Oleh Batara R. Hutagalung,
Ketua KUKB
Sejak mulai meneliti
berbagai peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia memperoleh dan
mempertahankan kemerdekaan, saya melihat sangat banyak peristiwa-peristiwa
penting yang tidak ditulis di buku-buku sejarah di Indonesia. Kurangnya
referensi dalam bahasa Indonesia menjadi salahsatu penyebabnya, Juga kurangnya
tulisan dari para pelaku sejarah dan korban-korban agresi militer Jepang dan
kemudian agresi militer Belanda.
Kebanyakan para peneliti dan
sejarawan di Indonesia menunggu dan menggunakan sumber-sumber dan hasil
penelitian dari luar negeri, terutama dari Belanda, sehingga sangat banyak
sejarawan Indonesia yang menyebarluaskan versi Belanda di Indonesia, dan
terlihat ikut berkonspirasi dalam menutup-nutupi lembaran hitam sejarah agresi
militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Perlahan-lahan dan sangat
lambat perkembangannya di Indonesia, muncul beberapa kasus yang dialami oleh
rakyat Indonesia selama masa pendudukan Jepang, kemudian di masa agresi militer
Belanda di Indonesia, yang dibantu oleh tiga divisi tentara Inggris dan dua
divisi tentara Australia. Namun di Belanda sendiri, tuntutan yang dimajukan
oleh Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan Komite
Utang Kehormatan Belkanda (KUKB) mendapat dukungan luas, baik di masyarakat
maupun di parlemen Belanda.
Indonesiëweigeraars
Ada dua kelompok manusia
yang dapat disebut sebagai korban agresi militer Belanda. Yang pertama adalah
yang di Belanda disebut sebagai Indonesiëweigeraars,
yaitu para pemuda Belanda yang antara tahun 1946 – 1949 dikenakan wajib militer
dan akan direkrut menjadi tentara untuk dikirim ke Indonesia, namun membangkang.
Pada 17 Agustus 1945,
pemimpin bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pemerintah Belanda
menolak untuk mengakui proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia –sampai detik
ini- dan menganggap tentara yang dibentuk oleh Republik Indonesia adalah
perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh
Jepang. Oleh karena itu, Belanda ingin memulihkan “law and order” di negeri
yang pernah dijajahnya, namun kemudian “diserahkan” kepada Jepang pada 9 Maret
1942. Pada waktu itu, Belanda menyebut agresi militernya sebagai “aksi
polisional”, karena menganggap ini masalah dalam negeri, dan mereka akan
membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang
dipersenjatai oleh Jepang tersebut. Untuk melaksanakan agresi militernya,
pemerintah Belanda memberlakukan wajib militer bagi pemuda yang berusia di atas
18 tahun.
Namun tidak semua pemuda
Belanda bersedia menjalani wajib militer tersebut. Sekitar 6.000 pemuda Belanda
menolak direkrut menjadi tentara untuk dikirim ke –menurut mereka- perang kolonial,
yaitu untuk menegakkan kembali penjajahan Belanda di Indonesia. Ratusan pemuda
pembangkang melarikan diri ke negara-negara lain, terutama ke Perancis dan
Jerman Timur. Banyak yang ditangkap dan dikirim paksa ke Indonesia. Namun sekitar
1.200 pemuda Belanda tetap bertahan untuk tidak dikirm sebagai tentara ke
Indonesia. Mereka dimajukan ke pengadilan, dan dihukum penjara antara 3 bulan
(kebanyan yang keturunan Yahudi), sampai 7 tahun (kebanyakan yang beraliran
sosialis atau komunis). Yang memberikan alasan keagamaan, mendapat hukuman
lebih ringan. Setelah keluar dari penjara, mereka kehilangan banyak hak-hak sipilnya,
dan dianggap pengkhianat bangsa atau pengecut oleh lingkungan mereka yang
konservatif. Kini masih hidup sekitar 500-an orang pembangkang perang kolonial
–Indonesiëweigeraars.
Ketika Menlu Belanda (waktu
itu) Ben Bot pada 16 Agustus 2005 di Jakarta mengatakan, bahwa pengerahan
militer secara besar-besaran (sekitar 150.000 tentara) telah menempatkan
Belanda pada sisi sejarah yang salah (lihat http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/speech-by-minister-bot-on-60th.html),
para Indonesiëweigeraars menyatakan, kalau demikian maka mereka pada
waktu itu berada pada sisi sejarah yang benar. Kini mereka menuntut
rehabilitasi dan kompensasi dari pemerintah Belanda.
Pada bulan Desember 2005,
saya ke Belanda untuk membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen
Belanda. Dalam kunjungan itu, saya berkesempatan bertemu dengan Jan Maassen, seorang
Indonesiëweigeraar, yang menuturkan
kisah pedihnya.
Jan Maassen termasuk yang
kena wajib militer tahun 1949, namun dia menolak untuk mengikuti wajib militer,
karena menganggap bahwa yang dilakukan oleh pemerintah Belanda adalah
melancarkan perang kolonial. Dia bersedia memenuhi wajib militer untuk membela
Negara, namun menolak untuk dikirim sebagai agresor. Jan Maassen ditangkap dan
dimajukan ke pengadilan. Dia menjalani hukuman penjara selama 3 tahun, (Mengenai
pertemuan dengan Jan Maassen, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html)
Seharusnya para Indonesiëweigeraars ini yang memperoleh
tanda penghargaan dari pemerintah Indonesia, karena menolak untuk ikut ambil
bagian dalam agresi militer Belanda, yang menimbulkan banyak korban dan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.
Oorlogsliefdekind
Selain para Indonesiëweigeraars, ada satu kelompok
manusia yang juga sampai saat ini “terlupakan”, yaitu anak-anak korban agresi
militer. Mereka tidak ada di dunia ini, seandainya Belanda tidak melancarkan
agresi miliernya dengan mengrim 150.000 pemudanya ke Indonesia. Artinya,
150.000 laki-laki yang mempunya kebutuhan biologis, atau lebih gamblang lagi:
kebutuhan seks. Tentu berbagai cara yang
dilakukan oleh para prajurit untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, yang mengakibatkan banyaknya pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Indonesia, di
daerah-daerah di mana mereka ditempatkan.
Banyak tentara Belanda yang di masa agresi militer Belanda,
hidup bersama perempuan Indonesia selama mereka bertugas. Kurang
diketahui dengan jelas apa status mereka semua, apakah nikah resmi, nikah siri
atau hanya sekadar hidup bersama. Namun yang jelas, setelah habis masa
dinasnya, sang laki-laki –tentara Belanda yang bersangkutan- pulang ke
negerinya dan meninggalkan isteri/”simpanan” dan (kalau ada) anak-anaknya di
Indonesia.
Jumlahnya juga tidak
diketahui, karena tampaknya belum ada penelitian yang akurat, baik di Indonesia
maupun di Belanda mengenai hal ini. Setidaknya saya belum pernah membacanya
dalam bahasa Indonesia.
Di Belanda, sejak beberapa
waktu yang lalu, dibentuk suatu wadah yang dinamakan, atau menamakan diri “oorlogsliefdekind”, (dalam bahasa Inggris
mereka sebut sebagai Warlovechild),
yang bertujuan mempertemukan mantan tentara Belanda dengan anak-anak mereka di Indonesia.
Banyak mantan tentara
Belanda yang mengakui, bahwa mereka meninggalkan isteri dan anak-anak mereka
setelah habis masa dinas di Indonesia. Bahkan mereka menceriterakan kepada
isteri dan anak-anak mereka di Belanda. Beberapa anak-anak Belanda ini kemudian
mencari saudara-saudara tiri mereka di Indonesia, dan bertemu!
Selama ini para perempuan
Indonesia yang menikah atau hidup bersama dengan tentara Belanda di masa agresi militer
Belanda, tidak ingin mengungkap kisah cinta mereka, dengan berbagai alas an dan
pertimbangan. Hal ini seolah-olah menjadi tabu. Mungkin juga ada yang malu
karena pada waktu tiu dianggap sebagai pengkhianat bangsa atau kolaborator,
bahkan mungkin dituduh sebagai pelacur. Hal ini juga pernah terjadi di Eropa di
masa pendudukan Jerman antara tahun 1939 – 1945, atau di Asia, di masa
pendudukan Jepang antara tahun 1941 – 1945.
Setelah para agresor
tersebut kalah dan angkat kaki, maka semua yang di masa pendudukan bekerjasama
dengan para agresor, mendapat cemoohan, siksaan dan bahkan dibunuh, termasuk
keluarga dekat mereka.
Kini setelah lebih dari 60
tahun, kita dapat sedikit melakukan koreksi, a.l. memberikan rasa keadilan bagi
keluarga korban agresi militer Belanda, seperti yang saya lakukan untuk
peristiwa pembantaian di Rawagede, yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9
Desember 1947, dan membuka tabir tabu ini. Dengan mengungkap secara luas
mengenai permasalahan ini, dapat sedikit dilakukan koreksi. Pasti anak-anak
hasil hubungan perempuan Indonesia dengan tentara Belanda, ingin mengetahui
siapa ayah mereka, demikian juga generasi ketiga, yaitu cucu-cucu mantan
tentara Belanda tersebut. Dan kisah cinta yang dijalin di masa perang itu, kini
akan menjadi sangat menarik, dan tidak lagi dipandang lagi dengan kacamata
waktu itu!
Di Belanda kelihatannya
cukup banyak anak-anak veteran Belanda yang ingin berkenalan dengan saudara
tiri mereka di Indonesia.
Apabila berminat untuk hal
ini, website organisasi ini dan informasi lebih lanjut dapat dilihat di: http://indonesiadutch.blogspot.com/2012/01/warlovechild-forgotten-victims-of-dutch.html
Bagi yang mendukung untuk
mempertemukan ayah-anak atau saudara-saudara tiri Indonesia-Belanda, mohon
tulisan ini disebarluaskan.
Ini juga suatu tema dan tantangan yang
sangat menarik bagi peneliti muda Indonesia!
Jakarta, 15 Januari 2012
4 comments:
Menarik sekali ulasan diatas, memang seringkali kekejaman peperangan itu menimbulkan berbagai efek, dan dampaknya akan dirasakan pada dua hingga generasi. Terima kasih, sangat bermanfaat.
Salam,
olivia dewi
saya mencari margaretha istri dri edward karel kramer yg mempunyai anak yg bernama marie louise kramer dri perkawinwn bangsa eropah pada tahun 1947,margaretha meninggalkan indonesia ketika ibu saya marie lahir disini
Bagus sekali. Seharusnya ada lembaga resmi yang menangani masalah ini. Baik itu korban agresi Jepang, spa lagi agresi Belanda. Trims.
Mengenai kejahatan perang dan kekejaman jepang telah saya tulis di buku-buku yang telah saya terbitkan:
1. Mengapa Inggris Membom Surabaya? Terbit tahun 2001,
2. Serangan Umum 1 Maret 1949. Terbit tahun 2010. Juga saya tulis mengenai pembantaian keluarga para sultan di Sumatera Utara tahun 1946.
Khusus mengenai pembantaian ribuan intelektual Indonesia oleh jepang di Mandor, Kalimantan Barat telah saya upload ke weblog, Monday, February 20, 2006, dengan judul:
“Auschwitz Jepang” di Kalimantan Barat
http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2006/02/auschwitz-jepang-di-kalimantan-barat.html
Post a Comment