KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA
Sekretariat: Jl. Wahyu No. 2
B. GandariaSelatan. Jakarta 12420
Tel.: 021 – 7008 4908. Email: batara44rh@yahoo.com
_____________________________________________
PRESS RELEASE
20 Mei 2013
Sehubungan dengan adanya dualisme antara
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta dan Yayasan
Komite Utang Kehormatan Belanda (YKUKB) yang berkedudukan di Belanda, kami
sampaikan penjelasan sebagai berikut:
1.
Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB) didirikan pada 5 Mei 2005, bertempat di Gedung
Joang ’45, Menteng Raya 31, Jakarta, oleh para aktifis Komite Nasional Pembela
Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI). (Lihat:
Komite Nasional
Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) didirikan pada 9 November 1999,
bertempat di Gedung Joang ’45, oleh para aktifis Komite Pembela Hak Asasi
Rakyat Surabaya Korban Pemboman November 1945 (KPHARS), yang pada 10 November
1999 menuntut pemerintah Inggris untuk meminta maaf dan bertanggungjawab atas
pemboman Surabaya pada November 1945, yang mengakibatkan tewasnya sekitar
20.000 jiwa, sebagian terbesar adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan
anak-anak. (Kronologi kegiatan KPHARS menuntut pemerintah Inggris, lihat:
Pernyataan Duta Besar
Inggris Richard Gozney pada 27.10.2000, lihat:
(Mengenai 10 November
1945 – Latar Belakang, Akibat dan Pengaruhnya,lihat:
2.
Tujuan
utama membuka kembali lembaran sejarah dan menuntut Negara-negara yang telah
melancarkan agresi militer terhadap Republik Indonesia -setelah bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaannya- adalah, pertama, membela martabat bangsa
dan negara yang merdeka dan berdaulat, karena agresi milter yang telah
dilancarkan oleh Negara-negara tersebut (Belanda, Inggris dan Australia) telah
melanggar hak asasi
suatu Negara, yaitu melanggar kedaulatan Negara yang bersangkutan.
Pada 9 Maret 1942 di
Kalijati, Belanda telah kehilangan hak sejarahnya, setelah menyerahkan
jajahannya kepada Jepang. (Lihat: 9 Maret 2012, 70 Tahun Berakhirnya Penjajahan
Belanda di Bumi Nusantara
Ketika Belanda yang
ikut diboncengan tentara Inggris dan tentara Australia bulan September 1945 ke
Indonesia, mereka datang ke satu Negara yang telah merdeka dan berdaulat
menurut hukum internasional. (Lihat tulisan: Keabsahan Proklamasi 17 Agustus
1945:
Versi bahasa inggris
Kedua, agresi militer
yang dilancarkan antara tahun 1945 – 1950, selain telah menimbuilkan kehancuran
fisik serta merusak sendi-sendi kehidupan dan perekonomian, juga mengakibatkan
tewasnya ratusan ribu rakyat/penduduk sipil yang tidak berdosa, termasuk wanita
dan anak-anak, sebagian tewas dibantai dengan cara-cara yang sangat tidak
berperikemanusiaan.
Namun dalam
menyelesaikan masalah-masalah tersebut, jalan pertama yang ditempuh bukanlah
jalur hukum, melainkan sebagai langkah
awal, ditawarkan suatu rekonsiliasi yang bermartabat, yaitu antara dua Negara
yang setara dan saling mengakui serta menghormati. Yang telah melakukan
kesalahan harus mengakui kesalahannya, meminta maaf dan bertanggungjawab atas
hal-hal yang diakibatkan oleh kesalahan tersebut. Apabila langkah ini tidak
disepakati, maka ditempuh jalur hukum internasional.
Langkah yang ditempuh
sehubungan dengan Belanda adalah, didirikan khusus organisasi yang dinamakan
Komite Utang Kehormatan Belanda. Titik beratnya adalah pada Utang Kehormatan (bahasa Belanda: ereschuld), yang pertama kali dicetuskan
oleh Theodor van Deventer tahun 1899, ketika dia mengkritisi praktek-praktek
kolonialisme Belanda yang tidak manusiawi.
(Mengenai KUKB lihat:
Versi bahasa Inggris
Secara rigkas, tujuan
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) adalah membela martabat bangsa dan
memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban agresi militer Belanda di seluruh
Indonesia.
3.
Hingga
saat ini, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Untuk
pemerintah Belanda, de jure
kemerdekaan RI adalah 27.12.1949,yaitu ketika penyerahan kedaulatan dari
pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 22 April 2005,
KNPMBI mengirim petisi terbuka (online)
kepada pemerintah Belanda. (Lihat Petition-online
KNPMBI 22.04.2005 dalam bahasa Inggris dan Indonesia):
Pada 20 Mei 2005, KUKB
melanjutkan tuntutan yang dimajukan oleh KNPMBI. Melalui Kedutaan Belanda di
Jakarta Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menyampaikan petisi, menuntut
Pemerintah Belanda untuk:
I.
MENGAKUI
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17.8.1945,
II.
MEMINTA
MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, PELANGGARAN HAM BERAT
DAN KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN
Apabila pemerintah
Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka sebagai konsekuensi
logisnya, Indonesia dapat menuntut PAMPASAN PERANG kepada Belanda, sebagaimana
Jepang dituntut oleh Negara-negara yang menjadi korban agresi militer Jepang
antara 1942 – 1945. Jepang telah membayar pampasan perang kepada Indonesia,
walaupun antara tahun 1942 – 1945 selama masa pendudukan Jepang, Indonesia
belum merupakan suatu Negara ataupun entitas politik. Jepang tidak membayarkan
pampasan perang tersebut kepada pemerintah Belanda atau pemerintah Nederlands-Indie (India Belanda), yang
tahun 1945 masih mengklaim, bahwa Indonesia adalah Provinsi Seberang Laut
Kerajaan Belanda.
Pada 15 Agustus 2005
dalam acara peringatan pembebasan para interniran di Den Haag, Belanda, Menlu
Belanda Ben Bot mengatakan, bahwa kini (2005) pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945 sebagai
harikemerdekaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005,
dia mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945
secara moral dan politis. Ini berarti, sampai tanggal 16.8.2005, NKRI untuk
pemerintah Belanda tidak eksis samasekali, dan pada 16.8.2005 diterima
keberadaannya namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, NKRI untuk pemerintah
Belanda adalah NEGARA (ANAK) HARAM!
(Teks lengkap
pernyataan Menlu Ben Bot di Den Haag tanggal 15.8.2005 dalam bahasa Belanda
lihat:
Teks lengkap pernyataan
Ben Bot di Jakarta tanggal 16.8.2005, dalam bahasa Inggris lihat:
(Wawancara Ben Bot di Metrotv, lihat:
Pernyataan ini tentu
sangat janggal, karena dalam persetujuan Linggajati November 1946, pemerintah
Belanda telah mengakui de facto
Republik Indonesia, walaupun waktu itu, wilayah RI yang diakui hanya Sumatera, Jawa
dan Madura.
4.
Pada
15 Desember 2005, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung, didampingi Ketua Dewan
Penasihat KUKB Mulyo Wibisono, SH., MSc, dan beberapa pendukung KUKB di
Belanda, ke parlemen Belanda (Tweede
Kamer), di mana delegasi KUKB diterima oleh Bert Koenders, Jurubicara
Fraksi Partij van de Arbeid (PvdA),
yang didampingi oleh rekan separtainya, Angelien Eijsink, yang membidangi
masalah veteran Belanda.
KUKB menyampaikan,
bahwa ada beberapa masalah yang belum diselesaikan antara Republik Indonesia
dengan Belanda, yaitu pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, dan
akibat dari agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, di
mana banyak terjadi pembantaian terhadap penduduk sipil. Sebagai contoh, pembantaian
terhadap penduduk sipil di desa Rawagede pada 9 Desember 1947, di mana tentara
Belanda, tanpa proses hukum apapun membantai 431 penduduk desa.
Disampaikan juga,
bahwa KUKB telah mengirim petisi kepada Perdana Menteri Belanda pada 20 Mei
2005, namun belum juga dijawab.
Bert Koenders
berjanji akan membawa masalah ini ke sidang pleno parlemen Belanda.
Angelien Eijsink
memberi keterangan, bahwa yang masih menentang pengakuan kemerdekaan RI
17.8.1945 adalah para veteran Belanda. Mereka berdua sebagai generasi muda
tidak mempunyai beban untuk mengakui proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945.
(Diberitakan oleh
harian Rakyat Merdeka 19 Desember 2005. Lihat:
5.
Dalam
kunjungan ke Belanda tersebut, pada 18 Desember 2005 bertempat di Wisma
Indonesia, Den Haag, pimpinan KUKB juga meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat
Jeffry Pondaag sebagai Ketua serta Charles Surjandi sebagai Sekretaris. Seorang
warga Belgia, Rene Thomassen yang menikah dengan seorang wanita Indonesia, Ruth
Thomassen membuatkan website untuk
KUKB Cabang Belanda. Charles Surjandi yang telah lama tinggal di Eropa (jerman
dan Belanda) dan sangat berpengalaman berorganisasi menyarankan, untuk
memudahkan beroperasi di Belanda, sebaiknya organisasinya berbentuk Yayasan (stichting).
Kepada KUKB Cabang
Belanda ditugaskan untuk mencari pengacara, yang akan mewakili KUKB dan seluruh
keluarga korban di Rawagede mengajukan gugatan terhadap pemerintah Belanda di
pengadilan di Belanda.
(Mengenai perjalanan pimpinan KUKB selama di
Belanda dan pengangkatan Jeffry Pondaag menjadi Ketua serta Charles Surjandi
menjadi sekretaris KUKB Cabang Belanda, dapat dilihat di:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/kukb-di-kandang-macan.html)
6.
Pada
bulan Juni 2006, Bert Koenders membawa kasus pembantaian di Rawagede ke
parlemen Belanda, dan mempertanyakan mengenai petisi KUKB yang belum dijawab
oleh pemerintah Belanda.
Pada 28 Juni 2006, Menlu Ben Bot di parlemen
Belanda menyampaikan jawaban terhadap petisi Komite Utang Kehormatan Belanda
(KUKB) (Jawaban Menlu Ben
7.
Bulan
September 2006 di Jakarta, bertempat di kediaman alm. Bapak Abdul Irsan,
anggota Dewan Penasihat KUKB, diserahkan dana sebesar US $ 1.000,-, yang
merupakan sumbangan Bapak Irsan, kepada Ketua KUKB Cabang Belanda, Jeffry
Pondaag, untuk biaya mendirikan Yayasan dan untuk membayar pengacara. Bapak
Abdul Irsan adalah mantan Duta Besar RI untuk Belanda. Sejak bulan April 2006
menjadi anggota Dewan Penasihat KUKB.
Para pengurus dan
simpatisan KUKB Cabang Belanda di Belanda ikut menyumbang untuk mendirikan
Yayasan.
Kemudian Ketua KUKB
Cabang Belanda Jeffry Pondaag bersama Sekretaris KUKB Cabang Belanda, Charles
Surjandi, menemui pengacara di Belanda, Liesbeth Zegfeld. Charles Surjandi juga
menyumbang dana untuk membayar pengacara.
8. Karena menyimpang dari tujuan utama KUKB, dan tidak mempertanggungjawabkan keuangan yang diberikan oleh KUKB Pusat, tahun 2007 Jeffry Pondaag dipecat dari keanggotaan KUKB. .
9.
Bulan
Februari 2007, Bert Koenders yang ditemui pimpinan KUKB di parlemen Belanda
pada 15 Desember 2005, diangkat menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan dalam
kabinet koalisi CDA dan PvdA.
10. Dalam kunjungan ke
Jakarta, pada 14 Januari 2009 Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen
mengundang para janda dan korban selamat dari Rawagede untuk bertemu di
Kedutaan Belanda di Jakarta.
Sementara itu,
pimpinan KUKB, Batara R. Hutagalung bersama Direktur Jenderal Bidang Politik
Kementerian Luar Negeri Belanda, Pieter de Gooijer, membahas surat terbuka dari
KUKB yang ditujukan kepada Menlu Belanda (Lihat
Setelah pertemuan
dengan Pieter de Gooijer sekitar satu jam, Batara R. Hutagalung diundang untuk
bertemu dengan Menlu Maxime Verhagen. Dalam kesempatan tersebut, Batara R.
Hutagalung menitipkan foto-foto ketika bertemu Bert Koenders di parlemen
Belanda pada 15.12.2005, serta menyampaikan pesan, untuk mengingatkan Bert
Koenders akan janjinya untuk membantu menyelesaikan masalah Rawagede. (Pertemuan
KUKB dengan Menteri LN Belanda dan Dirjen Politik Kementerian LN Belanda, lihat
Bulan berikutnya,
Februari 2009, Bert Koenders selaku Menteri Kerjasama Pembangunan menyatakan
akan membantu pembangunan desa Rawagede. Pemerintah Belanda kemudian
mengucurkan dana sebesar 850.000 Euro, atau setara sekitar lebih dari 10 milyar
rupiah. Namun pemerintah Belanda tidak mau mengaitkan dana tersebut dengan
gugatan KUKB dan keluarga korban di Rawagede. 2,5 milyar rupiah telah
dikucurkan untuk koperasi di Rawagede, dan pada bulan Desember 2012 diletakkan
batu pertama untuk pembangunan pasar di Rawagede.
Keluarga korban
pembantaian di Rawagede tetap mengajukan gugatan ke pengadilan sipil di Den
Haag, yang diwakili oleh pengacara Liesbeth Zegfeld.
Setelah melalui
sejumlah persidangan, pada 14 September 2011 pengadilan sipil di Belanda
menjatuhkan vonis (putusan), yang memenangkan sebagian gugatan para janda dan
satu korban selamat. Pengadilan di Belanda menyatakan pemerintah Belanda
bersalah dan harus memberikan kompensasi kepada 9 penggugat. (Teks lengkap
vonis pengadilan di Belanda, dalam bahasa Belanda, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/rawagede-uitspraak-van-de-rechtbank.html
Sebagian
terjemahannya
11. Namun dalam putusan
tersebut, sebagai dasar pertimbangan (lihat butir dua) dinyatakan, bahwa
wilayah tersebut (Rawagede) sampai tahun 1949 adalah wilayah Belanda dengan
nama Nederlands Indie. Oleh karena
itu,ketika Duta Besar Belanda dalam acara peringatan di Monumen Rawagede pada 9
Desember 2011 menyampaikan permintaan maaf, maka dia tidak meminta maaf kepada
rakyat Indonesia,sebagaiamana tuntutan KUKB, melainkan kepada rakyat Belanda.
(Lihat: Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-akhirnya-pemerintah-belanda.html).
(Lihat juga tulisan Pembantaian di Rawagede: 1947, Wilayah
Belanda atau Republik Indonesia?:
12. Kedutaan Besar
Belanda kemudian menyerahkan kompensasi kepada 8 janda dan satu korban selamat
(Sa’ih meninggal pada 7 Mei 2011, sebelum menerima uang tersebut),
masing-masing sebesar 20.000 Euro, atau setara dengan sekitar 240 juta rupiah.
Ternyata kompensasi yang hanya diberikan kepada 9 orang menjadi masalah besar
di Rawagede, dan menimbulkan ketidakadilan sosial. Keluarga korban yang lain
mempertanyakan mengapa kompensasi hanya diberikan kepada 9 orang, padahal
jumlah korban adalah 431 orang. Akhrinya para penerima kompensasi harus
menyerahkan 50% untuk dibagikan kepada keluarga korban yang lain.
13. Untuk menghindari
terulangnya keributan yang diakibatkan pemberian kompensasi haya kepada
segelintir orang dan akan menimbulkan ketidak-adilan sosial yang baru, KUKB
telah menyarankan kepada wakil Yayasan KUKB yang ada di Jakarta, untuk tidak
lagi mengajukan gugatan hanya untuk beberapa belas orang saja. Terutama di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, di mana korbannya belasan (mungkin puluhan)
ribu orang, sedangkan yang memenuhi syarat sebagaimana ditentukan oleh
pengadilan Belanda mungkin hanya beberapa puluh orang saja.
Konsep KUKB bukanlah menuntut
kompensasi untuk perorangan, karena setelah lebih dari 60 tahun sangat sulit
untuk dapat dengan tepat membuktikan, siapa-siapa saja atau ahli warisnya yang
berhak menerima kompensasi. KUKB menuntut pemerintah Belanda untuk mendirikan
sarana dan prasarana pendidikan serta kesehatan, di tempat-tempat tentara
Belanda telah melakukan pembantaian massal.
Dengan demikian,
fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan oleh seluruh keturunan korban di seluruh
Indonesia, dan bukan hanya untuk seratus atau dua ratus orang saja. Selain
itu,korban agresi militer Belanda juga bukan hanya di Jawa Barat dan Sulawesi saja,
melainkan di seluruh Indonesia.
14. KUKB, bekerjasama
dengan berbagai lembaga dan organisasi, a.l. Legiun Veteran Sulawesi Selatan,
Lembaga Advokasi Korban di Sulawesi barat, Yayasan gerbong Maut Bondowoso, dll,
kini sedang mengumpulkan data dari seluruh seluruh Indonesia, dan akan
menyampaikan ke International Criminal
Court - ICC (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den
Haag, Belanda.
(Lihat catatan
Perjalanan ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, Juni 2013:
Pembantaian di Galung
Lombok. Kesaksian:
(Kuliah Umum di
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 14.3.2013
Memang Statuta Roma
tidak berlaku surut, tetapi untuk kasus-kasus sebelum berdirinya ICC, dapat
dibentuk pengadilan Ad hoc
(tribunal), sebagaimana telah dilakukan untuk mengadili penjahat-penjahat
perang dari Serbia dan Rwanda.
Tahun 1993, seorang
dosen Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Roterdam, Belanda, Dr. Manuel
Kneepkens telah mengusulkan dibentuknya tribunal internasional untuk mengadili
penjahat-penjahat perang Belanda atas kekejaman yang mereka lakukan di Republik
Indonesia, terutama kejahatan yang dilakukan oleh Westerling di Sulawesi
Selatan. (Lihat:
15. Pengadilan di Belanda menyatakan bahwa Rawagede adalah wilayah Belanda sampai akhir tahun 1949, maka pengadilan Belanda menetapkan, bahwa eksekusi ini dilakukan oleh tentara Belanda dalam wilayah kekuasaan Nederlands Indie (India Belanda) yang waktu itu masih merupakan bagian Kerajaan Belanda. Juga disebutkan, bahwa para korban di Rawagede memiliki status warga Nederlands Indie, sehingga mereka termasuk yang dilindungi hukum Belanda. Oleh karena itu Pengadilan Belanda memutuskan untuk menerapkan hukum Belanda, di mana Negara (Belanda) wajib melindungi warganya.
Setelah mengetahui dasar putusan pengadilan Belanda, bahwa Rawagede, dan seluruh wilayah Republik Indonesia sampai 27.12.1949 adalah wilayah Belanda, sehingga termasuk yuridiksi Belanda, maka apabila melanjutkan gugatan untuk para janda dari daerah lain di Indonesia ke pengadilan Belanda dengan menggunakan hukum Belanda, berarti mengakui sikap pengadilan dan pemerintah Belanda, bahwa Indonesia sampai 27.12.1945 adalah wilayah Belanda. Hal ini sangat bertentangan dengan tuntutan utama KUKB kepada pemerintah Belanda, yaitu: Pengakuan de jure kemerdekaan RI 17.8.1945!
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Jakarta, tetap pada konsep semula, yaitu membela martabat bangsa dan memperjuangkan keadilan bagi seluruh korban agresi militer Belanda di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jawa Barat atau Sulawesi saja, karena apabila hanya memperjuangkan kompensasi untuk seratus atau duaratus orang saja, padahal korban di seluruh Indonesia berjumlah ratusan ribu jiwa, akan menciptakan ketidak-adilan sosial bagi keluarga korban lain.
Oleh karena itu, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) menolak upaya melanjutkan gugatan hanya untuk beberapa puluh orang saja, dan menyarankan kepada Yayasan KUKB untuk tidak melanjutkan langkah ini, yang akan menjadi kontra-produktif untuk perjuangan membela martabat bangsa serta memperjuangkan keadilan untuk SELURUH KORBAN AGRESI MILITER BELANDA.
Komite Utang Kehormatan Belanda
TTd.
Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua KUKB