Mengapa Belanda Tak Mau Akui De Jure Kemerdekaan RI 17.8.1945?
Mengapa Pemerintah RI Membiarkannya?
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda
(KUKB)
Pada 5 Agustus 2013 Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB) mengeluarkan Press Release di mana dinyatakan, bahwa pada 5
Agustus 2013 KUKB telah menyampaikan petisi kepada Presiden Republik Indonesia,
yang isinya:
Apabila hingga 17
Agustus 2013 pemerintah Belanda tetap menolak untuk:
I.
MENGAKUI
DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK
INDONESIA ADALAH 17 AGUSTUS 1945,
II.
MEMINTA
MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, KEJAHATAN PERANG,
KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN DAN PELANGGARAN HAM BERAT, TERUTAMA YANG DILAKUKAN
OLEH TENTARA BELANDA SELAMA AGRESI MILITER DI INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 –
1950,
III.
BERTANGGUNGJAWAB
ATAS PEMBANTAIAN SATU JUTA RAKYAT INDONESIA DAN KEHANCURAN YANG DIAKIBATKAN
OLEH AGRESI MILITER BELANDA DI REPUBLIK INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 – 1950,
Maka, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB),
mendesak pemerintah Republik Indonesia agar segera:
MEMUTUS “HUBUNGAN DIPLOMATIK” ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA.
(Untuk membaca Teks Petisi dan lampiran-lampirannya
silakan klik:
Teks bahasa Inggris, klik:
Dari berbagai reaksi atas petisi ini terungkap,bahwa
sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengetahui, bahwa hingga detik ini,
pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Sebagian lagi menganggap, bahwa tahun 2005
pemerintah Belada telah megakui kemerdekaan RI 17.8.1945. Anggapan yang keliru
ini disebabkan oleh pemberitaan beberapa media ternama di Indonesia pada 18
Agustus 2005 yang memberitakan berdasarkan pernyataan Menlu Belanda (waktu itu)
Ben Bot di Gedung Kemlu RI pada 16.8.2005. Diberitakan, bahwa “AKHIRNYA
PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.”
Apabila menyimak dengan teliti yang
disampaikan oleh Ben Bot pada 16.8.2005, maka terlihat, bahwa pemberitaan media
tersebut salah. Ben Bot tidak mengatakan MENGAKUI (Acknowledge, Recognize) secara yuridis (de jure), melainkan dia
mengatakan MENERIMA (Acceptance)
secara politis dan moral. Tepatnya dia mengatakan:
“... Through my presence the Dutch government
expresses its political and moral
acceptance of the Proklamasi,
the date the Republic of Indonesia declared independence ...”
(Teks
lengkap dalam bahasa Inggris lihat:
Sehari sebelum berangkat ke Jakarta, pada 15.8.2005 di Den Haag, dia
mengatakan lebih tegas lagi, yaitu MENERIMA (AANVARDEN) DE FACTO :
“... Ik zal met steun van het Kabinet aan de mensen
in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de
onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al
begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in
politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden ...”
(Teks
lengkap dalam bahasa Belanda lihat:
Pada 18 Agustus 2005 dalam wawancara di satu
stasiun TV di Jakarta, Ben Bot menyatakan, bahwa pengakuan de jure kemerdekaan RI telah diberikan pada akhir tahun 1949.
Seharusnya pernyataan Menlu Belanda ini
sangat mengejutkan karena berarti, hingga 15 Agustus 2005 untuk pemerintah
Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak eksis samasekali, dan
baru pada 15.8.2005 hanya diterima keberadaannya namun tidak diakui
legalitasnya.
Di sini letak kejanggalan hubungan
“diplomatik” Indonesia – Belanda, karena Belanda ternyata puluhan tahun tidak
mengakui de facto dan de jure eksistensi Republik Indonesia.
Baru tahun 2005, Belanda MENERIMA DE
FACTO REPUBLIK INDONESIA.
Apabila membuka lembaran sejarah, akan
terlihat lebih aneh lagi. Dalam Perjanjian Linggajati tahun 1947, pemerintah
Belanda telah MENGAKUI de facto Republik
Indonesia, walaupun waktu itu hanya atas Sumatera, Jawa dan Madura. Perundingan di Linggajati yang difasilitasi oleh Inggris berlangsung
singkat, dari tanggal 10 – 13 November 1946, dan ditandatangani pada 15
November 1946 di Jakarta. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) meratifikasi
Perjanjian Linggajati pada 25 Maret 1947.
Tahun 1947 Belanda sudah MENGAKUI de facto Republik Indonesia, kemudian
tahun 2005 MENERIMA de facto?
Negara yang diakui oleh Belanda, yaitu RIS,
sudah tidak ada lagi. Namun mengapa pemerintah Belanda mengabaikan etika/hukum
internasional, dan tetap tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan RI 17.8.1945?
Ternyata, apabila pemerintah Belanda mengakui
de jure kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945, mempunyai konsekwensi yang sangat berat untuk Belanda.
Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, pemeritah Nederlands Indië (India Belanda) menyerah
tanpa syarat kepada Jepag dan menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang.
Kemudian Jepang sendiri menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu
(Allied Forces) pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat baru
ditandatagani di atas kapal Missouri di Teluk Tokyo pada 2 September. Oleh
karena itu, antara tanggal 15.8. – 2.09.1945 terdapat kekosogan kekuasaan (vacuum of power).
Di masa vacuum
of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Kemudian diangkat presiden dan wakil presiden serta dibentuk
pemerintahan. Pembentukan Negara ini sah sesuai kovensi Montevideo 26 Desember
1933.
(Lihat: KEABSAHAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945,
klik:
Belanda tidak mau mengakui pernyataan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan
dua divisi tentara Australia Belanda berhasil masuk kembali ke Indonesia, dan
kemudian dengan kekuatan militer, berusaha menjajah kembali. Sejarah mencatat, Belanda tidak berhasil meguasai
Indonesia dengan agresi militernya.
Sejarah juga mencatat, selama agresi militer
Belanda yang dibantu sekutunya antara tahun 1945 - 1950, telah terjadi
pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Indonesia. Diperkirakan korban tewas
mencapai satu juta jiwa, sebagian terbesar adalah penduduk sipil, termasuk
wanita dan anak-anak.
Serangan besar-besaran terhadap Republik Indonesia
yang dilancarkan oleh Belanda, dilakukan setelah terwujud perdamaian. Belanda
melanggar Perjanjian Linggajati dengan melancarkan agresi I pada 21Juli 1947.
Agresi I berakhir degan perundingan perdamaian di atas kapal perang Amerika Serikat
Renville. Persetujuan Renville
dilanggar lagi oleh Belanda dengan melancarkan agresi militer ke II pada 19
Desember 1948. Sembilan hari setelah Belanda ikut menandatangani Universal Declaration of Human Rights
(Pernyataan Umum Mengenai HAM, yang dideklarasikan PBB pada 10 Desember 1948.
Untuk mengelabui opini dunia, Belanda
mengemas agresi militernya sebagai “aksi polisional”, yaitu sebagai urusan internal,
di mana “polisi” Belanda melancarkan aksi untuk membasmi perampok, perusuh, pengacau
keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Namun dunia
internasional tidak terkecoh dengan pernyataan Belanda, sebagaimana diungkap
oleh Majalah USA Time, Edisi Senin 4
Agustus 1947. Time juga mengungkap,
bahwa yang ikut menyerang adalah marinir Belanda yag dilatih oleh tentara Amerika
Serikat. (Lihat:
The
Dutch first "Politionele actie", Juli 21 - August, 5, 1947 in the
opinion of the international world. "Police Measures", Time Magazine,
Monday, Aug. 04, 1947
Dalam pidatonya tanggal 16.8.2005, Ben Bot
mengakui terus terang, bahwa pengerahan militer (bukan polisi) secara
besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi yang salah dalam sejarah. Dia
mengatakan:
“... In retrospect, it is clear that its large-scale
deployment of military forces in 1947 put
the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military
action was taken and that many people on both sides lost their lives or were
wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the
Republic of Indonesia ...”
Konsekuensi kalau Belanda akui de jure 17.8.1945
Sekarang, apabila pemerintah Belanda mengakui
de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17 Agustus 1945, maka dengan demikian Belanda terpaksa mengakui,
bahwa yang mereka namakan “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap
suatu negara merdeka dan berdaulat. Konsekwensinya adalah:
1. Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG (war reparation) kepada Republik
Indonesia, seperti yang telah dibayar oleh Jepang kepada Negara-negara di Asia
Tenggara, korban agresi militer Jepang 1942 – 1945.
2. Veteran Belanda menjadi Penjahat Perang (war criminals).
Hal-hal tersebut di atas yang menjadi dilemma
untuk Belanda, apabila mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17
Agustus 1945.
Namun untuk bangsa Indonesia, pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 adalah masalah MARTABAT sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat. Apabila bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda ini, maka dengan
kata lain, bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda, bahwa yang ada di
makam-makam pahlawan di seluruh Indoesia adalah para perampok, perusuh,
pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Sejak tahun 2002, Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI, kemudian sejak tahun 2005 dilanjutkan oleh
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), setiap tahun menyelenggarakan seminar
di berbagai daerah di Indonesia mengangkat tema masalah Indonesia dengan
Belanda, mengadakan demonstrasi ke kedutaan Belanda di Jakarta serta menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda
dengan tuntutan seperti di atas.
(Kegiatan menuntut pemerintah Belanda sejak
tahun 2002. Lihat:
Tahun 2005, Ben Bot juga menyatakan menyesal
atas jatuhnya banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Belanda mencatat
kehilangan sekitar 6.000 serdadunya dan di pihak Indonesia, Belanda menyatakan
korban jiwa sekitar 150.000. Contoh di desa Rawagede, dekat Karawang,
menunjukkan, angka korban di pihak Indonesia sangat dikecilkan oleh pemerintah
Belanda. Dalam laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969 disebutkan, penduduk
sipil yang dibunuh di desa Rawagede “hanya” 20 orang. Kenyataannya korban
pembantaian di Rawagede (kini bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947 adalah
431 orang. Diperkirakan, korban tewas di pihak Indonesia mencapai satu juta
orang, termasuk korban kejahatan perang tentara Inggris dan Australia yang
membantu Belanda tahun 1945 – 1946. Sebagian terbesar korban adalah penduduk
sipil yang dibantai tanpa proses hukum apapun, seperti yang terjadi di Sulawesi
Selatan (sekarang setelah pemekaran provinsi, sebagian termasuk wilayah
Sulawesi Barat), Rawagede, Kranggan (dekat Temanggung), dll.
Adalah hak suatu negara untukmengakui atau
tidak mengakui eksistensi Negara lain. RI tidak mengakui Israel dan Taiwan,
namun ini berlaku timbal balik (resiprokal). Indonesia tidak memiliki hubungan
diplomatik dengan kedua Negara tersebut. Adalah hak Belanda untuk tidak
mengakui kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, namun ini juga seharusnya
berlaku timbal-balik.
Menurut Prof. Dr. F. Sugeng Istanto SH, hak-hak
dari suatu negara (state’s rights) adalah
(Lihat Istanto: Hukum Internasional, Yogyakarta 1998):
1.
Hak
kemerdekaan,
2.
Hak Kesederajatan (equality),
3.
Hak
mempertahankan diri.
Di Belanda banyak tokoh-tokoh masyarakat,
bahkan anggota parlemen Belanda yang mendukung tuntutan pengakuan kemerdekaan
RI 17.8.1945 (Lihat berita di media di belanda, dalam bahasa Belanda):
Pemeritah Indonesia/Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia mengetahui dengan jelas sikap pemerintah Belanda, namun
MEMBIARKANNYA. Lalu, mengapa pemerintah Republik Indonesia MEMBIARKAN Belanda
melecehkan MARTABAT BANGSA INDONESIA? Pemerintah/Kementerian LN RI harus menjelaskan
kepada seluruh rakyat Indonesia mengenai sikap pemerintah RI ini!
Yang jelas, pelecehan yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda selama puluhan tahun, yang sangat merendahkan harkat dan
martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat harus segera dihentikan!
Atau … apakah bangsa ini sudah kehilangan
MARTABAT?
Apakah kita akan mewariskan kepada anak-cucu
kita satu bangsa yang tak bermartabat?
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
8 comments:
HIDUPLAH INDONESIA RAYA MERDEKA. Salam kenal sahabat
MERDEKA! Jabat tangan erat!
Baru tahu kalau belanda tidak mengakui 17/8/45 secara de jure, dan konsekuensinya juga. Pemerintah RI perlu berbuat sesuatu untuk ini. Great article pak Hutagalung
Terima kasih Vita Minibu
kalau ga mau Mengakui, artinya sama dengan Ngajak Perang-dung
Belanda mengakui kmerdekaan Indonesia secara de facto, sementara secara de jure belum.
Knpa Indonesia membiarkan ini jawabanx simple krn sejak era Soeharto investasi besar2an Belanda di Amerika ada Newmont, ada freeport ada shell dan tambang2 lain spt batu bara dll
Sepertinya belanda masing inginkan sesuatu dari indonesia
Tapi belum terungkap itu apa
Terimakasih
Post a Comment