Panca Pilar Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat
PROKLAMASI 17 AGUSTUS
1945
PILAR PERTAMA BANGSA
INDONESIA
Oleh Batara R. Hutagalung
Pendahuluan
Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), terutama
kepada pimpinan MPR yang telah mencetuskan gagasan untuk merumuskan ‘Empat
Pilar (Konsensus) Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’, namun mengingat pentingnya masalah
yang perlu dikemukakan agar dalam merumuskan Pilar Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat, benar-benar sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar ’45 dan melanjutkan
semangat para pendiri bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan
dengan mendirikan satu negara yang merdeka dan berdaulat, serta tidak melupakan
pengorbanan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan
pada 17 Agustus 1945, maka disampaikan pemikiran berikut ini untuk
menyempurnakan rumusan Pilar/Konsensus Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan bermasyarakat.
Di
era demokrasi dan kebebasan berpendapat, tentu setiap warganegara berhak menyampaikan pendapatnya, dan ini dijamin
oleh Undang-Undang Dasar. Memang pendapat dari rakyat biasa, kalau berbeda
apalagi bertentangan dengan pendapat resmi yang dikeluarkan oleh suatu lembaga
negara, tentu sangat sulit untuk disosialisasikan, karena hampir tidak ada
penguasa yang mau mengakui kekeliruannya.
Mungkin
ada kalangan di Indonesia yang masih ingat di zaman kekuasaan kelompok yang
menamakan dirinya “Orde Baru”, dan era kepemimpinan Sukarno oleh penguasa “Orde
Baru” dinyatakan sebagai “Orde Lama”, di mana penguasa menjadi pemilik tunggal
kebenaran. Termasuk memberikan interpretasi terhadap dasar negara, Pancasila,
dan kemudian tafsir tunggal tersebut disosialisasikan kepada seluruh rakyat
Indonesia, dengan berbagai cara, termasuk memaksakan kehendak penguasa.
Di
era Sukarno, sosialisasi tafsir Pancasila termasuk dalam yang dinamakan “Tujuh
Bahan Pokok Indoktrinasi” (TUBAPIN), dan penguasa memperkenalkan “Demokrasi
Terpimpin” (guided democracy).
Sedangkan di era Suharto sosialisasi tafsir tunggal Pancasila disampaikan dalam
bentuk yang disebut sebagai penataran “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4).” Penguasa Orde Baru memperkenalkan
“Demokrasi Pancasila”, di mana dinyatakan antara lain, bahwa dalam “Demokrasi Pancasila”
tidak dikenal oposisi!
Suharto,
sebagai pemimpin Orde Baru digulingkan oleh yang menamakan dirinya “Orde
Reformasi” pada 21 Mei 1998. Setelah berjalan 14 tahun, masih belum jelas di
bidang mana atau apa yang telah direformasi. Sebagian besar penguasa Orde
Reformasi adalah wajah-wajah lama yang telah berjaya di zaman Orde Baru, dan
bahkan beberapa orang telah berjaya sejak zaman Orde Lama. Selain itu, ada
kelompok manusia yang ikut memperngaruhi jalannya pemerintahan, yang di zaman
apapun, baik di zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, maupun di
zaman kemerdekaan sampai sekarang, selalu berada di lingkungan penguasa. Ini
biasanya kelompok pengusaha dan kaum oportunis.
Sejak
runtuhnya kekuasaan Orde baru, setidaknya rakyat telah lebih bebas untuk
menyatakan pendapatnya. Walaupun semua boleh berpendapat apapun, namun yang
memiliki kekuasaan dan kewenangan masih merasa paling pintar dan pemilik
kebenaran tunggal. Tetapi rakyat Indonesia sekarang sudah sangat cerdas, dan tidak
dapat lagi dibodoh-bodohi oleh penguasa yang berperilaku seolah-olah menjadi
pemilik tunggal kebenaran dan mempunyai hak untuk memaksakan tafsir tunggal
kepada rakyat.
Dasar menetapkan Empat "Pilar"
Sejak
beberapa tahun belakangan, MPR gencar memperkenalkan dan menyosialisasikan
EMPAT PILAR Kehidupan berbangsa dan Bernegara. Empat Pilar tersebut,
sebagaimana terpampang di situs MPR, adalah:
v
Pancasila,
v
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia1945 (UUD ’45),
v
Negara kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dan
v
Bhinneka Tunggal
Ika.
Dalam
pengantar untuk sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,
Syamsul Maarif, SS menjelaskan:
“… Setelah ada amanat UU No 27 tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 hurup e, yakni mengkoordinasikan anggota
MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar. Sertamerta berbagai wacana baik
dari unsur pemerintahan maupun organisasi politik dan kemasyarakatan, mulai
mengungkap bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat kesepakatan
yang disebut sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar
ini adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa
berdiri secara kokoh. BIla tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah roboh.
Empat tiang penyangga ditengah ini disebut soko guru yang
kualitasnya terjamin sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman tenteram dan
memberi kenikmatan.
Empat pilar itu pula, yang menjamin terwujudnya
kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga
merasa tenteram dan bahagia.
Empat pilar tersebut juga fondasi / dasar dimana kita
pahami bersama kokohnya suatu bangunan sangat bergantung dari fondasi yang
melandasinya. Dasar atau fondasi bersifat tetap, statis sedangkan pilar
bersifat dinamis.
Salah satu tugas dari MPR adalah Sosialisasi Empat
pilar bernegara yang diamanatkan dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD Pasal 15 ayat (1) huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR
untuk memasyarakatkan Undang Undang Dasar ...”
Tidak
salah menetapkan empat pilar tersebut sebagai pilar kebangsaan. Namun apabila
ditinjau kebih dalam lagi, ada satu pilar yang dilupakan, yaitu Proklamasi 17
Agustus 1945. Mungkin karena para penyusun rumusan empat pilar kurang mengerti mengenai
makna dan arti penting proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pancasila,
UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika
dinyatakan sebagai harga mati untuk bangsa Indonesia. Apakah dengan demikian,
Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan harga mati yang harus dipertahankan dan
diperjuangkan?
Proklamasi 17 Agustus
1945. Pilar Pertama
Para
pendiri dan penyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam pembukaan UUD
merumuskan sebagai berikut:
Pembukaan UUD 1945
"… Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
v
Ketuhanan Yang
Maha Esa,
v
kemanusiaan yang
adil dan beradab,
v
persatuan
Indonesia, dan
v
kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
v
serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Demikian
Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang kemudian dinyatakan sebagai Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD ’45).
Pada
1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan rumusan untuk dasar dari negara Republik
Indonesia, yang akan dibentuk. Demikian juga Mr. Muhamad Yamin yang
menyampaikan secara lisan. Setelah mengalami beberapa perubahan, akhirnya
diterima rumusan yang sampai sekarang dinyatakan sebagai dasar negara Republik
Indonesia, yaitu:
v
Ketuhanan Yang
Maha Esa,
v
kemanusiaan yang
adil dan beradab,
v
persatuan
Indonesia, dan
v
kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
v
serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Sukarno
mengatakan, bahwa seorang temannya yang ahli bahasa menyarankan untuk menamakan
lima dasar negara ini Pancasila, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang
artinya lima dasar.
Sebelum
digunakan oleh Sukarno, Pancasila telah dikenal di kalangan ummat Buddha sejak
lebih dari 2.500 tahun, sebagai lima dasar kehidupan agama Buddha. 5 sila dalam
Pancasila Buddhis (dalam bahasa Pali) yaitu:
v
Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk
menghindari pembunuhan makhluk hidup.
v
Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk
menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
v
Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk
menghindari perbuatan asusila.
v
Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk
menghindari menghindari ucapan tidak benar.
v
Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang
samadiyami, yang artinya saya
bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengonsumsi segala zat yang dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran.
Pancasila
Buddhis tersebut berlaku untuk masyarakat luas penganut agama Buddha, sedangkan
untuk para Bhikku dan Bhikkuni berlaku Dasasila (10 sila).
Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan keberagaman –dan diharapkan-
menjadi simbol kerukunan bangsa Indonesia, merujuk kepada kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, yang hidup
di masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14, yang menggambarkan
kehidupan yang damai dan rukun masyarakat di Kerajaan Majapahit, yang pada
waktu itu sebagian beragama Hindu aliran Siwaisme dan sebagian lagi beragama
Buddha.
Kalimat
yang menjadi rujukan di sini tertera dalam yang dinamakan pupuh 139, bait 5. yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno sebagai
berikut:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
(Konon
Buddha dan Siwa merupakan dua unsur yang berbeda)
Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen,
(Mereka
memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?)
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa
tunggal,
(Sebab
kebenaran Jina/Buddha dan Siwa adalah tunggal)
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma
mangrwa.
(Terpecah
belahlah itu, tidak ada dharma/kebenaran yang mendua)
Dasar
pemikiran Mpu Tantular nampaknya bertitik tolak dari prinsip harmoni Jawa untuk
menghindari konflik, dan kemudian mengasumsikan bahwa walaupun Siwa dan Buddha
berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah satu. Namun apabila diteliti lebih
lanjut, ajaran Buddha tidak dapat disatukan atau disamakan dengan ajaran Hindu,
karena ajaran Buddha justru meniadakan dewa-dewa Hindu ternasuk Siwa, dan
Buddha bukanlah Dewa seperti dalam ajaran Hindu atau Jahwe/Tuhan/Allah dalam
ajaran Yahudi, Kristen dan Islam. Buddha adalah penamaan untuk seorang manusia
yang telah mencapai kesempurnaan, dan tidak lagi mengalami siklus lahir, dewasa,
mati dan kemudian mengalami reinkarnasi (rohnya lahir/menitis kembali) lagi.
Sidharta Gautama yang dinyatakan sebagai pendiri agama Buddha, bukanlah Buddha
pertama dan juga bukan Buddha terakhir. Menurut ajaran Buddha, akan datang lagi
Buddha Maitreya, atau Buddha Welas Asih (Kasih Sayang).
Para
pendiri bangsa Indonesia sepakat menerima usulan untuk menggunakan kalimat Bhinneka Tunggal Ika, yang mencoba menggambarkan
perbedaan dan keSATUan Siwa – Buddha, untuk diterapkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman etnis/suku, agama, budaya dll. Dengan
kata lain, Bhinneka Tunggal Ika kini diartikan
sebagai: “Walaupun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda baik,
etnis/suku, agama dan budaya, tetapi kini terhimpun sebagai satu kesatuan.”
Dengan
mengacu kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar, maka kedudukan proklamasi
kemerdekaan terletak paling depan, sehingga apabila akan meletakkan dasar-dasar
berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya Proklamasi 17.8.1945 juga mendapat
tempat pertama.
Latar Belakang Sejarah
Bangsa
Belanda datang ke Nusantara, awalnya untuk berdagang, namun dalam perjalanan
sejarahnya berubah menjadi penjajah, yang menguasai berbagai wilayah di
Nusantara melalui kekuatan militernya. Pada 20 Maret 1642, para pedagang
Belanda mendirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang mendapat piagam (Oktrooi) dari pemerintah Belanda waktu
itu (Staaten General), untuk a.l.:
- Memiliki tentara
sendiri,
- Mencetak mata uang,
- Menyatakan perang
terhadap suatu negara.
Dengan
demikian, VOC bukan kongsi dagang biasa, melainkan sudah menyerupai satu
negara. Dengan berbagai cara, VOC dapat menguasai beberapa wilayah di
Nusantara, dan kemudian menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang dikuasainya itu
sebagai milik VOC. Di zaman VOC ini tahun 1642 secara resmi diberlakukan
perbudakan, dan undang-undang perbudakan. Belanda menjadi salahsatu pedagang
budak terbesar di dunia. Selain dari perdagangan umum, perdagangan budak menyumbang
dana yang tidak sedikit untuk APBN
Belanda.
Awalnya,
Belanda bersaing ketat dan kejam dengan beberapa negara Eropa dalam menguasai
perdagangan di Asia Tenggara, yaitu Spanyol, Portugal dan Inggris. Mereka
saling merampok dan membunuh untuk menjadi penguasa tunggal di kawasan yang
kaya akan rempah-rempah, yang waktu itu sangat mahal di Eropa. Namun
perlahan-lahan, ketiga pesaing tersebut berhasil disingkirkan oleh Belanda.
Karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), yang menyebabkan kebangkrutan kongsi dagang terbesar di dunia waktu itu,
piagam VOC tidak diperpanjang oleh pemerintah Belanda, dan pada 31 Desember
1779 VOC dibubarkan. Sejak itu, singkatan VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie, artinya runtuh
karena korupsi! Wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh VOC, diambilalih
oleh pemerintah Belanda dan kemudian dinyatakan sebagai provinsi seberang
lautan yang dinamakan Nederlands Indië
(India Belanda). Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van
Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah Nederlands Indië (India-Belanda) pertama
(1800 – 1801).
Sejak
itu, penguasaan atas wilayah-wilayah di bumi Nusantara dilakukan secara
sistematis, sehingga di awal abad 20, hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara
dikuasai oleh Belanda, dengan beberapa pengecualian, yaitu beberapa wilayah
yang menjadi jajahan Inggris dan Portugal.
Setelah
perang Napoleon di Eropa, Bengkulu masih jajahan Inggris dan Singapura adalah
jajahan Belanda. Tahun 1824 Inggris dan Belanda melakukan ruilschlag (tukar guling), sehingga kemudian Bengkulu menjadi
jajahan Belanda dan Singapura menjadi jajahan Inggris. Di Kalimantan dan Irian,
Inggris dan Belanda sepakat untuk berbagi, dan di Timor, Belanda dan Portugal
sepakat untuk membagi dua pulau tersebut.
Membagi-bagi
negara-negara di Asia, Afrika dan
Amerika Selatan menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa, dilakukan hingga
pecahnya Perang Dunia I. Tidak ada satupun hukum internasional yang memberi
legitimasi kepada satu bangsa atau negara untuk menguasai, menjajah bangsa
lain, merampok dan kemudian memperbudak manusia, seperti yang telah dilakukan
oleh Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa termasuk Belanda, selama
ratusan tahun. Yang ada hanyalah berdasarkan atas kekuatan seperti halnya hukum rimba,
yaitu siapa yang lebih kuat memangsa yang lebih lemah.
Penjajahan
Belanda di beberapa wilayah di Nusantara, berlangsung lebih dari 300 tahun,
seperti di Jayakarta, yang setelah dikuasai oleh Belanda tahun 1919, namanya
diganti menjadi Batavia, demikian
juga di wilayah Kepulauan Banda. Namun di beberapa daerah seperti Aceh, Batak,
Bali, kekuasaan Belanda hanya sekitar 30 tahun saja, sampai 9 Maret 1942.
undang-undang perbudakan di India Belanda baru dihapus tahun 1860, namun praktek
perbudakan masih berlangsung terus sampai akhir abad 19. Penjajahan Belanda
tidak sepenuhnya berlangsung dengan mulus, namun diselingi oleh kekuasaan
Inggris antara tahun 1911 – 1816.
Perang
Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian
dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang
terhadap pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember
1941. Satu persatu negara-negara di Asia tenggara yang waktu itu adalah jajahan
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Penyerbuan
tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1
Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi
tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van
Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda
menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.
Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan
Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan
haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir
sudah hak Belanda atas jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu
siapa yang kuat, memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang,
dalam mempertahankan mangsanya/ jajahannya.
Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia,
diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar,
Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan
Keamanan pada 20 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya
kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948. Memorandum
yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“…Tanpa
sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang
pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan
bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan
selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik
obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang
dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang
dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah
diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia.
Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa maslah
Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan
KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi
persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...
Bahwasanya
menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan
terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan
Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk
mencoba mempertahankannya ...
…
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat
Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi
ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang
sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara
mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama
sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka
mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah
hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul
tanggung-jawabnya atas Indonesia.
Dari segala segi, "hak sejarah" yang
didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia
yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”
Demikian
a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Pada
15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
tentara sekutu (allied forces).
Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti
berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada
5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang
menandai berakhirnya perang di Eropa.
Pemerintah
India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9
Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara
resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal
perang Amerika Serikat, Missouri, di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan)
di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).
Di
masa vacuum of power tersebut, pada
17 Agustus 1945 para pemimpin bangsa Indonesia mengambil inisiatif untuk
menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus mengangkat Ir.
Sukarno sebagai Presiden RI serta Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden RI.
Kemudian pada 2 September 1945, dibentuk kabinet pemerintah RI pertama. Dengan
demikian, pembentukan negara Republik Indonesia sah sesuai dengan Konvensi
Montevideo, yang ditandatangani oleh 20 negara di Montevideo, Ibukota Uruguay,
pada 26 Desember 1933.
Penetapan
batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga
berdasarkan kesepakatan internasional, Utti
possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa
sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)
Bangsa
Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah
Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan
kemerdekaannya pada 2 September 1945.
Belanda,
mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha
menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi
memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan
oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL
dihancurkan oleh tentara Jepang.
Pada
24 Agustus 1945 di Chequers, dekat London, Inggris, pemerintah Belanda
mengadakan perundingan dengan pemerintah Inggris, untuk meminta bantuan Inggris
menguasai kembali wilayah bekas jajahannya. Inggris menyatakan kesediannya
untuk membantu Belanda dengan kekuatan militer Ingris. Kesediaan Inggris
dituangkan dalam perjanjian yang dinamakan Civil
Affairs Aggreement (CAA), di mana tentara Inggris akan “membersihkan”
wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”,
diserahkan kepada Netherlands Indies
Civil Administration (NICA).
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi
Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian
Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan
tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British
Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi
tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.
Secara resmi,
tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied
Forces kepada Mountbatten adalah:
1.
Melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese
Imperial Forces),
2.
membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang
ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk
di Indonesia,
3.
serta menciptakan
keamanan dan ketertiban (Establishment
of law and order).
Namun
ternyata ada agenda rahasia (hidden
agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili
tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah
disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk
“membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris telah
banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, yang
mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya
mencapai puluhan ribu. Di Surabaya saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan
pemboman kota Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu pada bulan November,
korban jiwa diperkirakan lebih dari 20.000.
Untuk
mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun
1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut
sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacnt).
Bangsa
Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan
kemerdekaannya. Agresi militer Belanda –yang dibantu oleh Inggris dan
Australia- di Indonesia berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi
Meja Bundar (KMB) pada bulan November 1949, di mana disepakati a.l.:
- Dibentuk negara
Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
- Dibentuk Uni Belanda
– Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda – RIS,
- Integrasi mantan
tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
- RIS yang dipandang
sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung utang India
Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara
dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua agresi militer
Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948.
Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan, dilanjutkan oleh
pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden, dan dihentikan
secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.
- Masalah Irian Barat
ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak termasuk
sebagai bagian dari RIS. Krena Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian
Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul konfrontasi antara RI
dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun 1969 dilaksanakan
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang hasilnya
menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk
pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian
Barat tidak termasuk di dalamnya. Tahun 2000, pemerintah Belanda
menugaskan pakar sejarah, Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk meneliti ulang
mengenai PEPERA. Setelah melakukan penlitian selama 5 tahun dengan biaya
yang sangat besar, Drooglever menerbitkan laporannya dalam bentuk buku
setebal lebih dari 700 halaman. Dengan satu kalimat, Drooglever menyebut,
bahwa PEPERA tersebut adalah suatu lecurangan besar. Yang menjadi
pertanyaan di sini adalah, mengapa Belanda, setelah lebih dari 30 tahun,
di tengah-tengah permasalahan yang dihadapi Indonesia di Irian Barat,
mengangkat kembali peristiwa ini.
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara
bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik
Indonesia.
Tahun
1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan
pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan pemerintah
RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan dengan
negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.
Peristiwa
pemboman Surabaya November 1945, pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa,
Bandung Lautan Api, Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan/Barat,
Pembantaian di Rawagede, Gerbong Maut Bondowoso, Pembantaian di Kranggan (Jawa
Tengah), pembantaian di “Jembatan Ratapan Ibu” di Payakumbuh (Sumatera Barat),
dll., tidak akan terjadi, seandainya tidak ada konspirasi Belanda – Inggris dan
Australia yang tertuang dalam Civil
Affairs Agreement CAA), yang ditandatangani oleh pemerintah Inggris dan
Belanda di Chequers, dekat London pada 24 Agustus 1945, di mana Inggris
menyatakan kesediaannya membantu Belanda memperoleh kembali Indonesia sebagai
jajahannya.
Dalam
mempertahankan kemerdekaan sejak Agustus 1945, diperkirakan sekitar satu juta
ralyat Indonesia mengorbankan nyawa mereka, dan agresi militer
Belanda-Inggris-Australia tersebut juga telah menyebabkan kehancuran
infrastruktur, bangunan, perumahan rakyat serta perekonomian Indonesia.
Keabsahan Proklamasi
17 Agustus 1945
Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan
bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki.
Amerika mengancam, apabila Jepang tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan
dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito
menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Namun penandatanganan
dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2
September 1945 di atas kapal perang AS Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti,
antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum
of power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh
Jepang, termasuk Indonesia.
Pada
17 Agustus 1945, di masa vacuum of power
tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18
Agustus mengangkat Sukarno sebagai Presiden dan M. hatta sebagai Wakil
Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.
Dengan
demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan
konvensi Montevideo, yaitu:
- Adanya penduduk yang
permanen,
- Adanya wilayah
tertentu,
- adanya pemerintahan.
Dalam
Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 20 negara-negara seluruh Amerika
pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:
The state as
a person of international law should possess the following qualifications: a )
a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d)
capacity to enter into relations with the other states.
Ayat
tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari
pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara
tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.
The
political existence of the state is independent of recognition by the other
states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity
and independence, to provide for its conservation and prosperity, and
consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its
interests, administer its services, and to define the jurisdiction and
competence of its courts.
The exercise
of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of
other states according to international law.
Pada
tahun 1946, Liga Arab memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik
Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatic dengan Republik
Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan
demikian ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang
pertama terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah
terpenuhi.
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara
lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh
Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang
disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum
berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:
“ A free,
open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims,
based upon a strict observance of the principle that in determining all such
questions of sovereignty the interests of the population concerned must have
equal weight with the equitable claims of the government whose title is to
be determined.”
Pada
waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut
di kabinet Wilson.
Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk
pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt
adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat
sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945.
Pada
14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri
Inggris Winston Churchill mengeluarkan seruan yang dikenal sebagai Piagam
Atlantik (Atlantic Charter), di mana
butir tiga menyebutkan:
“ …Third,
they respect the right of all peoples to choose the form of government under
which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government
restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir
tiga ini dikenal sebagai “ …right for
selfdetermination of peoples …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni
1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble
(pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:
“… To
develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of
peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal
peace…”
Ratu
Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat
pengasingan di London pada 7 Desember 1942 mendukung gagasan Atlantic Charter tersebut.
Landasan
moral dan politis serta HAM ini mendapat kekuatan hukum internasional, yaitu
Konvensi Montevideo mengenai persyaratan pembentukan suatu negara, yang
ditandatangani oleh 19 negara di Ibukota Uruguay, Montevideo pada 26 Desember
1933.
Pernyataan
Woodrow Wilson diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh
Presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston
Churchill pada 14 Agustus 1941, di awal Perang Dunia II.
Hingga
saat ini, seratus tahun setelah pertama kali dicetuskan oleh Presiden Wilson,
masih ada beberapa bangsa yang belum menikmati kemerdekaannya, seperti bangsa
Palestina, bangsa Kurdi dan Irlandia Utara yang masih dijajah oleh Inggris.
Proklamasi 17.8.1945 adalah Pilar Pertama
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Belanda
menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun,
terutama Jayakarta, yang oleh Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa
daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara dan Bali kekuasanan Belanda hanya
berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja. Namun permasalahannya
bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara teradap
bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang
lazim disebut sebagai penjajahan.
Apabila
meneliti perjalanan sejarah dari bulan Maret 1942 sampai Agustus 1945, maka jelas
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan suatu pemberontakan
ataupun revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan.
Mencermati
sejarah panjang sejak timbul gagasan pada awal abad 20 untuk mendirikan suatu
negara yang bebas dari penjajahan, hingga dinyatakannya kemerdekaan bangsa
Indonesia pada 17 Agustus 1945, kelihatannya para perumus empat pilar
kebangsaan tidak memahami KALIMAT PERTAMA dalam pembukaan UUD ’45. yang
menyebutkan: “… Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…”
Inilah kalimat terpenting pertama dalam pembukaan UUD ’45.
Sehubungan
dengan kalimat penting pertama tersebut, dan masih merupakan satu kesatuan, kalimat
selanjutnya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, menegaskan, bahwa proklamasi
17 Agustus 1945: “… telah mengantarkan bangsa Indonesia ke depan PINTU GERBANG
KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA …”
Dengan
meneliti lebih dalam dan digunakan logika serta kaidah ‘Sebab-Akibat’ (Bahasa
Jerman: Ursache – Wirkung), maka jelas
sekali bahwa Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Pilar Pertama sekaligus
Pilar Utama bangsa Indonesia. Secara logika dapat dijelaskan, bahwa apabila
tidak ada Proklamasi kemerdekaan 17.8.1945, maka empat pilar yang lain TIDAK
AKAN ADA!
Presiden
Republik Indonesia, Ir. Sukarno terpilih sebagai Presiden RIS, dan untuk
mengisi jabatan yang kosong, Mr. (gelar sarjana hukum) Asaat Datuk Mudo, Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), diangkat menjadi Pemangku Jabatan
Presiden Republik Indonesia. KNIP kemudian menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR).
Tak
lama setelah RIS berdiri pada 27.12.1949, satu persatu 15 negara bagian –selain
Republik Indonesia- membubarkan diri atau dibubarkan oleh rakyatnya, dan
kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. RIS dibubarkan pada 16 Agustus
1945, dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang proklamasi kemerdekaannya adalah
17.8.1945.
Pernyataan
kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17.8.1945 sah dipandang dari berbagai segi,
baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politik dan HAM.
Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan pada 17.8.1945, di masa kekosongan
kekuasaan (vacuum of power) di
wilayah pendudukan Jepang. Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
tentara sekutu pada 15.8.1945, namun dokumen penyerahan baru ditandatangani
pada 2 September 1945.
Sebelumnya,
setelah pertahanan Belanda dan sekutunya di Jawa dalam waktu satu minggu
dihancurkan oleh tentara di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, pada
9 Maret 1942 di Pangkalan Udara
Kalijati, Jawa Barat, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letnan Jenderal Hein
Ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Nederlands
Indië (India Belanda), Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer mendatangani
dokumen menyerah tanpa syarat, dan menyerahkan seluruh wilayah jajahan Belanda
kepada balatentara Dai Nippon.
Melihat
sejarah panjang dari mulai timbulnya gagasan untuk mendirikan suatu negara yang
merdeka dan berdaulat, hingga terwujudnya negara yang dimaksud dengan
pernyataan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, di mana untuk mempertahankan
kemerdekaan tersebut bangsa Indonesia masih harus berjuang selama hampir lima
tahun dengan pengrobanan rakyat yang mencapai satu juta jiwa, maka sudah
seharusnya Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi PILAR PERTAMA Kehidupan berbangsa
dan Bernegara di republic Indonesia.
Makna Proklamasi 17
Agustus 1945
Setelah
proklamasi kemerdekaan 17.8.1945, bangsa Indonesia memiliki negara yang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kemudian disusunlah Undang-Undang Dasar, yang dinamakan UUD ’45, di
mana di dalamnya terkandung nilai Pancasila dan keberagaman etnis/suku bangsa,
agama, budaya, dll disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Proklamasi 17.8.1945
juga merupakan pintu gerbang untuk membangun empat pilar lainnya.
Proklamasi
17.8.1945 merupakan symbol dari keberanian para pemimpin bangsa Indonesia untuk
menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia dan semangat berjuang seluruh rakyat
Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada
17.8.1945.
Proklamasi
17.8.1945 sah baik berdasarkan hukum internasional, maupun berdasarkan politik,
moral dan HAM. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan keabsahan proklamasi
17.8.1945 kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk menepis anggapan selama ini,
bahwa dunia internasional hanya mengakui 27 Desember 1949.
Ternyata
tidak semua rakyat Indonesia menganggap penting
de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Hal ini dapat diterangkan, apabila meneliti
sejarah panjang penjajahan Belanda 1602 - 1942, dan periode 1945 – 1950.
Sejak
zaman penjajahan Belanda, sangat banyak pribumi yang membantu Belanda menjajah
bangsanya sendiri. Selain menjadi kaki-tangan Belanda dalam masalah
administrasi, juga banyak yang menjadi serdadu Belanda (lazim disebut serdadu
“kumpeni”). Juga ketika bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan
antara tahun 1945 – 1950, sangat banyak pribumi yang membantu Belanda, baik
dalam hal pemerintahan, maupun menjadi serdadu KNIL. Sebagai hasil perundingan
Konferensi meja Bundar, dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana
Republik Indonesia merupakan satu dari
16 Negara Bagian. 15 Negara Bagian lain adalah negara-negara atau daerah otonom
yang dibentuk oleh Belanda.
Untuk
menguasai Indonesia kembali sebagai jajahan, selain mendatangkan lebih dari
150.000 serdadu dari Belanda, Belanda juga merekrut lebih dari 60.000 pribumi
untuk menjadi serdadu KNIL, yang membantu Belanda membunuh bangsanya sendiri.
Salahsatu butir kesepakatan KMB, mantan tentara KNIL diterima di TNI dengan
pangkat yang sama. Terkuak berita, bahwa sebelum KNIL di bubarkan, mereka
dinaikkan pangkatnya sampai dua tingkat. Di tahun 70-an, ada beberapa mantan
serdadu KNIL yang mencapai pangkat Jenderal di TNI.
Demikian
juga di Dewan Perwakilan Rakyat RIS yang dibentuk tahun 1950. Sebagian besar
berasal dari negara-negara bagian bentukan Belanda. Walaupun RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950 dan pada
17 agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI, mereka bertahan sampai
Pemilihan Umum pertama yang diselenggarakan oleh Republik Indonesia tahun 1955.
Untuk
pemerintah Belanda, de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah
Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht)
kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar
(KMB) di Belanda. Di dalam RIS, Republik Indonesia merupakan satu dari 16
negara bagian.
Satu
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa
Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 9 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan
oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang didirikan oleh para aktifis
KNPMBI pada 5 Mei 2005, sejak tahun 2002 berusaha menyadarkan bangsa Indonesia
mengenai adanya upaya untuk mengaburkan proklamasi 17 Agustus 1945, yang
dilakukan oleh pemerintah Belanda, dan mendapat dukungan dari beberapa kalangan
di Indonesia.
Jelas
masih diperlukan penelitian dan pembahasan lebih lanjut untuk lebih merinci dan
menjabarkan makna dari Proklamasi 17 Agustus 1945, yang kemudian akan
disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia dan kepada para penyelenggara
negara, terutama kepada para pejabat yang menjadi ujung-tombak bangsa Indonesia
di dunia internasional yang harus lebih memperdalam pemahaman mengenai
keabsahan proklamasi 17.8.1945, agar dapat menjelaskan dan mempertahankan
keabsahan Proklamasi 17.8.1945 di dunia internasional.
Tidak
memperjuangkan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17
Agustus 1945, adalah suatu pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa
dan menodai perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta mengabaikan pengorbanan
satu juta jiwa rakyat Indonesia.
Jakarta, Januari 2013.
RIS
kemudian dilanjutkan oleh RI sampai tahun 1956, telah membayar 4 milyar gulden
kepada Belanda. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Belanda, Lambert Giebels,
dalam tulisannya ‘DE INDONESISCHE INJECTIE’ di majalah di Belanda, DE GROENE
AMSTERDAMMER, pada 5 Januari 2000. Lihat:
Teks
lengkap UU No. 13/1956, lihat:
Tulisan
yang rinci mengenai keabsahan proklamasi 17 Agustus 1945, lihat: