Oleh Batara R.
Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB)
Beberapa bulan yang lalu, Kedutaan Besar
Belanda di Washigton D.C., Amerika Serikat menulis mengenai Den Haag, dengan
glorifikasi a.l.:
The Hague "City
of Peace and Justice"
The Hague, “the legal
capital of the world”
The Hague is “home of
the Peace Palace, an international icon for 100 years.”
“Global commitment to
defending justice and human rights”
Dsb.,
dsb..
Lihat:
Untuk yang tidak mengetahui sejarah
hitam masa lalu Belanda, terutama generasi muda, pasti kagum atas pernyataan
ini, juga kagum atas reputasi Belanda. Apabila sedikit menguak sejarah Belanda
di Indonesia 68 tahun silam, maka akan terlihat, bahwa pernyataan tersebut sangat
ironis. Namun apabila membuka seluruh tabir masa lalu Belanda sejak abad 17,
maka pernyataan-pernyataan tersebut bukan hanya sangat ironis, melainkan juga
sangat melecehkan intelektualitas dunia internasional.
Pernyataan ini merupakan bagian dari
upaya Belanda untuk menutupi masa lalu yang penuh kekejaman, pelanggaran hukum,
perjanjian internasional dan berbagai kejahatan lain,yang untuk ukuran
sekarang, tidak dapat dibayangkan. Belanda berupaya memoles citra Belanda sekarang
sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi manusia, dengan mengecam
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara lai,termasuk Indonesia.
Di Statuta Roma, yang menjadi landasan
dari ICC tercantum 4 jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
1. Genosida (Genocide), atau pembantaian etnis,
2. Kejahatan atas kemanusiaan (Crimes against humanity),
3. Kejahatan perang (war crimes), dan
4. Kejahatan agresi (crime of aggression).
Berbagai kejahatan yang telah
dilakukan oleh Belanda di masa lalu, bukan hanya keempat kejahatan yang disebut
di dalam Statuta Roma, melainkan juga kejahatan-kejahatan yang sekarang tidak
terbayangkan, pernah dilakukan oleh suatu pemerintahan dari negeri yang
beradab. Di abad 16 sampai 19, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia.
Juga pemerintah Nederlands Indiƫ
(India Belanda) pernah memegang monopoli perdagangan opium. Artinya, hidup
masyarakat Belanda pernah dibiayai oleh uang yang diperoleh dari perdagangan budak
dan perdagangan opium.
Sehubungan dengan kejahatan pertama di
Statuta Roma, yaitu genosida, Belanda memiliki sejarah panjang dan banyak yang
termasuk kategori genosida, atau juga dikenal sebagai pembantaian/pembersihan
etnis (etnic cleansing). Di Statuta
Roma didefinisikan apa yang dimaksud dengan genosida.
Article 6
Genocide
For the purpose of
this Statute, "genocide" means any of the following acts committed
with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or
religious group, as such:
( a ) Killing
members of the group;
( b ) Causing
serious bodily or mental harm to members of the group;
( c
) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to
bring about its physical destruction in whole or in part;
( d ) Imposing
measures intended to prevent births within the group;
( e ) Forcibly
transferring children of the group to another group.
Terjemahan:
Pasal 6
Genosida
Untuk kepentingan Statuta ini,"genosida"
berarti beberapa perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan niat untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, suku,
ras atau keagamaan, seperti:
a. Membunuh anggota kelompok
b. Menyebabkan luka badan maupun mental anggota
kelompok
c. Dengan sengaja melukai kondisi kehidupan
suatu kelompok, yang diperhitungkan, untuk merusak secara fisik baik
keseluruhan ataupun sebagian;
d. Melakukan upaya-upaya pemaksaan yang
diniatkan untuk mencegah kelahiran anak dalam kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari
suatu kelompok ke kelompok lainnya.
Genosida
di Kepulauan Banda
Jan Pieterszoon Coen (JPC)
dikenal di Belanda sebagai “bapak pendiri” imperium VOC di Nederlands IndiĆ« (India Belanda). Setelah menghancurkan Jayakarta
(Batavia, Jakarta) pada 30 Mei 1619, JPC mengerahkan pasukan terbesar pada waktu
itu untuk “menghukum” penduduk Kepulauan Banda, Maluku. Jayakarta (Batavia,
Jakarta) dan Maluku adalah wilayah yang paling lama dan paling menderita selama
masa penjajahan Belanda,sedangkan daerah-daerah lain di Nusantara hanya sempat
di bawah administrasi Belanda selamasekitar 30 – 40 tahun, yaitu sampai 9 Maret
1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang.
Para pemuka
masyarakat di Kepulauan Banda, Maluku, dikenal sebagai ‘Orang Kaya.’ Sebelum
kedatangan orang asing, merekalah yang memimpin pemerintahan dan perdagangan di
Kepulauan Banda. Pada waktu itu, Kepulauan Banda adalah satu-satunya penghasil
buah dan bunga pala di dunia. Selain sebagai rempah-rempah untuk makanan, pala
juga bermanfaat untuk ramuan obat dan sebagai bahan pengawet makanan.
Awalnya perdagangan
rempah-rempah dilakukan sendiri oleh orang-orang Maluku dan pedagang-pedagang
dari Jawa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, pedagang-pedagang asing yang
kemudian terlibat dalam perdagangan rempah-rempah adalah para pedagang Arab
yang melakukan perdagangan rempah-rempah
sampai ke Eropa. Mereka menjual kepada para pedagang Venesia yang sangat
terkenal dalam perdagangan dunia waktu itu. Para pedagang Arab sangat
merahasiakan wilayah penghasil rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Bangsa Eropa pertama
yang mengenal Kepulauan Banda adalah orang Portugis, di awal abad 16, kemudian
diikuti oleh Spanyol. Karena letaknya yang sangat strategis, Banda menjadi
simpul perdagangan “timur – barat.” Cengkeh dari Ternate-Tidore, komoditi
dagang dari dan ke Papua selalu melalui Kepulauan Banda. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan, Banda kemudian menjadi incaran Negara-negara Eropa yang
ingin memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.
Sejak pertamakali
menginjakkan kaki di Banda awal tahun 1512, Portugal sudah berusaha memndirikan
benteng untuk menguasai kawasan tersebut, namun dapat digagalkan oleh orang
Banda. Sejak itu pedagang Portugal membeli rempah-rempah dari para pedagang
lain di Malakka.
Akhir abad 16,
Inggris dan Belanda mulai terlibat dalam pedagangan rempah-rempah di Asia
tenggara, juga dalam perebutan hegemoni atas kawasan tersebut. Kedua Negara ini
kemudian sagat sengit dan kejam dalam memperebutkan monopoli perdagangan
cengkeh dan pala di Maluku dan Banda.
Belanda berhasil
memaksakan kontrak dagang dengan beberapa Orang Kaya di Banda, yang menjamin
Belanda dapat memborong seluruh produksi pala. Namun Belanda sangat menekan
harganya, sehingga membuat para Orang Kaya tersebut juga menjual kepada
pedagang Inggris yang membayar dengan harga yang lebih tinggi. Di Eropa,
Belanda dan Inggris dapat menjual komoditi tersebut dengan harga 250 sampai 300
kali lipat dari harga beli di Banda.
Puncak kebencian
orang Banda terhadap Belanda terjadi pada tahun 1609, di mana Gubernur Belanda
untuk Maluku bersama 40 stafnya dibunuh.
Sementara itu, Inggris
mendirikan pos dagang di Pulau Ai dan Run. Perang memperebutkan kekuasaan atas
wilayah Banda antara Inggris dan Belanda terjadi tahun 1615. Dengan kekuatan
900 tentara, Belanda menyerang pos dagang Inggris di Pulai Ai. Namun kemudian
Inggris berhasil memukul balik dan membunuh 200 tentara Belanda di Pulai Ai.
Setahun kemudian Belanda menyerang lagi Inggris di Pulau Ai, dan kali ini
berhasil mematahkan perlawanan Inggris, di mana kemudian seluruh tentara
Inggris dibantai oleh tentara Belanda.
Tahun 1618 JP Coen diangkat
sebagai Gubernur Jenderal VOC ke 4. Oleh Pangeran Jayawikarta, penguasa di
Jayakarta, Belanda diizinkan mendirikan pos dagang. Namun kemudian Belanda
membangun pos dagang tersebut sebagai benteng pertahanan. Pangeran Jayawikarta,
tidak menyukai Belanda dan bersekutu dengan Inggris menghadapi Belanda. Ketika
timbul konflik dengan Belanda, koalisi Pageran Jayakarta dengan Inggris
berhasil mengusir Coen ke luar dari Jayakarta. Dia berlayar ke Maluku, dan
mengambil pasukan Belanda yang ada di Maluku dan kembali menyerang Jayakarta.
Pada waktu yang
bersamaan, timbul konflik antara Kesultanan Banten dengan Pangeran Jayawikarta.
Coen memanfaatkan situasi ini dan menyerang Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tentara
Belanda berhasil mengalahkan pasukan Jayawikarta dan kemudian membumi-hanguskan
kota Jayakarta, yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa. Pada abad ke-V, kota ini
merupakan Ibukota Kerajaan Hindu Tarumanegara. Seluruh penduduk Jayakarta
melarikan diri ke luar kota. Belanda kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi
Batavia, sebagai penghormatan kepada nenek-moyang bangsa Belanda, bangsa Batavir.
Selain mengganti nama
Jayakarta menjadi Batavia, JPC juga “mengganti” penduduk Jayakarta. Sebagai
akibat dari perang, kota Jayakarta ditinggalkan oleh penduduknya. Yang tersisa
hanya penduduk non-pribumi, yaitu para pedagang dari Negara-negara lain. Untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti perkebunan, selain “mengimpor” kuli-kuli
dari Tiongkok, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari Negara-negara lain
dan dari daerah-daerah lain di Nusantara. Mereka a.l. adalah mantan tentara
yang kalah perang melawan Belanda, seperti tentara Portugal. Setelah para budak
orang Portugal bersedia melepaskan agama katolik dan menganut agama Kristen Protestan
(aliran Calvijn) seperti yang dianut
oleh mayoritas orang Belanda, mereka dibebaskan dan dinamakan Mardijkers (dari kata Sansekerta
Mahardika). Keturunan mereka kini bermukim di daerah Tugu, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Setelah menguasai
Jayakarta, Coen berpaling lagi ke Banda, di mana dia melanjutkan tekad Belanda
untuk menguasai perdagangan pala dan bunga pala. Dari Batavia, dia membawa
armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan
serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal
dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini
adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah
Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan
pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa
diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo
pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang
dalam penjajahan di Asia Tenggara.
Coen bersama pasukanya tiba di
Kepulaua Banda pada 27 Februari 1621. Penyerangan ke pulau Lontor dimulai pada 3
Maret 1621, dan ke Banda Besar pada 11
Maret 1621. Dengan kekuatan yang
demikian besar, hanya dalam sehari pasukan Coen berhasil menguasai seluruh
pulau itu.
Pada 8 Mei 1621 dilakukan pembantaian
secara besar-besaran terhadap para pemuka dan rakyat Banda. Penduduk kepulauan
Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada
Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua
pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi
hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap
pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis
antara lain[1]:
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke
Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari
lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka
dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh
telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian
perdamaian.
Enam serdadu Jepang melaksanakan
eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal
kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang
lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini
sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun,
kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian
tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.
Kejadian yang sangat menakutkan itu
membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda
yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah
kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.
Kita semua, sebagai yang menyatakan
beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini
berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda
beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian
dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah
883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang
meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena
siksaan, kelaparan atau penyakit.
Demikianlah pembantaian massal pertama
yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Penduduk Kepulauan Banda pada
waktu itu diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di
hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra
dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000
jiwa.
Kekejaman Belanda tidak terbatas
terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam
hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk
menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun
setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai
oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam
oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan
oleh Laurens van der Post:[2]
“…
It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they
found there, cutting their throats like dogs …”
Sebagaimana dilakukannya di Jayakarta,
untuk mengerjakan perkebunan pala, Belanda mendatangkan budak-budak dan orang-orang
dari pulau-pulau lain di Nusantara. Setelah Jayakarta, Kepulauan Banda adalah
daerah ke dua, dimana dilakukan “penggantian” penduduk.
Namun kemudian Belanda mendapat
kesulitan dalam budidaya tanaman pala, karena orang-orang yang didatangkan
tidak paham mengenai budidaya tanaman pala. Oleh karea itu, Bepada kemudian”membawa
pulang” sekitar 530 orag yang telah mereka jual sebagai budak di Batavia,
kembali ke Banda untuk mengerjakan tanaman pala.
Secara perlahan-lahan, Belanda
menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis,
Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas
perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat
yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan
kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada
Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat
kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat
setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga
mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang
dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu
menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak
mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon
rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang
sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.
Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de
Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 –
dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie
di Maluku secara besar-besaran, untuk menjaga agar harga rempah-rempah tetap
tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie
tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau dikenal sebagai “Hongi tochten”, yaitu armada yang
terdiri dari sejumlah kora-kora,
kapal tradisional Ternate-Tidore.
Menurut catatan VOC, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10
Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon
dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon
rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.
********
Mengenai
Jan Pieterszoon Coen, lihat tulisan:
“Dua
Muka Jan Pieterszoon Coen”
********
[1] Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De
Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de
Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm.
173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan
Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang
perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.
[2] Laurens
van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.
2 comments:
izin sy kutip untuk novel saya ya mas. trma ksh :)
Untuk Nur Baiti,
silakan kutip.
Salam,
Batara RH
Post a Comment