Penjelasan Mengenai Latar Belakang dan Tujuan
Melakukan Penelitian Sejarah Sejak Tahun 1994
Menyusun Konsep:
SEJARAH SEBAGAI SENJATA
Catatan
Batara R. Hutagalung
Pendiri
dan Ketua Umum
Komite
Utang Kehormatan Belanda
(KUKB)
LATAR BELAKANG
Sstelah
lulus SMA di Denpasar tahun 1964, saya ke Jerman (dahulu
Jerman Barat) akhir tahun 1965 dan
kemudian tinggal
di kota Hamburg, Jerman Barat, sejak bulan Desember 1965 sampai bulan Desember
1992. Saya masih mengalami detik-detik bubarnya negara Jerman Timur bulan
Oktober 1990. Dibubarkannya Pakta Warsawa, organisasi pertahanan kubu
komunis pada 1 JUli 1991 menandai berakhirnya Perang Dingin
(Cold war) antara blok komunis melawan blok anti komunis, NATO
(North Atlantic Treaty Organization). Pada 26
Desember 1991 Imperium komunis Uni Soviet dibubarkan dan kemudian pecah menjadi
belasan negara merdeka.
Selama di
Jerman/Eropa saya mengamati, untuk negara-negara di Eropa, masalah sejarah
terutama yang sehubungan dengan kejahatan-kejahatan perang di masa Perang Dunia
II dan masalah kolonialisme serta perbudakan di masa kolonialisme, adalah
masalah-masalah yang sangat sensitif. Selama puluhan tahun, negara-negara Eropa
mantan penjajah berusaha keras menutup-nutupi masa kolonialisme dan perbudakan
mereka di Asia, Afrika dan Amerika. Demikian juga setelah berakhirnya Perang
Dunia II, mereka menutup-nutupi kejahatan-kejahatan perang yang mereka lakukan
dalam upaya menghancurkan gerakan perlawanan dan pemberontakan bangsa-bangsa
terjajah di Asia dan Afrika.
Apabila
mencermati perkembangan di Amerika dan di Australia, keadaannya juga tidak
berbeda. Di Amerika Serikat masalah perbudakan terhadap orang-orang Afrika yang
dibawa ke Amerika diungkap terus-menerus. Demikian juga di Australia, masalah
perlakuan para pendatang dari Eropa terhadap pribumi
penduduk asli Australia, juga diungkap terus.
Di Eropa Barat,
walaupun di era Perang Dingin mereka tergabung dalam pakta pertahanan NATO (North Atlantic Treaty Organization),
namun apabila ada hal-hal yang menyangkut sejarah, maka samasekali tidak ada
persatuan di antara mereka. Selain permasalahan internal di antara
negara-negara Eropa, a.l. perang agama antara negara-negara Kristen
Katholik melawan negara=negara Kristen Protestan yang berlangsung antara tahun
1618 – 1648, mereka
juga saling menjajah, memerangi, membunuh dan merampok dalam
memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa untuk dijadikan koloni
(jajahan),
pemukiman bangsa-bangsa Eropa. Perang memperebutkan koloni di luar Eropa, juga
berlangsung selama ratusan tahun,
Apabila ada
masalah yang timbul sehubungan dengan kejahatan perang, terutama di masa Perang
Dunia II, maka mereka saling menyerang secara verbal, dan
menngungkap lembaran hitam sejarah negara yang sedang bertikai, terutama
terhadap Jerman. Dapat dikatakan, bahwa negara-negara di Eropa Barat melakukan
“perang sejarah.” Perang sejarah ini dapat dilihat dalam
pertandingan-pertandingan olahraga, terutama dalam pertandingan sepak bola
antar negara di Eropa, di mana dilampiaskan antipati terhadap para supporter dari negara lawan bertanding.
Di antara negara-negara Eropa, ada beberapa yang merupakan musuh berbuyutan.
Hal-hal
tersebut di atas menunjukkan, bahwa untuk negara-negara di Eropa yang pernah
memiliki koloni (jajahan) di luar Eropa dan pernah menjalankan praktek
perbudakan, lembaran hitam sejarah mereka menjadi sangat sensitif dan mereka
berusaha untuk menutup-nutupi, a.l. menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat
peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Yang termasuk paling ekstrem dalam berusaha
memoles wajah hitam mereka di masa lalu adalah Belanda. Di Den Haag, Belanda,
terdapat Internastional Court of Justice (Peng”ADIL”an” Internasional), Peace Palace (Istana Perdamaian), dan
sejak tahun 2002, Den Haag adalah tempat kedudukan International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional). Di
Mahkamah Kejahatan Internasional, para penjahat-penjahat perang dari bebagai
belahan duni diadili dan dijatuhi hukuman. Mereka adalah penjahat-penjahatn
perang dari luar Eropa Barat.
Di Belanda,
dalam buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah tidak ditulis sejarah kelam
penjajahan yang dilakukan oleh Belanda selama ratusan tahun, termasuk
perdagangan budak dan monopoli perdagangan candu (opium) yang dipegang oleh
pemerintah kolonial dsb. Generasi muda Belanda tidak mengetahui mengenai
kekejaman-kekejaman, bahkan kebiadaban-kebiadaban yang
dilakukan oleh leluhur mereka di masa penjajahan
dan perbudakan.
Yang ditulis hanya glorifikasi masa penjajahan. Era VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie)
yang dikisahkan sebagai zaman keemasan (“The
golden age”). Hal ini a.l. tertera dalam situs Kementerian Luar Negeri
Belanda sehubungan dengan sejarah Belanda. Berbagai kejahatan yang dilakukan
oleh Belanda di masa kolonialisme, mulai banyak diungkap setelah tahun 2002.
Ketika itu di Belanda dirayakan secara besar-besaran sepanjang tahun 2002, 400
tahun berdirinya kongsi Dagang VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) yang
didirikan pada 20 Maret 1602.
Mulai Menuntut Pemerintah Belanda
pada 20 Maret 2002.
Pada puncak
perayaan 400 tahun VOC tanggal 20 Maret
2002,
saya dan sejumlah Angkatan ’45 serta generasi penerus melakukan demonstrasi di
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, menentang perayaan VOC
tersebut dan menyampaikan petisi kepada pemerintah Belanda. Demonstrasi ini
diliput oleh Jurnalis Belanda Step Vaessen dari satu Televisi
Belanda, NOS, dan pada hari itu juga ditayangkan di Belanda. Sejak itu, di
Belanda mulai bergulir tulisan-tulisan mengenai kejahatan-kejahatan Belanda
di
masa VOC.
Generasi muda
Belanda juga samasekali tidak mengetahui mengenai kekejaman-kejaman tentara
Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945
– 1950. Kejahatan-kejahatan Belanda selama agresi militer Belanda di Indonesia
mulai diungkap tahun 1969 oleh Prof.
Joop Huting, seorang mantan wajib militer Belanda yang ditugaskan ke Indonesia
tahun 1947 untuk berperang melawan Republik Indonesia. Kesaksiannya diberitakan
di beberapa media massa di Belanda.
Ketika masih
tinggal di Hamburg, Jerman (waktu itu Jerman Barat), sejak tahun 1972 saya
beberapa kali berlibur ke Indonesia. Sewaktu di Indonesia, saya diperkenalkan
oleh ayah saya kepada teman-teman seperjuangannya Angkatan ’45, a.l. Kol. TNI
(Purn.) Zulkifli Lubis, pendiri cikalbakal Badan Intelijen Negara (BIN).
Setelah beliau mengetahui bahwa saya kuliah di satu Universitas di Jerman, tetangga
Belanda, beliau menceriterakan mengenai permasalahan yang dihadapi Indonesia
terhadap upaya beberapa pihak di Belanda, yang terus berusaha untuk
menghancurkan Republik Indonesia. Belkiau menyarankan agar saya memantau
perkembangan di Belanda. Setelah itu kami masih beberapa kali bertemu, termasuk
dua kali bertemu di Jerman Barat.
Kemudian,
ketika saya menjadi Ketua Organisasi Mahasiawa di Jerman Barat (PPI Jerman
Barat) tahun 1975, saya mendapat kunjungan dari Kol. Purnomo, A gkatan ’45,
yang waktu itu bertugas di BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara), pendahulu
BIN (Badan Intelijen Negara). Beliau memberikan beberapa nformasi, nasihat dan
petunjuk. Kol. Purnomo kemudian menjadi Konsul Indonesia di Berlin Barat.
PERANG DINGIN BERAKHIR,
BELANDA MELANJUTKAN UPAYA MEMECAH-BELAH NKRI
Menjelang
berakhirnya Perang Dingin saya mendapat informasi dari saudara
sepupu saya yang waktu itu masih tinggal di Belanda, Benno Tobing, putra
Pahlawan Nasional dr. Ferdinand Lumban Tobing, bahwa tanggal 11
Februari 1991 di Belanda diumumkan berdirinya organisasi seperti PBB yang
dinamakan Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO). Yang
menjadi anggota adalah “bangsa-bangsa” yang tidak terwakili di PBB.
Tujuan UNPO
adalah membantu anggota-anggotanya
mencapai kemerdekaan. Yang sudah terdaftar sebagai
anggota tahun 1991 a.l. Republik Maluku
Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Timor Timur menyusul menjadi anggota UNPO bulan Januari 1993. Di sini terlihat
sangat jelas tujuan didirikannya UNPO di Belanda yang sehubungan dengan
Indonesia adalah memecah-belah NKRI.
Di sini terbukti dugaan para tokoh intelijen Indonesia, bahwa Belanda tidak
berhenti berusaha menghancurkan NKRI.
Setelah
saya kembali ke Indonesia bulan Desember 1992, saya menyampaikan pengamatan
saya kepada para tokoh Angkatan ’45, teman-teman seperjuangan ayah saya, yang
waktu itu berusia 82 tahun. Ayah saya meninggal tahun 2002, pada usian 92
tahun.
PEMBENTUKAN OPINI NEGATIF TERHADAP INDONESIA
Di era Perang
Dingin antara blok anti komunis NATO, melawan blok komunis
Pakta
Warsawa, Indonesia sebagai negara anti komunis pada waktu itu, dikelompokkan ke
kubu negara-negara anti komunis. Sampai berakhirnya Perang Dingin, tidak pernah
ada kritik apalagi kecaman dari negara-negara barat terhadap berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Perekonomian Indonesia didukung
penuh oleh blok NATO dan sekutunya yang tergabung dalam IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia).
Bantuan yang diberikan bukan hanya bantuan dana, melainkan juga bantuan
militer. Namun hal-hal tersebut berbalik 180 derajat, setelah berakhirnya Perang
Dingin. Amerika Serikat dan sekutu dan kaki-tangannya di Indonesia berusaha
menggeser Presiden Suharto dan memecah-belah NKRI agar menjadi negara yang
lemah di Asia Tenggara. Namun tidak seperti Manuel Noriega di Panama dan
Ferdinand Marcos di Filipina, tidak mudah menggeser Presiden Suharto yang sudah
membangun kekuatan dalam negerinya di Indonesia sejak 25 tahun, sejak tahun 1966
sampai tahun 1991.
Pada 11
November 1991, tidak lama setelah Perang Dingin resmi berakhir, terjadi insiden
Santa Cruz di Dili, Timor Timur, di mana diperkirakan lebih
dari
200 orang rakyat TimTim tewas tertembak oleh ABRI. Segera setelah peristiwa ini,
negara-negara yang tergabung dalam NATO melancarkan embargo senjata terhadap
Indonesia. Amerika Serikat baru mencabut embargo ini tahun 2005. Insiden Santa
Cruz adalah rekayasa yang dikondisikan untuk memojokkan Indonesia dengan isu
pelanggaran HAM berat. Rekayasa ini dengan mengorbankan nyawa rakyat Timtim, kemudian
digunakan sebagai dasar untuk menekan pemerintah Indonesia agar melepaskan
Timor Timur ... dan berhasil.
Setelah insiden
Santa Cruz di TimTim pada 11 November 1991, selain embargo senjata, Indonesia
diserang/dipojokkan terus menerus dengan isu pelanggaran HAM di Papua, Aceh dan
Maluku. Selain itu juga diangkat secara
massif peristiwa tragedi nasional yang terjadi di Indonesia pada bulan
September/Oktober tahun 1965. Pembentukan opini negatif di luar negeri,
terutama dilakukan oleh Belanda, Inggris, Australia dan Amerika Serikat, yaitu
negara-negara yang tergabung dalam ABDACOM (American,
British, Dutch, Australian
Command), yaitu komando gabungan tentara Sekutu di masa Perang Dunia II di
Asia Pasifik. Kemudian beberapa kalangan di Jerman, termasuk kalangan gereja, ikut
dalam memojokkan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM di Aceh, TimTim dan Papua
Barat. (catatan: Saya sendiri beragama Kristen). Yang termasuk paling keras
menekan Indonesia adalah Belanda, yang adalah Ketua IGGI sejak dibentuk tahun
1967. Sejak tahun 1991, delegasi parlemen Belanda “rutin” melakukan “kunjungan
kerja” ke Indonesia, untuk mengawasi perkembangan HAM, terutama di Papua, Aceh
dan Maluku. Sampai tahun 1999 juga ke Timor Timur.
Di Eropa Barat
terutama di Belanda, Inggris dan Jerman serta di Australia, ,
setiap tahun menjelang tanggal 30 September, perstiwa tahun 1965 di Indonesia,
mereka
yang “memanaskannya.” Puncaknya adalah “Tribunal
Internasional 1965” yang diselenggarakan dengan dana besar di Den Haag,
Belanda tanggal 13 – 15 November 2015, yang dimotori oleh tokoh-tokoh
Indonesia, yaitu Prof. DR. Todung M. Lubis dan Nursyahbani Katjasungkana, SH.,
mantan anggota DPR RI. Sebagai “Jaksa Penuntut Utama” dalam sidang Tribunal
Internasional tersebut, Prof. Todung Lubis mendakwa Negara Indonesia sebagai Negara
pelanggar HAM. “Pengadilan Tribunal internasional” menjatuhkan vonis yang
lebih berat dari dakwaan “Jaksa” yaitu, Negara
Indonesia telah melakukan genosida terhadap anggota PKI tahun 1965. Vonis
ini kemudian disampaikan ke Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, sebagai
rekomendasi. Sebenarnya vonis ini aneh, karena definisi genosida yang
dikeluarkan oleh PBB tahun 1945 adalah etnis
cleansing, pembersihan atau
pembantaian etnis dan tidak berlaku untuk anggota partai politik
GAGASAN UNTUK KONTRA PEMBENTUKAN OPINI NEGATIF
Ketika
masih di Jerman Barat, saya mengikuti perkembangan mengenai penjahat-penjahat
perang Nazi-Jerman terus diburu untuk diadili. Setelah Jerman menyerah tanpa
syarat kepada pasukan sekutu tanggal 8 Mei 1945, sangat banyak tentara Jerman yang
terlibat dalam berbagai kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan,
melarikan diri ke luar negeri atau bersembunyi di Jerman dengan mengganti
identitas mereka. Di banyak negara Eropa, berbagai kejahatan, termasuk
pembunuhan, dinyatakan kadaluarsa setelah 30 tahun. Dikuatirkan, apabila
setelah 30 tahun, yaitu setelah tahun 1975 para penjahat perang tersebut tidak
berhasil ditangkap, maka setelah 30 tahun mereka bebas melenggang dan sesumbar,
bahwa merekalah pelaku kejahatan atau pembunuhan massal.
Oleh
karena itu, untuk mengantisipasi hal ini akan terjadi, maka tahun Sidang Umum PBB
(Perserikatan Bangsa Bangsa) mengeluarkan resolusi No.2391 (XXIII) tertanggal
26 November 1968, yang menyatakan bahwa untuk kejahatan perang dan kejahatan
atas kemnausiaan, tidak diterapkan asa kadaluarsa (Convention on the Non Applicability of Statutory Limitations to War
Crimes and Crimes Agaunst Humanity). Konvensi ini berlaku efektif mulai 11
November 1970. Kemudian berdasarkan Statuta Roma tahun 1998, PBB memperkuat konvensi
di atas dengan menambhakan Genosida (pembersiah etnis) yang dinyatakan tidak
diterapkan asas kadaluarsa. Statuta Roma ini berlaku efektif mulai tahun 2002,
dan menjadi landasan dari Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang
bekedudukan di Den Haag, Belanda.
Setelah saya
kembali ke Indonesia bulan Desember 1992, saya diperkenalkan lagi
oleh ayah saya kepada
cukup banyak Angkatan ’45, teman-teman seperjuangan ayah saya, termasuk dari
kalangan intelijen, a.l. Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmodjo, yang tahun 1975
adalah Deputy IV Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN).
Tahun 1994 saya
menyampaikan gagasan kepada Angkatan ’45 untuk melakukan kontra pembentukan
opini negatif terhadap Indonesia di luar negeri, dengan cara membuka lembaran
hitam sejarah negara-negara tersebut, terutama di masa penjajahan dan di masa
agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1949.
Dalam upaya
untuk berkuasa kembali di bekas jajahannya, Belanda dibantu oleh 3 Divisi
tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia. Dua divisi tentara Australia
“membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia bagian timur. Kemudian pada 15 Juli 1946, seluruh wilayah Indonesia
bagian timur, mulai dari Kalimantan, “diserahkan” kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Di wilayah Indonesia bagian timur, Belanda membentuk Negara Indonesia Timur
(NIT).
Untuk
meng-counter isu-isu pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh Indonesia, kita mengungkap kejahatan-kejahatan yang
dilakukan oleh negara-negara tersebut di masa agresi militer mereka di Republik
Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Dan bahkan kemudian menuntut negara-negara
tersebut ke Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court) yang berkedudukan di Den Haag,
Belanda.
Para sesepuh
angkatan ’45 setuju dan mendukung gagasan saya. Sejak tahun 1994 saya mulai
sangat intensif melakukan penelitian sejarah yang sehubungan dengan penjajahan
dan periode tahun 1942 – 1950, terutama di masa agresi militer Belanda dan
sekutunya di Republik Indonesia antara tahun 1945 - 1949.
Saya mengawali dengan melakukan penelitian
mengenai agresi militer Inggris di Surabaya, yang dimulai DENGAN PEMBOMAN ATAS
Surabaya pada 10 November 1945. Selain mewawancarai sejumlah Angkatan ’45, sumber-sumber
saya dari bahasa Inggris, Jerman dan Belanda.
Foto acara syukuran ulang tahun ayah
saya ke 91, bulan Maret 2001.
Duduk dari kiri:
- Brigjen TNI (Purn.) drg. KRT
Soemiarso pelaku “Serangan UMUM 1 Maret 1949,”
- Mayjen (Purn.) Suhario
Padmodiwiryo (Hario Kecik), pelaku pertempuran Surabaya November 1945),
- Mayjen (Purn.) KRMH
Jonohatmodjo, pelaku pertempuran Surabaya November 1945. Tahun 1975 Beliau
adalah Deputy IV BAKIN Bidang Counter
Intelligence).
- Ayah saya di kursi roda,
- Komjen POL Muhammad Yasin,
pelaku pertempuiran Surabaya November 1945, pendiri cikalbakal BRIMOB,
- Mayjen (Purn.) EWP Tambunan
(pelaku pertempuran di Jawa Timur 1945/1946). Mantan Gubernur Sumatra Utara.
Berdiri di belakang, menggunakan
jilbab warna hijau, Ibu Endang Assrahardjo, putri dari Mayjen (Purn.) Bambang
Sugeng (Pelaku peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949.” Bambang Sugeng adalah
KSAD ketiga, tahun 1952-1955).
MEMULAI MELAKUKAN PENELITIAN
SEJARAH
Saya melakukan
penelitian mengenai sejarah mulai tahun 1994. Sumber pertama
dan utama adalah penuturan
ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20 Maret 1910 – 29 April
2002), yang adalah salahseorang pendiri Badan Keamanan Rakyat (BKR/Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya dan sekitarnya pada akhir bulan Agustus 1945.
TKR di Surabaya ini termasuk yang menjadi cikal-bakal Divisi Brawijaya. Antara
lain dituturkan, bahwa alasan Inggris melancarkan agresi militernya yang
dimulai dengan pemboman atas Surabaya pada 10 November 1945 adalah salah dan
merupakan pemutarbalikan fakta.
Di Surabaya,
dari tanggal 28 – 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang dahsyat dan heroik
antara BKR/TKR dan laskar-laskar pemuda melawan Brigade 49 dari Divisi 23
tentara Inggris di bawah komando Brigjen AWS Mallaby. Pada 30 Oktober dicapai
gencatan senjata. Dalam penyebarluasan informasi mengenai gencatan senjata,
terjadi insiden tembak-menembak lagi di mana Brigadir Jenderal AWS Mallaby
tewas.
Inggris
kemudian melancarkan agresi milternya untuk “menghukum” rakyat Surabaya dengan
mengerahkan pasukan terbesar setelah Perang Dunia II usai. Alasan yang
dikemukakan oleh Panglima tentara Inggris untuk melancarkan agresi militernya
terhadap Surabaya pada 10 November 1945 adalah:
1.
Pihak Indonesia telah melanggar gencatan
senjata,
2.
Membunuh secara licik Brigjen AWS Mallaby.
Ayah saya, yang
waktu itu adalah Perwira Penghubung (Liaison
Officer) di Tentara Keamanan Rakyat - TKR (pendahulu dari Tentara Nasional
Indonesia – TNI), ada di tempat kejadian. Ayah saya menuturkan, bahwa justru
pihak Inggris yang melanggar gencatan senjata dengan memulai menembak. Di dalam
peristiwa silang tembak (cross fire)
tersebut. Brigjen Mallaby dirtemukan tewas.
Selain
peristiwa perang di Surabaya/Jawa Timur melawan tentara Inggris, juga
dituturkan beberapa peristiwa penting lain, termasuk kejahatan-kejahatan perang
yang dilakukan oleh tentara Inggris, Belanda dan Australia di masa agresi militer
mereka di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Ayah saya
mendorong saya untuk melakukan penelitian mengenai hal-hal yang disampaikannya.
Dalam penelitian sekitar 5 tahun, saya berhasil membuktikan kebenaran penuturan
ayah saya, bahwa yang melanggar gencatan sejata adalah pihak Inggris, atas
perintah dari Mallaby. Dia yang memerintahkan komandan pasukan Inggris di
Gedung Internatio untuk mulai
menembaki (to open fire) para pejuang
Surabaya yang mengepung gedung di mana tentara Inggris bertahan. Dan dalam
silang tembak (cross fire) yang
terjadi, Mallaby ditemukan tewas. Oleh karena itu, berdasarkan kaidah hukum
sebab-akibat, maka tewasnya Mallaby adalah akibat perintahnya sendiri untuk
memulai penembakan, yang merupakan pelanggaran gencatan senjata.
Untuk
membuktikan, bahwa yang telah dilakukan oleh tentara Inggris, Belanda dan
Australia di Republik Indonesia adalah agresi militer terhadap satu negara yang
merdeka dan berdaulat, saya harus membuktikan ,bahwa Proklamasi 17 Agustus 1945
adalah sah berdasarkan hukum internasional Kemudian mengumpulkan bukti-bukti
dari sumber yang valid, bahwa yang dilakukan oleh tentara Inggris, Beland dan
Australia adalah kejahatan perang dan kejatahan atas kemanusiaan,
Mulai tahun
1999 saya mempublikasikan hasil-hasil penelitian saya. Berdasarkan bukti-bukti
yang valid yang saya temukan, pada 10 November 1999 bersama sejumlah Angkatan
’45 dan generasi penerus, saya menuntut pemerintah Inggris atas agresi
militernya di Indonesia yang dimulai pada 10 November 1945. Kemudian setelah
berhasil menuntut pemerintah Inggris, saya menuntut pemerintah Belanda.
Sebenarnya juga akan menuntut pemerintah Australia, namun karena ada beberapa
kendala, tuntutan kepada pemerintah Australia untuk sementara ditunda.
Selain mencari
bukti-bukti untuk mengungkap kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh
tentara Belanda, Inggris dan Australia di Republik Indonesia, saya juga
mendalami penuturan-penuturan ayah saya, paman-paman dan teman-teman
seperjuangan mereka mengenai sejarah perjuangan bangsa Indonesia membentuk
bangsa Indonesia dan mendirikan negara bangsa (nation state) yang kemudian dinamakan Indonesia.
Mengenai latar
belakang dan tujuan yang sebenarnya saya melakukan penelitian sejarah dan
kemudian menuntut pemerintah Inggris serta pemerintah Belanda, pertama kali saya ungkapkan ke publik
tanggal 23 Desember 2017, pada waktu peluncuran buku saya ‘Indonesia Tidak Pernah Dijajah.”
Pengungkapan ini dengan persetujuan dari Bapak Mayjen TNI (Purn.) Syamsir
Siregar, Kepala Badan Intelijen Negara (KaBIN) tahun 2004 – 2009. Kegiatan saya
sejak tahun 1999 menuntut pemerintah Inggris dan kemudian menuntut pemerintah
Belanda, mendapat dukungan dan bantuan dari kalangan intelijen dan para
diplomat Indonesia, baik yang waktu itu masih aktif, maupun yang sudah purna
wira atau pensiun..
Peluncuran buku
tersebut dilaksanakan dI Gedung Nusantara DPR/MPR RI, Ruang Abdul Muis. Hadir
di acara tersebut a.l. Dr. Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI sebagai Keynote Speaker, Jenderal TNI (Purn.)
Widjojo Soejono yang memberi sambutan; Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edhi
Purdijatno, mantan KSAL; Jenderal TNI (Purn.) Agustadi Sasongko Purnomo, mantan
KSAD, Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar, mantan KaBIN, dll. Drs. Bambang Sulistomo, putra Pahlawan
Nasional Bung Tomo, adalah Moderator pada acara tersebut.
Dalam sambutan,
saya menyampaikan, bahwa tujuan pertama membuka lembaran sejarah adalah dalam
rangka melakukan ‘Kontra Pembentukan
Opini Negatif Terhadap Indonesia di Luar Negeri,’ terutama yang gencar
dilancarkan oleh Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia (ABDACOM),
setelah berakhirnya Perang Dingin tahun 1991. Abdacom (American, British, Dutch, Australian Command ) adalah komando
gabungan tentara sekutu di masa Perang Dunia II di Asia Pasifik, yang dibentuk
pada bulan Januari 1942, ketika Jepang melancarkan agresi militernya.
MENGGUNAKAN SEJARAH SEBAGAI SENJATA
MENUNTUT
PEMERINTAH INGGRIS.
Pada 9 November
1999, bersama sejumlah Angkatan ’45, a.l. Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmodjo
(mantan Deputy IV BAKIN Bidang Counter
Intelligence/mantan Dubes RI untuk Yugoslavia), Mayjen TNI (Purn.) EWP
Tambunan (mantan Gubernur Sumut), Ibu Lukitaningsing Radjamin (Ketua Pemuda
Putri tahun 1945) dan para relawati Palang Merah Indonesia Angkatan ‘45 serta putra-putri
pejuang ’45, a.l. Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo, Pahlawan Nasional RI,
saya mendirikan organisasi yang dinamakan Komite
Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS). Pada
10 November 1999 kami melakukan demonstrasi ke Kedutaan Besar Inggris di
Jakarta, dan menyampaikan Petisi, yang isinya menuntut pemerintah Inggris untuk
meminta maaf atas Pemboman Surabaya November 1945. Hasil penelitian saya
lampirkan dalam Petisi.
Saya mengirim berbagai
Press Release ke semua media nasional
dan internasional serta ke semua Kedutaan Besar asing yang ada di Jakarta. Isi
berbagai Press Release a.l
menyampaikan berbagai kejahatan yang dilakukan oleh tentara Inggris selama
agresi militernya tersebut. Ini adalah bagian dari Psychological warfe (Psy war) terhadap Inggris.
Yang sangat
berperan besar dalam kegiatan menuntut pemerintah Inggris adalah Mayjen TNI (Purn.) Jonohatmojo dan Ibu
Lukitaningsih Irsan Radjamin, Ketua Pemuda Putri di Surabaya tahun 1945, yang
duduk di Dewan Penasihat. Pak Jonohatmodjo dan Ibu Lukitaningsih mengenal ayah
saya sejak pertempuran di Surabaya bulan Oktober 1945..
Tanggal 27
Oktober 2000 kami, KPHARS, bersama Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS RI)
menyelenggarakan Seminar internasional di LEMHANNAS, dengan judul: “The Battle of Surabaya. Back Ground and
Consequences.” Keynote speaker
adalah Menteri Pertahanan, Prof. Mahfud MD. Duta Besar Inggris Richard Gozney
hadir sebagai salahsatu pembicara. Para pembicara lain adalah para pelaku
sejarah dari Surabaya/Jawa Timur, a.l. Ruslan Abdulgani, Mayjen TNI (Purn.)
Soebiantoro (Pendiri Puskav di Bandung), dll. acara tersebut dihadiri oleh 250
orang, termasuk para Atase Pertahanan dari Inggris, Belanda, Australia, India,
Pakistan, New Sealand dan Jerman serta para tamu asing lain, a.l. dari Amerika
Serikat.
Dalam Seminar
tersebut, Dubes Inggris Richard Gozney menyampaikan pernyataan, yang isinya
a.l., secara resmi atas nama pemerintah dan rakyat Inggris, meminta maaf atas
peristiwa yang terjadi di Surabaya bulan November 1945, dan mengakui terus
terang, memang demikian politik Inggris pada waktu itu, yaitu membantu Belanda
memperoleh kembali bekas jajahannya.
Setelah
berhasil menuntut pemerintah Inggris, bahan-bahan untuk menuntut pemerintah
Inggris saya terbitkan sebagai buku tahun 2001 dengan judul: “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM
SURABAYA?” Tebal buku 472 halaman.Teks lengkap pernyataan Dubes Inggris Richard
Gozney dalam seminar internasional di LEMHANNAS RI dapat dibaca dalam buku yang
saya tersebut.
Seminar
Internasional di LEMHANNAS RI 27 Oktober 2000: “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground and Consequences.”
Seminar
Internasional di LEMHANNAS RI, 27 Oktober 2000. Dari kiri:
Richard
Gozney, Duta Besar Inggris, Batara R. Hutagalung (Moderator), Dr. Ruslan
Abdulgani, pelaku sejarah.
MENUNTUT
PEMERINTAH BELANDA ATAS PENJAJAHAN VOC
Sampai tulisan
ini dibbuat, September 2022, pemerintah Belanda tetap tidak mau meminta maaf
kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, genosida (pembantaian
etnis), perampokan harta Nusantara dan berbagai kejahatan lain yang dilakukan
oleh Belanda di Asia Tenggara, yang sekarang menjadi wilayah negara Republik
Indonesia.
Pada 13 Meret
2020, raja Belanda Wilem Alexander di Jakarta hanya menyampaikan permintaan
maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang terjadi pada waktu “pemisahan”
Indonesia dari Imperium Belanda. tidak ada satu katapun mengenai penjajahan.
Demikian juga pada bulan Februari 2022, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte
menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang
dilakukan oleh tentara Belanda di masa “dekolonialisme’ di Nederlands Indie (India Belanda). Mark Rutte juga samasekali tidak
menyinggung mengenai penjajahan, yang di beberapa wilayah di Asia tenggara
berlangsung selama lebih dari 300 tahun, yaitu a.l. di Jayakarta (sekarang
Jakarta) dan di Kepulauan Banda, Maluku. Pada bulan Mei 1621 Belanda membantai
sekitar 13.000 penduduk Banda, yang mengakibatkan etnis Wandan, penduduk
kepulauan Banda yang waktu itu berjumlah sekitar 15.000 jiwa, hampir punah. Di
beberapa kerajaan, penjajahan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30-an
tahun saja. Oleh karena itu, mitos bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350
tahun itu salah dan menyesatkan, Selain itu, yang dijajah juga bukan Indonesia,
melainkan berbagai kerajaan dan kesultanan di Asia Tenggara. Juga tidak esmua
menjadi jajahan Belanda.
Setelah
berhasil menuntut pemerintah Inggris, tahun 2002, bersama para mantan aktivis
KPHARS saya mendirikan organisasi yang bernama Komite Nasional Pembela Martabat
Bangsa (KNPMB). Tujuannya adalah menuntut pemerintah Belanda. Bertepatan dengan
puncak perayaan 400 tahun berdirinya Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC) di Belanda, tanggal 20 Maret 2002 kami
melakukan demonstrasi ke Kedutaan Belanda dan menuntut pemerintah Belanda
meminta maaf atas penjajahan, perbudakan dan berbagai pelanggaran HAM selama
masa penjajahan. Demonstrasi yang dilakukan oleh KNPMBI juga diliput oleh satu
Tv Belanda,NOS, dan ditayangkan di Belanda pada hari yang sama. Berita ini
sangat mengejutkan masyarakat di Belanda, terutama di kalangan generasi muda.
Menurut informasi dari beberapa kerabat yang tinggal di Belanda, ini adalah
yang pertamakali Belanda digugat atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh
Belanda di masa kolonialisme.

Bulan Juni
2002. Dari kiri, Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmojo, Abdul Irsan SH (waktu itu
masih Duta Besar RI untuk Belanda), Batara R. Hutagalung.
Bapak
Jonohatmojo dan Bapak Abdul Irsan menjadi Penasihat Panitis Seminar “VOC. The Two Faces of the World’s
First Multi National Company.”
Pada 4 April
2002 kami diundang oleh Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra, di mana
dia mengusulkan penyelenggaraan bersama seminar internasional mengenai VOC.
Kami bekerjasama dalam penyelenggaraan seminar internasional dengan judul “VOC. The Two Faces of the World’s First
Multi National Compay,” yang dilaksanakan pada 3 dan 4 September 2002 di
Hotel Menara Peninsula, Jakarta. Para narasumber adalah 6 sejarawan Indonesia
(a.l. Prof. A. Lapiaan, Prof. R. Leirissa), dan 4 sejarawan dari Belanda (a.l.
Prof. Leonard Blusee, Dr. Gerit Knaap, Dr. Femme Gastra). Seminar dihadiri oleh
sekitar 250 peserta. Sebagian besar adalah guru-guru sejarah. 95% anggaran
seminar internasional ditanggung oleh Kedutaan Besar Belanda. Penyelenggaraan
seminar internasional yang besar ini juga diliput oleh beberapa media ternama
di Belanda, dan diberitakan di media-media Belanda. sejak itu, generasi muda
Belanda yang baru mendapat informasi mengenai kejahatan-kejahatan Belanda di
masa lalu, mulai melakukan penelitian mengenai sejarah Belanda di masa
kolonial.
Sebagai
catatan. Jerman menjajah Namibia selama sekitar 30 tahun, yaitu dari tahun
1884/1885 – 1915. Di masa kolonialisme Jerman di Namibia, yang dahulu bernama
Deutsch Sued-West Afrika, antara tahun 190 – 1908 terjadi genosida (pembantaian
etnis) terhadap suku Herero dan suku Nama. Korban genosida terhadap suku Herero
diperkirakan antara 40.000 – 60.000 jiwa, sedangkan korban tewas dari suku Nama
sekitar 10.000 orang.
Sejak tahun
2015, pemerintah Namibia menuntut pemerintah Jerman atas kolonialisme dan
genosida. Selama puluhan tahun Jerman menolak mengakui adanya genosida tersebut
dan tidak mau meminta maaf. Secara-perlahan-lahan pemerintah Jerman mulai
melunak dan meminta maaf atas kolonialisme dan genosida tersebut Tahun 2021 tercapai kesepakatan antara
pemerintah Jerman dan pemerintah Namibia, di mana Jerman akan membayar i milyar
Euro kepada Namibia dalam bentuk cicilan selama 30 tahun. jumlah penduduk
Namibia tahun 2022 sekitar 2,5 juta jiwa.
Keberhasilan
pemerintah Namibia ini dapat menjadi patokan negara-negara bekas jajahan
negara-negara Eropa untuk menuntut para mantan penjajah atas kolonialisme dan
genosida yang telah mereka lakukan di masa kolonialisme.
MENUNTUT
PEMERINTAH BELANDA ATAS KEJAHATAN PERANG
Pada 17 Agustus
1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia dan mendirikan Negara
Kesatuan Republik Indonesi.. Belanda tidak mau mengakuki kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai detik ini, September
2022, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945. Denagn dibantu mantan sekutunya dalam Perang dunia
II di Asia Pasifik, Belanda berusaha berkuasa di bekas jajahannya. Dalam upaya
menguasai NKRI, tentara Belanda dan sekutunya melakukan kejahatan perang,
kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan agresi, bahkan genosida (pembantaian
etnis). Mahkamah Kejahatan Internasional (Internaytipnal Criminal Court) yang
berkedudukan di Den Haag, Belanda, empat kejahatan tesebut dinyatakan tidak
mengenal asas kadaluarla. Arftinya, sampai kapanpun kejahatan-kejahatan
tersebut dapat dituntut dan dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pada bulan
Desember 2004 saya mulai melakukan penelitian mengenai peristiwa pembantaian di
desa Rawagede yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, sehari
setelah dimulainya perundingan perdamaian Renville.
Pada waktu itu, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa tanpa proses hukum
apapun. Mereka ditembak mati di tempat. Desa Rawagede (sekarang bernama
Balongsari) sekitar 80 km dari Jakarta. 15 km dari Karawang, Jawa Barat.
Pada 5 Mei 2005
di Gedung Joang ‘45, kami mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).
Pada 20 Mei 2005, melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, KUKB menyampaikan
Petisi kepada pemerintah Belanda yang isinya menuntut pemerintah Belanda untuk:
1.
Mengakui de jure kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945.
2.
Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas
penjajahan, perbudakan, berbagai kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda
selama agresi militer Belanda di Republik Indonesia 1945 – 1949.
3.
Bertanggungjawab atas tewasnya ratusan ribu
rakyat Indonesia dan kehancuran infrastruktur serta perekonomian Republik
Indonesia antara tahun 1945 – 1949. Dengan kata lain, pemerintah Belanda harus membayar
pappasan perang (war reparation)
Setelah bahan-bahan
mengenai pembantaian di desa Rawagede lengkap, tanggal 15 Desember 2005, bersama Ketua Dewan
Penasihat KUKB Laksamana Pertama (Purn.) Mulyo Wibisono saya ke parlemen
Belanda (Tweede Kamer) di Den Haag.
Kami diterima oleh dua anggota parlemen Belanda, yaitu Bert Koenders dan
Angelien Eijsink. Keduanya dari Partij
van der Arbeit (PvdA). Pak Mulyo Wibisono jabatan terakhirnya di BAIS
adalah Dansatgas Intel (Komandan Satuan Tugas Intelijen).
Dua hal yang
kami pertanyakan, yaitu:
1.
Mengapa pemerintah Belanda tidak menjawab
Petisi KUKB yang disampaikan melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta pada 20
Mei 2005.
2.
Mengapa semua kasus kejahatan perang tentara
Belanda di masa agresi militer Belanda di RI tahun 1945 – 1949 di-PETI-ES-kan.
Saya memaparkan secara rinci peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9
Desember 1947.
Kedua anggota
parlemen Belanda tersebut berjanji akan meneruskan ke Menteri Luar Negeri dan
akan membahasnya di parlemen Belanda. Hal ini mereka lakukan. Kami mendapat
jawaban dari Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot, yang isinya a.l., bahwa
“Pengakuan Kedaulatan” telah diberikan pada akhir tahun 1949, dan pengakuan
terhadap suatu negara hanya dapat diberikan satu kali. Sejak tahun 2005, kasus
pembantaian oleh tentara Belanda di desa Rawagede, 6 kali dibahas dalam sidang pleno
parlemen Belanda.
Tahun 2006,
setelah selesai menjalankan tugas sebagai Dubes RI untuk Jepang, Bapak Abdul
Irsan SH, yang juga mantan Dubes RI untuk Belanda, bergabung dengan KUKB, dan
menjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat. Mengenai KUKB juga ditulis oleh Pak Irsan
dalam bukunya: “MERDEKA DAN BERDAULAT” yang terbit tahun 2016. Ketika Bapak
Irsan masih menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, Beliau telah
mendukung KUKB dan berpartisipasi dalam kegiatan KUKB.
15
Desember 2005 di parlemen Belanda di Den Haag. Dari kiri:
Laksamana
Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisosno, Ketua Dewan
Penasihat
KUKB.
Batara
R. Hutagalung, Ketua Umum KUKB,
Bert
Koenders, Juru bicara Fraksi PvdA (Partai Buruh),
Angelien
Eijsink, anggota parlemen Belanda dari PvdA yang membidangi masalah Veteran
Belanda.
MENDAPAT DUKUNGAN DARI BAPAK MAYJEN TNI (PURN.)
SYAMSIR SIREGAR, KABIN
Bulan Juli
2007, saya dan Laksamana Pertama (Purn.) Mulyo Wibisono, Ketua Dewan Penasihat
KUKB, diterima oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Bapak Mayjen TNI
(Purn.) Syamsir Siregar di Markas BIN di Pejaten. Beliau didampingi oleh
jajaran BIN, a.l. WaKa BIN Bapak As’ad Ali dan Laksamana Muda TNI (Purn.) Ishak
Latuconsina. Kami menyampaikan konsep menuntut pemerintah Belanda, dalam rangka
kontra pembentukan opini negatif terhadap Indonesia. Kami menyampaikan
keberhasilan menuntut pemerintah Inggris, dan langkah-langkah yang telah kami
lakukan sehubungan dengan membuka lembaran hitam Belanda di Indonesia, a.l.
mengenai VOC dan telah membawa kasus pembantaian di desa Rawagede ke parlemen
Belanda di Den Haag, Belanda.
Bapak Syamsir
Siregar menyatakan dukungannya terhadap kegiatan KUKB. Selama dua tahun, tahun
2007 – 2009, sampai akhir masa jabatan Pak Syamsir, KUKB mendapat dukungan
logistik dalam penyelenggaraan seminar-seminar yang mengungkap kejahatan-kejahatan
perang tentara Belanda dan dalam melakukan unjukrasa-unjukrasa ke Kedutaan
Belanda dengan menghadirkan para janda korban pembantaian dari desa Rawagede.
Juga perjalanan saya dan Pak Wibisono ke Belanda dalam rangka bertemu dengan
anggota Parlemen Belanda di Den Haag tahun 2007 dan kemudian perjalanan saya ke
Belanda tahun 2008 mendapat bantuan dari BIN.
Dengan izin
dari Bapak Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar, di acara peluncuran buku bualn
Desember 2017 tersebut saya mengungkapkan bahwa keberhasilan menuntut
pemerintah Belanda atas pembantaian Rawagede, tahun 2007 – 2009, juga berkat
dukungan dan bantuan logistik dari BIN. Sejak kami mengawali kegiatan tahun
1998, semua biaya kami sendiri yang menanggung, kecuali tahun 2007 – 2009, di
mana kami mendapat bantuan dari Pak Syamsir Siregar/BIN, dalam rangka menuntut
pemerintah Belanda atas pembantaian di desa Rawagede.
Bulan September
2017 saya menghadap Bapak Mayjen TNI (P{urn.) Syamsir Siregar. Meminta izin
untuk mengungkapkan bantuan BIN dalam menuntut pemerintah Belanda.
Pada bulan
Oktober 2008, saya mendampingi dua janda korban pembantaian di Rawagede dan
satu korban selamat, bertemu dengan tiga orang anggota parlemen Belanda yang
sedang mengadakan “kunjungan kerja” di Indonesia. Mereka adalah Harry van
Bommel dari Partai Sosialis, Joel Voordewind dari Partai Uni-Kristen dan Harm
Evert Waalkens, dari Partai Buruh (PvdA). Dalam pertemuan tersebut, saya
menuntut, agar Duta Besar Belanda hadir pada Peringatan Peristiwa Pembantaian,
pada 9 Desember 2008.
Oleh para
anggota parlemen Belanda yang saya temui di Jakarta, tuntutan saya disampaikan
di sidang pleno parlemen Belanda pada bulan November. Kemudian dilakukan
voting, apakah setuju atau tidak, Duta Besar Belanda harus hadir pada acara
peringatan tanggal 9 Desember 2008 di desa Rawagede. Hasil voting adalah,
mayoritas anggota parlemen Belanda setuju, bahwa Duta Besar Belanda harus hadir
pada 9 Desember 2008. Malam itu juga, Harry van Bommel menelepon saya dari
Belanda dan menyampaikan hasil voting di parlemen Belanda. Keesokan harinya
saya menelepon Kedutaan Belanda dan meminta pernyataan secara tertulis, bahwa
Dubes Belanda akan hadir pada acara peringatan di Rawagede tanggal 9 Desember
2008. Jawaban tertulis diberikan. Setelah mendapat konfirmasi tertulisa, bahwa
Duta Besar Belanda akan hadir dalam peringatan di Rawagede tanggal 9 Desember
2008, saya mengirim Press Release kepada semua media nasional dan internasional
yang ada di Jakarta.

Acara
peluncuran buku saya: “INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH,” di Gedung DPR RI, 23
Desember 2017. Duduk di depan, dari kiri:
Jenderal
TNI (Purn.) Widjojo Soejono, Dr. Fadli Zon (Wakil Ketua DPR RI), Laksamana TNI
(Purn.) Tedjo Edhi Purdijatno, Jenderal TNI (Purn.) Agustadi Sasongko Purnomo,
Mayjen TNI (Purn.) Syamsir Siregar.
Duduk di
baris kedua, keempat dari kiri, Agustanzil Sjahroezah, cucu Pahlawan Nasional
H. Agus Salim. Tamu lain yang hadir, antara lain Marsekal Pertama TNI Donny Ermawan Taufanto dan Hj. Lily Chadijah Wahid (alm), adik kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid (alm.).
Jenderal TNI (Purn.)
Widjojo Soejono memberi sambutan dalam acara peluncuran buku IINDONESIS TIDAK
PERNAH DIJAJAH.
Moderator, Bambang Sulistomo,
putra Pahlawan Nasional Bung Tomo.
Pada peringatan
peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda
hadir. Hal ini tentu merupakan suatu sensasi besar, dan merupakan peristiwa
bersejarah, karena pertama kali dalam sejarah, seorang Duta Besar Kerajaan
Belanda “dipaksa” hadir pada acara tersebut. Saya mengundang berbagai media,
baik nasional maupun internasional. Diperkirakan sekitar 100 media nasional dan
internasional, termauk media dari Belanda, hadir dan meliput peristiwa bersejarah
yang terjadi untuk pertama kali tersebut. Berbagai media Belanda memberitakan
mengenai peristiwa ini, yang tentu menggemparkan masyarakat di Belanda. Dapat
dikatakan, bahwa sejak itu desa Rawagede merupakan desa di Indonesia yang
paling terkenal di seluruh dunia. Juga, masyarakat internasional kini mengetahui
mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda, setelah
berakhirnya Perang Dunia II. Yang paling heboh adalah di Belanda, karena banyak
generasi muda Belanda baru mengetahui mengenai kejahatan-kejahatan perang yang
dilakukan oleh orangtua atau kakek mereka. Sejak itu, cukup banyak generasi
muda Belanda datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai periode
antara tahun 1945 – 1949, termasuk ke desa Rawagede.
Dengan bantuan
perwakilan kami di Belanda, KUKB Cabang Belanda, tahun 2009 para janda korban
pembantaian di desa Rawagede mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda di
Pengadilan Sipil di Den Haag, Belanda. Pada bulan September 2011 Pengadilan
sipil di Belanda menjatuhkan vonis, bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus
memberi kompensasi kepada para janda dan satu korban selamat dari pembantaian
pada 9 Desember 1947. Vonis ini kembali menjadi berita internasioal, karena
pertama kali gugatan atas kejahatan perang yang dilakukan oleh satu negara
Eropa, dimenangkan di Pengadilan Sipil di negara yang melakukan agresi militer
tersebut, yaitu Belanda.
Semua kegiatan,
baik ketika menuntut pemerintah Inggris, maupun menuntut pemerintah Belanda
atas kolonialisme di era VOC, serta menuntut pemerintah Belanda atas kejahatan-kejahatan
perang di masa agresi militer Belanda di Indonesia, terdokumentasi dengan cukup
baik.
Setelah Pak
Wibisono meninggal bulan Oktober 2013, posisi Ketua Dewan Penasihat KUKB
dijabat oleh Bapak Letjen TNI (Purn.) Moetojib. Beliau adalah KaBAKIN 1996 –
1998.
Setelah Pak
Moetojib meninggal tahun 2015, kegiatan kami mengendor, karena selain usia kami
para aktifis rata-rata di atas 60 tahun (saya sendiri sekarang berusia 76
tahun), juga kurangnya generasi muda yang berminat untuk melanjutkan perjuangan
kami, terutama untuk menuntut pemerintah Australia. Harus diketahui, bahwa berkat
bantuan dua divisi tentara Australia, Belanda dapat menguasai seluruh wilayah
Indonesia bagian timur sejak tanggal 15 Juli 1946.. Menggugat pemerintah
Australia ini sangat diperlukan, karena di samping Belanda dan Inggris,
pemerintah Australia yang sangat keras berusaha memisahkan Provinsi Papua Barat
dari NKRI.
Jadi dapat
dilihat, bahwa kegiatan saya dan Angkatan ’45 menuntut pemerintah Inggris dan
pemeritah Belanda sejak tahun 1999 merupakan kegiatan Kontra Intelijen. Juga
merupakan yang dinamakan Second track
diplomacy (diplomasi jalur kedua) , yaitu melakukan hal-hal yang perlu
dilakukan oleh suatu negara, namun tidak dapat secara resmi dilakukan oleh
pemerintah. Di dalam organisasi kami banyak dari dinas intelijen dan mantan
diplomat. Selain Bapak Abdul Irsan, mantan Dubes RI untuk Belanda dan kemudian
untuk Jepang, Bapak KRMH Jonohatmojo adalah mantan Dubes RI untuk Yugoslavia.
Bapak Nurrachman Oerip, mantan Dubes RI untuk Kamboja. Bapak R. Carnadi, mantan
Wakil Dubes RI untuk Jerman Barat. Bapak Kol. TNI (Purn.) Goenanto
Martodipoero, Widya Iswara LEMHANNAR RI (tahun 1999) adalah mantan Atase
Pertahanan RI untuk India, dll. Tahun 2000 konsep latar belakang dan tujuan
kegiatan ini telah kami sampaikan kepada Dirjen Hubsosbud Kementerian Luar
Negeri RI (waktu itu), Bapak Abdurrahman Mattalitti.
Demikian garis
besar kegiatan yang saya lakukan di Indonesia sejak tahun 1994. Hal-hal
tersebut di atas saya rangkum dalam penjelasan ini, yaitu mengenai latar
belakang dan tujuan yang sebenarnya saya menuntut pemerintah Inggris dan
Pemerintah Belanda. Keberhasian menuntut pemerintah Inggris dan pemerintah
Belanda menunjukkan, bahwa “sejarah
adalah senjata ampuh” untuk menyerang balik dan memojokkan negara-negara
tersebut dengan mengungkap berbagai
pelanggaran HAM.yang dilakukan oleh para mantan penjajah.
Pejaten
Juni 2014. Berdiri di depan, dari kiri: Batara R. Hutagalung, Jenderal TNI
(Purn.) Widjojo Soejono, Letjen TNI (Purn.) Moetojib (KaBAKIN 1996 – 1998)
KESALAHAN-KESALAHAN DALAM PENULISAN SEJARAH NUSANTARA
DAN SEJARAH INDONESIA
Sebagai “produk samping” dari penelitian
sejarah untuk menuntut pemerintah Inggris, Belanda dan Australia, adalah temuan
mengenai berbagai kesalahan dalam penulisan sejarah “Pra-Indonesia” (sampai
tanggal 17 Agustus 1945) dan sejarah Indonesia (sejak 17 Agustus 1945). Ternyata
sangat banyak kekeliruan dan kesalahan, bahkan pemalsuan-pemalsuan penulisan
sejarah. Mengenai rekayasa, manipulasi dan pemalsuan-pemalsuan penulisan
sejarah sebenarnya sejak puluhan tahun telah diungkap oleh banyak sejarawan,
termasuk para Guru Besar sejarah, namun tidak pernah direspon oleh
pemerintah-pemerintah di masa lalu.
Rekayasa-rekayasa penulisan sejarah banyak yang justru menutup-nutupi gerakan
kebangsaan dan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya, yang sangat penting dalam
proses pembentukan Bangsa Indonesia, dalam perjuangan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia serta dalam
perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Rekayasa dan
manipulasi penulisan sejarah sudah berlangsung sejak zaman penjajahan yang
dilakukan oleh penjajah. kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, rekayasa dan
manipulasi juga banyak dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Indonesia. Untuk
beberapa rekayasa penulisan sejarah, dasar pemikirannya sebenarnya baik, yaitu
mencari simbol-simbol gerakan kebangsaan dan simbol-simbol persatuan atau upaya
pemersatuan. Namun peristiwa-peristiwa yang dijadikan sebagai simbol-simbol tersebut
tidak tepat, bahkan sangat salah dan menyesatkan, a.l. Sumpah Sriwijaya, Sumpah
Palapa Gajah Mada, Sumpah Pemuda, penetapan tanggal berdirinya Budi Utomo
sebagai kebangkitan nasional dll. Sejak dimunculkan tahun 1948 inisiatif untuk
menetapkan tanggal berdirinya Budi Utomo sebaga “Hari Kebangkitan Nasional”
(waktu itu dinamakan “Hari Kebangunan Nasional”), telah banyak tokoh-tokoh yang
mengetahui peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, telah menyampaikan
ketidak-setujuan mereka, namun keinginan penguasalah yang dilaksanakan. Tujuan
didirikannya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 adalah membantu biaya
pendidikan hanya untuk putra-putra bangsawan (priayi) golongan rendah dari
etnis Jawa dan Madura. Sejak kongres pertama bulan Oktober 1908 di Yogyakarta,
Ketua dan pengurus Budi Utomo adalah bangsawan –bangsawan etnis Jawa golongan
tinggi. Banyak di antara mereka menjadi pegawai pemerintah kolonial. Budi Utomo
samsasekali tidak berpolitik.
Manipulasi
mengenai “Sumpah Sriwijaya” tahun 686 M dan “Sumpah Palapa Gajah Mada” tahun
1340, telah dilakukan sejak tahun 1930. Dalam Kongres Indonesia Muda I, tanggal
29 Desember 1930 – 2 Januari 1931 di Surakarta, M. Yamin menyampaikan pidato
(disampaikan dalam bahasa Melayu, masih dengan ejaan lama), yang isinya
mengenai “Sumpah Sriwijaya” dan “Janji Gajah Mada). Yamin mengatakan a.l.: .
“Sifat keindonesiaan dapat dikemoekakan
dengan memperingatkan djandji Patih
Mangkoeboemi Gadjah Mada (+/- 1340) jang akan beroesaha hendak mempersatoekan kepoelaoean
Noesantara (Indonesia) ...
... Perdjandjian Gadjah Mada boekan
perdjandjian pertama, melainkan yang kedoea. Toedjoeh abad sebeloem Patih jang terseboet mengeloearkan perkataan
dibalairoeng Madjapahit, perkataan yang disimpan dalam toelisan Prapantja,
adalah poela diboeat perdjandjian
dipoelaoe Soematera yang dinamai Soempah
Sriwidjaja dan berlakoe dalam tahoen 686. Isinya soepaja bangsa kita berbakti kepada
persatoean, karena itoelah kemaoean
nenek moyang kita ...”
Demikian a.l.
isi pidato M. Yamin tahun 1930. Kalau membaca dengan nalar teks yang tertera
pada Prasasti Kota Kapur (P. Bangka) yang dinyatakan sebagai peninggalan
kerajaan Sriwijaya, terlihat bahwa kalimat tersebut bukanlah “Sumpah” supaya bangsa kita berbakti kepada persatuan.
Kalimat sebenarnya adalah kutukan untuk para pemberontak di Pulau Jawa, agar
para pemberontak dan keluarganya mati terkena kutukan ini. Di sini letak
manipulasi kutukan tersebut, yang “disulap” mmenjadi “sumpah” untuk berbakti
kepada persatuan.
Dalam kalimat
yang diucapkan oleh Gajah Mada, tidak ada kata-kata “janji” atau “sumpah.” Yang
ditulis dalam kitab Pararaton, adalah kata “KALAH NUSANTARA” yang arti
sebenarnya adalah “mengalahkan
Nusantara.” Namun M. Yamin menerjemahkan dengan kalimat “mempersatukan Nusantara.” Pada waktu itu adalah hal yang selalu
terjadi, yaitu kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara saling menyerang dan
menjajah. Kerajaan yang kalah setiap tahun harus membayar upeti kepada
penyerang/pemenang Yang diucapkan oleh Gajah Mada pada waktu pengangkatannya
sebagai Mahapatih sebenarnya merupakan pernyataan perang terhadap
kerajaan-kerajaan yang akan diserang. Tahun 1930 M. Yamin menamakan pernyataan
Gajah Mada sebagai “janji Gajah Mada.”
Di tahun 1950-an dia mengganti menjadi “Sumpah
Palapa Gajah Mada.”
Pada tahun
1930-an, rakyat di wilayah jajahan Belanda mungkin lebih dari 95% masih buta
aksara latin dan tidak mengerti buku-buku yang ditulis dalam bahasa Belanda.
Mereka samsasekali tidak mengetahui mengenai sejarah. Kemudian mulai tahun
1950-an, rakyat Indonesia hanya belajar
di sekolah-sekolah mengenai sejarah tanpa mengetahui, bahwa sangat banyak hasil
reklayasa, manipulasi penulisan sejarah. Juga masih sangat banyak tulisan yang
merupakan versi penjajah, karena penulisan sejarah di buku-buku sekolah sejak
tahun 1950-an, hanya merupakan terjemahan dari bahasa Belanda dan bahasa
Inggris.
Demikian juga
mengenai manipulasi “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Faktanya, pada Kerapatan
Pe,muda Indonesia ke II, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda Indonesia
II tahun 1928, tidak ada pembacaan sumpah atau ikrar bersama. Yang dinamakan
sebagai Kongres Pemuda Indonesia II sebenarnya adalah Rapat Umum yang terbuka
utuk semua yang mau menonton. Pada sidang ketiga tanggal 28 Oktober 1928,
pengunjungnya mencapai 700 orang. Di akhir sidang, Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito
membacakan resolusi hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama (Kongres
Pemuda-Pemudi Indonesia I, tahun 1926). Baru tahun 1959 resolusi ini ditetapkan
sebagai “Sumpah Pemuda,” untuk kepentingan politik pada waktu itu.
Tujuan diselenggarakannya
Kongres Pemuda Indonesia I dan II adalah upaya mempersatukan
organisasi-organisasi pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indie, yang pada waktu itu
masih bersifat etnis, atau yang berasal dari pulau yang sama, atau berdasarkan
kesamaan agama. Organisasi-organisasi terrsebut a.l. Jong Ambon (Pemuda Ambon), Joing
Bataksche Bond (Ikatan Pemuda Batak), Jong
Celebes (Pemuda Sulawesi), Jong Java
(Pemuda Jawa). Jong Sumateranen Bond
(Ikatan Pemuda Sumatera), Sekar Rukun (Pemuda Sunda), Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam), dll. Embrio persatuan pemuda dan gagasan Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa ada
di Kongres Pemuda Indonesia I, tanggal 30 April – 2 Mei 1926, bukan di Kongres
pemuda II tahun 1928.
Kongres Pemuda
Indonesia I terselenggara berkat dorongan sejak bertahun-tahun yang dilakukan
oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Perhimpunan Indonesia didirikan
pada 15 November 1908. Semua nama organisasi ini adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan India). Pengurus dan anggotanya
terdiri dari pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah/etnis di wilayah
jajahan Belanda, yang melanjutkan pendidikan di Belanda. Garis perjuangan
menuju INDONESIA MERDEKA telah
ditetapklan oleh PI sejak tahun 1922. Bahkan nama majalah PI, Hindia Poetera, tahun 1925 juga diganti
menjadi INDONESIA MERDEKA. Penegasan mengenai tujuan Indonesia Merdeka dan
langkah-langkah perjuangan dicetuskan oleh PI dalam Manifesto Politik tahun 1925. Manifesto Politik PI ini diterbitkan
di dalam majalah PI. Dengan demikian, para pemuda pribumi telah dengan berani
menyatakan hal ini di Belanda, di negeri penjajah. Manifesto Politik PI ini
merupakan “Pernyataan Perang” secara politis terhadap penjajah.
Beberapa Guru
Besar Sejarah dan tokoh masyarakat, yaitu Prof. Sartono Kartodirjo, Prof.
Taufik Abdullah dan Prof. Achmad Syafi’i Maarif berpendapat, bahwa Manifesto
Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 ini lebih layak dijadikan simbol Kebangkitan Nasional Indonesia,
dibandingkan dengan Budi Utomo.
JANGAN MEMBANGUN NEGARA DAN BANGSA INDONESIA DI
ATAS MITOS YANG SALAH, REKAYASA, MANIPULASI DAN KEBOHONGAN PENULISAN SEJARAH
Seperti telah
ditulis di atas, semua rekayasa, manipulasi dan kebohongan-kebohongan penulisan
sejarah sudah sejak puluhan tahun diungkap oleh para sejarawan, termasuk para
Guru Besar Sejarah. Namun tidak berhasil meyakinkan para penguasa agar
penulisan sejarah tidak dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan politik
penguasa, atau untuk memenuhi keinginan pribadi.
Setelah
lengsernya penguasa Orde Baru tahun 1998, semua rekayasa, manipulasi, dan kebohongan-kebohongan
penulisan sejarah yang sejak tahun 1950-an telah diungkap dan ditulis, mulai ditulis lagi dan disebarluaskan di berbagai
media. Sejak memasuki era digital, dengan adanya media-media sosial, semua
tulisan dan informasi dalam waktu singkat telah tersebar, bukan hanya di
seluruh Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Sudah sangat banyak
masyarakat yang mengetahui mengenai rekayasan dan manipulasi-manipulasi tersbut,
yang sejak beberapa tahun belakangan juga diakui oleh pemerintah, terutama dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Apabila sudah sangat
banyak orang yang mengetahui, bahwa penulisan-penulisan sejarah tersebut adalah
rekayasa, manipulasi dan kebohongan, tentu menjadi pertanyaan besar, untuk apa
kebohongan-kebohongan tersebut dipertahankan?
Generasi muda,
terutama para calon pemimpin dan pengambil/penentu kebijakan nasional, harus
mengetahui sejarah kebangsaan yang sebenarnya, yang justru lebih heroik dan
dahsyat dibandingkan dengan penulisan sejarah hasil rekayasa dan manipulasi
untuk kepentingan politik di masa lalu.
Pengetahuan
mengenai sejarah yang sebenarnya, sangat penting untuk bangsa yang baru berdiri
sejak tanggal 17 Agustus 1945, dalam menyusun konsep Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building).
Jakarta, September 2022.
********