Sunday, June 14, 2020

LATAR BELAKANG SEJARAH


Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan PANCA PEDOMAN BERNEGARA, BERGANGSA, BERMASYARAKAT.

Catatan Batara R. Hutagalung

Latar Belakang Sejarah

Selama puluhan tahun, seluruh rakyat Indonesia di sekolah membaca buku-buku sejarah, terutama Sejarah Nusantara, yang memuat data-data yang salah yang hanya merupakan terjemahan dari penulisan-penulisan sejarah dari buku-buku sejarah yang ditulis oleh mantan penjajah, sehingga banyak yang masih merupakan versi penjajah atau dari sudut pandang penjajah.

Demikian juga penulisan Sejarah Indonesia sejak 17 Agustus 1945, tidak memberikan informasi yang lengkap dan akurat mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Namun yang menjadi masalah bukan hanya karena penulisan sejarah yang salah sehingga mengakibatkan pengetahuan mengenai sejarah yang sebenarnya sangat minim dan salah, melainkan juga pemahaman yang salah mengenai peristiwa-peristiwa bersejarah.

Adalah Bonifacius Cornelis de Jonge, yang menjadi Gubernur Jenderal India-Belanda ke 63 dari tanggal 12 September 1931 sampai 16 September 1936, yang pada tahun 1935 mengatakan:

Als ik met nationalisten praat, begin ik altijd met de zin: Wij Nederlanders zijn hier al 300 jaar geweest en we zullen nóg minstens 300 jaar blijven. Daarna kunnen we praten” (Apabila saya berbicara dengan para nasionalis, saya selalu memulai dengan kalimat: Kami Belanda telah di sini 300 tahun dan kami bahkan akan tinggal paling sedikit 300 tahun lagi. Kemudian kita bisa bicara).

Para pemimpin Indonesia menggunakan kalimat Bonifacius de Jong tersebut sebagai slogan yang konon untuk membangkitkan emosi, kemarahan dan semangat rakyat Indonesia. Tidak diketahui dengan pasti, sejak kapan kalimat Bonifacius de Jonge tersebut mulai digunakan. Juga tidak diketahui, siapa yang memulai dengan angka 350 tahun. Bagaimana perhitungannya.

Yang paling fatal kesalahannya adalah mengenai persyaratan mendirikan suatu Negara, sebagaimana tertulis di buku sejarah karangan Samsul Farid di buku Sejarah Kurikulum 2013, halaman 214, di mana tertera:”Proklamasi Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tentunya belumlah cukup untuk memenuhi kriteria sebagai sebuah Negara, karena SYARAT sebuah Negara adalah bila mempunyai wilayah, rakyat, pemerintah yang berdaulat, pengakuan internasional dan hukum dasar atau Undang-Undang Dasar (UUD)”

Dari beberapa contoh di atas terlihat, bahwa selama puluhan tahun seluruh rakyat Indonesia menjadi “produk” atau bahkan “korban” dari buku-buku sejarah yang salah dan bahkan menyesatkan karena salah orientasi, salah penuklisan dan memakai versi Belanda/penjajah.

Hal ini yang sejak lama terjadi di Indonesia. Matapelajaran sejarah dibuat menjadi sangat tidak penting, menghilangkan bagian-bagian yang heroik yang dilakukan oleh berbagai kerajaan dan kesultanan di Nusantara, dan yang ditonjolkan adalah versi Belanda, yang melakukan pembunuhan karakter terhadap para pejuang yang menentang penjajah.

Berbagai peristiwa heroik yang terjadi di masa perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda dan sekutunya antara tahun 1945 – 1950, yang seharusnya menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, hanya sedikit yang tercantum di buku-buku sejarah di sekolah, dan tidak rinci.

Agresi militer Belanda –dibantu tentara sekutunya- di Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat tidak hanya menghancurkan infra-struktur dan perekonomian Negara Republik Indonesia yang baru berdiri, melainkan juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang sangat banyak. Laporan resmi pemerintah Belanda tahun 1969, De Excessennota  menyebutkan, bahwa korban tewas di pihak Indonesia sekitar 150.000 orang.

Namun jumlah korban di suatu daerah yang tertera dalam laporan resmi tersebut, jauh lebih kecil dari angka yang sebenarnya. Sebagai contoh, pembantaian di desa Rawagede dekat Karawang, Jawa Barat. Di laporan pemerintah Belanda tertera, jumlah korban sipil “hanya” 20 orang. Faktanya adalah, jumlah penduduk sipil yang tewas dibantai oleh tentara Belanda tanpa proses hukum apapun, berjumlah 431 orang.

Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara belanda, tidak ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda, seperti misalnya pembantaian di Rengat, Riau dan di Kranggan, Jawa Tengah.

Pada 5 Januari 1949, di masa agresi Belanda ke II, tentara Belanda membantai sekitar 2.500 penduduk Rengat, termasuk Bupati Tulus, ayah dari pujangga Chairil Anwar. Pada bulan Januari – Februari 1949 di Kranggan dan sekitarnya, tentara belanda membunuh sekitar 1.500 pemuda secara acak. Semuanya penduduk sipil yang dibantai tanpa proses hukum. Yang luar biasa di sini adalah, 9 hari sebelum melancarkan agresi militernya, pada 10 Desember 1948 Belanda ikut menadatangani Pernyataan Umum PBB mengenai HAM (Universal Declaration of Human Rights).
                                                                                              
Baik pemerintah Belanda maupun pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya korban agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Apabila mengacu pada jumlah korban yang sangat diperkecil jumlahnya, diperkirakan, korban tewas di pihak Indonesia mencapai satu juta jiwa. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil –non combatant.

Juga sering terdengar mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 dinyatakan sebagai revolusi, perang kemerdekaan, perang merebut kemerdekaan, dan dari sudut pandang belanda, yang dilakukan oleh tentara belanda adalah membasmi para perampok, perusuh dan ekstremis tyang dipersenjatai Jepang.

Secara keseluruhan, berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1942 – 1950 masih kurang diketahui oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Indonesia boleh dikatakan sangat minim. Banyak tulisan hanya sekadar menyalin tulisan-tulisan peneliti Belanda atau penulis bangsa asing lainnya. Kurang dilakukan penelitian, apakah penulisan sejarah Nusantara yang sampai sekarang banyak dikenal oleh masyarakat luas, adalah benar sesuai fakta, ataukah penulisan tersebut telah “diselewengkan” oleh penjajah, untuk mengaburkan peristiwanya dan juga mendiskreditkan tokoh-tokoh yang melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Untuk banyak peristiwa sejarah, kurang dilakukan analisis yang lengkap dan cermat, dan dari kacamata bangsa dan kepentingan Indonesia. Cukup banyak yang masih menggunakan terminologi penjajah. Yang paling mencolok adalah, banyak orang Indonesia yang ikut menggunakan istilah “aksi polisional” versi Belanda. Yang agak “lunak” menamakan agresi militer Belanda sebagai “clash.”

Juga belum ada penelitian yang dilakukan oleh pihak Indonesia, mengenai berapa jumlah korban akibat agresi Belanda –yang dibantu oleh sekutunya, Inggris dan Australia- dan dampak ekonomi serta sosial untuk keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di berbagai daerah di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
Sebenarnya, di tahun 70-an dan 80-an, ketika masih banyak pelaku sejarah yang masih hidup, sering dibahas berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, namun di zaman Orde Baru, banyak hal yang tidak dapat dipublikasikan. Baru setelah tumbangnya rezim Orde baru, beberapa peristiwa dapat diungkap.


Penjajahan Belanda di Asia Tenggara/Nusantara

Sejarah mencatat, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jayakarta (Jakarta), yang oleh Belanda dinamakan Batavia, dan Maluku. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Tanah Batak, Bali dan beberapa daerah lain, kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika belanda secara resmi menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai kolonialisme atau penjajahan.

Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau negara untuk menguasai atau merampok negara lain. Yang dilakukan oleh banyak negara-negara Eropa bukan hanya menjajah dan menguras kekayaan wilayah yang dikuasainya, melainkan juga memperbudak bangsa yang dijajahnya, bahkan memperjual-belikan manusia. Satu-satunya hukum yang ada hanyalah “hukum rimba”, yaitu berdasarkan atas kekuatan: siapa yang lebih kuat memangsa yang lemah.

Pada abad 15 dua negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk menguasai perdagangan atau untuk dijadikan jajahan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus Alexander VI memfasilitasi perundingan antara keduanya dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol ditandatangani Perjanjian Tordesillas. Isinya adalah membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal. Traktat ini diperkuat dengan Traktat Zaragoza pada 22 April 1529, di mana Kepulauan Maluku “diserahkan” kepada Portugal.

Description: Treaty of Tordesillas.jpg
Traktat Tordesillas

Ketika Belanda dan Inggris memasuki kawasan-kawasan tersebut, kedua Negara yang belakangan ini tidak merasa terikat dengan Perjanjian Tordesillas. Sering terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara keempat Negara tersebut dalam memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa. Kemudian Prancis, Italia, Belgia dan Jerman ikut meramaikan kwartet ini dalam memperebutkan wilayah jajahan di luar Eropa.

Negara-negara tersebut bukan hanya memperebutkan dan memperjual-belikan wilayah yang mereka kuasai, mereka kemudian juga memperjual-belikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak abad 18 praktek jual-beli dan “tukar guling” jajahan sangat marak. Belanda juga pernah menawarkan wilayah jajahan yang waktu itu dikuasainya di Asia Tenggara untuk dijual.

Tahun 1667 Belanda dan Inggris melakukan penukaran Pulau Run milik Inggirs dengan Manhattan, bagian dari kota New York milik Belanda. Kemudian tahun 1824, Bengkulu ditukar dengan Singapura.

Belanda termasuk Negara terbesar dalam perdagangan budak. Di wilayah jajahannya, Nederlands Indië (India Belanda) diberlakukan undang-undang perbudakan antara tahun 1640 – 1862. Undang-undang perbudakan ini dihapus oleh Inggris ketika Inggris berkuasa antara tahun 1811 - 1816, namun diberlakukan kembali, ketika jajahan tersebut “dikembalikan” kepada Belanda.

Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari tahun 1806 sampai tahun 1813. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 – 1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama Thomas Stamford Raffles. Inggris menduduki pulau Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Raffles, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.

Raffles kemudian diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang memegang jabatan ini sampai India Belanda “dikembalikan” kepada Belanda. Setelah tentara Prancis pada 18 Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal Wellington dan Jenderal Blücher. Negara-negara di Eropa sepakat untuk kembali pada situasi sebelum timbulnya perang di Eropa yang diawali dengan agresi Prancis di bawah Napoleon Bonaparte.

Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada 19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu dan Belanda masih berkuasa atas Singapura.

Belanda dan Inggris kemudian sepakat untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda memperoleh Bengkulu. Selain itu, Inggris dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk membagi dua Pulau Timor.


Jayakarta, Jajahan Belanda Pertama di Nusantara

Pada abad ke XVI bangsa-bangsa Eropa mulai berdatangan ke Asia Tenggara dengan maksud melakukan perdagangan. Namun seiring perjalanan waktu, beberapa Negara tersebut, yaitu Spanyol. Portugal, Inggris, Perancis dan Belanda  ingin menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah, yang waktu itu sangat mahal di Eropa. Mereka bahkan saling merampok dan saling membunuh untuk mencapai tujuan mereka.

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).

Pieter Both lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten.

            Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623), ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh.

Pangeran Jayawikarta, tidak menyukai Belanda dan bersekutu dengan Inggris menghadapi Belanda. Ketika timbul konflik dengan Belanda, koalisi Pangeran Jayakarta dengan Inggris berhasil mengusir Coen ke luar dari Jayakarta. Dia berlayar ke Maluku, dan mengambil pasukan Belanda yang ada di Maluku dan kembali menyerang Jayakarta.

Pada waktu yang bersamaan, timbul konflik antara Kesultanan Banten dengan Pangeran Jayawikarta. Coen memanfaatkan situasi ini dan menyerang Jayakarta pada 30 Mei 1619. Tentara Belanda berhasil mengalahkan pasukan Jayawikarta dan kemudian membumi-hanguskan kota Jayakarta, yang sebelumnya bernama Sunda Kalapa. Pada abad ke-V, kota ini merupakan Ibukota Kerajaan Hindu Tarumanegara. Seluruh penduduk Jayakarta melarikan diri ke luar kota.

Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di Asia Tenggara/Bumi Nusantara.

Pada 4 Maret 1621 penguasa VOC resmi mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, yang digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun, tepatnya sampai 9 Maret 1942.

Setelah masuknya Belanda yang dibantu oleh tentara Inggris ke Jakarta, karena situasi yang sangat membahayakan para pemimpin RI, maka tanggal 4 Januari tahun 1946 pemerintah RI memindahkan Ibukota ke Yogyakarta. Belanda, atas bantuan Inggris, menguasai  Jakarta dan nama Jakarta diganti lagi menjadi Batavia, di mana Letkol Laurens van der Post, perwira Inggris, menjadi Gubernur Militer Inggris untuk Batavia selama British Interregnum II September 1945 – Juni 1947 (British Interregnum I, 1811 – 1816).

Setelah berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 30 Desember 1949, Menteri Penerangan RIS Arnold Mononutu mengumumkan penggantian nama Batavia menjadi Jakarta, sampai sekarang.

Selain mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia, JPC juga “mengganti” penduduk Jayakarta. Sebagai akibat dari perang, kota Jayakarta ditinggalkan oleh penduduknya. Yang tersisa hanya penduduk non-pribumi, yaitu para pedagang dari Negara-negara lain.

Untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti perkebunan, selain “mengimpor” kuli-kuli dari Cina daratan, Belanda juga mendatangkan budak-budak dari Negara-negara lain dan dari daerah-daerah lain di Nusantara.

Mereka a.l. adalah mantan tentara yang kalah perang melawan Belanda, seperti tentara Portugal. Setelah para budak orang Portugal bersedia melepaskan agama katolik dan menganut agama Kristen Protestan -aliran Calvijn- seperti yang dianut oleh mayoritas orang Belanda, mereka dibebaskan dan dinamakan Mardijkers (dari kata Sansekerta Mahardika). Keturunan mereka kini bermukim di daerah Tugu,  Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Dengan berbagai tipu muslihat, Belanda dapat mengusir Negara-negara pesaingnya dari kawasan Asia Tenggara. Setelah mengusir para pesaingnya, Belanda kemudian menyerang satu-persatu kerajaan dan kesultanan di Bumi Nusantara. Juga melalui perjanjian-perjanjian yang dipaksakan, Belanda berhasil membuat kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan tunduk kepada Belanda.


Monopoli Perdagangan Candu (Opium)

Berikut ini disampaikan beberapa peristiwa yang sangat menonjol di masa penjajahan oleh Belanda di Asia Tenggara/Nusantara, yang memiliki dampak hingga hari ini, tahun 2017.

Selain melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan untuk dijadikan jajahan, beberapa peristiwa yang harus menjadi catatan sejarah penting adalah kejahatan-kejahatan yang sangat biadab yang telah dilakukan oleh Belanda selama masa penjajahan.

Sejak kedatangan di Jayakarta, Belanda sudah memulai dengan perdagangan Candu sejak tahun 1600.[1]

Baik di era VOC, maupun sesudah VOC dibubarkan pada 31 Desember 1779, perdagangan candu sepenuhnya berada di tangan pemerintah kolonial.

Selain mengeruk kekayaan dari kerjasama perdagangan budak dengan Belanda, para pedagang bangsa Cina juga mendapat keuntungan besar dari perdagangan opium dan memperoleh izin resmi untuk mendirikan rumah-rumah madat.

Pemerintah kolonial memang secara terstruktur, sistematis dan massif membuat penduduk di wilayah jajahannya menjadi pecandu madat untuk menghancurkan mental dan semangat melawan penjajah.

Mengenai kekayaan bangsa Cina dari perdagangan dan distribusi candu di wilayah jajahan Belanda, dapat dilihat lebih jauh dalam buku JAMES R. RUSH. [2]
                                                 
Genosida di Kepulauan Banda 1621

Jan Pieterszoon Coen (JPC) dikenal di Belanda sebagai “bapak pendiri” imperium VOC di Nederlands Indië (India Belanda). Setelah menghancurkan Jayakarta (Batavia, Jakarta) pada 30 Mei 1619, JPC mengerahkan pasukan terbesar pada waktu itu untuk “menghukum” penduduk Kepulauan Banda, Maluku. Jayakarta (Batavia, Jakarta) dan Maluku adalah wilayah yang paling lama dan paling menderita selama masa penjajahan Belanda,sedangkan daerah-daerah lain di Nusantara hanya sempat di bawah administrasi Belanda selamasekitar 30 – 40 tahun, yaitu sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang.

Para pemuka masyarakat di Kepulauan Banda, Maluku, dikenal sebagai ‘Orang Kaya.’ Sebelum kedatangan orang asing, merekalah yang memimpin pemerintahan dan perdagangan di Kepulauan Banda. Pada waktu itu, Kepulauan Banda adalah satu-satunya penghasil buah dan bunga pala di dunia. Selain sebagai rempah-rempah untuk makanan, pala juga bermanfaat untuk ramuan obat dan sebagai bahan pengawet makanan.

Awalnya perdagangan rempah-rempah dilakukan sendiri oleh orang-orang Maluku dan pedagang-pedagang dari Jawa. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, pedagang-pedagang asing yang kemudian terlibat dalam perdagangan rempah-rempah adalah para pedagang Arab yang melakukan perdagangan rempah-rempah  sampai ke Eropa. Mereka menjual kepada para pedagang Venesia yang sangat terkenal dalam perdagangan dunia waktu itu. Para pedagang Arab sangat merahasiakan wilayah penghasil rempah-rempah di Kepulauan Maluku.

Bangsa Eropa pertama yang mengenal Kepulauan Banda adalah orang Portugis, di awal abad 16, kemudian diikuti oleh Spanyol. Karena letaknya yang sangat strategis, Banda menjadi simpul perdagangan “timur – barat.” Cengkeh dari Ternate-Tidore, komoditi dagang dari dan ke Papua selalu melalui Kepulauan Banda. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, Banda kemudian menjadi incaran Negara-negara Eropa yang ingin memonopoli perdagangan di kawasan tersebut.

Sejak pertamakali menginjakkan kaki di Banda awal tahun 1512, Portugal sudah berusaha memndirikan benteng untuk menguasai kawasan tersebut, namun dapat digagalkan oleh orang Banda. Sejak itu pedagang Portugal membeli rempah-rempah dari para pedagang lain di Malakka.

Akhir abad 16, Inggris dan Belanda mulai terlibat dalam pedagangan rempah-rempah di Asia tenggara, juga dalam perebutan hegemoni atas kawasan tersebut. Kedua Negara ini kemudian sagat sengit dan kejam dalam memperebutkan monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Maluku dan Banda.

Belanda berhasil memaksakan kontrak dagang dengan beberapa Orang Kaya di Banda, yang menjamin Belanda dapat memborong seluruh produksi pala. Namun Belanda sangat menekan harganya, sehingga membuat para Orang Kaya tersebut juga menjual kepada pedagang Inggris yang membayar dengan harga yang lebih tinggi. Di Eropa, Belanda dan Inggris dapat menjual komoditi tersebut dengan harga 250 sampai 300 kali lipat dari harga beli di Banda.

Puncak kebencian orang Banda terhadap Belanda terjadi pada tahun 1609, di mana Gubernur Belanda untuk Maluku bersama 40 stafnya dibunuh.

Sementara itu, Inggris mendirikan pos dagang di Pulau Ai dan Run. Perang memperebutkan kekuasaan atas wilayah Banda antara Inggris dan Belanda terjadi tahun 1615. Dengan kekuatan 900 tentara, Belanda menyerang pos dagang Inggris di Pulai Ai. Namun kemudian Inggris berhasil memukul balik dan membunuh 200 tentara Belanda di Pulai Ai. Setahun kemudian Belanda menyerang lagi Inggris di Pulau Ai, dan kali ini berhasil mematahkan perlawanan Inggris, di mana kemudian seluruh tentara Inggris dibantai oleh tentara Belanda.

Setelah menguasai Jayakarta, Coen berpaling lagi ke Banda, di mana dia melanjutkan tekad Belanda untuk menguasai perdagangan pala dan bunga pala. Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar, tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku, sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.

Coen bersama pasukannya tiba di Kepulauan Banda pada 27 Februari 1621. Penyerangan ke pulau Lontor dimulai pada 3 Maret 1621, dan ke  Banda Besar pada 11 Maret 1621.  Dengan kekuatan yang demikian besar, hanya dalam sehari pasukan Coen berhasil menguasai seluruh pulau itu.

Pada 8 Mei 1621 dilakukan pembantaian secara besar-besaran terhadap para pemuka dan rakyat Banda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing yang curam di pantai sehingga tewas. Semua pimpinan rakyat Banda yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda dijatuhi hukuman mati yang segera dilaksanakan. Mengenai pelaksanaan eksekusi terhadap pimpinan rakyat Banda pada 8 Mei 1621, Letnan (Laut) Nicholas van Waert menulis antara lain:[3]

“… Keempatpuluhempat tawanan dibawa ke Benteng Nassau, delapan Orang Kaya (pemuka adat di Banda) dipisahkan dari lainnya, yang dikumpulkan seperti domba. Dengan tangan terikat, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng dari bambu dan dijaga ketat. Mereka dituduh telah berkonspirasi melawan Tuan Jenderal dan telah melanggar perjanjian perdamaian.

Enam serdadu Jepang melaksanakan eksekusi dengan samurai mereka yang tajam. Para pemimpin Banda dipenggal kepalanya kemudian tubuh mereka dibelah empat. Setelah itu menyusul 36 orang lainnya, yang juga dipenggal kepalanya dan tubuhnya dibelah empat. Eksekusi ini sangat mengerikan untuk dilihat. Semua tewas tanpa mengeluarkan suara apa pun, kecuali satu orang yang berkata dalam bahasa Belanda “Tuan-tuan, apakah kalian tidak mengenal belas kasihan”, yang ternyata tidak ada gunanya.

Kejadian yang sangat menakutkan itu membuat kami menjadi bisu. Kepala dan bagian-bagian tubuh orang-orang Banda yang telah dipotong, ditancapkan di ujung bambu dan dipertontonkan. Demikianlah kejadiannya: Hanya Tuhan yang mengetahui siapa yang benar.

Kita semua, sebagai yang menyatakan beragama Kristen, dipenuhi rasa kecemasan melihat bagaimana peristiwa ini berakhir, dan kami merasa tidak sejahtera dengan hal ini ..”.

Para pengikut tokoh-tokoh Banda yang tersisa beserta seluruh keluarga mereka dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240 anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Penduduk Kepulauan Banda pada waktu itu diperkirakan sekitar 15.000 orang. Sekitar 1.000 orang bersembunyi di hutan-hutan atau melarikan diri ke pulau-pulau lain, yang merupakan mitra dagang mereka. Ini berarti jumlah penduduk yang dibantai lebih dari 13.000 jiwa.

40 tokoh masyarakat Banda dipenggal kepalanya, kemudian tubuhnya dibelah empat.

Banyak di antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau penyakit. Demikianlah pembantaian massal pertama yang dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara.[4]
Kekejaman Belanda tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623, dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh Laurens van der Post:

“… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered the English traders they found there, cutting their throats like dogs …”

Sebagaimana dilakukannya di Jayakarta, untuk mengerjakan perkebunan pala, Belanda mendatangkan budak-budak dan orang-orang dari pulau-pulau lain di Nusantara. Setelah Jayakarta, Kepulauan Banda adalah daerah ke dua, dimana dilakukan “penggantian” penduduk.

Daftar nama 40 tokoh masyarakat Banda yang dibunuh pada 8 Mei 1621.

Namun kemudian Belanda mendapat kesulitan dalam budidaya tanaman pala, karena orang-orang yang didatangkan tidak paham mengenai budidaya tanaman pala. Oleh karea itu, Bepada kemudian”membawa pulang” sekitar 530 orag yang telah mereka jual sebagai budak di Batavia, kembali ke Banda untuk mengerjakan tanaman pala.
Belanda menyingkirkan berhasil memegang monopoli atas perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda. Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun merugikan rakyat setempat.

Para penguasa boneka Belanda, disamping memperoleh “kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi. Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “kontrak extirpatie”, yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut. Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai pengganti kerugian yang dinamakan recognitie-penningen.

Di bawah Gubernur Jenderal Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh Diederik Durven (1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie di Maluku secara besar-besaran, untuk menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC melakukan pelayaran hongi atau dikenal sebagai “Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.


Perbudakan di Wilayah Jajahan Belanda di Nusantara

Perbudakan memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten (Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudakan diresmikan dengan adanya Undang-Undang Perbudakan. Selama lebih dari 200 tahun, Belanda menjadi pedagang budak terbesar di dunia. Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, atau yang dibeli dari penguasa-penguasa setempat.

Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan tahun lalu. Yang diperdagangkan di pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian dijual sebagai budak. Dari abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian dan perkebunan.

Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St. George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki, perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai budak.

Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari, udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan, siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika, jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.

Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di India-Belanda (The British inter-regnum).Perang koalisi di Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813 Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda memberlakukan kembali perdagangan budak.

Pada waktu itu, jumlah budak yang dimiliki seseorang adalah ukuran kekayaanya. Budak laki-laki dipekerjakan sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak perempuan dijadikan gundik oleh para majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan laki-laki. 

Bahkan ada pemilik budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur, dan mengantongi hasilnya. Penjualan/ pelelangan budak-budak dilakukan oleh para pedagang bangsa Cina. 

Dari data/tabel di bawah ini terlihat, bahwa antara tahun 1679 – 1699, lebih dari 50% penduduk Batavia adalah budak (!).
 
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.

Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.

Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872, jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12 tahun atau lebih. 

Berdasarkan Nationaliteitsregelingen (PeraturanKewarganegaraan), mereka masuk kategori berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam (zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan tentara Belanda.

Dari gaji yang diterima, untuk memperoleh kebebasan dari status budak, mereka harus mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang Belanda tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda. Sebagian besar dari mereka ditempatkan di Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”

Karena korupsi, kolusi dan nepotisme serta lemahnya pengawasan administrasi, dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC, perusahaan dagang yang dibangun dengan modal 6,5 juta gulden, yang jatuh tempo pada 31 Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh karena korupsi).

Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan VOC, diambil alih oleh Pemerintah Belanda, termasuk utang VOC sebesar 219 juta gulden[5], sehingga dengan demikian politik kolonial resmi ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda, yang menjalankan politik imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah, yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda.

Di Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini. Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli 1863.

Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional di Durban, Afrika Selatan, hanya beberapa negara Eropa secara resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut, namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi kompensasi.

Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama bangsa Belanda dengan bangsa Cina dalam memperjual-belikan pribumi sebagai budak di negerinya sendiri.


Kerajaan dan Kesultanan yang Terakhir Dikuasai Belanda

Sampai awal abad 20, Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh Asia Tenggara/ Nusantara. Beberapa Kerajaan yang belum dapat dikalahkan Belanda adalah Kesultanan Aceh, Kerajaan Batak, Kerajaan Badung dan Kerajaan Klungkung.

Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Dengan korban yang sangat besar, Belanda akhirnya dapat. memenangkan perang Aceh tahun 1904, namun perlawanan rakyat Aceh berlangsung terus hingga tahun 1914. Korban di pihak Belanda antara lain Jenderal Koehler.

Walaupun telah memenangkan perang, namun Gubernur Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz, telah melakukan pembantaian massal di Kuta Reh pada 14 Juni 1904, dimana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Raja Batak, Sisingamangaraja XII pada 16 Februari 1878 menyatakan perang terhadap Belanda. Dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907 di lereng bukit Aek Sibulbulen, di desa Si Onom Hudon, di Kabupaten Tapanuli Utara, Sisingamangaraja XII tewas tertembak. Dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian juga tewas dalam pertempuran tersebut.

Di Pulau Dewata, Bali, Belanda juga mendapat perlawanan sengit dari dua kerajaan terakhir di Bali. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan Puputan Klungkung, 28 April 1908 mengakhiri perlawanan Kerajaan-kerajaan di Bali.

Di sini tidak digunakan pendapat dari Prof. GJ Resink, yang mendebat masa penjajahan Belanda berdasarkan hukum Belanda.


“Lahirnya” Kata INDONESIA
           
Penjelasan yang rinci mengenai asal-usul bama Indonesia, lihat:



Perang Dunia II. Agresi Militer Jepang ke Asia Tenggara

Perang dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3 September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.

Dengan kemenangan atas Rusia tahun 1905, rasa percaya diri bangsa Jepang semakin meningkat dan Jepang tumbuh sebagai satu kekuatan ekonomi dan militer yang dahsyat di Asia Timur. Jepang mulai menunjukkan ambisinya untuk melakukan ekspansinya ke daratan Asia, yang dimulai dengan agresinya ke Manchuria. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan negara-negara barat (Eropa dan AS) yang mempunyai jajahan di Asia Timur dan Asia tenggara.

Oleh karena itu, mereka mengambil langkah-langkah untuk meredam ekspansi Jepang, dengan antara lain menjalankan blokade ekonomi. Pengepungan terhadap Jepang secara ekonomi oleh negara-negara barat sangat menghalangi hubungan Jepang dengan negara-negara tetangganya, dan membawa Jepang ke dalam krisis ekonomi. Dalam sidang gabungan pimpinan militer dan sipil tanggal 27 Juli 1940 diisyaratkan, bahwa apabila diperlukan, Jepang akan menggunakan kekuatan militer untuk memperoleh bahan baku tersebut.[6]

Dalam mempersiapkan agresi militer mereka, Jepang mengadakan sejumlah perundingan untuk memperkuat posisi mereka. Langkah pengamanan pertama yang ditempuh Jepang adalah mengadakan perundingan dengan Uni Sovyet. Tanggal 13 April 1940, Jepang dan Uni Sovyet menandatangani neutrality pact  (pakta netralitas) yaitu untuk tidak saling menyerang.

Selain itu, Menteri Luar Negeri Jepang, Yosuke Matsuoka mengadakan perundingan dengan Jerman dan Italia. Jerman dan Italia mengakui Jepang sebagai kekuatan utama di Asia. Tanggal 27 September 1940, Jerman, Italia dan Jepang menandatangani pakta Tripartite, yang juga dikenal sebagai Axis. Inti perjanjian tersebut adalah saling membantu apabila salah satu negara itu diserang oleh suatu kekuatan, yang belum terlibat dalam perang.

Admiral Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armada di bawah komandonya untuk dua operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk (pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang besar, 18 kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak (destroyer), 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.

Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1941, 353 pesawat tempur dan pesawat terbang pembawa torpedo diberangkatkan dalam dua gelombang. Sebelumnya, 31 kapal selam kelas Midget telah diberangkatkan menuju Pearl harbor, dan telah siap menunggu komando untuk penyerangan. Serangan mendadak tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar dipihak Amerika.

Pada 8 Desember 1941 pesawat tempur dan pembom Jepang menyerang pangkalan udara militer Amerika Serikat Clark dan Iba di Filipina, dan menghancurkan sekitar 50 % kekuatan Angkatan Udara Amerika Serikat di Asia.

Kemudian satu-persatu negara-negara di Asia tenggara jatuh ke tangan Jepang.



9 Maret 1942, Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara

Untuk menghadapi serbuan Jepang ke Asia Tenggara, pada bulan Januari 1942 Sekutu membentuk ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command), yang aroma kerjasamanya di Indonesia masih eksis sampai sekarang.

Selain itu, setelah melihat serbuan balatentara Dai Nippon tidak terbendung lagi, Gubernur Jenderal Belanda ke 64, juga yang terakhir, Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer menugaskan Charles Olke van der Plas, Gubernur Jawa Timur, untuk membangun jaringan bawah tanah untuk  melawan pendudukan tentara Jepang. Van der Plas fasih berbahasa Arab dan pakar Islam, seperti halnya Snouck Hurgronje. Dia merekrut kelompok sosialis yang menentang fasisme Jepang. Jaringannya yang kemudian dikenal sebagai “van der Plas Connection”, juga masih eksis sampai sekarang (tahun 2016).

Setelah hampir seluruh wilayah India Belanda jatuh ke tangan tentara Jepang, sasaran terakhir dan terpenting adalah Pulau Jawa, tempat kedudukan Pemerintah India Belanda dan pusat operasi militer Sekutu. Penyerbuan diawali dengan pertempuran di Laut Jawa pada 27 Februari dan di Selat Sunda pada 28 Februari, dalam rangka pendaratan Balatentara Dai Nippon di Jawa. Direncanakan, pendaratan dilakukan di Teluk Banten, Eretan Wetan, dekat Cirebon, dan di Kragan, dekat pelabuhan Rembang.

Dalam pertempuran di Laut Jawa tanggal 27 Februari 1942 –terkenal sebagai “the battle of Java sea”-  yang berlangsung selama tujuh jam, Angkatan Laut Sekutu dimusnahkan secara total. Sekutu kehilangan lima kapal perangnya, sedangkan Jepang hanya menderita kerusakan pada satu kapal perusaknya (Destroyer) dan beberapa kapal transport kecil. Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman, Komandan Angkatan Laut India Belanda, yang baru dua hari sebelumnya, tanggal 25 Februari 1942 ditunjuk menjadi Tactical Commander armada tentara Sekutu ABDACOM (American-British-Dutch-Australian Command), tenggelam bersama kapal perang utamanya (Flagship) De Ruyter.

Pada 1 Maret 1942 pukul 02.00, kapal-kapal pengangkut tentara berlabuh di Teluk Banten sesuai jadwal. Seluruh pasukan Detasemen Sato, di bawah komando Kolonel Hansichi Sato mendarat di Teluk Banten. Menjelang subuh, Letjen Imamura telah mendirikan Pos Komando di Ragas, 3 km di utara Bojonegara, kemudian sore harinya dia memindahkan Poskonya ke Serang, di mana ia bermarkas sampai tanggal 7 Maret.

Setelah melarikan diri dari Jakarta ke Bandung, pada 5 Maret diadakan rapat seluruh perwira senior tentara sekutu di Bandung, di mana Panglima tertinggi Tentara Belanda di India Belanda, Letnan Jenderal hein Ter Poorten menyampaikan gawatnya situasi dan menyatakan, bahwa perang gerilya tidak mungkin dilakukan, mengingat sikap rakyat Indonesia terhadap orang Belanda. Bandung tak dapat dipertahankan lagi sehingga akan kesulitan untuk berkomunikasi, karena Markas Besar Belanda hanya dapat beroperasi dari Bandung.

Tanggal 7 Maret Batavia telah jatuh ke tangan tentara Jepang, dan tentara Belanda di Surabaya telah dievakuasi karena ancaman serbuan besar-besaran dari tentara Jepang. Dengan demikian, hanya dalam waktu satu minggu dan tanpa perlawanan yang berarti, balatentara Dai Nippon berhasil menguasai seluruh kota-kota besar di Jawa dan mengancam akan memusnahkan seluruh tentara Belanda, apabila mereka tidak mau menyerah.

Akhirnya Pemerintah India-Belanda mengisyaratkan kesediaan untuk melakukan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang. Letnan Jenderal Hitoshi Imamura memerintahkan Gubernur Jenderal Jonkheer Van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Tentara Belanda Letnan Jenderal Hein Ter Poorten untuk datang ke Kalijati. Mereka didampingi oleh Jenderal Mayor Jenderal J.J. Pesman, komandan garnisun Bandung.

Pada 8 Maret 1942 pukul 10.00 pagi, Imamura meninggalkan Batavia menuju Kalijati melalui Karawang dan pukul 16.00 tiba di Kalijati. Pada hari itu juga dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal van Starkenborgh Stachouwer dengan tentara Jepang yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Imamura. [7]

Imamura menyatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat, namun Gubernur Jenderal Belanda tersebut masih berkeras kepala dan menjawab, bahwa untuk itu dia harus menunggu instruksi dari Pemerintah Exil Belanda di London. Jawaban ini membuat Imamura sangat berang dan mengancam, akan menghancurkan tentara Belanda apabila tidak mau menyerah tanpa syarat.

Akhirnya Belanda tunduk kepada ancaman Jenderal Jepang tersebut dan keesokan harinya, pada 9 Maret 1942 Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India Belanda mewakili Gubernur Jenderal menandatangani dokumen pernyataan menyerah tanpa syarat.[8] Dengan demikian, bukan saja de facto, melainkan juga de iure, seluruh wilayah bekas India-Belanda berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. [9]

Pada hari itu juga Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara India-Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.[10] Dengan demikian, tentara Belanda menyerah kepada Jepang hampir tanpa perlawanan sama sekali. Dengan tindakan itu, Belanda menghancurkan sendiri citra yang ratusan tahun dibanggakan oleh Belanda, bahwa bangsa Belanda/ras kulit putih tidak terkalahkan. Dan kini ras unggul ini ternyata dikalahkan oleh –di mata mereka- ras rendahan.

Sang penguasa yang telah ratusan tahun menikmati dan menguras bumi Nusantara, menindas penduduknya, kini menyerahkan jajahannya ke tangan penguasa lain. Di atas secarik kertas, Belanda telah melepaskan segala hak dan legitimasinya atas wilayah dan penduduk yang dikuasainya kepada penjajah baru, yang ternyata tidak kalah kejam dan rakusnya.

Siang itu juga, Vice Marshall Maltby dan Jenderal Sitwell mengeluarkan perintah untuk seluruh pasukan Inggris untuk mematuhi pernyataan menyerah tersebut. Pada 10
Maret pukul 14.00, Jenderal Imamura bersama stafnya berangkat ke Bandung, dan memanggil seluruh perwira senior Inggris, Amerika dan Australia ke Bandung.

Pada 12 Maret Para perwira senior Inggris, Amerika dan Australia menandatangani pernyataan menyerah, yang disaksikan oleh Panglima Tentara Jepang di Bandung, Letnan Jenderal Masao Maruyama, yang menjanjikan kepada mereka hak-hak dan perlindungan para tawanan perang sesuai dengan Konvensi Jenewa.

Sebelum penyerahan itu, para penguasa “perkasa” yang lain termasuk Dr. Hubertus Johannes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk India Belanda bagian timur, masih sempat  melarikan diri ke Australia. Bahkan Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira Angkatan Udara Kerajaan Belanda -yang kegemarannya adalah minum wine (anggur), makanan lezat dan wanita- kabur dengan kekasihnya dan meninggalkan isterinya di Bandung.[11] Tentara KNIL yang tidak sempat melarikan diri ke Australia –di pulau Jawa, sekitar 20.000 orang- ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang; sedangkan orang-orang Eropa lain dan juga warganegara Amerika Serikat, diinternir. Banyak warga sipil yang bukan wrganegara Belanda dipulangkan kembali ke Eropa dan Amerika.


Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda yang diperoleh melalui kekuatan bersenjata.

Mengenai hilangnya “hak hukum rimba” Belanda atas jajahannya yang kemudian menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:

“… Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...

… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...

Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia. Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan ...”

Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Setelah Jepang menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, Jepangpun melakukan mengganti nama-nama Belanda menjadi nama Jepang, sperti nama jalan, bangunan/hotel, dll. Untuk mengambil hati rakyat di bekas jajahan Belanda, pada 8 Agustus 1942 Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta Tokubetsu Shi, yang artinya adalah Kota Istimewa Jakarta.

Tidak dijelaskan mengapa diganti menjadi Jakarta, dan bukan nama sebelum Batavia, yaitu Jayakarta. Kemungkinan penulisan/penyebutan nama ini berdasarkan penyebutan dari masa Purtugis atau Belanda, yang menyebut Jayakarta sebagai Xakatra atau Jakatra.

 
Masa Pendudukan Tentara Jepang

Setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, maka tentara Jepang telah menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Selama masa pendudukan tentara Jepang di bekas jajahan Belanda, selain juga menguras kekayaan Bumi Nusantara, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Jepang memaksa para pemuda untuk dijadikan pekerja-paksa (Romusha), yang dikirim a.l. ke Birma, untuk membangun jembatan dan bangunan-bangunan yang diperlukan oleh Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajuritnya, pimpinan militer Jepang mengangkap gadis-gadis untuk dipaksa menjadi budak pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis tersebut dinamakan “wanita penghibur” atau Jugun Yanfu.

Pemerintahan di Kalimantan Barat awalnya dipegang oleh Rikugun (Angkatan Darat), kemudian sejak 15 Juli 1942, di bawah Kaigun (Angkatan Laut). Penangkapan pimpinan Indonesia yang dianggap menentang kebijakan Jepang dimulai tanggal 14 April 1943, sedangkan penangkapan besar-besaran dilakukan tanggal 24 Mei 1944, dan eksekusi dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 1944.

Di Kecamatan Mandor, dekat Pontianak, Kalimantan Barat, terjadi pembantaian atas kaum intelektual serta  tokoh-tokoh masyarakat, yang dianggap menentang kebijakan tentara pendudukan Jepang. Diperkirakan lebih dari 1500 orang yang tewas dibunuh oleh tentara Jepang sehubungan dengan cara ini.

Kaum intelektual, penguasa setempat (Sultan serta Panembahan), pengusaha, politisi dll. yang menjadi korban tentara Jepang antara tanggal 23 April 1943 – 24 Mei 1944, tidak dapat dipastikan jumlahnya. Angkanya bervariasi antara 1534 orang sampai 1.838 orang. Namun penduduk Kalimantan Barat yang tewas selama masa pendudukan Jepang dari tahun 1942 – 1945 berjumlah 21.037 jiwa. Ketika disidangkan di Mahkamah Militer tentara Sekutu pada bulan Oktober-November 1945, Yamamoto, Komandan Kempetai di Pontianak mengakui, bahwa target jumlah pimpinan masyarakat setempat yang akan dibunuh adalah 50.000 orang.

Kekejaman lain yang dirasakan rakyat Indonesia di berbagai daerah adalah dengan diberlakukannya sistem kerja paksa (romusha). Kebanyakan romusha direkrut dari kelompok pemuda desa/petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk dipekerjakan di berbagai proyek pembangunan militer. Mereka tidak saja dikirim ke Sumatera dan ke pulau-pulau di bagian timur, bahkan banyak yang dikirim sampai ke Birma dan Thailand.

Mengenai jumlah yang dikirim, ada beberapa versi, dari mulai 300.00 sampai 500.000 orang. Menurut Prof. W.F. Wertheim, dari sekitar 300.000 orang yang dikirim ke luar Jawa, hanya sekitar 70.000 orang yang kembali ke kampung halamannya. Di banyak tempat, kurangnya tenaga untuk mengerjakan sawah/ladang tentu berakibat negatif bagi penghasilan keluarga; di samping itu, tentara Jepang juga banyak menyita beras serta kebutuhan makanan lain secara paksa dari rakyat.

Kekejaman luar biasa yang telah dilakukan oleh militer Jepang adalah yang dilakukan oleh Unit 731. Unit  yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Shiro Ishii ini merupakan satu Divisi khusus dari tentara Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia ke II. Markas Divisi 731 terletak di Harbin, Manchuria (Manchukuo) Selatan. Unit 731 ini melakukan percobaan, pengujian dan pengembangan senjata biologi, namun “kelinci percobaan” mereka adalah manusia. Diperkirakan lebih dari sepuluh ribu orang tawanan perang  yang menjadi subyek eksperimen mereka, baik sipil maupun militer yang berasal dari Cina, Korea, Mongolia, dan bahkan dari Rusia.

 Diperkirakan, percobaan seperti ini juga dilakukan di bekas jajahan Belanda di India Belanda. Ribuan orang yang menjadi “kelinci percobaan”meninggal dengan cara yang sangat sadis, a.l. karena penyakit Pes, Antraks, kolera dan penyakit lainnya yang diuji-cobakan kepada mereka.

Menjelang akhir Perang Dunia II, di Jakarta terjadi peristiwa di mana sekitar seratusan romusha meninggal karena virus, yang diduga disuntikkan kepada mereka. Direktur Eijkman Institut, Dr. Achmad Mochtar dijadikan kambing hitam oleh Jepang, di mana kemudian Dr. Mochtar dieksekusi dengan dipenggal kepalanya dan tubuhnya digilas dengan stomwal.

Bulan September 1943, Markas Besar Tentara Selatan menyetujui dibentuknya Gyugun di Sumatera. Pusat latihan perwira didirikan di Kotaraja, Medan, Padang dan Palembang. Pada bulan Maret 1944 telah terbentuk  sekitar 30 kompi (chutai). Tugas utama Gyugun adalah penjagaan pantai, oleh karena itu latihannya dirancang untuk menghasilkan perwira dan serdadu yang siap untuk tugas bertempur.[12]

Gyugun di Sumatera dibentuk dan dilatih pada tingkat karesidenan, tidak di dalam suatu kesatuan di bawah satu komando seperti di Bogor. Dengan makin terdesaknya Jepang dalam perang melawan Sekutu, banyak pemuda yang telah dilatih, dipaksa ikut dalam pertempuran, termasuk sekitar 2.000 Gyugun asal Sumatera Utara yang dibawa ke Morotai (Halmahera Utara) untuk bertempur melawan tentara Sekutu.

Pada akhir tahun 1943 di Bogor didirikan Renseitai (Satuan Pendidikan Perwira). Dari catatan Jepang, dapat diketahui berapa jumlah anggota Peta yang mendapat pendidikan militer.[13] Sampai bulan November 1944 tercatat kekuatan Peta di Jawa sebanyak 33.000 orang dan di Bali 1.500 orang. Di Sumatera telah dilatih sebanyak 6.000 Gyugun. Pada tahun 1945, seluruh kekuatan Peta mencapai 66 batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali. Selain itu masih terdapat sekitar 25.000 prajurit Heiho.

Apabila dalam struktur komando Peta, semua perwira adalah orang Indonesia, dalam Heiho, seluruh perwiranya adalah orang Jepang. Pangkat tertinggi orang Indonesia dalam Heiho adalah sersan.[14] Selain itu jumlah yang mendapat latihan semi-militer di Indonesia adalah:


Seinendan (barisan pemuda)                    : sebanyak 5.600.000 orang,
Keibodan (kelompok pertahanan sipil)    : sebanyak 1.286.813 orang,
Shisintai (Korps Perintis)                            : sebanyak 80.000 orang,
Jibakutai (Korps Berani Mati)                     : sebanyak 50.000 orang,
Gakutai (Korps Mahasiswa)                       : sebanyak 50.000 orang,
Hisbullah (Korps Pemuda Muslim)           : sebanyak 50.000 orang.

            Mereka mendapat latihan disiplin, baris-berbaris serta latihan militer dengan memakai bambu runcing. Kelompok-kelompok ini dipersiapkan sebagai pendukung Peta, Heiho dan gyugun, dan Keibodan diperbantukan kepada kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.


Jepang Menyerah Kepada Sekutu. Terjadi Vacuum of Power

Setelah Jerman menyerah tanpa syarat pada 8 Mei 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Tentara Merah (Red Army) Uni Sovyet mengalihkan kekuatan pasukan ke timur, untuk mematahkan perlawanan Jepang.

Tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima, yang mengakibatkan puluhan ribu penduduk tewas seketika, dan ribuan lainnya luka-luka.

Tanggal 8 Agustus, Menteri Luar Negeri Uni Sovyet, Molotov menyampaikan kepada Sato, Duta Besar Jepang di Moskow, bahwa pada tengah malam Uni Sovyet akan mengumumkan pernyataan perang kepada Jepang. Hal ini sesuai kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Inggris pada konferensi Yalta bulan Februari 1949.

Tanggal 9 Agustus, Tentara Merah Uni Sovyet memasuki Manchuria yang masih dijajah Jepang, dan setelah menggilas tentara Jepang di Manchuria hanya dalam dua hari, pada 12 Agustus Tentara Merah mendarat di Korea, dan kemudian menduduki kepulauan Sachalin, yang hanya berjarak 42 kilometer dari pantai satu pulau Jepang di bagian utara.[15]

Pada 9 Agustus pesawat pembom AS menjatuhkan bom atom kedua atas kota Nagasaki, yang kelihatannya sebagai reaksi terhadap pengumuman perang oleh Rusia kepada Jepang. Nampaknya, Amerika Serikat tidak ingin berbagi kekuasaan dengan Uni Sovyet atas Jepang. Bom atom kedua di Nagasaki telah menewaskan antara 35.000 sampai 40.000 orang serta melukai sejumlah besar penduduk. Amerika Serikat mengancam Pemerintah Jepang, bom atom ketiga akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo.

Pada 10 Agustus, Jepang mulai melakukan perundingan dengan pihak Sekutu, di mana Pemerintah Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah Jepang menyetujui  persyaratan penyerahan sesuai dengan deklarasi Potsdam tanggal 26 Juli 1945. Jepang hanya meminta, agar posisi Kaisar Jepang sebagai penguasa di Jepang tidak diganggu. Pihak Sekutu mengabulkan permintaan Jepang tersebut.

Sementara itu, pada 11 Agustus,[16] ketiga pemimpin Indonesia diterima Marsekal Terauchi di Villa-nya di Dalat, Vietnam. Atas nama pemerintah Jepang, selain mensahkan Sukarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, Marsekal Terauchi menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, dan wilayah kedaulatan Indonesia: Seluruh wilayah bekas India Belanda. Terauchi bahkan menyetujui sidang pertama PPKI dilaksanakan tanggal 18 Agustus 1945.[17]

Pada 14 Agustus itu juga tecapai kesepakatan antara pihak Sekutu dengan Pemerintah Jepang mengenai tata cara penyerahan Jepang. Pada 15 Agustus, Kaisar Jepang Hirohito mengeluarkan perintah secara sepihak, agar tentara Jepang segera menghentikan pertempuran. Jepang menyerah tanpa syarat!

Kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers mewakili tentara Sekutu. Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten,[18] Supreme Commander South East Asia Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.[19]

Ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah zaman penjajahan Jepang, yaitu pertama, zaman pendudukan Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah,[20] karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Namun justru tindakan tentara Jepang tersebut telah menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung lagi[21].

Kedua, mempercepat proses pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.

Dan ketiga, walaupun sebenarnya untuk tujuan perang dan dan memantapkan kekuasaan mereka, pembentukan Peta, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun semi-militer bagi Seinendan, keibodan, dll. dalam jumlah besar, memungkinkan -dalam waktu singkat- dibentuknya  berbagai  satuan pasukan, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, sehingga ketika Belanda –dibantu oleh Inggris dan Australia- ingin berkuasa kembali di wilayah bekas Hindia Belanda, mendapat perlawanan bersenjata yang sangat sengit. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Haag bulan November 1949, tentara Belanda tidak dapat mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.

Pernyataan menyerah tanpa syarat diserukan oleh Kaisar Hirohito pada 15 Agustus 1945, namun dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender) kepada sekutu baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945. Ini berarti antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah yang diduduki oleh Jepang antara tahun 1942 - 1945, termasuk bekas jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda).


Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia


Laksamana Muda Maeda termasuk kelompok perwira tinggi Jepang yang bersimpati kepada bangsa Indonesia. Wawasan luas yang dimiliki oleh Maeda mungkin berdasarkan pengalamannya ketika menjadi Atase Angkatan Laut pada Kedutaan Besar Jepang di Belanda dan kemudian di Berlin Jerman, sebelum pecah Perang Dunia II. Selain itu Maeda pernah bertugas selama sepuluh tahun di Kementerian Angkatan Laut di Tokyo, dan mendalami masalah-masalah Indonesia. Maeda menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) di Jakarta, sementara Markas Besar Angkatan Laut untuk Jawa, berada di Surabaya, di bawah komando Laksamana Shibata.

Awalnya kelompok pemuda revolusioner sama sekali tidak menyetujui keterlibatan pihak Jepang termasuk Laksamana Maeda, namun kemudian dapat menerima penjelasan, yaitu adanya jaminan Maeda, bahwa di rumah kediamannya, pimpinan bangsa Indonesia dapat mengadakan perundingan dan persiapan proklamasi kemerdekaan tanpa kuatir akan mendapat gangguan dari Kempeitai, Polisi Militer Jepang yang sangat ditakuti karena kekejamannya.

Lewat tengah malam menjelang tanggal 17 Agustus, selain Sukarno, Hatta dan Mr. Subarjo telah berkumpul di rumah Laksamana Maeda antara lain Sukarni, Sutarjo Kartohadimusumo, Chaerul Saleh, Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Mr. I.G. Ktut Puja, Mr. Teuku M. Hasan, Mr. Johannes Latuharhary, dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, dr. Amir, Jusuf Kunto, R. Oto Iskandar Dinata, K. Gunadi, Semaun,  Bakri, Sayuti Melik, B.M. Diah, Andi Sultan Daeng Raja, Mr. Abdul Abbas, Prof. Dr. Supomo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, dr. Samsi Sastrawidigda, dr. Buntaran Martoatmojo, A. Hamidan dan A.R. Ripai. [22]

Di ruang bagian dalam di rumah Maeda, dalam pertemuan untuk menyusun teks proklamasi yang dapat diterima oleh pimpinan militer Jepang, pihak Indonesia diwakili oleh Sukarno. Hatta dan Subarjo, sedangkan dari pihak Jepang adalah Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi dan Miyoshi. Teks tersebut harus disusun sedemikian rupa, sehingga samar-samar dan sama sekali tidak melibatkan Jepang, seperti syarat yang dikemukakan oleh Letnan Jenderal Nishimura. Menurut catatan Nishijima, kalimat “pemindahan kekuasaan” merupakan terjemahan kasar dari bahasa Jepang gyoseiken no iten (pemindahan pengawasan administratif), ketimbang shuken no joto (penyerahan kedaulatan sah), sedangkan pengertian Indonesia mengenai “pemindahan kekuasaan” mencakup pengertian yang lebih luas dalam arti politis, dan tidak hanya administratif.

Akhirnya dicapai kesepakatan mengenai bunyi teks proklamasi yang juga dapat diterima oleh Myoshi, sesuai keinginan Jenderal Nishimura.[23] Perumusan teks tersebut selesai sekitar pukul 04.00 dinihari. Selesai pembahasan teks proklamasi, Maeda pergi tidur dan pembicaraan dilanjutkan di antara para pemimpin Indonesia.
Landasan Hukum Internasional Proklamasi 17.8.1945

Di bulan Ramadhan, pada hari Jumat Legi[24] tanggal 17 Agustus 1945 -di masa vacuum of power tersebut- pukul 10.00 pagi, di depan rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta serta sejumlah pimpinan bangsa Indonesia, Ir. Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia:

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
                                                                        Atas nama bangsa Indonesia,

                                                                                    Sukarno/Hatta
                                                                        Hari 17 bulan 8 tahun ’45.

Pada 18 Agustus Sukarno diangkat sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh benua Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:

The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

Namun ayat tiga konvensi ini juga menyebutkan, bahwa eksistensi Negara tersebut  tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.

The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu
a. Adanya penduduk yang permanen,
b. Adanya wilayah tertentu
c. adanya pemerintahan, dan
d. Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.

Sebagaimana diterangkan pada Ayat 3, bahwa butir ke empat Ayat satu tidak menjadi syarat utama, sehingga walaupun tanpa adanya pengakuan, Negara tersebut  berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.

Pada tahun 1946, Liga Arab memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.


Landasan Politis dan Moral

Gagasan untuk memberikan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, telah tercetus sejak akhir abad 19. Dalam kongres internasional para buruh dan serikat sosialis (The International Socialist Workers and Trade Union Congress) yang diselenggarakan di London . dari 26 Juli – 1 Agustus 1896, dideklarasikan:
 “This Congress declares that it stands for the full right of all nations to self-determination [Selbstbestimmungsrecht]…”

Dalam kongres ini pertama kali diformulasikan gagasan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Right for selfdetermination of all nations). Vladimir Ilyich Lenin, dari bulan Februari – Mei 1914 juga menulis mengenai “The Right of Nations to Self-Determination.” Tulisannya dimuat dalam journal Prosveshcheniye Nos. 4, 5 dan 6, yang diterbitkan pada bulan April - Juni 1914. Dia mencantumkan namanya sebagai V. Ilyin.

Awalnya, yang dimaksud oleh kaum sosialis dan Marxis adalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan bentuk Negara/pemeritahan sesuai yang dikehendaki oleh rakyatnya. Tujuannya adalah mengganti sistim monarchi dengan sistim republik. Namun kemudian kalimat ini, yang sangat dikenal dalam bahasa Jermannya sebagai Selbstbestimmungsrecht, kemudian berkembang untuk bangsa-bangsa terjajah menentukan nasibya sendiri.

Adalah Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, untuk mengambil hati Negara-negara jajahan dan bangsa-bangsa terjajah, yang menghubungkan hak menentukan nasib sendiri dengan situasi penjajahan. Dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan menjelang berakhirnya perang dunia pertama, butir lima konsepnya, Wilson telah menyebut mengenai klaim atas suatu jajahan, harus juga disesuaikan dengan keinginan penduduknya. Wilson menulis:[25]

A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.

Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan: [26]
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
 Butir tiga ini yang dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).

Atlantic Charter ini kemudian menjadi salahsatu butir yang tercantum dalam United Nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”

Sehubungan dengan Atlantic Charter ini, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato radio yang disampaikannya ketika berada di tempat pelarian di London pada 7 Desember 1942, mendukung butir tiga dalam gagasan Atlantic Charter. Pidato ini disampaikannya tepat satu tahun setelah dimulainya Perang Pasifik, yang diawali dengan penyerangan Jepang terhadap pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Sistim monarchi konstitusional yang dianut oleh Kerajaan Belanda membuat Ratu Belanda tidak mempunyai kekuatan politik, dan hanya dapat memberikan dukungan moral. Dia mengatakan a.l.:[27]

“… A political unity which rests on this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in the course of our history ...”

Bahkan Ratu Wilhelmina memberikan janji yang melebihi tuntutan yang disampaikan oleh wakil-wakil pribumi dalam Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat zaman penjajahan Belanda), sebagaimana disampaikan oleh Sutardjo Kartohadikusumo dalam petisi yang dikenal sebagai Petisi Sutardjo. Juga dalam pidato ini, Wilhelmina menggunakan kata ‘INDONESIA’, dan bukan Nederlands Indië. Selanjutnya dia mengatakan:

“…I visualize, without anticipating the recommendations of the future conference, that they will be directed towards a commonwealth in which the Netherlands. Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance …

Mengenai definisi suatu bangsa, lazim digunakan formulasi dari Otto Bauer, seorang negarawan dari Austria yang mengatakan, bahwa: “Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.” Yang artinya, Suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki ciri/watak yang sama, yang lahir dari masyarakat yang senasib. Definisi ini sesuai a.l. untuk Amerika Serikat dan Indonesia.


Pernyataan Kemerdekaan Tidak memerlukan Pengakuan

Kemerdekaan Indonesia dideklarasikan pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power, artinya tidak ada kekuasaan suatu Negara, oleh karena itu, deklarasi kemerdekaan Indonesia bukan suatu pemberontakan terhadap Negara manapun, juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada pemerintah yang digulingkan. Periode 1945 – 1949 juga bukan perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Negara lain.

Pada dasarnya, satu negara baru tidak memerlukan landasan hukum internasional apapun dan pengakuan dari siapaun, baik Penjajah ataupun Negara lain, sepanjang negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri. Hal ini merujuk pada pernyataan kemerdekaan Belanda yang melepaskan diri dari penjajahan Spanyol tahun 1581, dan kemudian mendirikan Republik Belanda. Republik Belanda sanggup mempertahankan kemerdekaannya dari serangan tentara Spanyol.

Demikian juga halnya dengan Amerika Serikat (USA) yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, dan sanggup mempertahankan diri dari serangan tentara Inggris, sang penjajah.

Kemerdekaan USA menginspirasi negara-negara Amerika Latin yang masih dijajah oleh Spanyol. Diawali dengan pemberontakan di Bolivia tanggal 25 Mei 1809. Bolivia menyatakan kemerdekaan pada 6 Agustus 1825. Kemudian berturut-turut negara-negara Amerika Latin menyatakan kemerdekaan dan melepaskan diri dari penjajahan Spanyol.

Brasil, yang akibat Traktat Tordesillas tahun 1494 menjadi satu-satunya negara di Amerika Latin yang menjadi jajahan Portugal, tanggal 7 September 1922 menyatakan kemerdekaannya.

Tanggal 26 Desember 1933, 19 negara di Amerika mencetuskan Konvensi Montevideo, yang isinya adalah Hak dan Kewajiban suatu Negara..

Tahun 1830 Belgia memisahkan diri dari Belanda. Belanda tidak berani menyerang Belgia karena Perancis menyatakan dukungannya terhadap Belgia.
Pengakuan dari seluruh dunia tidak menghentikan agresi militer dari suatu negara atau koalisi Negara, seperti yang dialami a.l. oleh Panama ketika tentara Amerika Serikat menyerbu Panama hanya untuk menangkap Presiden Panama Manuel Noriega untuk diadili di Amerika sebagai gembong narkoba. Demikian juga ketika Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak untuk menangkap Presiden Irak Saddam Hussein, dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal, yang kemudian tidak terbukti.

Dengan demikian jelas adanya, bahwa dipandang dari berbagai segi, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politis, moral, Hak Asasi Manusia (HAM),  Hak Asasi Bangsa (HAB) dan Hak Asasi Negara (HAN)


Wilayah Republik Indonesia: Berdasarkan uti possidetis juris

Uti possidetis juris adalah hukum internasional yang diadopsi dari hukum Romawi, mengenai batas wilayah suatu Negara yang pernah dijajah atau dikuasai oleh negara lain. Ini dilakukan oleh Negara-negara di Amerika Selatan setelah bebas dari penjajahan Spanyol dan Portugal. Demikian juga dengan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan Yugoslavia. Juga ketika Ceko dan Slovakia memisahkan diri, mereka sepakat dengan batas-batas administrasi yang ada sebelum pemisahan kedua negara tersebut.

Dengan demikian, berdasarkan uti possidetis juris, wilayah Republik Indonesia adalah wilayah bekas Nederlands Indië (India Belanda) termasuk Irian Barat, yang dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Irian barat masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia tahun 1969, berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang difasilitasi oleh PBB (Perserikatan Bangsa bangsa).

Batas wilayah Nederlands Indië terakhir ditentukan berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Namun batas wilayah ini masih menggunakan ukuran 3 mil dari pantai. TZMKO ini kemudian diganti dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82), termasuk mengenai batas wilayah suatu Negara Kepulauan.

Dalam sengketa antara Republik Indonesia dengan Malaysia sehubungan dengan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, salahsatu dasar pertimbangan dari Pengadilan Internasional (International Court of Justice) di Den Haag, Belanda, untuk memenangkan Malaysia adalah berdasarkan Uti Possidetis Juris.

Di peta Inggris, ketika masih berkuasa atas Malaysia (Malaya), kedua pulau tersebut termasuk wilayah Inggris, sedangkan kedua pulau tersebut tidak ada di peta Belanda, ketika masih menguasai Nederlands Indië (India Belanda).


Republik Indonesia adalah NEGARA BANGSA (Nation State)

Pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, selain terbentuknya suatu Negara baru, juga “melahirkan” satu NEGARA BANGSA (Nation State). Negara ini merupakan penyatuan Negara-negara berdasarkan etnis yang berada di wilayah bekas Nederlands Indie.

Negara baru ini menaungi berbagai etnis dan ras, akibat dari perdagangan budak di masa penjajahan, membentuk suatu bangsa baru, yang sesuai dengan definisi bangsa yang disebutkan oleh negarawan Austria, Otto Bauer, yaitu: “Eine Nation ist eine aus Schicksalsgemeinschaft erwchsene Charaktergemeinschaft” (Suatu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki persamaan ciri (karakter/sifat), yang timbul dari persamaan nasib.

Definisi dari Otto Bauer ini kemudian berkembang dengan ditambahkan atribut-atribut yang diberikan oleh para pemimpin bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, secara politis, hukum internasional, sosiologis dan etnologis, bangsa Indonesia baru “ada” sejak 17 Agustus 1945.

Menyadari hal ini, Presiden RI pertama, Ir. Sukarno berusaha meyakinkan seluruh rakyat Indonesia, bahwa sangat diperlukan NATION AND CHARACTER BUILDING (Pembangunan Bangsa dan Jatidiri Bangsa).

Namun kelihatannya, sejak 50 tahun terakhir, hampir tidak ada yang menyadari pentingnya yang disebut oleh Presiden Sukarno sebagai Nation and Character Building. Perlahan-lahan generasi muda Indonesia larut dalam berbagai budaya dari luar Nusantara.

Belanda Ingin Berkuasa di Indonesia. Meminta Bantuan Sekutunya

Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan mulai mendarat di Jawa tanggal 1 Maret 1945, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar India Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Mayor Simon Hendrik Spoor, yang ikut mendirikan Dinas Intelijen Tentara Belanda di Timur (Netherlands Eastern Forces Intelligence Service - NEFIS).[28]

Spoor, yang lahir di Amsterdam pada 12 Januari 1902 mencatat karir yang sangat pesat. Tahun 1945 dia berpangkat Kolonel, dan kemudian tahun 1946 dia menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.

Tahun 1942 jumlah tentara Belanda –termasuk pribumi yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo- yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang.

Setelah Jepang menyatakan menyerah pada 15 Agustus 1945, di seluruh wilayah yang mereka duduki, tentara Jepang mulai membebaskan para tahanan serta interniran Sekutu. Di antara para tahanan dan interniran yang dibebaskan, selain orang Belanda terdapat juga sejumlah tentara Inggris dan Australia. Salah seorang mantan perwira Inggris yang dibebaskan adalah Letnan Kolonel Laurens van der Post.

Pada  15 Agustus 1945 di Australia, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia. Sementara itu, juga pada hari itu, tanggal 15 Agustus 1945, dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara) sesuai dengan hasil kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris di Potsdam bulan Juli 1945.

Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan pemerintah Belanda. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini sebagai pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda, apabila Nederlands Indië tidak lagi di bawah kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas jajahannya akan hilang. Selain itu, pemasukan dari India Belanda menyumbang hampir 10 % budget (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda. Slogan yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (sebutan untuk jajahannya) hilang, timbul malapetaka.

Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda telah digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India Belanda, ditaklukkan oleh balatentara Dai Nippon tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di India Belanda, dimasukkan ke kamp-kamp interniran. Setelah mereka dibebaskan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, kondisi  fisik para prajurit Belanda sangat menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit mengakibatkan fisik mereka sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk perang.

Setelah penyerahan wewenang atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal MacArthur kepada Admiral Lord Louis Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA).

Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda. Di sinilah berulang kali diadakan pertemuan antara Pemerintah Inggris dengan delegasi Pemerintah Belanda.

Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada  status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.

Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah “hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri” (Right for selfdetermination of peoples)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.

Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, mereka hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.

Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.

Tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1.    Melucuti tentara Jepang serta  mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2.    Membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3.    Menciptakan  keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun sejarah mencatat, bahwa ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) yang dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundigan antara pemerintah Inggris dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara Sekutu dan tugas tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk tugas-tugas tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris-India (British-Indian Divisions). Untuk memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead, yang sebelumnya berada di bawah komando MacArthur di South West Pacific Area Command.

Dengan demikian, Ingris dan Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.

Politik Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1948, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tak perlu terjadi  pembantaian puluhan ribu rakyat Indonesia, terutama di Sulawesi Selatan.

Tanggal 1 September 1945, Dr. H.J. van Mook bersama Dr. Charles van der Plas menemui Lord Mountbatten di Markas Besar Komando Tentara Sekutu di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan antara Belanda dan Inggris, Civil Affairs Agreement, serta hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Setelah pertemuan tersebut, pada 2 September 1945 Mountbatten mengeluarkan perintah kepada komandan Divisi 5, yang berakibat sangat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya.[29]

Kalimat:
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” 

dan kalimat berikutnya:
“……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”

menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
 “…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”


Dua Divisi tentara Australia ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya. Kemudian, atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta kepulauan di bagian timur, kecuali Bali dan Lombok, kepada tentara Australia. Namun kemudian, Inggris juga “menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok kepada tentara Australia, sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia Timur. Belanda sendiri pada tahun 1945 belum dapat membentuk satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada baru bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum mampu untuk bertempur.

Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa, tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, serta dua orang tentara Inggris dan tiga orang tentara Belanda; mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan untuk berhubungan dengan dunia luar.

Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama RAPWI –Recovery of Allied Prisoners of War and Internees.

28 Oktober 1945. Pertempuran Heroik di Surabaya

      Di Surabaya dan sekitarnya pembentukan BKR (Badan Keamanan Rakyat)  dipelopori antara lain oleh K.R.M.H. Yonosewoyo, Sungkono, dr. Wiliater Hutagalung, Surachman, Abdul Wahab, R. Kadim Prawirodirjo, drg. Mustopo, dan lain-lain. Selain BKR, juga didirikan berbagai laskar dan pasukan pemuda, seperti TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), dengan tokoh-tokohya seperti Isman dan Soebiantoro (Mas Biek).

Mulai bulan September terjadi perebutan senjata dari tentara Jepang, yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Perebutan senjata ini banyak dilakukan melalui pertempuran yang menelan korban jiwa cukup besar di kedua belah pihak.

Dalam waktu kurang dari dua bulan di Surabaya dan sekitarnya telah terbentuk lebih dari 60 satuan BKR dan Laskar, di mana jumlah rakyat bersenjata diperkirakan mencapai 30.000 orang. Hal tersebut dimungkinan, karena sebagian terbesar adalah mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Keibodan, Seinendan, Hizbullah, yang memperoleh pendidikan dan pelatihan militer atau semi militer dari Jepang, yang semula dirancang untuk membantu Jepang dalam pertahanan dan keamanan di India Belanda. Jenis persenjataan yang dimiliki dari mulai senjata ringan, senjata setengah berat sampai senjata berat, tank dan meriam kaliber besar, bahkan pesawat terbang.

Melihat bahwa Jepang kelihatan sangat mengalah kepada Belanda dan bahkan memberikan berbagai fasilitas serta pengawalan bagi pimpinan Belanda yang baru dilepaskan dari interniran, membuat kemarahan rakyat terhadap tentara Jepang makin berkobar. Kalangan pejuang Republik di Surabaya semakin kuat berprasangka, bahwa Jepang telah bekerjasama dengan Sekutu untuk memberikan peluang kepada Belanda kembali menjajah Indonesia.

Hal ini terlihat dalam “insiden bendera” pada 19 September 1945. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp interniran Jepang dan kemudian tinggal di Hotel Oranye (kini Hotel Majapahit), pada 19 September 1945 menaikkan bendera Belanda, merah- putih- biru. Para pemuda yang marah melihat hal itu, segera naik ke atas hotel, kemudian merobek warna biru dan mengibarkan  merah-putihnya kembali di atas hotel tersebut.

Pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari 23rd British-Indian Division yang berkekuatan sekitar 5.000 tentara, mendarat di Surabaya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby.     

Mereka segera masuk ke dalam kota dan mendirikan pos pertahanan di 8 tempat. Awalnya, mereka ingin segera melucuti semua persenjataan yang telah dikuasai rakyat, namun karena mendapat tentangan yang sangat keras dari pimpinan Indonesia di Surabaya, akhirnya mereka mengalah. Tanggal 26 Oktober 1945 dicapai kesepakatan antara pimpinan Indonesia dengan komandan Brigade 49, Brigadir Mallaby, yang isinya a.l.:    

1.    Yang dilucuti senjata-senjatanya hanya tentara Jepang. _(The disarmament shall be carried out only in the Japanese Forces)._    
2.    Tentara Inggris selaku wakil Sekutu akan membantu Indonesia dalam pemeliharaan keamanan dan perdamaian. (The Allied Forces will assist in the maintenace of law, order and peace).    
3.    Setelah semua tentara Jepang dilucuti, maka mereka akan diangkut melalui laut. (The Japanese Forces after being disarmed, shall be transported by sea).  

Pada 27 Oktober pukul 11.00 pagi, sebuah pesawat Dakota langsung dari Jakarta, atas perintah Mayjen Hawthorn, menyebarkan pamflet yang isinya adalah perintah, agar dalam waktu 2 x 24 jam, seluruh senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia diserahkan kepada tentara Sekutu, dan setelah batas waktu tersebut, barangsiapa terlihat membawa senjata, akan ditembak di tempat.     

Isi pamflet ini jelas bertentangan dengan kesepakatan sehari sebelumnya, yang telah disetujui oleh komandan tertinggi tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby.     

Walaupun dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan adanya pamflet terserbut, namun dia mematuhi perintah pimpinannya di Jakarta, dan segera memerintahkan pasukannya untuk mulai melucuti persenjataan yang dimiliki rakyat Indonesia di Surabaya.

Rakyat Indonesia di Surabaya menilai bahwa pihak Inggris telah melanggar perjanjian. Pimpinan militer Indonesia di Surabaya mempertimbangkan, apabila mereka menyerahkan senjata kepada sekutu, maka Indonesia tidak mempunyai kekuatan samasekali untuk mempertahankan diri, sedangkan apabila tidak menyerahkan senjata, akan ditembak di tempat. Namun mereka juga melihat, bahwa tentara Inggris tidak mengetahui, berapa kekuatan bersenjata di pihak Indonesia.

Dengan pedoman yang diajarkan oleh pakar strategi militer Prusia, Jenderal Carl von Clausewitz, bahwa “Angriff ist die beste Verteidigung” (bahasa jerman, artinya: Menyerang adalah pertahanan yang terbaik) pimpinan militer Indonesia memberikan perintah untuk menyerbu seluruh pos pertahanan Inggris.    

Serangan total dilakukan tanggal 28 Oktober 1945, pukul 4.30 pagi. Delapan pos pertahanan Inggris diserbu oleh sekitar 30.000 BKR/TKR, TRIP, Laskar-laskar dan ditambah ribuan BONEK serta para Santri dari Pesantren-pesantren di Jawa Timur, termasuk dari Pesantren Tebu Ireng. Para Bonek dan Santri benar-benar bermodal nekad, hanya dengan bersenjata bambu runcing, clurit, pedang, golok dsb.      

Hampir seluruh sukubangsa yang ada di Indonesia terwakili oleh para PEMUDA PRIBUMI yang tergabung dalam berbagai pasukan/laskar, antara lain Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS – Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pasukan Sadeli Bandung, Pasukan Magenda Bondowoso, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Sriwijaya (sebagian besar berasal dari Aceh dan Batak), Pasukan Sawunggaling, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, Pasukan TKR Laut, Pasukan BKR/TKR Morokrembangan, Pasukan BKR Kereta Api, Pemuda Ponorogo, Pasukan Jarot Subiantoro Pemuda Banten, Corps Pegadaian, Corps PTT, Pasukan Pelajar (TRIP). Banyak pemuda-pemuda dari Papua, Maluku dan Pulau Rote tergabung dalam berbagai laskar, dan bahkan ada Pasukan Narapidana Kalisosok (penjara di Surabaya).

Dengan demikian, bersatunya para pemuda Indonesia dalam perlawanan terhadap tentara Sekutu pada 28 Oktober 1945 merupakan perwujudan dari semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Peristiwa heroik ini terjadi *TEPAT 17 TAHUN* kemudian.      

Setelah digempur total selama sehari-semalam, tentara Inggris mengibarkan bendera putih, minta berunding. Pada tahun 1975, seorang perwira Inggris, Kapten R.C. Smith, dalam suratnya kepada J.G.A. Parrot menuliskan, bahwa Brigjen Mallaby menyadari, apabila pertempuran dilanjutkan, mereka akan disapu bersih (wiped out).      

Mengenai dahsyatnya gempuran pemuda Indonesia di Surabaya tersebut, Kolonel A.J.F. Doulton, dalam bukunya, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-1947. Aldershot: Gale and Polden, 1951,  menulis:      

“The heroic resistance of the British troop could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.”      

(Perlawanan heroik dari tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada seorang yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

Inggris tidak dapat segera mendatangkan bantuan pasukan, baik dari Brigade Bethell di Jawa Tengah –yang juga sedang menghadapi perlawanan rakyat Indonesia-, apalagi dari Malaya, yang akan memerlukan waktu beberapa hari, sedangkan keadaan Brigade 49 di Surabaya sudah sangat kritis.     

Tak ada jalan lain, selain meminta bantuan pimpinan Republik Indonesia di Jakarta, untuk menyelamatkan nyawa ribuan tentara Inggris yang sudah terkepung di pos-pos pertahanan mereka di dalam kota Surabaya.      

Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga malam itu juga  tanggal 28 Oktober 1945, Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan, dan diminta untuk membanu menyelesaikan ”The Surabaya incindent”      

Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between *President Soekarno of the Republic Indonesia* and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”

Dokumen ini menunjukkan, bahwa Inggris terpaksa mengakui Sukarno sebagai PRESIDENT OF THE REPUBLIC INDONESIA.    

Enam butir isi perjanjian tersebut antara lain:     
-       Perjanjian diadakan antara  Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.     
-       Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.     
-       Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pamflet tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.     

Mengenai hal-hal lain, dirundingkan dengan atasan Mallaby, Mayjen Hawthorn, yang datang ke Surabaya keesokan harinya, tanggal 30 Oktober.     

Dalam perundingan pada hari itu, dicapai kesepakatan antara Bung Karno dengan Komandan Divisi 23, Mayjen Hawthorn, yang isinya a.l.: mencabut perintah dalam pamflet tertanggal 27 Oktober, dan pengakuan terhadap keberadaan TKR dan polisi Indonesia.

Letkol. TNI (Purn.) dr.Wiliater Hutagalung dalam Autobiografinya “Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa” menulis mengenai peristiwa pengibaran BENDERA PUTIH dan kedatangan Presiden Sukarno ke Surabaya.:     

   Pasukan Sriwijaya segera mengepung markas Inggris yang berada di dekat Jembatan Wonokromo dan mengadakan blokade total. Truk-truk yang mengangkut logistik, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman dapat dicegah. Akibatnya setelah dua hari digempur dan tidak menerima pengiriman makanan dan minuman, mereka menaikkan bendera putih. Hal ini dilaporkan oleh Abdoel Kenek kepada penulis. Abdoel Kenek, pemuda asal Aceh adalah salah seorang anggota pasukan Sriwijaya bekas Gyugun yang dilatih Jepang.    

Waktu itu penulis berada di sebelah utara Sungai Brantas, di dekat Morokrembangan. Penulis segera menugaskan Abdoel Kenek bersama seorang temannya untuk memasuki pos pertahanan Inggris guna menanyakan apa maksudnya bendera putih tersebut. Tak lama kemudian Abdoel Kenek kembali bersama dua orang tentara Inggris. Seorang kapten dan seorang sersan. Sang kapten memperkenalkan diri sebagai Captain Flower asal Australia.       

Setelah ngobrol basa-basi, penulis segera mengatakan: “We accept your unconditional surrender. Leave all your weapons and we will carry you out with our trucks.” (kami menerima menyerah tanpa syarat dari anda. Tinggalkan semua senjata dan kami akan angkut kalian dengan truk-truk kami).    

Sebenarnya mereka tidak mempunyai pilihan lain, akan tetapi persyaratan yang kami majukan tampaknya terlalu berat bagi pimpinan sekutu, terutama tentara inggris. Bila pada waktu itu pertempuran dilanjutkan, dengan perimbangan kekuatan yang ada, mereka akan hancur. Tanggal 29 Oktober Inggris berhasil mendatangkan Bung Karno dan beberapa anggota pimpinan Republik Indonesia ke Surabaya dan mereka mendesak Bung Karno untuk membatalkan persyaratan tersebut, serta membebaskan semua prajurit inggris tanpa syarat.      

Bung karno menyetujui untuk melepaskan mereka lengkap dengan persenjataan mereka. Pimpinan Republik Indonesia pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan inggris apalagi melawan tentara sekutu.      

Bagi kami di Surabaya hal ini menimbulkan masalah yang besar. Kami dihadapkan pada dua pilihan yang tidak enak : mengikuti permintaan Bung Karno berarti ibarat kucing melepaskan tikus yang sudah ada di mulut. Tidak mematuhi, berarti tidak mengakui Presiden dan akan dianggap sebagai pasukan liar.    

Akhirnya kami tunduk pada perintah Presiden. Pertempuran berakhir dengan gencatan senjata pada tanggal 30 0ktober 1945. Bung karno dan rombongan segera kembali lagi ke Jakarta.    

Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, Presiden Sukarno beserta rombongan pulang ke Jakarta. Pimpinan sipil dan militer Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Mallaby juga berada di dalam rombongan militer Inggris.

Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung _Lindeteves_ dan Gedung _Internatio_ yang masih ada tembak-menembak.

            Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, pos pertahanan Inggris terakhir yang juga masih terjadi tembak-meembak.

Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut pada petang hari, nampak bahwa gedung tersebut tengah dikepung oleh ribuan pemuda Indonesia dan menghujani Gedung Internatio dengan tembakan.

Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.

Kapten Shaw mewakili tentara Inggris, sedangkan pihak Indonesia diwakili oleh Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan yang fasih berbahasa Inggris.
Mereka ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, mengenai hasil kesepakatan antara Inggris dengan Indonesia.

Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung _Internatio._ Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung. Tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar satu jam.

Setelah tembak-menembak berhasil dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.

Pada tanggal 31 Oktober 1945, Panglima AFNEI Letnan Jenderal Philip Christison mengeluarkan pernyataan dengan nada ancaman yang sangat keras:

Warning to Indonesia!

*”... On 28 th October* a large number of armed Indonesians in Surabaya attacked without warning or provocation British forces, which had landed there peacefully for the purpose of disarming and concentrating the Japanese forces, of bringing relief to prisoners of war and internees, and of maintaining law and order in the area occupied by them.    

Subsequently these Indonesians broke the truce which had been agreed in the presence of Dr. Sukarno and Mohammad Hatta, and foully murdered Brigadier Mallaby, who had to parley with them.   

These direct and unprovoked attacks upon British cannot in any circumstances be permitted, and unless the Indonesians who have committed the acts surrender to my forces, I intend to bring the whole weight of my sea, land and air force and all weapons of modern war against them untill they are crushed.  

If in this process, Indonesian should be killed or wounded, the sole responsibility will rest with those Indonesians who have committed the crimes I have named ...

Inti pernyataannya adalah:

1. Orang-orang Indonesia melanggar gencatan senjata (truce),     

2. Membunuh Brigjen Mallaby secara licik.  

Kedua alasan ini dijadikan alasan untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan membom kota Surabaya secara membabibuta yang dimulai tanggal 10 November 1945..

            Tewasnya Mallaby memang masih kontroversial, namun mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian-kesaksian justru datang dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris dan cocok dengan keterangan-keterangan para pelaku sejarah dan saksi mata di pihak Indonesia..  

Pada pertempuran yang berlangsung di Surabaya tanggal 28 dan 29 Oktober 1945, Inggris mencatat kehilangan 18 perwira, termasuk Brigjen AWS Mallaby dan Brigjen Robert Guy Loder-Symonds serta 374 serdadu yang tewas, luka-luka dan hilang. Sedangkan di pihak Indonesia diperkirakan sekitar 6.000 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.    

Tentara Inggris kehilangan potensi perangnya sekitar 8% anggota tentaranya. Angka yang sangat tinggi untuk Pemenang Perang Dunia II, mengingat sebagian terbesar dari para Arek Suroboyo tidak memiliki pengalaman tempur. Banyak yang baru pertama kali menggunakan senjata.  

Di sini letak kebanggaannya, bahwa para PEMUDA PRIBUMI dari seluruh pelosok Indonesia, TEPAT 17 TAHUN SETELAH SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928 berhasil memaksa PEMENANG PERANG DUNIA II MENGIBARKAN BENDERA PUTIH.

Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan:[30]

The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town.

Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.”


10 November 1945.  Pemboman Inggris atas Surabaya

Dalam waktu singkat dan secara diam-diam tentara Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat besar. Ini meupakan mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai.

Pada 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, Afrika Utara di mana pasukan Marsekal Rommel, perwira tinggi Jerman yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby.

Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot). 

Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.

Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan rincian dari ultimatum tersebut.

Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul 14.00. adalah :

November, 9th. 1945.

TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.

On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.

The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java.


Instructions
My orders are:

1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.

2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.

3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.

4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.

5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.

6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java

Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia: 

“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” 

Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.

Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan, untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.

Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.

Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.

Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong... 

Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”


Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis: 

Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.

Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka, termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah sakitnya ikut terkena bom.

Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:

- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.

Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.

Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.

Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.”
Willy Meelhuijsen mengutip tulisan seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:[31]

The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support. No longer could any serious observer defend such a view.”

Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari lima pertempuran dan perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran “Medan-Area,” Pertempuran Bojong Kokosan (Jawa Barat) dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari, bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan Inggris sebagai tulang punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan Linggajati.


Ibukota RI Pindah Ke Yogyakarta

Dengan ikut di boncengan tentara Inggris, tentara Belanda dapat masuk  ke wilayah Republik Indonesia. Tentara Belanda dinyatakan sebagai bagian dari RAPWI. Namun ternyata di seluruh wilayah Indonesia, tentara Belanda terus merekrut bekas anggota KNIL, dan mulai melakukan teror dan pembunuhan terhadap pendukung Republik Indonesia.

Apabila tentara Belanda melihat ada orang yang mengenakan lencana merah putih, maka orang itu dipaksa untuk menelan lencana tersebut. Tentara Belanda juga sering menembak secara membabi-buta, bahkan di Jakarta mereka menembak ke arah mobil-mobil pejabat Republik Indonesia.

Di beberapa kota, karena adanya ancaman dari pihak Belanda, penyelenggaraan pemerintahan di pihak Republik Indonesia terpaksa dipindahkan ke luar kota.

Demikian juga di Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, makin mencekam, dan akhirnya Presiden Sukarno memutuskan untuk memindahkan pemerintahan ke kota lain.

Pada 2 Januari 1846, Sultan Hamengku Buwono IX menawarkan Yogyakarta sebagai tempat untuk menyelenggarakan roda pemerintahan Republik Indonesia. Presiden Sukarno menyambut baik tawaran tersebut, karena Yogyakarta dinilai paling aman untuk pimpinan Republik Indonesia.

Pada 4 Januari 1946, di pagi buta, Presiden, Wakil Presiden dan para menteri serta keluarganya, dengan cara yang sangat rahasia, naik kereta api khusus yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA). Kediaman Presiden Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur terletak tepat dekat jalur kereta api dari Gambir menuju Yogyakarta.

Kereta api berhenti tepat di belakang kediaman Presiden Sukarno, dan kemudian Presiden beserta rombongan berhasil masuk ke kereta api, tanpa diketahui oleh pihak Belanda. Perjalanan ke Yogyapun berlangsung dengan lancer dan aman.

Sejak itu, Yogyakarta menjadi Ibukota RI sementara. Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) diresmikan pada 27 Desember 1949, maka Batavia (tanggal 30 Desember 1949 diganti menjadi Jakarta) menjadi Ibukota RIS.


Belanda Memperkuat Tentaranya di Indonesia

Sementara itu Inggris secara resmi mengizinkan masuknya tentara Belanda ke Indonesia. Selama ini, tentara Belanda berlindung di balik kedok RAPWI dan sebagai pejabat sipil di NICA (Netherlands Indies Civil Administration), karena Pemerintah Republik dengan tegas menentang masuknya tentara Belanda kembali ke Indonesia, dan Inggris yang tidak ingin adanya konflik terbuka dengan pihak republik, masih menahan masuknya tentara Belanda secara resmi ke Indonesia.

Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat mau pun udara yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan tentara Republik. Segera setelah diangkat menjadi Panglima tertinggi Tentara Belanda di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Spoor mengemukakan rencananya untuk membentuk pasukan infanteri, komando serta parasutis yang mendapat pelatihan istimewa.

Pada 3 Maret 1946, 60 orang serdadu Belanda tiba di Indonesia dan langsung dibawa ke Bandung, di mana mereka memperoleh pelatihan dari perwira Belanda yang berasal dari Korps Insulinde. Setelah itu, realisasi untuk pembentukan pasukan parasutis berjalan dengan cepat. Pada 12 Maret 1946, Letnan KNIL Jhr. M.W.C. de Jonge, Letnan KNIL Sisselaar dan Letnan KNIL A.L. Cox (dari Angkatan Udara) ditugaskan ke Eropa untuk melakukan penelitian serta meminta bantuan dari unit parasutis Inggris dan melakukan segala sesuatu yang memungkinkan pelatihan parasutis di India Belanda.[32]

Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek, dua perwira Belanda yang pernah bertugas di Korps Insulinde, dipanggil dari Sri Lanka ke Jakarta untuk menjadi pelatih calon pasukan para. Pada 15 Maret 1946 secara resmi School voor Opleiding van Parachutisten – SOP (Sekolah Pelatihan Parasutis) didirikan dan Kapten C. Sisselaar menjadi komandan pertamanya.[33] Pasukan jebolan SOP inilah yang kemudian digunakan dalam agresi militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 untuk diterjunkan di bandara Maguwo dan di atas Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia waktu itu.

Agar supaya tidak dapat diketahui oleh pihak Republik, kamp pelatihan dipilih sangat jauh, yaitu di Papua Barat. Semula dipilih Biak, di mana terdapat bekas pangkalan udara tentara Amerika yang masih utuh. Kemudian pada bulan April tempat pelatihan dipindahkan ke Hollandia, juga di Papua Barat, yang arealnya dinilai lebih tepat untuk dijadikan kamp pelatihan.

Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m dan berat badan tidak lebih dari 86 kg. Selain tentara yang berasal dari Belanda, orang Eropa dan Indo-Eropa juga pribumi yang menjadi tentara KNIL ikut dilatih di sini. Mereka bukan saja berasal dari suku Ambon dan Menado, melainkan juga orang Jawa, Sunda, Timor, Melayu, Toraja, Aceh dan dari etnis Cina. Pelatihan yang dimulai sejak bulan April 1946 sangat keras, sehingga banyak yang tidak lulus pelatihan tersebut. Sekitar 40% pribumi, 20% orang Eropa dan 15% orang Indo-Eropa dinyatakan tidak lulus menjalani pelatihan.[34]

Pada 1 Mei 1947 telah terbentuk Pasukan Para I (1e para-compagnie) yang beranggota 240 orang di bawah pimpinan C. Sisselaar, yang pangkatnya naik menjadi Kapten. Pada 1 Juni 1947, pasukan para tersebut dibawa ke lapangan udara militer Belanda, Andir (sekarang bandara Hussein Sastranegara), di Bandung. Dengan demikian pasukan ini berada tidak jauh dari kamp pelatihan tentara KNIL di Cimahi. Namun parasut yang dipesan sejak bulan Desember 1946 di Inggris baru tiba pada bulan Oktober 1947.[35]

Untuk Angkatan Darat, dibentuk pasukan khusus seperti yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Birma. Perwira Inggris yang legendaris, Jenderal Mayor Charles Orde Wingate (1903 – 1944) membentuk pasukan khususnya yang sangat terkenal yaitu “The Chindits”, yang mampu menerobos garis pertahanan Jepang untuk kemudian beroperasi dari belakang garis pertahanan musuh. Taktik seperti ini kemudian dikenal sebagai “Operasi Wingate”, yang juga banyak dipergunakan oleh TNI selama agresi militer Belanda II.

 Sejak kedatangannya di Indonesia pada bulan Desember 1945, Kapten KNIL W.J. Schneepens[36] mengembangkan gagasan untuk membentuk suatu “speciaale troepen” (pasukan khusus) dalam KNIL. Gagasan ini kemudian mendapat persetujuan pimpinannya. Pada 15 Juni 1946 dia mendirikan pusat pelatihan yang dinamakan Depot Speciale Troepen – DST (Unit Pasukan Khusus) yang ditempatkan langsung di bawah Directoraat Centrale Opleidingen - DCO (Direktorat Pusat Pelatihan) yang dipimpin oleh Mayor Jenderal KNIL E. Engles. Direktorat ini baru dibentuk setelah Perang Dunia II untuk menangani pelatihan pasukan yang akan dibentuk di India Belanda. Kamp dan pelatihan DST ditempatkan di Polonia, Jakarta Timur.[37]

Sejak 20 Juli 1946, Letnan II (Cadangan) Westerling diangkat menjadi Komandan pasukan khusus ini. [38] Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat, dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap sebagai Letnan II (Cadangan).[39] Namun dengan latar belakang gemblengan yang luar biasa kerasnya di Achnakry, Skotlandia, dia berhasil meningkatkan mutu pasukan yang dipimpinnya menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan. Setelah “berhasil” menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan dan namanya membumbung tinggi, dan diberi kepercayaanya untuk tetap memegang komando pasukan elit ini, dan kemudian pangkatnya naik menjadi kapten.


Persetujuan Linggajati[40]

Di kancah diplomasi, untuk perundingan selanjutnya Pemerintah Inggris mengirim seorang diplomat senior lain, Lord Miles Lampson Killearn,[41] menggantikan Sir Archibald Clark-Kerr, yang karena jasa-jasanya, tingkat kebangsawanannya naik; Sir Archibald Clark Kerr kemudian begelar Lord Inverchapel dan mendapat tugas di Washington.[42]

Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang paling dibenci oleh Belanda, diganti oleh Letnan Jenderal Sir Montague (“Monty”) Stopford, seorang keturunan langsung dari Admiral Stopford, komandan armada Inggris yang bersama Sir Thomas Stamford Raffles mengusir tentara Belanda dari India Belanda tahun 1811. Jenderal Stopford tidak lama bertugas di Indonesia karena dia sangat tidak menyenangi situasi yang dihadapi, yang dinilainya penuh ketidakjujuran dan intrik, dan tidak cocok untuk seorang perwira dan gentleman. Pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada van der Post:[43]
I cannot imagine circumstances more lethal for a simple soldier than this mess of pottage you have in Indonesia.”

Stopford kemudian digantikan oleh Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, yang menjadi Panglima AFNEI sampai penarikan seluruh tentara Inggris, 15th British Army Corps, dari Indonesia pada akhir bulan November 1946.
Gilbert MacKereth, atasan van der Post, semula adalah Konsul Jenderal Inggris kemudian diangkat menjadi The British Minister in Indonesia. Di akhir masa tugasnya di Indonesia dia membuat laporan kepada Pemerinrah Inggris, di mana dia memberikan catatan, bahwa keganasan perilaku Belanda dan para serdadunya terhadap rakyat Indonesia  telah membuat syok serdadu Inggris. Mengenai laporan Mackereth, van der Post menulis:[44]

“… Gilberth MacKereth, in his own report to the Secretary of State at the end of his mission, was to remark how the brutal behaviour of the Dutch and their soldiery towards the Indonesians had schocked the ordinary British soldiers.”

Sayang MacKereth tidak menyampaikan hal tersebut pada awal atau di tengah, melainkan di akhir masa tugasnya di Indonesia, sehingga keganasan tentara Belanda serta antek-anteknya terhadap rakyat Indonesia tidak dapat diketahui di Inggris. Selain itu MacKereth juga tidak menutupi kekejaman tentara Inggris terhadap rakyat Indonesia, terutama di Surabaya.

Inggris, sekarang diwakili oleh Lord Killearn, memfasilitasi kembali perundingan lanjutan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda yang dimulai pada 7 Oktober 1946.[45] Delegasi Republik tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir, dan delegasi Belanda kini dinamakan Komisi Jenderal yang dipimpin oleh Profesor Willem Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Tanggal 14 Oktober diumumkan berlakunya gencatan senjata.

Hal ini sangat diinginkan oleh Inggris, agar mereka dapat dengan tenang menarik seluruh tentaranya dari medan pertempuran melawan Republik, serta memulangkan para prajurit yang telah jenuh dengan perang -sejak tahun 1939, mulainya Perang Dunia II yang pecah di Eropa- kembali ke negaranya.

Pada 11 November 1946 tempat perundingan dipindahkan ke Linggajati, dekat Cirebon, sehingga perjanjian tersebut kemudian dinamakan Persetujuan Linggajati.


Agresi  I. Belanda Melanggar Perjanjian Linggajati

Naskah tersebut yang diparap di Jakarta pada 15 November 1946, tidak segera mendapat dukungan yang mulus, baik di pihak Republik mau pun di pihak Belanda. Pada 20 Desember 1946, Tweede Kamer di Belanda menerima Naskah setelah dilakukan voting dengan suara 65 lawan 30.

Tanggal 25 Februari 1947, BP KNIP yang berfungsi sebagai DPR Sementara, bersidang di Malang, guna membahas Persetujuan Linggajati. Selain yang hadir sebagian besar adalah pengikut Syahrir, terhadap para penentang Persetujuan tersebut dilancarkan berbagai intimidasi.

Bahkan dalam rapat pleno KNIP, Wakil Presiden Hatta mengancam, bahwa Sukarno-Hatta akan mengundurkan diri, apabila Persetujuan Linggajati tidak disahkan. Akhirnya Syahrir berhasil memuluskan pengesahan KNIP atas Persetujuan Linggajati. Pada 25 Maret 1947 Persetujuan Linggajati ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda di Istana Gambir, Jakarta.

Di kalangan Republik, hasil Persetujuan Linggajati sangat tidak memuaskan. Bagi kelompok “garis keras”, yang juga dikenal sebagai pendukung “100% merdeka”, hasil tersebut sangat mengecewakan. Tanggal 26 Juni 1947, kabinet Sutan Syahrir jatuh dan beberapa hari kemudian, Mr. Amir Syarifuddin Harahap, yang waktu itu masih satu garis dengan Syahrir, diangkat menjadi Perdana Menteri.

Setelah selesai perundingan di Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino” diselenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang tanggal 1 Oktober 1946 dan kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946.

Pulau Bali ternyata belum sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Menjelang persiapan “Konferensi Besar” di Denpasar bulan Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda.

Tanggal 19 November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan. Belanda melakukan serangan balasan. Tanggal 20 November 1946 pukul 06.00, pasukan Belanda memulai penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci, dekat desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari udara.

Setelah melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00 pertempuran berakhir. Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai bunga bangsa, bersama 96 anak buahnya pada pertempuran tanggal 20 November 1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang Puputan Margarana. Ini adalah suatu bukti lagi kebohongan Belanda, yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka kuasai, rakyat setempat mendukung mereka.
Kekuatan pendukung Republik di Indonesia Timur terlihat dalam pemilihan Presiden Negara Indonesia Timur pada “Konferensi Besar” pada bulan Desember 1946 di Denpasar, di mana Cokorde Gde Raka Sukawati hanya menang tipis, yaitu 36 lawan 32, atas saingannya, Mr. Tajuddin Noor, yang -sebelum dibubarkan Belanda tanggal 8 September 1946- adalah Ketua Partai Nasional Indonesia di Sulawesi. Mr. Tajuddin Noor adalah pendukung Republik, dan menjadi oposisi yang vokal dalam Negara Indonesia Timur (NIT) bentukan van Mook.

Setelah berhasil mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Cokorde Gde Raka Sukawati sebagai Presiden dan Najamuddin Daeng Malewa sebagai Perdana Menteri, pada 25 Desember 1946, Belanda membentuk Negara Sumatera Timur, dengan dr. Tengku Mansur, yang masih kerabat Sultan Deli, sebagai Wali Negara. 

Pada 4 Mei 1947 van Mook kembali menunjukkan “keberhasilannya” dalam politik divide et impera dengan membentuk “Negara Pasundan” dan mengangkat Surya Kartalegawa sebagai “Kepala Negara”, namun Kartalegawa sendiri kurang mendapat dukungan dari rakyat Jawa Barat. Setelah itu, pada 9 Mei 1947 Belanda mendirikan “Dewan Federal Borneo Tengah” dan pada 12 Mei 1947 mendirikan “Daerah Istimewa Borneo Barat”, dengan Sultan Hamid II dari Pontianak sebagai “Kepala Negara.”

Sejarah mencatat, bahwa Belanda –seperti juga Inggris sebelumnya- berkali-kali melanggar kesepakatan ataupun perjanjian yang telah ditandatangani, baik oleh pimpinan sipil maupun militer.

Nampaknya, bagi mereka perjanjian dengan pimpinan dari negara bekas jajahan seperti tidak ada artinya –ini jelas pelecehan yang sangat merendahkan harga diri sebagai bangsa yang berdaulat. Selain terus membentuk negara-negara boneka di wilayah yang mereka kuasai, tentara Belanda terus melancarkan serangan-serangan terhadap daerah-daerah yang resmi dikuasai oleh Republik.

Tanggal 15 Juli van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Persetujuan Linggajati ini dilanggar Belanda dengan melancarkan agresi militer pada tanggal 21 Juli 1947 yang menggunakan kode "Operatie Product", kemudian dikenal sebagai Agresi I. Sesuai dengan namanya, tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.

Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisional, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai 113.000 orang, dengan persenjataan yang modern.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J.A.Moor menulis agresi militer I Belanda dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga menggunakan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) dan Pasukan Para I. Pasukan KST (perkembangan dari DST) yang sejak kembali dari Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda yang menggunakan kode "Operatie Product", berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat penting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang kini tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, tanggal 31 Juli 1946 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda, dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB yang kemudian setelah bersidang, mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar pertikaian bersenjata dihentikan.

Syahrir memimpin delegasi Republik Indonesia dan tiba di Amerika pada 5 Agustus 1947. Seminggu kemudian delegasi Indonesia diterima Security Council (Dewan Keamanan) PBB. Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi Belanda tersebut, yang dinilai telah melanggar suatu perjanjian internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Dewan Keamanan PBB mengakui de facto  eksistensi Republik Indonesia dan dalam semua resolusi sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, serta resolusi No. 36, tanggal 1 November 1947, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan “The Indonesian Question.”

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda menyatakan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947, Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham. KTN ini ditugaskan untuk berangkat ke Yogyakarta.

Karena Komite ini tidak bisa segera berangkat ke Indonesia, maka PBB memberikan mandat kepada beberapa Konsul Jenderal yang ada di Jakarta, yaitu dari Amerika Serikat, Australia, Belgia, Cina, Inggris dan Perancis, untuk membentuk Komisi Konsuler, yang diketuai oleh Dr. Walter Foote, Konsul Jenderal Amerika Serikat.

Komisi ini dibantu oleh beberapa perwira Amerika Serikat dan Prancis, sebagai pengamat militer dan akan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata serta menjadi fasilitator perundingan antara pihak Republik dengan pihak Belanda. Namun Belanda menolak untuk menarik kembali tentaranya batas demarkasi sebelum agresi militer mereka, dan tanggal 29 Agustus 1946, van Mook mengajukan batas yang dinamakan “garis van Mook”, yang adalah pelanggaran batas demarkasi yang ditetapkan dalam Persetujuan Linggajati.


Persetujuan Renville

Dengan difasilitasi oleh Committee of Good Offices for Indonesia,  pada 8 Desember 1947 dimulai perundingan antara Belanda dan Indonesia di Kapal Perang AS Renville sebagai tempat netral, karena Pemerintah Republik Indonesia menolak berunding di Jakarta.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Dan yang sangat luar biasadi sini adalah, delegasi Kerajaan Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Di sini terlihat jelas keberhasilan politik divide et impera Belanda yang dapat menampilkan seorang pribumi untuk menghadapi bangsanya sendiri.

Pada perundingan di kapal Renville tersebut, Belanda kembali menunjukkan keunggulan berdiplomasi dalam perundingan dan di lain pihak, Indonesia menunjukkan kelemahannya. Belanda bersikukuh dengan sikap mereka, yaitu tidak bersedia mundur ke batas demarkasi sebelum agresi militer, dan tetap mempertahankan batas demarkasi baru yang dinamakan “Garis van Mook” setelah agresi mereka.

Garis van Mook itu untuk Belanda merupakan “Dream Line” (garis impian) dan dengan demikian Belanda memperoleh penambahan wilayah yang sangat besar, baik di Sumatera mau pun di Jawa, terutama daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh Belanda, terutama minyak dan hasil pertambangan lain.

Tanggal 17 Januari 1948, selain disepakati adanya gencatan senjata, juga ditandatangani kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai “Persetujuan Renville.


Pembentukan PDRI

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

 Isi Surat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta adalah sebagai berikut:[46]

Kami Presiden RI memberitahukan bahwa pada hari Minggu, tanggal 19 Desember 1948, pukul 6 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas Ibukota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan pada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera.

                                                                        Yogyakarta, 19 Desember 1948

Presiden                                                                    Wakil Presiden
Sukarno                                                                     Mohammad Hatta

Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI,  L.N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi yang isinya:

Pro: dr. Sudarsono/Palar/Mr. Maramis. New Delhi.
Jika ikhtiar Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra tidak berhasil, kepada Saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk “Exile Government of the Republic of Indonesia” di India.
Harap dalam hal ini berhubungan dengan Syafruddin di Sumatra. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya.

                                                            Yogyakarta, 19 Desember 1948

Wakil Presiden                                             Menteri Luar Negeri

Mohammad Hatta                                        Agus Salim

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa. Isi surat tersebut adalah:[47]
I.              Dipermaklumkan bahwa dalam rapat Dewan Menteri tanggal 16 Desember ybl. Telah diputuskan, bahwa selama P.Y.M. Presiden dan Wakil Presiden berhalangan, pimpinan Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri, yaitu:
1.     Menteri Dalam Negeri, 2. Menteri Kehakiman, 3. Menteri Perhubungan.
II.            Dari 3 Menteri tersebut tadi pada waktu ini 2 orang yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kehakiman berada di suatu tempat di luar daerah Yogyakarta. Selain daripada beliau-beliau itu di tempat tersebut juga berada Menteri Persediaan Makanan dan Menteri Pembangunan dan Pemuda.
III.           Berhubung dengan sejak tanggal 19 Desember 1948 hubungan dengan Yogyakarta terputus, maka 2 orang Menteri tersebut di atas juga duduk dalam pimpinan Pemerintahan Pusat, menganggap perlu mengusahakan agar pemerintahan dapat terus berjalan seperti biasa.
IV.          Untuk keperluan ini, selama Menteri yang bersangkutan berhalangan mengerjakan tugasnya, diadakan pembagian pekerjaan sebagai berikut:
a.    Pekerjaan Kementerian Pertahanan, Kementerian Agama dan Kementerian Perhubungan dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Dr. Sukiman, yang juga memimpin Kabinet.
b.    Pekerjaan Kementerian Keuangan, Kementerian Kemakmuran dan Kementerian Pekerjaan Umum dipimpin oleh Menteri Persediaan Makanan Kasimo.
c.     Pekerjaan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Penerangan dipimpin oleh Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno.
d.    Pekerjaan Kementerian Perburuhan dan Sosial, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kehakiman Mr. Susanto.

Demikian pembagian kerja yang diputuskan oleh keempat Menteri yang berada di Jawa.

Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, mengunjungi Mr. T. Mohammad Hassan, Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh di selatan kota Payakumbuh.

Di Sumatera Barat, tentara Belanda dapat menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari kemudian masuk ke Bukittinggi.
Sejumlah tokoh pimpinan Republik yang berada di Sumatera Barat dapat berkumpul di Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. St. M. Rasyid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracaya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto,, Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat  Presiden Sukarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:[48]
1.                    Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI/Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan/Menteri Luar Negeri a.i.
2.                    Mr. T. M. Hassan, Wakil Ketua PDRI/Menteri Dalam Negeri/Menteri PPK/Menteri Agama,
3.                    Mr. St. M. Rasyid, Menteri Keamanan/Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda,
4.                    Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan/Menteri Kehakiman,
5.                    Ir. M. Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum/Menteri Kesehatan,
6.                    Ir. Indracaya, Menteri Perhubungan/Menteri Kemakmuran.

Kapten Dartoyo, Kepala Perhubungan MBT Yogyakarta, menuturkan, berita mengenai pemberian mandat tersebut dikirim melalui radiogram melalui pemancar radio AURI di Wonosari, karena pemancar radio MBT telah dibom Belanda pada pagi hari itu.[49] Panglima Besar Jenderal Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI.

Sekitar satu bulan setelah agresi militer Belanda, dapat terjalin komunikasi antara pimpinan PDRI dengan keempat Menteri yang berada di Jawa. Mereka saling bertukar usulan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di Sumatera dan Jawa. Akhirnya, menanggapi usulan PDRI, Mr. Susanto mengirim kawat kepada Prawiranegara yang isinya:

1.    Menarik kawat Y.M. kepada Menteri Kasimo tanggal 14 Maret No. 243, kami sampaikan pendapat kami seperti berikut.
2.    Pada umumnya kami setujui rencana susunan Kabinet dan pembagian pekerjaan yang termuat dalam kawat tersebut.
3.    Hanya beberapa perobahan kami usulkan ialah:
a.    Sebaiknya Kabinet ini menamakan dirinya tidak “Pemerintah Darurat Republik Indonesia”, akan tetapi “Pemerintah Pusat Republik Indonesia”, karena “peraturan” dapat bersifat darurat akan tetapi “pemerintah” yang menamakan dirinya darurat dapt menimbulkan keragu-raguan tentang syahnya pemerintah itu.
b.    Berhubung dengan gugurnya sdr. Supeno, kami di samping Kementerian Kehakiman merangkap menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda.
c.    Para anggota kabinet di Jawa tidak merupakan Komisariat Pemerintah Pusat, karena kami tidak berkumpul di satu tempat.
d.    Tiap-tiap Menteri dalam keadaan yang mendesak berhak mengatur soal yang masuk kekuasaan Menteri lain, dengan bertindak atas namanya, misalnya kami sendiri telah menetapkan peraturan tentang Promesse – Negara dengan menandatangani: Pemerintah Pusat Republik Indonesia, Menteri Keuangan, untuk beliau Menteri Kehakiman.
e.    Tentang politik luar negeri, bagian kabinet yang di Sumatera dalam keadaan yang mendesak dapat mengambil keputusan sendiri, akan tetapi sekali-kali tidak boleh melepaskan tuntutannya Pemerintah Republik selengkapnya sebelum terjadi serangan Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, artinya Presiden, Wakil Presiden, semua Menteri serta pucuk pimpinan tentara, harus dikembalikan dalam kekuasaannya sepenuhnya dengan jaminan immuniteit dari PBB.
f.     Demikianlah pendapat kami.

Menteri Kehakiman
Mr. Susanto Tirtoprojo.

Setelah “konsultasi jarak jauh” dengan pimpinan Republik di Jawa, maka pada 31 Maret 1948 Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia sebagai berikut:[50]

1.    Mr. Syafruddin Prawiranegara, Ketua merangkap Menteri Pertahanan dan Penerangan,         
2.    Mr. Susanto Tirtoprojo, Wakil Ketua merangkap Menteri Kehakiman dan Menteri Pembangunan dan Pemuda, 
3.    Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri  (berkedudukan di New Delhi, India).
4.    dr. Sukiman, Menteri Dalam Negeri merangkap Menteri Kesehatan.
5.    Mr. Lukman Hakim, Menteri Keuangan.
6.    Mr. Ignatius J. Kasimo, Menteri Kemakmuran/Pengawas Makanan Rakyat.
7.    Kyai Haji Masykur, Menteri Agama.
8.    Mr. T. Moh. Hassan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
9.    Ir. Indracahya, Menteri Perhubungan.
10. Ir. Mananti Sitompul, Menteri Pekerjaan Umum.
11. Mr. St. Moh. Rasyid, Menteri Perburuhan dan Sosial.

Pejabat di bidang militer:
a.    Letnan Jenderal Sudirman, Panglima Besar Angkatan Perang RI.
b.    Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Tentara & Teritorium Jawa.
c.    Kolonel R. Hidayat Martaatmaja, Panglima Tentara & Teritorium Sumatera.
d.    Kolonel Nazir, Kepala Staf Angkatan Laut.
e.    Komodor Udara Hubertus Suyono, Kepala Staf Angkatan Udara.
f.     Komisaris Besar Polisi Umar Said, Kepala Kepolisian Negara.
Kemudian tanggal 16 Mei 1949, dibentuk Komisariat PDRI untuk Jawa
yang dikoordinasikan oleh Mr. Susanto Tirtoprojo, dengan susunan sbb.:
1.    Mr. Susanto Tirtoprojo, urusan Kehakiman dan Penerangan.
2.    Mr. Ignatius J. Kasimo, urusan Persediaan Makanan Rakyat.
3.    R. Panji Suroso, urusan Dalam Negeri.

Selain dr. Sudarsono, Wakil RI di India, Mr. Alexander Andries Maramis, Menteri Luar Negeri PDRI yang berkedudukan di New Delhi, India, dan Lambertus N. Palar, Ketua delegasi Republik Indonesia di PBB, adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan Republik Indonesia di dunia internasiona,l sejak Belanda melakukan Agresi II. Dalam situasi ini, secara de facto, Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. [51]

Mengenai peran PDRI, Nasution mencatat: [52]
“ Umum mengerti dan mengetahui bahwa promotor perjuangan formil adalah PDRI, semenjak Belanda menduduki Yogyakarta, jadi richtpunkt dari perjuangan menjadi kepada PDRI.”

Penangkapan terhadap pimpinan pemerintah Indonesia serta serangan terhadap pasukan Indonesia, dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia waktu itu, yaitu di Sumatera, Jawa dan Madura. Seluruh perwira dan prajurit TNI serta laskar-laskar yang belum sempat diintegrasikan ke dalam TNI, segera ke luar kota, demikian juga di Yogyakarta.

Masing-masing satuan menuju ke tempat yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perintah yang tertuang dalam Siasat No. 1 dilaksanakan, yaitu sambil mundur ke wilayah pegunungan, bumi hangus segera dilakukan, terutama menghancurkan jembatan-jembatan agar supaya tidak dapat dilalui kendaraan militer Belanda.

Namun dengan berhasilnya pihak Indonesia membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, secara hukum internasional, Republik Indonesia masih eksis. Demikian juga dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), karena agresi militer Belanda II telah diantisipasi sebelumnya, sehingga seluruh kekuatan TNI di Jawa dan Sumatera tetap utuh.

Reaksi Internasional Terhadap Agresi Militer Belanda


Setelah berita mengenai agresi militer Belanda yang dilancarkan pada 19 Desember 1949 disiarkan di seluruh dunia, berbagai kritik dan bahkan kecaman tajam dilontarkan oleh banyak negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan tanggal 20 Desember, berarti sehari setelah agresi militer Belanda, Dewan Keamanan PBB segera bersidang di Lake Success, dan kemudian dilanjutkan tanggal 22 Desember di Paris,[53] yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negara) yang datang dari Indonesia dan memberikan laporannya.

Pada sidang tersebut, Uni Sovyet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai agresor, namun usul tersebut ditolak oleh sidang. Dewan Keamanan menerima usul Amerika Serikat, Siria dan Kolumbia, yaitu agar tembak-menembak segera dihentikan, dan semua orang Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dibebaskan.

Kemudian Dewan Keamanan menerima usul resolusi dari wakil Ukraina, Vassily A. Tanassenko, dan mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan tertanggal 24 Desember 1948, yang isinya menyerukan kepada Belanda untuk segera menghentikan aksi militernya. Karena tidak dipatuhi oleh Belanda, Dewan Keamanan mengeluarkan lagi resolusi tanggal 28 Desember, dengan tambahan agar pembesar-pembesar Republik Indonesia yang ditawan, dibebaskan tanpa syarat dalam waktu 24 jam. Kedua resolusi tersebut juga diabaikan oleh Belanda.

Tanggal 31 Desember, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Simon H. Spoor, mengumumkan penghentian tembak-menembak yang tampaknya hanya sekadar basa-basi -berlaku di atas kertas saja- karena setelah itu, tentara KNIL di seluruh Indonesia terus melancarlkan serangan terhadap tentara Indonesia di wilayah Republik, serta menangkap pimpinan Repulik. Perdana Menteri Belanda, Dr. Willem Drees, menyatakan bahwa “aksi polisional” mereka telah selesai, dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Hampir semua negara Asia dan Arab menyampaikan nota protes, baik yang ditujukan kepada pemerintah Belanda, mau pun ditujukan kepada Dewan Keamanan PBB.[54]

Aksi boykot terhadap Belanda dilancarkan oleh banyak negara. Hanya berselang dua hari setelah agresi militer Belanda, tanggal 21 Desember 1948, pemerintah Sri Langka menutup semua pelabuhan dan  bandar udaranya bagi kapal dan pesawat terbang Belanda yang mengangkut senjata dan personal militer ke Indonesia. Dua hari kemudian, pemerintah India dan Pakistan mengambil langkah yang lebih keras, yaitu melarang semua pesawat KLM terbang di atas wilayah atau mendarat di bandar udara kedua negara tersebut.

Tanggal 31 Desember 1948, Serikat Pelaut Australia, sejalan dengan Serikat Buruh Pelabuhan Australia, memboikot kapal-kapal Belanda yang akan berlayar menuju Indonesia. Sebagai reaksi atas agresi Belanda tersebut, pemerintah Irak awal Januari 1949, melarang pesawat udara Belanda, KLM, mendarat di wilayah Irak. Selain itu, negara-negara Asia dan Arab yang tidak lagi memberi fasilitas pengangkutan darat, laut dan udara kepada Belanda adalah Birma, Sri Langka, India, Pakistan dan Arab Saudi.

Sikap pemerintah Amerika Serikat dipaparkan dalam jawaban Menteri Muda Luar Negerinya, Lovett, kepada Philip Murra, ketua Congress of Industrial Organizations tanggal 23 Desember 1948, yang isinya antara lain:[55]

“Patut diingat, bahwa wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan telah mengambil inisiatif mengajukan sebuah resolusi, dalam mana kedua fihak diminta supaya membicarakan penghentian permusuhan, menarik tentara masing-masing ke kedudukannya sebelum aksi militer tanggal 18 Desember, dan membebaskan semua tahanan politik.
Amerika Serikat terang tidak menyetujui atau membenarkan suatu penyelesaian soal Indonesia dengan kekerasan. Tentang tindakan Dewan Keamanan selanjutnya, hal itu akan tergantung dari sifatnya, paling sedikit Dewan keamanan dapat mendorong tercapainya suatu persetujuan…”

Seorang senator wanita Amerika Serikat, Margaret Chase Smith menyerukan antara lain:[56]
“ Dalam kesempatan pertama saya berbicara sebagai senator Amerika Serikat ini, saya terdorong oleh apa yang ada dalam hati setiap wanita Amerika, yaitu berseru kepada Ratu Belanda supaya menggunakan kekuasaan yang ada padanya sebagai ratu untuk menghentikan pertempuran antara Belanda dan Indonesia. Wanita seluruh dunia kini berada dalam percobaan. Ratu Juliana dengan keputusannya akan dapat membuktikan kepada dunia, kehendak dan kekuatan wanita untuk tahun-tahun yang akan datang. Kesempatan baik yang ada pada Ratu Juliana ini merupakan kesempatan yang belum pernah ada dalam sejarah ...

…Belanda telah mencemoohkan PBB dengan tindakan yang dinamakan “aksi polisional.” Akibatnya, sudah banyak rakyat yang terbunuh karena penggunaan senjata. Jika PBB tidak berhasil menghentikan peperangan ini, maka hari kemudiannya sendiri akan terancam. Akan tetapi PBB tidak dapat berbuat lebih dari apa yang dikendaki oleh “Big Four”. Hal ini dengan sendirinya mengajukan masalah ini langsung kepada Amerika Serikat sebagai salah satu anggota “Big Four”. Soalnya ialah, apakah yang dapat kita perbuat?
Oleh karena sudah terang sekali bahwa Belanda telah memulai peperangan itu. Maka yang menjadi soal sekarang ialah, bagaimana kita dapat mengusahakan supaya Belanda menghentikan peperangan itu. Jalan yang paling tegas ialah memutuskan bantuan melalui Rencana Marshall kepada Belanda, jika permintaan kita gagal.”

Pemerintah Belanda nampaknya tidak menduga reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari Pemerintah dan Senat Amerika Serikat, serta Dewan Keamanan PBB, yang segera mengeluarkan dua resolusi berturut-turut. Kesibukan luar biasa timbul di Belanda, baik di kalangan pemerintah maupun di Parlemen.

Merle Cochran, wakil Amerika Serikat yang ditunjuk sebagai Ketua KTN, awal Januari dipanggil oleh Dewan Keamanan untuk memberikan laporannya mengenai situasi di Indonesia. Dalam Sidang Dewan Keamanan yang dilangsungkan di Lake Success tanggal 7 Januari 1949, wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB, Philip Jessup menyampaikan sikap Pemerintah Amerika Serikat, yang lebih tegas daripada yang dikemukakan oleh Lovett tanggal 23 Desember 1948.

Tamparan pertama dari pihak BFO adalah pengunduran diri Ketua “Negara Pasundan”, Mr. Adil Puradireja, sebagai protes terhadap agresi militer Belanda tersebut.[57]

Setelah mengadakan perundingan dengan WTM (Wakil Tinggi Mahkota) Dr. Beel, maka tanggal 13 Januari Perdana Menteri Belanda Dr. Drees mengadakan pertemuan dengan pimpinan BFO. Hadir antara lain Sultan Hamid II, dr. T. Mansur, Abdul Malik, R.A.A. Wiranata Kusumah, A. Kusumonegoro, R.A.A. Cakraningrat, serta sejumlah wakil dari daerah-daerah lain. Setelah pertemuan dengan Drees, BFO mengadakan perundingan tersendiri, dan kemudian mengeluarkan komunike sebagai berikut:
“Pertemuan permusyawaratan federal yang bersidang pada tanggal 13 Januari di Jakarta, berkehendak agar selekas mungkin, dengan jalan damai, dibentuk NIS yang merdeka dan berdaulat, dan menyatakan:
1.    bahwa sangatlah perlu membentuk pemerintah federal nasional untuk seluruh Indonesia, sebagai asas (beginsel) untuk peralihan ke arah NIS yang merdeka dan berdaulat;
2.    bahwa beslit BIO diterima sebagai pangkal permulaan pembentukan pemerintah tersebut;
3.    bahwa sangatlah perlu sebelum membentuk pemerintah nasional yang dimaksudkan di atas, terlebih dahulu diadakan permusyawaratan dengan para terkemuka yang berasal dari daerah-daerah yang belum tersusun menurut beslit BIO pasal 5."


Serangan Umum 1 Maret 1949[58]

Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar, dalam rapat pimpinan tertinggi militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing, yang selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dihadiri oleh Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan juga pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.[59]

Hutagalung menyampaikan gagasan, yang kemudian dibahas bersama-sama. Inti gagasannya yang dikemukakan sebagai “grand design” adalah:

Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreis I, II dan III,
Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer,
Mengadakan serangan spektakuler[60] terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.

Jadi tujuan utama adalah: "Bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia" kepada dunia internasional. Untuk "menunjukkan" eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat “perwira-perwira yang berseragam TNI.”

Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, “grand design” yang dimajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah:

Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat "direbut" walau hanya untuk beberapa jam, akan sangat berpengaruh besar.

Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCII (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.

Sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa kali serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah "terlatih" dalam menyerang pertahanan tentara Belanda.

Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat. Mengenai Wongsonegoro, Nasution menulis:[61]

“Gubernur Wongsonegoro memberikan contoh yang baik sebagai gubernur gerilya. Ia dengan tabah mengikuti Markas Gubernur Militer yang sering berpindah-pindah di gunung-gunung.”

Indriastuti  juga menulis mengenai Wongsonegoro:[62]

“… Setelah konsolidasi selesai, maka Panglima Kolonel Bambang Sugeng beserta Stafnya selanjutnya mulai mengadakan kerjasama dengan unsur pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro, yang walau pun usianya sudah lanjut tetapi dengan setia selalu mengikuti kepindahan markas gerilya Divisi III ini, untuk persiapan menyusun Pemerintahan Militer di wilayah Divisi III.”

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk "skenario" seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna "menunjukkan diri" kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut.

Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Pertanyaannya adalah: "Bagaimana menyebarluaskan ke dunia internasional?" Untuk hal ini, akan diminta bantuan Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan, berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat.

Diperkirakan, apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat, seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi IIIGM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak, dapat diperlambat.[63]

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking, ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan secara tertulis oleh pemerintah militer setempat.

Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total -sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1- yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan:[64]

Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.

Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas.[65]

Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreis II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreis I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreis III/Brigade 10 Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.

            Selesai rapat, diputuskan untuk segera berangkat malam itu juga guna menyampaikan "grand design" kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divis selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga Kol. Sarbini, dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang supir dari dr. Kusen,[66] Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung), beberapa anggota staf GM serta pengawal.

Pertama-tama Panglima Divisi beserta rombongan mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang di Pedukuhan Banaran. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang. Dalam catatan harian tertanggal 18 Februari 1949, Simatupang menulis:[67]

"... Kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer daerah Yogyakarta-Kedu-Banyumas-Pekalongan-sebagian dari Semarang) datang dan bermalam di Banaran.

Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah: Yogya harus direbut dengan senjata. Paling sedikit dia ingin bahwa Yogyakarta kita serang secara besar-besaran agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak tertahan (onhoudbar).

Demikianlah kurang lebih jalan pikiran dan perasaan dari Bambang Soegeng yang dapat saya tangkap dari pembicaraan-pembicaraan dengan dia waktu berada di Banaran.

Saya jelaskan bahwa hari dan cara penyerahan Yogyakarta kepada kita belum lagi ditentukan, sehingga masih ada cukup waktu untuk melancarkan serbuan atas Yogyakarta.

Sama sekali tidak ada larangan untuk menyerang dan ditinjau dari segi diplomasi, maka saya anggap bahwa setiap serangan yang spektakuler, justru dapat memperkuat kedudukan kita.

Dengan Kolonel Soegeng masih saya bicarakan berapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya."

Simatupang dimohon untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melalui pemancar radio di Playen yang berada di bawah kewenangan AURI (Angkatan Udara RI) dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreis I Kolonel Bachrun.  Bunyi instruksi rahasia tertanggal 18 Februari 1949 adalah (copy asli, lihat lampiran):

STAF DIVISI III/G.M.III

INSTRUKSI RAHASIA
Tanggal: 18/II/1949

            Berkenaan dengan Instruksi Rahasia yang diberikan kepada Cdt. Daerah III (Letn. Koln. Suharto, untuk mengadakan gerakan serangan besar-besaran terhadap Ibukota yang akan dilakukan antara tanggal 25/II/1949 s/d. 1/III/1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan dari Brigade IX.


Dengan ini diperintahkan kepada:
                    Comandant Daerah I

Untuk : 1. Pada waktu bersamaan dengan tanggal tersebut di atas (25/II/1949  s/d.
      1/III/1949 mengadakan serangan-serangan serentak terhadap salah satu
      obyek musuh di Daerah I untuk mengikat perhatian musuh dan mencegah
      balabantuan untuk Yogyakarta. 
  2. Selesai.

                                                Dikeluarkan di : tempat
                                                Tanggal         : 18-II-1949.
                                                Jam                 : 20.00

       (tandatangan)

                                                Gub.Mil III/Panglima Div.III
                                                (Kolonel Bambang Sugeng)

Catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang, dan Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949 memperkuat bukti, bahwa perintah penyerangan datang dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, sebagaimana tertera dalam buku Laporan dari Banaran, yang pertama kali diterbitkan tahun 1960.

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.

Tanggal 19 Februari Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa.

Rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis, yang akan diberi seragam perwira TNI. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreis III melalui pegunungan Menoreh, untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan sempat mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih.[68]

Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreis III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. [Rincian pertemuan ini lihat pada tulisan Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr.Hutagalung].

Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.

            Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (tidak jelas apakah keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

Dalam wawancara dengan Indriastuti, Sutan Jajuli menuturkan, bahwa Panglima Divisi bertemu dengan Letkol Suharto di desa Panjatan. Ia mengatakan:[69]

“…Sehubungan dengan dikeluarkannya instruksi tersebut, maka pada bulan yang sama Panglima mengadakan pertemuan rahasia dengan Letkol Suharto selaku Komandan Wehrkreis III di desa Panjatan, kecamatan Wates, Yogyakarta. Dalam pertemuan ini, Panglima didampingi oleh beberapa orang staf yang antara lain Mayor Wiluyo Puspoyudo, Suyud serta Letnan II Sutan Jajuli. Adapun tujuan pertemuan ini bagi Letkol Suharto adalah melaporkan akan adanya Serangan Umum 1 Maret tersebut, sekaligus mohon doa restu kepada Panglima….”

Kemungkinan yang dimaksud oleh Jajuli adalah pertemuan kedua antara Kolonel Bambang Sugeng dengan Letnan Kolonel Suharto, sekitar tanggal 23 atau 24 Februari 1949, di mana Suharto menyampaikan progress report persiapan pelaksanaan tugas yang telah diberikan sebelumnya.

Pada 25 Februari 1949 Simatupang memulai perjalanan ke wilayah-wilayah gerilya di Jaw Tengah dan Jawa Timur, sebagaimana tertera dalam catatan hariannya. Dari catatan harian ini terlihat, bahwa Simatupang telah mendapat informasi mengenai kepastian tanggal pelaksanaan Serangan Umum yang dibahasnya bersama Panglima Divisi pada 18 Februari di Banaran. Simatupang menulis:[70]

“...Besoknya tanggal 28 Februari kami tiba di sebuah desa dekat Playen yang bernama Banaran. Di Pulau Jawa banyak desa-desa yang bernama Banaran, Kalibawang dan seterusnya. Pemancar radio yang mula-mula berada di lapangan terbang AURI dekat Wonosari telah dipindahkan di suatu tempat tidak jauh dari Banaran ini. Dari perwira AURI di sini, yang menjadi tuan rumah kami hari itu, saya dengar bahwa selain daripada pemancar Wonosari ada juga beberapa pemancar kita yang kuat yakni di Kotaraja, di sekitar Bukittinggi ....

            Kebanyakan dari pemancar-pemancar ini adalah pemancar-pemancar dari AURI dan dalam hal memelihara hubungan, radio AURI telah memberikan sumbangan yang besar selama perang rakyat ini…”.

Perwira AURI yang ditemui Simatupang di Playen adalah Budiarjo,[71] yang memperkuat keterangan Simatupang. Dalam bukunya, Budiardjo menulis:[72]

“... Pangkalan di Playen itulah yang kemudian terbukti berjasa, ketika berhasil menyiarkan berita keberhasilan Serangan Umum Satu Maret 1949 ke luar negeri.
Peristiwa Serangan Umum Satu Maret sangat penting, sebagai usaha membuktikan bahwa Yogya sebagai Ibukota perjuangan Republik Indonesia belum sepenuhnya jatuh ke tangan Belanda. Dengan peralatan radio PC2 kita yang sangat sederhana menjalin jaringan dengan stasiun-stasiun radio sejenis di Sumatera maka kita dapat merelay berita Serangan Umum itu melalui Birma dan India, sampai ke perwakilan kita di Sidang Dewan Keamanan PBB ...

... Sehari menjelang 1 Maret, dalam perjalanan ke Jawa Timur Kolonel Simatupang singgah ke Playen membawa berita tentang Serangan Umum Satu Maret yang akan dilaksanakan esok harinya. Saya menerima teks[73] dan briefing secukupnya di rumah paling depan, sebelum lorong yang menuju ke rumah keluarga Pawirosoetomo dengan di wanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya, setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949.

Tulisan Pak Simatupang tersusun jelas, dalam bahasa (Inggris - pen.) yang bagus dan rapi. Sayang sekali saya tidak berani menyimpan teks itu, setelah disiarkan. Seperti biasa, kami hancurkan semua dokumen, ketika mengadakan evakuasi.

Siaran itu berhasil menembus blokade informasi Belanda. Dari Playen siaran ditangkap dan diteruskan oleh teman-teman di Bukittinggi. Dari sana diteruskan ke Aceh, kemudian secara estafet ke Burma dan akhirnya India. Dari New Delhi, All India Radio menyiarkan ke seluruh penjuru dunia pada malam hari itu juga. Alangkah bahagianya kami, dua hari berikutnya kami memantau berita All India Radio yang menyiarkan teks radiogram kami. Isinya sama, kata demi kata….”

Dalam kesempatan itu, melalui pemancar dari Playen Wakil KSAP pada tanggal 28 Februari 1949 juga mengawatkan kepada PDRI yang kemudian diteruskan ke perwakilan New Delhi, antara lain:

“…..Resolusi dewan Keamanan mencari jalan meniadakan hasil-hasil agresi Belanda sehingga perundingan yang jujur dapat diadakan kembali. Sebaliknya rencana Belanda mencari legalisasi hasil-hasil agresi oleh pemimpin-pemimpin itu untuk mempermudah lanjutan agresi.

Soal Indonesia hendak diselesaikan secara hervorming van het koninkrijk. Rencana Belanda kabur, tidak ada jaminan bahwa hasil-hasil yang dapat diperoleh dengan rencana tersebut akan disokong oleh bagian terbesar rakyat Indonesia, sehingga rencana itu itdak mengandung jaminan bahwa akan tercapai penyelesaian yang kekal….”

Selain pemancar radio AURI di Playen, yang menyiarkan berita mengenai serangan tersebut, adalah pemancar radio milik Bagian Penerangan Pemerintah di Wiladek. Selanjutnya dalam catatan hariannya Simatupang menulis:[74] 

“...Tanggal 1 Maret 1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir. Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa. Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949, pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran. Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik bagi kita…”

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Mengenai operasi militer ini, di dalam buku yang diterbitkan oleh SESKOAD tertulis:[75]

"Serangan umum yang akan dilaksanakan oleh WK III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melakukan operasi untuk mengimbangi serangan umum WK III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi di daerah Surakarta (Solo) dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang."

Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan pasukan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00. Mengenai serangan tersebut, Belanda mengumumkan:[76]

Hari Selasa pagi tanggal 1 Maret lebih kurang pukul 04.00 pos-pos Belanda yang berada di perbatasan Kota Yogya telah ditembaki. Tepat pukul 06.00 di pelbagai tempat di dalam kota terjadi penembakan secara gencar. Dua serangan telah dilakukan oleh gerombolan-gerombolan dari jurusan barat, sedang percobaan serangan ketiga dilakukan dari jurusan selatan, di mana terletak Kraton-dalam.

Segera militer Belanda mengambil tindakan untuk mematahkan serangan-serangan itu. Dengan melintas kota sebuah kolone dikerahkan ke tempat yang terancam di selatan kota itu guna menghadapi gerombolan yang menyerang. Kolone tersebut ditembaki dengan hebat dari bagian kraton luar. Setelah berhasil mencapai tembok utara kraton-dalam, mereka lalu ditembaki dari arah kraton. Tembakan juga datang dari penembak-penembak yang bersembunyi di pohon-pohon halaman kraton-dalam.

Karena itu komandan kolone minta supaya diizinkan memasuki kraton, permintaan mana segera dikabulkan oleh Sri Sultan sendiri. Sri Sultan menerangkan, bahwa di halaman kraton-dalam tidak ada anggota gerombolan yang menyerang. Penyelidikan lebih lanjut dilakukan.

Kekacauan berakhir lebih kurang pukul 11 pagi. Ditaksir ada kira-kira 2.000 orang anggota gerombolan yang setelah menyusun kekuatannya di sekitar kota, melancarkan serangan ke dalam kota. Para penyerang, yang sebagian bersenjakan kuat, telah dapat dicerai-beraikan di semua tempat dengan menderita kerugian besar dan terpaksa meninggalkan sejumlah besar senjatanya.

Di fihak Belanda 6 orang tewas, di antaranya 3 orang anggota polisi; selain itu 14 orang mendapat luka-luka.

Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.

Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.

Dalam  serangan   terhadap   Yogya,   pihak  Indonesia   mencatat   korban   sebagai berikut:[77]
            300 prajurit tewas,
53 anggota polisi tewas,
Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.

Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.

Islam Salim mencatat, Perwakilan RI di PBB menerima berita mengenai serangan tersebut bukanlah dari New Delhi, melainkan dari Indonesia Office di Singapura. Dalam bukunya, Islam Salim menulis:[78]

"Prakarsa UNCI untuk Perjanjian Roem - Royen di atas, diambil sesuai dengan keputusan PBB dalam Sidang Umumnya di Paris, yang menghendaki agar kedua pihak yang bertikai kembali ke meja perundingan, karena Sidang Umum PBB telah mengkonstatir kegagalan Agresi Kolonial Belanda dengan tetap tegaknya Negara RI. Hal ini, antara lain, didasarkan atas press release Press Officer Perwakilan RI di PBB Soedjatmoko, tentang terjadinya serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, di daerah Brigade X/Wehrkreise III di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, yang beritanya diterima melalui Mayor Wibowo dari Indonesia Office di Singapura."

Konferensi Meja Bundar (KMB)

Dengan diberlakukannya gencatan senjata sesuai hasil Persetujuan Rum-Royen, maka tak ada lagi halangan bagi penyelenggaraan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Republik Indonesia mengirim delegasi yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta, dengan anggota antara lain Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr. M. Rum, Ir. Juanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Joyohadikusumo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamijoyo dan Kolonel Simatupang. Selain sepuluh anggota delegasi, rombongan Republik dibantu oleh sekitar 40 penasihat ahli, baik bidang politik, hukum, sosial, kebudayaan dan bidang kemiliteran serta sejumlah tenaga staf sekretariat.

Para penasihat tersebut antara lain Mr. M. Yamin dan Mr. Sutikno Slamet, Ketua Mahkamah Agung. Untuk bidang militer dipimpin oleh dr. J. Leimena, dengan anggota antara lain Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel Subiyakto, Kepala Staf Angkatan Laut, Komodor Udara Suryadarma, Kepala Staf Angkatan Udara, Sukanto, Kepala Kepolisian Negara, Letnan Kolonel Daan Yahya, Mayor Haryono dan pakar hukum kemiliteran, Mr. Hamid Algadrie.[79]

Konferensi Meja Bundar dibuka tanggal 23 Agustus 1949 di Ridderzaal (Bangsal Ksatria) Den Haag. Delegasi BFO dipimpin oleh Perdana Menteri BFO, Anak Agung Gde Agung dengan anggota delegasi antara lain Sultan Hamid II, Mr. Makmun Sumadipraja, Kolonel KNIL Sugondo dan Kapten KNIL Tahiya. Delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Urusan Provinsi Seberang Laut, J.H. van Maarseven.

Pada konferensi tersebut, dibentuk komisi-komisi yang akan membahas berbagai aspek dalam rangka serah-terima dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), serta persiapan pembentukan Uni Indonesia - Belanda. Komisi-komisi tersebut adalah komisi ketatanegaraan dan hukum negara, komisi keuangan dan perekonomian, komisi  kemiliteran, komisi kebudayaan dan komisi sosial. Di komisi kemiliteran, delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II.

Perundingan yang sangat alot timbul di komisi ketatanegaraan, komisi keuangan dan komisi kemiliteran. Sehubungan dengan wilayah kedaulatan RIS, delegasi Republik mengajukan tuntutan, bahwa wilayah tersebut adalah bekas Hindia Belanda, termasuk Irian Barat (Nieuw Guinea), yang tentu tidak disetujui oleh Belanda. Dalam masalah Irian Barat, BFO, terutama Anak Agung Gde Agung sepakat dengan pihak Republik, yaitu bahwa Irian Barat harus termasuk wilayah RIS. Perdebatan mengenai masalah ini -sampai akhir KMB- tidak mencapai kata sepakat, sehingga diputuskan untuk menyatakan status quo bagi Irian Barat, yang berarti tetap di bawah administrasi Belanda. Dengan demikian delegasi Belanda memenangkan perundingan mengenai Irian Barat.

Di komisi keuangan dan perekonomian, Belanda menuntut -dan berhasil- bahwa RIS akan menanggung hutang Pemerintah India Belanda sejak tahun 1932 dan ironisnya, termasuk utang Belanda yang dibuat antara tahun 1945 - 1949, berarti biaya yang dikeluarkan oleh Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Semula Belanda menuntut pembayaran sebesar 6 milyar gulden, yang dinilai oleh Merle Cochran terlalu tinggi, dan akhirnya delegasi RI menyetujui pembayaran kepada Pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden. Sampai tahun 1954, Pemerintah RIS, kemudian diteruskan oleh Pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar, sebelum dihentikan oleh Sukarno. Selain itu, juga diputuskan untuk mengembalikan semua hak milik orang Belanda di Indonesia.[80]

Di bidang kemiliteran, Belanda juga membukukan sejumlah keuntungan, yang mempunyai dampak sangat panjang. Angkatan Perang RIS (APRIS) harus menampung seluruh serdadu KNIL yang pribumi dengan pangkat yang sama. Namun dalam pelaksanaannya, sebelum diserahkan kepada APRIS, para serdadu KNIL dinaikkan pangkatnya, bahkan dikabarkan bahwa ada yang langsung naik dua tingkat. Di tahun tujuhpuluhan, ada bekas serdadu KNIL -yang hingga akhir tahun 1949 masih bertempur untuk Belanda melawan Republik- berhasil mencapai pangkat Mayor Jenderal. Dengan menawarkan bantuan militer yang dinamakan Nederlandsche Militaire Missië (NMM) untuk APRIS, perwira-perwira Belanda dengan berkedok sebagai penasihat militer, dapat leluasa bergerak di seluruh Indonesia dan mengadakan infiltrasi-infiltrasi serta mempengaruhi perwira-perwira APRIS, mantan anak buah mereka.

Bersamaan dengan berlangsungnya KMB, konferensi Inter-Indonesia juga dilaksanakan di negeri Belanda guna merumuskan konstitusi Republik Indonesia Serikat, sebagai kelanjutan perundingan di Yogyakarta tanggal 22 Juli 1949 dan di Jakarta tanggal 1 Agustus 1949. Tanggal 29 Oktober 1949, di Scheveningen ditandatangani Piagam Persatuan Republik Indonesia Serikat, yang ditandatangani oleh:[81]
1. Mr. Susanto Tirtoprojo,                            untuk Republik Indonesia,
2. Raja Kaliamsyah Sinaga,                      untuk Negara Sumatera Timur,
3. Raja Mohammad,                                    untuk Daerah Otonom Riau,
4. Abdul Malik,                                              untuk Daerah Otonom Sumatera Selatan,
5. Mohammad Yusuf Rasidi,                     untuk Daerah Otonom Bangka,
6. K.A.Mohammad Yusuf,                          untuk Daerah Otonom Belitung,
7. Mr. R.T. Jumhana Wiriaatmaja,             untuk Negara Pasundan,
8. dr. R. Sujito,                                              untuk Negara Jawa Tengah,
9. R.Sudarmo,                                              untuk Negara Jawa Timur,
10. R.A.A. Cakraningrat,                             untuk Negara Madura,
11. Sultan Hamid II,                                     untuk Daerah Otonom Kalimantan Barat,
12. Aji Pangeran Sosronegoro,                 untuk Daerah Otonom Kalimantan Timur,
13. Mohammad Hanafiah,                         untuk Daerah Otonom Banjar,
14. Mochram bin Haji Moh. Ali,                 untuk Daerah Otonom Dayak Besar,
15. M. Yamani,                                             untuk Daerah Otonom Kalimantan Timur,
16. Ide Anak Agung Gde Agung,              untuk Negara Indonesia Timur.

Perundingan KMB berakhir tanggal 1 November 1949 dan ditandatangani kesepakatan antara Republik Indonesia, BFO dan Kerajaan Belanda yang difasilitasi oleh UNCI (United Nations Commission on Indonesia).[82]


“Intermezzo”  Republik Indonesia Serikat (RIS)

Tanggal 14 November 1949, rombongan delegasi Indonesia di bawah pimpinan Drs. M. Hatta, tiba kembali di Yogyakarta. Hasil-hasil Konferensi Meja Bundar perlu diratifikasi oleh semua negara dan daerah otonom yang akan menjadi anggota RIS, dalam hal ini oleh Pemerintah Republik Indonesia dan semua negara-negara federal bentukan van Mook.

Pada 14 Desember 1949 di Jakarta, wakil dari semua negara anggota BFO dan Pemerintah Republik Indonesia, menandatangani Konstitusi RIS.[83] Sementara itu, sejak awal Desember 1949, di Yogyakarta KNIP mulai membahas semua hasil-hasil KMB. Mengenai hal ini, Sumantri mencatat:[84]

“…Akan tetapi di Yogyakarta, pada sidang Pleno KNIP penerimaannya tidaklah begitu menggembirakan, karena kebanyakan dari anggota KNIP insyaf, bahwa untuk memperoleh perdamaian dengan Belanda itu telah diberikan terlalu banyak konsesi kepada Belanda, sehingga pembentukan RIS itu sesungguhnya berarti penyelewengan terbesar dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Meskipun demikian, kebanyakan anggota KNIP insyaf, bahwa pada waktu itu tidak ada jalan lain, melainkan menerima segala naskah yang dibuat oleh KMB di Den Haag itu. Juga naskah Konstitusi RIS, tidak dapat dirubah sedikitpun; untuk ini para anggota KNIP tidak diberi kesempatan sama sekali. Mereka hanya harus mensyahkan saja dan memilih seorang wakil bagi setiap 12 orang anggota KNIP, untuk duduk dalam Dewan Perwakilan RIS…”

Setelah satu minggu bersidang, diambil pemungutan suara untuk pengesahan seluruh hasil Konferensi Meja Bundar dengan hasil, 236 suara menerima dan 62 suara menolak hasil KMB. Tanggal 15 Desember 1949, KNIP meratifikasi hasil-hasil KMB.
Selain menunjuk wakil-wakil untuk duduk di Senat RIS, KNIP juga menunjuk wakil-wakil Republik Indonesia untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Demikian juga dengan negara-negara anggota BFO, yang mengirim wakil mereka untuk duduk di Senat dan DPR RIS..

Pada 16 Desember 1949 di Yogyakarta, Panitia Pemilihan Nasional RIS memilih Ir. Sukarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) pertama, dan peresmiannya dilakukan tanggal 17 Desember 1949. KNIP kemudian mengangkat Mr. Assaat Datuk Mudo, Ketua KNIP, sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia.

Dengan demikian, Mr. Assaat de facto Presiden Republik Indonesia kedua yang memegang jabatan ini hingga tanggal 15 Agustus 1950. Setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, Mr. Asaat menyerahkan kembali jabatan Presiden RI kepada Ir. Sukarno.

DPR RIS kemudian memilih empat orang menjadi formatur kabinet, yaitu Drs. Mohammad Hatta, Anak Agung Gde Agung, Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamid II.[85] Pada 19 Agustus 1949 terbentuklah Kabinet RIS dengan susunan:[86]

Perdana Menteri                  : Mohammad Hatta
Menteri Luar Negeri                        : Mohammad Hatta
Menteri Pertahanan                        : Hamengku Buwono IX
Menteri Dalam Negeri         : Ide Anak Agung Gde Agung
Menteri Keuangan              : Mr. Syafruddin Prawiranegara
Menteri Perekonomian       : Ir. Juanda
Menteri Perhubungan dan
Pekerjaan Umum                 : Ir. H. Laoh
Menteri Kehakiman             : Prof. Dr. Mr. supomo
Menteri P dan K                   : dr. Abu Hanifah
Menteri Kesehatan              : dr. Josef Leimena
Menteri Perburuhan                        : Mr. Wilopo
Menteri Sosial                      : Mr. Kosasih Purwanegara
Menteri Agama                     : K.H. Wahid Hasyim
Menteri Penerangan           : Arnold Mononutu
Menteri Negara                    : Sultan Hamid Alkadrie II
                                                  Mr. Mohammad Rum
                                                  Dr. Suparno

Upacara "penyerahan kedaulatan" dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) berlangsung secara bersamaan di dua tempat. Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Perdana Menteri RIS M. Hatta atas nama Pemerintah RIS, menerima "kedaulatan" dari Ratu Juliana, dan di Jakarta, Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX menerima "kedaulatan RIS" dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.J. Lovink.

Pada upacara tersebut yang berlangsung di Istana di Gambir (sekarang Jl. Medan Merdeka Utara) yang dihadiri oleh sejumlah wakil dari negara-negara sahabat seperti India, Pakistan, Filipina, Birma, Thailand, Arab Saudi dll., satu regu tentara Belanda dari KL menurunkan bendera Merah-Putih-Biru, dan regu TNI menaikkan bendera Merah-Putih.[87]

Pada 28 Desember 1949, Presiden RIS, Ir. Sukarno bersama rombongan diantar oleh Pejabat Presiden Republik Indonesia, Mr. Assaat Datuk Mudo, ke bandar udara Maguwo dan dengan dua pesawat istimewa berangkat menuju Jakarta. Presiden RIS beserta rombongan tiba di Jakarta pukul 11.40, disambut oleh Wakil Perdana Menteri RIS, Hamengku Buwono IX dan ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta.[88]

Sejarah mencatat, RIS tidak bertahan lama. Satu per satu “Negara-Negara Bagian” bentukan Belanda dibubarkan oleh rakyatnya, atau membubarkan diri, kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Akhirnya hanya tersisa 3 Negara Bagian, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur.

Pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran RIS. Pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.


Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yang sangat penting, yaitu:

  1. Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara dimulai dari tanggal 30 Mei 1619, yaitu dengan jatuhnya Jayakarta ke tangan Belanda, dan berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang di Lanud Kalijati, Subang, Jawa Barat, dan menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

  1. Belanda memerlukan waktu lebih dari 300 tahun untuk dapat membangun imperium jajahannya yang dinamakan Nederlands Indie.

  1. Masa pendudukan Jepang di wilayah bekas jajahan Belanda dari tanggal 9 Maret 1942, sampai tanggal 15 Agustus 1945, yaitu ketika Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu, dan menghentikan semua aktifitas sipil dan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk bekas jajahan Belanda, India-Belanda.

Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani pada 2 September 1945.

Antara 15 Agustus 1945 – 2 September 1945 terdapat kekosongan kekuasaan (vacuum of power).

  1. Di masa kekosongan kekuasaan, pemimpin Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17.Agustus 1945.

Kemudian tanggal 2 September 1945 membentuk pemerintahan Republik Indonesia. Dengan demikian proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17.8.1945 memiliki landasan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo, 26.Desember 1933. Walaupun sebenarnya kemerdekaan sesuatu Negara tidak mmembutuhkan pengakuan dari siapapun, sejauh Negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri dari serangan Negara lain.

  1. Karena tidak ada pemerintahan yang berkuasa, maka proklamasi 17.8.1945, bukan revolusi dan  bukan pemberontakan.

Periode antara tahun 1945 – 1949/1950 bukan perang kemerdekaan, melainkan perang MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN.

  1. Ketika Belanda dan sekutunya datang ke Indonesia dan dengan kekuatan militer ingin menguasai Indonesia, maka Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan AGRESI MILITER.

  1. Selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, tentara Belanda, Inggris dan Australia telah melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, a.l. dengan pembantaian terhadap sekitar satu juta rakyat Indonesia, penduduk sipil (non-combatant). Semua kejahatan tersebut oleh Dewan Keamanan PBB dinyatakan tidak kadalursa.
  2. Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena apabila beanda mengakui 17.8.1945. maka belanda terpaksa mengakui, yang dinamakan “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER terhadap suatu Negara MERDEKA dan BERDAULAT. Akibatnya, Belanda harus membayar PAMPASAN PERANG,dan tentara Belanda menjadi PENJAHAT PERANG!

  1. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH BELANDA ATAU JEPANG, karena sebagai entitas politik dan berdasarkan hukum internasional baru eksis sejak 17 Augustus 1945.

Sumpah Pemuda pribumi dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda pada 28 Oktober 1928, merupakan pencetusan kehendak untuk mendirikan NEGARA BANGSA (Nation State), yang terwujud pada 17 Agustus 1945.

Belanda berusaha menguasai Republik Indoneesia. Tentara Belanda dibantu tiga Divisi tentara Inggris dan dua Divisi tentara Australia, yang adalah PEMENANG PERANG DUNIA II, ditambah pasukan KNIL dan Pasukan Cina Po An Tui, TIDAK BERHASIL MENGALAHKAN TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) bersama rakyat Indonesia.

Fakta ini yang harus menjadi kebanggaan Bangsa dan Tentara Nasional Indonesia.

Keberadaan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi menunjukkan, bahwa secara politis Republik Indonesia masih eksis.

Yang dijajah Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Nusantara/Asia Tenggara.

Yang diduduki oleh Jepang adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Bukan Indonesia.

  1. Di Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Bandung  bulan April tahun 1955 atas prakarsa Republik Indonesia, hadir hanya 29 negara-negara Asia dan Afrika. Pada peringatan ke 50 KAA tahun 2005, hadir 89 kepala negara/kepala pemerintahan dari negara-negara Asia-Afrika.

Artinya, tahun 1955 sekitar 60 negara-negara di Asia dan Afrika masih merupakan jajahan negara-negara Eropa.

Ini juga berarti, bahwa Indonesia adalah Pelopor Kemerdekaan Bangsa-Bangsa Terjajah setelah usai Perang Dunia II. Diikuti oleh Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.

Kedua negara ini menunjukkan kepada dunia, bahwa negara bekas jajahan sanggup mempertahankan kemerdekaan dengan kekuatan senjata terhadap agresi militer mantan penjajah, yang adalah PEMENANG PERANG DUNIA II.


*******
 Catatan kaki.


[1] Ewald Vanvugt:  Wettig opium 350 jaar Nederlandse opiumhandel:  http://www.indeknipscheer.com/ewald-vanvugt-wettig-opium-350-jaar-nederlandse-opiumhandel-2/  
[2] “Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910.” 

[3] Willard, Hanna A., "Indonesian Banda", Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991 (Reprint).

[4] Leirissa, Prof. Dr. R.Z., Perdagangan dan Kekerasan Pada Masa VOC. Lihat Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), Verenigde Oostindische Companie (VOC). Dua Sisi Dari Perusahaan Multinasional Dunia Yang Pertama. Hasil Seminar – Forum Dialog Indonesia – Belanda. Diterbitkan oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta. Jakarta, Juli 2003. Hlm. 65 – 66.
[5] Lohanda, Mona, Peran Sejarah dari Masa VOC di Nusantara. Lihat Hadi Soewito, Dra. Irna H.N. (Editor), op.cit., hlm. 120. Akumulasi utang pemerintah India Belanda kepada pemerintah Belanda sbagai Negara induknya, tahun 1949 mencapai 6,5 milyar gulden. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda Agustus – November 1949, pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Indie Belanda, diharuskan membayar utang tersebut. Disepakati jumlah yang harus dibayar sebesar 4,5 milyar gulden (lebih dari 1 milyar US $). Setelah pemerintah RIS dibubarkan pada 16.8.1950, pemerintah RI melanjutkan pembayaran sampai tahun 1956. Telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan pembayarannya oleh pemerintah RI.
[6] Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 94.
[7] Dr. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 11, Angkasa, Bandung, 1977, hlm. 5 dan 21.
[8] Dr. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, jilid 11, Angkasa, Bandung, 1977, hlm. 5 dan 21.
[9] Batara R. Hutagalung, 10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?, Yayasan Persahabatan
   10 November ‘45/Millenium Publisher, Jakarta 2001, hlm. 69.
[10] Post, Laurens van der, The Admiral's Baby, John Murray, London, 1996,  hlm. 30
[11] Ibid., hlm. 220.
[12] Lebra, ibid., hlm. 140 – 142.
[13] Ibid., hlm. 111 dan 122.
[14] Anderson, ibid., hlm. 46.
[15] Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[16] Menurut Anderson, pertemuan tersebut tanggal 11 Agustus (lihat Anderson, Prof. Dr. Benedict R., Revolusi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 -1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988. hlm. 85), namun Hatta menulis (lihat Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982.  hlm. 437), bahwa pertemuan tersebut berlangsung tanggal 12 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
[17] Anderson, loc.cit..
[18] Louis Mountbatten, !st Earl, Viscount Mountbatten Of Burma, Baron Romsey Of Romsey. Nama aslinya
     adalah Louis Francis Albert Victor Nicholas, Prince Of Battenberg, anak keempat dari Prinz (Pangeran)
     Ludwig von Battenberg –kemudian menjadi Marquess of Milford Haven- dan isterinya, Prinzessin Victoria
     von Hesse-Darmstadt (cucu Queen Victoria, ratu Inggris).
[19] Nasution, ibid., hlm. 63.
[20] Dr. Roeslan Abdulgani,  Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia, Cetakan VI, PT
     Jayakara  Agung Offset, Jakarta, 1995, hlm. 4.
[21]  R. Subiantoro, Mayjen (Purn.). Makalah dalam seminar internasional “The Battle of Surabaya, November
   1945. Back Ground and Consequences”,  Lemhannas, 27 Oktober 2000.
[22] Hanafi, A.M., Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997,
     hlm. 20 – 29.
[23] Anderson, ibid., hlm. 104 – 105.
[24] Menurut kalender Jawa, tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat Legi, dan bagi orang Jawa, ini
    merupakan hari baik.
[25] Teks lengkap lihat lampiran
[26] Teks lengkap lihat lampiran
[27] Teks lengkap lihat lampiran
[28] NEFIS didirikan pada bulan April 1943 di Australia. Pada 1944 dikembangkan menjadi satu Direktorat
    dengan enam Seksi dan lima Dinas di mana bertugas sekitar 200 orang militer KNIL Simon H. Spoor  pada
    Februari 1945 naik pangkat menjadi Kolonel.  NEFIS mulai beroperasi di Jakarta sejak bulan Oktober 1945.
[29] Teks lengkap lihat lampiran
[30] Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996

[31] Meelhuijsen, Willy, Revolutie in Soerabaja. 17 Agustus - 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, Netherlands, 2000
[32] Moor, J.A. de, Westerling's Oorlog, Indonesie 1945 - 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999, hlm. 201.
[33] Ibid., hlm. 202.
[34] Ibid., hlm. 205.
[35] Ibid., hlm. 205 – 206.
[36] Ayahnya, Lekol W.B.J.A. Scheepens adalah perwira Korps Marechaussee (marsose) yang bertugas di
    Aceh. Dia tewas pada tahun 1913 akibat tusukan rencong.
[37] Moor, ibid., hlm. 61.
[38] Ibid., hlm. 248.
[39] Ibid., hlm. 85.
[40] Selama puluhan tahun ada perbedaan pendapat mengenai penulisan nama Linggajati  (tanpa huruf: R) atau
    Linggarjati.Dalam Simposium “Museum Linggarjati” yang diselenggarakan pada 17 Oktober 2002 di Jakarta,
    penulis meneliti beberapa tulisan yang diberikan, antara lain dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan.
    Dari data-data yang diberikan, terungkap, bahwa rumah tempat Sutan Syahrir menginap berada di desa
    Linggasana, dan di sekitar tempat tersebut terdapat obyek wisata Bukit Linggamekar. Hadir dalam simposium
    juga beberapa orang Belanda, a.l. kakak-beradik van Oost, yang lahir di rumah yang kemudian dijadikan
    tempat perundingan. Mereka memberikan keterangan, bahwa dahulu penulisan Linggajati tanpa huruf R.
    Selain itu, ada seorang peserta dari Belanda yang kebetulan membawa peta dari tahun 1930, di mana tertera,
    bahwa penulisan nama Linggajati memang tanpa huruf R.
[41] Kemudian tingkat kebangsawanannya juga naik menjadi Baron.
[42] Van der Post, ibid., hlm. 268.
[43] Ibid., hlm. 171.
[44] Ibid., hlm. 173.
[45] Hatta, ibid., hlm. 493.
[46] SESKOAD, op.cit., hlm. 76 - 77.
[47] Yayasan 19 Desember 1948, Dokumen RIPRESS Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 – 1949, Balai Pustaka,
    Jakarta 1994, 52.
    RIPRESS (Republik Indonesia Press) adalah badan penyiaran berita seperti Kantor Berita ANTARA, yang
    beroperasi selama Perang Kemerdekaan 1948 – 1949.
[48] Hassan, H. Ismael, Hari-Hari Terakhir PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Lahirnya, Tugas dan
    Perjuangan, Jakarta, 2002,  hlm. 7 – 11.
[49] Nasution, Perjuangan Nasional di Bidang Angkatan bersenjata., hlm. 149.
[50] Salim, op.cit., hlm. 45 – 47.
[51] Dalam otobiografinya, Memoir, Hatta menulis : “Mr. Syafruddin Presiden Darurat.” Lihat Hatta, Memoir,
     hlm. 540. Beberapa pihak berpendapat, bahwa posisi Syafruddin waktu itu “hanya” setingkat dengan Perdana
     Menteri (Kepala Pemerintahan), dan bukan Kepala Negara.
[52] Nasution, ibid., hlm. 157.
[53] Tempat bersidang Dewan Keamanan PBB adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis.
[54] Nasution,  Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia,  jilid 11, hlm. 15 – 32.
[55] Ibid , hlm. 18.
[56] Ibid., hlm. 19 - 20.
[57] Sumantri, Prof. Iwa Kusuma SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 - 3, Jakarta 1963, jilid dua, hlm. 202.
[58] Dikutip dari buku: Hutagalung, Batara R., Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LkiS, Yogyakarta 2010.
[59] Selengkapnya  lihat lampiran, cuplikan buku Letkol. TNI (Purn.) dr. W. Hutagalung
[60] Formulasi yang dipakai oleh Hutagalung, juga ditulis oleh Simatupang dalam catatan harian tertanggal
    18 Februari  1949. Lihat Laporan dari Banaran, hlm. 60.
[61] Nasution, ibid., jilid 10, hlm. 47.
[62] Indriastuti, ibid., hlm. 65
[63] Mengenai operasi GM II, lihat: SESKOAD, ibid., hlm. 197.
[64] Ibid., hlm. 356.
[65] Kartohadikusumo, ibid.,  hlm. 194 - 198.
[66] Keterangan dari Bambang Purnomo. Bambang Purnomo, Koordinator YAPETA wilayah Kedu, adik
    kandung Bambang Sugeng. Kini tinggal di Temanggung.  
[67] Simatupang, ibid.,  hlm. 60.
[68] Keterangan dari Bambang Purnomo.
[69] Indrias
tuti, ibid., hlm. 85.
[70] Simatupang, ibid., hlm. 68.
[71] Budiarjo kemudian menjadi Menteri Penerangan di zaman Orde Baru
[72] Boediardjo. Siapa Sudi Saya Dongengi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 45 - 46.
       Marsekal Madya TNI (Purn.) Budiarjo, Menteri Penerangan RI 1968 - 1973
[73] Menurut keterangan dr. W. Hutagalung, teks yang disusun oleh Simatupang dalam bahasa Inggris.
[74] Simatupang,  ibid., hlm. 69.
[75] SESKOAD, ibid., hlm. 196 - 197.
[76] Nasution, ibid., hlm. 263 - 264.
[77] SESKOAD, ibid., hlm. 241.
[78] Salim, ibid., hlm.52 - 53.
[79] Simatupang, ibid., hlm. 216.
[80] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209.
[81] Ibid., hlm. 197 - 198.
[82] Hasil KMB, lihat lampiran.
[83] Nasution, ibid., jilid 11, hlm. 391.
[84] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 209 - 210.
[85] Nasution, ibid., hlm. 393.
[86] Hatta, ibid., hlm. 561.
[87] Nasution, ibid., hlm. 396.
[88] Ibid., hlm. 397.

No comments: