Monday, May 03, 2021

MANIFESTO POLITIK PERHIMPUNAN INDONESIA TAHUN 1925

 

Perjuangan Membentuk Bangsa Indonesia

Dan

Mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia

 

 

MANIFESTO POLITIK

PERHIMPUNAN INDONESIA

TAHUN 1925

 

 Catatan Batara R. Hutagalung

Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

Pengantar

 

"Bangsa yang tak kenal sejarahnya, juga kehilangan identitas atau  kepribadiannya."

Prof. Sartono Kartidirjo, sejarawan (17.2.1921 – 7.12.2007)

 

Bangsa (Nation) Indonesia sebagai entitas politik, bukan dalam pengertian sosio etnologi atau antropologi budaya, baru ada sejak 17 Agustus 1945. Sebagai satu bangsa baru, yang terdiri dari ratusan etnis/suku yang berbeda bahasa, budaya dan agama, tentu sangat memerlukan simbol-simbol persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu seluruh bangsa Indonesia terutama generasi muda, harus mengetahui sejarah perjuangan yang sebenarnya untuk membentuk bangsa dan Negara Bangsa (nation state) yang kemudian dinamakan INDONESIA.

 

Generasi muda harus mengetahui sejarah perjuangan yang sebenarnya, untuk mempersatukan ratusan etnis/suku yang berbeda bahasa, budaya dan agama. Sebelum ada Indonesia, mereka adalah penduduk di berbagai kerajaan dan kesultanan di Asia Tenggara. Baik di masa pra kolonial, maupun di masa setelah kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Asia Tenggara, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut masih saling memerangi dan menguasai, bahkan menjajah. Belum ada persatuan dan kesatuan.

 

Generasi muda perlu mengetahui perjuangan para pendiri bangsa dan negara untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan ketidak-adilan serta diskriminasi yang sangat tidak manusiawi yang dialami oleh pribumi leluhur bangsa Indonesia di wilayah jajahan Belanda, baik di zaman VOC maupun di masa pemerintahan Nederlands Indië (India Belanda).

 

Di masa penjajahan, selama lebih dari 200 tahun, dari abad 17 – abad 19, pribumi leluhur bangsa Indonesia diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, tanpa memiliki hak-hak sebagai manusia. Bahkan banyak yang dijual ke negara-negara lain. Juga dari negara-negara lain, didatangkan budak-budak oleh penjajah ke Asia Tenggara, a.l. dari Afrika Barat, Afrika Timur dan dari dari India. Di beberapa daerah di Nederlands Indië, perbudakan masih berlangsung sampai tahun 1914.

 

Setelah Undang-Undang Perbudakan dihapus, tahun 1920 pemerintah kolonial mengubah Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) dari tahun 1854 yang membagi penduduk di Nederlands Indië dari dua kelas menjadi tiga kelas strata hukum dan sosial:

-       Kelas satu adalah bangsa-bangsa Eropa (Europeanen),

-       Kelas dua adalah bangsa-bangsa timur asing (Vreemde Oosterlingen), yaitu bangsa Cina, bangsa Arab, dan bangsa India,

-       Kelas tiga adalah pribumi (inlander).

 

Tahun 1925, Peraturan Pemerintah ini diperkuat menjadi Peraturan Negara (Indische Staatsregeling), yang dimuat dalam Stb 1925 No. 415 dan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1926.

 

Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum, dll., terpasang plakat dengan tulisan Verboden voor honden en inlander, yang artinya TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pibumi yang ada di dalam gedung-gedung/hotel-hotel mewah tersebut hanyalah para jongos.

 

Generasi muda juga harus mengetahui keteladanan yang ditunjukkan dan pengorbanan yang diberikan para pendiri negara dan bangsa Indonesia, baik di masa kolonial, maupun di masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan agresi militer Belanda, mantan penjajah, dan sekutu serta antek-anteknya  antara tahun 1945-1949.

 

***

 

Namun sangat disayangkan, peristiwa-peristiwa di masa lalu yang dijadikan simbol untuk mempersatukan ratusan etnis/suku yang berbeda bahasa, budaya dan agama di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara untuk menjadi SATU BANGSA, dan perjuangan untuk mendirikan SATU NEGARA BANGSA (Nation State) tersebut keliru, bahkan salah. Demikian juga dengan mitos-mitos yang “diciptakan” konon untuk membangitkan semangat juang, tidak tepat bahkan menjadi kontra-produktif. Beberapa peristiwa yang terjadi baik di masa pra kolonial, maupun di masa kolonial dan di masa setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, direkayasa dan dimanipulasi penulisan/terjemahannya untuk kepentingan politik penguasa pada waktu itu. Juga ada unsur-unsur keinginan pribadi yang dikemas sebagai kepentingan bangsa dan negara.

 

Rekayasa-rekayasa penulisan sejarah, kebohongan-kebohongan yang diciptakan oleh penguasa pada waktu itu, menutupi gerakan kebangsaan dan upaya-upaya yang sesungguhnya untuk mempersatukan ratusan etnis/suku yang berbeda bahasa, budaya dan agama, untuk mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation State), yang tidak lagi berdasarkan etnis/suku, dan memiliki satu Bahasa Persatuan.

 

Peristiwa-peristiwa yang direkayasa penulisannya antara lain adalah, Sumpah Sriwijaya, Sumpah Palapa Gajah Mada, Sumpah Pemuda, dan menetapkan tanggal berdirinya Budi Utomo sebagai “Hari Kebangkitan Nasional.”

 

Di buku “45 TAHUN SUMPAH PEMUDA,” dimuat pidato dari M. Yamin (24.8.1903 – 17.10.1962) dalam Kerapatan Besar Indonesia Muda I, tanggal 29 Desember 1930 – 2 Januari 1931 di Surakarta. Berikut ini kutipan dari pidato M. Yamin yang disampaikan dalam bahasa Melayu, masih dengan ejaan lama. Dalam pidatonya Yamin menyampaikan a.l.:

“Sifat keindonesiaan dapat dikemoekakan dengan memperingatkan djandji Patih Mangkoeboemi Gadjah Mada (+/- 1340) jang akan beroesaha hendak mempersatoekan kepoelaoean Noesantara (Indonesia)...”

Kemudian lanjutnya:

“... Perdjandjian Gadjah Mada boekan perdjandjian pertama, melainkan yang kedoea. Toedjoeh abad  sebeloem Patih  jang terseboet mengeloearkan perkataan dibalairoeng Madjapahit, perkataan yang disimpan dalam toelisan Prapantja, adalah poela diboeat perdjandjian dipoelaoe Soematera yang dinamai Soempah Sriwidjaja dan berlakoe dalam tahoen 686. Isinya soepaja bangsa kita berbakti kepada persatoean, karena itoelah kemaoean nenek moyang kita ...”

 

Demikian a.l. yang dikatakan oleh M. Yamin pada acara peresmian organisasi Indonesia Muda..Yang ditafsirkan oleh M. Yamin sebagai “Sumpah Sriwijaya,” sebenarnya adalah kutukan dari Raja Sriwijaya di Sumatra yang tertulis di Prasasti Kota Kapur tahun 686 M, terhadap para pemberontak di Jawa, agar mereka dan keluarganya mati terkena kutukan ini.

 

“Sumpah Palapa Gajah Mada” oleh M. Yamin tahun 1930 masih dinamakan sebagai “Janji Gajah Mada” untuk “mempersatukan” Nusantara, Ucapan Gajah Mada pada waktu pelantikannya sebagai Mahapatih, bukan “mempersatukan,” melainkan mengalahkan kerajaan-kerajaan lain di Asia tenggara, termasuk Temasek yang kemudian namanya menjadi Singapura. Apabila ditinjau situasi di abad 14 sampai abad 20, tujuan dari suatu negara menyerang negara-negara lain, adalah untuk menjajah/menguasai, untuk kemakmuran negara penyerang. Ucapan Gajah Mada yang sebenarnya adalah pernyataan perang terhadap kerajaan-kerajaan yang akan diserang. Gajah Mada datang bukan membawa pesan perdamaian dan persatuan, melainkan datang dengan pasukan yang kuat untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang disebutnya. Di tahun 1930 ucapan Gajah Mada ini oleh M. Yamin masih dinamakan sebagai “Janji Gajah Mada,” di tahun 1950-an “janji” ini diganti menjadi “Sumpah Palapa Gajah Mada,” agar selaras dengan “Sumpah Sriwijaya,” dan “Sumpah Pemuda” tahun 1928.

 

Dalam teks pada prasasti Kota Kapur tahun 686 M, tidak ada ditulis kata “sumpah.” Yamin yang menamakan teks tersebut sebagai “Sumpah Sriwijaya.” Terjemahan teksnya adalah sbb.:

“Keberhasilan! Wahai sekalian dewata, yang berkumpul dan melindungi Kedatuan Sriwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah! Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kedatuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak; yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takhluk, yang tidak setia, pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar […] dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya […]

 

Terjemahannya dibuat oleh George Cœdès. Sriwijaya sebagai nama kerajaan “ditemukan” oleh George Cœdès  (10.8.1886 – 2.10.1969), peneliti asal Perancis, pada tahun 1918. Dia berpendapat, bahwa Sriwijaya bukan nama seorang raja, melainkan nama suatu kerajaan. Temuannya dia tulis dalam buku berjudul Le Royaume de Çrīvijaya” (Kerajaan Sriwijaya) yang diterbitkan tahun 1918.

 

“Sumpah Sriwijaya” ini adalah salahsatu contoh yang menunjukkan, bahwa yang ditulis oleh M.Yamin sangat jauh menyimpang dari teks terjemahan yang dilakukan oleh penelitinya, George Cœdès. 

 

“Sumpah Pemuda” yang konon diikrarkan dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, sebenarnya adalah resolusi (seruan) kepada para pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië, untuk mengaku Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Resolusi ini hanya dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito. Tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Resolusi ini baru di tahun 1959 ditetapkan sebagai “Sumpah Pemuda” hasil Kongres Pemuda kedua. Rekayasa ini menututp embrio gerakan yang sebenarnya untuk mempersatukan para pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda, yaitu (masih dalam bahasa Melayu) dinamakan sebagai Kerapatan Besar  Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama, yang diselenggarakan di Batavia (sekarang Jakarta) dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926. Peristiwa ini kemudian dinamakan sebagai Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Inilah embrio yang sebenarnya dari gerakan para pemuda-pemudi pribumi di Nederlands Indië, yang mencetuskan gagasan SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA.

 

Demikian juga membangun mitos yang salah, yaitu, “Belanda menjajah Indonesia  350 tahun.” Mitos ini bukan hanya salah, melainkan sebenarnya juga memalukan. Belanda yang adalah satu negara dan bangsa yang kecil di Eropa, berjarak sekitar 12.000 km dari Asia Tenggara, dapat menjajah wilayah yang sekarang menjadi Republik Indonesia, yang luas wilayah dan jumlah penduduk nya belasan kali lipat Belanda. Tidak pernah ditulis, mulai kapan sampai kapan hitungan penjajahan Belanda yang 350 tahun di Indonesia, karena negara dan bangsa sebagai entitas politik baru ada sejak 17 Agustus 1945. Sebelumnya, pada 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942), pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.

 

Pada tahun 1948, tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei 1908 ditetapkan sebagai “Hari Kebangunan Nasional” (kemudian diganti menjadi “Hari Kebangkitan Nasional”). Menurut Ki Hajar Dewantoro, inisiatifnya datang dari Presiden Sukarno. Pada waktu itu, tokoh-tokoh bangsa yang mengetahui mengenai latar belakang dan tujuan didirikannya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, tidak sependapat dengan usulan Presiden Sukarno. Gagasan dari Wahidin Sudirohusodo untuk mendirikan Budi Utomo adalah mencari beasiswa untuk putra-putra bangsawan Jawa dan Madura dari golongan rendah untuk mendapat pendidikan, yang pada waktu itu sangat mahal. Jadi bukan untuk semua etnis/suku yang ada di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda).

 

Presiden Sukarno kemudian mengatakan, bahwa apabila keadaan situasi politik sudah membaik, tanggal penetapan ini dapat ditinjau lagi. Dan seperti biasanya, kehendak penguasalah yang dilaksanakan. Tanggal berdirinya Budi Utomo diperingati untuk pertama kali padal 20 Mei 1948. Sejak itu sampai sekarang tidak ada perubahan, walaupun sudah banyak yang mengetahui, termasuk di dalam pemerintahan, bahwa penetapan ini salah. Sudah cukup sering dilakukan pembahasan mengenai hal ini, namun terbentur pada tidak adanya keinginan dari pemerintah-pemerintah Indonesia sejak berakhirnya era “Orde lama,” untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan ini..

 

Tahun 2005 Prof. Sartono Kartodirjo menerbitkan buku dengan judul “Sejak Indische sampai Indonesia.” Prof. Sartono meneliti mengenai perjuangan para pemuda/mahasiswa pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, Nederlands Indie (India Belanda), yang melanjutkan pendidikan di Belanda. Para pemuda/mahasiswa tersebut tergabung dalam organisasi yang semula bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Pada waktu itu, belanda menyebut wilayah jajahannya sebagai Nederlands Indië, dan penduduk pribumi hanya dinamakan sebagai Indier (orang India). Tahun 1922 nama organisasi ini diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).

 


Pada tahun 1922 itu juga mulai ditulis gagasan dan dasar-dasar untuk mendirikan suatu negara yang akan dinamakan Indonesia, serta garis-garis perjuangannya. Pada tahun 1925, Perhimpunan Indonesia memantapkan tujuan, yaitu Indonesia Merdeka yang dipimpin oleh bangsa sendiri dan menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, a.l. harus ada persatuan dari ratusan etnis-etns/suku-suku yang ada di wilayah jajahan belanda. Dasar dan tujuan perjuangan Perhimpunan Indonesia ini yang diterbitkan dalam organ perhimpunan yang bernama “Indonesia Merdeka” kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia Tahun 1925.

 

Prof. Sartono Kartodirjo berpendapat, bahwa Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda, lebih layak untuk ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Para Guru Besar dan tokoh-tokoh lain yang juga berpendapat, bahwa Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 lebih layak ditetapkan sebagai Kebangkitan Nasional a.l.. adalah Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Ahmad Syafi’i Maarif

 

              Prof. Sartono Kartodirjo

 

 

Artikel Prof. Sartono Kartodirjo di KOMPAS, 1 Januari 2000.


Dalam artikelnya yang dimuat di GATRA pada 30 Mei 2007, Prof. Ahmad Syafii Maarif menulis a.l.: "Pemerintah SBY-Kalla tidak boleh ragu untuk mengambil keputusan radikal dalam masalah ini, karena keputusan lama tentang 20 Mei 1908 adalah ahistoris dan cacat, dan oleh sebab ituharus dikoreksi. Bangunan sejarah bangsa Indonesia haruslah ditegakkan di atas fondasi yang kokoh dan benar. Fondasi yang ringkih akan selalu oleh atau mengutip kalimat seorang penyair: 'Sebuah sarang di atas dahan yang rapuh takkan tahan lama.' Kita ingin agar Indonesia ini bertahan sampai rapuhnya dunia ini."



Artikel Prof. Ahmad Syafii Maarif di GATRA, 30 Mei 2007.

 

Setelah melakukan penelitian sendiri mengenai Budi Utomo dan Perhimpunan Indonesia yang saya tuangkan dalam tulisan di bawah ini, saya mendukung pendapat para Guru Besar dan tokoh-tokoh masyarakat tersebut, bahwa Manifesto Politik yang dicetuskan oleh Perhimpunan Indonesia tahun 1925, lebih layak untuk ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

 

Ketika didirikan pada 15 Oktober 1908, nama organisasi ini adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Sejak awal berdirinya organisasi yang diprakarsai oleh Rajiun Harahap gelar Sutan Kasayangan Soripada, pengurus dan aktivisnya berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda). Di buku-buku sejarah di Indonesia, sangat minim ditulis mengenai organisasi yang pernah diketuai oleh GSSJ (Sam) Ratu Langie (Pahlawan Nasional), Bagindo Dahlan Abdullah (Duta Besar RIS untuk Irak dan Suriah), Suwardi Suryaningrat (Pahlawan Nasional), Achmad Subarjo (Pahlawan Nasional), Sutomo (Pahlawan Nasional), Iwa Kusuma Sumantri (Pahlawan Nasional), Nazir Datuk Pamuncak (Duta Besar RI untuk Prancis kemudian untuk Filipina), Sukiman Wirjosanjoyo (Perdana Menteri RI ke-6), Mohammad Hatta (Pahlawan Proklamasi/Wakil Presiden RI pertama) dan para pendiri negara dan bangsa yang pernah menjadi pengurus/aktivis organisasi ini.

 

 

Berdirinya Organisasi - Organisasi Pemuda Pribumi di Nederlands Indië (India Belanda) [[1]]

 

Pada 20 Mei 1908 di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa pemuda dari etnis Jawa yang belajar di Sekolah Dokter STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen – Sekolah Dokter Pribumi), mendirikan organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Gagasannya dicetuskan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang pensiunan dokter Jawa. Tujuan Budi Utomo adalah membantu putra-putra bangsawan Jawa dan Madura dari golongan rendah untuk memperoleh biaya untuk pendidikan lanjutan. Pada waktu itu di kalangan komunitas etnis Jawa dan Madura, pendidikan lanjutan hanya dapat dinikmati oleh putra-putra bangsawan golongan tinggi, terutama tentu yang pro Belanda.

 

Dalam Kongres Budi Utomo pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta, terjadi pergeseran arah dan tujuan dari Budi Utomo, karena peserta Kongres didominasi oleh para bangsawan dari golongan tinggi, yang banyak di antaranya adalah pegawai-pegawai pemerintah kolonial. Banyak dari mereka yang tidak setuju dengan gagasan memberikan biaya pendidikan untuk putra-putra bangsawan rendah. Mereka berpendapat, cukup bangsawan tinggi yang mendapat pendidikan lanjutan. Yang menentang gagasan untuk memberi beasiswa kepada putra-putra bangsawan golongan rendah, a.l. Kanjeng Raden Tumenggung Rajiman Wedyodiningrat, yang adalah keponakan dari Wahidin Sudirohusodo. Dia bahkan tidak menyetujui pendididan barat untuk masyarakat etnis Jawa.

 

Terjadi polarisasi antara golongan muda dengan golongan tua, yang dimenangkan oleh golongan tua. Yang terpilih sebagai ketua adalah Raden Adipati Tirtokusumo, mantan Bupati Karanganyar. Pribumi, terutama para bangsawan tinggi yang dapat menjadi Bupati atau pejabat di pemerintah kolonial adalah orang-orang yang patuh dan setia kepada Belanda. Setelah Budi Utomo berdiri, banyak bangsawan dan pejabat kolonial dari etnis Jawa yang masuk menjadi pengurus dan anggota Budi Utomo. Budi Utomo sama sekali tidak berpolitik, bahkan masih bekerjasama erat dengan pemerintah kolonial. Hal ini membuat para pemuda pendiri Budi Utomo tidak puas.

 

Ada dua versi mengenai konflik para pemuda pendiri Budi Utomo dengan kaum bangsawan tinggi pimpinan Budi Utomo. Versi pertama menyebut, bahwa mereka keluar dari Budi Utomo. Versi lain, yaitu dari Iwa Kusuma Sumantri yang pernah menulis, bahwa Sutomo dan teman-temannya yang dianggap radikal oleh para bangsawan golongan tinggi, dikeluarkan dari Budi Utomo. Iwa Kusuma Sumantri berkenalan dengan Sutomo ketika mereka bersama-sama menjadi anggota Indische Vereeniging (Perhimpunan India) di Belanda. Perlu penelitian yang lebih mendalam mengenai permasalahan antara pimpinan Budi Utomo dengan Sutomo dan kawan-kawannya pada awal berdirinya Budi Utomo.

 

Setelah selesai sekolah dokternya, Sutomo mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Belanda tahun 1919 – 1923. Setelah kembali ke Nederlands Indië, dia tidak bergabung kembali ke Budi Utomo, melainkan mendirikan Indonesische Studie Club (Perkumpulan Studi Indonesia) di Surabaya. Tahun 1930  Indonesische Studie Club menjadi Partai Bangsa Indonesia.

 

Karena menganggap bahwa Budi Utomo merupakan organisasi elit para bangsawan Jawa golongan tinggi, maka kaum muda Jawa dipimpin oleh Satiman Wirjosanjoyo pada 7 Maret  1915 mendirikan organisasi pemuda Jawa yang dinamakan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia). Yang dapat diterima jadi anggota Tri Koro Dharmo, seperti juga Budi Utomo, adalah para pemuda etnis Jawa dan Madura.[[2]] Dalam Kongres pertamanya di Solo pada 12 Juni 1918, nama Tri Koro Dharmo diganti menjadi Jong Java dalam bahasa Belanda, yang artinya dalam bahasa Melayu adalah Pemuda Jawa. Bahasa pengantar yang digunakan juga bahasa Belanda. Tujuan Jong Java adalah mendirikan “Jawa Raya” yang akan mencakup Madura, Sunda (Jawa Barat) Bali dan Lombok.[[3]] Oleh karena itu Jong Java memperluas keanggotaannya ke pemuda Sunda, Bali dan Lombok. Dalam kongres Jong Java ke lima di Solo tahun 1922, masih ditegaskan bahwa organisasi Jong Java tidak berpolitik.

 

Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, Ali Sastroamijoyo menuturkan pengalamannya sebagai seorang pemuda berusia 20 tahun, anggota Jong Java, datang ke Belanda awal tahun 1923 dan kemudian menjadi anggota Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Pada waktu itu, organisasi Perhimpunan Indonesia sudah sangat politis dan sudah mencetuskan gagasan “Indonesia Merdeka.’ Ali Sastroamijoyo menulis a.l.:

“Sebagai diketahui, Jong Java itu bergerak atas dasar kebudayaan Jawa, sehingga pandangan politiknya sempit sekali. Kedaerahan dan kesukuan Jawalah yang menjadi dasar cita-cita dan kegiatannya. Oleh karena itu pandangan atau cita-cita politik dan sosial budaya sayapun masih sangat ke jawa-jawaan ketika saya tiba di negeri Belanda.” [[4]]

 

Hal seperti ini, yaitu gagasan mempersatukan berbagai etnis di wilayah jajahan Belanda untuk menuju kemerdekaan, dialami oleh semua pemuda pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda, ketika pertama kali bergabung dengan Indische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia mulai tahun 1913, yaitu setelah masuknya Cipto Mangunkusumo, Suryadi Suryaningrat dan GSSJ (Sam) Ratu Langie menjadi anggota Indische Vereeniging.

 

Di Batavia, para pemuda pribumi dari berbagai daerah di luar Jawa juga mendirikan organisasi-organisasi pemuda yang masih berdasarkan etnis atau berasal dari pulau yang sama, yaitu Jong Sumateranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatera, didirikan pada 9 Desember 1917), Jong Ambon (Pemuda Ambon, didirikan tahun 1918), Studeerende Minahasaers (Pelajar Minahasa, didirikan tahun 1918), Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda, didirikan tahun 1924), Jong Bataksche Bond (Persatuan Pemuda Batak, didirikan pada 24 Oktober 1926), Pemuda Kaum Betawi (didirikan tahun 1927), dll. Juga organisasi pemuda pribumi yang berdasarkan agama, seperti Katholieke Jongelingen Bond (Persatuan Pemuda Kristen Katholik, didirikan pada bulan November 1914), dan  Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Islam, didirikan pada 9 Januari 1925). Tujuan mendirikan organisasi-organisasi berdasarkan daerah asal atau kesamaan agama, adalah untuk saling membantu, atau untuk memajukan kesenian dan kebudayaan etnis/daerahnya.

 

Primordialisme di kalangan pemuda pribumi pada waktu itu masih sangat kuat, sehingga sulit untuk melakukan persatuan lintas etnis/agama organisasi-organisasi pemuda pribumi. Bahkan di Batavia sering terjadi konflik di antara pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah, dengan para pemuda etnis Jawa. Tidak jarang terjadi perkelahian di antara mereka, yang juga kadang-kadang melibatkan pemuda Belanda dan pemuda Indo (keturunan campuran Eropa – pribumi). Hal ini dituturkan oleh Ki MA Machfoeld, seorang peserta Kongres Pemuda II. [[5]]

Sampai tahun 1926, belum ada satu pun organisasi pemuda pribumi Nederlands Indië yang anggotanya terdiri dari beragam etnis dari lain pulau (kecuali pemuda Madura yang bergabung dengan Jong Java. Pemuda Sunda juga bergabung dengan Jong Java) dalam rangka mendirikan “Jawa Raya.” Namun kemudian Para pemuda Sunda keluar dari Jong Java. Menurut Hamami, karena bahasa pengantar di Jong Java adalah bahasa Belanda, banyak pemuda Sunda yang keluar dari Jong Java karena mereka tidak fasih berbahasa Belanda. Para pemuda Sunda, a.l. Hamami, Iki Adiwijaya, Sastranegara, dll., kemudian mendirikan Sekar Rukun, yang tujuannya adalah memajukan kesenian Sunda.[[6]]

 

 Semula, para pemuda Batak bergabung dalam Jong Sumateranen Bond (JSB). Karena mereka menilai, bahwa dalam kepengurusan JSB didominasi oleh pemuda-pemuda dari Minangkabau, maka para pemuda Batak memisahkan diri dan pada 24 Oktober 1919 mendirikan organisasi sendiri yang dinamakan Jong Bataksche Bond (Pemuda Batak). Para pendirinya a.l.  Amir Syarifuddin Harahap (1907 – 1948), Ferdinand Lumban Tobing (1899 – 1962), Sanusi Pane (1905 – 1968), dll. Tujuannya, selain saling membantu di kalangan pemuda Batak, juga untuk memajukan kebudayaan Batak.  Amir Syarifuddi Harahap kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri Republik Indonesia, dr. Ferdinand L.. Tobing menjadi Menteri Penerangan RI dan Sanusi Pane menjadi budayawan yang terkenal di Indonesia.

 

Juga belum ada satupun organisasi pemuda pribumi yang bersifat politis dan bertujuan untuk melepaskan diri dari penjajahan. Belum ada yang membicarakan mengenai nasionalisme (kebangsaan). Bahkan sebelum tahun 1920-an, di wilayah Nederlands Indië nama Indonesia belum dikenal. Organisasi pemuda pribumi di Nederlands Indië yang pertama kali menggunakan nama Indonesia dan anggotanya multi etnis adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), yang didirikan pada bulan September 1926, setelah Kongres Pemuda – Pemudi Indonesia I (30 April – 2 Mei 1926). PPPI menjadi salahsatu organisasi pemuda pribumi yang berperan atas terselenggaranya Kongres Pemuda II tahun 1928.

 

Di Nederlands Indië, karena tidak banyak perempuan Belanda atau perempuan Eropa, menyebabkan banyak pria Belanda/Eropa menikah dengan perempuan pribumi, atau hanya “memelihara” gundik yang disebut sebagai “Nyai.” Anak-anak mereka dinamakan sebagai “Indo.” Istilah ini muncul di akhir abad 19, untuk menamakan anak - anak dari ayah Belanda/Eropa dan ibu pribumi. Mereka dinamakan sebagai “Indo-European” (Orang India-Eropa) yang kemudian disingkat menjadi “Indo” saja. Kata Indo berasal dari bahasa Yunani, yang artinya adalah India.

 

Untuk orang-orang Belanda/Eropa “totok”, orang-orang Indo dianggap lebih rendah dan mereka mengalami diskriminasi dalam banyak hal. Oleh karena itu tahun 1898 orang-orang Indo mendirikan organisasi khusus untuk orang-orang Indo yang dinamakan Indische Bond. Karena diskriminasi yang mereka alami semakin besar, orang-orang Indo kemudian bertujuan memisahkan diri dari pemerintah Belanda dan akan mendirikan pemerintahan sendiri. Karena jumlah mereka tidak cukup banyak dan tidak cukup kuat, beberapa dari mereka ingin menggandeng pribumi dan juga keturunan campuran Cina-pribumi. Namun gagasan ini ditolak oleh sebagian pimpinan dan anggota Indische Bond.

 

Salahseorang Indo, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, banyak mempunyai kenalan di kalangan pribumi. Pada 25 Desember 1912 Douwes Dekker bersama RM Suwardi Suryaningrat (1889 - 1959) yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara dan dr. Cipto Mangunkusumo (1886 – 1943) mendirikan Indische Partij (Partai India). Mereka dikenal sebagai “tiga serangkai.” Nama Indonesia juga belum dikenal oleh para pendiri Indische Partij.

 

Indische Partij merupakan organisasi, sekaligus merupakan Partai Politik Pertama di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara. Para pimpinan/pengurus dan anggotanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai etnis/daerah di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dan juga sangat banyak orang Indo, yang merupakan mayoritas anggotanya.

 

Tujuan dari Indische Partij adalah suatu pemerintahan sendiri, yang terlepas dari pemerintah Belanda. slogan mereka adalah: “Indie voor Indier!” (India untuk orang-orang India). Dalam waktu singkat, Indische Partij telah memiliki 7.000 anggota. Namun Partai Politik pertama ini didominasi oleh para Indo. 5.000 orang anggota Indische Partij adalah orang-orang Indo. Karena tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial, pada bulan Maret 1913 Indische Partij dibubarkan. Indische Partij bukan merupakan pergerakan kebangsaan pribumi di wilayah jajahan Belanda, karena awalnya digagas oleh orang-orang Indo yang ingin mendirikan pemerintahan sendiri, di mana mereka penguasanya yang lepas dari pemerintah Belanda.

 

Setelah Indische Partij dibubarkan, Suwardi Surjaningrat, Cipto Mangunkusumo dan beberapa orang pribumi lain mendirikan Komite Bumi-Putra yang juga bersifat politis. Semua aktifis dan anggota Komite adalah pribumi. Komite ini dibentuk untuk menyindir perayaan 100 tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis tahun 1813., dan berdirinya Kerajaan Belanda, yang selama ratusan tahun berbentuk Republik.

 

Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap memprovokasi rakyat, ketiga tokoh “tiga serangkai” tersebut ditangkap. Mula-mula Cipto dibuang ke Banda, Suwardi dibuang ke Bangka dan Douwes Dekker dibuang ke Kupang. Kemudian ketiganya menggunakan hak untuk minta diasingkan ke Belanda. Permintaan mereka dikabulkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Pada waktu itu dalam Undang-undang Nederlands Indië ada pasal Exorbitante rechten, yang memberi hak kepada Gubernur Jenderal untuk menangkap dan membuang atau mengasingkan orang-orang yang dipandang berbahaya untuk pemerintah kolonial. Sangat banyak tokoh pribumi yang dijerat dengan Pasal Exorbitante rechten dan dibuang ke berbagai tempat di wilayah jajahan Belanda, atau diasingkan ke Belanda.

 

 

Perhimpunan Indonesia di Belanda

 

Di awal abad 20, seiring dengan politik etis (politik “balas budi”) yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, akibat kritik tajam dari Theodor van Deventer, anggota parlemen Belanda yang adalah mantan pengacara di Semarang, makin banyak pemuda-pemuda pribumi dari berbagai wilayah jajahan Belanda di Nederlands Indië (India Belanda), melanjutkan pendidikan di Belanda dan di negara-negara Eropa lain.

 

Rajiun Harahap (1874 – 1927), seorang pemuda dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara, ke Belanda tahun 1904 untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru di Harlem. Dia kemudian sempat menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuijsen (1856 – 1917). Van Ophuijsen pernah menjadi guru di sekolah guru Kweekschool di Padang Sidempuan, kota kelahiran Rajiun Harahap. Tahun 1896 Van Ophuijsen ikut menyusun ejaan bahasa Melayu, menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini kemudian dikenal sebagai ejaan Ophuijsen.

 

      Rajiun Harahap gelar Sutan Soripada Kasayangan

Pada 25 Oktober 1908, Rajiun Harahap yang kemudian bergelar Sutan Kasayangan Soripada, mengundang sekitar 15 orang pemuda-pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda di Nederlands Indië yang pada waktu itu melanjutkan pendidikan di Belanda. Mereka a.l. adalah Raden Arya Adipati Sumitro Kolopaking, Raden Mas Noto Suroto, R. Husein Jajadiningrat, dll., ke kediamannya di Hoogewoerdt 49, Leiden. Rajiun Harahap menyampaikan gagasannya mendirikan suatu organisasi untuk para pemuda pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië. Tujuannya adalah saling membantu di antara sesama perantau dari Nederlands Indië. Semua yang hadir menyetujui gagasan Rajiun Harahap tersebut.

 

Pada 15 November 1908, bertempat di Restoran Oost en West, Den Haag, diadakan rapat yang dihadiri a.l. oleh Rajiun Harahap, Raden Husein Jayadiningrat RAA Sumitro Kolopaking, Raden Mas Panji Sosrokartono (abang kandung dari Raden Ajeng Kartini), Raden Mas Noto Suroto, dll. Dalam rapat tersebut disepakati, organisasi yang dibentuk dinamakan dalam bahasa Belanda Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Rajiun Harahap menjadi Ketua dan RAA Sumitro Kolopaking menjadi Sekretaris. Indische Vereeniging bukan hanya merupakan organisasi pemuda pribumi pertama yang tidak berdasarkan etnis (suku)/kedaerahan atau keagamaan, tetapi secara keseluruhan juga merupakan organisasi pribumi pertama yang multi etnis/suku dan agama. Di sini sebenarnya akar Bhinneka Tunggal Ika bangsa Indonesia.

 

Semula ada yang mengusulkan, agar organisasi yang akan didirikan merupakan cabang dari Budi Utomo, yang didirikan pada 20 Mei di tahun yang sama di Batavia. Namun usulan tersebut ditolak, karena Budi Utomo pada waktu itu didirikan oleh para pemuda dari etnis Jawa dan hanya untuk para pemuda bangsawan golongan rendah dari Jawa dan Madura saja. .

 

Tujuan utama didirikannya Indische Vereeniging tertera di pasal 2 Anggaran Dasar, yaitu Tujuan perhimpunan adalah memajukan kepentingan bersama orang Hindia di Negeri Belanda dan menjaga hubungan dengan Hindia Timur Belanda.” selanjutnya di Pasal 3 tertera,  “Memajukan pergaulan antara orang Hindia di Nederland dan dengan mendorong orang Hindia untuk datang belajar di Nederland.” Pada awal berdirinya, organisasi Indische Vereeniging masih tidak bersifat politis.

 

Rajiun Harahap menjadi Ketua Indische Vereeniging dari tahun 1908 – 1911. Rajiun Harahap kemudian diganti oleh RM Noto Suroto yang menjadi Ketua Indische Vereeniging  dari tahun 1911 – 1914.

 

Pada waktu itu, wilayah Nederlands Indië (India Belanda) oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indië (India) dan penduduk pribuminya dinamakan Indiër (orang India). Orang Belanda menyebut India jajahan Inggris sebagai “India Depan” (Voor Indië) dan wilayah Asia Tenggara sebagai “India Belakang” (Achter Indië). Penyebutan ini sering menimbulkan kerancuan dengan Sub-kontinen India jajahan Inggris. Nama lengkap wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara adalah Nederlands-Oost Indië (India Belanda Timur), karena Belanda juga memiliki jajahan di benua Amerika, yang dinamakan Nederlands - West Indië (India Belanda Barat).

 

Pada awal abad 20 para ilmuwan Belanda, terutama para etnolog, antropolog dan filolog telah menggunakan nama  “Indonesier” (orang Indonesia) untuk menamakan penduduk di wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara. dan “Indonesisch,” untuk bentuk ajektivnya.  Para ilmuwan Belanda pada waktu itu menyangka, bahwa nama “Indonesia” (Bahasa Jerman: Indonesien) diciptakan oleh seorang dokter dan etnolog Jerman, Adolf Bastian. Namun ternyata hal ini salah, karena yang “menciptakan” nama Indunesian” adalah seorang Inggris, George Samuel Windsor Earl. Dia memberi nama untuk orang-orang dari cabang ras Polinesia berkulit coklat, yang menghuni kepulauan India (Indian Archipelago). Nama ini diubah satu hurufnya oleh James Richardson Logan, seorang pengacara asal Skotlandia. Oleh James Richardson Logan, nama Indunesian, diubah menjadi Indonesian.

 

Seandainya pada waktu itu orang-orang Belanda tersebut sudah mengetahui bahwa nama “Indonesia” adalah ciptaan seorang Inggris dan sedikit diubah oleh seorang Skotlandia, kemungkinan mereka tidak mau menggunakan nama tersebut, karena Inggris adalah musuh bebuyutan Belanda selama ratusan tahun dalam memperebutkan wilayah-wilayah jajahahan di luar Eropa. Di lain pihak, para ilmuwan Inggris juga tidak suka menggunakan nama-nama yang diberikan oleh orang Belanda, yaitu Netherlands Indie, atau Netherlands East Indie, sehingga tahun 1850 George Samuel Windsor Earl “menciptakan” nama untuk penghuni kepulauan India (Indian Archipelago).

 

Para pemuda bangsa Cina di Belanda yang berasal dari Nederlands-Indië, tahun 1911 mendirikan organisasi sendiri yang dinamakan Chung Hwa Hui.

 

Dalam Kongres yang diselenggarakan oleh Persatuan Indologi di Kota Leiden, Belanda, pada 23 dan 24 November 1917, didirikan organisasi yang dinamakan Indonesisch Verbond van Studeerenden (Ikatan/Perhimpunan Pelajar Indonesia). Berdirinya organisasi ini diprakarsai oleh a.l. Hubertus van Mook dan JA Jonkman. Van Mook kemudian menjadi wakil Gubernur Jenderal di pemerintah Nederlands Indie, di bawah Gubernur Jenderal terakhir, yang ke 64, Jonkheer Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer. Jonkman kemudian menjadi Ketua Volksraad (Dewan Rakyat) di Nederlands Indië. Para anggota organisasi ini terdiri dari pelajar/mahasiswa bangsa Belanda yang akan bertugas di Nederlands Indië, para pemuda bangsa Cina dan pribumi yang berasal dari wilayah jajahan Belanda. Indische Vereeniging, organisasi para pribumi dan organisasi pemuda Cina, Chung Hwa Hui ikut menjadi bagian dari Indonesisch Verbond van Studeerenden. Organisasi ini  merupakan organisasi pertama yang menggunakan kata “Indonesisch,” bentuk ajektiv dari kata Indonesia, dalam bahasa Belanda.

 

 

 

 

Mencari Identitas Untuk Negara dan Bangsa Yang Akan Didirikan

 

Tokoh-tokoh pergerakan pribumi menyadari, bahwa mereka berasal dari berbagai etnis (suku) di wilayah jajahan Belanda dan belum merupakan suatu nation (bangsa). Tokoh-tokoh pribumi yang belajar di Belanda dan tergabung dalam Indische Vereeniging sangat aktif berinteraksi dengan gerakan-gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme yang sangat besar di Eropa pada awal abad 20. Mereka mempelajari sistem-sistem pemerintahan, sistem hukum dan perundang-undangan, sistem perekonomian terutama sistem koperasi untuk melawan pemodal besar/kapitalis, dll.

 

Mereka mencermati, bahwa bentuk negara-negara di Eropa adalah Negara Bangsa (Nation State). Konsep Negara Bangsa ini digagas pertama kali dalam Perdamaian Westfalia, tahun 1648. Perdamaian Westfalia yang diselenggarakan di Muenster dan Osnabrueck, Jerman, mengakhiri perang 30 tahun antara kerajaan-kerajaan yang menganut ajaran Kristen Katholik di Eropa bagian tengah/selatan, melawan kerajaan-kerajaan yang menganut ajaran Kristen Protestan di Eropa tengah/utara. Perdamaian Westfalia juga mengakhiri perang 80 tahun antara Republik Belanda melawan mantan penjajahnya, Spanyol.

 

Sebagai dasar persatuan untuk mendirikan Negara Bangsa, para para mahasiswa pribumi dari Nederlands Indië mencari definisi yang tepat mengenai bangsa dan ikatan suatu bangsa. Cukup banyak definisi mengenai bangsa yang disampaikan oleh para filosof di abad 19 dan awal abad 20, a.l. Johan Gottlieb Fichte, John Stuart Mill, dll. Pada umumnya definisi suatu bangsa berkisar pada kesamaan asal-usul, wilayah, budaya/tradisi dan bahasa. Yang termasuk paling populer dan aktual mengenai definisi bangsa pada waktu itu adalah pendapat dari Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) dan Otto Bauer (1881 – 1938). Mengenai adanya kesamaan bahasa untuk suatu bangsa, menjadi salahsatu topik utama dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama yang diselenggarakan di Batavia (sekarang Jakarta), dari tanggl 30 April – 2 Mei 1926., Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama ini kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Dalam kongres ini pertama kali dicetuskan gagasan Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa.

 

Ernest Renan, seorang filosof dan sejarawan Perancis mendefinisikan pembentukan suatu bangsa sebagai “Le desir d’etre ensemble,” yaitu kemauan untuk berkumpul/menjadi satu. Sedangkan Otto Bauer mantan Menteri Luar Negeri Austria mendefinisikan bangsa sebagai “Eine Nation ist  eine aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Character-gemeinschaft.” (Satu bangsa adalah suatu masyarakat dengan karakter/ciri yang sama yang tumbuh berdasarkan kesamaan nasib/sejarah). Kedua definisi ini menjadi butir pertama dan kedua dalam dasar-dasar persatuan yang dirumuskan dalam resolusi pada  Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober 1928. Selain mencari definisi yang tepat mengenai bangsa, yang juga menjadi bahan pembahasan adalah mencari nama untuk negara dan bangsa yang akan didirikan, serta mencari bahasa yang akan digunakan sebagai bahasa persatuan.

 

 

 

 

 

Kiprah Perhimpunan Indonesia Sebagai Organisasi Politik

 

Masuknya Sam Ratulangie, RM Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo menjadi anggota Indische Vereeniging (IV) tahun 1913 membuat organisasi ini menjadi organisasi yang bersifat politis yang berjuang untuk kemerdekaan wilayah jajahan Belanda.  Noto Suroto menggantikan Rajiun Harahap sebagai Ketua IV. Kemudian Noto Suroto diganti oleh Sam Ratulangie yang menjadi menjadi Ketua IV tahun 1914 – 1915.. Yang juga pernah menjadi Ketua IV adalah Dahlan Abdullah. Suwardi Suryaningrat menjadi Ketua IV tahun 1917 - 1918, Indische Vereeniging berubah menjadi organisasi politik. Wakil Ketuanya adalah Gunawan Mangunkusumo, adik dari Cipto Mangunkusumo. Gunawan Mngunkusumo menjadi Ketua IV tahun 1918 – 1819. Namun dengan masuknya Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo yang adalah tokoh-tokoh politik yang diasingkan dari Nederlands Indië, membuat Indische Vereeniging diawasi  dengan ketat oleh Dinas Intelijen Politik pemerintah Belanda. Ahmad Subarjo menjabat sebagai Ketua Indische Vereeniging dari tahun 1919 – 1921, dan kemudian diganti oleh dr. Sutomo, pendiri Budi Utomo, yang menjadi Ketua Indische Vereeniging tahun 1921 selama satu tahun sampai tahun 1922. 

 

 

RM Suwardi Suryaningrat

 

Samuel GSSJ  Ratulangi


 

R. Ahmad Subarjo

 

dr. Sutomo
 


Dalam rapat tanggal 19 Februari 1922 Hermen Kartowisastro terpilih sebagai Ketua Indische Vereeniging, menggantikan dr. Sutomo (dalam "Memoir M. Hatta" ditulis Hermen Kartawisastra). Nama organisasi Indische Vereeniging (Perhimpunan India) diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia).[[7]] Dengan demikian, organisasi pemuda pribumi tersebut adalah organisasi pertama yang menggunakan nama INDONESIA, walaupun masih dalam bahasa Belanda, karena memang kedudukan organisasinya di Belanda. Tanggal 19 Februari 1922 dapat ditetapkan sebagai “lahirnya” gagasan untuk mendirikan Negara dan Bangsa yang akan dinamakan INDONESIA.

 

Dalam Memoir-nya, Mohammad Hatta menulis, bahwa nama “Indonesia” diperkenalkan oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven. Dalam bukunya, Vollenhoven menulis “Indonesiër (Orang Indonesia)”, sebutan untuk penghuni di wilayah jajahan Belanda, dan tidak lagi menulis sebagai Indiër (orang India). Sebagi ajektiv ditulis “Indonesisch.” Namun menurut Hatta, nama “Indonesia” dalam bahasa Melayu adalah murni “ciptaan” Indonesische Vereeniging.  Tahun 1927 baru diketahui dari tulisan Dr. Kremer dalam Koloniaal Weekblad 3 Februari 1927, bahwa perkataan itu (Indonesiër, Indonesisch), dalam tahun 1850 sudah dipakai oleh seorang etnolog Inggris bernama Logan dalam karangannya yang berjudul “The ethnology of the India Archipelago.” [[8]]

 

Demikian ditulis oleh Hatta dalam Memoir-nya.

 

Beberapa catatan penulis seputar nama Indonesia:

-       Yang pertama kali “menciptakan” nama Indonesia adalah George Samuel Windsor Earl, seorang etnolog autodidak asal Inggris. Dia menulis artikel dalam Jurnal yang terbit di Singapura, The ethnology of the Indian Archipelago” edisi ke IV bulan Februari 1850. Dia memberi nama untuk cabang ras polynesia berkulit coklat yang menghuni Indian Archipelago (Kepulauan India). Semula Earl menamakan “INDUNESIAN.” Namun dia merasa penamaan ini kurang tepat, dan “menciptakan” nama baru, yaitu “Melayunesian.” Pendiri dan editor jurnal tesebut, James Richardson Logan, seorang pengacara asal Skotlandia, senang dengan nama tersebut dan mengubah satu huruf, yaitu huruf “U” diganti dengan huruf “O”, sehingga menjadi “INDONESIAN”, yaitu penghuni kepulauan India (Indian Archipelago).

Penamaan ini hanya untuk penghuni kepulauan India yang berkulit coklat. Sedangkan penduduk di Maluku, Timor dan Papua dinamakan “MELANESIAN”, penghuni yang berkulit hitam.

-       Pada waktu itu, para tokoh pergerakan pribumi dari wilayah jajahan Belanda tidak mau menggunakan nama yang diberikan oleh penjajah, yaitu Nederlands Indië (India Belanda) dan penduduknya hanya disebut sebagai Indiër (orang-orang India).  Mereka baru mengetahui tahun 1927, bahwa nama tersebut bukan “diciptakan” oleh seorang dokter dan etnolog Jerman, Adolf Bastian, melainkan oleh orang Inggris dan orang Skotlandia, yang terrmasuk dalam Britania Raya. Inggris juga pernah menjajah wilayah yang sekarang menjadi Indonesia, dari tahun 1811 – 1816. Apakah para tokoh pribumi juga akan memilih nama ini sebagai nama negara dan bangsa yang akan didirikan, seandainya pada waktu itu mereka telah mengetahui, bahwa nama tersebut juga “pemberian” mantan penjajah?

 

Demikan catatan seputar nama INDONESIA.

 

Tahun 1923 Iwa Kusuma Sumantri menjadi Ketua Indische Vereeniging. Iwa mengeluarkan pernyataan yang merupakan garis besar/visi yang menjadi landasan kepengurusannya, yaitu:

“Masa datang, bangsa Indonesia semata-mata dan hanya terletak pada adanya suatu bentuk pemerintah yang bertanggungjawab kepada rakyat dalam arti sebenarnya, karena hanya bentuk pemerintah yang semacam itu harus dituju oleh tiap-tiap orang Indonesia menurut kecakapannya dengan kekuatan dan kemampuan diri-sendiri bebas dari bantuan asing. Tiap-tiap perpecahan tenaga-tenaga Indonesia, dalam bentuk apa pun, ditentang sekeras-kerasnya, karena hanya persatuan tenaga-tenaga putera Indonesia dapat mencapai tujuan bersama ini.” [[9]]

 

 

R. Iwa Kusumasumantri

 

 Dalam pernyataannya ini, Iwa Kusuma Sumantri telah mengindikasikan adanya suatu pemerintah Indonesia yang bertanggungjawab kepada rakyat Indonesia. Iwa juga meletakkan dasar strategi perjuangan, yaitu non-kooperasi, artinya tidak mau bekerjasama dengan penjajah, yaitu Belanda. iwa juga menggaris-bawahi bahwa ‘persatuan tenaga-tenaga putera Indonesia,’ menjadi syarat utama untuk mencapai tujuan besama. Pernyataan Iwa ini merupakan embrio untuk persatuan pribumi di wilayah jajahan Belanda. Sejak kepemimpinan Iwa Kusuma Sumantri, ditetapkan garis-garis perjuangan yang lebih nyata menuju kemerdekaan Indonesia.

 

Pada 9 Februari 1924 Nazir Datuk Pamuncak terpilih sebagai Ketua Indonesische Vereeniging menggantikan Iwa Kusuma Sumantri. Nazir menyampaikan

garis besar program kerja kepengurusannya, yaitu: [[10]]

-       Hanya Indonesia yang bersatu, dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan golongan dapat mematahkan kekuasaan penjajahan.

-       Tujuan bersamamemerdekakan Indonesia- menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang massif dan berdasar kepada tenaga sendiri.

-       Melihat dua macam penjajahan, politik dan ekonomi, aksi itu adalah suatu persediaan bagi kemerdekaan politik dan satu sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan Indonesia.

 

Dalam uraiannya tentang keterangan dasar itu, Nazir Pamuncak menegaskan, akan melanjutkan yang telah digariskan oleh Iwa Kusuma sumantri, yaitu politik non-kooperasi sebagai sendi perjuangan rakyat Indonesia. Kerjasama dengan si penjajah untuk mencapai cita-cita, kemerdekaan Indonesia, tidak lain dari menipu diri sendiri. Kerjasama hanya mungkin antara dua golongan yang sama haknya dan kewajibannya dan sama kepentingannya. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, kerjasama seperti ini berarti pihak yang kuat memperlakukan kerjasama ini sebagai alat untuk kepentingan sendiri. Tahun 1924 juga dilakukan perubahan nama organisasi secara resmi. Nama organisasi diganti dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu menjadi PERHIMPUNAN INDONESIA.

 

Dalam pernyataannya di awal masa kepengurusannya, Nazir Pamuncak telah maju selangkah lagi, yaitu dengan tegas dan berani, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan tujuan bersama, yaitu memerdekakan Indonesia. Pernyataan ini disampaikan di Belanda, di negeri penjajah. Nazir Pamuncak melanjutkan visi dan program Iwa Kusuma Sumantri, yaitu perlu adanya persatuan dan strategi perjuangan adalah non-kooperasi. Menolak kerjasama dengan si penjajah, Belanda.

 

Dalam rapat tanggal 11 Januari 1925, Sukiman Wiryosanjoyo (19.6.1898 – 23.7.1974). terpilih sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia. (Sukiman Wiryosanjoyo tahun 1951 menjadi Perdana Menteri RI ke 6. Sukiman adalah adik dari Satiman Wiryosanjoyo, pendiri Jong Java.) Sukiman juga melanjutkan visi, program kerja dan strategi perjuangan yang telah dicetuskan oleh ketua-ketua PI/IV sebelumnya dan melengkapinya. Program kerjanya menjadi pernyataan umum (manifesto politik) Perhimpunan Indonesia, yang dimuat dalam Organ/Bulletin Perhimpunan Indonesia, “Indonesia Merdeka.” Pernyataan umum ini kemudian dikenal sebagai MANIFESTO POLITIK PERHIMPUNAN INDONESIA TAHUN 1925.

 

Teks Pernyataan Umum Perhimpunan Indonesia (dalam bahasa Belanda) adalah sebagai berikut: [[11]]

1.    Slechts een sich een voelend Indonesie, onderlige groepsverschillen ter zijde stellend, kan de macht van de overheersching breken.

Het gemeenschappelijke doel –de vrijmakin van Indonesie- eischt de tot standkoming van een bewuste, ob eigen krachten steunende nastionalistische  massa actie.

2.    De deelname van alle lagen van het Indonesische volk in dezen vereenigden onafhandelijkheidstrijd is mede vollstrekt noodzakelijke voorwaarde ter bereiking van dat doel.

3.    Domineerend en essentiel element in elk koloniaal staatkundig problem is de belangen tegenstelling tusschen overheerscher en overheerschte.

De tendenz van de politiek van den overheerscher naar verdoezeling en maskeering van dit element moet van de zijde van den overheerschte worden beantwoord met verscherping en accentueering van alle tegenstellingen.

4.    Gezien den ontwrichtenden en demoraliseerenden invloed der overheersching op de physische en psychische gestedtheid van het Indonesische  leven, dient krachtig te worden gearbeid van de normaliseering der gesteelijke en materieele verhoudingen.

 

Demikian teks Manifesto Politik dalam bahasa Belanda.

 

Ada dua versi terjemahannya, yaitu yang ada di buku “45 TAHUN SUMPAH PEMUDA” dan di buku “MEMOIR M. HATTA.” Walaupun redaksi terjemahannya agak berbeda, namun substansi kedua terjemahan tersebut sama. 

Terjemahan di buku “45 Tahun sumpah Pemuda: [[12]]

1.    Hanya suatu Indonesia yang merasa dirinya satu, sambil mengesampingkan segala perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain, dapat mematahkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama pembebasan Indonesia, menuntut adanya suatu aksi umum yang insaf, bersandar atas kekuatan sendiri dan bersifat kebangsaan.

2.    Turut campurnya segala lapisan rakyat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan ini ialah juga suatu syarat yang penting sekali untuk mencapai tujuan itu.

3.     Unsur yang terkemuka dan terpenting dalam tiap-tiap masalah pemerintahan ialah kepentingan yang berlawanan antara si penjajah dan si terjajah. Maksud si penjajah untuk mempertipis dan menutupi unsur itu harus disambut dari fihak si terjajah dengan mempertajam dan memperhebat semua hal yang berlawanan itu.

4.    Melihat pengaruh penjajahan yang merusak dan menurunkan kesusilaan terhadap kehidupan Indonesia di bidang jasmani dan rohani, maka perlu diusahakan untuk membuatnya normal kermbali.

 

Mohammad Hatta, yang pernah tinggal selama 11 tahun di Belanda, dalam Memoir-nya menulis terjemahan Manifesto Politik sbb.:[[13]]

 

 

Mohammad Hatta

 

 

1.    Hanya suatu Indonesia yang merasa bersatu, dengan menyingkirkan perbedaan-prebedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan penjajahan.

Tujuan bersama, yaitu memerdekakan Indonesia, menghendaki adanya suatu aksi massa nasional yang insaf berdasar pada kekuatan sendiri.

2.    Ikut sertanya segala lapisan masyarakat Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan bersama ini adalah juga suatu syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu.

3.    Anasir yang berkuasa dan esensiil dalam tiap-tiap masalah politik kolonial ialah pertentangan kepentingan antara sipenjajah dan siterjajah. Corak politik sipenjajah untuk mengaburkan dan menutupi anasir itu harus dibalas oleh siterjajah dengan mempertajam dan menyatakan dengan jelas segala pertentangan itu.

4.    Karena penjajahan pengaruhnya merusak dan menimbulkan demoralisasi atas keadaan jiwa dan fisik bangsa Indonesia, maka harus dikerjakan dengan sungguh-sungguh usaha normalisasi perhubungan jiwa dan materiil.

 

Demikian terjemahan M. Hatta.

 

Pokok-pokok garis perjuangan PI adalah:

1.    Suatu Indonesia yang merasa dirinya satu dapat mematahkan kekuatan penjajah. Kalimat ini menunjukkan suatu kesatuan Indonesia, yang merupakan gagasan untuk membentuk BANGSA INDONESIA, untuk mencapai tujuan bersama, yaitu  KEMERDEKAAN INDONESIA, dengan kekuatan sendiri.

2.    Seluruh elemen rakyat Indonesia harus ikut berjuang.

3.    Sifat perjuangan adalah KONFRONTASI, NON-KOOPERASI.

4.    Penjajahan telah merusak jiwa dan fisik rakyat jajahan, yang harus dipulihkan/dinormalkan kembali.

 

Dengan satu kalimat, Manifesto Politik (Pernyataan Terbuka) yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia pada 11 Januari 1925 menegaskan tujuan bersama, yaitu: MEMBANGUAN PERSATUAN UNTUK MEMERDEKAKAN INDONESIA. Dengan kata lain, membangun persatuan pribumi adalah membentuk suatu bangsa, yang akan dinamakan BANGSA INDONESIA. Pernyataan terbuka ini dicanangkan di zaman penjajahan, di negeri sang penjajah, Belanda. Secara politis, langkah ini merupakan “pernyataan perang” terhadap penjajah.

 

Nama Bulletin sudah diganti dari “Hindia Putra” menjadi INDONESIA MERDEKA. Pernyataan terbuka yang dimuat dalam Bulletin Indonesia Merdeka ini merupakan MANIFESTO POLITIK Perhimpunan Indonesia. Pernyataan ini disebarluaskan tidak hanya ke Nederlands Indie, melainkan juga ke kalangan internasional, dalam kongres-kongres atau pertemuan-peremuan internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Perhimpunan Indonesia.

 

Walaupun belum pernah saling betemu, para tokoh pergerakan anti penjajahan dapat saling mengetahui perkembangan baik di Nederlands-Indië maupun di Eropa. Mereka saling mengenal melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan, baik di Belanda maupun di Nederlands-Indië

 

 

Penilaian Terhadap Manifesto Politik PI Tahun 1925

 

Baik sejarawan maupun para tokoh masyarakat memberi penilaian yang sangat positif terhadap Manisfeto Politik Perhimpunan Indonesia Tahun 1925. Prof. Sartono Kartodirjo, Prof. Taufik Abdullah, Prof. Achmad  Syafi’i Maarif menilai, Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia tahun 1925 lebih layak ditetapkan sebagai ‘Kebangkitan Nasional.’

 

Menurut Prof. Sartono, dalam manifesto politik tersebut dimuat beberapa butir landasan nasionalisme sekaligus dasar perjuangan bangsa Indonesia agar terlepas dari kungkungan kolonial. Selanjutnya Sartono berpendapat:

 

Di butir pertama, disampaikan selayaknya Indonesia diperintah oleh orang yang dipilih oleh rakyat Indonesia dan dari kalangan sendiri. Ini implisit sekali sebagai penegakan kedaulatan rakyat. Tentu saja ini menuju kemerdekaan dan demokrasi.

Butir kedua berisikan pernyataan bahwa dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia kala itu tak membutuhkan bantuan dari pihak manapun. Menurut Prof. Sartono, ini masalah otonomi, swadaya suatu bangsa. Jadi tidak menggantungkan pihak manapun.

Butir ketiga menjelaskan, untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia perlu bersatu menggapai cita-cita bersama. Persatuan dan kesatuan, itu conditio sine quanon, persyaratan mutlak menuju kemerdekaan dan nasionalisme.

 

Manifesto politik tersebut sangat penting bagi pergerakan nasional sampai tahun 1945. Manifesto politik tersebut lebih mendasar dari sumpah pemuda di tahun 1928, tiga tahun setelahnya. Sartono menjelaskan, dengan adanya manifesto politik tersebut menjadi titik awal dimulainya modernisasi budaya politik Indonesia. Sebelumnya, menurut Sartono bangsa Indonesia hanya mengenal feodalisme kerajaan, sehingga manifesto politik tersebut merupakan tonggak awal budaya politik yang menuju demokrasi.

 

Salah satu yang dapat dicontoh oleh generasi mahasiswa hari ini adalah ketika para pemuda pelopor manifesto politik tersebut pulang dari Belanda dan merealisasikan gagasan mereka.

Caranya waktu itu, menjadi pemimpin pergerakan nasional dengan hidup penuh kesulitan dari penjara ke penjara. Mereka tidak melakukan terobosan untuk hidup enak dengan membantu kolonial. Kala itu yang paling mendasar dan penting diwujudkan adalah persatuan menuju nasionalisme.Kondisi yang menjamin adanya jalan menuju kesejahteraan adalah persatuan. Narasi persatuan saat itu dihadapkan pada politik kolonial yang memecah belah.

 

Selanjutnya, menurut Sartono Kartodirdjo, asas-asas Perhimpunan Indonesia yang disebut juga Manifesto Politik 1925 ialah fundamen dari Sumpah Pemuda 1928. Dalam manifesto tersebut termuat (1) perjuangan memperoleh kemerdekaan Indonesia; (2) pemerintahan yang dikelola oleh bangsa sendiri atas pilihan sendiri; (3) kesatuan bangsa sebagai syarat utama perjuangan; dan (4) menolak bantuan dari penjajah maupun pihak lain.

 

Demikian pendapat Prof. Sartono Kartodirjo, yang meletakkan dasar untuk penulisan Historiogrfafi Kebangsaan.

 

Menurut Prof. Taufik Abdullah:

“... kalau sejarah kebangsaan dikaji lebih teliti, maka kelihatan bahwa mahasiswa yang bergabung dalam PI di negeri Belanda itulah yang sesungguhnya bisa dianggap pelopor pergerakan nasionalisme antikolonial yang radikal.

Tetapi kalau buku sejarah dibuka, mengapakah peristiwa 28 Oktober 1928 yang selalu dirayakan, yang mengalami proses mitologisasi? Jika diperhatikan secara saksama, jelaslah "Sumpah Pemuda" hanya berhenti pada penyatuan tekad akan bangsa yang satu dan tanah air yang satu, serta menjunjung tinggi bahasa persatuan.

 

Prof. Achmad Ahmad Syafii Maarif juga berpendapat, bahwa Manifesto Politik-lah yang seharusnya dijadikan sebagai penanda Kebangkitan Nasional Indonesia.

 

 

Kiprah Para Mantan Aktifis Indische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia Setelah Kembali Ke Nederlands Indië (India Belanda)

 

Setelah kembali ke India Belanda dari Belanda, para mantan aktifis Indische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia sangat berperan dalam gerakan kebangsaan di India Belanda. Peran Perhimpunan Indonesia dan para aktifisnya sangat besar dalam mendorong para pemuda pribumi di India Belanda untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pribumi, yang sampai Kongres Pemuda I tahun 1926, masih bersifat etnis/kedaerahan atau berdasarkan kesamaan agama.

 

Perjuangan mereka terutama di bidang politik dan pendidikan. Di bidang politik a.l. Sam Ratulangie, Ahmad Subarjo, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Arnold Mononutu, Iwa Kusuma Sumantri, ali Sastro Amijoyo, Sukiman Wiryosanjoyo, dll. di bidang pendidikan, a.l. Rajiun Harahap gelar Sutan Kasayangan Soripada, Suwardi Surjaningrat (Ki Hajar Dewantara).

 

Tokoh-tokoh di bidang politik dan pendidikan yang sangat menonjol dan jabatan yang pernah dipegang setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, adalah:

-       Gerungan Saul Samuel Jacob (Sam) Ratu Langie (5.11. 1890 – 30.6.1949) Ketua Indische Vereeniging tahun 1914 – 1915, Gubernur Sulawesi pertama. Pahlawan Nasional

-       Dahlan Abdullah (15.6.1895 – 12.5.1950. Ketua Indische Vereeniging tahun 1917 – 1918. Duta Besar RIS (Republik Indonesia Serikat)  untuk Irak, Suriah dan Trans-Jordania tahun 1950. Meninggal dalam tugas sebagai Dubes RI di Irak.

-       RM Suwardi Suryaningrat (2.5.1889 – 26.4. 1959), kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara, Ketua Indische Vereeniging tahun 1918 – 1919. Mendirikan Taman Siswa tahun 1922. Menteri Pengajaran RI pertama. Pahlawan Nasional

-       R. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo (23.3. 1896 – 15.12.1978) Ketua Indische Vereeniging dari tahun 1919 – 1921, Menteri Luar Negeri RI pertama. Pahlawan Nasional.

-       Sutomo (30.7. 1888 – 30.5..1938), Pendiri Budi Utomo. Ketua Indische Vereeniging tahun 1921 – 1922. Pahlawan Nasional.

-       Hermen Kartawisastra, Ketua Indische Vereeniging tahun 1922 – 1923). Di masa kepemimpinannya, Nama Indische Vereeniging diganti menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia - PI).

-       Iwa Kusuma Sumantri (31.5.1899 – 27.11.1971) Ketua PI tahun 1923 – 1924). Pahlawan Nasional. Menteri Sosial RI pertama. Menteri Pertahanan RI ke 7.

-       Nazir Datuk Pamuncak (10.4.1896 – 10.7. 1966). Ketua PI tahun 1924 – 1925. Duta Besar RI untuk Perancis. Duta Besar RI untuk Filipina..

-       Sukiman Wiryosanjoyo (19.6.1898 – 23.7.1974). Ketua PI tahun 1924 – 1925). Menteri Dalam Negeri RI ke 6. Perdana Menteri RI ke 6. Sukiman adalah adik dari Satiman Wiryosanjoyo, pendiri Jong Java.

-       Mohammad Hatta (12.8.1902 – 14.3.1980). Ketua PI tahun 1925 – 1930), , sebagai Proklamator bersama Sukarno. Wakil Presiden RI pertama..Perdana Menteri RI ke 3, Menteri Perhanan.. Pahlawan Proklamator.

 

Para aktifis Indische Vereeniging/Perhimpunan Indonesia yang ikut berperan dalam gerakan kebangsaan, a.l.:

-       Ali Sastroamijoyo.(21.5.1903 – 13.3.1876). Perdana Menteri.RI ke 8, Menteri Pertahanan RI ke 10, Menteri Pendidikan RI ke 4.

-       Sutan Syahrir (5.3.1909 – 9.4. 1966). Perdana Menteri RI ke 1 dan ke 2. Pahlawan Nasional

-       Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu (4. 12. 1896 – 5. 9. 1983). Pahlawan Nasional. Menteri Penerangan RI ke 6.

-       Sunario Sastrowardoyo (28.8. 1902 – 18.5. 1997), Menteri Luar Negeri RI ke 7.

 

Setelah pernyataan Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, peran para mantan aktifis Indische Vereeniging/Perhimpuna Indonesia sangat besar dalam perjuangan mempertahanklan kemerdekaan Republik Indonesia melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-anteknya. Juga setelah berakhir perang mempertahankan kemerdekaan tahun 1949, mereka terus berperan dalam segala bidang kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.di Republik Indonesia.

 

 

 

********



[1] Selama ini, Nederlands Indië diterjemahkan sebagai HINDIA Belanda. Terjemahan dari kata Indië adalah India, bukan Hindia. Oleh karena itu saya menggunakan nama India Belanda, bukan Hindia Belanda.

[2] Buku ’45 TAHUN SUMPAH PEMUDA,’ Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, 1974,. Hlm. 31.

[3] Ibid., hlm. 32.

[4] Ibid., hlm. 253 – 255.

[5] Ibid., hlm. 220.

[6] Ibid., hlm. 188.

[7] Mohammad Hatta, ‘MEMOIR,’ Penerbit Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 126.

[8] Hatta, loc.cit.

[9] Hatta, ibid., hlm. 146.

[10] Ibid., hlm 158

[11] “45 TAHUN SUMPAH PEMUDA,”.hlm. 38 – 39.

[12] ’45 TAHUN SUMPAH PEMUDA’, hlm. 38 – 39.

[13] Hatta, ibid., hlm. 171.

No comments: