PUPUTAN
MARGARANA
AGRESI
MILITER BELANDA TERHADAP
REPUBLIK
INDONESIA
YANG
MERDEKA DAN BERDAULAT
Pembicara
Tunggal
Batara
R. Hutagalung
Ketua Umum
Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Disampaikan
dalam
Seminar
Nasional
Di Universitas
Warmadewa
Denpasar,
6 September 2014
Pendahuluan
Dalam
kesempatan ini, saya tidak akan memaparkan mengenai jalannya perang Puputan
Margarana, karena mengenai hal ini, telah banyak ditulis oleh pelaku sejarah
dan saksi mata yang tentu lebih kompeten.
Yang
akan saya paparkan –sebagaimana juga tulisan-tulisan saya terdahulu- adalah analisis
mengenai latar belakang, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi.
Demikian juga akibat dan pengaruh dari peristiwa-peristiwa tersebut, seperti
‘Pemboman Inggris atas Surabaya, November 1945’, ‘Serangan Umum 1 Maret 1949’, ‘Pembantaian
di Rawagede’, dll.
Judul
tulisan ini dapat diganti, misalnya: “Aksi Polisional Belanda. Agresi Militer
Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat.” “Teror Westerling di Sulawesi
Selatan. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat”, dsb.
Namun esensi dari isinya sama, yaitu menerangkan latar belakang terjadinya
peristiwa-peristiwa tersebut, dan kaitan satu peristiwa dengan peristiwa
lainnya. Karena dapat dikatakan, bahwa tidak ada satu peristiwa yang berdiri
sendiri.
Juga
dampak yang diakibatkan oleh suatu peristiwa, tidaklah hanya masalah hukum
saja, atau hanya masalah politik Luar Negeri, atau hanya masalah ekonomi, atau
hanya masalah HAM, dll. Untuk dapat meneropong sesuatu peristiwa sejarah, juga
diperlukan pendekatan multidisipliner, karena kalau hanya dengan menggunakan
pendekatan sejarah, tidak akan terungkap masalah-masalah hukum internasional,
dampak perekonomian yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut –seperti kasus
pembantaian 431 penduduk laki-laki usia produktif di desa Rawagede-, dll.
Akar
dari semua permasalahan yang ada di Republik Indonesia sejak bangsa Indonesia
menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah, Belanda tidak mau
mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Di Indonesia, ternyata
sangat banyak yang tidak mengetahui, bahwa Pemerintah Belanda hingga detik ini
tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda,
de jure kemerdekaan Republik
Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan
kewenangan” (souvereniteitsoverdracht)
kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari sudut pandang Belanda,
ini merupakan “hadiah” untuk Indonesia. Yang dilakukan pada 27.12.1949 bukanlah
PENGAKUAN KEMERDEKAAN, melainkan PELIMPAHAN KEWENANGAN (transfer of sovereignty), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan
dari pemerintah Nederlands Indië
(India Belanda).
Pada
15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Indonesia, menteri Luar
negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini (tanggal 15.8.2005)
pemerintah Belanda menerima de facto
kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005 di
kantor Kemlu RI, Ben Bot mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima
proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Dan dalam wawancara di satu
stasiun TV di Jakarta, Ben Bot mengatakan, bahwa pelimpahan kewenangan (transfer of sovereignty) telah diberikan
pada akhir tahun 1949.
RIS,
yang dipandang sebagai kelanjutan dari Nederlands
Indië (India Belanda), dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus
1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan
demikian, Negara yang secara yuridis diakui oleh pemeritah Belanda sudah tidak
ada, dan Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia, yang
kemerdekaannya adalah 17.8.1945.
Memang
untuk pemerintah Belanda sangat dilematis, yaitu apabila pemerintah Belanda
mengakui de jure kemerdekaan RI
17.8.1945, karena dengan demikian Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka
namakan sebagai “aksi polisional” tak lain adalah agresi militer terhadap satu
Negara yang merdeka. Akibatnya, para veteran Belanda akan menjadi penjahat perang,
dan pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang kepada pemerintah
Belanda. Juga semua kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama
agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, bukan hanya
pelanggaran HAM berat, melainkan juga merupakan kejahatan perang, kejahatan
atas kemanusiaan dan kejahatan agresi.
Banyak
peristiwa yang terjadi selama perang mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang hingga sekarang tidak diketahui oleh
rakyat Indonesia sendiri. Terutama yang sehubungan dengan kejahatan perang dan
kejahatan atas kemanusiaan serta berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan
oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa
Indonesia, dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara
Australia,
Demikian
juga berbagai kejahatan atas kemanusiaan, pelanggaran HAM berat yang dilakukan
oleh tentara Jepang selama masa pendudukan Jepang di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda) antara
tahun 1942 – 1945, juga samasekali tidak diketahui oleh rakyat Indonesia,
seperti pembantaian di kamp konsentrasi di kecamatan Mandor, Kalimantan Barat,
percobaan kedokteran (medical experiments)
Unit 731 tentara Jepang, kanibalisme tentara Jepang terutama di Papua, dll.
Dengan
dibentuknya International Criminal Court
(Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun
2001, Indonesia diberikan landasan hukum internasional untuk membawa semua
kasus-kasus tersebut ke Mahkamah Kejahatan internasional.
Dalam
Statuta Roma, yang menjadi landasan International
Criminal Court (ICC), empat jenis
kejahatan dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
- Genocide (pembantaian etnis),
- War crime (kejahatan perang),
- Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
dan
- Crime of aggression (kejahatan agresi).
Latar
Belakang Sejarah
Perang
Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian
dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang terhadap
pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Satu
persatu negara-negara di Asia Tenggara yang waktu itu adalah jajahan
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.
Penyerbuan
tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1
Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten,
Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal
Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat
(unconditional surrender). Belanda
menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.
Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi
berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut,
Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir sudah hak Belanda atas
jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu siapa yang kuat,
memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang, dalam mempertahankan
mangsanya/ jajahannya.[1]
Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik
Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di
PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari
1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya kedua yang dimulai pada 19
Desember 1948. Memorandum
yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:
“…Tanpa
sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang
pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan
bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan
selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik
obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang
dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang
dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah
diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia.
Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah
Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan
perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan
menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...
Bahwasanya
menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan
terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan
Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk
mencoba mempertahankannya ...
…
Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa bersyarat kepada Jepang, maka rakyat
Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi
ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang
sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara
mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama
sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
... Kami menolak tuntutan Belanda,
bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang
dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan
mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia...
... Dari segala segi, "hak
sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai
lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”
Demikian
a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Pada
15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
tentara sekutu (allied forces).
Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti
berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada
5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang
menandai berakhirnya perang di Eropa.
Pemerintah
India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9
Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara
resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal
perang Amerika Serikat ‘Missouri’ di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan)
di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).
Keabsahan
Proklamasi 17 Agustus 1945[2]
Pada
17 Agustus 1945, di masa vacuum of power
(kekosongan kekuasaan) di wilayah pendudukan Jepang, para pemimpin bangsa
Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Komite
Nasional Indonesia Pusat mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M.
Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI
pertama.
Dengan
demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan
konvensi Montevideo, yaitu:
- Adanya
penduduk yang permanen,
- Adanya wilayah tertentu,
- adanya pemerintahan, dan
- Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.
Dalam
Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika
pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l. (teks lengkap, lihat lampiran):
The
state as a person of international law should possess the following
qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c )
government; and d) capacity to enter into relations with the other states.
Ayat
tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari
pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara
tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.
Pada
10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia,
kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian
ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang pertama
terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah
terpenuhi.
Political will untuk memerdekaan negara-negara yang
dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal
ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir
konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918,
10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya,
Wilson menyebut:[3]
“ A
free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial
claims, based upon a strict observance of the principle that in determining
all such questions of sovereignty the interests of the population concerned
must have equal weight with the equitable claims of the government whose
title is to be determined.”
Pada
waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut
di kabinet Wilson .
Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk
pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt
adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat
sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945. Pernyataan Woodrow Wilson
tahun 1918 diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F.
D. Roosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada 14 Agustus
1941, di awal Perang Dunia II.
Pada
14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri
Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam
Atlantik (Atlantic Charter), di mana
butir tiga menyebutkan:[4]
“
…Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government
under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self
government restored to those who have been forcibly deprived of them …”
Butir
tiga ini kemudian dikenal sebagai “ …right
for selfdetermination of people …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri).
Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB),
yang ditandatangani di San Francisco
pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble (pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:[5]
“…
To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of
peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal
peace…”
Ratu
Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat
pengasingan di London pada 7 Desember 1942 (setelah tentara Jerman menduduki
Belanda bulan Mei 1941) mendukung gagasan Atlantic
Charter tersebut.[6]
Penetapan
batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga
berdasarkan kesepakatan internasional, Uti
possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa
sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)
Bangsa
Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah
Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan
kemerdekaannya pada 2 September 1945.
Berdirinya Tentara Republik Indonesia
Rivalitas antara mantan perwira KNIL
dan mantan perwira Peta, telah terlihat sejak awal pembentukan TKR, terutama
dalam pemilihan komandan dan pimpinan. Walaupun jumlah keseluruhan mantan
perwira KNIL jauh di bawah mantan perwira Peta, namun dalam jabatan pimpinan,
jumlah mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi pimpinan di tubuh TNI cukup
menonjol. Tanggal 12 November 1945[8]
di Yogyakarta, diadakan rapat pimpinan tertinggi militer, yang dihadiri oleh
hampir seluruh komandan Divisi, kecuali pimpinan militer dari Jawa Timur, yang
sedang bertempur melawan tentara Inggris. Secara demokratis diadakan pemilihan
Panglima Besar Angkatan Perang. Kolonel Sudirman, Komandan Divisi V
(Kedu-Banyumas) menang suara tipis atas Urip Sumoharjo, dengan demikian
Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sudirman, waktu itu berumur 30
tahun, adalah mantan Daidancho
(komandan batalyon) Peta di Kroya.
Walau pun tentara Jepang telah melucuti
persenjataan yang telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan
KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di
Indonesia mulai mengambil alih
kepemimpinan, baik pemerintahan sipil maupun militer.
Setelah Jepang secara resmi
menandatangani kapitulasi pada 2 September 1945, pada 10 September 1945
pemerintahan militer Jepang di Indonesia menyatakan, bahwa mereka akan
menyerahkan wewenang kepada tentara Sekutu, dan tidak kepada Pemerintah Republik
Indonesia. Langkah ini mengakibatkan rasa permusuhan terhadap Jepang bangkit
kembali dan mulai timbul ketegangan antara rakyat Indonesia dengan tentara
Jepang, sedangkan tentara Sekutu belum datang di Indonesia. Ketidakpercayaan
rakyat kepada tentara Jepang bermuara
pada pengambilalihan pemerintahan serta perebutan senjata dari tentara
Jepang.
Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai adalah perwira Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di
Bali, yang memimpin Pasukan Ciung Wanara.
Agresi
Militer Belanda Dibantu Inggris dan Australia
Belanda,
mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha
menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi
memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan
oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL
dihancurkan oleh tentara Jepang.
Ketika
tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa
tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke
Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke
Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan
Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan
Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan
Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di
Indonesia.
Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang-orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo, yang kemudian memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville.
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).
Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglimaSouth West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.
Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Setelah
penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area
Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah
lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia
Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan
serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945,
di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang
isinya adalah[9]:
“Nota
tanggal 24 Agustus 1945
Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.
Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”
dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)
Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.
1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India
Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab
sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut
pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan
segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab
atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi
serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh
pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India
Belanda.
Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil dministration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan ini diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Di
sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting
adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right
for selfdetermination of people)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan
Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar
propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib
negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman
telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat
dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu
mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk
Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka
terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di
mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk
mencapai kemerdekaan.
Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.
Secara resmi, tugas pokok yang
diberikan oleh pimpinan Allied Forces
kepada Mountbatten adalah:
1.
Melucuti tentara Jepang dan memulangkan
kembali ke negaranya (The disarmament and
removal of the Japanese Imperial Forces),
2.
merehabilitasi para tawanan serta
interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees),
3.
serta menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun
ternyata ada agenda rahasia (hidden
agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili
tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah
disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk
“membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris dan
Australia telah banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas
kemanusiaan serta kejahatan agresi, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di
kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di Surabaya
saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan pemboman kota Surabaya yang
berlangsung selama tiga minggu pada bulan November, korban jiwa diperkirakan
lebih dari 20.000.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“...Having
taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific
Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the
political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an
Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been
supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for
their participation in nationalist propaganda –but no information had been made
available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese...”
Pada
1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy,
Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda
dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi
Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari
setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2
September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan
kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di
Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:
Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.
From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.
You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the
Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to
the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the
British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable
since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local
natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo
which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful
campaign.
(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.
Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services...”
dan kalimat berikutnya:
“…the
local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status
quo which existed before the Japanese Invasion...”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan
koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”
Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan satu brigade pasukan tempur.
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.
Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.
Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Untuk
mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun
1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut
sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacht).
“Jasa” Australia
kepada Belanda di Indonesia Timur tahun 1945/1946
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morshead, yang mungkin karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.
Jenderal MacArthur menugaskan Morshead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.
Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.
Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Lanka.
Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagai Recovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.
Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggiCivil Affairs.
Pada
18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari,
Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda
dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje),
di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.
Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders (Batalyon Seaforth Highlanders termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan
kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan
kemudian mengundurkan diri.”
Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:
"...Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
-
melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
-
memelihara hukum dan ketertiban.
Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan
tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang
akan dilucuti …
…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”
Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun…"
Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia- menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.
Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat:
“...Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
-
di Kupang tanggal 11 September 1945,
-
di Banjarmasin tanggal 17 September,
-
di Makasar tanggal 21 September,
-
di Ambon tanggal 22 September,
-
di Manado tanggal 2 Oktober,
-
di Pontianak tanggal 16 Oktober.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda...”
Setelah tentara Australia menguasai Bali, maka pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.
Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara
itu, pada bulan Juni/Juli 1946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan
Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di
daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara
Australia.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.
Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.
Di tengah-tengah kemelut internal Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 16 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino”, satu kota kecil di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.
Di
Konferensi Malino ini diletakkan dasar untuk mendirikan Negara Indonesia Timur
(NIT), yang akan disempurnakan dalam Konferensi besar di Denpasar pada bulan
Desember 1946.
Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.
Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada 5 September 1949.
Perlawanan
rakyat Indonesia Timur, terutama di Sulawesi dan Bali sangat hebat, sehingga
Belanda mengirim pasukan elit Depot
Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Westerling ke Sulawesi Selatan.
Westerling menjalankan aksi terror, yaitu dengan membantai ribuan penduduk
sipil tanpa proses (standrechtelijkeexcecutie),
untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat Indonesia.
Untuk
memuluskan pelaksanaan Konferensi besar di Denpasar, maka Belanda
“membersihkan” tentara Indonesia di Bali. Dalam rangka menguasai seluruh Bali,
terjadilah peristiwa heroik Puputan Margarana, di mana Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai tewas bersama 95 anak buahnya.
Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.
Politik
pemerintah Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1947,
setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia
sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan
dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara
besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin
hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi
perubahan sikap Australia.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak mungkin dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tidak akan terjadi pembantaian ratusan rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya di Sulawesi Selatan antara 11 Desember 1946 – Februari 1947, dan di tepat-tempat lain di Indonesia. Tidak akan terjadi peristiwa pembantaian di desa Rawagede, Kranggan, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, Sumatera Barat, dll.
Apabila
berpegang pada hukum kausalitas, yaitu hukum sebab-dan-akibat (bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), maka yang harus
ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian terhadap ratusan ribu rakyat
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, adalah Inggris dan Australia!
Kesimpulan
Belanda
tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan sampai
detik ini, 6 September 2014. Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu (Allied Forces), Belanda “merasa” masih
memiliki hak atas wilayah yang pada 9 Maret 1942 telah diserahkan kepada
predator baru: Jepang.
Klaim
Belanda bahwa wilayah Nusantara adalah “provinsi seberang laut”, tidak memiliki
landasan hukum internasional, atau landasan hukum apapun. Sampai tahun 1942,
Negara-negara di seluruh dunia saling menyerang dan saling merebut wilayah,
termasuk di Eropa. Beberapa Negara di Eropa sempat “hilang”, seperti Austria,
Cekoslovakia, dll. Dapat dikatakan, sampai tahun 1942, yaitu ketika Jepang
melancarkan agresi militernya untuk menduduki Negara-negara di Asia Timur dan
Asia Tenggara, dianggap wajar, sehingga batas Negara selalu berubah-ubah. Juga
dapat dikatakan, sampai tahun 1942, berlaku “hukum rimba”, yaitu siapa yang
kuat, dia memangsa yang lemah.
Tidak
ada satu hukum internasionalpun yang memberi legitimasi kepada satu Negara atau
satu bangsa, untuk menjajah Negara lain, bahkan menjual manusia hasil
perampokannya sebagai budak, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di bumi
Nusantara selama lebih dari 200 tahun. Antara tahun 1640- 1862 ada
Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda.
Sebagaimana
disebut di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki landasan hukum
internasional, landasan politik dan landasan moral, serta sesuai dengan
Anggaran Dasar Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun
Bangsa Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan
kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Agresi militer
Belanda –yang awalnya dibantu oleh Inggris dan Australia- di Indonesia berakhir
dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan
November 1949, di mana disepakati a.l.:
- Dibentuk
negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara
bagian,
- Dibentuk
Uni Belanda – Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda –
RIS,
- Integrasi
mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
- RIS
yang dipandang sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung
utang India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden
(waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua
agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun
1947 dan 1948. Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan,
dilanjutkan oleh pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden,
dan dihentikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.[10]
- Masalah
Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak
termasuk sebagai bagian dari RIS. Karena Belanda tetap tidak mau
menyerahkan Irian Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul
konfrontasi antara RI dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun
1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang
hasilnya menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk
pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian
Barat tidak termasuk di dalamnya.
Sebagaimana
telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara
bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik
Indonesia.
Tahun
1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan
pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan
pemerintah RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan
dengan negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.[11]
Belanda
meninggalkan jajahannya, India-Belanda, pada 9 Maret 1942 sebagai pecundang.
Ketika Belanda datang ke Republik Indonesia –dengan dibantu tiga divisi tentara
Inggris dan dua divisi tentara Australia- Belanda datang ke satu Negara yang
MERDEKA DAN BERDAULAT!
Oleh
karena itu, yang dilakukan oleh tentara Inggris (Pemboman Surabaya November
1945, Pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api), tentara
Australia di wilayah Indonesia Timur dan kemudian oleh tentara Belanda di
seluruh wilayah Republik Indonesia, adalah agresi militer terhadap Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Termasuk
di sini: PUPUTAN MARGARANA!
*******
[1] Mengenai
berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/9-maret-1942-akhir-penjajahan-belanda.html,
atau
[2] Tulisan
yang rinci mengenai keabsahan proklamasi 17 Agustus 1945, lihat:
[3] Teks
lengkap, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/woodrow-wilsons-14-points-program-of.html
[4] Teks
lengkap, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html
[5] Preambel
Piagam PBB, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/united-nations-charter-1945.html
[6] Teks
lengkap pidato Ratu Wilhelmina, lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2010/06/radio-address-by-queen-wilhelmina-on-7.html
[7] Urip
Sumoharjo, mantan Mayor KNIL berumur 52 tahun, dinilai yang paling senior dan
berpengalaman;
menjadi
tentara KNIL sejak tahun 1914. Mayor adalah pangkat tertinggi yang dapat
dicapai oleh seorang
inlander (pribumi) pada waktu itu.
[8] Beberapa
sumber menyebutkan, pemilihan Panglima Besar TNI diadakan pada 12 Desember 1945. Namun banyak yang
meragukan data ini, karena pada 12 Desember, Sudirman telah memimpin Palagan
Ambarawa melawan
tentara Inggris.
[9]
Terjemahan teks lengkap dari Civil Affairs Agreement, lihat: Batara R.
Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010. Hlm. 142 - 144.
[10] RIS
kemudian dilanjutkan oleh RI sampai tahun 1956, telah membayar 4 milyar gulden
kepada Belanda. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Belanda, Lambert Giebels,
dalam tulisannya ‘DE INDONESISCHE INJECTIE’ di majalah di Belanda, DE GROENE
AMSTERDAMMER, pada 5 Januari 2000. Lihat:
[11] Teks
lengkap UU No. 13/1956, lihat:
********
LAMPIRAN – LAMPIRAN
____________________________
Pidato Menlu Ben Bot di Den Haag, 15.8.2005
Toespraak door
dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der
Nederlanden, ter
gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15
augustus 2005
Geachte
aanwezigen, dames en heren,
De Stichting
Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de
herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse
zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier
ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze
herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve
als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000
kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn
herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en
toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers,
herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het
verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een
einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen
van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die
tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken
ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos
stierven.
Na de capitulatie
was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet
geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts
geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden
onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en
kinderen, het leven.
In de jaren
daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen
tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de
Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en
psychisch leed.
Zelf kijk ik met
gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je
misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen,
vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een
verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen,
maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk
daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog
levendig de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans
‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor
kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens
ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden
kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat,
denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets
weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine
anekdote. Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd
om wat groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een
tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat
alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn
buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem
waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat
moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn
moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd
om zijn loontje”.
Er wordt weer
veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk
wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet
veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn
vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom
een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de
terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende,
de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik
graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een
koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht
kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er
als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen,
terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd
duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige
groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je
had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over
de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat
ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving
wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al
die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er
ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder
geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier
voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en
heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt
komen.
(Levende
geschiedenis)
Zestig jaar,
dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van
toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met
zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid
schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat
ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het
gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd
die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig
Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere
scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de
geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het
verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst
relevant zijn.
Winston Churchill
zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit
weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een
voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de
relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan
ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets
moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van
gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige
kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen,
of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een
samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden
moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen
geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland -
op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen
de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van
deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering
van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking
voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een
gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het
adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De
uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de
strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is
belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in
Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk
land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische,
hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van
spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van
de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan
intensivering van de betrekkingen met Indonesië.
(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie
tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat
er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als
Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons
land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding
heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones
doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land
vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945
uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat
mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu
in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn
schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus
aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal met
steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in
Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië
de facto al begon op
17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en
morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in
morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen
over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en
Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het
leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s,
waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de
grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de
verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor
alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse
militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men
op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg
naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren
bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is
te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en
met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de
boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het
begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in
Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons
gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een
gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een
gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met
Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden
dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw
aandacht.
********
Pidato
Menlu Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005
Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of
Indonesia’s independence declaration
Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta , 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1. SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)
2. I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3. Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate
Ladies and gentlemen,
4. This is the first time since
Ladies and gentlemen,
5. If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the
6. The end of the Japanese occupation of
7. In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the
8. Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9. This is also an important moment for me personally. The country where I was born,
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60
years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA (Translation: Friendship knows no borders.) Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)
*******
Source:
___________________________________________
14 Butir Woodrow Wilson Untuk Perdamaian
Woodrow Wilson's 14 Points
In January 1918, ten months before the
end of World War I, President Woodrow Wilson appeared before a joint session of
Congress and made this address suggesting possible peace terms to end the
four-year-old conflict in which soldiers from England, France, Germany, Russia
and many other nations had died by the millions. The United
States under Wilson
had remained out of the war until 1917. The Fourteen Points outlined in this
speech served as both the basis for peace and the hopeful establishment of a
better post-war world at the conclusion of "the culminating and final war
for human liberty."
Gentlemen of the Congress:
Once more, as repeatedly before, the spokesmen of
the Central Empires have indicated their desire to discuss the objects of the
war and the possible basis of a general peace. Parleys have been in progress at
Brest-Litovsk between Russian representatives and representatives of the
Central Powers to which the attention of all the belligerents has been invited
for the purpose of ascertaining whether it may be possible to extend these
parleys into a general conference with regard to terms of peace and settlement.
The Russian representatives presented not only a
perfectly definite statement of the principles upon which they would be willing
to conclude peace, but also an equally definite program of the concrete
application of those principles. The representatives of the Central Powers, on
their part, presented an outline of settlement which, if much less definite,
seemed susceptible of liberal interpretation until their specific program of
practical terms was added. That program proposed no concessions at all, either
to the sovereignty of Russia or to the preferences of the populations with
whose fortunes it dealt, but meant, in a word, that the Central Empires were to
keep every foot of territory their armed forces had occupied--every province, every
city, every point of vantage as a permanent addition to their territories and
their power.
It is a reasonable conjecture that the general
principles of settlement which they at first suggested originated with the more
liberal statesmen of Germany and Austria, the men who have begun to feel the
force of their own peoples' thought and purpose, while the concrete terms of
actual settlement came from the military leaders who have no thought but to
keep what they have got. The negotiations have been broken off. The Russian
representatives were sincere and in earnest. They cannot entertain such
proposals of conquest and domination.
The whole incident is full of significance. It is
also full of perplexity. With whom are the Russian representatives dealing? For
whom are the representatives of the Central Empires speaking? Are they speaking
for the majorities of their respective parliaments or for the minority parties,
that military and imperialistic minority which has so far dominated their whole
policy and controlled the affairs of Turkey and of the Balkan States which have
felt obliged to become their associates in this war?
The Russian representatives have insisted, very
justly, very wisely, and in the true spirit of modern democracy, that the
conferences they have been holding with the Teutonic and Turkish statesmen
should be held within open, not closed, doors, and all the world lies been
audience, as was desired. To whom have we been listening, then? To those who
speak the spirit and intention of the resolutions of the German Reichstag of
the 9th of July last, the spirit and intention of the liberal leaders and
parties of Germany, or to those who resist and defy that spirit and intention
and insist upon conquest and subjugation? Or are we listening, in fact, to
both, unreconciled and in open and hopeless contradiction? These are very
serious and pregnant questions. Upon the answer to them depends the peace of
the world.
But whatever the results of the parleys at
Brest-Litovsk, whatever the confusions of counsel and of purpose in the
utterances of the spokesmen of the Central Empires, they have again attempted
to acquaint the world with their objects in the war and have again challenged
their adversaries to say what their objects are and what sort of settlement
they would deem just and satisfactory. There is no good reason why that
challenge should not be responded to, and responded to with the utmost candor.
We did not wait for it. Not once, but again and again we have laid our whole
thought and purpose before the world, not in general terms only, but each time
with sufficient definition to make it clear what sort of definite terms of
settlement must necessarily spring out of them. Within the last week Mr. Lloyd
George has spoken with admirable candor and in admirable spirit for the people
and Government of Great Britain.
There is no confusion of counsel among the
adversaries of the Central Powers, no uncertainty of principle, no vagueness of
detail. The only secrecy of counsel, the only lack of fearless frankness, the
only failure to make definite statement of the objects of the war, lies with
Germany and her allies. The issues of life and death hang upon these
definitions. No statesman who has the least conception of his responsibility
ought for a moment to permit himself to continue this tragical and appalling
outpouring of blood and treasure unless he is sure beyond a peradventure that
the objects of the vital sacrifice are part and parcel of the very life of
society and that the people for whom he speaks think them right and imperative
as he does.
There is, moreover, a voice calling for these
definitions of principle and of purpose which is, it seems to me, more
thrilling and more compelling than any of the many moving voices with which the
troubled air of the world is filled. It is the voice of the Russian people.
They are prostrate and all but helpless, it would seem, before the grim power
of Germany, which has hitherto known no relenting and no pity. Their power,
apparently, is shattered. And yet their soul is not subservient. They will not
yield either in principle or in action. Their conception of what is right, of
what is humane and honorable for them to accept, has been stated with a
frankness, a largeness of view, a generosity of spirit, and a universal human
sympathy which must challenge the admiration of every friend of mankind; and
they have refused to compound their ideals or desert others that they
themselves may be safe.
They call to us to say what it is that we desire, in
what, if in anything, our purpose and our spirit differ from theirs; and I
believe that the people of the United States would wish me to respond, with
utter simplicity and frankness. Whether their present leaders believe it or
not, it is our heartfelt desire and hope that some way may be opened whereby we
may be privileged to assist the people of Russia to attain their utmost hope of
liberty and ordered peace.
It will be our wish and purpose that the processes
of peace, when they are begun, shall be absolutely open and that they shall
involve and permit henceforth no secret understandings of any kind. The day of
conquest and aggrandizement is gone by; so is also the day of secret covenants
entered into in the interest of particular governments and likely at some
unlooked-for moment to upset the peace of the world. It is this happy fact, now
clear to the view of every public man whose thoughts do not still linger in an
age that is dead and gone, which makes it possible for every nation whose
purposes are consistent with justice and the peace of the world to avow now or
at any other time the objects it has in view.
We entered this war because violations of right had
occurred which touched us to the quick and made the life of our own people
impossible unless they were corrected and the world secured once for all
against their recurrence.
What we demand in this war, therefore, is nothing
peculiar to ourselves. It is that the world be made fit and safe to live in;
and particularly that it be made safe for every peace-loving nation which, like
our own, wishes to live its own life, determine its own institutions, be
assured of justice and fair dealing by the other peoples of the world, as
against force and selfish aggression.
All the peoples of the world are in effect partners
in this interest, and for our own part we see very clearly that unless justice
be done to others it will not be done to us.
The program of the world's peace, therefore, is our
program; and that program, the only possible program, all we see it, is this:
1. Open covenants of peace must be arrived at, after
which there will surely be no private international action or rulings of any
kind, but diplomacy shall proceed always frankly and in the public view.
2. Absolute freedom of navigation upon the seas,
outside territorial waters, alike in peace and in war, except as the seas may
be closed in whole or in part by international action for the enforcement of
international covenants.
3. The removal, so far as possible, of all economic
barriers and the establishment of an equality of trade conditions among all the
nations consenting to the peace and associating themselves for its maintenance.
4. Adequate guarantees given and taken that national
armaments will be reduced to the lowest points consistent with domestic safety.
5.
A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial
claims, based upon a strict observance of the principle that in determining
all such questions of sovereignty the interests of the population concerned
must have equal weight with the equitable claims of the government whose
title is to be determined.
6. The evacuation of all Russian territory and such
a settlement of all questions affecting Russia as will secure the best and
freest cooperation of the other nations of the world in obtaining for her an
unhampered and unembarrassed opportunity for the independent determination of
her own political development and national policy, and assure her of a sincere
welcome into the society of free nations under institutions of her own choosing;
and, more than a welcome, assistance also of every kind that she may need and
may herself desire. The treatment accorded Russia by her sister nations in the
months to come will be the acid test of their good will, of their comprehension
of her needs as distinguished from their own interests, and of their
intelligent and unselfish sympathy.
7. Belgium, the whole world will agree, must be
evacuated and restored, without any attempt to limit the sovereignty which she
enjoys in common with all other free nations. No other single act will serve as
this will serve to restore confidence among the nations in the laws which they
have themselves set and determined for the government of their relations with
one another. Without this healing act the whole structure and validity of
international law is forever impaired.
8. All French territory should be freed and the
invaded portions restored, and the wrong done to France by Prussia in 1871 in
the matter of Alsace-Lorraine, which has unsettled the peace of the world for
nearly fifty years, should be righted, in order that peace may once more be
made secure in the interest of all.
9. A re-adjustment of the frontiers of Italy should
be effected along clearly recognizable lines of nationality.
10. The peoples of Austria-Hungary, whose place
among the nations we wish to see safeguarded and assured, should be accorded
the freest opportunity of autonomous development.
11. Romania, Serbia, and Montenegro should be
evacuated; occupied territories restored; Serbia accorded free and secure
access to the sea; and the relations of the several Balkan states to one
another determined by friendly counsel along historically established lines of
allegiance and nationality; and international guarantees of the political and
economic independence and territorial integrity of the several Balkan states
should be entered into.
12. The Turkish portions of the present Ottoman
Empire should be assured a secure sovereignty, but the other nationalities
which are now under Turkish rule should be assured an undoubted security of
life and an absolutely unmolested opportunity of autonomous development, and
the Dardanelles should be permanently opened as a free passage to the ships and
commerce of all nations under international guarantees.
13. An independent Polish state should be erected
which should include the territories inhabited by indisputably Polish
populations, which should be assured a free and secure access to the sea, and
whose political and economic independence and territorial integrity should be
guaranteed by international covenant.
14. A general association of nations must be formed
under specific covenants for the purpose of affording mutual guarantees of
political independence and territorial integrity to great and small states alike.
In regard to these essential rectifications of wrong
and assertions of right, we feel ourselves to be intimate partners of all the
governments and peoples associated together against the imperialists. We cannot
be separated in interest or divided in purpose. We stand together until the
end.
For such arrangements and covenants we are willing
to fight and to continue to fight until they are achieved; but only because we
wish the right to prevail and desire a just and stable peace such as can be
secured only by removing the chief provocations to war, which this program does
remove.
We have no jealousy of German greatness, and there
is nothing in this program that impairs it. We grudge her no achievement or
distinction of learning or of pacific enterprise such as have made her record
very bright and very enviable. We do not wish to injure her or to block in any
way her legitimate influence or power. We do not wish to fight her either with
arms or with hostile arrangements of trade, if she is willing to associate
herself with us and the other peace-loving nations of the world in covenants of
justice and law and fair dealing.
We wish her only to accept a place of equality among
the peoples of the world--the new world in which we now live--instead of a
place of mastery.
Neither do we presume to suggest to her any
alteration or modification of her institutions. But it is necessary, we must
frankly say, and necessary as a preliminary to any intelligent dealings with
her on our part, that we should know whom her spokesmen speak for when they
speak to us, whether for the Reichstag majority or for the military party and
the men whose creed is imperial domination.
We have spoken now, surely, in terms too concrete to
admit of any further doubt or question. An evident principle runs through the
whole program I have outlined. It is the principle of justice to all peoples
and nationalities, and their right to live on equal terms of liberty and safety
with one another, whether they be strong or weak.
Unless this principle be made its foundation, no
part of the structure of international justice can stand. The people of the
United States could act upon no other principle, and to the vindication of this
principle they are ready to devote their lives, their honor, and everything
that they possess. The moral climax of this, the culminating and final war for
human liberty has come, and they are ready to put their own strength, their own
highest purpose, their own integrity and devotion to the test.
Woodrow Wilson - January 8, 1918
********
_____________________________________
Konvensi Montevido
Mengenai Hak dan Kewajiban Negara-Negara
------------------------------------------------------------
MONTEVIDEO CONVENTION
ON RIGHTS AND DUTIES OF STATES
Agreement signed at Montevideo,
Uruguay, on December 26, 1933 (and entering into force the following year),
that established the standard definition of a state
under international law. Adopted by the Seventh
International Conference of American States, the convention stipulated that all
states were equal sovereign units consisting of a permanent population, defined
territorial boundaries, a government, and an ability to enter into agreements
with other states. Among the convention’s provisions were that signatories
would not intervene in the domestic or foreign affairs of another state, that they would
not recognize territorial gains made by force, and that all disputes should be
settled peacefully. The agreement was signed by the United States, Argentina, Brazil, Chile, Colombia,
Cuba, the Dominican Republic, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras, Mexico,
Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, and Venezuela. Bolivia was the
only country attending the conference that refused to sign the agreement.
ARTICLE 1
The state
as a person of international law should possess the following qualifications: a
) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d)
capacity to enter into relations with the other states.
ARTICLE 2
The federal state shall constitute a sole person
in the eyes of international law.
ARTICLE 3
The political existence of the state is
independent of recognition by the other states. Even before recognition the
state has the right to defend its integrity and independence, to provide for
its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees
fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define
the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other
limitation than the exercise of the rights of other states according to
international law.
ARTICLE 4
States are juridically equal, enjoy the same
rights, and have equal capacity in their exercise. The rights of each one do
not depend upon the power which it possesses to assure its exercise, but upon
the simple fact of its existence as a person under international law.
ARTICLE 5
The fundamental rights of states are not
susceptible of being affected in any manner whatsoever.
ARTICLE 6
The recognition of a state merely signifies that
the state which recognizes it accepts the personality of the other with all the
rights and duties determined by international law. Recognition is unconditional
and irrevocable.
ARTICLE 7
The recognition of a state may be express or
tacit. The latter results from any act which implies the intention of
recognizing the new state.
ARTICLE 8
No state has the right to intervene in the
internal or external affairs of another.
ARTICLE 9
The jurisdiction of states within the limits of
national territory applies to all the inhabitants.
Nationals and foreigners are under the same
protection of the law and the national authorities and the foreigners may not
claim rights other or more extensive than those of the nationals.
ARTICLE 10
The primary interest of states is the
conservation of peace. Differences of any nature which arise between them
should be settled by recognized pacific methods.
ARTICLE 11
The contracting states definitely establish as
the rule of their conduct the precise obligation not to recognize territorial
acquisitions or special advantages which have been obtained by force whether
this consists in the employment of arms, in threatening diplomatic
representations, or in any other effective coercive measure. The territory of a
state is inviolable and may not be the object of military occupation nor of
other measures of force imposed by another state directly or indirectly or for
any motive whatever even temporarily.
ARTICLE 12
The present Convention shall not affect
obligations previously entered into by the High Contracting Parties by virtue
of international agreements.
ARTICLE 13
The present Convention shall be ratified by the
High Contracting Parties in conformity with their respective constitutional
procedures. The Minister of Foreign Affairs of the Republic of Uruguay
shall transmit authentic certified copies to the governments for the
aforementioned purpose of ratification. The instrument of ratification shall be
deposited in the archives of the Pan American Union in Washington , which shall notify the signatory
governments of said deposit. Such notification shall be considered as an
exchange of ratifications.
ARTICLE 14
The present Convention will enter into force
between the High Contracting Parties in the order in which they deposit their
respective ratifications.
ARTICLE 15
The present Convention shall remain in force
indefinitely but may be denounced by means of one year's notice given to the
Pan American Union, which shall transmit it to the other signatory governments.
After the expiration of this period the Convention shall cease in its effects
as regards the party which denounces but shall remain in effect for the
remaining High Contracting Parties.
ARTICLE 16
The present Convention shall be open for the
adherence and accession of the States which are not signatories. The
corresponding instruments shall be deposited in the archives of the Pan
American Union which shall communicate them to the other High Contracting
Parties.
In witness whereof, the following
Plenipotentiaries have signed this Convention in Spanish, English, Portuguese
and French and hereunto affix their respective seals in the city of Montevideo , Republic
of Uruguay , this 26th day
of December, 1933.
********
Piagam Atlantik
Atlantic Charter
The
Atlantic Charter was the product of the Atlantic Conference,
which was an historic meeting between President Franklin D.Roosevelt and
British Prime Minister Winston Churchill.
Meeting from August
9-12, 1941, in great secrecy aboard the U.S. heavy cruiser USS Augusta and the British battle
cruiser HMS Prince of
Wales, the two leaders and their staffs discussed the
general strategy of the war against the Axis Powers. The major public outcome
of the Atlantic Conference was the Atlantic Charter, issued by President
Roosevelt and Prime Minister Churchill on August 14, 1941. The Atlantic Charter
formed the basis of the United Nations Charter.
Joint Statement by President Roosevelt and Prime Minister Churchill, (released)
August 14, 1941:
The following statement signed by the President of the United States and
the Prime Minister of Great Britain is released for the information of the
Press:
The President of the United States and the Prime Minister, Mr. Churchill,
representing His Majesty's Government in the United Kingdom, have met at sea.
They have been accompanied by officials of their two Governments,
including high ranking officers of the Military, Naval and Air Services The
whole problem of the supply of munitions of war, as provided by the Lease-Lend
Act, for the armed forces of the United States and for those countries actively
engaged in resisting aggression has been further examined.
Lord Beaverbrook, the Minister of Supply of the British Government, has
joined in these conferences. He is going to proceed to Washington to discuss
further details with appropriate officials of the United States Government.
These conferences will also cover the supply problems of the Soviet Union.
The President and the Prime Minister have had several conferences They
have considered the dangers to world civilization arising from the policies of
military domination by conquest upon which the Hitlerite government of Germany
and other governments associated therewith have embarked, and have made clear
the stress which their countries are respectively taking for their safety in
the face of these dangers.
They have agreed upon the
following joint declaration:
The President of the United States of
America and the Prime Minister, Mr. Churchill, representing His Majesty's Government
in the United Kingdom, being met together, deem it right to make known certain
common principles in the national policies of their respective countries on
which they base their hopes for a better future for the world.
First,
their countries seek no aggrandizement, territorial or other;
Second,
they desire to see no territorial changes that do not accord with the freely
expressed wishes of the peoples concerned;
Third, they respect the
right of all peoples to choose the form of government under which they will
live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to
those who have been forcibly deprived of them;
Fourth,
they will endeavor, with due respect for their existing obligations, to further
the enjoyment by all States, great or small, victor or vanquished, of access,
on equal terms, to the trade and to the raw materials of the world which are
needed for their economic prosperity;
Fifth,
they desire to bring about the fullest collaboration between all nations in the
economic field with the object of securing, for all, improved labor standards,
economic advancement and social security;
Sixth,
after the final destruction of the Nazi tyranny, they hope to see established a
peace which will afford to all nations the means of dwelling in safety within
their own boundaries, and which will afford assurance that all the men in all
the lands may live out their lives in freedom from fear and want;
Seventh,
such a peace should enable all men to traverse the high seas and oceans without
hindrance;
Eighth,
they believe that all of the nations of the world, for realistic as well as
spiritual reasons must come to the abandonment of the use of force. Since no
future peace can be maintained if land, sea or air armaments continue to be
employed by nations which threaten, or may threaten, aggression outside of
their frontiers, they believe, pending the establishment of a wider and
permanent system of general security, that the disarmament of such nations is
essential. They will likewise aid and encourage all other practicable measures
which will lighten for peace-loving peoples the crushing burden of armaments.
********
__________________________________________________
Pidato
Ratu Wilhelmina, 7 Desember 1942
Radio
address by Queen Wilhelmina
London, 7 December
1942
Today
it is a year ago that the Japanese, without previous declaration of war,
launched their treacherous attack on our Allies. At that time we did not
hesitate for a moment to throw ourselves into the struggle and to hasten to the
aid of our Allies, whose cause is ours.
Japan
had been preparing for this war and for the conquest of the Netherlands Indies
for years and in so doing sought to follow the conduct of its Axis partners in
attacking one country after another. This plan we were able to prevent, thanks
to our immediate declaration of war. After a year of war we can bear witness
that the tide is turning and that the attacker, who had such great advantages,
is being forced on the defensive.
It
is true that the Netherlands Indies, after defending themselves so heroically
are, for the most part, occupied by the enemy, but this phase of the struggle
is only a prelude. The Japanese are getting ever nearer the limit of their
possibilities as our ever-growing might advance towards them from all sides.
They have not been able to break China's courage and endurance and Japan now
faces the ebbing of her power in this self-willed war, which will end with her
complete downfall.
At
this moment my thoughts are more than ever with my country and my compatriots
in the Netherlands and the Netherlands Indies. After an age-old historical
solidarity, in which had long since passed the era of colonial relationship, we
stood on the eve of a collaboration on a basis of equality when suddenly we
were both confronted by the present ordeal. The treacherous aggression on the
Netherlands in 1940 was the first interruption in the process of development;
the heroic battle of the Netherlands Indies, followed by the occupation of the
major part of this territory in 1942, was the second.
At
the time when the Indies were still free and only Holland was occupied, the
vigor of our unity became apparent and on both sides a feeling of stronger
kinship developed more rapidly than it could have in peacetime. Now, however,
this mutual understanding has been deepened still further because the same
struggle is shared in all its agony and the same distress is suffered in all
its bitterness. In the Netherlands as well as in the Netherlands Indies the
enemy, with his propaganda for the so-called new order, has left nothing
untried to lure the spirit of the people and to disguise his tyranny and
suppression with the lies of his promises for the future. But these lies and
this deceit have been of no avail because nearly all have seen through them and
have understood that our enemies have as their aim nothing but slavery and
exploitation and that as long as they have not been driven out and defeated
there can be no question of freedom.
In
previous addresses I announced that it is my intention, after the liberation,
to create the occasion for a joint consultation about the structure of the
Kingdom and its parts in order to adapt it to the changed circumstances. The
conferences of the entire Kingdom which will be convoked for this purpose, has
been further outlined in a Government declaration of January 27th, 1942. The
preparation of this conference, in which prominent representatives of the three
overseas parts of the Kingdom will be united with those of the Netherlands at a
round table, had already begun in the Netherlands Indies, Surinam and Curacao,
the parts of the Kingdom which then still enjoyed their freedom. Especially in
the Netherlands Indies, detailed material had been collected for this purpose
and it was transmitted to me in December 1941 by the Governor-General. The
battle of the Netherlands Indies disrupted these promising preparations.
We
can only resume these preparations when everyone will be able to speak his mind
freely.
Although
it is beyond doubt that a political reconstruction of the Kingdom as a whole
and of the Netherlands and the overseas territories as its parts is a natural
evolution, it would be neither right nor possible to define its precise form at
this moment. I realize that much which is great and good is growing in the
Netherlands despite the pressure of the occupation; I know that this is the
case in the Indies where our unity is fortified by common suffering. These
developing ideas can only be shaped in free consultation in which both parts of
the Kingdom will want to take cognizance of each other's opinions. Moreover,
the population of the Netherlands and of the Netherlands Indies has confirmed,
through its suffering and its resistance, its right to participate in the
decision regarding the form of our responsibility as a nation towards the world
and of the various groups of the population towards themselves and one another.
By
working out these matters now, that right would be neglected, and the insight
which my people have obtained through bitter experience, would be disregarded.
I
am convinced, and history as well as reports from the occupied territories
confirm me in this, that after the war it will be possible to reconstruct the
Kingdom on the solid foundation of complete partnership, which will mean the
consummation of all that has been developed in the past. I know that no
political unity nor national cohesion can continue to exist which are not
supported by the voluntary acceptance and the faith of the great majority of
the citizenry. I know that the Netherlands more than ever feel their
responsibility for the vigorous growth of the Overseas Territories and that the Indonesians recognize, in
the ever-increasing collaboration, the best guarantee for the recovery of their
peace and happiness. The war years have proved that both peoples possess the
will and the ability for harmonious and voluntary cooperation.
A
political unity which rests on this foundation moves far towards a realization
of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been
embodied, for instance, in the Atlantic
Charter, and with which we could
instantly agree, because it contains
our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood
and possessions in the course of our history. I visualize, without anticipating
the recommendations of the future conference, that they will be directed
towards a commonwealth in which the
Netherlands, Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with
complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its
internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance.
It is my opinion that such a combination of
independence and collaboration can give the Kingdom and its parts the strength
to carry fully their responsibility, both internally and externally. This would
leave no room for discrimination according to race or nationality; only the
ability of the individual citizens and the needs of the various groups of the
population will determine the policy of the government.
In the Indies, as in the Netherlands, there
now rules an oppressor who, imitating his detestable associates and repudiating
principles which he himself has recognized in the past, interns peaceful
citizens and deprives women and children of their livelihood. He has uprooted
and dislocated that beautiful and tranquil country; his new order brings
nothing but misery and want. Nevertheless, we can aver that he has not
succeeded in subjugating us, and as the ever-growing force of the United
Nations advances upon him from every direction, we know that he will not
succeed in the future.
The Netherlands Indies and the Netherlands
with their fighting men on land, at sea and in the air, with their alert and
brave merchantmen and by their dogged and never-failing resistance in the hard
struggle, will see their self-sacrifice and intrepidity crowned after the
common victory with the recovery of peace and happiness for their country and
their people in a new world. In that regained freedom they will be able to
build a new and better future.
********
Some Comments
1.
Quoted from AUTONOMY FOR INDONESIA by A. ARTHUR SCHILLER 1944 - Pacific
Affairs, vol. 17, no. 4, Dec. 1944, pp. 478-488.
‘In
1936 the so-called Sutardjo motion was laid before the Council, calling for
autonomy of the Indies within the Kingdom, particularly by fostering greater political
activity in Indonesian society, by establishing an imperial council with
representation of the four territories therein, by enlarging the numbers and
powers of the People's Council and making department heads — as ministers —
responsible thereto. This precursor of the promises recently made was adopted
by the Council. But in November 1938 a royal decree disposed of the matter, on
the ground that "clarity of aim is lacking in its formulation, and that
the calling of a conference in the manner visualized would be contrary to
existing constitutional law."’
‘It
was just a year after the invasion of Holland that the Queen and officials of
the Netherlands government first promised far-reaching reorganization of the
Kingdom of the Netherlands and of the component territories thereof — the
Netherlands, Netherlands East Indies, Surinam and Curacao —upon the termination
of the war. In the words of the Governor-General of the Indies,' on June 16,
1941: "Immediately after the liberation of the mother country, the
adaptation of the structure of the Kingdom to the demands of the times will be
considered, the internal constitutional form of the overseas territories
constituting an integral part of the program." Shortly thereafter, the
Queen promised that a conference would be held to advise the Crown upon the
relation of the parts of the Kingdom to one another, and upon the revision of
the Administrative Acts (constitutions) of the four territories? Details of the
future conference were announced in January 1942: fifteen delegates from the
Netherlands, fifteen from the Netherlands Indies, and three each from Surinam
and Curacao. Ten of the Indies members were to be appointed upon recommendation
by the People's Council, the central representative body of the Indies, the
other five to be named by the Government of the Netherlands Indies
independently. Queen Wilhelmina's radio address of December 6, 1942, was,
accordingly, but a confirmation of a course of conduct outlined earlier.’
2.
Quote from Imperialism in SE Asia- A Fleeting Passing Phase by Nicholas Tarling
p. 262
The
Dutch had … begun to prepare the way for their return as early as 1942 by an
attempt to 'counter American attitudes toward colonialism'1. A broadcast by
Queen Wilhelmina in December alluded to 'a commonwealth in which the
Netherlands, Indonesia, Surinam and Curacao will participate' in 'a combination
of independence and collaboration'. Talking to the British, H. J. van Mook, the
wartime Colonial Minister, had envisaged a Netherlands government and a Netherlands
Indies government, with equal status, and, above them, responsible for defence
and foreign policy and matters of general interest, an Imperial government. The
speech has been called 'a poorly designed and unrealistic proposal ... better
characterized as an improvised concession to the language of the times rather
than a map of the road to independence'. It echoed the proposals made by the
moderate nationalists in the 1930s in the Soetardjo petition of 1936, for
example and then rejected. It was, however, a belated attempt at a new form of
post-imperial state-building that, unless it was developed in a liberal way,
would have little appeal in 1945, and perhaps not sufficient even if it were.
3.
Quote from Troubled days of peace: Mountbatten and South East Asia Command,
1945-46, by Peter Dennis, Manchester University Press, 1987 pp. 74-75.
American
approval of Dutch colonial policies and their future application was the sine
qua non for access to American military largesse, and when Roosevelt suggested
that the Dutch make some announcement about the postwar status of the NEI and
other Dutch colonies, Van Mook was among the ministers consulted on the thrust
of the speech.'
It
was timed to coincide with a meeting in Quebec of the influential Institute of
Pacific Relations, which had organised a conference to discuss the postwar
colonial situation. When she broadcast on 7 December 1942, the Queen promised
to convene a conference as soon as possible after the end of the war to discuss
the reorganisation of the Kingdom of the Netherlands into a Commonwealth in
which relations between the four component parts (the Netherlands, the East
Indies, Surinam and Curacao) would be based on the twin principles of 'complete
partnership' and 'self-reliance' and freedom of conduct for each part regarding
its internal affairs.'
Although
Roosevelt and American public opinion seemed reassured by these promises, the
speech merely stored up troubles for the Dutch. It offered little concrete
information about the postwar status of the East Indies, and gave even fewer
substantive concessions to reformist let alone nationalist opinion.
Van
Mook's attempts to spell out the details to a number of American journalists
were purely personal; others, including the Dutch prime minister, Professor
P.S. Gerbrandy, maintained in private that the speech in no way represented any
diminution of the powers of the central government over colonial affairs.
Promises of a postwar conference locked the Dutch government into the vagueness
of the speech and prevented them from advancing further initiatives as the
wartime situation unfolded.
The
speech was delivered in English – for primarily American consumption – and thus
was largely unknown to the very audience to which it was theoretically designed
to apply. When the Dutch finally straggled back to the NEI in September 1945,
they were no longer part of an American-dominated theatre, but were clinging to
the coat-tails of the hard pressed British, who had colonial problems of their
own. Furthermore, all the Dutch had to offer was a shadowy plan for reform that
was almost three years old. Conditions in the NEI had changed dramatically
since 1942, and had rendered the vague promises of the Queen's speech all but
irrelevant.
The
Dutch, however, did not realise this. Throughout the war information on the NEI
was scanty and, as later events showed, often completely unreliable.
Or:
********