Sunday, February 19, 2006

Bukan Revolusi, Bukan Pemberontakan, Bukan Perang Kemerdekaan

Refleksi 60 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17.8.1945 - 17.8.2005.


Oleh Batara R. Hutagalung,
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda

Mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan periode antara tahun 1945 – 1950, yaitu ketika tentara Belanda telah menggantikan tentara Inggris dan Australia, dalam upaya Belanda menjajah kembali Indonesia, banyak kalangan menyebut sebagai revolusi, perang kemerdekaan, dan dari sudut pandang Belanda, adalah pemberontakan.

Arti revolusi sebenarnya adalah perputaran ulang. Namun pengertian atau persepsi masyarakat secara umum, revolusi adalah penggulingan suatu rezim penguasa oleh rakyatnya sendiri yang biasanya dilakukan dengan cara kekerasan dan dengan pertumpahan darah, seperti halnya revolusi Perancis dan revolusi Oktober 1917 di Rusia (selama masa rezim komunis, diperingati pada bulan November, karena Rusia baru tahun1921 menggunakan sistem kalender Gregorian yang berbeda 15 hari dengan sistem kalender Julian, yang digunakan sebelumnya).

Pemberontakan adalah perlawanan dari sekelompok manusia yang tidak lagi menerima suatu pemerintahan, baik pemerintah itu bangsanya sendiri, atau bangsa asing, sedangkan perang kemerdekaan adalah perang yang dilakukan oleh suatu bangsa yang sedang dijajah oleh bangsa asing, dalam upaya untuk memerdekakan diri.

Apabila diteliti peristiwa-peristiwa yang terjadi sejak 9 Maret 1942 hingga 17 Agustus 1945, akan terjawab, bahwa ketiga penamaan tersebut tidak tepat. Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda, atau Pemerintah India- Belanda, juga bukan suatu revolusi untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, dan perang melawan agresi militer yang dilancarkan tentara Belanda pada Agresi Militer I dan II, bukan perang kemerdekaan.

Pada 14 Mei 1941, Belanda diduduki oleh Jerman dan dengan demikian pemerintah Belanda sudah tidak eksis lagi. Para menteri dan pejabat-pejabat pemerintah beserta keluarga Ratu kabur ke Inggris, di mana kemudian mereka membentuk pemerintah di pengasingan (Government in Exile).

Bulan Desember 1941 Jepang mulai melancarkan agresi militernya ke Asia Timur dan Asia Tenggara. Bulan Januari 1942 balatentara Dai Nippon menyerbu ke wilayah India-Belanda, dan dalam waktu singkat menduduki hampir seluruh jajahan Belanda.

Pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati dekat Subang, Jawa Barat, Jenderal Hein ter Poorten sebagai Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, secara resmi menandatangani dokumen MENYERAH TANPA SYARAT kepada tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura. Tentara Belanda yang “perkasa” secara sangat pengecut dan memalukan, hampir tanpa perlawanan sedikit pun, menyerah kepada tentara Jepang. Sangat memalukan bagi mereka, karena dengan demikian hilanglah mitos superioritas ras kulit putih, yang telah menyatakan diri sebagai ras unggul yang tak terkalahkan, ternyata dapat dikalahkan oleh bangsa Asia!

Dengan demikian, 9 Maret 1942, bukan saja merupakan penyerahan kewenangan atas wilayah India-Belanda kepada Jepang, melainkan juga merupakan hari yang sangat bersejarah bagi penduduk di Nusantara, karena tanggal itu juga sekaligus menandai secara resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Hal ini berarti, bahwa setelah Belanda diduduki Jerman, Pemerintah Belanda juga tidak eksis lagi.

Jepang kemudian juga menyerah-tanpa-syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen kapitulasi tersebut baru ditandatangani pada 2 September 1945, di atas kapal Missouri di Tokyo Bay (Teluk Tokyo).

Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat Vacuum of power atau kekosongan kekuasaan suatu pemerintahan di seluruh wilayah pendudukan Jepang, termasuk di bekas jajahan Belanda.

Di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945 menyatakan KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA, dan pada 18 Agustus Komite Nasional Indonesia –yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia- mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden, dan mereka kemudian membentuk kabinet RI.

Otoritas militer Jepang tidak melakukan langkah-langkah untuk menentang proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, dan bahkan pihak Angkatan Laut Jepang di bawah Admiral Maeda menjamin kelancaran persiapan proklamasi tersebut. Selain itu, diangkat para Gubernur untuk provinsi-provinsi di seluruh wilayah bekas India-Belanda, dan di daerah-daerah, rakyat mengambil alih kekuasaan dari tentara pendudukan Jepang yang sudah lumpuh, dan tokoh-tokoh masyarakat membentuk pemerintahan setempat. Di beberapa daerah, persenjataan dari tentara Jepang direbut dengan kekerasan dan memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Namun secara keseluruhan, proklamasi kemerdekaan tersebut bukan merupakan suatu pemberontakan terhadap Jepang.

Dengan demikian tiga syarat untuk pembentukan suatu negara telah terpenuhi, sesuai dengan Konvensi Montevideo, yang ditandatangani oleh 19 negara di Montevideo pada 26 Desember 1933. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Adanya wilayah,
2. adanya penduduk, dan
3. adanya pemerintahan.

Sedangkan syarat keempat, yaitu adanya pengakuan dari negar lain tidaklah menjadi syarat utama.

Tentara Sekutu yang ditugaskan untuk melucuti tentara Jepang baru mendarat pertama kali pada 29 September 1945 di Jakarta, dan bahkan Brigade 49 “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby baru tiba di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, di mana pada saat itu seluruh tentara Jepang di Surabaya telah dilucuti oleh rakyat Indonesia dan seluruh persenjataan tentara Jepang telah jatuh ke tangan rakyat Surabaya dan sekitarnya.

Dengan menyerahkan jajahannya secara resmi kepada Jepang pada 9 Maret 1942, maka Belanda telah kehilangan segala legitimasinya atas wilayah tersebut. Oleh karena itu, ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, maka ini bukanlah merupakan suatu pemberontakan terhadap Belanda, sebagaimana digarisbawahi oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Lambertus Nicodemus Palar, dalam Memorandum yang disampaikan pada 20 Januari 1949 di sidang Dewan Keamanan PBB, setelah agresi militer Belanda kedua yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia pada 19 Desember 1948, yaitu:

“… Bahwasanya menurut sejarahnya Republik Indonesia bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya.
Belanda sama sekali tidak berusaha mempertahankan Indonesia dan dengan sengaja sedemikian rupa menghalang-halangi rakyat Indonesia memperoleh latihan kemiliteran, sehingga mereka berada dalam keadaan tidak berdaya mempertahankan negerinya sendiri terhadap agresi Jepang …
… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri …”

Di tengah berkecamuknya Perang Dunia II di Eropa dan ancaman agresi militer Jepang di Asia, pada 14 Agustus 1941, Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Rossevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill menandatangani pernyataan yang dinamakan The Atlantic Charter (Piagam Atlantik), yang berbunyi:
The President of the United States of America and Prime Minister, Mr. Chruchill, representing His Majesty’s Government in the United Kingdom, being met together, deem it right to make known certain common principles in the national policies of their respective countries on which they base their hopes for a better future for the world.”

di mana butir ketiga dari pernyataan mereka berbunyi :
…Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to choose who have been forcibly deprived of them;…”

Butir ketiga ini kemudian dikenal sebagai ”Right for selfdetermination of peoples”, yaitu hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri.

Oleh karena itu, sesuai dengan butir ketiga dari The Atlantic Charter tersebut, maka pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hak bangsa Indonesia untuk menentukan nasib sendiri,.
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda yang tetap ingin menjadi penguasa di Indonesia, tidak henti-hentinya melakukan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai jajahannya kembali, baik melalui agresi militer, maupun melalui jalur diplomasi di PBB. Upaya Belanda tersebut, awalnya didukung oleh Inggris dan Australia yang menyalahgunakan kewenangan sebagai tentara Sekutu (Allied Forces).

Dengan kekuatan 3 Divisi Inggris (British-Indian Divisions) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dan 2 Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie "Ming the merciless" Morsehead mereka berusaha menghancurkan kekuatan bersenjata Republik Indonesia, untuk memenuhi perjanjian dengan Belanda, yaitu Civil Affairs Agreement yang ditandatangani oleh Pemerintah Inggris dan Belanda di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945. Tuga tentara Inggris dan Australia adalah “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, dan wilayah yang telah “dibersihkan,” kemudian diserahkan kepada Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).

Tentara Australia berhasil “membersihkan” wilayah Indonesia Timur, dan “menyerahkan” kepada Belanda pada 13 Juli 1946. Dr. H.J. van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal kemudian menyelenggarakan Konferensi Malino pada 15 – 25 Juli 1946, di mana diletakkan dasar-dasar pembentukan Negara Indonesia Timur, dan ini merupakan awal rencana pembentukan negara federal Indonesia.

"Jasa Australia" kepada Belanda ini berakibat sangat fatal bagi rakyat Indonesia di wilayah timur. Rakyat Indonesia di wilayah timur, termasuk di Sulawesi tentu tidak mau "diserahkan" oleh Australia kepada Belanda, seperti menyerahkan barang atau benda mati. Mereka melakukan perlawanan. Untuk menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di Sulawesi Selatan, pimpinan militer Belanda dan NICA mengirim Letnan Dua Raymond P.P. Westerling bersama Depot Speciaale Troepen-nya. Sejarah mencatat, selama operasi pembantaian yang dilakukan oleh Westerling di Sulawesi Selatan mulai tanggal 11 Desember 1946 sampai pertengahan Februari 1947, telah mengakibatkan tewasnya puluhan ribu rakyat Sulawesi Selatan.

Namun segala upaya Belanda yang dibantu oleh Inggris dan Australia terbukti sia-sia. Perjuangan di bidang bersenjata dan di bidang diplomasi para pemimpin Republik Indonesia serta tekanan dari dunia internasional akhirnya memaksa Belanda ke meja perundingan.

Pada 23 Agustus – 2 November 1949 di Den Haag, dilaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB), yang menghasilkan keputusan a.l. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia menjadi satu Negara bagian di samping 15 negara boneka bentukan Belanda. Pemerintah Belanda akan menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah RIS.

Pada 27 Desember 1949 di Paleis op de Dam di Amsterdam, Belanda, Juliana, sebagai Ratu Belanda, “melimpahkan kedaulatan” (Soevereniteitsoverdracht) kepada Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta, dan “perlimpahan kedaulatan” juga paralel dilakukan di Batavia/Jakarta, di mana Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Lovink “melimpahkan kedaulatan” kepada Wakil Perdana Menteri RIS Hamengku Buwono IX.

Namun sejak itu, satu per satu negara-negara boneka bentukan Belanda dipaksa oleh rakyat untuk dibubarkan, atau sukarela membubarkan diri, dan pada 16 Agustus 1950, Presiden RIS Sukarno menyatakan pembubaran negara federal Republik Indonesia Serikat. Pada 17 Agustus 1950, dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17 Agustus 1945.

Dengan demikian Pemerintah Belanda sekarang berhubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan bukan dengan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS).

Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana Belanda juga menjadi anggota, tercatat kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, dan bukan 27 Desember 1949.

Dengan adanya pengakuan internasional bahwa kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, maka pertempuran yang terjadi antara Tentara nasional Indonesia (TNI) melawan tentara Belanda, bukanlah merupakan perang kemerdekaan, karena Republik Indonesia adalah negara yang merdeka dan berdaulat, yang memiliki pemerintahan dan tentara nasional [5 Oktober 1945 didirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lalu Tentara Keselamatan Rakyat (TKR), kemudian Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pada 3 Juli 1946 resmi bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI)]. Perang antara TNI melawan tentara Belanda adalah perang melawan agresor, atau perang dari suatu negara menghadapi invasi tentara asing.

Namun anehnya Pemerintah RI resmi menamakan agresi militer Belanda I yang dimulai pada 20 Juli 1947 sebagai Perang Kemerdekaan I dan agresi militer II 19 Desember 1948 sebagai Perang Kemerdekaan II. Entah disadari atau tidak, dengan penamaan ini Indonesia menganggap bahwa itu adalah perang melawan penjajah yang masih berkuasa, dan Indonesia belum merdeka.

Peristiwa yang terjadi di Indonesia antara tahun 1945 – 1949 juga bukan suatu revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan. Pemerintah India-Belanda sudah tidak ada, dan tentara pendudukan Jepang yang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu, tidak menghalangi atau menentang pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Di dalam kurun waktu antara 1946 sampai 1949, dalam upaya untuk menghancurkan Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), banyak terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda. Berdasarkan fakta, bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda antara tahun 1946 – 1949 adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka dan berdaulat, maka berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, seperti peristiwa pembantaian ribuan rakyat Sulawesi Selatan antara Desember 1946 – Februari 1947 dan pembantaian 431 penduduk Rawagede pada 9 Desember 1947 adalah kejahatan perang (war crime) dan termasuk kategori kejahatan atas kemanusiaan (crime against humanity). Pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dikategorikan sebagai kejahatan atas kemanusiaan, harus dimajukan ke pengadilan internasional, termasuk ke pengadilan kejahatan internasional (International Criminal Court ) di Den Haag, Belanda.

     *******

No comments: