Friday, August 22, 2025

KRONOLOGI PERJUANGAN MENUNTUT PEMERINTAH INGGRIS

 Kronologi Perjuangan

 

Menuntut Pemerintah Inggris

Atas Pemboman Surabaya, November 1945

 

Disusun oleh

Batara R. Hutagalung

Mantan Pendiri dan Ketua

Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945

 

Kronologi 

Berikut ini adalah kronologi perjuangan menuntut pemerintah Inggris untuk  bertanggungjawab dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia umumnya, rakyat Surabaya khususnya, atas pemboman Surabaya November – Desember 1945, dan hasil yang telah dicapai: 

-      Ketua Aliansi Reformasi Indonesia (ARI), Batara R. Hutagalung memrakarsai berdirinya wadah untuk menuntut pemerintah Inggris agar bertanggungjawab atas peristiwa pemboman Surabaya bulan November 1945, yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 rakyat Surabaya, sebagian besar adalah sipil, termasuk wanita dan anak-anak, pengungsian sekitar 150.000 penduduk, serta hancurnya sebagian dari kota Surabaya bagian selatan.

Gagasan ini didukung oleh a.l. Mayjen TNI (Purn.) Jonohatmojo, Hj. Lukitaningsih Radjamin, Ketua Wirawati Catur Panca (Wanita Pejuang ’45) dan Suyatno Yosodipoero, Ketua Eksponen Pejuang Kemerdekaan Dan Generasi Penerus RI, dll.

Pada 9 November 1999 didirikan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Para pendiri lain dan anggotanya adalah para sesepuh pejuang Surabaya Oktober/ November 1945, putra-putri pejuang Surabaya dan simpatisan lain.

 

-      Pada 9 November 1999, juga diselenggarakan Saresehan dengan tema “10 November 1945. Hari Pahlawan Yang Terlupakan.” Hadir a.l. Mayjen TNI (Purn.) EWP Tambunan (Alm.), Angkatan ’45, yang juga mantan Gubernur Sumatera Utara), Kol. TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang (Alm.), mantan Panglima Teroitorium VII Sumatera Utara tahun 1949, Prof. Dr. Subroto, pelaku pertempuran Surabaya November 1945, yang juga mantan Menteri Pertambangan dan Energi, serta sejumlah sesepuh angkatan ’45. Juga hadir putra-putri pejuang ’45. Moderator adalah Bambang Sulistomo, putra Pahlawan Nasional, Bung Tomo. 

-      Pada 10 November 1999, KPHARS melakukan demonstrasi di Kedutaan Inggris, dan diterima oleh Mr. Simon Thonge, First Secretary Political di Kedutaan Besar Inggris. KPHARS menyampaikan surat untuk Perdana Menteri Tony Blair, yang isinya menuntut Pemerintah Inggris untuk:

1.   Meminta maaf kepada rakyat di Surabaya atas pemboman pada bulan November 1945, yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 orang, sebagian terbesar adalah pendudk sipil.

2.   Bertanggungjawab atas kehancuran yang diakibatkan oleh pemboman tersebut. 

Kami sampaikan, bahwa masalah pemboman oleh tentara Inggris atas satu kota yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 orang merupakan agresi militer terhadap Republik Indonesia, satu Negara merdeka dan berdaulat, dan juga merupakan kejahatan perang serta kejahatan atas kemanusiaan. Tujuan KPHARS bukanlah untuk membalas dendam, melainkan menyelesaikan permasalahan ini sebagai teman, dan melakukan rekonsiliasi. Namun semua permasalahan yang ada harus diungkap, dan yang melakukan kesalahan harus meminta maaf dan bertanggungjawab. 

-      Pada bulan Maret 2000, Duta Besar Inggris, Sir Robin Christopher memberikan jawaban atas nama Perdana Menteri Tony Blair, yang menyatakan, bahwa pada waktu itu (tahun 1945), pemerintah Inggris memulihkan “law and order” terhadap aksi yang dilakukan oleh para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. KPHARS menjawab, apabila pemerintah Inggris menolak bertanggungjawab atas pemboman Surabaya November 1945 dan meminta maaf kepada rakyat Surabaya, maka KPHARS akan meminta Dewan Keamanan PBB membentuk Fact Finding Commission yang akan meneliti kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Surabaya pada bulan November-Desember 1945. 

-      Pada 1 April 2000, Pemerintah Inggris mengutus Nigel Pooley, dari Ministry of Foreign Affairs, dan bertemu dengan Ketua KPHARS, batara R. Hutagalung di Hotel Majapahit, Surabaya. Disampaikan oleh Nigel Pooley, bahwa Pemerintah Inggris sangat memperhatikan tuntutan KPHARS.  




Di HotelMajapahit, 1 April 2000, bersama Nigel Pooley 

-      Bulan Juli 2000, KPHARS diterima oleh Dr. Purnomo Yusgiantoro, Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI (LEMHANNAS RI), di mana disampaikan gagasan untuk menyelenggarakan seminar internasional bersama LEMHANNAS RI dengan tema masalah pemboman Surabaya. Beliau telah mendapat informasi dari Prof. Subroto mengenai kegiatan KPHARS, dan beliau mendukung gagasan ini.

Setelah Beliau diangkat menjadi Menteri Petambangan dan Energi oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, rencana seminar ini didukung dan dilanjutkan oleh Letjen TNI Johnny Lumintang, Gubernur LEMHANNAS RI, yang kemudian meneruskan usulan ini ke Departemen Pertahanan RI. Dephan mendukung rencana tersebut dan menyediakan dana untuk penyelenggaraan seminar internasional.

 

-      Akhir Agustus 2000, Duta Besar Inggris yang baru, Richard Gozney mulai bertugas di Jakarta. Pada 17 Oktober 2000, Ketua KPHARS, Batara R. Hutagalung  diundang oleh beliau ke Kedutaan Inggris. Kepada Ketua KPHARS ditegaskan kembali, yang telah dikatakan oleh Mr. Nigel Pooley mengenai sikap Pemerintah Inggris, dan beliau bersedia hadir di seminar yang akan diselenggarakan KPHARS bersama LEMHANNAS. 

-      Pada 27 Oktober 2000, diselenggarakan seminar di LEMHANNAS RI, Jl. Medan Merdeka Selatan, dengan tema: “The Battle of Surabaya November 1945. Background and Consequences.

Seminar dibuka oleh Letjen Johnny Lumintang, Gubernur LEMHANNAS. Keynote speaker adalah Prof. Dr. Mahfud M.D., Menteri Pertahanan RI. Narasumber adalah Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah, Richard Gozney, Dubes Inggris, Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku pertempuran Surabaya 1945, Dra. Suwarni Salyo, mantan aktifis Pemuda Putri tahun 1945, Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku pertempuran Surabaya Oktober/November 1945, Kol. TNI (Purn.) Soepardijo, pelaku sejarah/ Kepala Pusat Sejarah Yayasan Pembela Tanah Air (Yapeta).

Moderator untuk dua sesi diskusi adalah Dra. Irna H.N. Hadi Soewito dan Batara R. Hutagalung.

Seminar dihadiri oleh sekitar 250 peserta. Juga hadir para Atase Pertahanan dari Belanda, Inggris, Australia, Jerman, Pakistan, India Selandia Baru serta beberapa tamu asing lain. Perlu diketahui, bahwa yang bertempur di Surabaya tahun 1945 adalah 5th British-Indian Division, di mana banyak terdapat tentara yang berasal dari India, Pakistan, Nepal dan juga dari Australia. 

Dalam seminar tersebut, Dubes Inggris Richard Gozney, atas nama pemerintah dan rakyat Inggris menyampaikan:

1.   Penyesalan atas terjadinya peristiwa tersebut,

2.   Mengakui terus terang bahwa memang demikian politik Inggris pada waktu itu, yaitu membantu Belanda untuk memperoleh kembali jajahannya, dan mohon pengertian dari rakyat Indonesia atas situasi pada waktu itu. (Kaset rekaman ada pada saya, dan transkrip pernyataan Dubes Inggris Richard Gozney dapat dibaca dalam buku Batara R. Hutagalung, “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”, 482 halaman. Penerbit Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001. 


Seminar di LEMHANNAS RI

 



Dari kiri: Richard Gozney, Dubes Inggris, Batara R. Hutagalung, Ketua KPHARS

Ruslan Abdulganie, pelaku sejarah 

Dari kiri: Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku sejarah, Dra. Irna Hadi Soewito, Moderator, Kol. TNI (Purn.) Supardijo, pelaku sejarah, Dra. Suwarni Salyo, pelaku sejarah 

-      Atas undangan KPHARS, dan berkoordinasi dengan Panitia 10 November, Dubes Inggris, didampingi oleh Konsul Inggris di Surabaya dan Direktur The British Council, hadir dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November 2000. Pada hari bersejarah tersebut, Presiden RI Abdurahman Wahid bertindak sebagai Inspektur Upacara. A. Wahid adalah Presiden RI kedua yang hadir pada peringatan Hari Pahlawan di Surabaya.

-       

Presiden Sukarno adalah Presiden RI yang pertama hadir pada peringatan Hari Pahlawan, yaitu pada peringatan 10 November 1957.

Selama 32 tahun berkuasa, Presiden Suharto tidak pernah hadir di Surabaya, demikian juga dengan Presiden yang lain. 

-      KPHARS dibubarkan, dan pada 10 November 2000 di Surabaya,  kami dirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45. Bersama Dubes Inggris, disiapkan program rekonsiliasi, yaitu mengundang mantan tentara Inggris atau putra/putrinya untuk menghadiri peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2001 di Surabaya, termasuk putra Brigjen AWS Mallaby. 

-      Dubes Inggris Richard Gozney ketika berada di Inggris, menghubungi putra Brigjen AWS. Mallaby, Sir Christopher Mallaby, yang kebetulan dia kenal baik. Sir C. Mallaby menyambut baik gagasan tersebut dan menyatakan kesediaannya untuk hadir –bersama adik-adiknya- pada 10 November 2001 di Surabaya, karena mereka belum pernah mengunjungi makam ayah mereka di Menteng Pulo, Jakarta.

Persiapan telah dilakukan, a.l. Sir C. Mallaby akan memberikan ceramah di Universitas Airlangga pada 11 November 2001, dan kemudian di kalangan pebisnis di Jakarta pada 12 November 2001, karena beliau kini adalah direktur satu Bank di Inggris. Hotel di Jakarta telah dipesan -dan telah dibayar oleh Kedutaan Inggris- tempat untuk Business Lunch di Hotel Grand Hyatt.

Namun terjadi tragedi World Trade Centre pada 11 September 2001 dan kemudian balasan Amerika dengan menyerang Afghanistan. Di beberapa tempat di Indonesia dilakukan ancaman sweeping terhadap warga Amerika dan Inggris. Demi keamanan keluarga Sir Christopher Mallaby, Dubes Inggris Richard Gozney menyampaikan batalnya kunjungan keluarga Mallaby, sehingga program rekonsiliasi terpaksa dibatalkan. 

-      Karena Hotel telah di bayar, maka tempat dimanfaatkan untuk menyelenggarakan Bussiness Lunch sebagai kerjasama antara Yayasan Persahabatan November ’45 dengan Kedutaan Besar Kerajaan Inggris, pada 22 Mei 2002.

 


Batara R. Hutagalung, Ketua Yayassan Persahabatan November '45

membuka acara Bussiness Lunch 


Richard Gozney, Duta Besar Inggris dan Batara R. Hutagalung 

-      Tahun 2005, Dubes Inggris, Charles Humfrey yang menggantikan Richard Gozney bersedia melanjutkan program ini,

Sejak 12 April 2005, kami telah mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono agar hadir dalam peringatan Hari Pahlawan ke 60 di Surabaya, dan menjadi Presiden RI ketiga yang hadir di Surabaya. Setelah surat ketiga, kami baru mendapat jawaban pada bulan Juni 2005 dari Sekretariat Presiden, yang mengatakan, bahwa pada hari tersebut (10 November 2005), Presiden telah mempunyai acara lain. 


Di acara Ulang Tahun Ratu Inggris, Elizabeth II, Juni 2006 di Hotel Four Season

Dari kiri: Nikolaos van Dam, Dubes Belanda, Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Hassan Wirayudha, Menlu RI, Surya Paloh, Ketum Partai Nadem, Charles Humfrey, Dubes Inggris.  

-      Pihak Inggris sebenarnya telah menyatakan kesediaannya (tertulis) untuk setiap tahun memberikan beasiswa bagi dua orang sarjana S-1 dari Perguruan Tinggi di Surabaya untuk membuat S-2 (Master degree) di Inggris, dan juga mendirikan rumah sakit dan sekolah di Surabaya di area yang akan dinamakan “The Mallaby Centre,”, namun Pemerintah Kotamadya Surabaya waktu itu tidak memberikan respons sama sekali. Demikian juga tidak ada respons dari pemerintah Pusat di Jakarta. 

-      Diharapkan, kelanjutan rencana melakukan rekonsiliasi dengan mantan tentara Inggris dan putra Brigjen A.W.S. Mallaby yang tewas di Surabaya 30 Oktober 1945, Sir Christopher Mallaby, akan mendapat dukungan baik dari Pemerintah RI di Jakarta, maupun Pemerintah Kota Surabaya. 

Demikian penjelasan sehubungan dengan perjuangan menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya November – Desember 1945, dan rencana program rekonsiliasi di Surabaya antara Veteran RI di Surabaya dengan Veteran Inggris bersama Sir Christopher Mallaby. 

Catatan:

Batara R. Hutagalung adalah Ketua Yayasan Persahabatan November ’45, yang didirikan pada 10 November 2000 di Surabaya. 

******** 

Pernyataan Duta Besar Kerajaan Inggris,

Richard Gozney, CMG 

Pernyataan Richard Gozney, CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris untuk RI (2000 - 2004), disampaikan dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000. Diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November ’45 (KPHARS) bersama LEMHANNAS RI (Lembaga Ketahanan Nasional RI). Teks lengkap ini dimuat dalam buku Batara R. Hutagalung, “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”, Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001.

Uraian ini (transkrip dari rekaman kaset) disampaikan dalam bahasa Indonesia dan tanpa membaca teks. Pembicara sebelum Richard Gozney adalah alm. Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah.

Moderator adalah Batara R. Hutagalung. Ketua KPHARS.
Keynote Speaker adalah Prof. Dr. Machfud MD., Menteri Pertahanan RI.
Seminar ditutup oleh Gubernur LEMHANNAS, Letjen TNI Johny Lumintang.

Batara R. Hutagalung

Ketua Yayasan Persahabatan 10 November ’45.


===============================================

Bapak Ketua, Bapak Gubernur Lemhannas dan Bapak Ruslan Abdulgani, banyak terima kasih.

Kesulitan saya jelas, bagaimana bisa ikuti seorang tokoh seperti yang barusan, terutama seorang tokoh yang mempunyai ingatan, mempunyai memory seperti seekor gajah. Saya baru 2 bulan kembali ke Indonesia; saya merasa seperti punya ingatan atau memory seperti seekor tikus kecil, dibandingkan dengan Bapak Ruslan. Apalagi saya tidak punya di sini beberapa lelucon seperti Bapak Ruslan. Yang belum sempat mengantuk atau istirahat, boleh sekarang.

Pertama-tama saya mau berterima kasih banyak kepada Pak Batara Hutagalung untuk undangan ini, dan untuk kesempatan ikut serta dalam seminar ini. Pada waktu saya terima undangan, saya ragu-ragu, dengan pertanyaan untuk saya sendiri. Saya tanya: “Apakah ini sudah waktunya, sudah matang untuk bisa ikut serta dalam seminar tentang peristiwa yang begitu peka untuk Indonesia, untuk sejarah Indonesia?”

Tetapi saya dianjurkan oleh Pak Batara dan yang lain-lain dan juga oleh beberapa tokoh di Surabaya, di mana saya bicarakan tentang hal ini. Mereka mengatakan, sekarang sudah waktunya, dan ini dalam suasana rekonsiliasi yang ada di sini. Sudah waktunya untuk menyampaikan sambutan dari perwakilan Inggris di sini. Kemudian saya tidak ragu-ragu lagi. Saya menerima undangan itu, tetapi, seperti Pak Batara bilang tadi, saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli sejarah peristiwa bulan Oktober dan November 1945 di Surabaya, dan malahan belum sempat mempelajari secara mendalam dokumen-dokumen seperti yang punya Pak Roeslan Abdulgani atau yang dipelajari Pak Roeslan di Archive di London. 

Saya tidak akan bicara lama di sini, singkat saja. Secara sangat serius, pertama-tama saya mau katakan, yaitu bahwa kami di Inggris sangat menyesal atas tewasnya ribuan orang di Surabaya. Kami hormati orang Indonesia yang menjadi korban dan memperingati kehidupan mereka. Kami juga menghormati tentu saja prajurit-prajurit Inggris yang meninggal, 500 orang yang disebut tadi oleh Pak Roeslan. Kami juga menghormati ribuan orang Belanda dan orang Indo Belanda yang dibunuh sebagai akibat penyerbuan Indonesia oleh Jepang pada tahun empatpuluhan itu. Oleh karena itu, kita semua hormati juga usaha-usaha Lemhannas bersama dengan Pak Batara dan Panitia ini, untuk menjelaskan secara rinci sejarah pada waktu tahun 1945 itu.

Seperti yang saya katakan, bukan peranan saya hari ini, karena fakta-fakta, kenyataan itu secara rinci harus di lakukan para ahli dari universitas-universitas; dan ada juga di Inggris. Saya kenal 3 atau 4 orang di sana. Satu di Universitas London, satu di Oxford dan satu lagi di Inggris Utara. Saya pikir, mereka bisa ditarik ke sini, kalau kita usahakan bersama-sama dengan Panitia ini, bersama dengan Lemhannas dan bersama saya.

Yang saya mau singgung sekarang, hanya sebagian latar belakangnya secara umum dan secara politik, kalau diperkenankan. Sekarang, 55 tahun kemudian, mudah sekali kalau kita menilai aksi pada waktu itu, kegiatan pada waktu itu, keputusan pada waktu itu, atas dasar standar hari ini. Kalau dipertimbangkan atas dasar standar yang sekarang tapi kejadian 55 tahun yang lalu, susah sekali menganggap bahwa aksi 55 tahun yang lalu; ada yang pantas, ada yang acceptable, bisa diterima hari ini.

Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, seperti ada banyak peristiwa-peristiwa selama perang dunia kedua, baik di Asia maupun di Eropa. Selama itu, beberapa bulan sesudah selesai perang dunia II, kalau dinilai hari ini, atas dasar atau standar hari ini, akan dianggap kurang acceptable, tidak acceptable. Tetapi, membuat evaluasi atas standar atau penilaian hari ini, atas aksi-aksi 55 tahun yang lalu, saya pikir sebenarnya itu salah; itu suatu –kalau boleh dikatakan- godaan yang harus dihindari, karena standar-standar pada zaman itu lain. Dan kalau di sini secara langsung yang terjadi di Surabaya, motivasinya Brigadir Mallaby dan Jenderal yang ikut 10 hari kemudian setelah kematian Brigadir Mallaby, mereka pada umumnya, pokoknya motivasinya jelas, dan saya pikir cukup murni juga.
Ada kekosongan pada waktu itu, seperti Pak Ruslan tadi ceritakan, tidak ada penyerahan Jepang yang jelas, bahkan sebaliknya. Itu disinggung dalam buku yang ditulis oleh ayahnya Pak Batara Hutagalung. Disinggung secara sangat jelas, ada kekosongan kekuasaan setelah penyerahan resmi oleh Jepang, tapi kenyataannya di sini, di Jawa itu lain. Jepang tidak menyerahkan secara terperinci. Tadi Pak Roeslan ceritakan tentang pendaratan dan sebagainya. Nah, sebagai akibat adanya kekosongan itu, tentara kami, tentara Inggris datang dengan 3 tujuan:

- Yang pertama, untuk menyelamatkan wanita dan anak dan orang-orang sipil yang sudah lama ditahan selama zaman Jepang dan ada kekhawatiran yang riil, yang sebenarnya, atas nasibnya orang-orang sipil, banyak wanita, banyak anak-anak juga pada waktu itu.


- Tujuan yang kedua, untuk mengatur penarikan Jepang dan juga seperti Bapak Abdulgani baru menjelaskan, itu belum dilaksanakan, belum dilakukan secara jelas, itu tujuan yang kedua.


- Dan yang ketiga, ini sesuatu yang kami mengakui terus terang, tanpa persoalan, yakni yang dimaksud dalam surat yang penting dari Panglima Asia, Mountbatten.

 

Mountbatten tidak ada di sini, tetapi dia adalah Panglima seluruh tentara Inggris untuk wilayah Asia- adalah untuk membantu Belanda, mengambil kembali Indonesia sebagai jajahan. Nah itulah aksi motivasi tujuan kami, yang tentu saja atas dasar standar yang hari ini, tidak bisa diterima dengan baik. Tapi saya pikir, sebaiknya kita semua pikir atas standar atau sejarah pada zaman itu. Dan pada zaman itu, tidak ada satu negara jajahan Inggris pun yang sudah diberi kemerdekaan; India pun masih ada di bawah jajahan Inggris sampai tahun 1947. Wah, saya salah ya, maaf, ini ada satu jajahan Inggris yang sudah merdeka yaitu yang disebut Amerika Serikat, tapi hanya itu. Selanjutnya, pada waktu itu, saya katakan sebagai orang Eropa, bahwa keadaan negara jajahan dari negara-negara Eropa seperti Prancis, seperti Belanda, seperti Inggris, pada saat itu masih sesuatu yang rupanya wajar, dan sekarang sudah aneh; tapi itu 55 tahun kemudian ‘kan?

Kembali ke pikiran saya yang pokok untuk kita -yang saya anjurkan- kita coba menghindarkan yang saya sebut godaan untuk membuat evaluasi tentang kejadian pada waktu itu atas dasar standar penilaian hari ini. Jadi pada waktu itu standar kepentingan Inggris, latar belakangnya, semuanya lain. Nah hanya itu yang mau saya katakan di sini. Tentu saja saya sangat gembira, bahwa Inggris, pemerintah Inggris, perwakilan Inggris diundang untuk ikut serta di sini. Saya menerima undangan kemarin dengan kerendahan hati, benar. Oleh karena ini masalah sejarah Indonesia dan peranan Inggris pada waktu itu, selalu akan merupakan suatu aspek yang kontroversial, dan untuk itu saya mau berterima kasih telah diterima hari ini.

Saya akan membuat laporan untuk teman saya, yang anaknya Brigadir Mallaby, sekarang sudah pensiun. Dia mantan Duta Besar Inggris di Jerman dan di Prancis; dia salah satu diplomat Inggris yang paling senior, yang paling penting. Sekarang sebagai direktur di satu bank di London. Soalnya saya tidak tahu, tadi Pak Batara umumkan rencana kami atau kita untuk mengundang Mallaby ke sini. Tentu dia belum dengar, karena saya belum memberi tahu dia, harus tunggu dulu untuk melihat kalau bisa menariknya ke sini. Beliau belum pernah mengunjungi makam ayahnya yang ada di sini, di Jakarta (Menteng Pulo-red). Barangkali tahun depan atau dua tahun lagi kita bisa mengundang -yang seperti Pak Hutagalung katakan tadi- untuk memberikan suatu kuliah atau semacam itu di suatu universitas. Dia tidak punya pengalaman di Asia, tetapi dia tahu menahu tentang masalah-masalah hubungan luar negeri di Eropa, dan bisa bicara tentang hal itu, barangkali; tetapi nanti saya hubungi dia.

Sekali lagi, secara sangat serius, yang penting adalah bahwa sebagai wakil Pemerintah Inggris, saya katakan bahwa kami orang Inggris sangat menyesal atas tewasnya sebegitu banyak orang Surabaya pada waktu itu. Terima kasih.



*******

 

Thursday, August 21, 2025

Menyusun Konsep: "SEJARAH SEBAGAI SENJATA"

 

Penjelasan Mengenai Latar Belakang dan Tujuan Melakukan Penelitian Sejarah Sejak Tahun 1994

 

Menyusun Konsep: 

SEJARAH SEBAGAI SENJATA

  

Catatan

Batara R. Hutagalung

Pendiri dan Ketua Umum

Komite Utang Kehormatan Belanda

(KUKB)

 

LATAR BELAKANG 

Sstelah lulus SMA di Denpasar tahun 1964, saya ke Jerman (dahulu Jerman Barat)  akhir tahun 1965 dan kemudian tinggal di kota Hamburg, Jerman Barat, sejak bulan Desember 1965 sampai bulan Desember 1992. Saya masih mengalami detik-detik bubarnya negara Jerman Timur bulan Oktober 1990. Dibubarkannya Pakta Warsawa, organisasi pertahanan kubu komunis pada 1 JUli 1991 menandai berakhirnya Perang Dingin (Cold war) antara  blok komunis melawan blok anti komunis, NATO (North Atlantic Treaty Organization). Pada 26 Desember 1991 Imperium komunis Uni Soviet dibubarkan dan kemudian pecah menjadi belasan negara merdeka.

Selama di Jerman/Eropa saya mengamati, untuk negara-negara di Eropa, masalah sejarah terutama yang sehubungan dengan kejahatan-kejahatan perang di masa Perang Dunia II dan masalah kolonialisme serta perbudakan di masa kolonialisme, adalah masalah-masalah yang sangat sensitif. Selama puluhan tahun, negara-negara Eropa mantan penjajah berusaha keras menutup-nutupi masa kolonialisme dan perbudakan mereka di Asia, Afrika dan Amerika. Demikian juga setelah berakhirnya Perang Dunia II, mereka menutup-nutupi kejahatan-kejahatan perang yang mereka lakukan dalam upaya menghancurkan gerakan perlawanan dan pemberontakan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika.

Apabila mencermati perkembangan di Amerika dan di Australia, keadaannya juga tidak berbeda. Di Amerika Serikat masalah perbudakan terhadap orang-orang Afrika yang dibawa ke Amerika diungkap terus-menerus. Demikian juga di Australia, masalah perlakuan para pendatang dari Eropa terhadap pribumi penduduk asli Australia, juga diungkap terus.

Di Eropa Barat, walaupun di era Perang Dingin mereka tergabung dalam pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization), namun apabila ada hal-hal yang menyangkut sejarah, maka samasekali tidak ada persatuan di antara mereka. Selain permasalahan internal di antara negara-negara Eropa, a.l. perang agama antara negara-negara Kristen Katholik melawan negara=negara Kristen Protestan yang berlangsung antara tahun 1618 – 1648, mereka juga saling menjajah, memerangi, membunuh dan merampok dalam memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk dijadikan koloni (jajahan), pemukiman bangsa-bangsa Eropa. Perang memperebutkan koloni di luar Eropa, juga berlangsung selama ratusan tahun,

Apabila ada masalah yang timbul sehubungan dengan kejahatan perang, terutama di masa Perang Dunia II, maka mereka saling menyerang secara verbal, dan menngungkap lembaran hitam sejarah negara yang sedang bertikai, terutama terhadap Jerman. Dapat dikatakan, bahwa negara-negara di Eropa Barat melakukan “perang sejarah.” Perang sejarah ini dapat dilihat dalam pertandingan-pertandingan olahraga, terutama dalam pertandingan sepak bola antar negara di Eropa, di mana dilampiaskan antipati terhadap para supporter dari negara lawan bertanding. Di antara negara-negara Eropa, ada beberapa yang merupakan musuh berbuyutan.

Hal-hal tersebut di atas menunjukkan, bahwa untuk negara-negara di Eropa yang pernah memiliki koloni (jajahan) di luar Eropa dan pernah menjalankan praktek perbudakan, lembaran hitam sejarah mereka menjadi sangat sensitif dan mereka berusaha untuk menutup-nutupi, a.l. menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Yang termasuk paling ekstrem dalam berusaha memoles wajah hitam mereka di masa lalu adalah Belanda. Di Den Haag, Belanda, terdapat  Internastional Court of Justice (Peng”ADIL”an” Internasional), Peace Palace (Istana Perdamaian), dan sejak tahun 2002, Den Haag adalah tempat kedudukan International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional). Di Mahkamah Kejahatan Internasional, para penjahat-penjahat perang dari bebagai belahan duni diadili dan dijatuhi hukuman. Mereka adalah penjahat-penjahatn perang dari luar Eropa Barat.

Di Belanda, dalam buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah tidak ditulis sejarah kelam penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun, termasuk perdagangan budak dan monopoli perdagangan candu (opium) yang dipegang oleh pemerintah kolonial dsb. Generasi muda Belanda tidak mengetahui mengenai kekejaman-kekejaman, bahkan kebiadaban-kebiadaban yang dilakukan oleh leluhur mereka di masa penjajahan dan perbudakan. Yang ditulis hanya glorifikasi masa penjajahan. Era VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) yang dikisahkan sebagai zaman keemasan (“The golden age”). Hal ini a.l. tertera dalam situs Kementerian Luar Negeri Belanda sehubungan dengan sejarah Belanda. Berbagai kejahatan yang dilakukan oleh Belanda di masa kolonialisme, mulai banyak diungkap setelah tahun 2002. Ketika itu di Belanda dirayakan secara besar-besaran sepanjang tahun 2002, 400 tahun berdirinya kongsi Dagang VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)  yang didirikan pada 20 Maret 1602.

 

 

Mulai Menuntut Pemerintah Belanda pada 20 Maret 2002.

 

Pada puncak perayaan 400 tahun VOC tanggal 20 Maret  2002, saya dan sejumlah Angkatan ’45 serta generasi penerus melakukan demonstrasi di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, menentang perayaan VOC tersebut dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Demonstrasi ini diliput oleh Jurnalis Belanda Step Vaessen dari satu Televisi Belanda, NOS, dan pada hari itu juga ditayangkan di Belanda. Sejak itu, di Belanda mulai bergulir tulisan-tulisan mengenai kejahatan-kejahatan Belanda di masa VOC.

Generasi muda Belanda juga samasekali tidak mengetahui mengenai kekejaman-kejaman tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Kejahatan-kejahatan Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia mulai diungkap  tahun 1969 oleh Prof. Joop Huting, seorang mantan wajib militer Belanda yang ditugaskan ke Indonesia tahun 1947 untuk berperang melawan Republik Indonesia. Kesaksiannya diberitakan di beberapa media massa di Belanda.

Ketika masih tinggal di Hamburg, Jerman (waktu itu Jerman Barat), sejak tahun 1972 saya beberapa kali berlibur ke Indonesia. Sewaktu di Indonesia, saya diperkenalkan oleh ayah saya kepada teman-teman seperjuangannya Angkatan ’45, a.l. Kol. TNI (Purn.) Zulkifli Lubis, pendiri cikalbakal Badan Intelijen Negara (BIN). Setelah beliau mengetahui bahwa saya kuliah di satu Universitas di Jerman, tetangga Belanda, beliau menceriterakan mengenai permasalahan yang dihadapi Indonesia terhadap upaya beberapa pihak di Belanda, yang terus berusaha untuk menghancurkan Republik Indonesia. Belkiau menyarankan agar saya memantau perkembangan di Belanda. Setelah itu kami masih beberapa kali bertemu, termasuk dua kali bertemu di Jerman Barat.

Kemudian, ketika saya menjadi Ketua Organisasi Mahasiawa di Jerman Barat (PPI Jerman Barat) tahun 1975, saya mendapat kunjungan dari Kol. Purnomo, A gkatan ’45, yang waktu itu bertugas di BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), pendahulu BIN (Badan Intelijen Negara). Beliau memberikan beberapa nformasi, nasihat dan petunjuk. Kol. Purnomo kemudian menjadi Konsul Indonesia di Berlin Barat.

 

 

PERANG DINGIN BERAKHIR,

BELANDA MELANJUTKAN UPAYA MEMECAH-BELAH NKRI

 

Menjelang berakhirnya Perang Dingin saya mendapat informasi dari saudara sepupu saya yang waktu itu masih tinggal di Belanda, Benno Tobing, putra Pahlawan Nasional dr. Ferdinand Lumban Tobing, bahwa tanggal 11 Februari 1991 di Belanda diumumkan berdirinya organisasi seperti PBB yang dinamakan Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO). Yang menjadi anggota adalah “bangsa-bangsa” yang tidak terwakili di PBB.

Tujuan UNPO adalah membantu anggota-anggotanya mencapai kemerdekaan. Yang sudah terdaftar sebagai anggota tahun 1991 a.l. Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Timor Timur menyusul menjadi anggota UNPO bulan Januari 1993. Di sini terlihat sangat jelas tujuan didirikannya UNPO di Belanda yang sehubungan dengan Indonesia adalah memecah-belah NKRI. Di sini terbukti dugaan para tokoh intelijen Indonesia, bahwa Belanda tidak berhenti berusaha menghancurkan NKRI.

Setelah saya kembali ke Indonesia bulan Desember 1992, saya menyampaikan pengamatan saya kepada para tokoh Angkatan ’45, teman-teman seperjuangan ayah saya, yang waktu itu berusia 82 tahun. Ayah saya meninggal tahun 2002, pada usian 92 tahun.

 

 

PEMBENTUKAN OPINI NEGATIF TERHADAP INDONESIA

 

Di era Perang Dingin antara blok anti komunis NATO, melawan blok komunis Pakta Warsawa, Indonesia sebagai negara anti komunis pada waktu itu, dikelompokkan ke kubu negara-negara anti komunis. Sampai berakhirnya Perang Dingin, tidak pernah ada kritik apalagi kecaman dari negara-negara barat terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Perekonomian Indonesia didukung penuh oleh blok NATO dan sekutunya yang tergabung dalam IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia). Bantuan yang diberikan bukan hanya bantuan dana, melainkan juga bantuan militer. Namun hal-hal tersebut berbalik 180 derajat, setelah berakhirnya Perang Dingin. Amerika Serikat dan sekutu dan kaki-tangannya di Indonesia berusaha menggeser Presiden Suharto dan memecah-belah NKRI agar menjadi negara yang lemah di Asia Tenggara. Namun tidak seperti Manuel Noriega di Panama dan Ferdinand Marcos di Filipina, tidak mudah menggeser Presiden Suharto yang sudah membangun kekuatan dalam negerinya di Indonesia sejak 25 tahun, sejak tahun 1966 sampai tahun 1991.

Pada 11 November 1991, tidak lama setelah Perang Dingin resmi berakhir, terjadi insiden Santa Cruz di Dili, Timor Timur, di mana diperkirakan lebih dari 200 orang rakyat TimTim tewas tertembak oleh ABRI. Segera setelah peristiwa ini, negara-negara yang tergabung dalam NATO melancarkan embargo senjata terhadap Indonesia. Amerika Serikat baru mencabut embargo ini tahun 2005. Insiden Santa Cruz adalah rekayasa yang dikondisikan untuk memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM berat. Rekayasa ini dengan mengorbankan nyawa rakyat Timtim, kemudian digunakan sebagai dasar untuk menekan pemerintah Indonesia agar melepaskan Timor Timur ... dan berhasil.

Setelah insiden Santa Cruz di TimTim pada 11 November 1991, selain embargo senjata, Indonesia diserang/dipojokkan terus menerus dengan isu pelanggaran HAM di Papua, Aceh dan Maluku. Selain itu  juga diangkat secara massif peristiwa tragedi nasional yang terjadi di Indonesia pada bulan September/Oktober tahun 1965. Pembentukan opini negatif di luar negeri, terutama dilakukan oleh Belanda, Inggris, Australia dan Amerika Serikat, yaitu negara-negara yang tergabung dalam ABDACOM (American, British, Dutch, Australian
Command)
, yaitu komando gabungan tentara Sekutu di masa Perang Dunia II di Asia Pasifik. Kemudian beberapa kalangan di Jerman, termasuk kalangan gereja, ikut dalam memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM di Aceh, TimTim dan Papua Barat. (catatan: Saya sendiri beragama Kristen). Yang termasuk paling keras menekan Indonesia adalah Belanda, yang adalah Ketua IGGI sejak dibentuk tahun 1967. Sejak tahun 1991, delegasi parlemen Belanda “rutin” melakukan “kunjungan kerja” ke Indonesia, untuk mengawasi perkembangan HAM, terutama di Papua, Aceh dan Maluku. Sampai tahun 1999 juga ke Timor Timur.

Di Eropa Barat terutama di Belanda, Inggris dan Jerman serta di Australia, , setiap tahun menjelang tanggal 30 September, perstiwa tahun 1965 di Indonesia, mereka yang “memanaskannya.” Puncaknya adalah “Tribunal Internasional 1965” yang diselenggarakan dengan dana besar di Den Haag, Belanda tanggal 13 – 15 November 2015, yang dimotori oleh tokoh-tokoh Indonesia, yaitu Prof. DR. Todung M. Lubis dan Nursyahbani Katjasungkana, SH., mantan anggota DPR RI. Sebagai “Jaksa Penuntut Utama” dalam sidang Tribunal Internasional tersebut, Prof. Todung Lubis mendakwa Negara Indonesia sebagai Negara pelanggar HAM. “Pengadilan Tribunal internasional” menjatuhkan vonis yang lebih berat dari dakwaan “Jaksa” yaitu, Negara Indonesia telah melakukan genosida terhadap anggota PKI tahun 1965. Vonis ini kemudian disampaikan ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, sebagai rekomendasi. Sebenarnya vonis ini aneh, karena definisi genosida yang dikeluarkan oleh PBB tahun 1945 adalah etnis cleansing, pembersihan atau pembantaian etnis dan tidak berlaku untuk anggota partai politik

 

 

GAGASAN UNTUK KONTRA PEMBENTUKAN OPINI NEGATIF

 

Ketika masih di Jerman Barat, saya mengikuti perkembangan mengenai penjahat-penjahat perang Nazi-Jerman terus diburu untuk diadili. Setelah Jerman menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu tanggal 8 Mei 1945, sangat banyak tentara Jerman yang terlibat dalam berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi di Jerman dengan mengganti identitas mereka. Di banyak negara Eropa, berbagai kejahatan, termasuk pembunuhan, dinyatakan kadaluarsa setelah 30 tahun. Dikuatirkan, apabila setelah 30 tahun, yaitu setelah tahun 1975 para penjahat perang tersebut tidak berhasil ditangkap, maka setelah 30 tahun mereka bebas melenggang dan sesumbar, bahwa merekalah pelaku kejahatan atau pembunuhan massal.

Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal ini akan terjadi, maka tahun Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) mengeluarkan resolusi No.2391 (XXIII) tertanggal 26 November 1968, yang menyatakan bahwa untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemnausiaan, tidak diterapkan asa kadaluarsa (Convention on the Non Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Agaunst Humanity). Konvensi ini berlaku efektif mulai 11 November 1970. Kemudian berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, PBB memperkuat konvensi di atas dengan menambhakan Genosida (pembersiah etnis) yang dinyatakan tidak diterapkan asas kadaluarsa. Statuta Roma ini berlaku efektif mulai tahun 2002, dan menjadi landasan dari Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang bekedudukan di Den Haag, Belanda.

Setelah saya kembali ke Indonesia bulan Desember 1992, saya diperkenalkan lagi oleh ayah saya kepada cukup banyak Angkatan ’45, teman-teman seperjuangan ayah saya, termasuk dari kalangan intelijen, a.l. Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmodjo, yang tahun 1975 adalah Deputy IV Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).

Tahun 1994 saya menyampaikan gagasan kepada Angkatan ’45 untuk melakukan kontra pembentukan opini negatif terhadap Indonesia di luar negeri, dengan cara membuka lembaran hitam sejarah negara-negara tersebut, terutama di masa penjajahan dan di masa agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1949.

Dalam upaya untuk berkuasa kembali di bekas jajahannya, Belanda dibantu oleh 3 Divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Dua divisi tentara Australia “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di seluruh wilayah Indonesia bagian timur. Kemudian pada 15 Juli 1946, seluruh wilayah Indonesia bagian timur, mulai dari Kalimantan, “diserahkan” kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Di wilayah Indonesia bagian timur, Belanda membentuk Negara Indonesia Timur (NIT).

Untuk meng-counter isu-isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, kita mengungkap kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh negara-negara tersebut di masa agresi militer mereka di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Dan bahkan kemudian menuntut negara-negara tersebut ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

Para sesepuh angkatan ’45 setuju dan mendukung gagasan saya. Sejak tahun 1994 saya mulai sangat intensif melakukan penelitian sejarah yang sehubungan dengan penjajahan dan periode tahun 1942 – 1950, terutama di masa agresi militer Belanda dan sekutunya di Republik Indonesia antara tahun 1945 - 1949.

 

 Saya mengawali dengan melakukan penelitian mengenai agresi militer Inggris di Surabaya, yang dimulai DENGAN PEMBOMAN ATAS Surabaya pada 10 November 1945. Selain mewawancarai sejumlah Angkatan ’45, sumber-sumber saya dari bahasa Inggris, Jerman dan Belanda.

  


Foto acara syukuran ulang tahun ayah saya ke 91, bulan Maret 2001.

Duduk dari kiri:

- Brigjen TNI (Purn.) drg. KRT Soemiarso pelaku “Serangan UMUM 1 Maret 1949,”

- Mayjen (Purn.) Suhario Padmodiwiryo (Hario Kecik), pelaku pertempuran Surabaya November 1945),

- Mayjen (Purn.) KRMH Jonohatmodjo, pelaku pertempuran Surabaya November 1945. Tahun 1975 Beliau adalah Deputy IV BAKIN Bidang Counter Intelligence).

- Ayah saya di kursi roda,

- Komjen POL Muhammad Yasin, pelaku pertempuiran Surabaya November 1945, pendiri cikalbakal BRIMOB,

- Mayjen (Purn.) EWP Tambunan (pelaku pertempuran di Jawa Timur 1945/1946). Mantan Gubernur Sumatra Utara.

Berdiri di belakang, menggunakan jilbab warna hijau, Ibu Endang Assrahardjo, putri dari Mayjen (Purn.) Bambang Sugeng (Pelaku peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949.” Bambang Sugeng adalah KSAD ketiga, tahun 1952-1955).

 

 

MEMULAI MELAKUKAN PENELITIAN SEJARAH

 

Saya melakukan penelitian mengenai sejarah mulai tahun 1994. Sumber pertama dan utama adalah penuturan ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20 Maret 1910 – 29 April 2002), yang adalah salahseorang pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR/Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya dan sekitarnya pada akhir bulan Agustus 1945. TKR di Surabaya ini termasuk yang menjadi cikal-bakal Divisi Brawijaya. Antara lain dituturkan, bahwa alasan Inggris melancarkan agresi militernya yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya pada 10 November 1945 adalah salah dan merupakan pemutarbalikan fakta.

Di Surabaya, dari tanggal 28 – 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang dahsyat dan heroik antara BKR/TKR dan laskar-laskar pemuda melawan Brigade 49 dari Divisi 23 tentara Inggris di bawah komando Brigjen AWS Mallaby. Pada 30 Oktober dicapai gencatan senjata. Dalam penyebarluasan informasi mengenai gencatan senjata, terjadi insiden tembak-menembak lagi di mana Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas.

Inggris kemudian melancarkan agresi milternya untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II usai. Alasan yang dikemukakan oleh Panglima tentara Inggris untuk melancarkan agresi militernya terhadap Surabaya pada 10 November 1945 adalah:

1.   Pihak Indonesia telah melanggar gencatan senjata,

2.   Membunuh secara licik Brigjen AWS Mallaby.

 

Ayah saya, yang waktu itu adalah Perwira Penghubung (Liaison Officer) di Tentara Keamanan Rakyat - TKR (pendahulu dari Tentara Nasional Indonesia – TNI), ada di tempat kejadian. Ayah saya menuturkan, bahwa justru pihak Inggris yang melanggar gencatan senjata dengan memulai menembak. Di dalam peristiwa silang tembak (cross fire) tersebut. Brigjen Mallaby dirtemukan tewas.

Selain peristiwa perang di Surabaya/Jawa Timur melawan tentara Inggris, juga dituturkan beberapa peristiwa penting lain, termasuk kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Inggris, Belanda dan Australia di masa agresi militer mereka di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Ayah saya mendorong saya untuk melakukan penelitian mengenai hal-hal yang disampaikannya. Dalam penelitian sekitar 5 tahun, saya berhasil membuktikan kebenaran penuturan ayah saya, bahwa yang melanggar gencatan sejata adalah pihak Inggris, atas perintah dari Mallaby. Dia yang memerintahkan komandan pasukan Inggris di Gedung Internatio untuk mulai menembaki (to open fire) para pejuang Surabaya yang mengepung gedung di mana tentara Inggris bertahan. Dan dalam silang tembak (cross fire) yang terjadi, Mallaby ditemukan tewas. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah hukum sebab-akibat, maka tewasnya Mallaby adalah akibat perintahnya sendiri untuk memulai penembakan, yang merupakan pelanggaran gencatan senjata.

Untuk membuktikan, bahwa yang telah dilakukan oleh tentara Inggris, Belanda dan Australia di Republik Indonesia adalah agresi militer terhadap satu negara yang merdeka dan berdaulat, saya harus membuktikan ,bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah sah berdasarkan hukum internasional Kemudian mengumpulkan bukti-bukti dari sumber yang valid, bahwa yang dilakukan oleh tentara Inggris, Beland dan Australia adalah kejahatan perang dan kejatahan atas kemanusiaan,

 Mulai tahun 1999 saya mempublikasikan hasil-hasil penelitian saya. Berdasarkan bukti-bukti yang valid yang saya temukan, pada 10 November 1999 bersama sejumlah Angkatan ’45 dan generasi penerus, saya menuntut pemerintah Inggris atas agresi militernya di Indonesia yang dimulai pada 10 November 1945. Kemudian setelah berhasil menuntut pemerintah Inggris, saya menuntut pemerintah Belanda. Sebenarnya juga akan menuntut pemerintah Australia, namun karena ada beberapa kendala, tuntutan kepada pemerintah Australia untuk sementara ditunda.

Selain mencari bukti-bukti untuk mengungkap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, Inggris dan Australia di Republik Indonesia, saya juga mendalami penuturan-penuturan ayah saya, paman-paman dan teman-teman seperjuangan mereka mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia membentuk bangsa Indonesia dan mendirikan negara bangsa (nation state) yang kemudian dinamakan Indonesia.

Mengenai latar belakang dan tujuan yang sebenarnya saya melakukan penelitian sejarah dan kemudian menuntut pemerintah Inggris serta pemerintah Belanda, pertama kali saya ungkapkan ke publik tanggal 23 Desember 2017, pada waktu peluncuran buku saya ‘Indonesia Tidak Pernah Dijajah.” Pengungkapan ini dengan persetujuan dari Bapak Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar, Kepala Badan Intelijen Negara (KaBIN) tahun 2004 – 2009. Kegiatan saya sejak tahun 1999 menuntut pemerintah Inggris dan kemudian menuntut pemerintah Belanda, mendapat dukungan dan bantuan dari kalangan intelijen dan para diplomat Indonesia, baik yang waktu itu masih aktif, maupun yang sudah purna wira atau pensiun..

Peluncuran buku tersebut dilaksanakan dI Gedung Nusantara DPR/MPR RI, Ruang Abdul Muis. Hadir di acara tersebut a.l. Dr. Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI sebagai Keynote Speaker, Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono yang memberi sambutan; Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edhi Purdijatno, mantan KSAL; Jenderal TNI (Purn.) Agustadi Sasongko Purnomo, mantan KSAD, Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar, mantan KaBIN, dll.  Drs. Bambang Sulistomo, putra Pahlawan Nasional Bung Tomo, adalah Moderator pada acara tersebut.

Dalam sambutan, saya menyampaikan, bahwa tujuan pertama membuka lembaran sejarah adalah dalam rangka melakukan ‘Kontra Pembentukan Opini Negatif Terhadap Indonesia di Luar Negeri,’ terutama yang gencar dilancarkan oleh Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia (ABDACOM), setelah berakhirnya Perang Dingin tahun 1991. Abdacom (American, British, Dutch, Australian Command ) adalah komando gabungan tentara sekutu di masa Perang Dunia II di Asia Pasifik, yang dibentuk pada bulan Januari 1942, ketika Jepang melancarkan agresi militernya.


 MENGGUNAKAN SEJARAH SEBAGAI SENJATA

 MENUNTUT PEMERINTAH INGGRIS.

Pada 9 November 1999, bersama sejumlah Angkatan ’45, a.l. Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmodjo (mantan Deputy IV BAKIN Bidang Counter Intelligence/mantan Dubes RI untuk Yugoslavia), Mayjen TNI (Purn.) EWP Tambunan (mantan Gubernur Sumut), Ibu Lukitaningsing Radjamin (Ketua Pemuda Putri tahun 1945) dan para relawati Palang Merah Indonesia Angkatan ‘45 serta putra-putri pejuang ’45, a.l. Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, Pahlawan Nasional RI, saya mendirikan organisasi yang dinamakan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Pada 10 November 1999 kami melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, dan menyampaikan Petisi, yang isinya menuntut pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas Pemboman Surabaya November 1945. Hasil penelitian saya lampirkan dalam Petisi.

Saya mengirim berbagai Press Release ke semua media nasional dan internasional serta ke semua Kedutaan Besar asing yang ada di Jakarta. Isi berbagai Press Release a.l menyampaikan berbagai kejahatan yang dilakukan oleh tentara Inggris selama agresi militernya tersebut. Ini adalah bagian dari Psychological warfe (Psy war) terhadap Inggris.

Yang sangat berperan besar dalam kegiatan menuntut pemerintah Inggris  adalah Mayjen TNI (Purn.) Jonohatmojo dan Ibu Lukitaningsih Irsan Radjamin, Ketua Pemuda Putri di Surabaya tahun 1945, yang duduk di Dewan Penasihat. Pak Jonohatmodjo dan Ibu Lukitaningsih mengenal ayah saya sejak pertempuran di Surabaya bulan Oktober 1945..

Tanggal 27 Oktober 2000 kami, KPHARS, bersama Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI) menyelenggarakan Seminar internasional di LEMHANNAS, dengan judul: “The Battle of Surabaya. Back Ground and Consequences.” Keynote speaker adalah Menteri Pertahanan, Prof. Mahfud MD. Duta Besar Inggris Richard Gozney hadir sebagai salahsatu pembicara. Para pembicara lain adalah para pelaku sejarah dari Surabaya/Jawa Timur, a.l. Ruslan Abdulgani, Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro (Pendiri Puskav di Bandung), dll. acara tersebut dihadiri oleh 250 orang, termasuk para Atase Pertahanan dari Inggris, Belanda, Australia, India, Pakistan, New Sealand dan Jerman serta para tamu asing lain, a.l. dari Amerika Serikat.

Dalam Seminar tersebut, Dubes Inggris Richard Gozney menyampaikan pernyataan, yang isinya a.l., secara resmi atas nama pemerintah dan rakyat Inggris, meminta maaf atas peristiwa yang terjadi di Surabaya bulan November 1945, dan mengakui terus terang, memang demikian politik Inggris pada waktu itu, yaitu membantu Belanda memperoleh kembali bekas jajahannya.

Setelah berhasil menuntut pemerintah Inggris, bahan-bahan untuk menuntut pemerintah Inggris saya terbitkan sebagai buku tahun 2001 dengan judul:  “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?” Tebal buku 472 halaman.Teks lengkap pernyataan Dubes Inggris Richard Gozney dalam seminar internasional di LEMHANNAS RI dapat dibaca dalam buku yang saya tersebut.

 


Seminar Internasional di LEMHANNAS RI 27 Oktober 2000: “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground and Consequences.”

 


Seminar Internasional di LEMHANNAS RI, 27 Oktober 2000. Dari kiri:

Richard Gozney, Duta Besar Inggris, Batara R. Hutagalung (Moderator), Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah.

 

MENUNTUT PEMERINTAH BELANDA ATAS PENJAJAHAN VOC

 Sampai tulisan ini dibbuat, September 2022, pemerintah Belanda tetap tidak mau meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, genosida (pembantaian etnis), perampokan harta Nusantara dan berbagai kejahatan lain yang dilakukan oleh Belanda di Asia Tenggara, yang sekarang menjadi wilayah negara Republik Indonesia.

Pada 13 Meret 2020, raja Belanda Wilem Alexander di Jakarta hanya menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang terjadi pada waktu “pemisahan” Indonesia dari Imperium Belanda. tidak ada satu katapun mengenai penjajahan. Demikian juga pada bulan Februari 2022, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa “dekolonialisme’ di Nederlands Indie (India Belanda). Mark Rutte juga samasekali tidak menyinggung mengenai penjajahan, yang di beberapa wilayah di Asia tenggara berlangsung selama lebih dari 300 tahun, yaitu a.l. di Jayakarta (sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda, Maluku. Pada bulan Mei 1621 Belanda membantai sekitar 13.000 penduduk Banda, yang mengakibatkan etnis Wandan, penduduk kepulauan Banda yang waktu itu berjumlah sekitar 15.000 jiwa, hampir punah. Di beberapa kerajaan, penjajahan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30-an tahun saja. Oleh karena itu, mitos bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun itu salah dan menyesatkan, Selain itu, yang dijajah juga bukan Indonesia, melainkan berbagai kerajaan dan kesultanan di Asia Tenggara. Juga tidak esmua menjadi jajahan Belanda.

Setelah berhasil menuntut pemerintah Inggris, tahun 2002, bersama para mantan aktivis KPHARS saya mendirikan organisasi yang bernama Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa (KNPMB). Tujuannya adalah menuntut pemerintah Belanda. Bertepatan dengan puncak perayaan 400 tahun berdirinya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Belanda, tanggal 20 Maret 2002 kami melakukan demonstrasi ke Kedutaan Belanda dan menuntut pemerintah Belanda meminta maaf atas penjajahan, perbudakan dan berbagai pelanggaran HAM selama masa penjajahan. Demonstrasi yang dilakukan oleh KNPMBI juga diliput oleh satu Tv Belanda,NOS, dan ditayangkan di Belanda pada hari yang sama. Berita ini sangat mengejutkan masyarakat di Belanda, terutama di kalangan generasi muda. Menurut informasi dari beberapa kerabat yang tinggal di Belanda, ini adalah yang pertamakali Belanda digugat atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Belanda di masa kolonialisme.

 


Bulan Juni 2002. Dari kiri, Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmojo, Abdul Irsan SH (waktu itu masih Duta Besar RI untuk Belanda), Batara R. Hutagalung.

Bapak Jonohatmojo dan Bapak Abdul Irsan menjadi Penasihat Panitis Seminar “VOC. The Two Faces of the World’s First Multi National Company.”

 

Pada 4 April 2002 kami diundang oleh Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra, di mana dia mengusulkan penyelenggaraan bersama seminar internasional mengenai VOC. Kami bekerjasama dalam penyelenggaraan seminar internasional dengan judul “VOC. The Two Faces of the World’s First Multi National Compay,” yang dilaksanakan pada 3 dan 4 September 2002 di Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Para narasumber adalah 6 sejarawan Indonesia (a.l. Prof. A. Lapiaan, Prof. R. Leirissa), dan 4 sejarawan dari Belanda (a.l. Prof. Leonard Blusee, Dr. Gerit Knaap, Dr. Femme Gastra). Seminar dihadiri oleh sekitar 250 peserta. Sebagian besar adalah guru-guru sejarah. 95% anggaran seminar internasional ditanggung oleh Kedutaan Besar Belanda. Penyelenggaraan seminar internasional yang besar ini juga diliput oleh beberapa media ternama di Belanda, dan diberitakan di media-media Belanda. sejak itu, generasi muda Belanda yang baru mendapat informasi mengenai kejahatan-kejahatan Belanda di masa lalu, mulai melakukan penelitian mengenai sejarah Belanda di masa kolonial.

Sebagai catatan. Jerman menjajah Namibia selama sekitar 30 tahun, yaitu dari tahun 1884/1885 – 1915. Di masa kolonialisme Jerman di Namibia, yang dahulu bernama Deutsch Sued-West Afrika, antara tahun 190 – 1908 terjadi genosida (pembantaian etnis) terhadap suku Herero dan suku Nama. Korban genosida terhadap suku Herero diperkirakan antara 40.000 – 60.000 jiwa, sedangkan korban tewas dari suku Nama sekitar 10.000 orang.

Sejak tahun 2015, pemerintah Namibia menuntut pemerintah Jerman atas kolonialisme dan genosida. Selama puluhan tahun Jerman menolak mengakui adanya genosida tersebut dan tidak mau meminta maaf. Secara-perlahan-lahan pemerintah Jerman mulai melunak dan meminta maaf atas kolonialisme dan genosida tersebut  Tahun 2021 tercapai kesepakatan antara pemerintah Jerman dan pemerintah Namibia, di mana Jerman akan membayar i milyar Euro kepada Namibia dalam bentuk cicilan selama 30 tahun. jumlah penduduk Namibia tahun 2022 sekitar 2,5 juta jiwa.

Keberhasilan pemerintah Namibia ini dapat menjadi patokan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa untuk menuntut para mantan penjajah atas kolonialisme dan genosida yang telah mereka lakukan di masa kolonialisme.

 

 

MENUNTUT PEMERINTAH BELANDA ATAS KEJAHATAN PERANG

 

Pada 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesi.. Belanda tidak mau mengakuki kemerdekaan  Indonesia. Bahkan sampai detik ini, September 2022, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Denagn dibantu mantan sekutunya dalam Perang dunia II di Asia Pasifik, Belanda berusaha berkuasa di bekas jajahannya. Dalam upaya menguasai NKRI, tentara Belanda dan sekutunya melakukan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan agresi, bahkan genosida (pembantaian etnis). Mahkamah Kejahatan Internasional (Internaytipnal Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, empat kejahatan tesebut dinyatakan tidak mengenal asas kadaluarla. Arftinya, sampai kapanpun kejahatan-kejahatan tersebut dapat dituntut dan dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional.

 Pada bulan Desember 2004 saya mulai melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian di desa Rawagede yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian Renville. Pada waktu itu, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa tanpa proses hukum apapun. Mereka ditembak mati di tempat. Desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) sekitar 80 km dari Jakarta. 15 km dari Karawang, Jawa Barat.

Pada 5 Mei 2005 di Gedung Joang ‘45, kami mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Pada 20 Mei 2005, melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, KUKB menyampaikan Petisi kepada pemerintah Belanda yang isinya menuntut pemerintah Belanda untuk:

1.   Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

2.   Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, berbagai kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda di Republik Indonesia 1945 – 1949.

3.   Bertanggungjawab atas tewasnya ratusan ribu rakyat Indonesia dan kehancuran infrastruktur serta perekonomian Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Dengan kata lain, pemerintah Belanda harus membayar pappasan perang (war reparation)

 Setelah bahan-bahan mengenai pembantaian di desa Rawagede lengkap,  tanggal 15 Desember 2005, bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB Laksamana Pertama (Purn.) Mulyo Wibisono saya ke parlemen Belanda (Tweede Kamer) di Den Haag. Kami diterima oleh dua anggota parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders dan Angelien Eijsink. Keduanya dari Partij van der Arbeit (PvdA). Pak Mulyo Wibisono jabatan terakhirnya di BAIS adalah Dansatgas Intel (Komandan Satuan Tugas Intelijen).

Dua hal yang kami pertanyakan, yaitu:

1.   Mengapa pemerintah Belanda tidak menjawab Petisi KUKB yang disampaikan melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta pada 20 Mei 2005.

2.   Mengapa semua kasus kejahatan perang tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di RI tahun 1945 – 1949 di-PETI-ES-kan. Saya memaparkan secara rinci peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 1947.

 Kedua anggota parlemen Belanda tersebut berjanji akan meneruskan ke Menteri Luar Negeri dan akan membahasnya di parlemen Belanda. Hal ini mereka lakukan. Kami mendapat jawaban dari Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot, yang isinya a.l., bahwa “Pengakuan Kedaulatan” telah diberikan pada akhir tahun 1949, dan pengakuan terhadap suatu negara hanya dapat diberikan satu kali. Sejak tahun 2005, kasus pembantaian oleh tentara Belanda di desa Rawagede, 6 kali dibahas dalam sidang pleno parlemen Belanda.

Tahun 2006, setelah selesai menjalankan tugas sebagai Dubes RI untuk Jepang, Bapak Abdul Irsan SH, yang juga mantan Dubes RI untuk Belanda, bergabung dengan KUKB, dan menjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat. Mengenai KUKB juga ditulis oleh Pak Irsan dalam bukunya: “MERDEKA DAN BERDAULAT” yang terbit tahun 2016. Ketika Bapak Irsan masih menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Beliau telah mendukung KUKB dan berpartisipasi dalam kegiatan KUKB.

 


15 Desember 2005 di parlemen Belanda di Den Haag. Dari kiri:

Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisosno, Ketua Dewan

Penasihat KUKB.

Batara R. Hutagalung, Ketua Umum KUKB,

Bert Koenders, Juru bicara Fraksi PvdA (Partai Buruh),

Angelien Eijsink, anggota parlemen Belanda dari PvdA yang membidangi masalah Veteran Belanda.

  

MENDAPAT DUKUNGAN DARI BAPAK MAYJEN TNI (PURN.)

SYAMSIR SIREGAR, KABIN

Bulan Juli 2007, saya dan Laksamana Pertama (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat KUKB, diterima oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Bapak Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar di Markas BIN di Pejaten. Beliau didampingi oleh jajaran BIN, a.l. WaKa BIN Bapak As’ad Ali dan Laksamana Muda TNI (Purn.) Ishak Latuconsina. Kami menyampaikan konsep menuntut pemerintah Belanda, dalam rangka kontra pembentukan opini negatif terhadap Indonesia. Kami menyampaikan keberhasilan menuntut pemerintah Inggris, dan langkah-langkah yang telah kami lakukan sehubungan dengan membuka lembaran hitam Belanda di Indonesia, a.l. mengenai VOC dan telah membawa kasus pembantaian di desa Rawagede ke parlemen Belanda di Den Haag, Belanda.

Bapak Syamsir Siregar menyatakan dukungannya terhadap kegiatan KUKB. Selama dua tahun, tahun 2007 – 2009, sampai akhir masa jabatan Pak Syamsir, KUKB mendapat dukungan logistik dalam penyelenggaraan seminar-seminar yang mengungkap kejahatan-kejahatan perang tentara Belanda dan dalam melakukan unjukrasa-unjukrasa ke Kedutaan Belanda dengan menghadirkan para janda korban pembantaian dari desa Rawagede. Juga perjalanan saya dan Pak Wibisono ke Belanda dalam rangka bertemu dengan anggota Parlemen Belanda di Den Haag tahun 2007 dan kemudian perjalanan saya ke Belanda tahun 2008 mendapat bantuan dari BIN.

Dengan izin dari Bapak Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar, di acara peluncuran buku bualn Desember 2017 tersebut saya mengungkapkan bahwa keberhasilan menuntut pemerintah Belanda atas pembantaian Rawagede, tahun 2007 – 2009, juga berkat dukungan dan bantuan logistik dari BIN. Sejak kami mengawali kegiatan tahun 1998, semua biaya kami sendiri yang menanggung, kecuali tahun 2007 – 2009, di mana kami mendapat bantuan dari Pak Syamsir Siregar/BIN, dalam rangka menuntut pemerintah Belanda atas pembantaian di desa Rawagede.

 


Bulan September 2017 saya menghadap Bapak Mayjen TNI (P{urn.) Syamsir Siregar. Meminta izin untuk mengungkapkan bantuan BIN dalam menuntut pemerintah Belanda.

 Pada bulan Oktober 2008, saya mendampingi dua janda korban pembantaian di Rawagede dan satu korban selamat, bertemu dengan tiga orang anggota parlemen Belanda yang sedang mengadakan “kunjungan kerja” di Indonesia. Mereka adalah Harry van Bommel dari Partai Sosialis, Joel Voordewind dari Partai Uni-Kristen dan Harm Evert Waalkens, dari Partai Buruh (PvdA). Dalam pertemuan tersebut, saya menuntut, agar Duta Besar Belanda hadir pada Peringatan Peristiwa Pembantaian, pada 9 Desember 2008.

Oleh para anggota parlemen Belanda yang saya temui di Jakarta, tuntutan saya disampaikan di sidang pleno parlemen Belanda pada bulan November. Kemudian dilakukan voting, apakah setuju atau tidak, Duta Besar Belanda harus hadir pada acara peringatan tanggal 9 Desember 2008 di desa Rawagede. Hasil voting adalah, mayoritas anggota parlemen Belanda setuju, bahwa Duta Besar Belanda harus hadir pada 9 Desember 2008. Malam itu juga, Harry van Bommel menelepon saya dari Belanda dan menyampaikan hasil voting di parlemen Belanda. Keesokan harinya saya menelepon Kedutaan Belanda dan meminta pernyataan secara tertulis, bahwa Dubes Belanda akan hadir pada acara peringatan di Rawagede tanggal 9 Desember 2008. Jawaban tertulis diberikan. Setelah mendapat konfirmasi tertulisa, bahwa Duta Besar Belanda akan hadir dalam peringatan di Rawagede tanggal 9 Desember 2008, saya mengirim Press Release kepada semua media nasional dan internasional yang ada di Jakarta.

 


Acara peluncuran buku saya: “INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH,” di Gedung DPR RI, 23 Desember 2017. Duduk di depan, dari kiri:

Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono, Dr. Fadli Zon (Wakil Ketua DPR RI), Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edhi Purdijatno, Jenderal TNI (Purn.) Agustadi Sasongko Purnomo, Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar. 

Duduk di baris kedua, keempat dari kiri, Agustanzil Sjahroezah, cucu Pahlawan Nasional H. Agus Salim. Tamu lain yang hadir, antara lain Marsekal Pertama TNI Donny Ermawan Taufanto dan Hj. Lily Chadijah Wahid (alm), adik kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (alm.).

 

Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono memberi sambutan dalam acara peluncuran buku IINDONESIS TIDAK PERNAH DIJAJAH.

Moderator, Bambang Sulistomo, putra Pahlawan Nasional Bung Tomo.

 Pada peringatan peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda hadir. Hal ini tentu merupakan suatu sensasi besar, dan merupakan peristiwa bersejarah, karena pertama kali dalam sejarah, seorang Duta Besar Kerajaan Belanda “dipaksa” hadir pada acara tersebut. Saya mengundang berbagai media, baik nasional maupun internasional. Diperkirakan sekitar 100 media nasional dan internasional, termauk media dari Belanda, hadir dan meliput peristiwa bersejarah yang terjadi untuk pertama kali tersebut. Berbagai media Belanda memberitakan mengenai peristiwa ini, yang tentu menggemparkan masyarakat di Belanda. Dapat dikatakan, bahwa sejak itu desa Rawagede merupakan desa di Indonesia yang paling terkenal di seluruh dunia. Juga, masyarakat internasional kini mengetahui mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, setelah berakhirnya Perang Dunia II. Yang paling heboh adalah di Belanda, karena banyak generasi muda Belanda baru mengetahui mengenai kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh orangtua atau kakek mereka. Sejak itu, cukup banyak generasi muda Belanda datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai periode antara tahun 1945 – 1949, termasuk ke desa Rawagede.

Dengan bantuan perwakilan kami di Belanda, KUKB Cabang Belanda, tahun 2009 para janda korban pembantaian di desa Rawagede mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda di Pengadilan Sipil di Den Haag, Belanda. Pada bulan September 2011 Pengadilan sipil di Belanda menjatuhkan vonis, bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus memberi kompensasi kepada para janda dan satu korban selamat dari pembantaian pada 9 Desember 1947. Vonis ini kembali menjadi berita internasioal, karena pertama kali gugatan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh satu negara Eropa, dimenangkan di Pengadilan Sipil di negara yang melakukan agresi militer tersebut, yaitu Belanda.

Semua kegiatan, baik ketika menuntut pemerintah Inggris, maupun menuntut pemerintah Belanda atas kolonialisme di era VOC, serta menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan-kejahatan perang di masa agresi militer Belanda di Indonesia, terdokumentasi dengan cukup baik.

Setelah Pak Wibisono meninggal bulan Oktober 2013, posisi Ketua Dewan Penasihat KUKB dijabat oleh Bapak Letjen TNI (Purn.) Moetojib. Beliau adalah KaBAKIN 1996 – 1998.

Setelah Pak Moetojib meninggal tahun 2015, kegiatan kami mengendor, karena selain usia kami para aktifis rata-rata di atas 60 tahun (saya sendiri sekarang berusia 76 tahun), juga kurangnya generasi muda yang berminat untuk melanjutkan perjuangan kami, terutama untuk menuntut pemerintah Australia. Harus diketahui, bahwa berkat bantuan dua divisi tentara Australia, Belanda dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur sejak tanggal 15 Juli 1946.. Menggugat pemerintah Australia ini sangat diperlukan, karena di samping Belanda dan Inggris, pemerintah Australia yang sangat keras berusaha memisahkan Provinsi Papua Barat dari NKRI.

Jadi dapat dilihat, bahwa kegiatan saya dan Angkatan ’45 menuntut pemerintah Inggris dan pemeritah Belanda sejak tahun 1999 merupakan kegiatan Kontra Intelijen. Juga merupakan yang dinamakan Second track diplomacy (diplomasi jalur kedua) , yaitu melakukan hal-hal yang perlu dilakukan oleh suatu negara, namun tidak dapat secara resmi dilakukan oleh pemerintah. Di dalam organisasi kami banyak dari dinas intelijen dan mantan diplomat. Selain Bapak Abdul Irsan, mantan Dubes RI untuk Belanda dan kemudian untuk Jepang, Bapak KRMH Jonohatmojo adalah mantan Dubes RI untuk Yugoslavia. Bapak Nurrachman Oerip, mantan Dubes RI untuk Kamboja. Bapak R. Carnadi, mantan Wakil Dubes RI untuk Jerman Barat. Bapak Kol. TNI (Purn.) Goenanto Martodipoero, Widya Iswara LEMHANNAR RI (tahun 1999) adalah mantan Atase Pertahanan RI untuk India, dll. Tahun 2000 konsep latar belakang dan tujuan kegiatan ini telah kami sampaikan kepada Dirjen Hubsosbud Kementerian Luar Negeri RI (waktu itu), Bapak Abdurrahman Mattalitti.

Demikian garis besar kegiatan yang saya lakukan di Indonesia sejak tahun 1994. Hal-hal tersebut di atas saya rangkum dalam penjelasan ini, yaitu mengenai latar belakang dan tujuan yang sebenarnya saya menuntut pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda. Keberhasian menuntut pemerintah Inggris dan pemerintah Belanda menunjukkan, bahwa “sejarah adalah senjata ampuh” untuk menyerang balik dan memojokkan negara-negara tersebut dengan mengungkap berbagai  pelanggaran HAM.yang dilakukan oleh para mantan penjajah.

 


Pejaten Juni 2014. Berdiri di depan, dari kiri: Batara R. Hutagalung, Jenderal TNI (Purn.) Widjojo Soejono, Letjen TNI (Purn.) Moetojib (KaBAKIN 1996 – 1998)

  

KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PENULISAN SEJARAH NUSANTARA DAN SEJARAH INDONESIA

 Sebagai “produk samping” dari penelitian sejarah untuk menuntut pemerintah Inggris, Belanda dan Australia, adalah temuan mengenai berbagai kesalahan dalam penulisan sejarah “Pra-Indonesia” (sampai tanggal 17 Agustus 1945) dan sejarah Indonesia (sejak 17 Agustus 1945). Ternyata sangat banyak kekeliruan dan kesalahan, bahkan pemalsuan-pemalsuan penulisan sejarah. Mengenai rekayasa, manipulasi dan pemalsuan-pemalsuan penulisan sejarah sebenarnya sejak puluhan tahun telah diungkap oleh banyak sejarawan, termasuk para Guru Besar sejarah, namun tidak pernah direspon oleh pemerintah-pemerintah di masa lalu.  Rekayasa-rekayasa penulisan sejarah banyak yang justru menutup-nutupi gerakan kebangsaan dan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, yang sangat penting dalam proses pembentukan Bangsa Indonesia, dalam perjuangan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia serta dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Rekayasa dan manipulasi penulisan sejarah sudah berlangsung sejak zaman penjajahan yang dilakukan oleh penjajah. kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, rekayasa dan manipulasi juga banyak dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Indonesia. Untuk beberapa rekayasa penulisan sejarah, dasar pemikirannya sebenarnya baik, yaitu mencari simbol-simbol gerakan kebangsaan dan simbol-simbol persatuan atau upaya pemersatuan. Namun peristiwa-peristiwa yang dijadikan sebagai simbol-simbol tersebut tidak tepat, bahkan sangat salah dan menyesatkan, a.l. Sumpah Sriwijaya, Sumpah Palapa Gajah Mada, Sumpah Pemuda, penetapan tanggal berdirinya Budi Utomo sebagai kebangkitan nasional dll. Sejak dimunculkan tahun 1948 inisiatif untuk menetapkan tanggal berdirinya Budi Utomo sebaga “Hari Kebangkitan Nasional” (waktu itu dinamakan “Hari Kebangunan Nasional”), telah banyak tokoh-tokoh yang mengetahui peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, telah menyampaikan ketidak-setujuan mereka, namun keinginan penguasalah yang dilaksanakan. Tujuan didirikannya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 adalah membantu biaya pendidikan hanya untuk putra-putra bangsawan (priayi) golongan rendah dari etnis Jawa dan Madura. Sejak kongres pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta, Ketua dan pengurus Budi Utomo adalah bangsawan –bangsawan etnis Jawa golongan tinggi. Banyak di antara mereka menjadi pegawai pemerintah kolonial. Budi Utomo samsasekali tidak berpolitik.

Manipulasi mengenai “Sumpah Sriwijaya” tahun 686 M dan “Sumpah Palapa Gajah Mada” tahun 1340, telah dilakukan sejak tahun 1930. Dalam Kongres Indonesia Muda I, tanggal 29 Desember 1930 – 2 Januari 1931 di Surakarta, M. Yamin menyampaikan pidato (disampaikan dalam bahasa Melayu, masih dengan ejaan lama), yang isinya mengenai “Sumpah Sriwijaya” dan “Janji Gajah Mada). Yamin mengatakan  a.l.: .

 “Sifat keindonesiaan dapat dikemoekakan dengan memperingatkan djandji Patih Mangkoeboemi Gadjah Mada (+/- 1340) jang akan beroesaha hendak mempersatoekan kepoelaoean Noesantara (Indonesia) ...

... Perdjandjian Gadjah Mada boekan perdjandjian pertama, melainkan yang kedoea. Toedjoeh abad  sebeloem Patih  jang terseboet mengeloearkan perkataan dibalairoeng Madjapahit, perkataan yang disimpan dalam toelisan Prapantja, adalah poela diboeat perdjandjian dipoelaoe Soematera yang dinamai Soempah Sriwidjaja dan berlakoe dalam tahoen 686. Isinya soepaja bangsa kita berbakti kepada persatoean, karena itoelah kemaoean nenek moyang kita ...”

 Demikian a.l. isi pidato M. Yamin tahun 1930. Kalau membaca dengan nalar teks yang tertera pada Prasasti Kota Kapur (P. Bangka) yang dinyatakan sebagai peninggalan kerajaan Sriwijaya, terlihat bahwa kalimat tersebut bukanlah “Sumpah” supaya bangsa kita berbakti kepada persatuan. Kalimat sebenarnya adalah kutukan untuk para pemberontak di Pulau Jawa, agar para pemberontak dan keluarganya mati terkena kutukan ini. Di sini letak manipulasi kutukan tersebut, yang “disulap” mmenjadi “sumpah” untuk berbakti kepada persatuan.

Dalam kalimat yang diucapkan oleh Gajah Mada, tidak ada kata-kata “janji” atau “sumpah.” Yang ditulis dalam kitab Pararaton, adalah kata “KALAH NUSANTARA” yang arti sebenarnya adalah “mengalahkan Nusantara.” Namun M. Yamin menerjemahkan dengan kalimat “mempersatukan Nusantara.” Pada waktu itu adalah hal yang selalu terjadi, yaitu kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara saling menyerang dan menjajah. Kerajaan yang kalah setiap tahun harus membayar upeti kepada penyerang/pemenang Yang diucapkan oleh Gajah Mada pada waktu pengangkatannya sebagai Mahapatih sebenarnya merupakan pernyataan perang terhadap kerajaan-kerajaan yang akan diserang. Tahun 1930 M. Yamin menamakan pernyataan Gajah Mada sebagai “janji Gajah Mada.” Di tahun 1950-an dia mengganti menjadi “Sumpah Palapa Gajah Mada.”

Pada tahun 1930-an, rakyat di wilayah jajahan Belanda mungkin lebih dari 95% masih buta aksara latin dan tidak mengerti buku-buku yang ditulis dalam bahasa Belanda. Mereka samsasekali tidak mengetahui mengenai sejarah. Kemudian mulai tahun 1950-an, rakyat  Indonesia hanya belajar di sekolah-sekolah mengenai sejarah tanpa mengetahui, bahwa sangat banyak hasil reklayasa, manipulasi penulisan sejarah. Juga masih sangat banyak tulisan yang merupakan versi penjajah, karena penulisan sejarah di buku-buku sekolah sejak tahun 1950-an, hanya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Demikian juga mengenai manipulasi “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Faktanya, pada Kerapatan Pe,muda Indonesia ke II, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda Indonesia II tahun 1928, tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Yang dinamakan sebagai Kongres Pemuda Indonesia II sebenarnya adalah Rapat Umum yang terbuka utuk semua yang mau menonton. Pada sidang ketiga tanggal 28 Oktober 1928, pengunjungnya mencapai 700 orang. Di akhir sidang, Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito membacakan resolusi hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama (Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia I, tahun 1926). Baru tahun 1959 resolusi ini ditetapkan sebagai “Sumpah Pemuda,” untuk kepentingan politik pada waktu itu.

Tujuan diselenggarakannya Kongres Pemuda Indonesia I dan II adalah upaya mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indie, yang pada waktu itu masih bersifat etnis, atau yang berasal dari pulau yang sama, atau berdasarkan kesamaan agama. Organisasi-organisasi terrsebut a.l. Jong Ambon (Pemuda Ambon), Joing Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak), Jong Celebes (Pemuda Sulawesi), Jong Java (Pemuda Jawa). Jong Sumateranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatera), Sekar Rukun (Pemuda Sunda), Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam), dll. Embrio  persatuan pemuda dan gagasan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa ada di Kongres Pemuda Indonesia I, tanggal 30 April – 2 Mei 1926, bukan di Kongres pemuda II tahun 1928.

Kongres Pemuda Indonesia I terselenggara berkat dorongan sejak bertahun-tahun yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Perhimpunan Indonesia didirikan pada 15 November 1908. Semua nama organisasi ini adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Pengurus dan anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah/etnis di wilayah jajahan Belanda, yang melanjutkan pendidikan di Belanda. Garis perjuangan menuju INDONESIA MERDEKA telah ditetapklan oleh PI sejak tahun 1922. Bahkan nama majalah PI, Hindia Poetera, tahun 1925 juga diganti menjadi INDONESIA MERDEKA. Penegasan mengenai tujuan Indonesia Merdeka dan langkah-langkah perjuangan dicetuskan oleh PI dalam Manifesto Politik tahun 1925. Manifesto Politik PI ini diterbitkan di dalam majalah PI. Dengan demikian, para pemuda pribumi telah dengan berani menyatakan hal ini di Belanda, di negeri penjajah. Manifesto Politik PI ini merupakan “Pernyataan Perang” secara politis terhadap penjajah.

Beberapa Guru Besar Sejarah dan tokoh masyarakat, yaitu Prof. Sartono Kartodirjo, Prof. Taufik Abdullah dan Prof. Achmad Syafi’i Maarif berpendapat, bahwa Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 ini lebih layak dijadikan simbol Kebangkitan Nasional Indonesia, dibandingkan dengan Budi Utomo.

 

JANGAN MEMBANGUN NEGARA DAN BANGSA INDONESIA DI ATAS MITOS YANG SALAH, REKAYASA, MANIPULASI DAN KEBOHONGAN PENULISAN SEJARAH

Seperti telah ditulis di atas, semua rekayasa, manipulasi dan kebohongan-kebohongan penulisan sejarah sudah sejak puluhan tahun diungkap oleh para sejarawan, termasuk para Guru Besar Sejarah. Namun tidak berhasil meyakinkan para penguasa agar penulisan sejarah tidak dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan politik penguasa, atau untuk memenuhi keinginan pribadi.

 Setelah lengsernya penguasa Orde Baru tahun 1998, semua rekayasa, manipulasi, dan kebohongan-kebohongan penulisan sejarah yang sejak tahun 1950-an telah diungkap dan ditulis, mulai  ditulis lagi dan disebarluaskan di berbagai media. Sejak memasuki era digital, dengan adanya media-media sosial, semua tulisan dan informasi dalam waktu singkat telah tersebar, bukan hanya di seluruh Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Sudah sangat banyak masyarakat yang mengetahui mengenai rekayasan dan manipulasi-manipulasi tersbut, yang sejak beberapa tahun belakangan juga diakui oleh pemerintah, terutama dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Apabila sudah sangat banyak orang yang mengetahui, bahwa penulisan-penulisan sejarah tersebut adalah rekayasa, manipulasi dan kebohongan, tentu menjadi pertanyaan besar, untuk apa kebohongan-kebohongan tersebut dipertahankan?

Generasi muda, terutama para calon pemimpin dan pengambil/penentu kebijakan nasional, harus mengetahui sejarah kebangsaan yang sebenarnya, yang justru lebih heroik dan dahsyat dibandingkan dengan penulisan sejarah hasil rekayasa dan manipulasi untuk kepentingan politik di masa lalu.

Pengetahuan mengenai sejarah yang sebenarnya, sangat penting untuk bangsa yang baru berdiri sejak tanggal 17 Agustus 1945, dalam menyusun konsep Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building).

 Jakarta, September 2022.

********