Saturday, October 12, 2019

PASUKAN SRIWIJAYA


Pengantar oleh Batara R. Hutagalung
Putra Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20.3.1910 – 29.4.2002).

Di beberapa grup WA dan di facebook beredar beberapa tulisan mengenai Pasukan Sriwijaya yang ikut berperang di pihak Republik Indonesia melawan tentara Inggris/Sekutu di Surabaya, pada 28-29 Oktober 1945 dan dalam pertempuran di Surabaya yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya  tanggal 10 November 1945.

Pasukan Sriwijaya dibentuk oleh para mantan anggota Giyugun (Pasukan Pembantu) yang berasal dari Tanah Batak dan Aceh. 
Di wilayah2 yang didudukinya, tentara Jepang membentuk pasukan2 yang tediri dari pribumi setempat dengan tujuan untuk membantu Jepang, baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya, juga untuk membantu Jepang dalam perang melawan tentara Sekutu.

Di Pulau Jawa dibentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pasukan Pembantu/relawan).Di Sumatera dan Malaya (sekarang Malaysia) pasukan pembantu/relawan dinamakan Giyugun


Tahun 1944, sekitar 2000 anggota Giyugun yang adalah putra-putra Batak dan Aceh dibawa oleh tentara Jepang ke Morotai, Halmahera Utara, untuk membantu Jepang dalam perang melawan tentara Amerika Serikat.

Hanya segelintir yang kembali ke kampung halaman mereka di Tanah Batak dan Aceh.

***

Di beberapa tulisan disebut, bahwa sumber informasi mengenai Pasukan Sriwijaya adalah Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung.

Kami dari keluarga dr. Wiliater Hutagalung menghaturkan terima kasih atas disebarluaskannya cuplikan dari buku Autobiografi dr. Wiliater.. Namun perlu kami sampaikan, adanya beberapa kekeliruan dalam tulisan-tulisan yang diviralkan di grup-grup WA dan di facebook.

Di bawah ini adalah kutipan lengkap dari buku Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung yang sehubungan dengan Pasukan Sriwijaya tersebut.

Buku Autobiografi tersebut diterbitkan tahun 2016 dengan judul: 

Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa. 

Penerbit Matapadi Yogyakarta,101 halaman.

Berikut ini kutipan dari buku Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, halaman 17 – 20.




                                     (Untuk memperbesar gambar, silakan klik gambarnya)



 PASUKAN SRIWIJAYA

Pada suatu pagi ketika penulis sedang berjalan kaki di Simpang, melihat dua orang pria yang tampaknya sedang kebingungan, berbicara secara emosional, badan kurus, pakaian compang camping. Setelah agak dekat, penulis mendengar bahwa mereka berbicara dalam bahasa Tapanuli, Sebagai sesama orang Tapanuli penulis berbicara dengan mereka dalam bahasa Tapanuli. Ternyata mereka termasuk orang-orang yang terdampar di Madura yang kemudian menyeberang ke Surabaya.

Mereka menuturkan kisahnya:
Mereka termasuk anggota Giyugun (tentara sukarela) dari Sumatera, yang sebagian besar berasal dari Aceh, Deli dan Tapanuli yang dibawa oleh Jepang ke Morotai, Maluku Utara. Jumlah mereka waktu di Morotai sekitar 2000 orang dan ikut dalam pertempuran melawan tentara Amerika. Mereka telah mengalami pemboman serta gempuran pesawat terbang dan kapal perang Amerika Serikat.

Jepang membentuk Giyugun (di Jawa dinamakan Heiho) di Malaya, Indochina, Filipina dan Sumatera mula-mula untuk membantu Jepang dalam pertahanan pesisir dan menjaga keamanan serta ketertiban lingkungan. Giyugun di Sumatra dibentuk mulai bulan September 1943. Pemuda-pemuda yang direkrut adalah anak anak dari keluarga terpelajar seperti guru-guru, pejabat dan pemuka agama. Jadi Giyugun ini terdiri dari kelompok yang berpendidikan. Menjelang akhir perang, karena kekurangan prajurit Jepang,Giyugun asal Sumatra ini dibawa ke Morotai untuk membantu Jepang dalam pertempuran melawan sekutu.

SetelahJepang menyerah, mereka dilepaskan begitu saja oleh karena tidak ada pengaturan mengenai Giyugun. Mereka tidak tahu di mana mereka berada, di sekitarnya hanyalah hutan belantara dan laut. Dengan berbagai cara mereka mencari dunia yang ada penghuninya, dan akhirnya beberapa ratus orang terdampar di Sulawesi, a.l. di Majene. Sebagian menetap di sana, sebagian lagi ingin pulang ke kampung halaman di Sumatera dan mereka ini meneruskan petualangan dengan mencuri bahkan merampok untuk hidup. Mereka kemudian mengambil perahu-perahu dan kemudian berlayar.

Pada suatu hari sekitar 400 orang terdampar di Madura. Di sana mereka mendengar bahwa Madura itu dekat dengan Surabaya, nama kota yang pernah mereka dengar. Maka menyeberanglah mereka ke Surabaya tanpa mengetahui jalan, bahasa dan tidak mempunyai uang.
Kepada kedua orang ini penulis memberitahukan mengenai keadaan yang sudah berubah bahwa kita sudah merdeka dan siap untuk mempertahankan kemerdekaan. Penulis menganjurkan agar mereka mengumpulkan teman-temannya dan merundingkan kemungkinan untuk bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dibentuk. Setelah berhasil mengumpulkan mereka semua, diadakan pembicaraan dengan hasil bahwa semua setuju untuk membentuk pasukan sendiri dan bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dalam proses pembentukan.

Hal ini dikonsultasikan dengan pimpinan Divisi VI yang kemudian memutuskan menyetujui pemberian status tersendiri bagi para bekas Giyugun yang telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Amerika dan sekutunya di Morotai. Mereka kemudian memilih pimpinannya sendiri dan mengatur pangkat seperti satu batalyon. Setelah diperlengkapi dengan seragam dan tanda pangkat (seperti tentara Jepang, dengan sedikit perubahan), kemudian mereka diberi persenjataan.Mereka menamakan dirinya Pasukan Sriwijaya. Pimpinan mereka bernama Jansen Rambe, yang penulis temui di Simpang beberapa waktu sebelumnya, sehingga pasukan ini dikenal sebagai pasukan Jansen Rambe.

Yang sudah biasa melayani meriam ditempatkan di Kedung Cowek dan yang sanggup memakai senjata penangkis serangan udara disebarkan menurut lokasi meriam penangkis serangan udara.

Di Kedung Cowek pada waktu itu ada rentetan benteng-benteng di pantai menghadap ke Selat Madura. Belanda yang membangun perbentengan yang kokoh ini tidak sempat menggunakannya dan setelah Jepang menyerah, benteng-benteng tersebut masih utuh. Meriam-meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal dan kokoh, dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan dan pantai Surabaya. Tentara Belanda sendiri tidak sempat menembakkan satu peluru pun pada waktu Jepang menduduki wilayah jajahan Belanda termasuk pulau jawa. Tentara jepang kemudian menambahkan persenjataan dan memperkuat perlindungan.

Tentara Jepang pun tidak sempat memanfaatkan benteng-benteng ini untuk menembak kapal perang musuh sehingga benteng-benteng yang kokoh dan lengkap dengan semua persenjataannya jatuh ketangan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Di sinilah anggota-anggota Pasukan Sriwijaya yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan. Pada waktu kapal perang Inggris menembaki Surabaya, mereka sangat terkejut melihat perlawanan dari arah benteng-benteng di Kedung Cowek.

Dilihat dari kualitas tembakan mereka menyangka yang melayani meriam-meriam tersebut adalah anggota tentara jepang yang tidak tunduk pada perintah dan dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (war criminals). Inggris tidak memperhitungkan bahwa pihak Indonesia memiliki anggotapasukan yang mampu melayani meriam-meriam berat seperti yang ada di benteng-benteng di Kedung Cowek. Bahwa ada bekas Giyugund ari Sumatera yang terlatih dan berpengalaman tempur, tentu sama sekali di luar dugaan mereka. Hal ini kemudian hari mereka ketahui dari beberapa orang Indonesia yang pada waktu itu ikut dengan pasukan Inggris.

Dalam pertempuran 3 hari di akhir bulan Oktober 1945 dan pertempuran mempertahankan Surabaya mulai 10 November 1945 diperkirakan sepertiga dari Pasukan Sriwijaya ini tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di benteng-benteng di Kedung Cowek.

Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putra-putra Sumatera yang gugur sebagai pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan kota Surabaya. Kota yang samasekali mereka tidak kenal. Sebagian dari mereka tidak sempat lagi dikuburkan pada waktu perang berkecamuk.

***

                                                           

No comments: