Monday, February 20, 2006

Belanda Tetap Tak Akui De Jure Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945

(Di muat di harian Rakyat Merdeka, pada 2 dan 3 Oktober 2005)

Oleh Batara R. Hutagalung
Menjelang peringatan ke 60 proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada 16 Agustus 2005, dalam acara yang diselenggarakan di Departmen Luar Negeri RI, Jalan Taman Pejambon, Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot mengatakan:
“ …This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…

Dan dalam wawancara di Me­troTV pada 19 Agustus 2005, atas per­tanyaan Dian Krishna, me­ngapa dia menggunakan kata acceptance (penerimaan) dan bukan acknowledgement (pe­ngakuan), Ben Bot menjawab:
“… First of all I want to stress that most important is that we accept the date of 17th August 1945 as the date which you pronounce your independence. But there is a difference of course, because then you enter into a legal aspect, and recognition is something you can only do once … …So the transfer of sovereignty took place in 1949…”

Dengan demikian, Pemerintah Be­landa hanya “menerima” se­ca­ra politis dan moral, dan tetap ti­dak mau mengakui de jure, ke­mer­dekaan Republik Indonesia ada­lah 17 Agustus 1945. Dan ba­gi Pemerintah Belanda, ke­mer­de­kaan Indonesia adalah “pem­be­ri­an” Belanda yang dilimpahkan (soevereiniteitsoverdracht) pada 27 Desember 1949, sebagaimana di­tegaskan Ben Bot. Sehubungan agresi militer yang di­lancarkan tentara Belanda, se­te­lah bangsa Indonesia me­nya­takan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dalam pi­da­to­nya pa­da 16 Agustus di Deplu Ben Bot mengatakan:
“…In retro­spect, it is clear that its large-sca­le deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality es­pecially for you, the people of the Re­public of Indonesia. A large num­ber of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Ne­therlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering…”

Jadi yang diucapkan adalah re­gret (penyesalan) dan bukan apo­logy (permintaan maaf). Atas per­nyataan Ben Bot tersebut, Radio Ne­therland pada 17 Agustus 2005 memberikan komentar dengan judul: “Belanda Sedih Tapi Tidak Minta Maaf.”
Sehubungan pertanyaan Dian Krishna mengenai masalah kom­pensasi, Ben Bot mengatakan an­tara lain:
“…First of all you sho­uld not forget of course, that in the past we have contributed lar­ge for the development aid…Not only sum of money. Many people ha­ve been here, many people from the Netherlands to help In­donesian people. We have un­dertaken large projects ever­y­where in the country to stabilate the growth… This is not the time to talk about compensation. We have tried to compensate in the past in many ways as I have tried to explained…

Ben Bot di sini membalikkan fak­ta, kekayaan yang diperoleh Belanda dari Indonesia jum­lah­nya jauh melebihi “bantuan” yang diberikan Belanda kepada In­donesia, yang sebenarnya se­ba­gian besar berupa utang yang ha­rus dibayar kembali beserta bunganya. Di awal pembangunan kembali Be­landa yang hancur setelah ma­sa pendudukan Jerman selama Pe­rang Dunia II, selain mendapat da­na Marshall Plan sebesar 1,127 mi­liar dolar AS dari Amerika Se­rikat, Belanda juga memperoleh “da­na kompensasi” dari Indo­ne­sia sebesar 4 miliar gulden. Se­bagai salah satu butir hasil ke­pu­tusan Konferensi Meja Bundar (KMB), Republik Indonesia Se­ri­kat (RIS) yang dipandang se­bagai kelanjutan Pemerintah In­dia-Belanda, harus menanggung utang Pemerintah India-Belanda ke­pada Pemerintah Belanda se­be­sar 6,5 miliar gulden. Akhirnya di­sepakati jumlah 4,5 miliar gul­den –termasuk di dalamnya biaya yang dikeluarkan Pemerintah Be­landa untuk agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948- yang telah dibayar sebesar 4 milyar gulden antara tahun 1950 – 1956 (lihat tulisan Lam­bert Giebels: ”De indonesische injectie” dalam majalah Belanda De groene Amsterdamer, 5 Ja­nu­ari 2000).

Pembangunan kembali Be­landa yang pesat setelah Pe­rang Dunia II dinamakan “ke­aja­i­ban Belanda” (le miracle hol­lan­dais), seolah-olah hanya dengan bantuan Marshall Plan, dan perihal “de indonesische injectie” baru diungkap oleh Lambert Giebels di Belanda tahun 2000. Selain menghentikan pem­ba­yaran, Pemerintah Sukarno juga se­cara sepihak membatalkan ha­sil Persetujuan KMB mengenai Uni Indonesia-Belanda. Setelah itu dimulai konfrontasi terhadap Be­landa sehubungan masalah Iri­an Barat (Papua) dan kemudian Pe­merintah RI menasionalisasi pe­rusahaan-perusahaan Belanda. Namun Pemerintah Orde Baru pa­da 1969 diam-diam menga­bul­kan tuntutan ganti-rugi peru­sa­haan-perusahaan Belanda yang di­nasi­onalisasi di masa pemerin­tahan Sukarno sebesar 600 juta gulden. Banyak orang Belanda yang me­ngakui, kemakmuran Belanda se­karang berkat harta dan ke­kayaan yang mereka peroleh dari Bu­mi Nusantara selama ratusan ta­hun. Seandainya dihitung ke­kayaan yang dikuras dari bumi Nu­santara selama ratusan tahun ter­sebut, jumlahnya pasti fan­tastis.

Seorang mahasiswi Be­lan­da, Annemare van Bodegom, pa­da 1996 mengadakan pe­­ne­li­ti­an untuk menyusun skrip­sinya. Ia menyoroti periode antara ta­hun 1830 –1877, se­lama pe­ri­ode ta­nam paksa (cul­tuur stelsel). Keu­n­tu­ng­an bersih (batig slot) yang diraup Belanda mencapai 850 juta gulden, yang bila dikon­ver­­sikan de­ngan in­dex harga ta­hun 1992, maka ni­la­inya setara de­ngan 15,4 miliar gul­den (li­hat tu­lisan Den­ny Su­toyo-Gerberding, di harian Kompas 15 Agustus 2001). Dapat dibayangkan, be­tapa besarnya ke­kayaan yang diku­ras dari tahun 1602 – 1942! Ironis memang, bukannya Be­landa yang memberikan kom­pen­sasi, melainkan bangsa Indonesia yang terus-menerus “membiayai” pembangunan Belanda, termasuk di masa sulit mereka setelah per­ang Dunia II.
Apabila menghitung semua hal-hal tersebut di atas, maka “de­velopment aid” yang diberikan Pe­merintah Belanda terlihat sa­ngat kecil.
Namun mengapa Pe­merintah Belanda tetap ngotot me­nyatakan, kemerdekaan Re­publik Indonesia adalah 27 De­sember 1949?

Ketika balatentara Dai Nippon me­nyerbu Asia Tenggara ter­masuk Indonesia, pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati de­kat Subang, Jawa Barat, Jen­deral Hein ter Poorten sebagai Pang­lima Tertinggi tentara Be­landa di India-Belanda, mewakili Gu­bernur Jenderal Jonkheer Tja­rda van Starkenborgh Sta­chou­wer, secara resmi menan­data­nga­ni dokumen MENYERAH TAN­PA SYARAT kepada Tentara XVI Jepang di bawah Letnan Jen­deral Hitochi Imamura. Setelah di­gempur hanya 7 hari, tentara Be­landa yang “perkasa” -hampir tanpa perlawanan sedikit pun- menyerah kepada tentara Jepang. Sangat memalukan bagi mereka, ka­rena dengan demikian hi­lang­lah mitos superioritas ras ku­lit pu­tih, yang telah menyatakan diri se­bagai ras unggul yang tak ter­ka­lahkan, ternyata dapat di­ka­lahkan bangsa Asia! Dengan demikian Belanda ke­hilangan haknya atas India-Be­landa. Fakta ini menunjukkan, Be­landa tidak mampu mem­per­tahankan wilayah kekuasaannya dan melindungi rakyatnya. Ini ter­jadi antara lain di­se­bab­kan karena Pemerintah In­dia-Be­landa keras kepala dan me­no­lak mobilisasi serta mem­per­sen­jatai rakyat In­donesia. Sebagaimana diusul­kan banyak pemimpin bang­sa In­do­nesia yang telah mem­per­ki­rakan, Jepang akan me­lancarkan agresi militernya ke Asia Tenggara ter­masuk ke In­do­nesia, yang masih dijajah Be­landa.
Lebih dari 200.000 orang Be­landa ditahan Jepang di kamp-kamp interniran. Banyak dari me­reka yang mati karena penyakit, siksaan atau karena kelaparan. Jepang kemudian juga me­nye­rah tanpa syarat kepada tentara Se­kutu pada 15 Agustus 1945.

Na­mun dokumen kapitulasi ter­sebut baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal Mis­souri di Tokyo Bay. Tentara Se­kutu yang ditugaskan melucuti ten­tara Jepang pertama kali men­darat di Jakarta pada 29 Sep­tember 1945, dan bahkan Brigade “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal AWS Mallaby baru tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, di mana saat itu, seluruh tentara Jepang di Surabaya telah dilucuti rakyat Indonesia. Dengan demikian, antara tang­gal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat Va­cu­um of power di seluruh wi­la­yah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda. Di masa tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, dan pa­da 18 Agustus membentuk peme­rin­tahan, dengan pengangkatan Su­karno sebagai Presiden dan M Hatta sebagai Wakil Presiden, sehingga dengan demikian tiga syarat untuk pembentukan negara sesuai dengan Konvensi Montevideo (26 Desember 1933) telah terpenuhi, yaitu adanya wilayah, penduduk permanen, dan pemerintahan.

Dengan menyerahkan jajahan­nya secara resmi kepada Jepang, maka Belanda kehilangan segala le­gitimasinya atas wilayah ter­se­but. Karena itu, ketika bangsa In­do­nesia menyatakan kemer­deka­an­nya pada 17 Agustus 1945, ma­ka peristiwa ini bukanlah pem­be­rontakan terhadap Belanda, se­ba­gaimana digarisbawahi delegasi Re­publik Indonesia yang dipim­pin Lambertus Nicodemus Palar, da­lam Memorandum yang disam­ paikan dalam sidang Dewan Kea­ma­nan PBB pada 20 Januari 1949, setelah agresi militer Be­lan­da II yang dilancarkan ter­hadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, yaitu:
“… Bahwasanya menurut se­jarahnya Republik Indonesia bu­kanlah terlahir sebagai hasil suatu pem­berontakan terhadap Belan­da, melainkan lahir sesudah Be­lan­da bulat-bulat menyerahkan Indo­nesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada ba­ya­ngannya untuk mencoba mem­per­­tahankannya. Belanda sama sekali tidak be­rusaha mempertahankan In­donesia dan dengan sengaja se­demikian rupa menghalang-ha­langi rakyat Indonesia mem­peroleh latihan kemiliteran, se­hing­ga mereka berada dalam kea­da­an tidak berdaya mem­perta­hankan negerinya sendiri ter­hadap agresi Jepang.
Memang, politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggungjawabnya mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri. DEMIKIANLAH maka Belanda bu­­kan saja telah menyerahkan In­donesia kepada imperialis Jepang tan­pa melakukan usaha yang be­nar-benar dapat mem­pertahan-kannya, tetapi juga menolak mem­­­­berikan kepada rakyat In­do­nesia sendiri kekuatan untuk me­la­wan Jepang. Sesudah Pemerintah Hindia Be­lan­da menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat In­do­nesia memutuskan untuk me­megang strateginya sendiri …”

Setelah bangsa Indonesia me­nyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang te­tap ingin menjadi penguasa di In­donesia, tidak henti-hentinya me­lakukan upaya untuk men­jadikan Indonesia sebagai ja­ja­han­nya kembali, baik melalui agre­si militer, maupun melalui ja­lur diplomasi di PBB. Upaya Be­lan­da tersebut, awalnya didukung Ing­gris dan Australia yang me­nyalahgunakan kewenangan se­ba­gai tentara Sekutu (Allied For­ces). Dengan kekuatan 3 Divisi Ing­gris (British-Indian Divisions) di bawah Letnan Jenderal Sir Phi­lip Christison dan 2 Divisi Aus­tra­lia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie Morsehead meng­han­curkan kekuatan bersenjata Re­pu­blik Indonesia. Sesuai Civil Affairs Agreement antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, Inggris dan Aus­tralia “membersihkan” ke­kuatan bersenjata Republik In­do­ne­sia, dan wilayah yang telah “di­ber­­sihkan,” kemudian diserahkan ke­pada Netherlands-Indies Civil Ad­ministration (NICA).

Tentara Aus­tralia berhasil “mem­ber­sih­kan” wilayah Indonesia Timur, dan “menyerahkan kepada Be­lan­da pada 13 Juli 1946. Dr HJ van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal kemudian menye­leng­garakan Konferensi Malino pada 15 – 25 Juli 1946, dimana dile­tak­kan dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Timur, awal ren­cana pembentukan negara federal Indonesia. Perjuangan di bidang bersenjata dan di bidang diplomasi para pe­mim­pin Republik Indonesia serta te­kanan dunia internasional ak­hir­nya memaksa Belanda ke meja perundingan.

Pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, di­laksanakan Konferensi Meja Bun­dar (KMB), yang meng­hasil­kan keputusan antara lain Pem­ben­tukan Republik Indonesia Se­ri­kat (RIS), dimana Republik In­donesia menjadi satu Negara ba­gi­an di samping 14 negara bo­ne­ka bentukan Belanda. Pemerintah Be­landa akan menyerahkan ke­daulatan kepada Pemerintah RIS. Pada 27 Desember 1949 di Pa­leis op de Dam di Amsterdam, Be­­landa, Ratu Beklanda “me­lim­pah­kan kedaulatan” (Soevere­ni­teitsoverdracht) kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dan paralel dilakukan di Batavia/Ja­karta, di mana Hoge Vertegen­wo­ordiger van de Kroon (Wakil Ting­gi Mahkota) Lovink “me­nye­­­rahkan kedaulatan” kepada Wakil Perdana Menteri RIS Ha­mengku Buwono IX.

Namun sejak itu, satu per satu ne­gara-negara boneka bentukan Be­landa dipaksa rakyat untuk di­bubarkan, atau sukarela mem­bu­bar­kan diri, dan pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno me­nyatakan pembubaran negara fe­de­ral Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1950, dinya­ta­kan berdirinya kembali Negara Ke­satuan Republik Indonesia (NKRI), yang proklamasi kemer­de­kaannya adalah 17 Agustus 1945. Perserikatan Bangsa-Bang­sa juga mengakui kemerdekaan Re­publik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Dengan demikian Pemerintah Be­landa sekarang berhubungan de­ngan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan dengan nega­ra federal Republik Indonesia Serikat (RIS).

Demikianlah sejarahnya me­nga­pa Belanda sampai sekarang te­tap tidak mau mengakui, ke­merdekaan Republik Indonesia ada­lah 17 Agustus 1945. Hal ini pelecehan terhadap kedaulatan Re­publik Indonesia, dan peng­hi­naan terhadap martabat sebagai bang­sa yang merdeka dan ber­daulat. Selama puluhan tahun, lebih da­ri 200.000 orang Belanda yang se­lama Perang Pasifik dari ta­hun 1942 – 1945 mendekam di kamp-kamp interniran Je­pang di In­do­nesia (dahulu India Be­landa), me­nuntut Pemerintah Je­pang me­min­ta maaf dan mem­­be­rikan kom­pensasi ke­pa­da me­reka atas “per­lakuan buruk” yang mereka ala­mi di ma­sa itu.

Ber­bagai or­ganisasi dan yayasan me­reka di­ri­kan, antara lain Stichting Ja­panse Ereschulden (Foundation of Japanese Ho­norary Debts) -Yayasan Utang Kehormatan Je­pang- yang di­dirikan 4 pada April 1990. Ya­yasan yang terdaftar di PBB ini telah mengirim sebanyak 125 Pe­tisi (!) kepada Pemerintah Je­pang, dan yang terakhir ter­tang­gal 12 April 2005. Akhirnya tun­tutan mereka se­paruhnya ter­kabul. Pada 2 Mei 2005, Perdana Menteri Jepang Ju­­­nichiro Koi­zu­mi secara resmi me­­minta maaf ke­­­pada rakyat Be­­­­lan­da. Dia me­nga­ta­kan:
Hu­mbly accepting the fact that Ja­pan in­flicted gra­ve da­mage and pain on people of many co­untries in­clu­ding the Ne­ther­lands during the Second World War, we would like to deeply ref­lect on this and of­fer heartfelt apology.”

Namun per­min­taan maaf Jepang kepada negara-negara yang telah men­jadi korban ke­beringasan dan berbagai pelang­ga­ran HAM yang dilakukan oleh ten­tara Je­pang se­lama Pe­rang Dunia II, bu­kanlah di­la­kukan dengan tu­lus iklas, me­la­inkan ka­rena Je­pang mem­pu­nyai mak­sud ter­tentu, ya­itu Je­pang ber­ambisi du­duk men­jadi ang­gota te­tap Dewan Ke­­­a­­­ma­nan PBB, dan un­tuk itu perlu du­kungan ba­nyak ne­gara.

Di Belanda, 5 Mei 2005 me­rupakan pun­cak perayaan besar-be­saran dalam rangka 60 tahun pembebasan dari pendudukan Jer­man selama Perang Dunia II. Pada 13 Mei 1940, Wil­helmina, Ratu Belanda kabur ke Inggris, dan pada 14 Mei 1940, Ang­katan Perang Belanda me­nyerah Jer­man. Di India-Belanda, Ang­katan Perang Belanda me­nyerah ke­pada Jepang pada 9 Maret 1942, di Kalijati, dekat Su­bang. Pada 5 Mei 1945, Belanda di­bebaskan pasukan sekutu dari ten­tara pendudukan Jerman, dan pa­­da 15 Agustus 1945 Jepang me­­nyerah kepada Sekutu. Hari-ha­ri pembebasan tersebut di­ra­yakan setiap tahun. Setelah bebas dari pendudukan Jer­man dan dari interniran Je­pang, Belanda lupa atas perilaku dan kekejaman tentara pen­dudukan Jerman di Belanda dan Je­pang di India Belanda.

Hal yang sama, dan bahkan lebih ke­jam lagi mereka lakukan terhadap bang­sa Indonesia, yang telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dalam kurun waktu 1946 sam­pai 1949, di mana tentara Belan­da, KL dan KNIL me­la­ku­kan ber­ba­gai agresi militer -dalam upaya yang sia-sia un­tuk meng­han­cur­kan Ten­tara Nasional Indonesia (TNI)- banyak terjadi pelang­garan HAM be­rat yang di­la­kukan ten­tara Belanda yang masuk da­lam ka­te­go­ri keja­hatan atas ke­manu­si­aan (crimes against hu­manity), se­per­ti peristiwa pem­­bantaian ribu­an rakyat di Su­lawesi Se­­­la­tan antara De­sember 1946 sampai Fe­bruari 1947 dan di Rawa­ge­de pada 9 De­sember 1947. Terdapat 431 penduduk de­sa dibantai, karena mere­ka tidak mau memberitahu tem­pat per­sem­­bu­nyi­an ge­rilyawan Indonesia.

Pelanggaran-pelanggaran HAM be­rat harus dimajukan ke penga­dilan internasional, termasuk ke pe­nga­dilan kejahatan inter­nasional - International Criminal Court - di Den Haag, Belanda, ka­rena merupakan kejahatan pe­rang (war crimes) dan kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity). Apabila Belanda menuntut Je­pang atas “perlakuan buruk” yang dialami para interniran Belanda antara tahun 1942 – 1945, maka su­dah pada tempatnya bila bang­sa Indonesia menuntut keadilan atas agresi militer, pembantaian rakyat yang tak berdosa, per­ko­saan terhadap perempuan, yang dilakukan tentara Belanda antara tahun 1945 – 1950. Pemerintah Belanda harus me­ngakui kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, meminta maaf ke­pada bangsa Indonesia atas pen­jajahan, perbudakan, pe­lang­garan HAM berat dan kejahatan atas kemanusiaan, serta mem­berikan kompensasi atas semua ke­hancuran yang mereka laku­kan, terutama antara tahun 1945 - 1950!

No comments: