17 AGUSTUS 1945
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Sampai hari ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda,
de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu
“pelimpahan kedaulatan” (soevereinetietsoverdracht) dari pemerintah
Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil
keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). (Lihat tulisan Batara R. Hutagalung di
harian Rakyat Merdeka pada 2 dan 3 Oktober 2005. Juga dapat dibaca di
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/belanda-tetap-tak-akui-kemerdekaan-ri.html
Beberapa hasil KMB antara lain:
1. Pembentukan Uni Indonesia – Belanda, di mana kepala Uni tersebut adalah Ratu Belanda.
2. RIS yang dipandang sebagai kelanjutan pemerintah India – Belanda, diharuskan membayar utang pemerintah India - Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden. Di dalamnya termasuk biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah India – Belanda untuk membiayai agresi militer I, 21 Juli 1947 dan agresi militer II, 19 Desember 1948. Utang tersebut dicicil dan telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, sebelum dihentikan oleh pemerintah Republik Indonesia tahun 1956.
3. Mantan tentara KNIL yang ingin masuk TNI harus diterima. Di tahun 70-an, beberapa dari mereka mencapai pangkat jenderal dan berada di pucuk pimpinan TNI.
4. Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga ketika penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Irian barat tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian secara yuridis bagi pemerintah Belanda, Irian (Papua) Barat bukan bagian dari NKRI. Tahun 2000 pemerintah Belanda menugaskan dan membiayai pakar sejarah Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk melakukan penelitian kembali mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Irian Barat. Sejarah mencatat, PEPERA yang pelaksanaannya di bawah pengawasan PBB, telah disahkan oleh PBB tahun 1969.
Setelah melakukan penelitian selama 5 tahun dan dengan biaya yang sangat besar, tahun 2005, Drooglever menerbitkan hasil penelitiannya dalam buku setebal 740 halaman yang berjudul “Act of Free Choice.” Secara singkat, Drooglever menilai, bahwa PEPERA adalah suatu kecurangan besar.
Di sini patut dipertanyakan, mengapa setelah 30 tahun, di tengah-tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia di Papua Barat, pemerintah Belanda mengangkat kembali peristiwa ini.
Pada tahun 1956 pemerintah RI membatalkan secara sepihak Perjanjian KMB. (Teks UU Pembatalan tersebut lihat
http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/11/pembatalan-hubungan-indonesia-nederland.html).
Selain itu, pemerintah RI juga memutuskan untuk menghentikan pembayaran sisa utang yang harus dibayar sebesar sekitar 500 juta gulden. Pada saat itu, dari jumlah 4 ½ milyar gulden, telah dibayar sebesar 4 milyar.
Pada 20 Mei 2005, satu LSM, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menyampaikan petisi kepada Perdana Menteri Belanda Balkenende dan menuntut pemerintah Belanda untuk: (mengenai KUKB lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/komite-utang-kehormatan-belanda-kukb.html)
1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus
1945,
2. Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM, kejahatan perangdan kejahatan atas kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan,
bahwa pemerintah Belanda kini menerima proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945
secara moral dan politis, serta menyampaikan rasa penyesalan atas jatuhnya
korban jiwa di kedua belah pihak.
Dalam suatu wawancara di satu stasiun TV di Jakarta Ben Bot menyatakan, bahwa
pengakuan kemerdekaan secara yuridis telah diberikan pada akhir tahun 1949,
berarti pada waktu “pemindahan kewenangan” (transfer
of sovereignty) kepada Republik Indonesia Serikat. Dia mengatakan, bahwa
pengakuan hanya dapat diberikan satu kali. Dia juga mengatakan, bahwa
kompensasi telah diberikan oleh pemerintah Belanda melalui berbagai bantuan
yang telah diberikan kepada Indonesia. (Sebagian teranskrip wawancara dapat
dibaca di:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/belanda-tetap-tak-akui-kemerdekaan-ri.html)
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Jakarta, dalam acara
peringatan hari pembebasan para interniran Belanda dari kamp-kamp interniran
Jepang di Indonesia, dia menyatakan bahwa kini pemerintah Belanda menerima de
facto proklamasi 17.8.1945. (Teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/toespraak-ter-gelegenheid-van-de-15.html)
Pernyataan ini sebenarnya sangat mengejutkan, karena berarti sampai tanggal
16.8.2005, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia tidak eksis samasekali
dan baru pada 16.8.2005 diterima eksistensinya, namun tetap tidak diakui secara
yuridis. Ini juga berarti Republik Indonesia disamakan dengan ANAK HARAM, yang
hanya diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya.
Dalam acara peringatan 61 tahun peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9
Desember 2008, Duta Besar Belanda Dr. Nikolaos van Dam juga menyampaikan
penyesalan. Namun Ketua KUKB menyatakan, bahwa penyesalan (regret) saja
tidak cukup. Pemerintah Belanda harus menyatakan permintaan maaf (apology),
sebagaimana yang dituntut oleh Belanda kepada pemerintah Jepang, atas
penderitaan yang dialami oleh para interniran Belanda di kamp-kamp interniran
Jepang di Indonesia di masa pendudukan Jepang tahun 1942 – 1945.
Sejarah mencatat, bahwa pada 16 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan pada
17.8.1950, Presiden Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan RI,
yang prokamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.
Dengan demikian, negara federal yang diakui de jure oleh pemerintah
Belanda sudah tidak ada, dan pemerintah Belanda kini berhubungan dengan NKRI.
Memang bagi pemerintah Belanda sangat dilematis, sebab apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, maka akan membawa konsekwensi yang sangat berat bagi Belanda, yaitu:
1. Dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II” yang dilancarkan pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948, tidak lain adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka dan berdaulat,
2. Pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang dari Belanda, seperti yang dilakukan oleh negara-negara korban agresi militer Jepang terhadap Jepang,
3. Para veteran Belanda menjadi penjahat perang.
Namun di lain pihak, apabila Indonesia tetap membiarkan sikap pemerintah
Belanda ini, maka bangsa Indonesia tetap membiarkan pandangan, bahwa para
pejuang kemerdekaan Indonesia yang berada di berbagai Taman makam Pahlawan di
seluruh Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para
ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Alasan Belanda waktu itu untuk
melancarkan “aksi polisional” adalah untuk memulihkan kembali “law and order”
serta membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis
yang dipersenjatai oleh Jepang.
Belanda
telah kehilangan hak sejarah atas jajahannya
Perang dunia kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia
pada 3 September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman,
dan hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan
Ratu Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan
demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi.
Di Asia Timur, agresi militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan
terhadap pangkalan militer Amerika Serikat di Peral Harbor pada 7 Desember
1941. Di Asia Tenggara, Jepang melancarkan agresinya dengan menyerang
negara-negara di Asia tenggara, yang waktu itu –kecuali Thailand- berada di
bawah penjajahan negara-negara Eropa. Satu persatu negara-negara jajahan Eropa
jatuh ke tangan Jepang.
Amerika, Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando pasukan gaungan yang
dinamakan ACDACOM – American, British,
Dutch, Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P.
Wavell. Admiral Karel Doorman ditunjuk sebagai Tactical Commander untuk
memimpin armada sekutu.
Dalam pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942, armada sekutu
dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari, yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java Sea.” Admiral Karel
Doorman tewas bersama kapal perang utama sekutu (Flagship) yang tenggelam dalam pertempuran tersebut.
Setelah menghancurkan pertahanan laut sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang
mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan dilakukan serentak di tiga
titik, yaitu di Banten, Eretan Wetan dan Kranggan.
Hanya dalam waktu satu minggu, tentara sekutu disapu bersih oleh balatentara Dai Nippon. Pada 8 Maret 1942, Letjen Imamura,
Panglima Tentara 16 Jepang memberikan utimatum kepada tentara sekutu untuk
segera menyerah, dan kalau tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan
dimusnahkan oleh tentara Jepang.
Pada 9 Maret 1942 (ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942) di Kalijati,
Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda,
mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani
dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan
seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal 9 Maret
1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi
Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas
wilajah India-Belanda.
Sehubungan dengan hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia,
diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam
sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum yang sangat mengagumkan
tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut :
“ …Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda
tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam
negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus
dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan
politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara
yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang
dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setlah
diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia.
Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa maslah
Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan
perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan
menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral.
Pendirian Belanda yang hanya berpegang kepada legalitas secara dogmatik akan
selalu menghambat tercapainya suatu persetujuan. Berhubung pendiriannya yang
demikian itulah Republik dianggapnya sesuatu yang illegal, dan bahwa kedaulatan
di seluruh daerah Indonesia berada di tangannya.
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu
pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat
menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada
bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja
sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan
kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan
negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa
Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan
membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan
keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab
sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan
tanggung-jawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.
Demikianlah maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada
imperialis Jepang tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat
mempertahankannya, tetapi juga menolak memberikan kepada rakyat Indonesia
sendiri kekuatan untuk melawan Jepang.
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka
rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan
strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara
Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di
antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu,
terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris.
Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa Indonesia mempergunakan zaman
pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan baginya untuk menentukan nasibnya
sendiri kemudian hari, termasuk pula persiapan terhadap kemungkinan mereka
harus menentang kekuasaan militer Jepang nanti.
Tidak ada seorang pun orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa
bangsa Indonesia telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu
puteranya menjadi korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk
memungkinkan Indonesia mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang
Belanda, kami menebusnya dengan darah.
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia.
Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka
memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan
penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan
kemerdekaan.
Persetujuan yang sah yang tidak mengandung keadilan dan yang terlepas dari
kenyataan sejarah yang baru berlalu, tidaklah bisa disebutkan sesuai dengan
kewajaran jalannya sejarah.
Pada waktu ini Pemerintah Belanda dan wakilnya di Dewan Keamanan sedang
berusaha hendak membenarkan aksi militernya yang baru-baru ini dilancarkannya,
aksi militernya yang tidak dapat disangkal lagi tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip PBB dan Persetujuan Renville, dengan alasan apa yang disebutnya
pertanggunganjawabnya terhadap Indonesia.
Apa-apa yang telah ditunjukkan oleh sejarah kepada kami masih segar dalam
ingatan kami.
Soal yang penting ialah, apakah Belanda betul-betul sanggup mempertahankan
Indonesia terhadap serangan negara asing tanpa bantuan bangsa Indonesia? Adalah
satu tekadnya sejak awalnya, bahwa bangsa Indonesia tidak akan membantu
kolonialisme Belanda. Oleh karena itu bahaya serangan negara asing akan
bertambah jika kolonialisme Belanda terus merajalela di Indonesia. Kolonialisme
itu menghambat perkembangan rasa kebangsaan, yang merupakan faktor penting bagi
pertahanan negara ini.
Semua ini adalah menjadi bukti bahwa masalah Indonesia bukanlah soal dalam
negeri antara Pemerintah Belanda dengan bangsa Indonesia, tetapi merupakan
suatu masalah internasional. Masalah Indonesia ada hubungannya dengan
perdamaian dunia. Soalnya juga menyangkut prinsip-prinsip PBB, dan oleh karena
itu Dewan Keamanan pada tempatnya turut campur menyelesaikannya. Dalam
sidang-sidangnya Republik mempunyai kedudukan sebagai "fihak yang
bersangkutan dalam pertikaian", tidak kurang dari kedudukan Belanda. Hal
ini bagaikan duri dalam daging bagi Belanda, tetapi tidak akan dapat
dikesampingkannya. Belanda juga tidak bisa mengenyampingkan Republik sebagai
suatu kenyataan. Semakin lama Republik berdiri, semakin nyata keadaannya, yang
tidak dapat diabaikan begitu saja oleh Belanda.
Jika Belanda ingin menghapuskan Republik tanpa mempengaruhi politik dunia,
mereka harus berbuat demikian pada tahun 1945. Kenyataanya, bangsa Belanda
memang ingin berbuat begitu waktu itu. Tetapi tidak dapat dibantah lagi, bahwa
pada waktu itu Belanda tidak mempunyai kekuatan militer yang dapat
digerakkannya terhadap Republik. Hanya setelah dibantu oleh tentara Inggeris
dan mendapat bantuan keuangan serta materiil dari Amerika barulah bangsa
Belanda dapat menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia.
Republik sudah berdiri 3 tahun
Republik sampai sekarang sudah berdiri tiga tahun lebih dan karena itu tidaklah
gampang menghapuskannya, seperti diinginkan Belanda.
Selama tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan
beberapa negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di
antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan
mempunyai syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan
berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan,
perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri.
Rakyat Republik merasa dalam hatinya, bahwa mereka adalah warga suatu negara
yang berdaulat dan demokratis dan sebagai penduduk suatu negara yang demokratis
mereka mempunyai sepenuhnya semua hak: kebebasan bergerak, hak berkumpul, hak
menyatakan pikiran, hak berbicara, dan kebebasan pers, juga bebas untuk memilih
agamanya sendiri. Semua kenyataan ini tidak dapat dihapuskan begitu saja atanpa
menimbulkan reaksi yang sangat hebat...”
Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Pernyataan
Kemerdekaan Indonesia Bukan Suatu Pemberontakan.
Setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu di Pulau Jawa, tentara Jepang telah
menguasai seluruh negara-negara di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan
jajahan negara-negara Eropa.
Pada 6 Agustus 1945, Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9
Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang
tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota
Jepang. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah
tanpa syarat kepada sekutu.
Penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh
Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus
sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan)
di negara-negara yang diduduki oleh Jepang, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara, yang kemudian menjadi
wilayah Republik Indonesia.
Dengan demikian, pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia bukan merupakan pemberontakan terhadap siapapun. Bukan pemberontahan terhadap pemerintah Nederlands Indie (India Belanda), karena negara Nederlands Indie sudah tidak ada. Juga bukan pemberontakan terhadap Jepang, karena pada 15 Agustus 1945 Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan menghentikan semua kegiatan militer dan sipilnya di wilayah-wilayah yang diduduki oleh yentara Jepang, termasuk di wilayah bekas jajahan Belanda di Asia Tenggara.
Pernyataan kemerdekaan ini juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada pemerintah yang digulingkan. Pemerintah dan rakyat Indonesia memulai segala-sesuatunya dari nol.
Landasan hukum internasional Proklamasi 17.8.1945
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18 Agustus mengangkat Sukarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo (lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/montevideo-convention-convention-on.html)
Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:
ARTICLE 1
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Butir Chanya menuebut, bahwa Negara tersebut harus memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Butir ini bukan merupakan keharusan untuk mendapat pengakuan.
Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.
ARTICLE 3
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.
Pada tahun 1946, Liga arab, Mesir memberikan pengakuan terhadap kemerdekaar republik Indonesia. Bahkan pada 19 Juni 1947, Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Mesir. Dengan demikian keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.
Landasan
Moral dan Politis
Political
will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah
tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, keinginan ini dicetuskan oleh
Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang
disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum
berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut
(Teks lengkap lihat:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/woodrow-wilsons-14-points-program-of.html
“ A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial
claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all
such questions of sovereignty the interests of the population concerned must
have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to
be determined.”
Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945.
Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan seruan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan (teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html):
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of
government under which they will live; and they wish to see sovereign rights
and self government restored to those who have been forcibly deprived of them
…”
Butir tiga ini dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples
…” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam
PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat
dua piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter.
Bunyinya: (teks lengkap lihat:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/united-nations-charter-1945.html)
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the
principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other
appropriate measures to strengthen universal peace…”
Dengan
demikian jelas adanya, bahwa dipandang dari berbagai segi, proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi
hukum internasional, maupun dari segi politis, moral dan HAM. Yang dinyatakan
oleh pemerintah Belanda sebagai “aksi polisional 1 (21 Juli 1947, yang
merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati) dan 2 (19 Desember 1948,
yang merupakan pelanggaran persetujuan Renville),” jelas adalah agresi militer
terhadap suatu Negara merdeka dan berdaulat. Dalam sambutannya di Jakarta pada
16 Agustus 2005, Ben Bot menyatakan bahwa (Teks lengkap lihat
http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/speech-by-minister-bot-on-60th.html)
“…In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality …”
Ben Bot di
sini menyebutkan “military forces”, dan bukan “police forces.”
Jadi apabila dsimak kalimat ini, maka Ben Bot secara langsung mengatakan aksi
tersebut adalah pengerahan militer secara besar-besaran (large scale
deployment of military forces) dan bukan aksi polisi.
Wilayah Republik Indonesia: Berdasarkan uti possidetis juris
Uti possidetis juris adalah hukum internasional yang diadopsi dari hukum Romawi, mengenai batas wilayah suatu Negara yang pernah dijajah atau dikuasai oleh negara lain. Ini dilakukan oleh Negara-negara di Amerika Selatan setelah bebas dari penjajahan Spanyol dan Portugal. Demikian juga dengan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan Yugoslavia. Juga ketia Ceko dan Slovakia memisahkan diri, mereka sepakat dengan batas-batas administrasi sebelum pemisahan kedua negara tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan uti possidetis juris, wilayah Republik Indonesia adalah wilayah bekas Nederlands Indiƫ (India Belanda) termasuk Irian Barat, yang dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Irian barat masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia tahun 1969, berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), yang difgasilitasi oleh PBB (Perserikatan Bangsa bangsa).
Batas wilayah Nederlands IndiĆ« terakhir ditentukan berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Namun batas wilayah ini masih menggunakan ukuran 3 mil dari pantai. TZMKO ini kemudian diganti dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82), termasuk mengenai batas wilayah suatu Negara Kepulauan.
Hubungan “Diplomatik” Republik Indonesia – Belanda
Apabila dua Negara akan menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya keduanya saling mengakui secara yuridis. Apabila Negara yang satu tidak mengakui de jure kemerdekaan Negara yang akan menjadi mitra diplomatiknya, tentu akan menjadi suatu hubungan yang sangat aneh. Demikianlah yang terjadi antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, di mana Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, dan tetap bertahan pada versi Belanda, yaitu de jure kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949.
Hal ini sangat diketahui oleh para pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri RI, terutama oleh para Duta Besar Republik Indonesia yang pernah bertugas di Belanda. Yang sangat mengherankan di sini adalah, pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang mengetahui hal ini dengan jelas, tidak mempermasalahkan sikap pemerintah Belanda ini.
Beberapa pakar hukum internasional menyatakan, bahwa itu adalah hak Pemerintah Belanda untuk mengakui atau tidak de jure kemerdekaan sesuatu Negara. Namun di lain pihak, apabila Pemerintah Indonesia mengetahui hal ini, maka ini seharusnya berlaku timbal-balik, yaitu Pemerintah Repubik Indonesia juga menyatakan, tidak mengakui Pemerintah Belanda, dan memutuskan hubungan diplomatik!
Menurut Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), masalah pengakuan de jure adalah masalah martabat sebagai bangsa yang merdeka. KUKB mempermasalahkan hubungan diplomasi RI-Belanda yang sangat aneh, dan sebenarnya sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, KUKB mendesak semua pihak yang berwenang, untuk meninjau kembali hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Belanda.
Dengan beberapa Negara, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, seperti dengan Taiwan dan Israel. Namun tidak ada masalah atau kesulitan dalam hubungan perdagangan, investasi, pariwisata dll. Bahkan dengan Israel, Negara yang sangat ditentang eksistensinya oleh banyak kalangan di Indonesia, pada tahun 1980 Pemerintah Indonesia membeli 36 pesawat tempur jenis Sky Hawk dari Israel.
Apakah ada kerugian bangsa dan Negara Indonesia apabila tidak ada hubungan diplomatik antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda?
Catatan: Tulisan lengkap mengenai ‘KEJANGGALAN DALAM HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN KERAJAAN BELANDA’ dapat dibaca di:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2013/03/kejanggalan-dalam-hubungan-diplomatik_20.html
########
Tulisan ini telah di-upload ke weblog pada hari Kamis, 24 Desember 2009:
https://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html
********