Berdirinya Kepolisian RI tahun 1945
Oleh Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Walaupun tentara Jepang telah melucuti
persenjataan yang telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan
KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di Republik
Indonesia mulai mengambil alih kepemimpinan,
baik pemerintahan sipil maupun militer, juga di Surabaya.
Mereka memutuskan untuk membentuk
pasukan pertahanan kota Surabaya. Di Surabaya dan sekitarnya pembentukan BKR
dipelopori antara lain oleh drg. Mustopo, R.M.Yonosewoyo, Sungkono, Surachman,
Abdul Wahab, dr. W. Hutagalung, R. Kadim Prawirodirjo dan lain-lain. Selain
BKR, para pemuda juga mendirikan laskar dan berbagai pasukan pemuda, seperti
TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Sungkono, seorang pelaku dalam
pemberontakan di kapal Belanda “De Zeven
Provincien”, merekrut pasukan pertahanan/ keamanan kota Surabaya, terutama
dari mantan Heiho, Seinendan dan Jibakutai; pasukan ini kemudian menjadi BKR Kota Surabaya.
Di
Surabaya dan sekitarnya, dalam waktu kurang dari dua bulan telah terbentuk
lebih dari 60 satuan BKR dan Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata mencapai
30.000 orang. Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan
anggota Peta, Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, dll.
Jenis persenjataan yang dimiliki dari mulai senjata ringan, senjata menengah
dan senjata berat, seperti mortir, tank dan meriam kaliber besar. Dalam perebutan senjata di Surabaya dan
sekitarnya, panglima tentara Jepang melaporkan, 220 tentara Jepang tewas. Di
pihak Indonesia, diperkirakan sekitar 500 orang tewas.
Munculnya berbagai kelompok bersenjata yang
memang bertujuan untuk merampok, tentu sangat berpengaruh terhadap situasi
keamanan setelah Jepang menyerah, terutama di kota-kota, yang menjadi sangat
rawan dan mencemaskan. Kekalahan dalam Perang Dunia II membuat pihak Jepang
tidak bersemangat lagi untuk melakukan tugas administrasi serta menjaga
keamanan di Indonesia, termasuk di Surabaya. Hal ini berdampak pada pengamanan
di wilayah yang masih mereka kuasai, sedangkan tentara Sekutu belum datang.
Berbagai kelompok penjahat menebar aksi
yang sulit dibendung, sehingga pasukan pertahanan kota Surabaya yang awalnya
masih kekurangan personal, senjata dan kendaraan, kewalahan menghadapi ulah
mereka. Semula, sasaran para perampok adalah rumah dan gedung yang dahulu
dihuni perwira-perwira Jepang. Di sana diperkirakan terdapat makanan, minuman
dan pakaian yang berlimpah. Namun setelah semua peninggalan itu terkuras
tuntas, sasaran aksi pun terarah ke sejumlah rumah sakit yang telah dikosongkan
tentara Jepang. Tak ada jalan lain, kendati dalam situasi serba kekurangan,
pasukan pertahanan kota Surabaya berupaya mati-matian mengatasi ulah para
penjahat itu.
Bendera Republik Indonesia, sang
Merah-Putih, pertama kali berkibar di Surabaya pada hari minggu, tanggal 18
Agustus pagi hari, di markas Tokubetsu
Keisatsu Tai (Kesatuan Polisi
Istimewa. Satuan bersenjata yang pertama kali menyatakan sebagai satuan
bersenjata Republik Indonesia di Surabaya, adalah Tokubetsu Keisatsu Tai (Kesatuan Polisi Istimewa) yang lebih
dikenal sebagai Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya. Pada tanggal 21 Agustus
1945, hanya empat hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia, Tokubetsu Keisatsu Tai menyatakan bahwa
Polisi sebagai Polisi Republik Indonesia. Tokoh yang membacakan pernyataan
tersebut adalah Inspektur Polisi Kelas I, Mochamad Yasin ,
[1] waktu itu berumur 25 tahun. Pemuda
Bone kelahiran pulau Buton, Sulawesi Selatan,
menuturkan peristiwa yang dialaminya:
“…
Saya baru mengetahui berita tentang proklamasi kemerdekaan itu dua hari
kemudian, dari salah seorang bawahan saya, yaitu Agen Polisi III, Nainggolan.
Ia juga mengetahui berita itu dari kantor Domei, sehari setelah proklamasi.
Berita yang didengar itu mendorongnya menemui rekannya Sugito dan bersama-sama
sepakat mengusahakan bendera merah putih yang pada hari minggu pagi 19 Agustus
1945 berkibar di markas Tokubetsu Keisatsu Tai menggantikan bendera Jepang.
Markas kesatuan ini menempati gedung sekolah yang terletak di Coen Boulevard
(sekarang Jl. Polisi Istimewa), Surabaya. Ketika pimpinan Jepang dari markas
kesatuan itu yang pada hari itu masuk kantor melihat bendera Jepang tidak
berkibar lagi dan bendera merah putih menggantikan tempatnya, ia menjadi marah
dan dengan tegas memerintahkan memanggil para pengibar bendera merah putih.
Dengan geram menghardik serta menempeleng mereka dan memerintahkan untuk
menurunkan bendera merah putih dan mengembalikan bendera Jepang. Perintah itu
dilaksanakan sehingga bendera Jepang kembali berkibar …
…
Tampaknya perlakuan itu membakar semangat perjuangan mereka, sehingga setelah
mendapat sanksi, dan pimpinan Jepang itu kembali ke ruang kerjanya, kedua
mereka (Nainggolan dan Sugito) berlari kembali ke tiang bendera dan secara spontan
didukung oleh anggota Tokubetsu Keisatsu Tai yang berkebangsaan Indonesia
lainnya mengibarkan bendera merah putih kembali. Tindakan mereka itu terlihat
pula oleh pemuda-pemuda yang berada di sekitar markas itu, sehingga dengan
segera mereka datang membantu. Segera setelah itu tiang bendera dan sekitarnya
dilindungi dengan lilitan kawat berduri yang maksudnya adalah untuk menghalangi
pihak Jepang menurunkan bendera itu. …
…
Pada pukul 13.00 siang tanggal 20 Agustus, kader Polisi Indonesia yang ada di markas
ini mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh Pembantu Inspektur Kelas I Sutarjo,
Komandan Polisi Surip, Komandan Polisi Abidin, Komandan Polisi Musa dan saya
sendiri sebagai Inspektur Polisi Kelas I.
Hasil
pertemuan tersebut adalah
1.
Memutuskan semua jaringan hubungan
telepon ke luar
2.
Menangkap dan menawan para pimpinan
Tokubetsu Keisatsu Tai yang berkebangsaan Jepang
3.
Bongkar dan mengambil alih gudang
senjata Tokubetsu Keisatsu Tai, yang terletak di belakang markas dan
mempersenjatai pasukan pada malam itu juga dengan senjata-senjata berat
4.
Mengikrarkan wadah Polisi Republik
Indonesia (PRI) dan memproklamasikan berdirinya pada besok pagi pada apel yang
dihadiri oleh semua anggota dan kader Kesatuan Polisi Istimewa
5.
Menetapkan Inspektur Polisi Muhammad
Yasin sebagai pengikrar
6.
Menyebar luaskan berita proklamasi
kemerdekaan kepada masyarakat san mengobarkan semangat para pemuda untuk
berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Setelah rapat selesai, mereka segera
melaksanakan hasil keputusan rapat; yaitu pembongkaran gudang persenjataan,
memutuskan semua jaringan telepon ke luar; para pimpinan Jepang -kepala Markas
Polisi, Chuma, Honda dan Kyoke, dan lainnya- tanpa melakukan perlawanan,
ditahan. Semua kendaraan yang dapat mereka sita, seprti truk-truk dan bahkan
kendaraan lapis baja, ditulisi kata “Polisi Repoeblik Indonesia” dan dipasang
bendera Merah-Putih.
Esok harinya, pada pukul 07.00, Selasa
21 Agustus 1945, semua anggota Kesatuan Polisi Istimewa yang berkebangsaan
Indonesia, sekitar 250 orang, mengikuti apel di halaman depan markas Tokubetsu Keisatsu Tai, di mana bendera
Merah-Putih masih berkibar sejak kemarin. Setelah seluruh pasukan disiapkan, Mochamad
Yasin membacakan teks pernyataan:
PROKLAMASI
Surabaya, 21 Agustus 1945
Atas Nama Seluruh Warga Polisi
Mochamad Yasin
Inspektur Polisi TK.1
Dengan demikian, Polisi Istimewa Karesidenan
Surabaya tersebut adalah Kesatuan Bersenjata pertama di Surabaya, bahkan
mungkin juga di Indonesia. Pada hari itu juga, pukul 08.00, Pasukan Polisi
Istimewa yang berbobot tempur militer, ke luar markas dengan menggunakan
kendaraan-kendaraan berlapis baja dan truk-truk yang telah dilengkapi dengan
bendera Merah-Putih ke jalan Tunjungan, Surabaya, memamerkan diri menjadi milik
Republik Indonesia … yel-yel “Merdeka!” dan “Tetap Merdeka!” terus dipekikkan
oleh anggota pasukan Polisi Istimewa. Pasukan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya inilah yang
kemudian menjadi cikalbakal Brigade Mobil
(Brimob) Kepolisian Republik Indonesia.
Disadur dari:
Batara R. Hutagalung, “Mengapa Inggris Membom Surabaya?”,
Millenium Publishers,Jakarta 2001. 472 halaman.
No comments:
Post a Comment