Monday, August 26, 2013

Genosida oleh Belanda. Bagian I: Pembantaian di Kepulauan Banda



Oleh Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Beberapa bulan yang lalu, Kedutaan Besar Belanda di Washigton D.C., Amerika Serikat menulis mengenai Den Haag, dengan glorifikasi a.l.:
The Hague "City of Peace and Justice"
The Hague, “the legal capital of the world”
The Hague is “home of the Peace Palace, an international icon for 100 years.”
“Global commitment to defending justice and human rights”
Dsb., dsb..

Lihat:

Untuk yang tidak mengetahui sejarah hitam masa lalu Belanda, terutama generasi muda, pasti kagum atas pernyataan ini, juga kagum atas reputasi Belanda. Apabila sedikit menguak sejarah Belanda di Indonesia 68 tahun silam, maka akan terlihat, bahwa pernyataan tersebut sangat ironis. Namun apabila membuka seluruh tabir masa lalu Belanda sejak abad 17, maka pernyataan-pernyataan tersebut bukan hanya sangat ironis, melainkan juga sangat melecehkan intelektualitas dunia internasional.

Pernyataan ini merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menutupi masa lalu yang penuh kekejaman, pelanggaran hukum, perjanjian internasional dan berbagai kejahatan lain,yang untuk ukuran sekarang, tidak dapat dibayangkan. Belanda berupaya memoles citra Belanda sekarang sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi manusia, dengan mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara lai,termasuk Indonesia.

Di Statuta Roma, yang menjadi landasan dari ICC tercantum 4 jenis kejahatan yang tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
1.    Genosida (Genocide), atau pembantaian etnis,
2.    Kejahatan atas kemanusiaan (Crimes against humanity),
3.    Kejahatan perang (war crimes), dan
4.    Kejahatan agresi (crime of aggression).

Berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh Belanda di masa lalu, bukan hanya keempat kejahatan yang disebut di dalam Statuta Roma, melainkan juga kejahatan-kejahatan yang sekarang tidak terbayangkan, pernah dilakukan oleh suatu pemerintahan dari negeri yang beradab. Di abad 16 sampai 19, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia. Juga pemerintah Nederlands Indiƫ (India Belanda) pernah memegang monopoli perdagangan opium. Artinya, hidup masyarakat Belanda pernah dibiayai oleh uang yang diperoleh dari perdagangan budak dan perdagangan opium.

Sehubungan dengan kejahatan pertama di Statuta Roma, yaitu genosida, Belanda memiliki sejarah panjang dan banyak yang termasuk kategori genosida, atau juga dikenal sebagai pembantaian/pembersihan etnis (etnic cleansing). Di Statuta Roma didefinisikan apa yang dimaksud dengan genosida.

Article 6
Genocide
For the purpose of this Statute, "genocide" means any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
( a ) Killing members of the group;
( b ) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
( c ) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
( d ) Imposing measures intended to prevent births within the group;
( e ) Forcibly transferring children of the group to another group.

Terjemahan:
Pasal 6
Genosida
Untuk kepentingan Statuta ini,"genosida" berarti beberapa perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, suku, ras atau keagamaan, seperti:
a. Membunuh anggota kelompok
b. Menyebabkan luka badan maupun mental anggota kelompok
c. Dengan sengaja melukai kondisi kehidupan suatu kelompok, yang diperhitungkan, untuk merusak secara fisik baik keseluruhan ataupun sebagian;
d. Melakukan upaya-upaya pemaksaan yang diniatkan untuk mencegah kelahiran anak dalam kelompok
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya.


Genosida di Kepulauan Banda

Jan Pieterszoon Coen (JPC) dikenal di Belanda sebagai “bapak pendiri” imperium VOC di Nederlands IndiĆ« (India Belanda). Setelah menghancurkan Jayakarta (Batavia, Jakarta) pada 30 Mei 1619, JPC mengerahkan pasukan terbesar pada waktu itu untuk “menghukum” penduduk Kepulauan Banda, Maluku. Jayakarta (Batavia, Jakarta) dan Maluku adalah wilayah yang paling lama dan paling menderita selama masa penjajahan Belanda,sedangkan daerah-daerah lain di Nusantara hanya sempat di bawah administrasi Belanda selamasekitar 30 – 40 tahun, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang.

Para pemuka masyarakat di Kepulauan Banda, Maluku, dikenal sebagai ‘Orang Kaya.’ Sebelum kedatangan orang asing, merekalah yang memimpin pemerintahan dan perdagangan di Kepulauan Banda. Pada waktu itu, Kepulauan Banda adalah satu-satunya penghasil buah dan bunga pala di dunia. Selain sebagai rempah-rempah untuk makanan, pala juga bermanfaat untuk ramuan obat dan sebagai bahan pengawet makanan.

Awalnya perdagangan rempah-rempah dilakukan sendiri oleh orang-orang Maluku dan pedagang-pedagang dari Jawa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, pedagang-pedagang asing yang kemudian terlibat dalam perdagangan rempah-rempah adalah para pedagang Arab yang melakukan perdagangan rempah-rempah  sampai ke Eropa. Mereka menjual kepada para pedagang Venesia yang sangat terkenal dalam perdagangan dunia waktu itu. Para pedagang Arab sangat merahasiakan wilayah penghasil rempah-rempah di Kepulauan Maluku.

Bangsa Eropa pertama yang mengenal Kepulauan Banda adalah orang Portugis, di awal abad 16, kemudian diikuti oleh Spanyol. Karena letaknya yang sangat strategis, Banda menjadi simpul perdagangan “timur – barat.” Cengkeh dari Ternate-Tidore, komoditi dagang dari dan ke Papua selalu melalui Kepulauan Banda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, Banda kemudian menjadi incaran Negara-negara Eropa yang ingin memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.

Sejak pertamakali menginjakkan kaki di Banda awal tahun 1512, Portugal sudah berusaha memndirikan benteng untuk menguasai kawasan tersebut, namun dapat digagalkan oleh orang Banda. Sejak itu pedagang Portugal membeli rempah-rempah dari para pedagang lain di Malakka.

Akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai terlibat dalam pedagangan rempah-rempah di Asia tenggara, juga dalam perebutan hegemoni atas kawasan tersebut. Kedua Negara ini kemudian sagat sengit dan kejam dalam memperebutkan monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Maluku dan Banda.

Belanda berhasil memaksakan kontrak dagang dengan beberapa Orang Kaya di Banda, yang menjamin Belanda dapat memborong seluruh produksi pala. Namun Belanda sangat menekan harganya, sehingga membuat para Orang Kaya tersebut juga menjual kepada pedagang Inggris yang membayar dengan harga yang lebih tinggi. Di Eropa, Belanda dan Inggris dapat menjual komoditi tersebut dengan harga 250 sampai 300 kali lipat dari harga beli di Banda.

Puncak kebencian orang Banda terhadap Belanda terjadi pada tahun 1609, di mana Gubernur Belanda untuk Maluku bersama 40 stafnya dibunuh.

Sementara itu, Inggris mendirikan pos dagang di Pulau Ai dan Run. Perang memperebutkan kekuasaan atas wilayah Banda antara Inggris dan Belanda terjadi tahun 1615. Dengan kekuatan 900 tentara, Belanda menyerang pos dagang Inggris di Pulai Ai. Namun kemudian Inggris berhasil memukul balik dan membunuh 200 tentara Belanda di Pulai Ai. Setahun kemudian Belanda menyerang lagi Inggris di Pulau Ai, dan kali ini berhasil mematahkan perlawanan Inggris, di mana kemudian seluruh tentara Inggris dibantai oleh tentara Belanda.

Tahun 1618 JP Coen diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC ke 4. Oleh Pangeran Jayawikarta, penguasa di Jayakarta, Belanda diizinkan mendirikan pos dagang. Namun kemudian Belanda membangun pos dagang tersebut sebagai benteng pertahanan. Pangeran Jayawikarta, tidak menyukai Belanda dan bersekutu dengan Inggris menghadapi Belanda. Ketika timbul konflik dengan Belanda, koalisi Pageran Jayakarta dengan Inggris berhasil mengusir Coen ke luar dari Jayakarta. Dia berlayar ke Maluku, dan mengambil pasukan Belanda yang ada di Maluku dan kembali menyerang Jayakarta.

Pada waktu yang bersamaan, timbul konflik antara Kesultanan Banten dengan Pangeran Jayawikarta. Coen memanfaatkan situasi ini dan menyerang Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tentara Belanda berhasil mengalahkan pasukan Jayawikarta dan kemudian membumi-hanguskan kota Jayakarta, yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa. Pada abad ke-V, kota ini merupakan Ibukota Kerajaan Hindu Tarumanegara. Seluruh penduduk Jayakarta melarikan diri ke luar kota. Belanda kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, sebagai penghormatan kepada nenek-moyang bangsa Belanda, bangsa Batavir.

Selain mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, JPC juga “mengganti” penduduk Jayakarta. Sebagai akibat dari perang, kota Jayakarta ditinggalkan oleh penduduknya. Yang tersisa hanya penduduk non-pribumi, yaitu para pedagang dari Negara-negara lain. Untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti perkebunan, selain “mengimpor” kuli-kuli dari Tiongkok, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari Negara-negara lain dan dari daerah-daerah lain di Nusantara. Mereka a.l. adalah mantan tentara yang kalah perang melawan Belanda, seperti tentara Portugal. Setelah para budak orang Portugal bersedia melepaskan agama katolik dan menganut agama Kristen Protestan (aliran Calvijn) seperti yang dianut oleh mayoritas orang Belanda, mereka dibebaskan dan dinamakan Mardijkers (dari kata Sansekerta Mahardika). Keturunan mereka kini bermukim di daerah Tugu,  Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Setelah menguasai Jayakarta, Coen berpaling lagi ke Banda, di mana dia melanjutkan tekad Belanda untuk menguasai perdagangan pala dan bunga pala. Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Asia Tenggara.

Coen bersama pasukanya tiba di Kepulaua Banda pada 27 Februari 1621. Penyerangan ke pulau Lontor dimulai pada 3 Maret 1621, dan ke  Banda Besar pada 11 Maret 1621.  Dengan kekuatan yang demikian besar, hanya dalam sehari pasukan Coen berhasil menguasai seluruh pulau itu. 

Pada 8 Mei 1621 dilakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap para pemuka dan rakyat Banda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain[1]:
“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit.

Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000 jiwa.

Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post:[2]
“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Sebagaimana dilakukannya di Jayakarta, untuk mengerjakan perkebunan pala, Belanda mendatangkan budak-budak dan orang-orang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Setelah Jayakarta, Kepulauan Banda adalah daerah ke dua, dimana dilakukan “penggantian” penduduk.

Namun kemudian Belanda mendapat kesulitan dalam budidaya tanaman pala, karena orang-orang yang didatangkan tidak paham mengenai budidaya tanaman pala. Oleh karea itu, Bepada kemudian”membawa pulang” sekitar 530 orag yang telah mereka jual sebagai budak di Batavia, kembali ke Banda untuk mengerjakan tanaman pala.

Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu Portugis, Spanyol dan Inggris, dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.

Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie di Maluku secara besar-besaran, untuk menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau dikenal sebagai “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.

Menurut catatan VOC, sebagai hasil extirpatie dari Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10 Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732 telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.


            ********

Mengenai Jan Pieterszoon Coen, lihat tulisan:
“Dua Muka Jan Pieterszoon Coen”


            ********



[1] Laporan ini dikutip oleh Willard A. Hanna dari “De Verovering der Banda-Eilanden,” Bijdragen van het Koninklijke Institut voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, Vol. II (1854), hlm. 173. Laporan ini semula beredar secara anonim di Belanda, namun cendekiawan Belanda yang terkenal, H.T. Colenbrander menghubungkan ini dengan salah seorang perwira dari Gubernur Jenderal Coen, yaitu Nicholas van Waert tersebut.

[2] Laurens van der Post: “The Admiral's Baby”, John Murray, London, 1996.

2 comments:

Nur baiti (Hikaru) said...

izin sy kutip untuk novel saya ya mas. trma ksh :)

batarahutagalung said...

Untuk Nur Baiti,
silakan kutip.
Salam,
Batara RH