Kronologi Perjuangan
Menuntut Pemerintah Inggris
Atas Pemboman Surabaya, November 1945
Disusun oleh
Batara R. Hutagalung
Mantan Pendiri dan Ketua
Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945
Kronologi
Berikut ini adalah kronologi perjuangan menuntut pemerintah Inggris untuk bertanggungjawab dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia umumnya, rakyat Surabaya khususnya, atas pemboman Surabaya November – Desember 1945, dan hasil yang telah dicapai:
-
Ketua Aliansi Reformasi Indonesia (ARI), Batara
R. Hutagalung memrakarsai berdirinya wadah untuk menuntut pemerintah Inggris
agar bertanggungjawab atas peristiwa pemboman Surabaya bulan November 1945,
yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 rakyat Surabaya, sebagian besar
adalah sipil, termasuk wanita dan anak-anak, pengungsian sekitar 150.000
penduduk, serta hancurnya sebagian dari kota Surabaya bagian selatan.
Gagasan ini didukung oleh a.l. Mayjen TNI (Purn.) Jonohatmojo, Hj. Lukitaningsih
Radjamin, Ketua Wirawati Catur Panca (Wanita Pejuang ’45) dan Suyatno
Yosodipoero, Ketua Eksponen Pejuang Kemerdekaan Dan Generasi Penerus RI, dll.
Pada 9 November 1999 didirikan Komite
Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS).
Para pendiri lain dan anggotanya adalah para sesepuh pejuang Surabaya Oktober/
November 1945, putra-putri pejuang Surabaya dan simpatisan lain.
- Pada 9 November 1999, juga diselenggarakan Saresehan dengan tema “10 November 1945. Hari Pahlawan Yang Terlupakan.” Hadir a.l. Mayjen TNI (Purn.) EWP Tambunan (Alm.), Angkatan ’45, yang juga mantan Gubernur Sumatera Utara), Kol. TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang (Alm.), mantan Panglima Teroitorium VII Sumatera Utara tahun 1949, Prof. Dr. Subroto, pelaku pertempuran Surabaya November 1945, yang juga mantan Menteri Pertambangan dan Energi, serta sejumlah sesepuh angkatan ’45. Juga hadir putra-putri pejuang ’45. Moderator adalah Bambang Sulistomo, putra Pahlawan Nasional, Bung Tomo.
-
Pada 10 November 1999, KPHARS melakukan
demonstrasi di Kedutaan Inggris, dan diterima oleh Mr. Simon Thonge, First Secretary Political di
Kedutaan Besar Inggris. KPHARS menyampaikan surat untuk Perdana Menteri Tony
Blair, yang isinya menuntut Pemerintah Inggris untuk:
1.
Meminta maaf kepada rakyat di Surabaya atas
pemboman pada bulan November 1945, yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000
orang, sebagian terbesar adalah pendudk sipil.
2. Bertanggungjawab atas kehancuran yang diakibatkan oleh pemboman tersebut.
Kami sampaikan, bahwa masalah pemboman oleh tentara Inggris atas satu kota yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000 orang merupakan agresi militer terhadap Republik Indonesia, satu Negara merdeka dan berdaulat, dan juga merupakan kejahatan perang serta kejahatan atas kemanusiaan. Tujuan KPHARS bukanlah untuk membalas dendam, melainkan menyelesaikan permasalahan ini sebagai teman, dan melakukan rekonsiliasi. Namun semua permasalahan yang ada harus diungkap, dan yang melakukan kesalahan harus meminta maaf dan bertanggungjawab.
- Pada bulan Maret 2000, Duta Besar Inggris, Sir Robin Christopher memberikan jawaban atas nama Perdana Menteri Tony Blair, yang menyatakan, bahwa pada waktu itu (tahun 1945), pemerintah Inggris memulihkan “law and order” terhadap aksi yang dilakukan oleh para ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. KPHARS menjawab, apabila pemerintah Inggris menolak bertanggungjawab atas pemboman Surabaya November 1945 dan meminta maaf kepada rakyat Surabaya, maka KPHARS akan meminta Dewan Keamanan PBB membentuk Fact Finding Commission yang akan meneliti kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang telah dilakukan oleh tentara Inggris di Surabaya pada bulan November-Desember 1945.
- Pada 1 April 2000, Pemerintah Inggris mengutus Nigel Pooley, dari Ministry of Foreign Affairs, dan bertemu dengan Ketua KPHARS, batara R. Hutagalung di Hotel Majapahit, Surabaya. Disampaikan oleh Nigel Pooley, bahwa Pemerintah Inggris sangat memperhatikan tuntutan KPHARS.
-
Bulan Juli 2000, KPHARS diterima oleh Dr.
Purnomo Yusgiantoro, Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional RI (LEMHANNAS
RI), di mana disampaikan gagasan untuk menyelenggarakan seminar internasional
bersama LEMHANNAS RI dengan tema masalah pemboman Surabaya. Beliau telah
mendapat informasi dari Prof. Subroto mengenai kegiatan KPHARS, dan beliau
mendukung gagasan ini.
Setelah Beliau diangkat menjadi Menteri Petambangan dan Energi oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri, rencana seminar ini didukung dan dilanjutkan
oleh Letjen TNI Johnny Lumintang, Gubernur LEMHANNAS RI, yang kemudian
meneruskan usulan ini ke Departemen Pertahanan RI. Dephan mendukung rencana
tersebut dan menyediakan dana untuk penyelenggaraan seminar internasional.
- Akhir Agustus 2000, Duta Besar Inggris yang baru, Richard Gozney mulai bertugas di Jakarta. Pada 17 Oktober 2000, Ketua KPHARS, Batara R. Hutagalung diundang oleh beliau ke Kedutaan Inggris. Kepada Ketua KPHARS ditegaskan kembali, yang telah dikatakan oleh Mr. Nigel Pooley mengenai sikap Pemerintah Inggris, dan beliau bersedia hadir di seminar yang akan diselenggarakan KPHARS bersama LEMHANNAS.
-
Pada 27 Oktober 2000, diselenggarakan seminar di
LEMHANNAS RI, Jl. Medan Merdeka Selatan, dengan tema: “The Battle of Surabaya November 1945. Background and Consequences.”
Seminar dibuka oleh Letjen Johnny Lumintang, Gubernur LEMHANNAS. Keynote speaker adalah Prof. Dr. Mahfud
M.D., Menteri Pertahanan RI. Narasumber adalah Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku
sejarah, Richard Gozney, Dubes Inggris, Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku
pertempuran Surabaya 1945, Dra. Suwarni Salyo, mantan aktifis Pemuda Putri
tahun 1945, Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku pertempuran Surabaya
Oktober/November 1945, Kol. TNI (Purn.) Soepardijo, pelaku sejarah/ Kepala
Pusat Sejarah Yayasan Pembela Tanah Air (Yapeta).
Moderator untuk dua sesi diskusi adalah Dra. Irna H.N. Hadi Soewito dan
Batara R. Hutagalung.
Seminar dihadiri oleh sekitar 250 peserta. Juga hadir para Atase Pertahanan dari Belanda, Inggris, Australia, Jerman, Pakistan, India Selandia Baru serta beberapa tamu asing lain. Perlu diketahui, bahwa yang bertempur di Surabaya tahun 1945 adalah 5th British-Indian Division, di mana banyak terdapat tentara yang berasal dari India, Pakistan, Nepal dan juga dari Australia.
Dalam seminar tersebut, Dubes Inggris Richard Gozney, atas nama
pemerintah dan rakyat Inggris menyampaikan:
1. Penyesalan atas terjadinya
peristiwa tersebut,
2. Mengakui terus terang bahwa memang demikian politik Inggris pada waktu itu, yaitu membantu Belanda untuk memperoleh kembali jajahannya, dan mohon pengertian dari rakyat Indonesia atas situasi pada waktu itu. (Kaset rekaman ada pada saya, dan transkrip pernyataan Dubes Inggris Richard Gozney dapat dibaca dalam buku Batara R. Hutagalung, “10 November 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”, 482 halaman. Penerbit Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001.
Seminar di LEMHANNAS RI
Dari kiri: Richard
Gozney, Dubes Inggris, Batara R. Hutagalung, Ketua KPHARS
Ruslan Abdulganie, pelaku sejarah
Dari kiri: Mayjen TNI (Purn.) Soebiantoro, pelaku sejarah, Dra. Irna Hadi Soewito, Moderator, Kol. TNI (Purn.) Supardijo, pelaku sejarah, Dra. Suwarni Salyo, pelaku sejarah
-
Atas undangan KPHARS, dan berkoordinasi dengan
Panitia 10 November, Dubes Inggris, didampingi oleh Konsul Inggris di Surabaya
dan Direktur The British Council, hadir dalam peringatan Hari Pahlawan 10
November 2000. Pada hari bersejarah tersebut, Presiden RI Abdurahman Wahid
bertindak sebagai Inspektur Upacara. A. Wahid adalah Presiden RI kedua yang hadir
pada peringatan Hari Pahlawan di Surabaya.
-
Presiden Sukarno adalah Presiden RI yang pertama hadir pada peringatan
Hari Pahlawan, yaitu pada peringatan 10 November 1957.
Selama 32 tahun berkuasa, Presiden Suharto tidak pernah hadir di Surabaya, demikian juga dengan Presiden yang lain.
- KPHARS dibubarkan, dan pada 10 November 2000 di Surabaya, kami dirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45. Bersama Dubes Inggris, disiapkan program rekonsiliasi, yaitu mengundang mantan tentara Inggris atau putra/putrinya untuk menghadiri peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2001 di Surabaya, termasuk putra Brigjen AWS Mallaby.
-
Dubes Inggris Richard Gozney ketika berada di
Inggris, menghubungi putra Brigjen AWS. Mallaby, Sir Christopher Mallaby, yang
kebetulan dia kenal baik. Sir C. Mallaby menyambut baik gagasan tersebut dan
menyatakan kesediaannya untuk hadir –bersama adik-adiknya- pada 10 November
2001 di Surabaya, karena mereka belum pernah mengunjungi makam ayah mereka di
Menteng Pulo, Jakarta.
Persiapan telah dilakukan, a.l. Sir C. Mallaby akan memberikan ceramah
di Universitas Airlangga pada 11 November 2001, dan kemudian di kalangan
pebisnis di Jakarta pada 12 November 2001, karena beliau kini adalah direktur
satu Bank di Inggris. Hotel di Jakarta telah dipesan -dan telah dibayar oleh
Kedutaan Inggris- tempat untuk Business Lunch di Hotel Grand Hyatt.
Namun terjadi tragedi World Trade Centre pada 11 September 2001 dan kemudian balasan Amerika dengan menyerang Afghanistan. Di beberapa tempat di Indonesia dilakukan ancaman sweeping terhadap warga Amerika dan Inggris. Demi keamanan keluarga Sir Christopher Mallaby, Dubes Inggris Richard Gozney menyampaikan batalnya kunjungan keluarga Mallaby, sehingga program rekonsiliasi terpaksa dibatalkan.
-
Karena Hotel telah di bayar, maka tempat
dimanfaatkan untuk menyelenggarakan Bussiness
Lunch sebagai kerjasama antara Yayasan Persahabatan November ’45 dengan
Kedutaan Besar Kerajaan Inggris, pada 22 Mei 2002.
Batara R. Hutagalung, Ketua Yayassan Persahabatan November '45
membuka acara Bussiness Lunch
Richard Gozney, Duta Besar Inggris dan Batara R. Hutagalung
-
Tahun 2005, Dubes Inggris, Charles Humfrey yang
menggantikan Richard Gozney bersedia melanjutkan program ini,
Sejak 12 April 2005, kami telah mengirim surat kepada Presiden Yudhoyono agar hadir dalam peringatan Hari Pahlawan ke 60 di Surabaya, dan menjadi Presiden RI ketiga yang hadir di Surabaya. Setelah surat ketiga, kami baru mendapat jawaban pada bulan Juni 2005 dari Sekretariat Presiden, yang mengatakan, bahwa pada hari tersebut (10 November 2005), Presiden telah mempunyai acara lain.
Di acara Ulang Tahun Ratu Inggris, Elizabeth II, Juni 2006 di Hotel Four Season
Dari kiri: Nikolaos van Dam, Dubes Belanda, Batara R. Hutagalung, Theo Sambuaga, Ketua Komisi I DPR RI, Hassan Wirayudha, Menlu RI, Surya Paloh, Ketum Partai Nadem, Charles Humfrey, Dubes Inggris.
- Pihak Inggris sebenarnya telah menyatakan kesediaannya (tertulis) untuk setiap tahun memberikan beasiswa bagi dua orang sarjana S-1 dari Perguruan Tinggi di Surabaya untuk membuat S-2 (Master degree) di Inggris, dan juga mendirikan rumah sakit dan sekolah di Surabaya di area yang akan dinamakan “The Mallaby Centre,”, namun Pemerintah Kotamadya Surabaya waktu itu tidak memberikan respons sama sekali. Demikian juga tidak ada respons dari pemerintah Pusat di Jakarta.
- Diharapkan, kelanjutan rencana melakukan rekonsiliasi dengan mantan tentara Inggris dan putra Brigjen A.W.S. Mallaby yang tewas di Surabaya 30 Oktober 1945, Sir Christopher Mallaby, akan mendapat dukungan baik dari Pemerintah RI di Jakarta, maupun Pemerintah Kota Surabaya.
Demikian penjelasan sehubungan dengan perjuangan menuntut pemerintah Inggris atas pemboman Surabaya November – Desember 1945, dan rencana program rekonsiliasi di Surabaya antara Veteran RI di Surabaya dengan Veteran Inggris bersama Sir Christopher Mallaby.
Catatan:
Batara R. Hutagalung adalah Ketua Yayasan Persahabatan November ’45, yang didirikan pada 10 November 2000 di Surabaya.
********
Pernyataan
Duta Besar Kerajaan Inggris,
Richard Gozney, CMG
Pernyataan Richard Gozney, CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris
untuk RI (2000 - 2004), disampaikan dalam Seminar Internasional “The Battle
of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, di Lemhannas,
Jakarta, 27 Oktober 2000. Diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat
Surabaya Korban Pemboman November ’45 (KPHARS) bersama LEMHANNAS RI (Lembaga
Ketahanan Nasional RI). Teks lengkap ini dimuat dalam buku Batara R.
Hutagalung, “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”,
Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001.
Uraian ini (transkrip dari rekaman kaset) disampaikan dalam
bahasa Indonesia dan tanpa membaca teks. Pembicara sebelum Richard Gozney
adalah alm. Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah.
Moderator adalah Batara R. Hutagalung. Ketua KPHARS.
Keynote Speaker adalah Prof. Dr.
Machfud MD., Menteri Pertahanan RI.
Seminar ditutup oleh Gubernur LEMHANNAS, Letjen TNI Johny Lumintang.
Batara R. Hutagalung
Ketua Yayasan Persahabatan 10 November ’45.
===============================================
Bapak Ketua, Bapak Gubernur Lemhannas dan Bapak Ruslan Abdulgani, banyak
terima kasih.
Kesulitan saya jelas, bagaimana bisa ikuti seorang tokoh seperti yang barusan, terutama seorang tokoh yang mempunyai ingatan, mempunyai memory seperti seekor gajah. Saya baru 2 bulan kembali ke Indonesia; saya merasa seperti punya ingatan atau memory seperti seekor tikus kecil, dibandingkan dengan Bapak Ruslan. Apalagi saya tidak punya di sini beberapa lelucon seperti Bapak Ruslan. Yang belum sempat mengantuk atau istirahat, boleh sekarang.
Pertama-tama saya mau berterima kasih banyak kepada Pak
Batara Hutagalung untuk undangan ini, dan untuk kesempatan ikut serta dalam
seminar ini. Pada waktu saya terima undangan, saya ragu-ragu, dengan pertanyaan
untuk saya sendiri. Saya tanya: “Apakah ini sudah waktunya, sudah matang
untuk bisa ikut serta dalam seminar tentang peristiwa yang begitu peka untuk
Indonesia, untuk sejarah Indonesia?”
Tetapi saya dianjurkan oleh Pak Batara dan yang lain-lain dan juga oleh beberapa tokoh di Surabaya, di mana saya bicarakan tentang hal ini. Mereka mengatakan, sekarang sudah waktunya, dan ini dalam suasana rekonsiliasi yang ada di sini. Sudah waktunya untuk menyampaikan sambutan dari perwakilan Inggris di sini. Kemudian saya tidak ragu-ragu lagi. Saya menerima undangan itu, tetapi, seperti Pak Batara bilang tadi, saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli sejarah peristiwa bulan Oktober dan November 1945 di Surabaya, dan malahan belum sempat mempelajari secara mendalam dokumen-dokumen seperti yang punya Pak Roeslan Abdulgani atau yang dipelajari Pak Roeslan di Archive di London.
Saya tidak akan bicara lama di sini, singkat saja. Secara
sangat serius, pertama-tama saya mau katakan, yaitu bahwa kami di Inggris
sangat menyesal atas tewasnya ribuan orang di Surabaya. Kami hormati orang
Indonesia yang menjadi korban dan memperingati kehidupan mereka. Kami juga
menghormati tentu saja prajurit-prajurit Inggris yang meninggal, 500 orang yang
disebut tadi oleh Pak Roeslan. Kami juga menghormati ribuan orang Belanda dan
orang Indo Belanda yang dibunuh sebagai akibat penyerbuan Indonesia oleh Jepang
pada tahun empatpuluhan itu. Oleh karena itu, kita semua hormati juga
usaha-usaha Lemhannas bersama dengan Pak Batara dan Panitia ini, untuk
menjelaskan secara rinci sejarah pada waktu tahun 1945 itu.
Seperti yang saya katakan, bukan peranan saya hari ini,
karena fakta-fakta, kenyataan itu secara rinci harus di lakukan para ahli dari
universitas-universitas; dan ada juga di Inggris. Saya kenal 3 atau 4 orang di
sana. Satu di Universitas London, satu di Oxford dan satu lagi di Inggris
Utara. Saya pikir, mereka bisa ditarik ke sini, kalau kita usahakan
bersama-sama dengan Panitia ini, bersama dengan Lemhannas dan bersama saya.
Yang saya mau singgung sekarang, hanya sebagian latar belakangnya secara umum dan secara politik, kalau diperkenankan. Sekarang, 55 tahun kemudian, mudah sekali kalau kita menilai aksi pada waktu itu, kegiatan pada waktu itu, keputusan pada waktu itu, atas dasar standar hari ini. Kalau dipertimbangkan atas dasar standar yang sekarang tapi kejadian 55 tahun yang lalu, susah sekali menganggap bahwa aksi 55 tahun yang lalu; ada yang pantas, ada yang acceptable, bisa diterima hari ini.
Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, seperti ada banyak
peristiwa-peristiwa selama perang dunia kedua, baik di Asia maupun di Eropa.
Selama itu, beberapa bulan sesudah selesai perang dunia II, kalau dinilai hari
ini, atas dasar atau standar hari ini, akan dianggap kurang acceptable, tidak
acceptable. Tetapi, membuat evaluasi atas standar atau penilaian hari ini, atas
aksi-aksi 55 tahun yang lalu, saya pikir sebenarnya itu salah; itu suatu –kalau
boleh dikatakan- godaan yang harus dihindari, karena standar-standar pada zaman
itu lain. Dan kalau di sini secara langsung yang terjadi di Surabaya,
motivasinya Brigadir Mallaby dan Jenderal yang ikut 10 hari kemudian setelah
kematian Brigadir Mallaby, mereka pada umumnya, pokoknya motivasinya jelas, dan
saya pikir cukup murni juga.
Ada kekosongan pada waktu itu, seperti Pak Ruslan tadi ceritakan, tidak ada
penyerahan Jepang yang jelas, bahkan sebaliknya. Itu disinggung dalam buku yang
ditulis oleh ayahnya Pak Batara Hutagalung. Disinggung secara sangat jelas, ada
kekosongan kekuasaan setelah penyerahan resmi oleh Jepang, tapi kenyataannya di
sini, di Jawa itu lain. Jepang tidak menyerahkan secara terperinci. Tadi Pak
Roeslan ceritakan tentang pendaratan dan sebagainya. Nah, sebagai akibat adanya
kekosongan itu, tentara kami, tentara Inggris datang dengan 3 tujuan:
- Yang pertama, untuk
menyelamatkan wanita dan anak dan orang-orang sipil yang sudah lama ditahan
selama zaman Jepang dan ada kekhawatiran yang riil, yang sebenarnya, atas
nasibnya orang-orang sipil, banyak wanita, banyak anak-anak juga pada waktu
itu.
- Tujuan yang kedua, untuk mengatur penarikan Jepang dan juga seperti Bapak
Abdulgani baru menjelaskan, itu belum dilaksanakan, belum dilakukan secara
jelas, itu tujuan yang kedua.
- Dan yang ketiga, ini sesuatu yang kami mengakui terus terang, tanpa persoalan,
yakni yang dimaksud dalam surat yang penting dari Panglima Asia, Mountbatten.
Mountbatten tidak ada di sini, tetapi dia adalah Panglima
seluruh tentara Inggris untuk wilayah Asia- adalah untuk membantu Belanda,
mengambil kembali Indonesia sebagai jajahan. Nah itulah aksi motivasi tujuan
kami, yang tentu saja atas dasar standar yang hari ini, tidak bisa diterima
dengan baik. Tapi saya pikir, sebaiknya kita semua pikir atas standar atau
sejarah pada zaman itu. Dan pada zaman itu, tidak ada satu negara jajahan
Inggris pun yang sudah diberi kemerdekaan; India pun masih ada di bawah jajahan
Inggris sampai tahun 1947. Wah, saya salah ya, maaf, ini ada satu jajahan
Inggris yang sudah merdeka yaitu yang disebut Amerika Serikat, tapi hanya itu.
Selanjutnya, pada waktu itu, saya katakan sebagai orang Eropa, bahwa keadaan
negara jajahan dari negara-negara Eropa seperti Prancis, seperti Belanda,
seperti Inggris, pada saat itu masih sesuatu yang rupanya wajar, dan sekarang
sudah aneh; tapi itu 55 tahun kemudian ‘kan?
Kembali ke pikiran saya yang pokok untuk kita -yang saya
anjurkan- kita coba menghindarkan yang saya sebut godaan untuk membuat evaluasi
tentang kejadian pada waktu itu atas dasar standar penilaian hari ini. Jadi
pada waktu itu standar kepentingan Inggris, latar belakangnya, semuanya lain.
Nah hanya itu yang mau saya katakan di sini. Tentu saja saya sangat gembira,
bahwa Inggris, pemerintah Inggris, perwakilan Inggris diundang untuk ikut serta
di sini. Saya menerima undangan kemarin dengan kerendahan hati, benar. Oleh
karena ini masalah sejarah Indonesia dan peranan Inggris pada waktu itu, selalu
akan merupakan suatu aspek yang kontroversial, dan untuk itu saya mau berterima
kasih telah diterima hari ini.
Saya akan membuat laporan untuk teman saya, yang anaknya
Brigadir Mallaby, sekarang sudah pensiun. Dia mantan Duta Besar Inggris di
Jerman dan di Prancis; dia salah satu diplomat Inggris yang paling senior, yang
paling penting. Sekarang sebagai direktur di satu bank di London. Soalnya saya
tidak tahu, tadi Pak Batara umumkan rencana kami atau kita untuk mengundang
Mallaby ke sini. Tentu dia belum dengar, karena saya belum memberi tahu dia,
harus tunggu dulu untuk melihat kalau bisa menariknya ke sini. Beliau belum
pernah mengunjungi makam ayahnya yang ada di sini, di Jakarta (Menteng
Pulo-red). Barangkali tahun depan atau dua tahun lagi kita bisa mengundang
-yang seperti Pak Hutagalung katakan tadi- untuk memberikan suatu kuliah atau
semacam itu di suatu universitas. Dia tidak punya pengalaman di Asia, tetapi
dia tahu menahu tentang masalah-masalah hubungan luar negeri di Eropa, dan bisa
bicara tentang hal itu, barangkali; tetapi nanti saya hubungi dia.
Sekali lagi, secara sangat serius, yang penting adalah bahwa
sebagai wakil Pemerintah Inggris, saya katakan bahwa kami orang Inggris sangat
menyesal atas tewasnya sebegitu banyak orang Surabaya pada waktu itu. Terima
kasih.
*******
No comments:
Post a Comment