaitu kesetaraan, hanya ada dua cara:
1.
Belanda
mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka Indonesia akan menjadi setara
dengan Belanda,
2.
Memutus
hubungan yang janggal, sehingga Indonesia dan Belanda setara, yaitu tidak
saling mengakui.
Presiden Jokowi di
awal pemerintahannya dengan tegas menyatakan, akan menjalankan amanat TRISAKTI
BUNG KARNO. Butir pertama adalah BERDAULAT DALAM POLITIK. Tentu ini berarti
politik dalam DAN LUAR NEGERI.
Catatan
mengenai menteri Luar Negeri sekarang, Retno Marsudi.
Retno
Marsudi memperoleh gelar S1nya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
pada tahun 1985. Ia lalu memperoleh gelar S2 Hukum Uni
Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda.
Retno
Marsudi diangkat menjadi Menlu RI pada 27 Oktober 2014. pada 12 Januari 2015 di Istana Noordeinde, Den
Haag, dia mendapat anugerah tertinggi Ridder
Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Raja Belanda. Raja
Willem-Alexander der Nederlanden.
Pada Jumat 24 Oktober 2014, sehubungan dengan diusulkannya Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi untuk menjadi Menlu RI di Kabinet Presiden Jokowi, Hassan Wirajuda mengatakan: “"Itu orang-orang terbaik saya," (lihat lampiran)
Pada Jumat 24 Oktober 2014, sehubungan dengan diusulkannya Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi untuk menjadi Menlu RI di Kabinet Presiden Jokowi, Hassan Wirajuda mengatakan: “"Itu orang-orang terbaik saya," (lihat lampiran)
********
LAMPIRAN-LAMPIRAN
----------------------------------------------------------------------------
Jumat
15 Apr 2016, 20:04 WIB
Jokowi akan Tingkatkan Kerja Sama Maritim dalam
Kunjungan ke Eropa
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews
Jakarta -
Presiden Jokowi akan melakukan kunjungan kerja ke empat negara pada pekan depan. Salah tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk meningkatkan kerja sama di bidang kemaritiman.
"Kita telah mencanangkan sebagai maritim sebagai hal yang menjadi prioritas pemerintah, nanti akan ada kerja sama maritim dengan beberapa negara," kata Seskab Pramono Anung dalam konferensi pers di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (15/4/2016).
Keempat negara di Eropa yang akan dikunjungi Jokowi yakni Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda. Jokowi akan meninjau bagaimana pembangunan pelabuhan di Belanda.
"Presiden akan melakukan kunjungan lapangan," imbuh Wamenlu AM Fachir.
Selebihnya dalam kunjungan tersebut akan dilakukan peningkatan kerja sama perdagangan. Isu-isu politik terkini seperti Timur Tengah, terorisme dan lain sebagainya juga akan dibahas dalam berbagai pertemuan.
"Kunjungan yang akan dilakukan Bapak Presiden ini di empat negara plus Uni Eropa antara lain dengan tema yang sangat jelas, yaitu pertama memperkokoh kemitraan Indonesia dan Uni Eropa. Kedua menampilkan Indonesia sebagai negara yang terbuka sekaligus kompetitif. Ada hampir di semua negara Presiden akan melakukan pertemuan-pertemuan resmi dengan kepala negara atau kepala pemerintahan," ujar Wamenlu.
(bpn/dhn)
Presiden Jokowi akan melakukan kunjungan kerja ke empat negara pada pekan depan. Salah tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk meningkatkan kerja sama di bidang kemaritiman.
"Kita telah mencanangkan sebagai maritim sebagai hal yang menjadi prioritas pemerintah, nanti akan ada kerja sama maritim dengan beberapa negara," kata Seskab Pramono Anung dalam konferensi pers di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (15/4/2016).
Keempat negara di Eropa yang akan dikunjungi Jokowi yakni Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda. Jokowi akan meninjau bagaimana pembangunan pelabuhan di Belanda.
"Presiden akan melakukan kunjungan lapangan," imbuh Wamenlu AM Fachir.
Selebihnya dalam kunjungan tersebut akan dilakukan peningkatan kerja sama perdagangan. Isu-isu politik terkini seperti Timur Tengah, terorisme dan lain sebagainya juga akan dibahas dalam berbagai pertemuan.
"Kunjungan yang akan dilakukan Bapak Presiden ini di empat negara plus Uni Eropa antara lain dengan tema yang sangat jelas, yaitu pertama memperkokoh kemitraan Indonesia dan Uni Eropa. Kedua menampilkan Indonesia sebagai negara yang terbuka sekaligus kompetitif. Ada hampir di semua negara Presiden akan melakukan pertemuan-pertemuan resmi dengan kepala negara atau kepala pemerintahan," ujar Wamenlu.
(bpn/dhn)
********
SOLOPOS.COM > News >
Belanda akan serahkan surat pengakuan Kemerdekaan RI ke SBY
Kamis, 30 September 2010 19:44 WIB | |
Jakarta–Kunjungan kenegaraan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pekan depan punya makna
sejarah. Dalam kesempatan itu akan disampaikan naskah resmi pengakuan
pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI.
Demikian papar Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan
Internasional, Teuku Faizasyah, tentang agenda Presiden SBY di Belanda. Dia
ditemui di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (30/9).
“Suratnya sudah diinisiasi sejak 2009 oleh pemerintah Belanda,”
kata Faiz.
Menurut jadwal, pada tanggal 6-8 Oktober mendatang Presiden SBY
berada di Belanda dengan agenda utama kunjungan kenegaraan. Ini kali pertama
Presiden RI adakan kunjungan kenegaraan resmi ke Belanda semenjak proklamasi
kemerdekaan RI pada 65 tahun silam.
“Waktu Pak Harto, Gus Dur dan Bu Mega duhulu itu bukan kunjungan
kenegaraan,” jelas Faiz.
Sementara kunjungan kenegaraan Presiden SBY nanti, berlangsung
atas undangan Ratu Beatrix. Surat undangan resmi dari Kerajaan Belanda itu
sudah disampaikan sejak 4 tahun lalu.
“Kegiatan formal di sana nanti bertemu dengan Ratu Belanda, PM
Belanda dan menandatangani satu perjanjian kemitraan komprehensif,” papar Faiz.
Agenda lain Presiden SBY selama di Belanda adalah bussiness
meeting dengan para pengusaha besar dan berpidato di salah satu perguruan
tinggi. Tak ketinggalan Presiden SBY dialog dengan WNI dan mahasiswa Indonesia
yang berada di Belanda.
Menyinggung pernyataan Dubes JE Habibie yang jadi kontroversi di
Belanda, menurut Faiz sudah tak lagi jadi masalah. Semua salah paham sudah
dijelaskan dan tak lagi yang menjadi ganjalan bagi pemerintah Belanda.
“Kita maklumi ada salah kutip. Pemerintah di sana juga tidak
mempermasalahkan apa yang disampaikan Pak Habibie. Kita anggap sudah selesai,”
paparnya.
dtc/nad
********
Belanda Akui Kemerdekaan RI secara Tertulis
Selama ini, Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan.
Selama ini, Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan.
Ita Lismawati F. Malau, Nur
Farida Ahniar | Kamis, 30 September
2010, 17:48 WIB
Pernyataan tertulis ini akan diserahkan pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-8 Oktober mendatang. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pengakuan itu akan ditandatangani oleh pemerintah Belanda.
Dengan kunjungan ini diharapkan, kedua negara bisa lebih melihat ke depan, dan tidak terseret oleh beban sejarah. "Ini juga menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," kata Faizasyah di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Kamis 30 September 2010.
Meski belum memberikan pengakuan secara tertulis, namun secara de facto, Menteri Luar Negeri Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dengan menghadiri peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2005.
Dalam lawatannya itu, Yudhoyono akan bertemu dengan Ratu Belanda Beatrix dan Perdana Menteri Belanda. Indonesia-Belanda juga akan menandatangani perjanjian kemitraan komprehensif. Kunjungan kenegaraan itu juga mengagendakan pertemuan bisnis dengan pengusaha besar Belanda. Yudhoyono juga akan berbicara di salah satu Perguruan Tinggi di Belanda.
Menurut Faizasyah, kunjungan Presiden ini merupakan kunjungan yang tertunda selama 4 tahun. Ratu Belanda telah memberikan undangan sejak 4 tahun lalu.(ywn)
© VIVA.co.id
********
Pidato Ben Bot 15.8.2005 di Den
Haag:
“Kini pemerintah Belanda menerima
de facto proklamasi 17.8.1945!”
----------------------------------------------------------------------------------------------------
Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse
Zaken van het Koninkrijk der Nederlanden, ter
gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15 augustus
2005
Geachte aanwezigen,
dames en heren,
De Stichting Herdenking
15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de
herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse
zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier
ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze
herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve
als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000
kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn
herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en
toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers,
herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het verleden: met
de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de
Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen van ons leed
had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die tijdens de Japanse
bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze
Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos stierven.
Na de capitulatie was
het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden.
Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon
worden opgevuld door de Britten. Tijdens
deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden onschuldige
Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en kinderen, het
leven.
In de jaren daarna
volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen tussen
Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de Nederlands-Indische
gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en psychisch leed.
Zelf kijk ik met
gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je
misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen,
vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een
verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen,
maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk daarom
staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig
de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans
‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor
kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens
ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden
kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat,
denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets
weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote. Wij
werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente
te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was
mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe
tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn
buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem
waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat
moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn
moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd
om zijn loontje”.
Er wordt weer veel geschreven
over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in
Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel
langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader
zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een
dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de
terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende,
de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik
graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een
koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht
kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er
als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen,
terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd
duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige
groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je
had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over
de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat ook wel
de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving wisten te
integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden
en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook
aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder
geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier
voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en
heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt
komen.
(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en
heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van toen wordt
steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met zich mee,
zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik
hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat ook
toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het
gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd
die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig
Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere
scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de
geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het
verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst
relevant zijn.
Winston Churchill zei
het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit weet
te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een
voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de
relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan
ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets
moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van
gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige
kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen,
of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving
de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden moet zij wel
bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen geschiedenis eerlijk
te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland - op de werkvloer, in
de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen de diverse etnische
en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van deze herdenking
betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering van de zogeheten
ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking voor de meeste
Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een
gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het
adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De
uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de
strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is belangrijk.
Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië.
Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter
wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en
christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de
dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese
Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van
de betrekkingen met Indonesië.
(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen
Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat er nog
resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders
in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als
vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding heeft
ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en
28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen
bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen
onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn
aanwezigheid mag worden gezien als een politieke
en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu in de
eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken.
Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij
vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met steun van het
Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef
bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17
augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en
morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in morele
zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de
pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna
zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het leven, velen
verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw,
in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de grootschalige
inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de verkeerde kant
van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen:
voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar
in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men op de
top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg naar
boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren bij
de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is te zien
dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en met meer
militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de boodschap die
ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun
van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in Nederland en van de
veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons
gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een
gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een
gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met
Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden
dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw
aandacht.
********
Pidato
Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005:
Belanda
KINI MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945
SECARA
POLITIS DAN MORAL
-----------------------------------------------------------------------------------------
Speech by Minister Bot
On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Address by Dr.
Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta, 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Republic
of Indonesia’s independence declarationMinister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta, 16 August 2005
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1. SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)
2. I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3. Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August.
Ladies and gentlemen,
4. This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary.
Ladies and gentlemen,
5. If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad.
6. The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities.
7. In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering.
8. Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9. This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity.
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN.
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60
years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA (Translation: Friendship knows no borders.) Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)
********
Wawancara
Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18
Agustus 2005:
********
Eksekusi Mati, Jaksa Agung Sempat Galau
Selasa, 20 Januari 2015 | 15:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa
Agung Prasetyo menyatakan sempat galau saat ingin menetapkan waktu pelaksanaan
eksekusi enam terpidana hukuman mati kasus narkoba. Ia mengklaim, saat Presiden
Joko Widodo memerintahkan eksekusi dipercepat, Menteri Luar Negeri Retno
Marsudi meminta pengunduran waktu. "Jangan didor ketika saya masih di
Belanda," kata Prasetyo menirukan ucapan Retno, Selasa, 21 Januari 2015.
(Baca: Australia Lobi Jokowi
Batalkan Eksekusi Mati.)
Retno sendiri hanya tersenyum menanggapi cerita yang dilontarkan Prasetyo. Beberapa hari sebelum eksekusi, Retno memang kembali ke Belanda untuk menerima dua penghargaan atas prestasinya sebagai duta besar di negara tersebut. (Baca: Eksekusi Diprotes, Menteri Tedjo: Kita Harus Tegas.)
Ia menerima penghargaan tertinggi Ridder Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Raja Willem-Alexander di Istana Noordeinde, Den Haag. Retno juga mendapat anugerah sebagai The Best Ambassador dalam penghargaan Certificate of Merit oleh Diplomat Magazine. (Baca: Eksekusi Mati Rani, Kesaksian Ayah, dan Isi Wasiat.)
Retno dianugerahi karena berjasa sebagai duta besar yang mampu meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Ia berjanji orang pertama yang mendapat kabar jika dirinya kembali ke Indonesia adalah Prasetyo. "Just landed," kata Prasetyo mengulang isi pesan singkat Retno saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada 17 Januari 2015.
Eksekusi mati akhirnya dilaksanakan Prasetyo pada 19 Januari 2015 pukul 00.00 WIB. Salah satu terpidana yang ditembak mati di Nusakambangan adalah warga negara Belanda, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya.
FRANSISCO ROSARIAN
Retno sendiri hanya tersenyum menanggapi cerita yang dilontarkan Prasetyo. Beberapa hari sebelum eksekusi, Retno memang kembali ke Belanda untuk menerima dua penghargaan atas prestasinya sebagai duta besar di negara tersebut. (Baca: Eksekusi Diprotes, Menteri Tedjo: Kita Harus Tegas.)
Ia menerima penghargaan tertinggi Ridder Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Raja Willem-Alexander di Istana Noordeinde, Den Haag. Retno juga mendapat anugerah sebagai The Best Ambassador dalam penghargaan Certificate of Merit oleh Diplomat Magazine. (Baca: Eksekusi Mati Rani, Kesaksian Ayah, dan Isi Wasiat.)
Retno dianugerahi karena berjasa sebagai duta besar yang mampu meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Ia berjanji orang pertama yang mendapat kabar jika dirinya kembali ke Indonesia adalah Prasetyo. "Just landed," kata Prasetyo mengulang isi pesan singkat Retno saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada 17 Januari 2015.
Eksekusi mati akhirnya dilaksanakan Prasetyo pada 19 Januari 2015 pukul 00.00 WIB. Salah satu terpidana yang ditembak mati di Nusakambangan adalah warga negara Belanda, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya.
FRANSISCO ROSARIAN
********
Jumat 24 Oct 2014, 17:27 WIB
Hassan Wirajuda: Bagusnya Menlu dari Kalangan
Profesional
Jakarta - Presiden Joko
Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sedang pempersiapkan
susunan kabinet yang akan menempati posisi menteri untuk 5 tahun ke depan.
Lalu, bagaimana pandangan Mantan Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda,
terkait posisi Menteri Luar Negeri Jokowi?
"Saya juga belum tahu siapa," kata Hassan usai menjadi pembicara dalam diskusi yang diprakarsai Human Right Working Goverment (HRWG) bertajuk 'The Future of Human Rights in Asean Community: Opportunies and Challanges' di Auditorium CSIS Jalan Tanah Abang III No 23-27, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2014). Menurut Menlu yang menjabat sejak tahun 2001 sampai 2009 ini, orang yang cocok menjabat Menlu Jokowi adalah dari kalangan profesional.
"Menurut saya pribadi, bagus kalau Menlunya orang karir, profesional," kata
Hassan sendiri tidak menjawab gamblang mana yang lebih cocok menjadi Menlu saat disodorkan dua nama yang saat ini sedang menguat, yaitu Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi.
Kendati begitu, Menlu pada era Presiden Megawati Sookarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menyebut bahwa keduanya adalah orang-orang terbaik. "Itu orang-orang terbaik saya," ujarnya.
Sebelumnya, Selama dua hari terakhir, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Octavian Thamrin terlihat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yuri atau Retno, Menlu pilihan Jokowi?
Yuri memang salah satu orang dari dalam Kemlu yang disebut-sebut sebagai calon kuat Menlu. Selain Yuri, ada nama-nama lain seperti Retno LP Marsudi, Desra Percaya, Djauhari Oratmangun, dan Havaz Oegroseno.
Nah, Yuri pada Senin (20/10) malam dan Selasa (21/10), terlihat berada di dekat Jokowi di Istana Merdeka. Pria yang pernah menjadi jubir Kemlu dan Pewakilan Tetap RI di Jenewa yang selalu tampil rapi itu menemani Presiden Jokowi saat menerima beberapa tamu negara.
(idh/jor)
"Saya juga belum tahu siapa," kata Hassan usai menjadi pembicara dalam diskusi yang diprakarsai Human Right Working Goverment (HRWG) bertajuk 'The Future of Human Rights in Asean Community: Opportunies and Challanges' di Auditorium CSIS Jalan Tanah Abang III No 23-27, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2014). Menurut Menlu yang menjabat sejak tahun 2001 sampai 2009 ini, orang yang cocok menjabat Menlu Jokowi adalah dari kalangan profesional.
"Menurut saya pribadi, bagus kalau Menlunya orang karir, profesional," kata
Hassan sendiri tidak menjawab gamblang mana yang lebih cocok menjadi Menlu saat disodorkan dua nama yang saat ini sedang menguat, yaitu Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi.
Kendati begitu, Menlu pada era Presiden Megawati Sookarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menyebut bahwa keduanya adalah orang-orang terbaik. "Itu orang-orang terbaik saya," ujarnya.
Sebelumnya, Selama dua hari terakhir, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Octavian Thamrin terlihat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yuri atau Retno, Menlu pilihan Jokowi?
Yuri memang salah satu orang dari dalam Kemlu yang disebut-sebut sebagai calon kuat Menlu. Selain Yuri, ada nama-nama lain seperti Retno LP Marsudi, Desra Percaya, Djauhari Oratmangun, dan Havaz Oegroseno.
Nah, Yuri pada Senin (20/10) malam dan Selasa (21/10), terlihat berada di dekat Jokowi di Istana Merdeka. Pria yang pernah menjadi jubir Kemlu dan Pewakilan Tetap RI di Jenewa yang selalu tampil rapi itu menemani Presiden Jokowi saat menerima beberapa tamu negara.
(idh/jor)
********
MANTAN KEPALA BAKIN BARU TAHU
BELANDA BELUM AKUI KEMERDEKAAN INDONESIA
SABTU, 29 JUNI 2013 , 09:54:00 WIB
SABTU, 29 JUNI 2013 , 09:54:00 WIB
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
RMOL. Letnan Jenderal (Purn) Moetojib
kaget. Kepala Badan Kordinasi Intelijen (Bakin) di periode 1996-1998 itu baru
tahu Kerajaan Belanda belum mengakui kemerdekaan RI secara de jure pada 17
Agustus 1945.
Kekagetan itu disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada 1995-1996 ini saat membuka ceramah umum yang disampaikan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R. Hutagalung di Paguyuban Seno Cakti (PSC), di kompleks Badan Intelijen Negara (BIN), Sabtu pagi (29/6).
"Bila demikian, maka aksi polisional Belanda yang dilakukan dua kali setelah 17 Agustus 1945 adalah invasi," ujar Moetojib yang selain Ketua PSC juga Ketua Yayasan Jati Diri Bangsa.
Moetojib juga menyinggung sikap Kementerian Luar Negeri yang kurang kencang membicarakan masalah ini. Menurutnya, sikap Kemlu itu mungkin karena khawatir akan merusak hubungan baik kedua negara.
"Tidak apa-apa, pemerintah berhubungan baik tapi masyarakat tetap memperjuangkan masalah ini," demikian Moetojib. [ald]
Kekagetan itu disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada 1995-1996 ini saat membuka ceramah umum yang disampaikan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R. Hutagalung di Paguyuban Seno Cakti (PSC), di kompleks Badan Intelijen Negara (BIN), Sabtu pagi (29/6).
"Bila demikian, maka aksi polisional Belanda yang dilakukan dua kali setelah 17 Agustus 1945 adalah invasi," ujar Moetojib yang selain Ketua PSC juga Ketua Yayasan Jati Diri Bangsa.
Moetojib juga menyinggung sikap Kementerian Luar Negeri yang kurang kencang membicarakan masalah ini. Menurutnya, sikap Kemlu itu mungkin karena khawatir akan merusak hubungan baik kedua negara.
"Tidak apa-apa, pemerintah berhubungan baik tapi masyarakat tetap memperjuangkan masalah ini," demikian Moetojib. [ald]
******