Pengantar
oleh Batara R. Hutagalung
Putra
Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20.3.1910 – 29.4.2002).
Di
beberapa grup WA dan di facebook beredar beberapa tulisan mengenai Pasukan
Sriwijaya yang ikut berperang di pihak Republik Indonesia melawan tentara Inggris/Sekutu di Surabaya, pada
28-29 Oktober 1945 dan dalam pertempuran di Surabaya yang dimulai dengan
pemboman atas Surabaya tanggal 10
November 1945.
Pasukan
Sriwijaya dibentuk oleh para mantan anggota Giyugun (Pasukan Pembantu) yang
berasal dari Tanah Batak dan Aceh.
Di
wilayah2 yang didudukinya, tentara Jepang membentuk pasukan2 yang tediri dari
pribumi setempat dengan tujuan untuk membantu Jepang, baik dalam menjaga
keamanan dan ketertiban di lingkungannya, juga untuk membantu Jepang dalam perang melawan
tentara Sekutu.
Di
Pulau Jawa dibentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pasukan
Pembantu/relawan).Di
Sumatera dan Malaya (sekarang Malaysia) pasukan pembantu/relawan dinamakan Giyugun.
Tahun 1944, sekitar 2000 anggota Giyugun
yang adalah putra-putra Batak dan Aceh dibawa oleh tentara Jepang ke
Morotai, Halmahera Utara, untuk membantu Jepang dalam perang melawan
tentara Amerika Serikat.
Hanya segelintir yang kembali ke kampung halaman mereka di Tanah Batak dan Aceh.
***
Di
beberapa tulisan disebut, bahwa sumber informasi mengenai Pasukan Sriwijaya
adalah Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung.
Kami
dari keluarga dr. Wiliater Hutagalung menghaturkan terima kasih atas disebarluaskannya
cuplikan dari buku Autobiografi dr. Wiliater.. Namun perlu kami sampaikan,
adanya beberapa kekeliruan dalam tulisan-tulisan yang diviralkan di grup-grup WA dan di
facebook.
Di
bawah ini adalah kutipan lengkap dari buku Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr.
Wiliater Hutagalung yang sehubungan dengan Pasukan Sriwijaya tersebut.
Buku
Autobiografi tersebut diterbitkan tahun 2016 dengan judul:
Putra
Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa.
Penerbit Matapadi Yogyakarta,101
halaman.
Berikut
ini kutipan dari buku Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, halaman 17 – 20.
(Untuk memperbesar gambar, silakan klik gambarnya)
PASUKAN SRIWIJAYA
Pada suatu pagi ketika penulis sedang berjalan kaki di Simpang,
melihat dua orang pria yang tampaknya sedang kebingungan, berbicara secara
emosional, badan kurus, pakaian compang camping. Setelah agak dekat, penulis mendengar
bahwa mereka berbicara dalam bahasa Tapanuli, Sebagai sesama orang Tapanuli
penulis berbicara dengan mereka dalam bahasa Tapanuli. Ternyata mereka termasuk
orang-orang yang terdampar di Madura yang kemudian menyeberang ke Surabaya.
Mereka menuturkan kisahnya:
Mereka termasuk anggota Giyugun
(tentara sukarela) dari Sumatera, yang sebagian besar berasal dari Aceh, Deli
dan Tapanuli yang dibawa oleh Jepang ke Morotai, Maluku Utara. Jumlah mereka
waktu di Morotai sekitar 2000 orang dan ikut dalam pertempuran melawan tentara
Amerika. Mereka telah mengalami pemboman serta gempuran pesawat terbang dan kapal
perang Amerika Serikat.
Jepang membentuk Giyugun (di
Jawa dinamakan Heiho) di Malaya, Indochina, Filipina dan Sumatera mula-mula
untuk membantu Jepang dalam pertahanan pesisir dan menjaga keamanan serta
ketertiban lingkungan. Giyugun di
Sumatra dibentuk mulai bulan September 1943. Pemuda-pemuda yang direkrut adalah
anak anak dari keluarga terpelajar seperti guru-guru, pejabat dan pemuka agama.
Jadi Giyugun ini terdiri dari kelompok
yang berpendidikan. Menjelang akhir perang, karena kekurangan prajurit Jepang,Giyugun asal Sumatra ini dibawa ke
Morotai untuk membantu Jepang dalam pertempuran melawan sekutu.
SetelahJepang menyerah, mereka dilepaskan begitu saja oleh
karena tidak ada pengaturan mengenai Giyugun.
Mereka tidak tahu di mana mereka berada, di sekitarnya hanyalah hutan belantara
dan laut. Dengan berbagai cara mereka mencari dunia yang ada penghuninya, dan
akhirnya beberapa ratus orang terdampar di Sulawesi, a.l. di Majene. Sebagian
menetap di sana, sebagian lagi ingin pulang ke kampung halaman di Sumatera dan mereka
ini meneruskan petualangan dengan mencuri bahkan merampok untuk hidup. Mereka
kemudian mengambil perahu-perahu dan kemudian berlayar.
Pada suatu hari sekitar 400 orang terdampar di Madura. Di
sana mereka mendengar bahwa Madura itu dekat dengan Surabaya, nama kota yang
pernah mereka dengar. Maka menyeberanglah mereka ke Surabaya tanpa mengetahui
jalan, bahasa dan tidak mempunyai uang.
Kepada kedua orang ini penulis memberitahukan mengenai
keadaan yang sudah berubah bahwa kita sudah merdeka dan siap untuk
mempertahankan kemerdekaan. Penulis menganjurkan agar mereka mengumpulkan
teman-temannya dan merundingkan kemungkinan untuk bergabung dengan tentara
Indonesia yang sedang dibentuk. Setelah berhasil mengumpulkan mereka semua,
diadakan pembicaraan dengan hasil bahwa semua setuju untuk membentuk pasukan
sendiri dan bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dalam proses
pembentukan.
Hal ini dikonsultasikan dengan pimpinan Divisi VI yang
kemudian memutuskan menyetujui pemberian status tersendiri bagi para bekas Giyugun yang telah mempunyai pengalaman
bertempur melawan tentara Amerika dan sekutunya di Morotai. Mereka kemudian
memilih pimpinannya sendiri dan mengatur pangkat seperti satu batalyon. Setelah
diperlengkapi dengan seragam dan tanda pangkat (seperti tentara Jepang, dengan
sedikit perubahan), kemudian mereka diberi persenjataan.Mereka menamakan
dirinya Pasukan Sriwijaya. Pimpinan mereka bernama Jansen Rambe, yang penulis
temui di Simpang beberapa waktu sebelumnya, sehingga pasukan ini dikenal
sebagai pasukan Jansen Rambe.
Yang sudah biasa melayani meriam ditempatkan di Kedung Cowek
dan yang sanggup memakai senjata penangkis serangan udara disebarkan menurut
lokasi meriam penangkis serangan udara.
Di Kedung Cowek pada waktu itu ada rentetan benteng-benteng
di pantai menghadap ke Selat Madura. Belanda yang membangun perbentengan yang
kokoh ini tidak sempat menggunakannya dan setelah Jepang menyerah, benteng-benteng
tersebut masih utuh. Meriam-meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal
dan kokoh, dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan
dan pantai Surabaya. Tentara Belanda sendiri tidak sempat menembakkan satu
peluru pun pada waktu Jepang menduduki wilayah jajahan Belanda termasuk pulau
jawa. Tentara jepang kemudian menambahkan persenjataan dan memperkuat
perlindungan.
Tentara Jepang pun tidak sempat memanfaatkan benteng-benteng
ini untuk menembak kapal perang musuh sehingga benteng-benteng yang kokoh dan
lengkap dengan semua persenjataannya jatuh ketangan Republik Indonesia yang
baru diproklamirkan. Di sinilah anggota-anggota Pasukan Sriwijaya yang telah
terlatih dan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan. Pada waktu kapal perang
Inggris menembaki Surabaya, mereka sangat terkejut melihat perlawanan dari arah
benteng-benteng di Kedung Cowek.
Dilihat dari kualitas tembakan mereka menyangka yang
melayani meriam-meriam tersebut adalah anggota tentara jepang yang tidak tunduk
pada perintah dan dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (war criminals). Inggris tidak
memperhitungkan bahwa pihak Indonesia memiliki anggotapasukan yang mampu
melayani meriam-meriam berat seperti yang ada di benteng-benteng di Kedung Cowek.
Bahwa ada bekas Giyugund ari Sumatera yang
terlatih dan berpengalaman tempur, tentu sama sekali di luar dugaan mereka. Hal
ini kemudian hari mereka ketahui dari beberapa orang Indonesia yang pada waktu
itu ikut dengan pasukan Inggris.
Dalam pertempuran 3 hari di akhir bulan Oktober 1945 dan
pertempuran mempertahankan Surabaya mulai 10 November 1945 diperkirakan
sepertiga dari Pasukan Sriwijaya ini tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di
benteng-benteng di Kedung Cowek.
Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putra-putra Sumatera
yang gugur sebagai pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan kota Surabaya. Kota
yang samasekali mereka tidak kenal. Sebagian dari mereka tidak sempat lagi
dikuburkan pada waktu perang berkecamuk.
***