Pembantaian Westerling dan Puputan Margarana, Bali:
Australia Dan Inggris Ikut Bertanggungjawab
Oleh Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendiri dan Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pengantar
Akhir Februari 2012 yang lalu berbagai media di Indonesia dan Australia memberitakan, bahwa sejumlah anggota parlemen Australia mendorong dilaksanakannya referendum di Papua Barat. Langkah ini sangat jelas bentuk intervensi terhadap masalah internal Indonesia. Dan tentu saja makin memperkeruh situasi yang sedang memanas lagi di bumi cendrawasih.
Sikap Australia seperti ini bukan yang pertama kali dilakukan terhadap Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Australia juga mendorong dilaksanakannya referendum di Timor Timur. Hasilnya kita ketahui bersama, yaitu berdirinya Negara Timor Leste sebagai buah referendum tahun 1999.
Demikian juga kita masih ingat, pemberian Temporary Protection Visa (TPV), atau Visa perlindungan Sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 orang warga Papua Barat, telah menimbulkan reaksi yang sangat kuat dari Indonesia.
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda. Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu Indonesia.
Bukanlah rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1975 –sehari setelah Presiden AS Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka akan masuk ke kubu komunis.
Pada waktu itu, Indonesia sangat bergantung kepada kubu Amerika Serikat dan IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia, 1967 – 1992). Blok Barat tidak pernah mempermasalahkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan bahkan memompakan bantuan dana yang besar serta perlengkapan militer, yang digunakan untuk invasi ke Timor Timur. Dengan pengakuan dari John Perkins (Cofession of an economic hit man), ternyata semua “bantuan” tersebut merupakan jebakan untuk membuat Negara-negara berkembang seperti Indonesia, menjadi sangat tergantung kepada Negara donor.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat berguna bagi kepentingan blok kapitalis. Singkatnya, pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”, musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan Papua dari NKRI.
Pemerintah AS, Australia, Inggris dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus Papua Barat menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah kedaulatan wilayah NKRI, yaitu penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr. Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh “pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda, setelah 31 (!) tahun membuka kembali masalah PEPERA!
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië). Dan seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Di buku-buku sejarah di Indonesia ditulis, bahwa tentara Belanda di bawah komando Raymond Westerling antara Desember 1946 – akhir Februari 1947 telah membantai 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan. Juga ditulis, Letkol I Gusti Ngurah Rai tewas bersama anak buahnya dalam pertempuran yang dikenal sebagai Puputan Margarana pada bulan November 1946 melawan tentara Belanda.
Akhir Februari 2012 yang lalu berbagai media di Indonesia dan Australia memberitakan, bahwa sejumlah anggota parlemen Australia mendorong dilaksanakannya referendum di Papua Barat. Langkah ini sangat jelas bentuk intervensi terhadap masalah internal Indonesia. Dan tentu saja makin memperkeruh situasi yang sedang memanas lagi di bumi cendrawasih.
Sikap Australia seperti ini bukan yang pertama kali dilakukan terhadap Indonesia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Australia juga mendorong dilaksanakannya referendum di Timor Timur. Hasilnya kita ketahui bersama, yaitu berdirinya Negara Timor Leste sebagai buah referendum tahun 1999.
Demikian juga kita masih ingat, pemberian Temporary Protection Visa (TPV), atau Visa perlindungan Sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 orang warga Papua Barat, telah menimbulkan reaksi yang sangat kuat dari Indonesia.
Hubungan Indonesia dengan Australia sejak kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, tidaklah pernah benar-benar baik. Bahkan di awal perjuangan mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi militer Belanda 1945 – 1949, semula pemerintah Australia mendukung Belanda. Akan tetapi serikat buruh Australia ternyata tidak mendukung kebijakan pemerintahnya. Para buruh pelabuhan menolak untuk memuat logistik yang akan dikirim untuk kepentingan tentara Belanda di Indonesia. Setelah menilai bahwa Republik Indonesia tidak dapat ditaklukkan oleh Belanda dengan kekuatan militer, maka sejak akhir tahun 1947 Australia kemudian berbalik haluan dan bersikap seolah-olah membantu Indonesia.
Bukanlah rahasia, bahwa invasi TNI ke Timor Timur tahun 1975 –sehari setelah Presiden AS Gerald Ford dan penasihatnya, Henry Kissinger meninggalkan Jakarta- adalah atas persetujuan AS dan Australia, yang mengkhawatirkan Timor Timur yang merdeka akan masuk ke kubu komunis.
Pada waktu itu, Indonesia sangat bergantung kepada kubu Amerika Serikat dan IGGI (Intergovernmental Group on Indonesia, 1967 – 1992). Blok Barat tidak pernah mempermasalahkan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, dan bahkan memompakan bantuan dana yang besar serta perlengkapan militer, yang digunakan untuk invasi ke Timor Timur. Dengan pengakuan dari John Perkins (Cofession of an economic hit man), ternyata semua “bantuan” tersebut merupakan jebakan untuk membuat Negara-negara berkembang seperti Indonesia, menjadi sangat tergantung kepada Negara donor.
Setelah runtuhnya imperium Uni-sovyet, maka negara-negara barat melihat tidak ada lagi kepentingan mempertahankan diktator-diktator boneka mereka yang anti komunis. Negara-negara barat mulai melancarkan isu pelanggaran HAM untuk memojokkan para diktator yang selama perang dingin melawan blok komunis, sangat berguna bagi kepentingan blok kapitalis. Singkatnya, pendukung setia Amerika Serikat, Marcos dan Suharto, berhasil digulingkan oleh rakyatnya. Namun kini, isu pelanggaran HAM masih terus digulirkan, dengan kepentingan berbeda: Amerika Serikat tetap memerlukan “common enemy”, musuh bersama untuk konsumsi politik dalam negeri mereka, Australia tidak menginginkan tetangganya yang kuat, dan Belanda masih menyimpan dendam sejarah atas “kehilangan“ koloni mereka yang kaya.
Yang hingga kini relatif paling sering melancarkan “serangan” terhadap Indonesia sehubungan dengan pelanggaran HAM selain Amerika Serikat adalah Australia, Belanda dan Jerman. Bahkan kini beberapa anggota Parlemen Amerika Serikat dan beberapa institusi gereja di Jerman telah menyatakan sikapnya secara terang-terangan dan sangat gamblang, bahwa mereka mendukung pemisahan Papua dari NKRI.
Pemerintah AS, Australia, Inggris dan Belanda selalu bermuka dua, di satu sisi, secara resmi mereka mengeluarkan pernyataan mendukung integritas RI atas wilayahnya, namun -baik langsung maupun tidak langsung- ikut mendanai kegiatan-kegiatan yang merongrong kedaulatan RI, termasuk dalam pembentukan opini negatif yang dilakukan oleh berbagai LSM dan Institusi di negara-negara tersebut.
Kasus Papua Barat menunjukkan Pemerintah Belanda bermuka dua dalam masalah kedaulatan wilayah NKRI, yaitu penugasan dan pendanaan kegiatan Prof. Dr. Pieter Drooglever, seorang pakar sejarah di Belanda, untuk membongkar kembali Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Papua tahun 1969. Hal ini diungkapkan secara terus terang oleh mantan Menlu Belanda J. Van Aartsen, karena Menlu yang sekarang Ben Bot -dalam posisi terjepit- tidak mau mengakui, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Drooglever adalah atas penugasan dan pendanaan Pemerintah Belanda.
Setelah melakukan penelitian lebih dari 5 tahun (!), termasuk mendatangkan orang Papua ke Belanda untuk diwawancarai, pada bulan November 2005 Drooglever meluncurkan buku setebal 740 halaman yang berisi hasil penelitiannya mengenai “Act of Free Choice.” Dengan satu kalimat Drooglever menyebut bahwa “Hasil Pepera adalah suatu kecurangan.” PEPERA tersebut telah berlangsung dengan persetujuan dan di bawah pengawasan PBB, dan kemudian hasilnya juga disahkan oleh PBB. Buku ini sekarang menjadi referensi bagi orang-orang Papua Barat yang ingin memisahkan diri dari RI.
Perlu diingat, bahwa dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949, Irian Barat tidak termasuk dalam Republik Indonesia Serikat, yang memperoleh “pelimpahan kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) dari Belanda pada 27 Desember 1949. Oleh karena itu patut dicurigai, bahwa langkah Belanda yang menugaskan dan mendanai kegiatan Prof. Drooglever ini, sebagai suatu usaha untuk memisahkan Papua Barat dari NKRI. Dengan menugaskan dan mendanai kegiatan ini saja sudah dapat dikatakan sebagai tindakan yang sangat tidak bersahabat.
Juga menjadi pertanyaan besar, mengapa pemerintah Belanda, setelah 31 (!) tahun membuka kembali masalah PEPERA!
Juga perlu dicatat, bahwa hingga saat ini Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi Pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu pada waktu “penyerahan kedaulatan” (soevereniteitsoverdracht) dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang dianggap sebagai kelanjutan dari Pemerintah India Belanda (Nederlands Indië). Dan seperti disebut di atas, Papua tidak termasuk dalam RIS.
Di buku-buku sejarah di Indonesia ditulis, bahwa tentara Belanda di bawah komando Raymond Westerling antara Desember 1946 – akhir Februari 1947 telah membantai 40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan. Juga ditulis, Letkol I Gusti Ngurah Rai tewas bersama anak buahnya dalam pertempuran yang dikenal sebagai Puputan Margarana pada bulan November 1946 melawan tentara Belanda.
Namun sampai sekarang, belum pernah
dilakukan penelitian, mengapa hal-hal tersebut dapat terjadi. Bukankah pada 17
Agustus 1945 bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya? Bukankah tentara
Belanda di Eropa telah dihancurkan oleh tentara Jerman, dan Angkatan Perang
Belanda di Nederlands Indië (India
Belanda) telah dihancurkan oleh tentara Jepang awal tahun 1942? Bagaimana
Belanda dalam waktu sigkat dapat memiliki kekuatan militer yang besar, yang
dapat segera dikirim ke Indonesia untuk menumpas “pengacau keamanan” dan “ekstremis
yang dipersenjatai Jepang”?
Juga selama ini bangsa Indonesia
selalu berpendapat, bahwa yang bertanggungjawab sepenuhnya atas agresi militer
Belanda hanya pemerintah Belanda, sebagai pemberi perintah untuk melaksanakan
agresi militer di Indonesia.
Namun apabila menelusuri rangkaian
peristiwa yang mendahului agresi militer Belanda tersebut, untuk mencari kaitan
satu dengan lainnya berdasarkan kaidah kausalitas, hukum sebab-akibat (Bahasa
Jerman: Ursache und Wirkung), dengan
menelusuri latar belakang sejarah, akan terlihat Negara-negara yang
bertanggungjawab atas terjadinya berbagai peristiwa pembantaian massal,
kejahatan atas kemanusiaan, kejahatan perang serta berbagai pelanggaran HAM
berat lainnya. Akan terlihat, bahwa Inggris dan Australia ikut bertanggungjawab
atas jatuhnya korban yang sangat besar di kalangan penduduk sipil di Indonesia,
yang jumlahnya mencapai ratusan ribu jiwa.
Memang pemerintah Indonesia sendiri sampai
sekarang belum pernah melakukan
penelitian mengenai berapa jumlah korban yang sesungguhnya antara tahun 1945 –
1950.
Tahun 1969, atas desakan partai
oposisi di parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penelitian di
arsip-arsip, mengenai “ekses-ekses” yang terjadi di Indonesia atara tahun 1945
– 1950. Pemerintah Belanda menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut dalam
laporan dengan judul: De Excessennota,
Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in
Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950. Yang
disingkat sebagai De Exessennota,
artinya “Catatan Ekses.” Pakar-pakar hukum di Belanda sendiri menyatakan, bahwa
yang oleh pemerintah Belanda disebut sebagai “ekses”, tak lain adalah Oorlogsmisdaden (kejahatan perang).
Laporan ini tahun 1995 diterbitkan
oleh Jan Bank (Editor). Di dalamnya terdapat sekitar 120 peristiwa yang disebut
sebagai “ekses”, termasuk peristiwa pembantaian di Rawagede, di mana penduduk
sipil yang dibunuh hanya 20 orang. Pembantaian etnis Mandar di desa Galung
Lombok pada 1Februari 1947 diyatakan oleh pemerintah Belanda antara 350 – 400
jiwa. Sedangkan pembantaian di seluruh Sulawesi Selatan (dan Sulawesi Barat)
menurut laporan resmi, “hanya” sekitar 3.000 jiwa. Data di Rawagede menyebut,
bahwa penduduk desa yang dibunuh pada 9 Desember 1947 berjumlah 431 jiwa.
Lembaga Advokasi Korban 40.000 Jiwa (LAK) Sulawesi barattelah mendata lebih
dari 500 nama korban, di mana di antaranya terdapat wanita dan anak-anak.
Bahkan seorang saksi mata melihat, ada seorang wanita hamil juga ikut terbunuh.
Lebih dari 100 sedang dicari identitasnya.
Latar
Belakang Sejarah
Untuk dapat melihat Negara mana saja
yang ikut bertaggungjawab atas jatuhnya ratusan ribu korban dalam perang
mempertahankan kewmerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, perlu
diteliti latar belakang sejarahnya.
Dalam perang di Eropa, pada bulan Mei
1941 Belanda “digilas” oleh tentara Jerman hanya dalam tiga hari. Di Asia,
invasi Balatentara Dai Nippon ke Asia
Timur dan Tenggara, yang diawali dengan penyerangan terhadap pangkalan militer
Amerika Serikat di Pearl Harbor yang
terletak di Samudra Pasifik, pada 7 Desember 1941 berjalan dengan lancar,
sesuai dengan rencana pimpinan tertinggi militer Jepang.
Pada 27 februari 1942 armada ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command)
dihancurkan dalam pertempuran di Laut Jawa. Kemudian tentara ABDACOM di Jawa
juga dihancurkan hanya.dalam waktu satu minggu oleh tentara Jepang di bawah
komando Letjen Hitoshi Imamura, Panglima Tentara Jepang ke 16,.
Pada
9 Maret 1942 di Lanud Kalijati, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letjen Hein
ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer,
menandatangani dokumen Menyerah-Tanpa-Syarat kepada tentara Jepang, dan
menyerahkan seluruh jajahannya kepada Jepang. Dengan demikian, tanggal tersebut
menandai berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, dan Belanda telah kehilangan
hak sejarahnya, yang diperoleh dengan kekerasan. (Mengenai Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara,
silakan klik:
Lebih dari 300.000 mantan tentara
ABDACOM dan warga sipil Eropa, terutama Belanda, serta Amerika, Inggris dan
Australia yang merupakan sekutu Belanda, mendekam di kamp-kamp interniran
Jepang di seluruh Indonesia sampai berakhirnya Perang Pasifik pada 15 Agustus
1945.
Di masa pendudukan Jepang, untuk
kepentingan mendukung kekuatan militernya dan untuk membantu menjaga keamanan
serta ketertiban, Jepang melatih pribumi untuk menjadi tentara dan polisi.
Tentara gemblengan Jepang ini kemudian sangat berguna dalam perang melawan
agresi militer Belanda –dibantu tentara Inggris dan Australia- yang berusaha
menjajah kembali Indonesia.
Pada 6 Agustus 1945, Amerika
menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima, dan kemudian pada 9 Agustus di
atas kota Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak mau menyerah tanpa
syarat, bom berikutnya akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo. Pada 15
Agustus 1945, Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat. Namun dokumen Menyerah–Tanpa-Syarat
baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS Missouri, di Tokyo Bay. Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus dan 2
September 1945 terdapat kekosongan kekuasaan pemerintahan (vacuum of power) di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang,
termasuk Netherlands-Indië (India
Belanda).
Di masa kekosongan kekuasaan (vacuum
of power),.pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Pernyataan kemerdekaan ini kemudian diikuti dengan pengangkatan
Presiden dan Wakil Presiden serta pembentukan pemerintahan, sehingga ketiga
persyaratan mengenai berdirinya suatu Negara, yaitu:
- Adanya penduduk yang permanen,
- Adanya wilayah, dan
- Adanya pemerintahan,
telah
terpenuhi, sebagaimana disyaratkan dalam Konvensi Montevideo, Uruguay, yang ditandatangani
pada 26 Desember 1933. (Mengenai Keabsahan Proklamasi 17.8.1945, klik: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/12/keabsahan-proklamasi-17-agustus-1945.html)
Pemerintah Republik Indonesia yang
baru dibentuk menyatakan, bahwa wilayah Republik Indonesia adalah seluruh
wilayah bekas Netherlands Indië
(India Belanda). Pernyataan batas wilayah Negara ini berdasarkan azas Uti possidetis Juris (iuris), yaitu penentuan batas-batas
Negara bekas jajahan Negara lain. Hukum ini diadopsi dari hukum Romawi.
Dengan demikian, proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia yang dicetuskan pada 17.8.1945, dicetuskan, bukan
merupakan pemberontakan terhadap negara manapun, baik terhadap Jepang maupun
Belanda, karena Jepang telah menyatakan menyerah kepda tentara Sekutu, dan
pemerintahan Netherlands Indië-pun
tidak ada sejak tanggal 9 Maret 1942. Juga bukan revolusi, karena tidak ada
pemerintahan yang digulingkan. Mengenai periode antara tahun 1945 – 1950 bukan merupakan
perang kemerdekaan, melainkan perang mempertahankan
kemerdekaan.
Tanggal 10 Juni 1947, Mesir merupakan
Negara pertama yang mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian disusul
oleh Liga Arab dan India, setelah merdeka dari penjajahan Inggris. Dengan
demikian, syarat keempat Konvensi Montyevideo telah terpenuhi, yaitu
kesanggupan untuk melakukan hubungan internasional. Walaupun Konvensi
Montevideo telah memberi catatan, bahwa tanpa adanya pengakuan dari Negara
lain, Negara tersebut berhak mempertahankan kedaulatannya, sebagaimana
dilakukan oleh bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi
militer Belanda.
Belanda Ingin Berkuasa Di Indonesia
Pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia tidak mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini
sebagai pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda,
apabila Nederlands Indië tidak lagi
di bawah kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas
jajahannya akan hilang. Selain itu, penghasilan dari India Belanda menyumbang
hampir 10 % budget Negara (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda.
Slogan yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (maksudnya Indonesia, jajahannya)
hilang, timbul malapetaka.
Namun setelah usai Perang Dunia II,
Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda telah
digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India Belanda,
ditaklukkan oleh balatentara Dai Nippon tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di
India Belanda, dimasukkan ke kamp-kamp interniran. Setelah mereka dibebaskan
dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu, kondisi fisik para prajurit Belanda sangat
menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit mengakibatkan fisik mereka
sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk perang.
Oleh karena itu, selain melakukan
wajib militer di Belanda, Belanda melakukan perundingan untuk meminta bantuan
militer. Semula mantan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus van Mook mengadakan
perundingan dengan Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi
Tentara Sekutu untuk Wilayah Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command).
Namun untuk mempercepat
penguasaan Sekutu atas Jepang, maka pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman,
dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus
secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas
kepulauan Hindia Belanda kepada Komando Asia Tenggara (South
East Asia Command) di bawah Vice Admiral Lord Louis
Mountbatten.
Pemerintah Belanda kemudian melakukan
perundingan dengan pemerintah Inggris di Chequers, tempat peristirahatan
Perdana Menteri Inggris yang letaknya sekitar 100 km dari London. Pada 24
Agustus 1945 ditandatangani perjanjian yang dinamakan Civil Affairs Agreement, di mana Inggris bersedia membantu Belanda
untuk memperoleh kembali jajahannya, India Belanda, dengan kekuatan militer.
Daerah-daerah yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata Republik
Indonesia, akan diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA).
Untuk melaksanakan tugas ini, ditunjuk
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten,
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia Tenggara, yang telah diberi perintah
oleh Tentara Sekutu untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan para
interniran. Tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1.
Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese
Imperial Forces),
2.
Membebaskan para tawanan serta
interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War
and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3.
Menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and
order).
Namun sejarah mencatat, bahwa ternyata
ada agenda rahasia (hidden agenda)
yang dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundingan antara pemerintah
Inggris dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara Sekutu dan
tugas tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk tugas-tugas
tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris-India (British-Indian Divisions). Untuk
memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara
Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morsehead, yang sebelumnya berada di bawah
komando MacArthur di South West Pacific
Area Command.
Pada
tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi
diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa
nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara
Amerika, bukan tentara Inggris. Tentara
Australia yang memang telah berada di wilayah bekas jajahan Belanda bagian
timur, dapat dengan segera melaksanakan tugas mereka melucuti tentara Jepang
dan menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Pada
waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan
konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi
kepada status quo, seperti sebelum
invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral
antara Belanda dan Inggris di Chequers,
mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Mungkin jalan sejarah akan
lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada
komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah
mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24
Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat
dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan
menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa
tentara Belanda dengan berkedok RAPWI.
Untuk
pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied
Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India
Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred
Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Christison sendiri baru tiba di Jakarta
tanggal 30 September 1945.
Tiga divisi tentara Inggris di bawah
komando Letjen Phillip Christison untuk Sumatera dan Jawa serta 2 divisi
tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie “Ming the merciless” Morsehead di Indonesia Timur, “membersihkan”
kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, sebelum adanya Tentara
Republik Indonesia (TRI),dan kemudian Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pasukan
Australia di Indonesia Timur berhasil menghancurkan sebagian besar perlawanan
bersenjata pendukung Republik Indonesia.
Pasukan
Inggris yang akan ditugaskan adalah British-Indian
Divisions, yaitu Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk
Sumatera, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa
Barat dan Tengah dan khusus untuk JawaTimur dikerahkan satu divisi, yaitu Divisi
5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, yang memenangkan pertempuran di El Alamein, Afrika Utara melawan pasukan
Jerman di bawah komando Marsekal Erwin Rommel yang legendaris.
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander
S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial
Forces.
Re.
Directive ASD4743S.
You are
instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies
to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to
release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with
the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and
return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services.
The main landing
will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown
themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence
reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which
affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no
doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to
maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a
sucessful campaign.
(signed)
Mountbatten
____________________
Vice
Admiral.
Supreme
Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“In keeping with the
provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return
the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services.”
dan
kalimat berikutnya:
“……the local natives have
declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which
existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan
secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada
Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo
yang ada sebelum invasi Jepang.”
Reid, Anthony J.S., Revolusi Nasional
Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Dua Divisi tentara Australia ditugaskan
untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur
lainnya. Anthony Reid, sejarawan Australia dalam bukunya yang berjudul Revolusi Nasional Indonesia, mencatat:
“Tentara Australia ini sebelumnya
termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan
tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi
wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali
Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo
Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian,
mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara
Australia,
-
di
Kupang tanggal 11 September 1945,
-
di
Banjarmasin tanggal 17 September,
-
di
Makasar tanggal 21 September,
-
di
Ambon tanggal 22 September,
-
di
Manado tanggal 2 Oktober,
-
di
Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama
kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian
besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi
dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan
untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan
pemerintahan oleh pihak Belanda.”
Kemudian,
atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta
kepulauan di bagian timur, kecuali Bali dan Lombok, kepada tentara Australia.
Namun kemudian, Inggris juga “menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok
kepada tentara Australia, sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris
hanya Sumatera, Jawa dan Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa kepada
Belanda dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia
Timur, karena Belanda sendiri pada tahun 1945 belum dapat membentuk satuan
bersenjata yang terorganisir. Yang ada hayalah bekas tawanan Jepang yang
kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.
15 Juli 1946, Awal Malapetaka Di
Sulawesi Dan Bali
Setelah menilai, bahwa seluruh wilayah
Indonesia Timur “bersih” dari kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia,
pada 15 Juli 1946 tentara Australia menyerahkan seluruh wilayah Indonesia Timur
kepada Netherlands Indies Civil
Administration (NICA), sesuai dengan perjanjian Chequers. Pada 16 Juli
1946, Wakil Gubernur Jenderal van Mook menggelar Konferensi Malino, yang
meletakkan dasar pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam Konferensi di
Denpasar bulan Desember 1946, Negara Indonesia Timur disahkan.
Sementara di Linggajati tengah
dilakukan perundingan perdamaian yang difasilitasi oleh Inggris, di
daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, setelah menghadapi perlawanan sengit
dari rakyat setempat, tentara Belanda melancarkan teror serta pembantaian masal
terhadap penduduk di daerah-daerah yang mendukung Republik.
Walau pun banyak pemimpin mereka
ditangkap, dibuang dan bahkan dibunuh, perlawanan rakyat di Sulawesi Selatan
dan di Bali tidak kunjung padam. Hampir setiap malam terjadi serangan dan
penembakan terhadap pos-pos pertahanan tentara Belanda. Para pejabat Belanda
sudah sangat kewalahan, karena tentara KNIL yang sejak bulan Juli menggantikan
tentara Australia di Sulawesi Selatan tidak sanggup mengatasi gencarnya
serangan-serangan pendukung Republik. Mereka menyampaikan kepada pimpinan
militer Belanda di Jakarta, bahwa apabila perlawanan bersenjata pendukung
Republik tidak dapat diatasi, mereka harus melepaskan Sulawesi Selatan.
Maka pada 9 November 1946, Letnan
Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil
seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar
tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus yaitu Depot Speciaale Troepen (DST) pimpinan
Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan
semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan
penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang
perlu.
Pada 15 November 1946, Letnan I
Vermeulen ditugaskan memimpin rombongan yang terdiri dari 20 orang pasukan dari
Unit Pasukan Khusus (DST) menuju Makassar. Sebelumnya, NEFIS telah mendirikan
markasnya di Makassar. Pasukan khusus tersebut diperbantukan ke garnisun
pasukan KNIL yang telah terbentuk sejak Oktober 1945. Anggota DST segera
memulai tugas intelnya untuk melacak keberadaan pimpinan perjuangan Republik
serta para pendukung mereka.
Westerling sendiri baru tiba di
Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus DST. Dia
mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya
sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift
voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas
di bidang Politik dan Polisional), di
mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk
dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter
Insurgency yang dikatakannya untuk membasmi pemberontakan.
Aksi pertama operasi Pasukan Khusus
DST dimulai pada malam tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa
Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling
sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang
dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua
dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan
Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard
dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di
desa Batua.
Pada fase pertama, pukul 4 pagi
wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai
penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Semua rakyat digiring ke desa Batua.
Pada fase ini, 9 orang yang berusaha melarikan diri langsung ditembak mati.
Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat
dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak diketahui
berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara
3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari
pria.
Fase kedua dimulai, yaitu mencari
“kaum ekstremis”, “perampok”, “penjahat” dan “pembunuh.” Westerling sendiri
yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke
bahasa Bugis. Dia memiliki daftar nama “teroris” yang telah disusun oleh
Vermeulen. Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantunya mengidentifikasi para
“teroris” tersebut. Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh langsung dieksekusi
di tempat. Metode Westerling ini dikenal dengan nama Standrechtelijke executie (eksekusi di tempat). Dalam laporannya
Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 “ekstremis”, 23
“perampok” dan seorang “pembunuh.”
Fase ketiga adalah ancaman kepada
rakyat untuk tindakan di masa depa, penggantian Kepala desa serta pembentukan
polisi desa yang harus “melindungi” desa dari anasir-anasir “teroris dan
perampok.” Setelah itu rakyat disuruh pulang ke desa masing-masing. Operasi
yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 telah mengakibatkan tewasnya
44 rakyat desa.
Demikianlah “sweeping a la Westerling.” Dengan pola yang sama, operasi
pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus. Westerling juga memimpin
sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13
Desember 1946. 61 orang ditembak mati. Selain itu beberapa kampung kecil di
sekitar desa Tanjung Bunga dibakar, sehingga korban tewas seluruhnya mencapai
81 orang.
Berikutnya pada malam tanggal 14
menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran
kota Makassar. “Hasil”: 23 orang rakyat ditembak mati. Menurut laporan
intelijen mereka, Wolter Robert Mongisidi dan Ali Malakka yang diburu oleh
tentara Belanda berada di wilayah ini, namun mereka tidak dapat ditemukan. Pada
malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di
sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang “teroris”
dieksekusi.
Setelah daerah sekitar Makassar
“dibersihkan”, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya
adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan
intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100
orang anggota laskar berenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu
bersama 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini
dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan
Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung
Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama
diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini 330 orang rakyat tewas dibunuh.
Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan
pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu
tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan
kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL. Korban tewas di
kalangan penduduk berjumlah 257 orang.
Untuk lebih memberikan keleluasaan
bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor memberlakukan noodtoestand
(keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola
seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus ini berjalan terus.
Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan
di Madello (15.1.), Abokangeng (16.1.), Padakalawa (17.1.), satu desa tak
dikenal (18.1.) Enrekang (18.1.) Talanbangi (19.1.), Soppeng (22.1), Barru
(25.1.) Malimpung (27.1) dan Suppa (28.1.).
Pada hari Sabtu tanggal 1 Februari
1947, seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan Westerling dalam menebar terror
di masyarakat di Sulawesi Selatan (sekarang sebagian termasuk Sulawesi Barat).
Pasukan DST dipimpin oleh Letnan Vermeulen. Fase pertama adalah, orang-orang
dari desa-desa di sekitar desa Galung Lombok, dekat Majene, dikumpulkan dan
digiring ke desa Galung Lombok. Hari Sabtu di daerah itu adalah hari pasar, dan
semua orang yang sedang berada di pasar-pasar di desa-desa di sekitar Galung
Lombok digiring ke desa Galung Lombok. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Juga
ada yang diangkut dengan truk karena jaraknya jauh, seperti dari Soreang, yang
berjarak 38 km dari Galung Lombok, namun sebagian terbesar berjalan kaki
sekitar 5 – 10 km. Pasukan Depot Speciale
Troepen (DST) yang ke Majene dipimpin oleh Letnan Vermeulen.
Ribuan rakyat itu dipaksa menyaksikan
eksekusi terhadap orang-orang yang oleh Belanda dituduh sebagai ekstremis,
perampok atau pembunuh. Semua tahanan dari penjara-penjara dibawa ke Galung
Lombok untuk kemudian langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
Sebenarnya pola yang akan dilakukan di
desa Galung Lombok juga sama, yaitu fase pertama, seluruh masyarakat digiring
ke satu lapangan besar yang terbuka, kemudian perempuan dan anak-anak
dipisahkan. Fase kedua, dilakukan seleksi terhadap orang-orang yang dipandang
sebagai ekstremis, perampok dan pembunuh. Berdasarkan daftar yang mereka
peroleh dari intel Belanda yang kebanyakan dibantu oleh pribumi, komandan
tentara Belanda memanggil nama-nama yang ada di daftar, dan langsung ditembak
mati. Yang diambil dari penjara juga langsung ditembak mati, karena dianggap
sebagai perampok atau pembunuh.
Namun di tengah-tengah berlangsungya
eksekusi, masuk laporan bahwa di satu desa, sekitar 3 kilometer dari Galung
Lombokterjadi penghadangan terhadap patrol Belanda, yang mengakibatkan tewasnya
tiga orang tentara Belanda. Vermeulen kemudian meninjau langsung lokasi
penghadangan tersebut.Melihat kondisi mayat ketiga tentara Belanda, Vermeulen
sangat marah.
Sekembalinya ke desa Galung Lombok,
dia langsung memerintahkan untuk melakukan penembakan secara membabi buta.
Akibatnya,diperkirakan lebih dari 600 rakyat Mandar tewas dalam pembantaian
etnis tersebut.
Pada 7 dan 14 Februari di pesisir
Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong.
Seorang saksi mata yang mengalami
sendiri pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di bawah Westerling adalah
Sitti Hasanah Nu’mang. Berikut adalah cuplikan penuturannya:[1]
“...
Dengan tidak diduga-duga, serdadu NICA mulai mendatangi rumah, dan membawa ayah
pergi. Tidak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil paman saya,
Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran saya dibawa ke kantor
MP (Polisi Militer). Di sini saya bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi
teman-teman seperjuangan yang lain.
Dua
minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, kami lalu dibawa ke penjara besar
Pare-Pare. Kami bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan
lebih menjadi penghuni rumah tahanan.
Pagi
itu tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep MP berhenti di
depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti
beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap
bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang stengun. Mereka masuk
penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum
diadili. Lalu kami disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor.
Sampai di depan kantor, kami disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian,
kami diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begitu kami berhenti, kami dibentak disuruh
berangkat menuju ke barat. Di lapangan tenis, para serdadu tersebut
berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, saya tetap berdiri
di tengah, dekat ayah. Saya pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama
ditembak juga.
Tak
lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda,
seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan
pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling itu mendekati
ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya
akan selesaikan satu persatu!!” Kemudian terdengar suara tembakan yang
memberondong, yang tidak akan saya lupakan seumur hidup. Ayah gugur ..... Satu
per satu saudara saya roboh ke tanah. Selesai menembak, Westerling melangkah di
depan saya lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?’
‘Heh,
Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami
sendiri!!!’, teriak saya geram...
...Saya
diam termanggu-manggu, heran mengapa saya disisakan, tidak dibunuh bersama yang
lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorong saya, saya disuruh naik jeep, kembali
ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, saya masih sempat menoleh, melihat
jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan di tanah ...
Hari
itu saya bermalam di MP. Besoknya, saya dibawa lagi ke penjara besar Pare-Pare.
setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya saya dipindahkan, dicampur
dengan perempuan nakal. Di sini saya tinggal lima malam. Malam itu, kira-kira
pukul 21.00 malam, kamar saya dibuka penjaga, seorang MP. “Bangun! Dipanggil
Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Saya
tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar
Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian saya
kenal sebagai van der Velaan dan seorang KNIL yang saya tidak tahu namanya.
Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja,
membelakangi saya sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang
dituang, saya tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada saya
sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” saya dipaksa minum sambil pistolnya
dipegang-pegang. Belum seberapa saya meminumnya, kepala saya langsung pusing.
Saya melihat dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan ... saya pun
tidak sadarkan diri.
Kira-kira
pukul 05.00 subuh, saya baru sadar. Saya langsung marah-marah mencaci maki
Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang
ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!”
Subuh itu juga saya tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamar saya semula. Dalam
kesendirian saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya
... Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu ...
Saksi
mata lain yang mengalami kekejaman tentara Belanda adalah Hj. Oemi Hani A.
Salam. Ia menuturkan:[2]
... Setelah itu,
saya dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah
tahanan yang ada bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti
Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis
PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.
Saya masih
meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi
peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari
1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah
menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain
daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara
Baru, anggota Dewan Penasihat PRI, bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga,
Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H.
Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan
di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul
adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut
digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai
habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana),
Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota
Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI),
Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi
yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari
tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.
Sepuluh hari
setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu,
menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra
(Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab
Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro
RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan
Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan
tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan
Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara
mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonran7 dan Abdul Wahab
Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul
bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya.
Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara
bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di
bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.
...Kami bersyukur
bahwa kami luput dari pembunuhan kejam
tersebut karena nama kami, yakni Ibu Depu, Rusidah, saya dan lain-lain tidak
terdapat dalam daftar ‘perampok’. ...
Setelah
itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus
DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17
Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana
364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian rakyat Sulawesi Selatan bereskalasi di desa Kulo,
Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan
bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi
terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai
berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara
sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena
berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk
kemudian dibunuh.
Di banyak
tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi melainkan ikut menembak mati
rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh. H.C. Kavelaar,
seorang wajib militer di KNIL adalah
saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15
penduduk dibunuh. Dia menyaksikan bagaimana Westerling sendiri menembak mati
beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST
dengan sten gun.
Di semua
tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel
Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan,
menghianati bangsanya sendiri, dan bahkan sampai dibunuh oleh penjajah. Pada
aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama
Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda.
Berdasarkan
laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di
Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari
1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het
Leger - VPTL (Pedoman Pelaksanaan
bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST
ditarik kembali ke Jawa.
Dengan
keberhasilan menumpas para “teroris”, tentu saja di kalangan Belanda –baik
militer mau pun sipil- reputasi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Kapten
Westerling melambung tinggi. Media massa Belanda memberitakan secara
superlatif. Ketika pasukan DST tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947,
mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.”
Berita pers Belanda sendiri yang kritis mengenai pembantaian di Sulawesi
Selatan baru muncul untuk pertama kali bulan Juli 1947.
Kamp DST
kemudian dipindahkan ke Kalibata, dan setelah itu, karena dianggap sudah
terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan
Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus
tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL
(Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59
serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale
Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis.
Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan
pangkatnya naik menjadi Kapten.
Berapa
ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda
hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan
kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan
oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi
Selatan berkisar 20.000 – 40.000 jiwa.
Pada bulan Januari 1969 Prof. Joop Hueting, seorang
veteran tentara Belanda yang ikut dalam agresi militer Belanda di Indonesia
pertama kali memecah kebisuan di Belanda. Dalam suatu wawancara di televisi
Belanda dia mengungkapkan berbagai kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara
Belanda di Indonesia. Partai oposisi di Parlemen Belanda mendesak pemerintah
untuk melakukan penelitian mengenai kebenaran hal-hal yang disampaikan oleh
Hueting.
Pemerintah
Belanda membentuk tim antar departemen yang meneliti arsip arsip laporan resmi
yang berhubungan dengan agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 –
1950.
Dalam laporan
resmi Pemerintah Belanda di De
Excessennota, disebutkan bahwa sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai
oleh anak buah Westerling. Westerling
sendiri menyatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya
“hanya” 600 (!) orang. Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat
lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang
dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence
to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil
Gubernur Jenderal Dr. van Mook.
Setelah selesai perundingan di
Linggajati bulan November 1946, di samping terus memperkuat angkatan perangnya
di seluruh Indonesia terutama di Jawa dan Sumatera, untuk mengukuhkan kekuasaan
mereka di wilayah Indonesia Timur, sebagai kelanjutan “Konferensi Malino”
diselenggarakan pertemuan lanjutan di Pangkal Pinang tanggal 1 Oktober 1946 dan
kemudian Belanda menggelar “Konferensi Besar” di Denpasar tanggal 18 – 24
Desember 1946.
Puputan
Margarana, Bali
Pulau Bali ternyata belum sepenuhnya
dikuasai oleh Belanda. Menjelang persiapan “Konferensi Besar” di Denpasar bulan
Desember 1946, pasukan Ciungwanara di bawah pimpinan Kolonel I Gusti Ngurah Rai
terus melakukan penyerangan terhadap pos pertahanan Belanda. Tanggal 19
November 1946, Pasukan Ciungwanara menyerang Tabanan. Belanda melakukan
serangan balasan. Tanggal 20 November 1946 pukul 06.00, pasukan Belanda memulai
penyerangan. Pasukan Ciungwanara terkepung di suatu dataran tinggi di Kelaci,
dekat desa Marga. Belanda menyerang dari semua arah, serta menjatuhkan bom dari
udara. Setelah melihat mereka terkepung dan teman-temannya tewas, Ngurah Rai
menyerukan: “Puputan! Puputan!” seruan tersebut diikuti oleh anak buahnya, dan
mereka bertempur sampai titik darah terakhir. Jam 17.00 pertempuran berakhir. Kolonel
I Gusti Ngurah Rai gugur sebagai bunga bangsa, bersama 95 anak buahnya pada
pertempuran tanggal 20 November 1946, yang kemudian terkenal dengan nama Perang
Puputan Margarana. Ini adalah suatu
bukti lagi kebohongan Belanda, yang menyatakan bahwa di daerah yang mereka
kuasai, rakyat setempat mendukung mereka.
Pecahnya
“Kebisuan Kolektif” di Belanda
Selama 20 tahun sampai tahun 1969, di
Belanda seolah-olah ada “gerakan tutup mulut kolektif”, dan samasekali tidak
pernah diberitakan mengenai kekejaman yang telah dilakukan oleh tentara Belanda
selama agresi militer Belanda tersebut.
Kebisuan ini “dipecahkan” oleh Prof.
Joop Hueting, Guru Besar Psikologi, yang mengritisi berbagai kecaman di Belanda
atas pembantaian yang dilakukan oleh tentara Amerika di My Lai, Vietnam pada
bulan April 1968, yang baru terungkap akhir 1968. Prof. Hueting, yang adalah
mantan wajib militer yang ditugaskan untuk perang di Indonesia mengatakan,
bahwa yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1946 – 1949
lebih kejam daripada yang dilakukan oleh tentara Amerika tersebut. Pernyataan
ini tentu sangat mengejutkan masyarakat di Belanda. Prof. Hueting diwawancarai
oleh berbagai media, di mana dia juga mengungkapkan apa yang telah dilakukan
olehnya dan pasukannya.
Pada bulan Januari 1969 parlemen
Belanda mendesak pemerintah Belanda melakukan penelitian terhadap hal-hal yang
telah disampaikan oleh Prof. Hueting. Pemerintah Belanda membentuk tim antar
departemen, yang pada bulan Juni menyampaikan laporannya, yang diberi judul “De Excessennota, Nota betreffende het
archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door
Nederlandse militairen in de periode 1945-1950.” Di dalamnya terdapat
laporan sekitar 140 “ekses” yang telah dilakukan oleh tentara Belanda. Namun
pakar-pakar hukum di Belanda menyebut, bahwa yang dinamakan “ekses” oleh
pemerintah Belanda, tak lain adalah Oorlogsmisdaden,
kejahatan perang.
Dalam sambutannya di Jakarta pada 16
Agustus 2005 di Jakarta, Menlu Belanda Ben Bot mengakui, bahwa pengerahan
militer secara besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang
salah, di mana jatuh korban di kedua belah pihak. Namun kalau dilakukan
perbandingan jumlah yang tewas, akan terlihat, bahwa ucapan ini tidak sesuai
dengan fakta di lapangan. Di pihak Belanda sekitar 6.000 orang tewas, semuanya
tentara. Namun tidak semuanya mati dalam pertempuran, melainkan juga banyak
yang mati karena sakit atau bunuh diri, seperti kabarnya yang dilakukan oleh
Letjen Simon Spoor, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, yang
menembak kepalanya sendiri karena kecewa atas disetujuinya perundingan
perdamaian antara Belanda dan Republik Indonesia.
Di Rawagede (sekarang bernama
Balongsari) pada 9 Desember 1947 terjadi pembantaian atas 431 penduduk
desa. Mereka juga tewas dibantai tanpa
proses,. Demikian juga yang terjadi di Kranggan, dekat Temanggung, Jembatan
Ratapan Ibu di Payakumbuh, dll. Juga terjadi tragedi kemanusiaan dalam
peristiwa yang dikenal sebagai Gerbong Maut Bondowoso-Surabaya.
Korban di pihak Indonesia, menurut
catatan Belanda, sekitar 150.000 orang. Sangat disayangkan, pihak Republik
Indonesia sendiri tidak pernah melakukan penelitian, berapa sebenarnya jumlah
korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, demikian juga kehancuran perumahan,
bangunan dan perekonomian rakyat. Sebagian besar korban tewas adalah penduduk
sipil, non combatant. Apabila
membandingkan jumlah korban di beberapa daerah dengan angka resmi yang
dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 di De Exessennota terlihat perbedaan yang cukup besar mengenai jumlah
yang tewas. Sebagai contoh, peristiwa pembantaian di desa Rawagede. Dalam
laporannya pemerintah Belanda menyebut jumlah penduduk yang dibunuh 20 orang,
sedangkan menurut data setempat, jumlah penduduk yang dibantai tanpa proses
pada 9 Desember 1947 sebanyak 431 orang. Demikian juga di daerah-daerah lain,
jumlah korban ternyata jauh lebih banyak dibandingkan data dalam laporan
pemerintah Belanda. Selain itu, sangat banyak peristiwa pembantaian yang tidak
ada dalam laporan resmi pemerintah Belanda tersebut. Oleh karena itu jumlah
korban tewas di seluruh Indonesia diperkirakan lebih dari 800.000 jiwa, dan
mungkin dapat mencapai 1 juta jiwa.
Hubungan
“Diplomatik” Republik Indonesia – Belanda Yang Janggal
Latar belakang lembaran hitam sejarah
Belanda selama agresi militernya ini yang menempatkan pemerintah Belanda dalam
posisi yang sangat dilematis, (memakai kata-kata dari Menlu Ben Bot, yang
diucapkannya pada 16 Agustus 2005: “pengerahan kekuatan militer secara
besar-besaran telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah”), dan
tidak dapat melakukan hubungan diplomatik yang “normal” dengan pemerintah
Republik Indonesia.
Hal ini juga yang diungkapkan a.l.
oleh Angelien Eijsink, anggota parlemen Belanda dari Fraksi Partai Buruh (Partij van de Arbeid - PvdA), yang membidangi
masalah veteran Belanda di Tweede Kamer,
sebagaimana diungkapkannya dalam pertemuan dengan pimpinan KUKB di parlemen
Belanda pada 15 Desember 2005.
Senada dengan pernyataan Angelien
Eijsink juga dikatakan oleh Ad van Liempt, jurnalis senior Belanda dari Media
Tv Belanda Andere Tijden, dalam
pertemuan dengan pimpinan KUKB di Hilversum pada 18 Desember 2005.
Kesulitan besar yang dihadapi
pemerintah Belanda apabila mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah, bahwa dengan demikian
pemerintah Belanda mengakui, yang mereka namakan “aksi polisional I dan II”
adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Akibatnya adalah, tentara Belanda menjadi penjahat perang. Hal inilah yang
paling dikuatirkan oleh para veteran Belanda. Selain itu, pemerintah Indonesia
dapat menuntut pampasan perang, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara yang
pernah diduduki oleh tentara Jepang selama Perang Pasifik. Pengakuan ini juga
membuka peluang bagi Indonesia untuk menuntut pemerintah Belanda ke Mahkamah
Kejahatan Internasional (International
Criminal Court – ICC) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Di International
Criminal Court, ada empat kejahatan yang tidak mengenal azas kadaluarsa,
yaitu:
- Genocide (Pembersihan/pembantaian etnis)
- Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
- War crime (kejahatan perang) dan
- Crime of aggression (kejahatan agresi).
Yang selama 60 tahun dikuatirkan oleh
pemerintah Belanda kini telah terbukti. Pada 15 Desember 2005, pimpinan KUKB membawa
masalah penolakan Belanda untuk mengakui
de jure kemerdekaan RI 17.8.1945 dan
peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desember 1947. (Mengenai
perjuagan KNPMBI dan KUKB, lihat:
Seluruh Indonesia dapat melihat,
mendengar dan membaca putusan pengadilan sipil di Den Haag pada 14 September
2011, yang menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut, dan memberi kompensasi kepada para janda dan satu korban
selamat terakhir. Putusan pengadilan ini dapat menjadi juris prudensi untuk
kasus-kasus serupa, yaitu peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakuakn oleh
tentara Belanda di seluruh Indonesia, di masa agresi militer Belanda.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Barat serta pertempuran Puputan Margarana, adalah dua peristiwa besar
yang tercatat dalam buku sejarah, yang apabila ditinjau dari sudut
Sebab-Akibat, maka dapat dikatakan, bahwa Australia dan jugaInggrisiktu
bertanggungjawab bahwa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi.
Dalam
seminar Internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober
2000, Duta Besar Inggris, Richard Gozney, telah mengakui terus terang, bahwa memang
politik Inggris pada waktu itu membantu Belanda untuk memperoleh kembali
jajahannya. (Mengenai kegiatan menuntut pemerintah Inggris atas pemboman
Surabaya... dan telah berhasil, lihat:
Pernyataan
Dubes Inggris Richard Gozney pada 27.10.2000:
Australia sampai detik ini masih
bungkam mengenai peranan tentara Australia dalam upaya Belanda berkuasa kembali
di Indonesia.Juga merasa tidak ikut bertanggungjawab atas ribuan korban yang
tewas di pihak Indonesia.
Dan pemerintah Belanda…? Ketika Menlu
Ben Bot di Jakarta pada 16.8.2005 hanya menyampaikan rasa penyesalan –bukan
meminta maaf- atas jatuhnya banyak korban jiwa di Indonesia. Pernyataan
penyesalan ini menuai kritik tajam di kalangan konservatif di Belanda, yang
tetap bersikukuh bahwa “aksi polisional” mereka benar.
Referensi
- Bank, Jan, (Editor), De Excessennota, Nota betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in Indonesië begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950, Sdu Uitgeverij Koninginnengracht, Den Haag, 1995.
- Dr. H. Roeslan Abdulgani, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.
- Profesor Benedict Anderson, Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Hutagalung, Batara R. 10 November 1945. mengapa Inggris Membom Surabaya? Millenium Publisher. Jakarta 2001.
- Hutagalung, Batara R. Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010.
- Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, Anak Bangsa Dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, (Naskah).
- Prof. Ahmad Subarjo Joyoadisuryo, SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.
- Joyce C. Lebra, Tentara Gemblengan Jepang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
- Willy Meelhuijsen, Revolutie in Soerabaja, 17 Augustus – 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, 2000.
- Jenderal TNI DR. A.H. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Mega Bookstore, Jakarta, 1966.
- Dr. A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Diplomasi atau bertempur, jilid 2. Penerbit Angkasa, Bandung, 1977
- DR. A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Periode KMB, jilid 11, Penerbit Angkasa, Bandung, 1979.
- Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996.
- Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
- Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 – 3, Jakarta 1963.
- Charles Wolf, Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.
- Yong Mun Cheong, H.J.van Mook and Indonesian Independence. A study of his role in Dutch – Indonesian Relations, 1945 – 1948, Marinus Nijhoff, Den Haag, 1982.
*******
Kumpulan
tulisan saya dapat dibaca di weblogs:
[1] Nu’mang,
Siti Hasanah, dalam: Seribu Wajah
Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo, Jakarta
1995, hlm.
258 – 263.
[2]
Salam, Hj. Oemi Hanni A., dalam: Seribu
Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah Revolusi ’45, Grasindo,
Andi Tenri Gappa di Makassar. Ketika
itu telah berusia 83 tahun dan kondisi kesehataannya sangat baik.