MEMBUKA LEMBARAN SEJARAH
MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NEGARA, MEMBELA
MARTABAT BANGSA
DAN
MEMPERJUANGKAN
KEADILAN UNTUK KORBAN AGRESI MILITER 1945 - 1950
Oleh
Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Umum
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Pada 14 September 2011, pengadilan
sipil di Den Haag, Belanda, memenangkan gugatan yang dimajukan oleh 8 orang
janda dan satu korban selamat dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara
Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari). Pada 9 Desember 1947,
sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal perang AS Renville, tentara Belanda membantai 431
penduduk sipil di desa Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, tanpa suatu
proses hukum apapun.
Pengadilan sipil di Belanda tersebut
menjatuhkan vonis, yang menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus
memberikan kompensasi kepada para penggugat. Namun sebagai salahsatu dasar yang
dipakai adalah, bahwa wilayah tersebut (Rawagede, Jawa Barat) adalah wilayah
Belanda sampai akhir tahun 1949, sehingga kasus tersebut masuk ke dalam
yuridiksi Belanda. Juga pengacara para penggugat menggunakan pasal-pasal dalam
hukum Belanda. Dengan demikian, pemerintah Belanda dinyatakan bersalah atas
tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda terhadap warganya,
di wilayah Belanda.
Apabila diteliti lebih dalam, maka
vonis pengadilan sipil di Belanda ini tajam di kedua sisinya. Di satu pihak
memenangkan gugatan warga Rawagede, namun di lain pihak, menguatkan posisi
pemerintah Belanda, bahwa wilayah tersebut masih wilayah Belanda sampai 27
Desember 1949. Vonis ini berarti, yang menerima kompensasi tersebut adalah
warga Belanda, dan pemerintah Belanda dimenangkan secara politis, karena hingga
detik ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Selain itu hukum di Belanda
menyatakan, bahwa yang berhak menggugat hanya para janda dan korban selamat,
sehingga keturunan para korban tidak berhak menggugat. Jadi dari korban di desa
Rawagede sebanyak 431, yang mendapat kompensasi hanya Sembilan orang. Pemberian
kompensasi hanya untuk 9 orang ini menimbulkan ketidakadilan untuk keluarga
korban pembantaian yang tidak menerima sepeser pun. Kompensasi untuk 9 orang
ini mengakibatkan kericuhan besar di desa Rawagede/Balongsari, yang melibatkan
seluruh jajaran pemerintahan di Kabupaten Karawang, dari mulai Bupati sampai ke
perangkat desa Balongsari.
Vonis pengadilan sipil di Belanda ini
sangat bertentangan dengan tujuan utama menuntut pemerintah Belanda, yaitu agar
pemerintah Belanda mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945, dan memperjuangkan keadilan untuk seluruh
rakyat Indonesia korban agresi militer Belanda antara 1945 – 1950.
Kini, setelah jelas dasar pengambilan
keputusan hakim di Belanda, maka apabila akan menggugat pemerintah Belanda
berdasarkan hukum Belanda dan dengan menggunakan pasal-pasal dalam hukum
Belanda, berarti yang akan dibela adalah warga Belanda, dan dengan demikian
tidak ada gunanya menuntut pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945.
Pokok
Permasalahan
Selama lebih dari 50 tahun -tepatnya
sampai 10 November 1999, yaitu ketika Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya
Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) menuntut pemerintah Inggris atas
pemboman Surabaya November 1945- tidak ada satupun, baik perorangan maupun
lembaga di Republik Indonesia yang mempertanyakan, apalagi mempermasalahkan berbagai
kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan peristiwa-peristiwa
pembantaian terhadap penduduk sipil yang terjadi di wilayah pendudukan Jepang
antara tahun 1942 – 1945, dan yang terjadi di wilayah Republik Indonesia antara
tahun 1945 – 1950, yaitu ketika Belanda melancarkan agresi militer.
Tidak ada yang pernah meneliti,
mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Apa penyebab yang
sebenarnya? Mengapa ketika Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS), justru Republik Indonesia Serikat (kenudian
setelah RIS dibubarkan, cicilan pembayaran terus dilakukan oleh pemerintah
Republik Indonesia) yang harus membayar kepada pemerintah Belanda sebesar 4
½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $)? Di dalamnya
termasuk biaya untuk dua agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap
Republik Indonesia.
Juga tidak ada yang mempertanyakan
status tentara sekutu –dalam hal ini adalah tentara Inggris dan tentara
Australia- yang datang ke Republik Indonesia, usai Perang Dunia II dan setelah
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Sebenarnya tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada pasukan yang dikirim ke bekas-bekas wilayah
pendudukan Jepang, termasuk Indonesia, adalah:
1.
Melucuti tentara Jepang serta mengatur pemulangan mereka kembali ke
negaranya,
2.
Membebaskan para tawanan serta
interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara serta
3.
Menciptakan keamanan dan ketertiban.
Namun ternyata ada agenda rahasia yang
dilakukan oleh tentara sekutu, yaitu membantu Belanda dengan kekuatan militer,
untuk memperoleh kembali jajahannya yang telah diserahkan kepada Jepang, ketika
tentara Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942. Hal ini diakui secara terus
terang oleh Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, dalam seminar
internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada 27 Oktober 2000, tang
berjudul “The Battle of Surabaya November
1945. Back Ground and Consequences.”
Bangsa Indonesia telah menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun Belanda tidak mau mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam upaya Belanda untuk kembali berkuasa di
Bumi Nusantara –dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara
Australia- tentara Belanda, Inggris dan Australia banyak melakukan kejahatan
perang, kejahatan atas kemanusiaan, perkosaan terhadap perempuan Indonesia,
pembantaian massal dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.
Mengenai peran tentara Inggris
membantu Belanda, hanya sedikit yang dapat dibaca di buku-buku sejarah di
Indonesia, seperti pemboman Inggris atas Surabaya pada November 1945. Sedangkan
mengenai peran tentara Australia dalam membantu Belanda menguasai seluruh
wilayah Indonesia Timur, tidak ada samasekali dalam buku-buku sejarah di
Indonesia.
Bahkan banyak yang tidak mengetahui,
bahwa pemerintah Belanda –sampai detik ini, 2013- tetap tidak mau mengakui de jure proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949,
yaitu ketika penyerahan kewenangan (sovereniteitsoverdracht)
dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS),
yang dipandang sebagai “hadiah” dari Belanda.
Mereka yang mengetahui bahwa
pemerintah Belanda tidak mau mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945 –terutama Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia- membiarkan pemerintah Belanda dengan sikapnya ini,
dan mencari-cari pembenaran untuk pembiaran ini.
Saat ini Indonesia sedang dilanda oleh
pragmatisme dan neo-liberalisme yang hanya mementingkan keuntungan materi dan
mengorbankan martabat bangsa. Beberapa waktu yang lalu, dunia dipertontonkan
dalam suatu pertandingan sepakbola, antara tim nasional Indonesia melawan tim
nasional Belanda, bagaimana bangsa Indonesia telah kehilangan martabatnya, demi
uang. Mereka yang tidak megetahui permasalahan antara Indonesia dan Belanda
berkomentar, bahwa itu hanyalah sekadar kostum tim sepakbola, namun apabila
diteliti lebih dalam, itu bukan hanya sekadar masalah kostum, melainkan masalah
martabat bangsa, karena Belanda sampai detik ini Belanda tetap tidak mau mengakui
secara yuridis kemerdekaan Republik Indonesia, yang bendera nasionalnya adalah
Merah-Putih, seperti warna kostum tim nasional. Bahkan di lapangan sepakbola
pun Belanda tidak mau melihat Merah-Putih!
Kelihatannya para pemimpin bangsa dan
peyelenggara Negara ini selain tidak lagi mempedulikan martabat bangsa, juga sudah
tidak peduli lagi akan nasib rakyatnya yang menjadi korban tindak kekerasan di
masa pendudukan tentara Jepang, dan menjadi korban kejahatan perang dan
pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer Belanda
antara tahun 1945 – 1950. Diperkirakan, korban di kalangan rakyat Indonesia pada
waktu itu mencapai satu juta jiwa.
Sejak tahun 1999 segelintir anak bangsa yang
masih peduli terhadap martabat bangsa, membuka lembaran
sejarah untuk menuntut Negara-negara yang telah melakukan agresi militer
terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, serta memperjuangkan
keadilan utuk seluruh korban agresi militer di Republik Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
Latar Belakang Sejarah
Sejarah mencatat,
bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari
300 tahun, terutama Sunda Kalapa (Jayakarta, Jakarta), yang oleh Belanda
dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Tanah Batak,
Bali dan beberapa daerah lain, kekuasaan Belanda hanya berlangsung selama
sekitar 30 atau 40 tahun saja. Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau
tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain,
melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai kolonialisme
atau penjajahan.
Tidak ada satu
hukum internasionalpun yang memberikan legitimasi kepada suatu bangsa atau
negara untuk menguasai atau merampok negara lain. Yang dilakukan oleh banyak
negara-negara Eropa bukan hanya menjajah dan menguras kekayaan wilayah yang
dikuasainya, melainkan juga memperbudak bangsa yang dijajahnya, bahkan
memperjual-belikan manusia. Satu-satunya hukum yang ada hanyalah “hukum rimba”,
yaitu berdasarkan atas kekuatan: siapa yang lebih kuat memangsa yang lemah.
Pada abad 15 dua
negara katolik, Portugal dan Spanyol saling memperebutkan wilayah-wilayah di
luar Eropa untuk menguasai perdagangan atau untuk dijadikan jajahan. Untuk
menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara katolik tersebut, Paus
Alexander VI memfasilitasi perundingan antara keduanya dan pada 7 Juni 1494 di Tordesillas, Spanyol
ditandatangani kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Tordesillas. Isinya adalah membagi dunia menjadi
dua bagian, yaitu separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal. Namun
ketika Belanda dan Inggris memasuki kawasan-kawasan tersebut, kedua Negara yang
belakangan ini tidak merasa terikat dengan Perjanjian Tordesillas. Sering
terjadi pertempuran baik di laut maupun di darat di antara keempat Negara
tersebut dalam memperebutkan hegemoni atas suatu wilayah di luar Eropa.
Prancis, Italia dan Belgia kemudian ikut meramaikan kwartet ini.
Negara-negara tersebut bukan hanya
memperebutkan dan memperjual-belikan wilayah yang mereka kuasai, mereka kemudian
juga memperjual-belikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak
abad 18 praktek jual-beli atau “tukar guling” jajahan sangat marak. Belanda
juga pernah menawarkan wilayah jajahan yang waktu itu dikuasainya di Asia Tenggara
untuk dijual. Belanda termasuk Negara terbesar dalam perdagangan budak. Di
wilayah jajahannya, Nederlands Indië
(India Belanda) diberlakukan undang-undang perbudakan antara tahun 1640 – 1862.
Undang-undang perbudakan ini dihapus oleh Inggris ketika Inggris berkuasa
antara tahun 1811 - 1816, namun diberlakukan kembali, ketika jajahan tersebut
“dikembalikan” kepada Belanda.
Ketika Napoleon Bonaparte berkuasa di
Prancis, Belanda yang kalah perang, berada di bawah kekuasaan Prancis dari
tahun 1806 sampai tahun 1813. Perubahan situasi di Eropa juga berimbas ke
kawasan Asia Tenggara, di mana terdapat persaingan kekuasaan antara Belanda dan
Inggris. Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India (1807 –
1813), memimpin armada Inggris menyerbu Jawa, dan pada 6 Agustus 1811, bersama
Thomas Stamford Raffles, pasukan Inggris mendarat di Jawa, tanpa suatu
perlawanan yang berarti dari tentara Belanda-Prancis. Inggris menduduki pulau
Jawa dan kemudian menguasai seluruh wilayah Belanda-Prancis. Raffles, diangkat
menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk India-Belanda. Itulah
awal penjajahan Inggris di Indonesia, yang juga disebut sebagai The British Interregnum.
Raffles
kemudian diganti oleh John Fendall sebagai Letnan Gubernur Jenderal, yang
memegang jabatan ini sampai “penyerahan” kembali India Belanda kepada
Belanda. Setelah tentara Prancis pada 18
Juni 1815 di Waterloo dihancurkan oleh tentara koalisi di bawah Jenderal
Wellington dan Jenderal Blücher, Di Eropa terjadi perubahan situasi politik, di
mana Inggris berdamai lagi dengan Belanda. Sebagai akibat perdamaian ini, pada
19 Agustus 1816 wilayah India-Belanda “diserahkan” kembali kepada Belanda, tak
ubahnya seperti menyerahkan suatu barang. Ini juga merupakan akhir dari British Interregnum. Setelah itu, Inggris hanya menguasai Bengkulu dan
Belanda masih berkuasa atas Singapura.
Belanda
dan Inggris kemudian sepakat untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan
Bengkulu. Dalam Traktat London tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan
seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris dan sebagai imbalan, Belanda
memperoleh Bengkulu. Selain itu, Inggris
dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi
kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk
membagi dua Pulau Timor.
Kalau melihat
perilaku para penjajah untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan, maka akan terlihat,
ini adalah perilaku kelompok gangster/Mafia yang membagi-bagi wilayah
kekuasaan, apakah itu kota, wilayah di dalam suatu kota, bahkan membagi atau
menentukan lahan parkir untuk kelompok-kelompok yang terlibat!. Dalam perebutan
wilayah di Asia Tenggara yang berlangsung selama berabad-abad, akhirnya Belanda
berhasil mengungguli Inggris, Spanyol, Portugal dan kemudian juga Prancis,
dengan menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di Nusantara. Inggris tetap
berkuasa di Malaya (Malaysia) dan di East
New Guinea (Irian Timur), Spanyol di Filipina, Prancis di Indochina dan
untuk Portugal hanya tersisa Timor Timur (Timor
Leste), Goa di India dan Macau.
Untuk “melancarkan” perdagangan dan
menghindari konflik di antara Negara-negara Eropa agar tidak saling
memperebutkan wilayah di Afrika, Perdana Menteri Prusia, Otto von Bismarck
mengundang 11 negara Eropa ke Berlin untuk mengadakan perundingan. Selain itu,
juga diikutsertakan Amerika Serikat dan Turki yang merupakan Negara-negara yang
sangat kuat. Pertemuan yang kemudian dikenal sebagai Berliner Kongokonferenz (Konferensi Berlin mengenai Kongo)
berlangsung dari 15 November 1884 sampai 26 Februari
1885.
Konferensi ini membagi-bagi wilayah di
Afrika untuk Negara-negara Eropa, seperti layaknya orang membagi-bagi kue ulang
tahun kepada para tamu. Kalau melihat batas Negara-negara di Eropa dan Asia
yang berlika-liku, kemudian memperhatikan batas-batas Negara di Afrika, Irian
dan Timor, nampak dengan jelas perbedaan yang mencolok. Penetapan batas
Negara-negara tersebut bukan berdasarkan etnis, atau kerajaan sebelumnya
melainkan dibagi-bagi kepada Negara-negara penjajah berdasarkan kesepakatan di
antara mereka, sehingga batas wilayah jajahan merupakan garis lurus, karena
menggunakan penggaris (mistar).
Hal ini berdampak terbelahnya
desa-desa yang terkena imbas “pembagian kue” di Eropa. Pemisahan
keluarga-keluarga secara paksa di desa-desa tersebut dialami oleh banyak Negara
di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, seperti
di Kalimantan, Timor dan Irian (Papua).
Belanda Kehilangan Hak “Hukum Rimba” Atas Jajahannya
Perang dunia
kedua dimulai di Eropa dengan penyerangan Jerman terhadap Polandia pada 3
September 1939. Pada 10 Mei 1940 Belanda diserang oleh tentara Jerman, dan
hanya dalam waktu tiga hari Belanda dikuasai oleh Jerman. Pemerintah dan Ratu
Belanda melarikan diri ke Inggris dan membentuk pemerintahan eksil (exile government) di London. Dengan
demikian, pemerintah Belanda sudah tidak ada lagi. Di Asia Timur, agresi
militer Jepang dimulai dengan melancarkan serangan terhadap pangkalan militer
Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Di Asia Tenggara, Jepang
melancarkan agresinya dengan menyerang negara-negara di Asia tenggara, yang
waktu itu –kecuali Thailand- berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa.
Satu persatu negara-negara jajahan Eropa jatuh ke tangan Jepang.
Pada bulan
Januari 1942, Amerika, Inggris, Belanda dan Australia membentuk komando pasukan
gabungan yang dinamakan ACDACOM – American,
British, Dutch, Australian Command, di bawah pimpinan Jenderal Sir Archibald P. Wavell. Admiral Karel Doorman ditunjuk sebagai
Tactical Commander untuk memimpin
armada sekutu. Dalam pertempuran sengit di laut Jawa pada 27 Februari 1942,
yang dikenal sebagai ‘The Battle of Java
Sea” armada sekutu dimusnahkan oleh Jepang dalam waktu satu hari. Admiral
Karel Doorman tewas bersama kapal perang utama armada sekutu (Flagship), De Ruyter, yang tenggelam dalam pertempuran tersebut.
Setelah menghancurkan pertahanan laut
sekutu, pada 1 Maret 1942 Jepang mendaratkan tentaranya di Pulau Jawa. Pendaratan
dilakukan serentak di tiga titik, yaitu di Banten (Jawa Barat), Eretan Wetan
dan Kranggan (Jawa Tengah). Hanya dalam waktu satu minggu, tentara sekutu
disapu bersih oleh balatentara Dai Nippon.
Pada 8 Maret 1942, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, Panglima Tentara 16 Jepang
memberikan ultimatum kepada tentara sekutu untuk segera menyerah, dan kalau
tidak mau menyerah, maka tentara sekutu akan dimusnahkan oleh tentara Jepang.
Pada 9 Maret 1942
di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di
India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van
Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda
menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang. Pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) sudah
tidak ada lagi. Dengan demikian, tanggal 9
Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi
Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas
wilajah India-Belanda yang diperoleh melalui kekuatan bersenjata.
Mengenai hilangnya “hak hukum rimba” Belanda atas jajahannya
yang kemudian menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan Republik Indonesia,
diterangkan oleh Lambertus Nicodemus
Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang
Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949. Memorandum
yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“ …Tanpa sama sekali
mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang
pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan
bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan
selekas-lekasnya …
…
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu
pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat
menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada
bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...
…
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat
Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi
ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang
sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara
mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama
sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
… Tidak ada seorang pun
orang yang jujur dapat menutup-nutupi fakta sejarah bahwa bangsa Indonesia
telah membayar dengan harga mahal sekali berupa beribu-ribu puteranya menjadi
korban dalam usahanya merebut senjata dari jepang untuk memungkinkan Indonesia
mencapai kemerdekaannya yang diproklamasikannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kami tidak menerima kemerdekaan itu dari tangan orang
Belanda, kami menebusnya dengan darah.
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas
Indonesia. Hak historis yang dituntutnya
itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul
tanggung-jawabnya atas Indonesia. Dari segala segi, "hak sejarah"
yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu
dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan ...
... Selama tiga tahun itu Republik
telah mengadakan hubungan diplomatik dengan beberapa negara dan dengan Dewan
Keamanan serta telah mendapat sahabat di antara negara-negara itu.
Republik telah memerintahkan
daerahnya dan telah beroleh sifat-sifat dan mempunyai syarat-syarat seperti yang
dimiliki setiap negara merdeka dan berdaulat: bendera kebangsaan, tentara dan
polisi kebangsaan, keuangan, perpajakan dan hubungan luar negeri sendiri
...”
Demikian
a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Jepang
Menyerah, Terjadi Vacuum Of Power
Setelah berhasil mengalahkan tentara
sekutu di Pulau Jawa, maka tentara Jepang telah menguasai seluruh negara-negara
di Asia Tenggara, yang sebelumnya merupakan jajahan negara-negara Eropa dan
Amerika Serikat.
Selama masa pendudukan tentara Jepang
di bekas jajahan Belanda, selain juga menguras kekayaan Bumi Nusantara, banyak
terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tentara Jepang. Jepang memaksa para
pemuda untuk dijadikan pekerja-paksa (Romusha),
yang dikirim a.l. ke Birma, untuk membangun jembatan dan bangunan-bangunan yang
diperlukan oleh Jepang. Untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajuritnya,
pimpinan militer Jepang mengangkap gadis-gadis untuk dipaksa menjadi budak
pemuas nafsu seksual para prajuritnya. Gadis-gadis tersebut dinamakan “wanita
penghibur” atau Jugun Yanfu.
Kejahatan terbesar yang dilakukan oleh
tentara Jepang adalah pembantaian ribuan kaum intelektual pribumi di Kecamatan
Mandor, dekat Pontianak, Kalimantan Barat. Di Mandor terjadi
pembantaian atas kaum intelektual serta
tokoh-tokoh masyarakat, yang dianggap menentang kebijakan tentara
pendudukan Jepang. Diperkirakan lebih dari 1000 orang yang tewas dibunuh oleh
tentara Jepang sehubungan dengan hal ini.
Tanggal
22 Januari 1942, balatentara Dai Nippon
mendarat di Pemangkat, muara sungai Kapuas, Singkawang dan Ketapang, dan
kemudian merebut Pontianak tanggal 2 Februari 1942. Tanpa mendapat perlawanan
dari tentara Belanda yang segera melarikan diri, dalam waktu singkat tentara
Jepang dapat menguasai seluruh Kalimantan Barat. Pemerintahan di Kalimantan
Barat awalnya dipegang oleh Rikugun
(Angkatan Darat), kemudian sejak 15 Juli 1942, di bawah Kaigun (Angkatan Laut). Penangkapan pimpinan Indonesia yang
dianggap menentang kebijakan Jepang dimulai tanggal 14 April 1943, sedangkan
penangkapan besar-besaran dilakukan tanggal 24 Mei 1944, dan eksekusi
dilaksanakan pada tanggal 28 Juni 1944.
Ketika perang masih berkecamuk di
Eropa dan Afrika, kekuatan tentara sekutu dan Rusia terpecah, sehingga tidak
bisa mengerahkan kekuatan penuh untuk menghadapi Jepang di Asia. Namun setelah
Jerman ditundukkan pada bulan Mei 1945, sekutu dan Rusia dapat mengalihkan
kekuatannya ke Asia untuk menundukkan Jepang.
Pada 6 Agustus
1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus
menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak
menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang.
Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa
syarat kepada sekutu,dan menghentikan secara sepihak semua tindakan militer.
Namun penandatanganan
dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional
surrender) kepada sekutu baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September
1945 di atas kapal perang AS Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti,
antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum
of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah yang diduduki oleh Jepang
antara tahun 1942 - 1945, termasuk bekas jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda).
Landasan
Hukum Internasional Proklamasi 17.8.1945
Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18 Agustus mengangkat Sukarno
sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945,
dibentuk Kabinet RI pertama.
Dalam Konvensi Montevideo yang
ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh benua Amerika pada 26 Desember
1933, disebutkan a.l.:
The
state as a person of international law should possess the following
qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c )
government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Namun ayat tiga konvensi ini juga menyebutkan,
bahwa eksistensi Negara tersebut tidak
tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara
lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.
The
political existence of the state is independent of recognition by the other
states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity
and independence, to provide for its conservation and prosperity, and
consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its
interests, administer its services, and to define the jurisdiction and
competence of its courts.
The
exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the
rights of other states according to international law.
Dengan demikian, tiga syarat
pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo,
yaitu
a. Adanya penduduk yang permanen,
b. Adanya wilayah tertentu
c. adanya pemerintahan, dan
d. Kemampuan untuk menjalin hubungan
internasional.
Sebagaimana diterangkan pada Ayat 3,
bahwa butir ke empat Ayat satu tidak menjadi syarat utama, sehingga walaupun
tanpa adanya pengakuan, Negara tersebut
berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.
Pada tahun 1946, Liga Arab memberikan
pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin
hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India
setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda melancarkan agresi
militernya yang pertama pada 21 Juli 1947, keempat syarat konvensi Montevideo
telah terpenuhi.
Landasan
Politis dan Moral
Gagasan untuk memberikan hak
bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, telah tercetus sejak akhir
abad 19. Dalam kongres internasional para buruh dan serikat sosialis (The International Socialist Workers and
Trade Union Congress) yang diselenggarakan di London . dari 26 Juli – 1
Agustus 1896, dideklarasikan:
“This Congress declares that it stands for the
full right of all nations to self-determination [Selbstbestimmungsrecht]…”
Dalam kongres ini pertama kali diformulasikan
gagasan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Right for selfdetermination of all nations).
Vladimir Ilyich Lenin, dari bulan Februari – Mei 1914 juga menulis mengenai “The Right of Nations to Self-Determination.”
Tulisannya dimuat dalam journal
Prosveshcheniye Nos. 4, 5 dan 6, yang
diterbitkan pada bulan April - Juni 1914. Dia mencantumkan namanya sebagai V.
Ilyin.
Awalnya, yang dimaksud oleh kaum
sosialis dan Marxis adalah hak bangsa-bangsa untuk menentukan bentuk
Negara/pemeritahan sesuai yang dikehendaki oleh rakyatnya. Tujuannya adalah
mengganti sistim monarchi dengan sistim republik. Namun kemudian kalimat ini,
yang sangat dikenal dalam bahasa Jermannya sebagai Selbstbestimmungsrecht, kemudian berkembang untuk bangsa-bangsa
terjajah menentukan nasibya sendiri.
Dalam hal ini, adalah Presiden Amerika
Serikat, Woodrow Wilson, untuk mengambil hati Negara-negara jajahan dan
bangsa-bangsa terjajah, yang menghubungkan hak menentukan nasib sendiri dengan
situasi penjajahan. Dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di
muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan menjelang berakhirnya perang
dunia pertama, butir lima konsepnya, Wilson telah menyebut mengenai klaim atas
suatu jajahan, harus juga disesuaikan dengan keinginan penduduknya. Wilson
menulis:
“ A
free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial
claims, based upon a strict observance of the principle that in determining
all such questions of sovereignty the interests of the population concerned
must have equal weight with the equitable claims of the government whose
title is to be determined.”
Pada 14 Agustus 1941, Franklin D.
Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill
mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga
menyebutkan:
“
…Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government
under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self
government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir tiga ini yang dikenal sebagai “
…right for selfdetermination of peoples
…” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).
Atlantic
Charter ini kemudian
menjadi salahsatu butir yang tercantum dalam United Nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San
Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua piagam PBB ini menguatkan
butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“…
To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of
peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal
peace…”
Sehubungan dengan Atlantic Charter ini, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato radio
yang disampaikannya ketika berada di tempat pelarian di London pada 7 Desember
1942, mendukung butir tiga dalam gagasan Atlantic
Charter. Pidato ini disampaikannya tepat satu tahun setelah dimulainya
Perang Pasifik, yang diawali dengan penyerangan Jepang terhadap pangkalan Militer
Amerika Serikat di Pearl Harbor pada
7 Desember 1941. Sistim monarchi konstitusional yang dianut oleh Kerajaan
Belanda membuat Ratu Belanda tidak mempunyai kekuatan politik, dan hanya dapat
memberikan dukungan moral. Dia mengatakan a.l.:
“…
A political unity which rests on this foundation moves far towards a
realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has
been embodied, for instance, in the
Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of
freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in
the course of our history ...”
Mengenai definisi suatu bangsa, lazim
digunakan formulasi dari Otto Bauer, seorang negarawan dari Austria yang
mengatakan, bahwa: “Eine Nation ist eine
aus Schicksalsgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft.” Yang artinya,
Satu bangsa adalah suatu masyarakat yang memiliki ciri/watak yang sama, yang
lahir dari masyarakat yang senasib. Definisi ini sesuai a.l. untuk Amerika
Serikat dan Indonesia.
Dengan demikian jelas adanya, bahwa
dipandang dari berbagai segi, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17
Agustus 1945 adalah sah, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi
politis, moral, Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Bangsa.
Wilayah
Republik Indonesia: Berdasarkan uti
possidetis juris
Uti
possidetis juris
adalah hukum internasional yang diadopsi dari hukum Romawi, mengenai batas
wilayah suatu Negara yang pernah dijajah atau dikuasai oleh negara lain. Ini
dilakukan oleh Negara-negara di Amerika Selatan setelah bebas dari penjajahan
Spanyol dan Portugal. Demikian juga dengan negara-negara pecahan Uni Sovyet dan
Yugoslavia. Juga ketika Ceko dan Slovakia memisahkan diri, mereka sepakat
dengan batas-batas administrasi yang ada sebelum pemisahan kedua negara
tersebut.
Dengan demikian,
berdasarkan uti possidetis juris,
wilayah Republik Indonesia adalah wilayah bekas Nederlands Indië (India Belanda) termasuk Irian Barat, yang dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB), tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia
Serikat (RIS). RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950,
Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI. Irian barat masuk ke dalam
wilayah Republik Indonesia tahun 1969, berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA), yang difasilitasi oleh PBB (Perserikatan Bangsa bangsa).
Batas wilayah Nederlands Indië terakhir ditentukan
berdasarkan Territoriale Zee en Maritime
Kringen Ordonantie (TZMKO) tahun 1939. Namun batas
wilayah ini masih menggunakan ukuran 3 mil dari pantai. TZMKO ini kemudian
diganti dengan Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention on
the Law of the Sea/UNCLOS ’82), termasuk mengenai batas wilayah suatu Negara Kepulauan.
Dalam sengketa antara Republik Indonesia dengan Malaysia sehubungan
dengan sengketa kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, salahsatu dasar pertimbangan dari
Pengadilan Internasional (International
Court of Justice) di Den Haag, Belanda, untuk memenangkan Malaysia adalah
berdasarkan Uti Possidetis juris.
Di peta Inggris, ketika masih berkuasa atas Malaysia (Malaya), kedua
pulau tersebut termasuk wilayah Inggris, sedangkan kedua pulau tersebut tidak
ada di peta Belanda, ketika masih menguasai Nederlands
Indië (India Belanda).
Belanda
Ingin Berkuasa Kembali di Indonesia
Pernyataan kemerdekaan bangsa
Indonesia tidak mau diakui oleh pemerintah Belanda, yang menganggap bahwa ini
sebagai pemberontakan terhadap Kerajaan Belanda. Untuk sebagian orang Belanda,
apabila Nederlands Indië tidak lagi
di bawah kekuasaan Belanda, maka kekayaan orang-orang Belanda yang ada di bekas
jajahannya akan hilang. Selain itu, pemasukan dari India Belanda menyumbang
hampir 10 % budget (Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara) Belanda. Slogan
yang waktu itu sangat popular di Belanda adalah: “Indië verloren, rampspoed geboren”, yang artinya Indië (sebutan untuk jajahannya) hilang,
timbul malapetaka.
Namun setelah usai Perang Dunia II,
Belanda tidak mempunyai angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda telah
digilas oleh tentara Jerman tahun 1941, dan tentaranya di India Belanda,
ditaklukkan oleh balatentara Dai Nippon
tahun 1942. Tentara Belanda yang ada di India Belanda, dimasukkan ke kamp-kamp
interniran. Setelah mereka dibebaskan dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu,
kondisi fisik para prajurit Belanda
sangat menyedihkan. Kekurangan makan dan berbagai penyakit mengakibatkan fisik
mereka sangat lemah dan tidak dapat dikerahkan untuk perang.
Oleh karena itu, selain melakukan wajib
militer di Belanda, Belanda melakukan perundingan untuk meminta bantuan
militer. Semula mantan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus van Mook mengadakan
perundingan dengan Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi
Tentara Sekutu untuk Wilayah Pasifik Barat Daya (South West Pacific Area Command). Namun untuk
mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, maka pada bulan Juli 1945 di
Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa
MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan
komando atas wilayah bekas India Belanda kepada Komando Asia Tenggara (South
East Asia Command) di bawah Vice Admiral Lord Louis
Mountbatten.
Pemerintah Belanda kemudian melakukan
perundingan dengan pemerintah Inggris di Chequers, tempat peristirahatan
Perdana Menteri Inggris yang letaknya sekitar 100 km dari London. Pada 24
Agustus 1945 ditandatangani perjanjian yang dinamakan Civil Affairs Agreement, di mana Inggris bersedia membantu Belanda
untuk memperoleh kembali jajahannya, India Belanda, dengan kekuatan militer.
Daerah-daerah yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata Republik
Indonesia, akan diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA).
Untuk melaksanakan tugas ini, ditunjuk
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Asia
Tenggara, yang telah diberi perintah oleh Tentara Sekutu untuk melucuti tentara
Jepang dan membebaskan para interniran. Tugas pokok yang diberikan oleh
pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten
adalah:
1. Melucuti
tentara Jepang serta mengatur pulangkan
kembali ke negaranya (The disarmament and
removal of the Japanese Imperial Forces),
2. Membebaskan
para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara
(RAPWI - Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. Menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and
order).
Namun sejarah mencatat, bahwa ternyata
ada agenda rahasia (hidden agenda) yang
dibebankan kepada Mountbatten,sebagai hasil perundigan antara pemerintah Inggris
dengan pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan tugas Tentara Sekutu dan tugas
tambahannya dia memperkirakan diperlukan enam divisi. Untuk tugas-tugas
tersebut, dia hanya dapat mengerahkan tiga divisi tentara Inggris-India (British-Indian Divisions). Untuk
memenuhi permintaannya, Mountbatten mendapat tambahan dua divisi tentara
Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie “Ming the merciless” Morshead, yang sebelumnya berada di bawah
komando MacArthur di South West Pacific
Area Command.
Pada
tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi
diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak yang berpendapat, bahwa
nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara
Amerika, bukan tentara Inggris. Tentara
Australia yang memang telah berada di wilayah bekas jajahan Belanda bagian
timur, dapat dengan segera melaksanakan tugas mereka melucuti tentara Jepang
dan menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Pada
waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan
konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi
kepada status quo, seperti sebelum
invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral
antara Belanda dan Inggris di Chequers,
mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Mungkin jalan sejarah akan
lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada
komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah
mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24
Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat
dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan
menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa tentara
Belanda dengan berkedok RAPWI.
Untuk
pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied
Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia
Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred
Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Christison sendiri baru tiba di Jakarta
tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5
di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah
Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke
26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Dua
Divisi tentara Australia ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di
Kalimantan, Sulawesi dan Indonesia Timur lainnya. Sejarawan Australia Anthony J.S.
Reid dalam bukunya: Revolusi
Nasional Indonesia, mengenai hal ini menulis a.l.:
“… Tentara Australia ini sebelumnya
termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan
tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi
wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali
dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris,
Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka
dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara
Australia,
-
di
Kupang tanggal 11 September 1945,
-
di
Banjarmasin tanggal 17 September,
-
di
Makasar tanggal 21 September,
-
di
Ambon tanggal 22 September,
-
di
Manado tanggal 2 Oktober,
-
di
Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama
kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian
besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi
dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan
untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan
pemerintahan oleh pihak Belanda ...”
Kemudian,
atas desakan pihak Belanda, Inggris menyerahkan wewenang atas Kalimantan serta
kepulauan di bagian timur, kecuali Bali dan Lombok, kepada tentara Australia. Namun
kemudian, Inggris juga “menyerahkan” kewenangan atas Bali dan Lombok kepada
tentara Australia, sehingga yang di bawah kewenangan tentara Inggris hanya
Sumatera, Jawa dan Madura. Dengan demikian, Australia sangat berjasa dalam
membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah di seluruh Indonesia Timur. Belanda
sendiri pada tahun 1945 belum dapat membentuk satuan bersenjata yang
terorganisir; yang ada baru bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya belum
mampu untuk bertempur.
Pimpinan
militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah
ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa, tanggal 8
September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir di bawah pimpinan
Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang
perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, serta dua
orang tentara Inggris dan tiga orang tentara Belanda; mereka adalah staf
komunikasi yang membawa peralatan untuk berhubungan dengan dunia luar.
Mayor
Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili
suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the
relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia
Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama RAPWI –Recovery of Allied Prisoners of War and
Internees.
Tanggal
15 September 1945, Laksamana Muda Sir
Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S.
Cumberland berlabuh di Jakarta. Ikut bersama Patterson di kapal tersebut
adalah Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu
pemerintahan Hindia Belanda, kini mewakili NICA; serta sejumlah orang Belanda,
yang adalah pejabat tinggi Civil Affairs.
Letnan Kolonel van der Post, Mayor Greenhalgh dan Letnan van Tuyll segera ke
pelabuhan untuk menemui mereka di atas kapal.
Pada
24 Oktober 1945, Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadier (Brigadir Jenderal) Aulbertin Walter Sothern Mallaby, yang baru berumur 42
tahun, tiba di pelabuhan Tanjung Perak dan tanggal 25 Oktober mulai mendarat di
Surabaya. Dia tewas pada 30 Oktober 1945 dalam insiden di depan Gedung Internatio, Surabaya.
Pada
pertengahan Oktober 1945, Perdana Menteri Inggris Clement Atlee dari Partai
Buruh, di House of Commons menegaskan
dukungan Inggris terhadap Belanda, yang adalah sekutunya dalam Perang Dunia II,
sehubungan dengan Indonesia:
“…
Pemerintah Inggris menginsyafi
benar-benar kenyataan, bahwa selama peperangan yang lalu, Pemerintah Belanda
berdiri di samping Inggris dan tidak boleh tidak, menderita akibat peperangan
itu.
Pemerintah Inggris hanya mengakui
pemerintah Belanda sebagai satu-satunya pemerintahan yang syah di seluruh
Indonesia dan berpendapat bahwa pemerintah Belanda sudah sangat jauh menawarkan rencana yang liberal kepada Indonesia …”
Pelanggaran
Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Bangsa dan
Hak Asasi
Negara Indonesia
Dalam upaya menjajah kembali, tentara
Belanda, demikian juga tentara Inggris dan Australia yang membantu Belanda,
telah melakukan banyak pelanggaran, bukan hanya kejahatan perang, genosida dan
kejahatan atas kemanusiaan, melainkan juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),
Hak Asasi Bangsa (HAB), dan Hak Asasi Negara (HAN) Indonesia.
Berbagai pembantaian terhadap penduduk
sipil dilakukan sejak tahun 1945,yaitu diawali dengan pemboman atas kota
Surabaya pada bulan Novermber 1945,yang mengakibatkan tewasnya sekitar 20.000
penduduk, sekitar 150.000 penduduk dipaksa mengungsi ke luar kota dan hancurnya
kota Surabaya bagian selatan. Pemboman oleh Inggris di Surabaya, pertempuran
Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api, yang melibatkan tentara
Inggris, tidak terlepas dari upaya Belanda untuk menjajah kembali, karena hal
ini dilakukan oleh tentara Inggris sebagai pelaksanaan perjanjian Chequers,
yaitu Civil Affairs Agreement.
Demikian juga peran tentara Australia
yang sangat berjasa dalam membantu Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia
Timur. Setelah dinilai sebagai “aman” dari perlawanan kekuatan bersenjata
pendukung Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 seluruh wilayah IndonesiaTimur,
termasuk Bali, “diserahkan” kepada NICA. Sehari kemudian, pada 16 Juli 1946,
mantan Wakil Gubernur Jenderal Nederlands
Indië, Dr. van Mook, menggelar konferensi Malino, dengan menghadirkan “wakil-wakil”
dari Indonesia timur yang dipilih oleh Belanda, untuk membahas pembentukan
Negara Indonesia Timur (NIT). Pembahasan ini dilanjutkan di Denpasar, Bali.
Namun pada waktu itu, di Pulau Bali
telah ada Tentara Nasional Indonesia di bawah komando Kolonel I Gusti Ngurah
Rai, yang terus melancarkan serangan terhadap pos-pos pertahanan Belanda. Untuk
memuluskan penyelenggaraan “konferensi besar” di Denpasar, maka Belanda harus
“membersihkan” dahulu TNI di Bali. Pada 23 November 1946 terjadi pertempuran di
desa Margarana, yang kemudian dikenal sebagai “Puputan Margarana’, di mana Kolonel I Gusti Ngurah Rai gugur
bersama 95 orang anak buahnya.
Kemudian untuk mematahkan perlawanan
rakyat Indonesia di Sulawesi, pimpinan tertinggi militer Belanda mengirim
pasukan elit, Depot Speciale Troepen
(DST) di bawah komando Letnan Westerling. Selama teror dan pembantaian yang
dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya,dengan dukungan pasukan KNIL,
pihak Idonesia menyatakan bahwa korban terror Westerling mencapai 40.000 jiwa.
Pemerintah Belanda sendiri dalam laporan resminya yang disampaikan di parlemen
Belanda tahun 1969 menyatakan, korban tewas di Sulawesi Selatan (kini setelah
pemekaran, sebagian termasuk provinsi Sulawesi Barat) antara 2.000 – 3.000
jiwa.
Angka ini diperoleh pemerintah Belanda
berdasarkan laporan resmi dari kementerian pertahanan Belanda, yang diperoleh
dari laporan-laporan komandan pasukan. Dari beberapa peristiwa pembantaian,
terbukti bahwa jumlah korban yang dilaporkan oleh pimpinan militer di lapangan,
selalu dikecilkan, terutama apabila menyangkut penduduk sipil. Sebagai contoh,
dalam laporan resmi mengenai jumlah korban di desa Rawagede. Pada 9 Desember
1947, sehari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas kapal Renville yang difasilitasi oleh PBB,
tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang kini bernama desa
Balongsari, tanpa proses hukum apapun. Dalam laporan resminya, pemerintah
Belanda menyatakan bahwa penduduk sipil yang dibunuh “hanya” 20 orang. (Pada 15
Desember 2005, peristiwa pembantaian di Rawagede dibawa oleh pimpinan KUKB ke
parlemen Belanda. Berita di harian Rakyat Merdeka 19.12.2005 dapat dibaca di: http://batarahutagalung.blogspot.com/2009/10/dari-rawagede-ke-parlemen-belanda.html)
Demikian juga halnya dengan
pembantaian di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat. Laporan resmi pemerintah
Belanda menulis, bahwa korban antara 350 – 400 orang. Lembaga Advokasi Korban
40.000 Jiwa (LAK) di Sulawesi Barat, telah memperoleh nama lebih dari 500
korban. Pada 1 Februari 1947, pasukan DST di bawah komando Letnan Vermeulen,
dibantu oleh pasukan KNIL telah melakukan pembantaian di desa Galung Lombok. Ke
tengah kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang, diperintahkan untuk
menembak secara membabi-buta. Di antara korban,juga terdapat wanita dan
anak-anak.Bahkan seorang wanita hamil juga tewas tertembak. Korban pembantaian
di desa Galung Lombok ini seluruhnya etnis Mandar, sehingga pembantaian ini
dapat dikategorikan sebagai pembantaian etnis (genosida).
(Daftar
nama korban dan asal desanya, yang dikumpulkan oleh Lembaga Advokasi Korban
40.000 Jiwa - LAK, dapat dibaca di:
Melihat perbedaan besar dalam jumlah
yang resmi dilaporkan oleh Belanda,yaitu korban tewas di pihak Indonesia
berjumlah 150.000 orang, tidak tertutup kemungkinan, bahwa korban tewas di
pihak Indonesia selama agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1950,
termasuk korban akibat pemboman Inggris, diperkirakan berkisar antara 800.000
sampai satu juta jiwa. Sebagian terbesar adalah penduduk sipil (non combatant), termasuk wanita dan
anak-anak.
Kejahatan
Tentara Belanda dan Sekutunya Tidak Kadaluarsa
Dari berbagai pelanggaran yang telah
dilakukannya terbukti, bahwa Belanda adalah Negara yang paling banyak melanggar
hukum-hukum dan perjanjian internasional. Yang dinyatakan oleh pemerintah
Belanda sebagai “aksi polisional” 1 yang dilancarkan pada 21 Juli 1947, adalah
pelanggaran terhadap persetujuan Linggajati. “Aksi polisional” 2 yang dimulai
pada 19 Desember 1948, merupakan pelanggaran terhadap persetujuan Renville yang difasilitasi oleh PBB. Kedua “aksi” tersebut jelas adalah
agresi militer terhadap suatu Negara merdeka dan berdaulat.
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
berlangsung di Belanda yang juga difasilitasi oleh PBB menghasilkan Republik
Indonesia Serikat (RIS). Setelah kewenangan resmi diserahkan oleh pemerintah
Belanda kepada pemerintah RIS pada 27 Desember 1949, Raymond Westerling yang telah dipecat dari dinas
militer Belanda, pada 23 Januari 1950 mencoba melakukan kudeta terhadap
pemerintah RIS, degan merekrut anggota pasukan elit yang pernah dipimpinnya.
Kudeta ini gagal dan kemudian seluruh jajaran tertinggi militer dan sipil
Belanda yang masih ada di Indonesia, melakukan konspirasi untuk menyelamatkan
Westerling dari penangkapan oleh pihak RIS.
Beberapa tahun yang lalu terungkap, bahwa Pangeran Bernard, suami Ratu
Belanda Juliana berada di belakang aksi Westerling, karena dia berambisi
menjadi Raja Muda (Vice Roi) di
Indonesia, seperti halnya Lord Mountbatten yang menjadi Raja Muda di India,
sebagai wakil dari Kerajaan Inggris. (Mengenai konspirasi Pangeran Bernard dengan
Westerling,silakan baca di:
Bahwa yang dilakukan oleh Belanda bukanlah
“aksi polisi” melainkan aksi militer, diakui oleh Menteri Luar Negeri Belanda
(waktu itu) Ben Bot. Dalam sambutannya di
Jakarta pada 16 Agustus 2005 Ben Bot mengatakan bahwa:
“…In
retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong
side of history. The fact that military
action was taken and that many people on both sides lost their lives or
were wounded is a harsh and bitter reality …”
Ben Bot di sini menyebut: “military
forces”, dan bukan: “police forces.” Jadi apabila disimak
kalimat ini, maka Ben Bot secara langsung mengatakan aksi tersebut adalah
pengerahan militer secara besar-besaran (large
scale deployment of military forces) dan bukan pengerahan polisi. (Teks
lengkap pidato Ben Bot dalam bahasa Inggris dapat dibaca di:
Dengan membantai penduduk sipil (non combatant), Belanda telah melanggar Konvensi
Den Haag II tahun 1899 yaitu Convention
with Respect to the Laws and Customs of War On Land, yang diperkuat dengan
Konvensi Den Haag ke IV tahun 1907 mengenai perlindungan penduduk sipil dalam
perang.
Universal
Declaration of Human Rights
– UDHR (Pernyataan Umum Mengenai Hak Asasi Manusia) dari PBB, dicetuskan pada
10 Desember 1048. Peryataan ini ditandatangani oleh 48 negara, termasuk Belanda
dan semua Negara yang masih memiliki jajahan. Namun mungkin belum kering tinta
tandatangannya, Belanda melancarkan agresi militer kedua terhadap Republik
Indonesia, hanya 9 hari setelah menandatangani UDHR. Oleh karena itu, sangat
ironis, bahwa Negara-negara yang tengah melakukan berbagai pelanggaran HAM,
kejahatan atas kemanusaiaan dan kejahatan perang - terutama Belanda- menyusun
butir-butir hal-hal atau perlakuan yang tidak boleh dilakukan terhadap manusia
di mana pun.
Pada 26 November 1968 PBB mengeluarkan
konvensi mengenai Tidak Diterapkannya Azas Kadaluarsa Terhadap Kejahatan Perang
dan Kejahatan Atas Kemanusiaan (Convention
on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes
Against Humanity), yang berlaku efektif mulai 11 November 1970. Konvensi ini
diperkuat dan diperluas dengan diratifikasinya Statuta Roma tahun 1998, yang
berlaku efektif tahun 2002. Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan International Criminal Court (Mahkamah
Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, empat jenis kejahatan
dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
- Genocide (pembersihan etnis),
- Crime against humanity (Kejahatan atas kemanusiaan),
- War crime (kejahatan perang), dan
- Crime of aggression (kejahatan agresi).
Memang, sesuatu undang-undang tidak
berlaku surut, termasuk Statuta Roma, namun dikenal juga pengadilan adhoc,
dalam hal ini tribunal internasional, seperti yang dilakukan terhadap
penjahat-penjahat perang Nazi-Jerman (tribunal Nürnberg), penjahat perang
Jepang (tribunal Tokyo), tribunal Rwanda, tribunal untuk mengadili
penjahat-penjahat perang Serbia (Slobodan Milosevic, Radovan Karadzic).
Tahun 1993 Manuel Kneepkens, seorang
dosen fakultas hukum Universitas Erasmus, Belanda, pernah mengusulkan
dibentuknya suatu tribunal internasional untuk mengadili penjahat-penjahat
perang Belanda yang telah melakukan berbagai kejahatan perang dan kejahatan
atas kemanusiaan selama agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 –
1950, terutama mengadili kejahatan Westerling di Sulawesi Selatan. Namun usulan
ini kurang mendapat respons. Bahkan dari Indonesia sendiri tidak ada tanggapan
mengenai usulan ini. (Mengenai usulan Manuel Kneepkens tahun 1993 dapat dibaca
di:
Satu contoh bahwa azas kadaluarsa
tidak diterapkan untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan adalah,
sampai detik ii, semua penjahat perang Nazi Jerman masih diburu, dan walaupun
usia mereka sudah sangat lanjut, mereka tetap dimajukan ke pengadilan, dan
dijatuhi hukuman. Pada bulan Maret 2010, Heinrich Boere, seorang mantan perwira
Nazi-Jerman, di pengadilan dikota Aachen, Jerman, dijatuhi vonis penjara seumur
hidup. Usianya 89 tahun. Dia terbukti –dan mengakui- tahun 1944, berarti 66
tahun sebelumnya, telah membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda.
Kasus terbaru siding pengadilan
kejahatan yang terjadi di masa Perang Dunia II adalah pengadilan terhadap Laszlo
Csatary, yang kini berusia 98 (!) tahun. Dia ditangkap di Hongaria tahun 2012
yang lalu, dan kini, bulan Juni 2013, menghadapi sidang pengadilan. Laszlo
Csatary dituduh terlibat dalam kejahatan perang Jerman, yaitu atas pembunuhan
15.700 orang Yahudi. Namun dia membantah tuduhan tersebut.Tahun 1944 Laszlo
Csatary menjadi anggota kepolisian Nazi-Jerman di Kosice, sekarang Slovakia.
Pemburu para Nazi, Simon Wiesenthal
Center mengatakan, Csatary menjadi pengawas pendeportasian orang-orang
Yahudi ke kamp konsentrasi maut di Auschwitz. Terlepas bersalah atau tidaknya Laszlo
Csatary, pengadilan terhadap dirinya adalah bukti, bahwa kejahatan perang dan
kejahatan atas kemanusiaan, tidak mengenal azas kadaluarsa, dan sampai kapan
pun masih dapat digugat. Juga tidak menjadi masalah, bahwa sang tergugat telah
berusia sangat lanjut, bahkan mendekati usia 100 (!) tahun.
Beberapa kasus pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950 dapat
dikategorikan sebagai pembataian etnis (genocide),
seperti pembataian yang telah dilakukan oleh Westerling dan anak buahnya di
Sulawesi Selatan, terutama di desa Galung Lombok, Sulawesi Barat. Pada 1 Februari
1947 pasukan elit Belanda Depot Speciale Troepen di bawah komando
Letnan Vermeulen, hanya dalam waktu sekitar dua jam membantai lebih dari 600
penduduk, yang seluruhnya etnis Mandar.
Sejak dikeluarkannya konvensi PBB tahun
1968, yang berlaku efektif mulai tahun 1970 mengenai tidak diterapkannya azas
kadaluarsa untuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, terbuka pintu
untuk menuntut semua kasus kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang
terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, melalui
pengadilan ad hoc (tribunal internasional),
seperti yang telah diusulkan 20 tahun yang lalu, tahun 1993.
Membela
Martabat Bangsa dan Memperjuangkan Keadilan
Bertitik-tolak dari
pengalaman-pengalaman di Eropa yang diperkuat dengan konvensi PBB tahun
1968/1970 dan Statuta Roma 1998/2003, pada 9 November 1999 beberapa putra-putri
pejuang ’45 didukung oleh beberapa orang Angkatan’45 mendirikan Komite Pembela
Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS), dan pada 10
November 1999 menuntut pemerintah Inggris atas pemboman November 1945 di
Surabaya. Dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI pada
27.10.2000, Duta Besar Inggris, Richard Gozney atas nama pemerintah dan rakyat
Inggris menyampaikan penyesalan atas tewasnya ribuan rakyat di Surabaya, dan
mengakui terus terang, bahwa memang pada waktu itu politik Inggris membantu
Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. (Mengenai kronologi kegiatan Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya
Korban Pemboman November 1945 (KPHARS) menuntut pemerintah Inggris atas
pemboman Surabaya November 1945 silakan klik:
(Pernyataan
Dubes Inggris Richard Gozney pada 27.10.2000, silakan klik:
KPHARS dibubarkan pada 9 November
2000, dan pada 10 November 2000 didirikan Yayasan Persahabatan 10 November ’45.
Pada 9 Maret 2002, para mantan aktifis
Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS)
mendirikan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI). Pada 20
Maret 2002, pada puncak perayaan 400 tahun berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) melakukan demonstrasi di Kedutaan Belanda di
Jakarta, memprotes perayaan besar-besaran 400 tahun berdirinya VOC dan menuntut
pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia.
Pada 24 April
2005, Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) menyampaikan petisi-online kepada pemerintah Belanda.
(Teks petisi-online KNPMBI pada 22.04.2005, lihat: http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html)
Karena lingkup
kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk menyelesaikan permasalahan
dengan Belanda, bertempat di Gedung Joang ’45, Jl.Menteng Raya 31, pada 5 Mei
2005 para aktifis KNPMBI mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).
Pada 20 Mei 2005
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menyampaikan petisi kepada Perdana
Menteri Belanda Balkenende dan menuntut pemerintah Belanda untuk:
- Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
- Meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggaran HAM, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
Menurut KUKB, masalah pengakuan de jure adalah masalah martabat sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat. (Untuk mengetahui mengenai kegiatan KNPMBI
dan KUKB menuntut pemerintah Belanda, silakan klik:
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag,
Menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot, sebelum
berangkat ke Jakarta, dalam acara peringatan hari pembebasan para interniran
Belanda dari kamp-kamp interniran Jepang di Indonesia, menyatakan, bahwa
pemerintah Belanda kini menerima de jure
proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945. (Teks lengkap pidato Ben Bot di Den Haag
pada 15.8.2005, dalam bahasa Belanda dapat dibaca di:
Sehari
kemudian, pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Ben Bot menyatakan, bahwa pemerintah
Belanda kini menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis, serta
menyampaikan rasa penyesalan atas jatuhnya korban jiwa di kedua belah pihak. (Teks
lengkap pidato Ben Bot dalam bahasa Inggris lihat:
Dalam suatu wawancara di satu stasiun
TV di Jakarta Ben Bot menyatakan, bahwa pengakuan kemerdekaan secara yuridis
telah diberikan pada akhir tahun 1949, berarti pada waktu pelimpahan kewenangan
kepada Republik Indonesia Serikat. Dia mengatakan, bahwa pengakuan hanya dapat
diberikan satu kali. Dia juga
mengatakan, bahwa kompensasi telah diberikan oleh pemerintah Belanda melalui
berbagai bantuan yang telah diberikan kepada Indonesia. (Wawancara Menteri Luar
Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18 Agustus 2005:
Pernyataan ini
seharusnya sangat mengejutkan, karena berarti sampai tanggal 15.8.2005, untuk
pemerintah Belanda, Republik Indonesia tidak eksis samasekali dan baru pada 15.8.2005
diterima eksistensinya, namun tetap tidak diakui secara yuridis. Ini juga berarti Republik Indonesia
disamakan dengan ANAK HARAM, yang hanya diterima keberadaannya, namun tidak
diakui legalitasnya.
Pada 15 Desember 2005, pimpinan KUKB
membawa tuntutan pengakuan de jure
dan peristiwa pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda. Juga pada bulan
Desember 2005, pimpinan KUKB Pusat mendirikan KUKB Cabang Belanda, yang
kemudian menjadi Yayasan KUKB. Yayasan KUKB kemudian memisahkan diri dari KUKB
Pusat. Pada bulan September 2009, Yayasan KUKB, yang didirikan oleh KUKB di
Belanda, mewakili para janda korban pembantaian di Rawagede, menuntut
pemerintah Belanda ke pengadilan sipil di Den Haag, Belanda. Pada 14 September
2011, pengadilan sipil di Den Haag tersebut menjatuhkan vonis, dan menyatakan
pemerintah Belanda bersalah serta harus memberi kompensasi.
Sebagaimana telah disampaikan di atas,
bahwa Vonis pengadilan sipil di Belanda ini sangat bertentangan dengan tujuan
utama menuntut pemerintah Belanda, yaitu agar pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
17.8.1945, dan memperjuangkan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia korban
agresi militer Belanda antara 1945 – 1950. Dengan demikian, apabila akan
menggugat pemerintah Belanda berdasarkan hukum Belanda dan dengan menggunakan
pasal-pasal dalam hukum Belanda, berarti yang akan dibela adalah warga Belanda,
dan dengan demikian tidak ada gunanya menuntut pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17 Agustus 1945.
Saat ini, KUKB sedang mengumpulkan
data korban pembantaian dari seluruh Indonesia, untuk mengajukan gugatan ke
Mahkamah Kejahatan Internasional (International
Criminal Court) di Den Haag, Belanda. KUKB telah membentuk Tim-Hukum, yang akan menyusun gugatan terhadap pemerintah Belanda ke Dewan
Keamanan PBB. KUKB akan meminta Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Pencari
Fakta (Fact Finding Commission),
untuk meneliti berbagai kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda, Inggris
dan Australia di Indonesia antara tahun 1945 – 1950. Tim-7 juga akan menyiapkan
konsep untuk menggugat pemerintah Belanda ke pengadilan di Belanda, dengan
menggunakan konvensi Den Haag ke IV tahun 1907, dan berdasarkan laporan resmi
pemerintah Belanda tahun 1969, yaitu De
Exessennota, di mana terdapa laporan dari sekitar 120 kejahatan perang yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 - 1950.
Menurut Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB), masalah pengakuan de jure
adalah masalah martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. KUKB
mempermasalahkan hubungan “diplomatik” RI-Belanda yang sangat aneh, dan
sebenarnya sangat melecehkan martabat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, KUKB
mendesak semua pihak yang berwenang, untuk meninjau kembali hubungan
“diplomatik” yang janggal antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.
Untuk pemerintah
Belanda memang sangat dilematis, sebab apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945,
maka akan membawa konsekwensi yang sangat berat bagi Belanda, yaitu:
1.
Dengan demikian pemerintah Belanda mengakui, yang mereka
namakan “aksi polisional I” yang
dilancarkan pada 21 Juli 1947 dan “aksi polisional II” yang dilancarkan pada 19 Desember 1948, tidak
lain adalah agresi militer terhadap suatu negara yang merdeka dan berdaulat,
2.
Indonesia berhak menuntut pampasan perang dari Belanda,
seperti yang dilakukan oleh negara-negara korban agresi militer Jepang terhadap
Jepang, adn telah dibayar oleh Jepang.
3.
Para veteran Belanda menjadi penjahat perang.
Namun di lain
pihak, apabila Indonesia tetap membiarkan sikap pemerintah Belanda ini, maka
bangsa Indonesia membiarkan pandangan, bahwa para pejuang kemerdekaan Indonesia
yang berada di berbagai Taman makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah
perampok, perusuh, pengacau keamanan dan para ekstremis yang dipersenjatai oleh
Jepang. Karena alasan Belanda waktu itu untuk melancarkan “aksi polisional”
adalah untuk memulihkan kembali “law and
order” serta membasmi para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan
ekstremis yang dipersenjatai Jepang.
“Second Track Diplomacy” atau diplomasi
jalur ke dua yang dilakukan oleh Komite
Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) dan
kemudian dilanjutkan oleh KUKB ternyata sangat effektif. Kini di Belanda,
banyak tokoh-tokoh Belanda dan bahkan anggota parlemen Belanda yang mendukung
tuntutan Komite Utang
Kehormatan Belanda (KUKB).
Demikian juga
yang telah dilakukan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban
Pemboman November 1945 (KPHARS), telah berhasil memaksa pemerintah Inggris
untuk mengakui kesalahannya dan juga dengan terus terang mengakui, bahwa yang
dilakukan Inggris pada tahun 1945 – 1946 adalah untuk membantu Belanda menjajah
kembali Indonesia.
Selain membela
martabat bangsa, KUKB memperjuangkan keadilan untuk seluruh keluarga korban
agresi militer, yaitu agar pemerintah Belanda membayar Pampasan Perang, seperti yang telah dilakukan oleh Jepang.
Banyak kalangan,
termasuk mantan diplomat RI yang kini menjadi anggota Dewan Penasihat KUKB, juga
mereka yang mendukung kegiatan KUKB menilai, bahwa yang dilakukan oleh KUKB ini
memperkuat posisi tawar (bargaining
position) pemerintah Republik Indonesia terhadap pemerintah Belanda dalam
banyak hal.
Perwakilan KUKB
kini telah ada di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Jawa
Timur dan Belanda.
Belanda
Terus menerus Mengecam Indonesia Atas Pelanggaran HAM
Pada Senin 07 Mei
2001, Radio Nederland Wereldomroep siaran
bahasa Indonesia menurunkan berita dengan judul yang bombastis: “DELEGASI
PARLEMEN BELANDA SERUKAN PENGAMAT INTERNASIONAL UNTUK WILAYAH RAWAN INDONESIA”
Hal ini berkaitan
dengan berita mengenai kunjungan sejumlah anggota parlemen Belanda dari
beberapa partai politik mengakhiri kunjungan sepuluh hari di Indonesia. Mereka
mengunjungi beberapa wilayah di Indonesia yaitu Aceh, Irian Jaya dan Ambon.
Mereka mengadakan pembicaraan dengan LSM-LSM.
“Misi” delegasi
Belanda ini terutama memusatkan pada kondisi HAM. Mereka berbicara dengan
sejumlah organisasi non-pemerintah (LSM) di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa
mereka merasakan suasana sangat tegang di Aceh.
Menanggapi kondisi
buruk di tiga kawasan tegang di Indonesia, seorang anggota parlemen Belanda
menilai bahwa Belanda dan Eropa harus turut serta dalam mencapai perdamaian di
Indonesia. Ia mendukung pengiriman tim pengamat sipil PBB ke kawasan-kawasan
tersebut. Belanda dan Eropa tidak bisa tinggal diam menyaksikan konflik di Aceh
saat ini. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi setiap hari, rakyat diculik,
dibunuh. Termasuk orang yang berupaya menengahi konflik yang terjadi antara
kelompok muslim dan pihak kristen. Pemerintahan daerah saat ini sudah
kehilangan wibawa. Rakyat menjadi korban pemerasan baik oleh kelompok milisia
mau pun oleh tentara. Demikian pernyataan delegasi Belanda.
Delegasi parlemen
Belanda juga mengadakan pembicaraan dengan pejabat Departemen Pertahanan di
Jakarta mengenai hak-hak asasi manusia, karena berdasarkan pembicaraan
sebelumnya dengan beberapa LSM, diperoleh kesan bahwa pihak tentara juga
bersalah atas sejumlah pelangaran HAM dalam bentuk penyanderaan serta
pembunuhan.
Anggota parlemen
Belanda berpendapat Eropa dan Belanda harus ikut campur secara positif di
tengah situasi hak-hak asasi manusia yang nyaris tidak ada harapan ini. Belanda misalnya harus memberikan dukungan
konkrit kepada LSM-LSM yang peduli HAM dan berupaya mencari jalan damai
antar kawasan serta dengan pemerintah di Jakarta. Anggota parlemen Belanda
mendukung penempatan tim pengamat internasional ke Aceh dan di Maluku untuk
dapat memantau dengan cepat apa yang terjadi di kawasan. Untuk menyidik pihak
mana yang bersalah dalam tindak penyanderaan, pembunuhan dan memicu suasana
tidak aman. Dengan demikian kalangan internasional dapat memberikan sikap
terhadap pemerintah Indonesia untuk mengembalikan situasi aman dan kondusif di
Indonesia.
Bulan Oktober 2008 parlemen Belanda
mengutus delegasi lagi untuk memantau perkembangan HAM di Indonesia. Dalam
pertemuan dengan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla di Istana Wapres, Jakarta,
pada 16.10.2008, Ketua Delegasi Parlemen Belanda Henk J Ormel menyampaikan
kekhawatirannya kepada Wapres Kalla mengenai persoalan hak asasi manusia (HAM),
khususnya yang terjadi di Provinsi Papua dan Maluku. ”Kami mengkhawatirkan
kasus HAM, terutama di Papua dan Maluku,” ujar Ormel. Dari informasi yang
diterima Kompas, kasus yang dipersoalkan adalah dugaan pelanggaran HAM dalam
penanganan kasus para penari cakalele tahun lalu pada saat kehadiran Presiden
Yudhoyono dalam acara Hari Keluarga Nasional di Kota Ambon, Maluku. (Sumber:
Kompas
Kedok delegasi parlemen Belanda yang
katanya memperjuangkan HAM terbongkar, ketika Komite Utang Kehormatan Belanda
(KUKB) meminta mereka juga mengunjungi Rawagede, di mana pada 9 Desember 1947
tentara Belanda secara biadab membatai 431 penduduk desa, tanpa proses hukum
apapun.
Seorang anggota parlemen Belanda dari
Partai Sosialis, Harry van Bommel mendukung usulan KUKB. Dia dua kali
mengusulkan kepada delegasi, namun dia kalah dalam voting seluruh delegasi yang
berjumlah 7 orang. Delegasi parlemen Belanda menolak untuk berkunjung ke
Rawagede, yang jaraknya hanya 80 km dari Jakarta, dibandingkan ke Maluku dan
Papua, yang jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta. Mereka bahkan menolak
tawaran KUKB, yang akan menghadirkan para janda dari Rawagede ke Jakarta.
(Harian Belanda NRC Handelsblad
memberitakan mengenai hal ini. Silakan klik:
http://www.nrc.nl/international/Features/article2023396.ece/)
Namun atas upaya Harry van Bommel, akhirnya
tiga anggota parlemen Belanda bertemu dengan keluarga korban pembantaian di
Rawagede.
Pada 21 September 1999 seorang wartawan
Belanda, Sander Robert Thoenes, tewas di Becora, Dili, Timor Timur. Pemerintah
Belanda sangat gigh memperjuangkan keadilan bagi seorang warga Belanda
tersebut.
Pada 2 September 2002 di sela-sela KTT
Pembangunan Berlanjut (the World Summit
on Sustainable Development, 26 August - 4 September 2002) di Johannesburg,
Afrika Selatan, Perdana Menteri Belanda Balkenende menemui Presiden RI Megawati
Soekarnoputri dan menanyakan mengenai penanganan kasus tewasnya Sander Thoenes.
Kemudian kepada Radio Nederland (Warta Berita Radio Nederland Wereldomroep, 3 September 2002),
Balkenende menyatakan: “Saya telah menekankan
kepada Presiden Megawati bahwa kasus ini sangat peka di Belanda. Selain itu
baik parlemen maupun masyarakat sangat khawatir akan jalannya persidangan yang
dilangsungkan di Indonesia.”
Dalam pertemuan dengan Presiden
Yudhoyono di Jakarta pada 8 April 2006, selain menyinggung soal kelanjutan
kasus Munir, Balkenende juga menanyakan soal penanganan kasus Sander Thoenes.
Selain itu, Balkenende juga meminta agar untuk warga Belanda diberikan kembali
fasilitas visa-on-arrival, yang
sebelumnya telah dicabut oleh pemerintah Indonesia.
Presiden SBY berjanji tetap memberikan
informasi ke Belanda perihal kasus kematian Munir dan wartawan Belanda Sander
Thoenes. Pemerintah Indonesia kemudian memenuhi permintaan Belanda dan memberikan
fasilitas visa-on-arrival untuk warga
Belanda. Artinya, warga Belanda yang ingin berkunjung ke Indonesia, tidak perlu
lagi mengajukan permohonan untuk memperoleh visa, melainkan dapat langsung ke
Indonesia, dan ditempat mereka memasuki wilayah Republik Indonesia, langsung
mendapat visa kunjungan.
Sangat disayangkan, bahwa Presiden
Indonesia tidak mempertanyakan mengenai pengusutan pembantaian terhadap ratusan
ribu rakyat Indonesia, yang dibantai di masa agresi militer Belanda di
Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Juga Presiden Indonesia tidak menuntut
agar pemberian fasilitas visa-on-arrival
berlaku timbal-balik (resiprokal) sehingga warga Indonesia yang akan berkunjung
ke Belanda juga dapat lagsung memperoleh visa di tempat memasuki wilayah
Belanda. Hingga sekarang, sangat sulit untuk warga Indonesia memperoleh visa
kunjungan untuk Belanda. Belanda bersembunyi di balik perjanjian Schengen, di
mana visa untuk Belanda, juga berlaku untuk Negara-negara yang menandatangani
perjanjian Schengen. Belanda pura-pura tidak mengetahui mengenai perjanjian
bilateral antara dua Negara, yaitu untuk berlakunya timbal-balik sesuatu
perjanjian antara dua Negara.
Akhir tahun 2011 untuk peremajaan angkatan
perangnya, Belanda menyatakan akan menjual 100 tank Leopard yang telah mereka
gunakan. Indonesia bermaksud membeli 100 tank Leopard tersebut. Namun Belanda
meolak rencana Indonesia untuk membeli 100 tank bekas tersebut, dengan alasan,
bahwa Indonesia adalah Negara pelanggar HAM! (Sumber: ANTARA
Belanda tidak mempercayai pengadilan
di Indonesia
dan menyerukan agar didirikan tribunal internasional untuk kejahatan perang
tentara Indonesia di Timor Timur. Tetapi bagaimana dengan pengadilan Belanda
yang tahun 1952 membebaskan Westerling –yang bertanggungjawab atas pembunuhan
puluhan ribu orang- dari seluruh tuduhan? Selain itu, tidak satupun pelaku
pembantaian massal selama agresi militer Belanda di Indonesia yang dimajukan ke
pengadilan.
Pemerintah Belanda memang buta di satu
mata. Untuk kasus-kasus kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan
pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militer
Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, seperti pembantaian massal di
Sulawesi Selatan, pembantaian di Rawagede, pembantaian di Kranggan
(Temanggung), gerbong maut (Lijkentrein)
Bondowoso, dll., juga harus dibentuk pengadilan Ad Hoc/tribunal internasional di Den Haag, sesuai dengan Statuta Roma yang digunakan oleh International Criminal Court di Den
Haag.
Putuskan
Hubungan Indonesia – Belanda: Apa Ruginya?
Apabila dua Negara akan menjalin
hubungan diplomatik, sudah seharusnya keduanya saling mengakui secara yuridis.
Apabila Negara yang satu tidak mengakui de
jure kemerdekaan Negara yang akan menjadi mitra diplomatiknya, tentu akan
menjadi suatu hubungan yang sangat aneh. Demikianlah yang terjadi antara
Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, di mana Pemerintah Belanda tetap
tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan RI adalah 17 Agustus 1945, dan tetap bertahan pada versi Belanda,
yaitu de jure kemerdekaan RI adalah
27 Desember 1949.
Hal ini sangat diketahui oleh para
pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri RI, terutama oleh para Duta Besar
Republik Indonesia yang pernah bertugas di Belanda. Yang sangat mengherankan di
sini adalah, pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia yang mengetahui hal ini dengan jelas, tidak mempermasalahkan sikap
pemerintah Belanda ini.
Beberapa pakar hukum internasional di
Indonesia menyatakan, bahwa itu adalah hak Pemerintah Belanda untuk mengakui
atau tidak de jure kemerdekaan
sesuatu Negara, namun di lain pihak, apabila Pemerintah Indonesia mengetahui
hal ini, maka ini seharusnya berlaku timbal-balik, yaitu Pemerintah Repubik
Indonesia juga menyatakan, tidak mengakui Pemerintah Belanda, dan memutuskan
hubungan “diplomatik”!
Dengan beberapa
Negara, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, seperti dengan Taiwan dan
Israel. Namun tidak ada masalah atau kesulitan dalam hubungan perdagangan,
investasi, pariwisata, bahkan dalam pembelian persenjataan.
Pada 16 Agustus 2005 Menlu
Belanda, Ben Bot diwawancarai di Stasiun Tv di Jakarta. Atas pertanyaan
mengenai kompensasi Belanda untuk Indonesia dia menjawab, selain
bantuan-bantuan yang diberikan oleh Belanda, juga kunjungan wisatawan dari
Belanda dipandangnya sebagai kompensasi atas agresi militer Belanda di
Indonesia tahun 1945 – 1950.
Kita bandingkan
Belanda sebagai “Negara sahabat”, dengan Taiwan, yang “bukan Negara sahabat”,
karena tak ada hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Jumlah penduduk
Taiwan 23 juta, dan jumlah penduduk Belanda 16 juta.
Investasi Taiwan di Indonesia
berada di peringkat 9 (Sumber BKPM: http://kdei-taipei.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=422:simposium-investasi-taiwan-indonesia-di-sulawesi-selatan&catid=34:berita&Itemid=55)
Jumlah warga
Indonesia di Belanda 16.000 orang (Sumber:
Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) di Taiwan berjumlah 161 ribu orang.
Ada sekitar 20.000
warga Taiwan di Indonesia.
Tahun 2005, ketika Ben Bot mengeluarkan
pernyataannya, bahwa wisatawan dari Belanda dipandang sebagai “kompensasi”
atas agresi militer Belanda, jumlah wisatawan dari Belanda tidak menonjol,
bahkan masih di bawah wisatawan dari Taiwan, yang bukan Negara sahabat, dan tak
ada hubungan diplomatik dengan Indonesia. Bahkan dibandingkan dengan Negara Eropa
lain, Belanda hanya menduduki peringkat ke tiga, sebagaimana ditunjukkan oleh statistik
di bawah ini.
Tahun 2005, wisatawan dari:
Taiwan 247,037
Inggris
Raya 163,898
Jerman 156,414
Belanda 114,687
Tahun 2012, jumlah wisatawan
dari Indonesia yang mengunjungi Taiwan menduduki tempat terbesar ketiga. Di
tempat pertama adalah wisatawan dari Malaysia, dan kedua
adalah wisatawan dari Singapura. (Sumber: http://whatindonews.com/id/post/3662)
Jumlah wisatawan dari Belanda dan dari Taiwan
ke Indonesia tahun 2011:
Dari
Belanda : 159,063
Dari
Taiwan : 221,877
Bahkan tahun 2002,
jumlah wisatawan dari Taiwan ke Indonesia menempati urutan ke empat sedangkan
dari Belanda hanya ke sepuluh. Dibandingkan dengan Negara-negara Eropa lain,
wisatawan dari Belanda juga bukan yang terbanyak, melainkan hanya di posisi
ketiga. Statistik tahun 2002 mencatat, jumlah wisatawan mancanegara ke
Indonesia sbb:
1.
Singapura 1,447,315
2.
Jepang 620,722
3. Malaysia 475,163
4. Taiwan 400,334
5.
Australia 346,245
6.
Republik
Korea 210,581
7.
Amerika
Serikat 160,982
8.
Inggris
Raya 160,077
9. Jerman 142,649
10. Belanda 110,631
(Sumber: Badan Pusat Statistik RI:
Dengan Israel, Republik Indonesia
tidak memiliki hubungan diplomatik. Bahkan untuk banyak kalangan di Indonesia,
Israel sangat ditentang eksistensinya. Namun pada tahun 1980 melalui operasi
rahasia, Pemerintah Indonesia membeli 32 pesawat tempur jenis Sky Hawk dari Israel!
Sangat ironis, Negara yang ratusan
tahun menjajah, merampok kekayaan Bumi Nusantara, melakukan semua kejahatan
besar, seperti perbudakan, pembantaian etnis, kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan bahkan pemerintahnya melakukan monopoli perdagangan opium, kini
dengan tangan berlumuran darah, menuding Indonesia sebagai Negara pelanggar
HAM.
Tidak adanya hubungan diplomatik
antara Republik Indonesia dengan Belanda, dipastikan tidak akan mempengaruhi
hubungan Indonesia dengan Negara-negara Eropa lain. Sejarah mencatat, bahwa
sejak ratusan tahun Negara-negara di Eropa saling menjajah satu dengan lainnya.
Belanda pernah dijajah oleh Spanyol.
Ketika Belanda menyatakan kemerdekaannya dari Spanyol pada 26 Juli 1581,
Kerajaan Aceh lah yang pertama mengakui Belanda, dengan mengirim utusan ke
Belanda. yang tiba di Belanda pada 20 Juli 1602. Sultan Alauddin Risyat Syah
dari Aceh mengutus Abdul Hamid ke istana Pangeran Maurits. Abdul Hamid membawa
hadiah dari Sultan Alaudin untuk Pangeran Mauritsberupa sebilah pedang emas,
dan seekor burung Kakatua yang sudah dapat berbicara. Namun Abdul Hamid meninggal
pada 9 Agustus 1602 dan dimakamkan di Middelburg.
Pada waktu itu, belum satu pun
Negara-negara Eropa lainnya mengakui Belanda. Beberapa Negara Eropa yang ingin
bertemu dengan utusan dari Aceh, datang ke Belanda, dan dipandang sebagai
pengakuan terhadap Belanda. Namun Belanda tidak berterima kasih, bahkan
melupakan hal ini. Pada 26 Maret 1873 Belanda melancarkan agresi militernya
terhadap kerajaan Aceh, dan terjadi perang yang berlangsung selama 30 tahun,
yang menelan korban jiwa sekitar seratus ribu rakyat Aceh.
Perang Dunia ke II masih sangat aktual
di Eropa, di mana antara tahun 1939 – 1945 bangsa-bangsa di Eropa tersebut
saling membunuh, dengan korban mencapai puluhan juta jiwa!
Pemerintah Indonesia menganggap
Belanda sebagai sahabat. Tetapi nampaknya ini hanya penilaian sepihak, yaitu
dari pihak Indonesia. Bahkan sampai detik ini, tahun 2013, Berlanda tetap tidak
mau mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Tanggal 30 Agustus 2013, KUKB mengirim
Petisi kepada Presiden Republik Indonesia,yang isinya mendesak Pemerintah
Indonesia untuk memutus hubungan yag janggal dengan Belanda. (Lihat:
Apakah ada kerugian untuk bangsa dan
Negara Indonesia apabila tidak ada hubungan diplomatik antara Republik
Indonesia dengan Kerajaan Belanda?
Jakarta,
Desember 1998.
Revisi/Penambahan
data terbaru: Desember 2005, Desember 2011 dan Agustus 2013.
********
Catatan:
Dokumen-dokumen
dan tulisan yang rinci mengenai hal-hal yang dikemukakan dalam tulisan ini,
dapat dibaca di weblogs:
4 comments:
salam kenal ijin menyimak semangat terus gagasan nusantara
Makasih gan udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............
bisnistiket.co.id
Luar biasa tulisannya!!
ijin share dg copas isi & sourcenya yah! :)
Silakan copy dan share.
Ini adalah konsep untuk menuntut Inggris, belanda dan australia atas agresi militer yang mereka lakukan di Indonesia antara tahun 1945 - 1950
Post a Comment