Wednesday, October 21, 2020

RESOLUSI JIHAD 22 OKTOBER 1945

 

RESOLUSI JIHAD 22 OKTOBER 1945

 

Catatan Batara R. Hutagalung

 

Pengantar

Tepat 75 tahun lalu, pada 22 Oktober 1945 ada pernyataan para Ulama Nahdlatul Ulama (NU) seluruh Jawa dan Madura, yang sangat penting untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan dua bulan sebelumnya, yaitu pada 17 Agustus 1945. Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 tersebut “sangat tepat waktu” karena 5 hari kemudian, yaitu pada 28 Oktober 1945 di Surabaya terjadi petempuran dahsyat dan heroik Arek-Arek Suroboyo melawan tentara Inggris.

 

Mengenai latar belakang dicetuskannya Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 ada beberapa versi. Ada sumber yang menulis, bahwa pada 4 September 1945, KH Hasyim Asy’ari (ejaan lama: KH Hasjim Asj’ari), pendiri Nahdlatul Ulama dan juga pendiri Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, sudah mengeluarkan fatwa, bahwa wajib hukumnya bagi umat Islam  (fardlu ain) untuk membela Negara.

 

Ada juga yang menulis, bahwa pada pertengahan Oktober 1945 Presiden Sukarno mengirim utusan khusus untuk menemui KH Hasyim Asy’ari guna menanyakan mengenai hukumnya bagi umat Islam untuk membela Negara. Namun formulasi kalimat dalam pertimbangan dan putusan Resolusi Jihad tersebut tidak menggambarkan ada kaitannya dengan permintaah dari Presiden Sukarno atau dari pemerintah Indonesia. Melainkan sebaliknya, resolusi tersebut memohon pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas terhadap Belanda dan mengambil langka-langkah yang sepadan.

 

Oleh karena itu saya membatasi, hanya mencantumkan isi Resolusi Jihad tersebut, dan pengaruhnya terhadap perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda dan antek-antek serta kaki-tangannya tahun 1945 – 1949.

 

Situasi di Indonesia September-Oktober 1945

Belanda, yang pernah berkuasa di Nederlands Indie (India Belanda) sampai tanggal 9 Maret 1942, ingin berkuasa kembali di bekas jajahannya, yang telah menjadi Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat sejak tanggal 17 Agustus 1945.

 

Dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik, pemerintah Nederlands-Indie telah menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang di Kalijati, Jawa Barat pada 9 Maret 1942. (Ada sumber yang menulis, Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942). Nederlands Indie lenyap dari peta negara-negara di Asia Tenggara. Tanggal 9 Maret 1942 dapat ditetapkan sebagai tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di Asia Tenggara/Nusantara (belum ada Indonesia). Penjajahan Belanda di Asia Tenggara dimulai dengan jatuhnya kota pelabuhan kecil, Jayakarta, ke tangan VOC pada 30 Mei 1619. Belanda kemudian mengganti namanya menjadi Batavia. (Tanggal 8 Agustus 1942, pemerintah militer Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta).

 

Jepang kemudian menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Tentara Sekutu (Allied Forces) pada 15 Agustus 1945, dan menghentikan semua kegiatan pemerintahan militer di seluruh wilayah pendudukannya, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda. Namun dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas Kapal Perang AS Missouri di Tokyo Bay. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus 1945 – 2 September 1945 terdapat yang dinamakan Vacuum of power (kekosongan kekuasaan).

 

Di masa vacuum of power tersebut bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan. Dengan demikian pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Indonesia, bukan merupakan pemberontakan kepada negara manapun. Juga bukan suatu revolusi, karena pada waktu itu tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Tidak ada pemerintahan sama sekali. Tidak ada perombakan sistem politik atau sistem ekonomi secara radikal. Bangsa Indonesia membangun Negara Bangsa (Nation State) dari NOL.

 

Setelah Jepang menyerah, tanggal 15 Agustus 1945 pintu-pintu penjara dan kamp-kamp interniran dibuka. Orang-orang Belanda yang tidak mengetahui perkembangan sejak tanggal 9 Maret 1942 – 15 Agustus 1945, merasa masih menjadi penguasa di  wilayah Nederlands Indie. Mereka segera merekrut kembali bekas tentara KNIL

 

Pada akhir Perang Dunia II, Belanda tidak memiliki angkatan perang yang kuat. Tentara Belanda di Eropa dihancurkan oleh Jerman, dan tentara KNIL di Nederlands Indie dikalahkan oleh Jepang. Puluhan ribu tentara KNIL diinternir oleh Jepang. Yang dimasukkan ke kamp-kamp interniran bukan hanya tentara KNIL dan tentara Sekutu lainnya saja (ABDACOM), melainkan semua warga sipil Eropa dan Australia.

 

Belanda meminta bantuan sekutunya di Perang Dunia II. Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, ditandatangani perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dinamakan Civil Affairs Agreement. Intinya adalah, Inggris menyatakan kesediaannya membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya dengan kekuatan militer. Inggris mengerahkan tiga Divisi di bawah komando Letjen Philip Christison, yang ditempatkan di Jawa dan Sumatera. Australia membantu dengan mengerahkan dua divisi tentara di bawah komando Letjen. Leslie “Ming the merciless” Morshead, yang ditempatkan di Indonesia bagian timur, dari mulai Kalimantan sampai Irian.

 

Tugas tentara Inggris dan Australia adalah “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia (TNI belum ada. Pada waktu itu yang ada adalah BKR-BKR dan laskar-laskar pemuda). Wilayah yang telah “dibersihkan”, kemudian diserahkan kepada Nederlands Indies Civil Administration (NICA). Tanggal 15 Juli 1946 tentara Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda/NICA. Belanda kemudian menggelar Konferensi Malino di Sulawesi Selatan untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT). dengan bantuan Inggris dan Australia, secara keseluruhan sampai tahun 1947 Belanda berhasil mendirikan 15 “Negara dan daerah Otonom” yang direbut dari Republik Indonesia.

 

Sejak bulan September 1945, sudah sering terjadi tembak-menembak antara BKR-BKR dan laskar-laskar pendukung Republik Indonesia melawan tentara KNIL yang direkrut kembali oleh Belanda.

 

Pada 19 September 1945, orang-orang Belanda yang berada di Surabaya mengibarkan bendera Belanda di atas Hotel Yamamoto (sekarang Hotel Majapahit). Langkah ini menimbulkan kemarahan di kalangan pemuda Indonesia. Terjadi insiden di dalam dan diluar hotel. Di dalam hotel terjadi perkelahian yang mengakibatkan seorang pemuda Indonesia dan seorang Belanda, Ploegman tewas. Di luar hotel, para pemuda menurunkan bendera Belanda dan merobek bagian warna biru. Kemudian para pemuda menaikkan bendera Merah-Putih di atas hotel.

Insiden bendera juga terjadi di Pekanbaru, Riau.

 

Sejak bulan September 1945, di seluruh Indonesia para pemuda yang tergabung dalam BKR-BKR dan laskar-laskar, merebut senjata dari tentara Jepang. Korban besar jatuh di kedua belah pihak. Perebutan senjata dari tentara Jepang yang paling dahsyat dan memakan korban paling banyak di pihak pemuda Indonesia dan di pihak tentara Jepang terjadi di Surabaya. Di lain pihak, di beberapa kota, komandan tentara Jepang secara sukarela menyerahkan senjata kepada para pemuda Indonesia.  

 

Dari seluruh Indonesia diberitakan terjadinya konflik antara pihak Indonesia melawan tentara Jepang, Inggris, Australia dan Belanda, yang masuk ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris dan Asutralia.. Pada pertengahan bulan Oktober 1945, konflik bersenjata semakin meluas dan meningkat, a.l. di Semarang, Medan, Bandung dll.

 

Hal-hal tersebut sangat meresahkan para nasionalis Indonesia dan para ulama di seluruh Indonesia, termasuk di Jawa Timur dan Madura, sebagaimana juga tertuang dalam Resolusi Jihad (lihat butir “Menimbang”, b.). Pada 15 Oktober 1945, para ulama di Aceh yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), mengeluarkan Maklumat yang isinya seruan agar mendukung Republik Indonesia, karena cukup banyak yang masih mendukung Belanda. Maklumat PUSA ditandatangani oleh empat pimpinan PUSA, yaitu Tengku Daud Bereueh, Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, Tengku Haji Jafar Sidik Lamjabat dan Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri.

 

Atas instruksi KH Hasyim Asy’ari, PBNU mengundang seluruh perwakilan NU di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan pada 21 dan 22 Oktober 1945 di Surabaya. Rapat besar diselenggarakan di Kantor ANO (Ansor Nahdlatul Ulama) di Jl. Bubutan VI/2, Surabaya. Pada hari kedua tanggal 22 Oktober, dirumuskan hasil pertemuan berupa pokok-pokok kewajiban Umat Islam dalam berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia.

 

Isi Resolusi Jihad tersebut (dalam Ejaan Yang Disempurnakan) adalah:

 

RESOLUSI JIHAD NAHDLATUL ULAMA

Seluruh Jawa/Madura

 

Bismillahirrahmanirrahim

 

Resolusi:

Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama Seluruh Jawa dan Madura pada tanggal 21–22 Oktober 1945 di Surabaya.

 

Mendengar:

Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat ummat Islam dan alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.

 

Menimbang:

a. Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranya adalah sebagian besar terdiri dari ummat Islam.

 

Mengingat:

a. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.

b. Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar kedaulatan Republik Indonesia dan agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.

c. Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan ummat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan kemerdekaan negara dan agamanya.

d. Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

 

Memutuskan:

1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangan.

 

2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. 

 

Demikian hasil rapat besar Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura. Resolusi Jihad NU tersebut disampaikan oleh KH Hasyim Asy’ari sendiri. Dari formulasi kalimat sebagai keputusan rapat besar NU yang tertuang dalam Resolusi Jihad, justru “Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangan.”

Teks Resolusi Jihad tersebut dimuat secara lengkap di  surat kabar Kedaulatan Rakyat, yang terbit di Yogyakarta, Edisi No. 26, Tahun ke-I, Jum’at Legi, 26 Oktober 1945.

 

 

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.


Pertempuran Heroik 28 – 30 Oktober 1945 di Surabaya.

Resolusi Jihad ini sangat tepat waktunya, karena pada 25 Oktober 1945, Brigade 49 dari Divisi 23 tentara Inggris-India (British-Indian Division), di bahwa pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby berlabuh di Surabaya. Brigade 49 yang sebagian besar terdiri dari orang-orang India mendapat julukan “The Fighting Cock” (Ayam jantan petarung), karena keberanian dan keperkasaannya.

 

Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, sebuah Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa Timur, termasuk di Surabaya, yang isinya  memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:

“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).” 

 

Isi pamflet tersebut dapat dikategorikan sebagai ultimatum, karena memberikan batas waktu penyerahan senjata, yaitu dalam waktu 2 x 24 jam. Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Dalam rombongan yang datang bersama Inggris, ternyata juga banyak orang Belanda. Mayor Jenderal drg. Mustopo segera berkeliling kota dengan mobil, sambil meneriakkan :” SIAAAP! SIAAAP!”

Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:

“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”

 

Kolonel Pugh menyampaikan ke pimpinan Divisi TKR Surabaya mengenai pendirian Brigadier Mallaby atas seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas sesuai perintah dari Jakarta. Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi, Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”

 

Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.

 

Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang (beberapa data menyebutkan sekitar 6.000 orang). Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.

 

Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, Jenderal Prusia yang legendaris, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Penyerangan adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”. Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi  Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo (kemudian diganti oleh Mayjen Sungkono). Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.

 

Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.

 

Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.

 

Dalam buku yang saya terbitkan tahun 2001 dengan judul: “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?” Saya mengutip tulisan dari seorang pelaku sejarah, Kadim Prawirodirjo, mengenai jalannya pertempuran dan pasukan-pasukan di pihak Indonesia yang ikut dalam penyerbuan terhadap pos-pos pertahanan Inggris. (Saya bersama keluarga bertemu dengan Bapak Kadim Prawirodirjo untuk mewawancarai beliau di kediamannya di Yogyakarta, bulan Oktober 1998.)

 

Serangan terhadap pos pertahanan Inggris digambarkan oleh Kadim Prawirodirjo a.l. sebagai berikut: (Dikutip dari buku Kadim Prawirodirjo, Dari Panggung Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, jilid 3, hlm. 390 -  399.)

 

Daerah Utara (di buku saya, halaman 234):

Pos pertahanan Inggris di Gedung Internatio diserang oleh Angkatan Muda PTT, PRI dari kantor besar, Pasukan TKR-HVA. Pos pertahanan Inggris di Gedung BPM, juga markas Mallaby, mendapat serangan dari Polisi dengan panser, dan dari batalyon Tank TKR, yang juga menyerang pos Inggris di Gedung Lindeteves. Batalyon TKR Sambongan dan Pasukan Hisbullah/Sabillilah Kepanjen membagi kekuatannya dari arah timur dan barat.Batalyon TKR Tembaan bersama Polisi Koblen dan Pasukan Kereta Api serta laskar buruh menghadapi Inggris di Koblen.

 

DaerahSelatan (di buku saya halaman 235):

Pos Inggris di Gedung BPM Wonokromo, menjadi sasaran laskar Minyak, Batalyon TKR Sidoarjo, yang kemudian dibantu oleh pasukan-pasukan dari Malang, Pasukan Magenda dari Bondowoso dan dari Pasuruan.Bantuan datang juga dari Pasukan Sadeli Sastrawjaya dari Bandung dan dari Pasukan Slamet Haryanto dari Ponorogo. Pasukan TKR Mojokerto ikut ambil bagian di sektor Wonokromo Barat. Bantuan juga berdatangan dari para Kyai dari Banten serta Alim Ulama dari Asembagus. Mayor Jenderal Imam Sujai memimpin pasukan dari Divisi TKR Malang, dan datang bersama ribuan pasukan Ulama, yang ternyata datang tanpa membawa senjata apapun, bahkan nampaknya tanpa sebilah pisau pun.

 

Demikian catatan Kadim Prawirodirjo.

 

Setelah tidak menerima pasokan makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding. Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:

“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided  that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.

 

 

Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”

Tentara Inggris di Surabaya menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis: (Colonel. A.J.F. Doulton, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942- 1947. Aldershot: Gale and Polden, 1951, hlm. 257)

 

”The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).

 

Panglima Tertinggi Tentara Sekutu AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies), Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan.

 

Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:

We accept your unconditional surrender!”, dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan. Namun pada waktu itu Kapten Flower menolak untuk dilucuti senjata tentara Inggris.

 

Tentara Inggris di dua pos pertahanan mengibarkan bendera putih meminta berunding. Ini lazimnya pihak yang kalah yang meminta berunding agar tidak dimusnahkan total. Tentu suatu hal yang sangat membanggakan, bahwa para pemuda dari seluruh Indonesia yang bertempur di Surabaya, berhasil memaksa tentara Inggris, YANG ADALAH SALAHSATU PEMENANG PERANG DUNIA II, MENGIBARKAN BENDERA PUTIH. Sangat disayangkan, peristiwa heroik seperti ini tidak ditulis di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah.

 

Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.”

 

Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober. Pada malam itu segala orang akan merdeka bergerak, baik orang-orang Indonesia maupun Inggris.Segala pasukan akan masuk dalam tangsinya. Orang yang luka-luka dibawa ke rumah sakit, dan dijamin oleh kedua belah pihak.

 

Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn.

 

Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober (The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled), bahwa persenjataan yang dimiliki TKR dan laskar-laskar pemuda tidak akan dilucuti, dan pengakuan terhadap TKR yang dipersenjatai.

 

Pada hari itu juga, 30 Oktober 1945,  Presiden Sukarno dan rombongan kembali ke Jakarta.

 

 

Brigadir Jenderal Mallaby Tewas

Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Pemberitaan melalui radio kurang bermanfaat karena aliran listrik hampir di seluruh kota dimatikan. Sore hari, iring-iringan mobil mencapai Gedung Internatio (Gedung tersebut adalah kantor dari Internationale Crediet en Handelsvereeniging Rotterdam) di dekat Jembatan Merah.

 

Mallaby sendiri tampak sangat terpukul dengan kekalahan pasukannya di dalam kota. Ini terlihat dari sikapnya yang setengah hati waktu menyebarluaskan berita hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.

 

Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.

 

Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.

 

Memang semula beredar isu, bahwa mayat Mallaby tidak ditemukan, namun beberapa hari kemudian, jenazahnya diserahkan oleh dr. Sugiri kepada tentara Inggris. Sebermula Mallaby dimakamkan di dekat Tanjung Perak, kemudian dipindahkan ke Morokrembangan dan terakhir dipindah ke Commonwealth War Cemetary di Menteng Pulo, Jakarta, di barisan (grove location) V.G.2. Jadi, tidak  benar bahwa mayat Mallaby tidak ditemukan. (Bulan November 2001 saya diundang oleh Dubes Inggris, Richard Gozney, menghadiri acara tahunan di tempat pemakaman di Menteng Pulo, untuk memeringati tentara Sekutu yang tewas di Asia Tenggara. Saya melihat makam Mallaby)

 

Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dituduhkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Letjen Philip Christison untuk “menghukum para ekstremis,” yaitu:

 

1.   Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),

2.   Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier  Mallaby secara licik.

 

Mengenai butir pertama, saya melakukan penelitian sejak tahun 1994, berdasarkan buku Autobiografi ayah saya dan keterangan-keterangan dari Angkatan ’45. a.l. Sungkono, Ruslan Abdulgani, Subiantoro (Mas Biek), Pamu Raharjo, Imam Sutrisno Trisnaningprojo, dll. yang pada saat kejadian ada di muka Gedung Internatio.

 

Dari sumber-sumber Inggris, Australia, Belanda dan Amerika, saya berhasil membuktikan, bahwa butir pertama alasan Christison salah. Terbukti pihak Inggris yang memulai melanggar gencatan senjata.

 

Tewasnya Mallaby sampai sekarang masih sangat kontroversial. Namun jurnalis Australia, JGA Parrot berpendapat, tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri, yaitu memerintahkan pasukan yang berada di dalam Gedung Internatio untuk memulai menembak.

 

 

Surabaya 10 November 1945.

Dengan dua alasan tersebut di atas, Letjen Philip Christison yang adalah Panglima Tentara Sekutu di India Belanda Timur (Allied Forces in the Netherlands East Indie – AFNEI) mengerahkan pasukan Inggris terbesar setelah usai Perang Dunia II/Perang Asia Pasifik.

 

Pada tanggal 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta, tiba di Surabaya dengan HMS Sussex mendaratkan 1.500 Marinir. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia, tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby.

 

Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).

 

Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 buah pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.

 

Kekuatan dii pihak Indonesia diperkirakan antara 20.000 – 30.000 pemuda bersenjata yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai laskar, yang tidak terorganisir dan tidak terlatih. Semua senjata adalah hasil rampasan dari tentara Jepang. Kebanyakan mereka hanya memiliki senjata ringan. Para pejuang Indonesia didukung oleh sekitar 100.000 Bonek (Bondo Nekat), yang kebanyakan hanya bersenjatakan bambu runcing, golok dan pisau. Demikianlah situasi di Surabaya dan sekitarnya setelah pertempuran 28 – 30 Oktober 1945.

 

Pada 9 November 1945, Panglima Divisi V Mayjen Robert C. Mansergh menyebarkan ultimatum melalui pamflet2, yang ini isinya adalah agar seluruh pemerintah dan rakyat Surabaya menyerah. Ultimatum ini ditolak, baik oleh Gubernur KRT Ario Suryo maupun oleh pimpinan Divisi Surabaya, Mayjen Sungkono.

 

Pada 10 November 1945 pukul 06.00 Inggris melwujudkan ultimatumnya, yaitu mulai melakukan pemboman baik dari pesawat udara maupun dari meriam-meriam kapal perang. Segera disusul dengan serangan pasukan darat.

 

Semula Inggris memperkirakan, dengan kekuatan yang sangat besar, mereka dapat menguasai Surabaya dalam tiga hari. Namun, pemenang Perang Dunia II tersebut ternyata membutuhkan waktu 20 hari, sampai benar-benar menguasai Surabaya.

 

Korban perang dari tanggal 28 Oktober – Desember 1945 di Surabaya:

Di pihak Indonesia, akibat pemboman yang membabi buta terhadap kota, diperkirakan korban tewas mencapai 20.000 orang. Tidak terhitung yang luka-luka. 150 ribu rakyat dipaksa mengungsi ke luar kota Surabaya mulai tanggal 10 November.

Di pihak Inggris diperkirakan jumlah seluruh korban mencapai 2.000 orang, yaitu yang tewas, luka-luka, hilang/desersi ke pihak Indonesia.

 

Inggris terus melancarkan serangan terhadap TKR dan laskar-laskar pemuda yang menyingkir ke luar Surabaya, sehingga perang besar kemudian bergeser ke seluruh Jawa Timur.

 

Perlahan-lahan Belanda mulai memasukkan pasukannya ke Indonesia, termasuk ke Jawa Timur. Tidak diketahui dengan pasti kapan pasukan Belanda masuk ke Jawa Timur, namun awal tahun 1946, Indonesia sudah berhadapan dengan tentara Belanda di Jawa Timur.

 

Pertempuran dahsyat dan heroik di Surabaya tanggal 28 – 30 Oktober dan perang besar yang dimulai pada 10 November 1945 cepat tersebar ke seluruh Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya/Jawa Timur telah membangkitkan semangat juang para nasionalis dan ulama di seluruh Indonesia. Keterlibatan para ulama terbukti berpengaruh terhadap perjuangan Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Perang tanpa pengumunan perang antara Indonesia melawan Inggris dan Belanda diakhiri dengan Perjanjian Linggajati, November 1946. Kekuatan pasukan yang didatangkan dari Belanda telah mencapai sekitar 85.000 orang, untuk menggantikan tentara Inggris dan Australia.

 

Perjanjian Linggajati dilanggar oleh Belanda dengan melancarkan agresi militer pada 21 Juli 1947. Agresi militer ini diakhiri dengan Perjanjian Renville, Desember 1947. Belanda melanggar lagi perjanjian Renville dengan melancarkan agresi militer II pada 19 Desember 1948. Wilayah Republik Indonesia setelah Perjanjian Renville hanya tinggal sebagian Sumatera dan sebagian Jawa.

 

Dalam agresi militer II, Belanda mengerahkan pasukan yang luar biasa besarnya dan dilengkapi persenjataan paling moderen, bantuan dari Sekutunya, yaitu Amerika, Inggris dan Australia. Tentara yang didatangkan dari Belanda berjumlah 160.000 orang. Pasukan Belanda dibantu oleh Pasukan KNIL, yaitu pribumi dan keturunan Indo yang berpihak kepada Belanda. pasukan KNIL berjumlah 65.000 orang. Selain itu, Belanda diperkuat dengan pasukan Po (Pao) An Tui yang berjumlah sekitar 50.000 orang. Pasukan Po An Tui adalah orang-orang Bangsa Cina yang tinggal di Indonesia.

 

Di pihak Republik Indonesia, kekuatan TNI dan laskar-laskar pendukung Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera hanya sekitar 100.000 orang, dengan persenjataan hasil rampasan dari Jepang.

 

Sejarah mencatat, sampai pada Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 September 1949, pasukan raksasa (The Great Army) Belanda, tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang didukung penuh oleh rakyat Indonesia. Selama Perang Gerilya yang berlangsung dari tanggal 19 Desember 1948 sampai pada gencatan senjata tanggal 10 Agustus 1945, seluruh kebutuhan logistik TNI, yaitu makan, minum, pemondokan, perawatan yang luka/sakit dll, disediakan/dilakukan oleh rakyat. Apakah TNI sanggup bertahan di hutan-hutan dan gunung-gunung selama 8 bulan tanpa dukungan logistik dari rakyat? Mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam yang taat pada perintah-perintah para Ulamanya.

 

Tanpa Maklumat PUSA 15 Oktober 1945 dan Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945, mungkin tidak semua umat Islam terpanggil untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, atau tanpa pamrih memberi bantuan logistik untuk TNI.

 

PENDAPAT PRIBADI.

Penamaan “Hari Santri” untuk memeringati Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 kurang tepat, karena secara “eye catching” nama tersebut tidak memberikan gambaran mengenai situasi pada bulan Oktober 1945 dan tujuan dikeluarkannya Resolusi Jihad, serta tidak menyinggung pengaruhnya terhadap perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuan dikeluarkannya Resolusi Jihad NU adalah menjelaskan, bahwa wajib hukumnya bagi Umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela agama. Juga tidak terlihat kaitan nasionalismenya, dan terkesan hanya untuk agama Islam.

 

Oleh karena, agar terlihat kaitan historis dan nasionalisnya saya mengusulkan, tanggal 22 Oktober dinyatakan sebagai:

“HARI JUANG ULAMA DAN SANTRI INDONESIA.”

 

 

Jakarta, 21 Oktober 2020.

 

########

 

Mengenai Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945 di Surabaya, lihat:

 

https://batarahutagalung.blogspot.com/2020/10/pertempuran-28-30-oktober-1945-di.html

 

Ini merupakan cuplikan dari buku yang saya terbitkan tahun 2001 dengan judul:

“10 NEVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?”

PENERBIT Millenium Publisher, Jakarta, 2001. 472 halaman.

 


 

***

 

No comments: