9
Maret 1942, Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda
Perang Pasifik*
Bulan
Oktober 1941, Jenderal Hideki Tojo menggantikan Konoe sebagai Perdana Menteri.
Sebenarnya, sampai akhir tahun 1940, pimpinan militer Jepang tidak menghendaki
untuk berperang melawan beberapa negara sekaligus, namun sejak pertengahan
tahun 1941 mereka melihat, bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus
dihadapi sekaligus, apabila mereka ingin menguasai sumber daya alam di Asia
Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi, yang sangat
mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang, maupun untuk keperluan perang.
Admiral
Isoroku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang
yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua
operasi besar. Seluruh potensi Angkatan Laut Jepang mencakup 6 kapal induk
(pengangkut pesawat tempur), 10 kapal perang, 18 kapal penjelajah berat, 20
kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak, 65
kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.
Kekuatan
pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari
1.400 pesawat tempur, pada 7 Desember 1941, akan menyerang secara mendadak
basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii.
Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki,
mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, yaitu penyerangan atas Filipina
dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke wilayah jajahan Belanda, Netherlands Indië (India-Belanda).
Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang
didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi
direncanakan selesai dalam 150 hari. Admiral Chuichi Nagumo memimpin armada
yang ditugaskan menyerang Pearl Harbor.
Hari minggu pagi tanggal 7 Desember 1945, 360
pesawat terbang yang terdiri dari pembom pembawa torpedo serta sejumlah pesawat
tempur diberangkatkan dalam dua gelombang. Serangan mendadak tersebut berhasil
menenggelamkan dua kapal perang besar serta merusak 6 kapal perang lain. Selain
itu pemboman Jepang tesebut juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika.
Lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan lebih dari 1.140 lainnya luka-luka.
Namun tiga kapal induk Amerika selamat, karena pada saat itu tidak berada di
Pearl Harbor. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan
perang terhadap Jepang.
Perang
Pasifik, yang dimulai dengan pemboman Jepang atas Pearl Harbour tanggal 7
Desember 1941, juga berpengaruh besar terhadap gerakan kemerdekaan
negara-negara di Asia Timur, termasuk Nederlands-Indie (India-Belanda). Tujuan Jepang menyerang dan
menduduki India-Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama
minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya.
Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia
Tenggara, dan Sumatera sebagai sumber minyak utama.
Penyerangan
Jepang ke India-Belanda, diawali dengan pendaratan tentara Jepang di Tarakan
tanggal 10 Januari 1942. Balikpapan (Kalimantan) dan Kendari (Sulawesi) jatuh
ke tangan tentara Jepang tanggal 24 Januari 1942, Ambon tanggal 4 Februari,
Makasar tanggal 8 Februari, dan Banjarmasin tanggal 16 Februari. Bali diduduki
tanggal 18 Februari, dan tanggal 24 Februari tentara Jepang telah menguasai
Timor.
Seiring
dengan penyerbuan ke Singapura, tanggal 13 Februari Jepang menerjunkan pasukan
payung di Palembang, yang jatuh ke tangan tentara Jepang tiga hari kemudian.
Dalam pertempuran di Laut Jawa tanggal 27 Februari 1942 yang berlangsung selama
tujuh jam, Angkatan Laut Sekutu dihancurkan. Sekutu kehilangan lima kapal
perangnya, sedangkan Jepang hanya menderita kerusakan pada satu kapal
perusaknya (Destroyer). Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman,
Komandan Angkatan Laut India-Belanda, yang baru dua hari sebelumnya, tanggal 25
Februari 1942 ditunjuk menjadi Tactical
Commander armada tentara Sekutu ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command), tenggelam bersama
kapal perang utamanya (Flagship) De
Ruyter.
Belanda Menyerah Kepada Jepang
Tanggal 1 Maret 1942, Tentara ke 16 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi
Imamura mendarat di tiga tempat di Jawa –Banten, Eretan Wetan dan Kragan- dan
segera menggempur pertahanan tentara Belanda. Setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati,
Letnan Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. Pada 8 Maret 1942, Imamura
memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara
Jepang akan menghancurkan seluruh tentara Belanda dan sekutunya.
Tentara Jepang mendarat di Kragan, Maret 1942
Letjen. Hein Ter Poorten (kiri). Di sebelahnya duduk Letkol. P.G. Mantel
Setelah penandatanganan dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat. Berdiri di tengah, Letjen. Hitoshi Imamura, di sebelah kirinya berdiri Mayjen. Bakker dan Letjen Ter Poorten
Boleh
dikatakan, sang penguasa yang telah ratusan tahun menikmati dan menguras bumi
Nusantara, menindas penduduknya, kini dengan sangat tidak bertanggungjawab,
menyerahkan jajahannya ke tangan penguasa lain, yang tidak kalah kejam dan
rakusnya. Di atas secarik kertas, Belanda telah melepaskan segala hak dan
legitimasinya atas wilayah dan penduduk yang dikuasainya.
Dengan
demikian, tanggal 9 Maret 1942 bukan hanya merupakan tanggal menyerahnya
Belanda kepada Jepang, melainkan juga merupakan hari dan tanggal berakhirnya
penjajahan Belanda di bumi Nusantara, karena ketika Belanda ke
bekas jajahannya setelah tahun 1945, Belanda dan sekutunya datang ke Republik Indonesia yang telah merdeka.
Pangkalan Udara di Kalijati sekarang diberi nama Pangkalan Udara (Lanud) Suryadarma, Kepala Staf Angkatan Udara RI pertama.
Rumah tempat penandatangan dokumen menyerah tanpa syarat berada di dalam komplek Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang, Jawa Barat..
Para
penguasa “perkasa” yang lain, segera melarikan diri. Dr. Hubertus Johannes van
Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk India Belanda bagian timur, Dr. Charles
Olke van der Plas, Gubernur Jawa Timur, masih sempat melarikan diri ke
Australia. Bahkan Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira Angkatan Udara Kerajaan
Belanda -yang kegemarannya adalah minuman wine
(anggur), makanan dan wanita- kabur dengan kekasihnya dan meninggalkan
isterinya di Bandung. Tentara KNIL yang tidak sempat melarikan diri ke
Australia –di pulau Jawa, sekitar 20.000 orang- ditangkap dan dipenjarakan oleh
tentara Jepang; sedangkan orang-orang Eropa lain dan juga warganegara Amerika
Serikat, diinternir. Banyak juga warga sipil tersebut yang dipulangkan kembali
ke Eropa.
Di
Eropa, Jerman hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk menduduki Belanda.
Pemerintah Belanda serta keluarga kerajaan melarikan diri ke Inggris dan
mendirikan pemerintahan Exil di London. Tanggal 7 Desember 1942, Wilhelmina,
Ratu Belanda membacakan pidato di radio, yang isinya menjanjikan pemerintahan
sendiri kepada jajahannya, India Belanda, apabila Perang Dunia selesai dan
Jepang dapat ditaklukkan. Memang kelihatannya sangat lucu, bahwa dia memberikan
janji tersebut, setelah India-Belanda “diserahkan” kepada Jepang tanpa upaya
untuk mempertahankannya. Di kemudian hari, setelah Jepang kalah perang,
Wilhelmina berlaku seperti “The sleeping
beauty”, yang menganggap bahwa masa pendudukan Jepang hanya sebagai mimpi
buruk, dan setelah terbangun, segala sesuatunya akan kembali seperti dahulu.
(Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2010/06/radio-address-by-queen-wilhelmina-on-7.html)
Latihan militer bagi pemuda Pribumi
Sebagaiman
telah disebutkan di atas, bahwa Jepang melatih pribumi menjadi tentara hanya
untuk kepentingan pertahanan mereka, namun bagi Indonesia di kemudian hari, pembentukan pasukan
di masa pendudukan Jepang kemudian sangat membantu dalam perang mempertahankan
kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
Pada bulan
Juni 1943, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Selatan, Letnan Jenderal Masazumi
Inada, melakukan inspeksi ke Asia Tenggara, termasuk ke Sumatera, Jawa dan
Kalimantan. Melihat wilayah yang harus dipertahankan serta terbatasnya jumlah
pasukan Jepang, membuat Inada cemas. Inada memberikan rekomendasi kepada
Panglima Tentara ke 16, Jenderal Harada, yang menggantikan Letnan Jenderal
Imamura dan Panglima Divisi 25 di Sumatera, Jenderal Moritaka Tanabe, untuk
melatih rakyat setempat guna membantu pertahanan mereka.
Pada bulan
Oktober 1943 di Jawa, dibentuk pasukan yang dinamakan Pembela Tanah Air (Peta).
Dari pihak pribumi, pembentukan Peta tersebut juga atas usul Gatot
Mangkupraja. Dengan
demikian secara kebetulan keinginan pihak pribumi seiring dengan rencana
Jenderal Inada.
Sebelum
Peta resmi dibentuk, secara rahasia telah didirikan Seinen Dojo (Sekolah Kemiliteran), dan dirancang untuk membentuk
kelompok kecil pribumi yang dapat berbahasa Jepang guna membantu melatih
sukarelawan Peta mendatang. Selain itu, Jepang juga mempersiapkan Peta untuk
perang gerilya, apabila tentara Sekutu masuk ke Jawa. Dengan demikian struktur
yang dibentuk, disesuaikan dengan rencana tersebut. Satuan tertinggi adalah daidan (batalyon) dengan anggota sekitar
500 – 600 orang, di bawah pimpinan daidancho
(komandan batalyon). Di setiap kabupaten ditempatkan satu daidan, dengan beberapa pengecualian seperti Jakarta dan Bandung,
di mana ditempatkan 2 atau 3 batalyon.
Bulan
September 1943, Markas Besar Tentara Selatan menyetujui dibentuknya Gyugun di Sumatera. Pusat latihan
perwira didirikan di Kotaraja, Medan, Padang dan Palembang.. Pada bulan Maret
1944 telah terbentuk sekitar 30 kompi (chutai). Tugas utama Gyugun adalah penjagaan pantai, oleh karena itu latihannya dirancang untuk
menghasilkan perwira dan serdadu yang siap untuk tugas bertempur. Gyugun di Sumatera dibentuk dan dilatih
pada tingkat karesidenan, tidak di dalam suatu kesatuan di bawah satu komando
seperti di Bogor.
Karena
dalam perang melawan Sekutu semakin terdesak, banyak pemuda yang telah dilatih,
dipaksa oleh Jepang untuk ikut dalam pertempuran, termasuk sekitar 2.000 Gyugun asal Sumatera Utara yang dibawa
ke Morotai (Halmahera Utara) untuk bertempur melawan tentara Sekutu.
Pada akhir tahun 1943 di Bogor didirikan Renseitai (Satuan Pendidikan Perwira).
Dari catatan Jepang, dapat diketahui berapa jumlah anggota Peta yang mendapat
pendidikan militer. Sampai bulan November 1944 tercatat kekuatan Peta di Jawa
sebanyak 33.000 orang dan di Bali 1.500 orang. Di Sumatera telah dilatih
sebanyak 6.000 Gyugun.
Tahun 1945, seluruh kekuatan Peta mencapai 66
batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali. Selain itu masih terdapat sekitar
25.000 prajurit Heiho. Apabila dalam
struktur komando Peta, semua perwira adalah pribumi, dalam Heiho, seluruh perwiranya adalah orang
Jepang. Pangkat tertinggi pribumi dalam Heiho adalah sersan.
Seinendan (barisan
pemuda) : sebanyak
5.600.000 orang,
Keibodan (kelompok
pertahanan sipil) : sebanyak
1.286.813 orang,
Shisintai (Korps
Perintis) :
sebanyak 80.000 orang,
Jibakutai (Korps Berani
Mati) : sebanyak
50.000 orang,
Gakutai (Korps Mahasiswa) : sebanyak 50.000 orang,
Jepang
kemudian menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus
1945, namun kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September
1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Serah
terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilaksanakan di Singapura pada
tanggal 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command,
mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro
Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi
Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.
Dengan
demikian, antara tanggal 15 Agustus 1945 dan 2 September 1945 terjadi vacuum of power di seluruh wilayah yang
diduduki oleh Jepang, karena pasukan sekutu yang mengambil alih kekuasaan dari
Jepang belum dapat segera dikirm ke negara-negara yang diduduki oleh tentara
Jepang.
Republik Indonesia Berdiri
Di
masa vacuum of power tersebut, para tokoh di wilayah pendudukan tentara Jepang pada 17 Agustus 1945 menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia Sehari kemudian pada 18 Agustus disahkan UUD ’45. Juga dipilih
Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian terpenuhi sudah semua persyaratan
pembentukan suatu negara, sesuai dengan Konvensi Montevideo, yaitu:
1. Ada wilayah,
2. Ada penduduk yang permanen, dan
3. Ada pemerintahan.
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia yang dicetuskan di masa vacuum of power pada 17.8.1945 adalah sah dipandang dari segi
apapun, baik menurut hukum internasional (international
law), dari segi hak asasi manusia, ataupun dari segi moral dan politis.
(lihat:
Oleh
karena itu, periode tahun 1945 – 1950 bukanlah suatu revolusi, karena tidak ada
pemerintahan yang digulingkan. Juga bukan merupakan suatu pemberontakan
terhadap siapapun, karena pemerintah India Belanda sudah tidak ada, dan Jepang
telah menyatakan menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Dan yang
terpenting, fase itu bukanlah fase perang kemerdekaan, karena Indonesia telah
merdeka. Yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah agresi militer terhadap
suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, dan yang dilakukan oleh rakyat
Indonesia adalah perang mempertahankan kemerdekaan! (lihat:
Agresi Militer Belanda
Sejarah
mencatat, bahwa Belanda tidak mengakui pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dan
masih berusaha menjajah Indonesia kembali. Setelah usai Perang Dunia II, Belanda
tidak mempunyai satu batalyon pun yang utuh di Indonesia, melainkan hanya
beberapa ribu mantan serdadu, yang selama tiga setengah tahun meringkuk di
kamp-kamp interniran Jepang. Setelah dibebaskan dari tahanan Jepang, kondisi
fisik dan psikis mereka sangat lemah, dan tidak layak untuk dikirm ke peperangan,
apalagi untuk menguasai wilayah seluas Indonesia. Oleh karena itu Belanda
membuat perjanjian Civil Affairs
Agreement (CAA) dengan Inggris pada 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris,
yang isinya a.l. mewajibkan Inggris membantu “membersihkan” kekuatan bersenjata
Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, diserahkan kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Kekuatan
tentara Inggris sebesar 3 Divisi ternyata tidak mampu “mengamankan” seluruh
Sumatera dan Jawa karena hebatnya perlawanan bersenjata rakyat Indonesia,
bahkan diperlukan lebih dari satu Divisi, yaitu Divisi 5 dan dengan dukungan
Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk mematahkan perlawanan rakyat Surabaya
pada bulan November 1945. Perlawanan rakyat Indonesia di Sumatera, Jawa Barat
dan Ambarawa pun tidak kalah hebatnya, sehingga pimpinan militer Inggris
menyadari, bahwa masalah RI tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan senjata,
dan mereka terpaksa menekan Belanda untuk menyetujui perundingan dengan pihak
Republik, yaitu di Linggajati.
Namun
di wilayah timur Indonesia, dua Divisi tentara Australia di bawah pimpinan
Letnan Jenderal Leslie -Ming the
Merciless- Morsehead berhasil “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung
RI, dan secara resmi pada 15 Juli 1946, Australia menyerahkan seluruh wilayah
timur Indonesia kepada NICA, dan pada 16 – 25 Juli 1946, Letnan Gubernur
Jenderal Dr. van Mook menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, di mana
diundang orang-orang Indonesia yang pro Belanda guna membahas rencana
mendirikan “Negara Indonesia Timur.” Konferensi ini dilanjutkan dengan
“Konferensi Besar “di Denpasar pada 18 – 24 Desember 1946, yang menghasilkan
berdirinya “Negara Indonesia Timur.”
Setelah
itu, politik adu-domba Belanda berjalan terus, dan Belanda “berhasil” membentuk
negara-negara boneka yang dipimpin oleh orang-orang Indonesia yang patuh kepada
Belanda. Bahkan dalam perundingan di atas Kapal Perang AS, Renville, yang
dimulai pada 8 Desember 1947, delegasi Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL Raden
Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Belanda
melanggar Persetujuan Linggajati dengan melancarkan agresi militernya yang
pertama pada 21 Juni 1947. Agresi
militer ini berakhir dengan Persetujuan Renville yang difasilitasi oleh PBB. Kemudian
Belanda juga melanggar Persetujuan Renville dengan melancarkan agresi
militernya yang kedua pada 19 Desember 1948.
Pada 20 Januari 1949, Lambertus Nicodemus Palar, ketua delegasi RI untuk
PBB, menyampaikan Memorandum di sidang Dewan Keamanan PBB, yang isinya a.l.:
“
…Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap
memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya
dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus
dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini
melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga
Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama
yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah
diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia.
Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah
Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan
perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan
menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral.
Pendirian
Belanda yang hanya berpegang kepada legalitas secara dogmatik akan selalu
menghambat tercapainya suatu persetujuan. Berhubung pendiriannya yang demikian
itulah Republik dianggapnya sesuatu yang illegal, dan bahwa kedaulatan di
seluruh daerah Indonesia berada di tangannya.
Bahwasanya menurut sejarahnya RI
bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan
lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan
tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda
sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja
sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan
kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan
negerinya sendiri terhadap agresi Jepang.
Memang,
politik kolonial Belanda tidak pernah memberi kesempatan kepada bangsa
Indonesia untuk maju menjadi suatu bangsa yang kuat, karena hal ini akan membahayakan
kedudukan Belanda sebagai tuan penjajah dan bertentangan dengan keinginannya
untuk melanjutkan kekuasaanya atas Indonesia. Inilah sebab sebenarnya mengapa
Belanda tidak mempunyai kesanggupan menunaikan kewajiban dan tanggung-jawabnya
mempertahankan Indonesia terhadap agresi dari luar negeri.
Demikianlah
maka Belanda bukan saja telah menyerahkan Indonesia kepada imperialis Jepang
tanpa melakukan usaha yang benar-benar dapat mempertahankannya, tetapi juga
menolak memberikan kepada rakyat Indonesia sendiri kekuatan untuk melawan
Jepang.
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda
menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang,
maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri.
Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah
balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak
seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup
mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris.
Untuk kepentingan dirinya sendiri bangsa
Indonesia mempergunakan zaman pendudukan Jepang itu sebagai masa persiapan
baginya untuk menentukan nasibnya sendiri kemudian hari, termasuk pula
persiapan terhadap kemungkinan mereka harus menentang kekuasaan militer Jepang
nanti.
Tidak
ada seorang pun orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa
bangsa Indonesia telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu
puteranya menjadi korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk
memungkinkan Indonesia mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada
tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang
Belanda, kami menebusnya dengan darah.
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka
mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak
historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan
ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.
Dari
segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan
penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan
kemerdekaan.
Persetujuan yang sah yang tidak mengandung keadilan
dan yang terlepas dari kenyataan sejarah yang baru berlalu, tidaklah bisa
disebutkan sesuai dengan kewajaran jalannya sejarah.
Pada waktu ini Pemerintah Belanda dan wakilnya di Dewan
Keamanan sedang berusaha hendak membenarkan aksi militernya yang baru-baru ini
dilancarkannya, aksi militernya yang tidak dapat disangkal lagi tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip PBB dan Persetujuan Renville, dengan alasan apa yang
disebutnya pertanggunganjawabnya terhadap Indonesia.
Apa-apa yang telah ditunjukkan oleh sejarah kepada
kami masih segar dalam ingatan kami.
Soal
yang penting ialah, apakah Belanda betul-betul sanggup mempertahankan Indonesia
terhadap serangan negara asing tanpa bantuan bangsa Indonesia? Adalah satu
tekadnya sejak awalnya, bahwa bangsa Indonesia tidak akan membantu kolonialisme
Belanda. Oleh karena itu bahaya serangan negara asing akan bertambah jika
kolonialisme Belanda terus merajalela di Indonesia. Kolonialisme itu menghambat
perkembangan rasa kebangsaan, yang merupakan faktor penting bagi pertahanan
negara ini.
Semua
ini adalah menjadi bukti bahwa masalah Indonesia bukanlah soal dalam negeri
antara Pemerintah Belanda dengan bangsa Indonesia, tetapi merupakan suatu masalah
internasional. Masalah Indonesia ada hubungannya dengan perdamaian dunia. Soalnya juga
menyangkut prinsip-prinsip PBB, dan oleh karena itu Dewan Keamanan pada
tempatnya turut campur menyelesaikannya. Dalam sidang-sidangnya Republik
mempunyai kedudukan sebagai "fihak yang bersangkutan dalam
pertikaian", tidak kurang dari kedudukan Belanda. Hal ini bagaikan duri dalam
daging bagi Belanda, tetapi tidak akan dapat dikesampingkannya. Belanda juga
tidak bisa mengenyampingkan Republik sebagai suatu kenyataan. Semakin lama
Republik berdiri, semakin nyata keadaannya, yang tidak dapat diabaikan begitu
saja oleh Belanda.
Jika Belanda ingin menghapuskan Republik tanpa
mempengaruhi politik dunia, mereka harus berbuat demikian pada tahun 1945.
Kenyataanya, bangsa Belanda memang ingin berbuat begitu waktu itu. Tetapi tidak
dapat dibantah lagi, bahwa pada waktu itu Belanda tidak mempunyai kekuatan
militer yang dapat digerakkannya terhadap Republik. Hanya setelah dibantu oleh
tentara Inggeris dan mendapat bantuan keuangan serta materiil dari Amerika
barulah bangsa Belanda dapat menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia.
Republik
sudah berdiri 3 tahun
Republik sampai sekarang sudah berdiri tiga tahun
lebih dan karena itu tidaklah gampang menghapuskannya, seperti diinginkan
Belanda.
Selama
tiga tahun itu Republik telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa
negara dan dengan Dewan Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara
negara-negara itu.
Republik
telah memerintahkan daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai
syarat-syarat seperti yang dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat:
bendera kebangsaan, tentara dan polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan
luar negeri sendiri.
Rakyat Republik merasa dalam hatinya, bahwa mereka
adalah warga suatu negara yang berdaulat dan demokratis dan sebagai penduduk
suatu negara yang demokratis mereka mempunyai sepenuhnya semua hak: kebebasan
bergerak, hak berkumpul, hak menyatakan pikiran, hak berbicara, dan kebebasan
pers, juga bebas untuk memilih agamanya sendiri. Semua kenyataan ini tidak
dapat dihapuskan begitu saja atanpa menimbulkan reaksi yang sangat hebat...”
Demikian
a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang
disampaikan oleh LN Palar, yang sampai tahun 1947 adalah anggota parlemen
Belanda (Tweede Kamer), dan sebagai
protes terhadap pengiriman tentara ke Indonesia, Palar keluar dari parlemen
Belanda, dan berpihak kepada Republik Indonesia.
*******
* Tulisan ini
dikutip dari buku ‘Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.’ Penulis: Batara R. Hutagalung.
Penerbit LKiS, Maret 2010. Tebal buku 742 halaman.
Referensi dan sumber-sumber lain dapat dilihat di buku tersebut.
Referensi dan sumber-sumber lain dapat dilihat di buku tersebut.
1 comment:
Bismillah sejarah yang cuba disembunyikan oleh pendusta bangsa penjaah. You go ahead i follow you!!. Serah kuasa mutlak kepada yang dikehendaki Allah, tanpa prajudis.
Post a Comment