Sunday, September 14, 2014

PUPUTAN MARGARANA: AGRESI MILITER BELANDA TERHADAP REPUBLIK INDONESIA YANG MERDEKA DAN BERDAULAT






PUPUTAN MARGARANA

AGRESI MILITER BELANDA TERHADAP
REPUBLIK INDONESIA
YANG MERDEKA DAN BERDAULAT

Pembicara Tunggal
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)


Disampaikan dalam
Seminar Nasional
Di Universitas Warmadewa
Denpasar, 6 September 2014


Pendahuluan

Dalam kesempatan ini, saya tidak akan memaparkan mengenai jalannya perang Puputan Margarana, karena mengenai hal ini, telah banyak ditulis oleh pelaku sejarah dan saksi mata yang tentu lebih kompeten.

Yang akan saya paparkan –sebagaimana juga tulisan-tulisan saya terdahulu- adalah analisis mengenai latar belakang, mengapa peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi. Demikian juga akibat dan pengaruh dari peristiwa-peristiwa tersebut, seperti ‘Pemboman Inggris atas Surabaya, November 1945’, ‘Serangan Umum 1 Maret 1949’, ‘Pembantaian di Rawagede’, dll.

Judul tulisan ini dapat diganti, misalnya: “Aksi Polisional Belanda. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat.” “Teror Westerling di Sulawesi Selatan. Agresi Militer Belanda Terhadap RI Yang Merdeka dan Berdaulat”, dsb. Namun esensi dari isinya sama, yaitu menerangkan latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, dan kaitan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Karena dapat dikatakan, bahwa tidak ada satu peristiwa yang berdiri sendiri.

Juga dampak yang diakibatkan oleh suatu peristiwa, tidaklah hanya masalah hukum saja, atau hanya masalah politik Luar Negeri, atau hanya masalah ekonomi, atau hanya masalah HAM, dll. Untuk dapat meneropong sesuatu peristiwa sejarah, juga diperlukan pendekatan multidisipliner, karena kalau hanya dengan menggunakan pendekatan sejarah, tidak akan terungkap masalah-masalah hukum internasional, dampak perekonomian yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut –seperti kasus pembantaian 431 penduduk laki-laki usia produktif di desa Rawagede-, dll.


Akar dari semua permasalahan yang ada di Republik Indonesia sejak bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah, Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. Di Indonesia, ternyata sangat banyak yang tidak mengetahui, bahwa Pemerintah Belanda hingga detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (souvereniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dari sudut pandang Belanda, ini merupakan “hadiah” untuk Indonesia. Yang dilakukan pada 27.12.1949 bukanlah PENGAKUAN KEMERDEKAAN, melainkan PELIMPAHAN KEWENANGAN (transfer of sovereignty), karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië (India Belanda).

Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, sebelum berangkat ke Indonesia, menteri Luar negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot menyatakan, bahwa kini (tanggal 15.8.2005) pemerintah Belanda menerima de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Dalam pidatonya di Jakarta pada 16.8.2005 di kantor Kemlu RI, Ben Bot mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda menerima proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Dan dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta, Ben Bot mengatakan, bahwa pelimpahan kewenangan (transfer of sovereignty) telah diberikan pada akhir tahun 1949.

RIS, yang dipandang sebagai kelanjutan dari Nederlands Indië (India Belanda), dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, Negara yang secara yuridis diakui oleh pemeritah Belanda sudah tidak ada, dan Belanda sekarang berhubungan dengan Republik Indonesia, yang kemerdekaannya adalah 17.8.1945.

Memang untuk pemerintah Belanda sangat dilematis, yaitu apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, karena dengan demikian Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang mereka namakan sebagai “aksi polisional” tak lain adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka. Akibatnya, para veteran Belanda akan menjadi penjahat perang, dan pemerintah Indonesia berhak menuntut pampasan perang kepada pemerintah Belanda. Juga semua kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda selama agresi militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, bukan hanya pelanggaran HAM berat, melainkan juga merupakan kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan agresi.

Banyak peristiwa yang terjadi selama perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang hingga sekarang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia sendiri. Terutama yang sehubungan dengan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia,

Demikian juga berbagai kejahatan atas kemanusiaan, pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Jepang selama masa pendudukan Jepang di wilayah jajahan Belanda, Nederlands Indië (India Belanda) antara tahun 1942 – 1945, juga samasekali tidak diketahui oleh rakyat Indonesia, seperti pembantaian di kamp konsentrasi di kecamatan Mandor, Kalimantan Barat, percobaan kedokteran (medical experiments) Unit 731 tentara Jepang, kanibalisme tentara Jepang terutama di Papua, dll.

Dengan dibentuknya International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun 2001, Indonesia diberikan landasan hukum internasional untuk membawa semua kasus-kasus tersebut ke Mahkamah Kejahatan internasional.

Dalam Statuta Roma, yang menjadi landasan International Criminal Court  (ICC), empat jenis kejahatan dinyatakan tidak mengenal kadaluarsa, yaitu:
  1. Genocide (pembantaian etnis),
  2. War crime (kejahatan perang),
  3. Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan), dan
  4. Crime of aggression (kejahatan agresi).



Latar Belakang Sejarah

Perang Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Satu persatu negara-negara di Asia Tenggara yang waktu itu adalah jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.

Penyerbuan tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.

Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir sudah hak Belanda atas jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu siapa yang kuat, memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang, dalam mempertahankan mangsanya/ jajahannya.[1]

Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar, Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:

“…Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa masalah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...
Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...
… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...
... Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia...
... Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”

Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu (allied forces). Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada 5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang menandai berakhirnya perang di Eropa.

Pemerintah India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9 Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal perang Amerika Serikat ‘Missouri’ di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).


Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945[2]

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di wilayah pendudukan Jepang, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus Komite Nasional Indonesia Pusat mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden dan Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.

Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu:
  1. Adanya penduduk yang permanen,
  2. Adanya wilayah tertentu,
  3. adanya pemerintahan, dan
  4. Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.

Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 19 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l. (teks lengkap, lihat lampiran):
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya.

Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.

Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:[3]
A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.

Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945. Pernyataan Woodrow Wilson tahun 1918 diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F. D. Roosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, di awal Perang Dunia II.

Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan:[4]
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”

Butir tiga ini kemudian dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of people …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).

Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble (pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:[5]
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”

Ratu Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat pengasingan di London pada 7 Desember 1942 (setelah tentara Jerman menduduki Belanda bulan Mei 1941) mendukung gagasan Atlantic Charter tersebut.[6]
Penetapan batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga berdasarkan kesepakatan internasional, Uti possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)

Bangsa Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.

Berdirinya Tentara Republik Indonesia

Pada 22 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk suatu badan yang dinamakan Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP); di dalam tubuh BPKKP, dibentuk organisasi yang dipersenjatai, yang dinamakan Badan Keamanan Rakyat. Memang sesuatu yang unik, yaitu organisasi bersenjata berada di dalam tubuh suatu organisasi sosial.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan agar pihak Sekutu tidak mencurigai bahwa Badan Keamanan Rakyat (BKR) merupakan suatu kekuatan militer, maka diputuskan, bahwa BKR adalah bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).

Setelah dikeluarkan pengumuman mengenai pembentukan KNIP dan BKR, segera dikeluarkan seruan, agar di daerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk Komite Nasional Indonesia-Daerah (KNI-D) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada 23 Agustus Presiden Sukarno menyerukan kepada semua bekas Peta dan Heiho untuk menggabungkan diri ke dalam BKR. Sejak itu, di seluruh wilayah bekas India Belanda dibentuklah Komite Nasional Indonesia-Daerah dan BKR. Pembentukan BKR banyak dipelopori oleh mantan anggota Peta, Heiho, Gyugun, Seinendan, keibodan, bekas KNIL, dan tokoh-tokoh masyarakat serta para intelektual.

Pada awalnya, pembentukan pasukan/laskar pemuda tidak terkendali. Berbagai kelompok yang mendirikan laskar juga berhasil memperoleh persenjataan yang direbut dari tentara Jepang. Beberapa komandan pasukan Jepang yang bersimpati kepada Republik Indonesia menyerahkan secara sukarela persenjataan mereka, tetapi di banyak tempat, persenjataan itu direbut, bahkan melalui pertempuran sengit yang menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak.

Pimpinan Republik melihat perlu adanya tentara reguler dengan garis komando yang jelas dan terkendali. Presiden Sukarno menugaskan mantan mayor KNIL, Urip Sumoharjo,[7] menyusun konsep tentara reguler tersebut. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno mengumumkan berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat).

Nama Tentara Keamanan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, kemudian tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan akhirnya tanggal 3 Juli 1947 menjadi TNI -Tentara Nasional Indonesia, hingga sekarang.

Pada tahun 1948, dalam rangka reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) di tubuh TNI diputuskan, bahwa semua laskar harus dilebur ke dalam TNI. Kepangkatan juga disesuaikan dengan wewenang yang dimiliki oleh seseorang. Boleh dikatakan, semua perwira dan bintara mengalami pernurunan pangkat, karena sebelum itu, semua orang yang memiliki anak buah, menentukan pangkatnya sendiri; bahkan tidak tanggung-tanggung, banyak yang mengangkat dirinya menjadi Mayor Jenderal atau Laksamana.

Rivalitas antara mantan perwira KNIL dan mantan perwira Peta, telah terlihat sejak awal pembentukan TKR, terutama dalam pemilihan komandan dan pimpinan. Walaupun jumlah keseluruhan mantan perwira KNIL jauh di bawah mantan perwira Peta, namun dalam jabatan pimpinan, jumlah mantan perwira KNIL yang kemudian menjadi pimpinan di tubuh TNI cukup menonjol. Tanggal 12 November 1945[8] di Yogyakarta, diadakan rapat pimpinan tertinggi militer, yang dihadiri oleh hampir seluruh komandan Divisi, kecuali pimpinan militer dari Jawa Timur, yang sedang bertempur melawan tentara Inggris. Secara demokratis diadakan pemilihan Panglima Besar Angkatan Perang. Kolonel Sudirman, Komandan Divisi V (Kedu-Banyumas) menang suara tipis atas Urip Sumoharjo, dengan demikian Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang. Sudirman, waktu itu berumur 30 tahun, adalah mantan Daidancho (komandan batalyon) Peta di Kroya.

Walau pun tentara Jepang telah melucuti persenjataan yang telah mereka berikan kepada satuan-satuan Peta dan Heiho, namun sejak diumumkan pembentukan KNI-D dan BKR, tokoh-tokoh pemuda/masyarakat di berbagai kota dan daerah di Indonesia mulai  mengambil alih kepemimpinan, baik pemerintahan sipil maupun militer.

Setelah Jepang secara resmi menandatangani kapitulasi pada 2 September 1945, pada 10 September 1945 pemerintahan militer Jepang di Indonesia menyatakan, bahwa mereka akan menyerahkan wewenang kepada tentara Sekutu, dan tidak kepada Pemerintah Republik Indonesia. Langkah ini mengakibatkan rasa permusuhan terhadap Jepang bangkit kembali dan mulai timbul ketegangan antara rakyat Indonesia dengan tentara Jepang, sedangkan tentara Sekutu belum datang di Indonesia. Ketidakpercayaan rakyat kepada tentara Jepang bermuara  pada pengambilalihan pemerintahan serta perebutan senjata dari tentara Jepang.

Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai adalah perwira Tentara Rakyat Indonesia (TRI) di Bali, yang memimpin Pasukan Ciung Wanara.


Agresi Militer Belanda Dibantu Inggris dan Australia

Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL dihancurkan oleh tentara Jepang.

Ketika tentara Jepang menyerbu ke Asia tenggara, dan memulai penyerbuan ke Pulau Jawa tanggal 1 Maret 1942, banyak orang-orang Belanda yang segera melarikan diri ke Australia. Sejumlah pimpinan pemerintahan sipil dan militer yang lari ke Australia tersebut antara lain, Dr. Hubertus Johannes van Mook, mantan Letnan Gubernur Jenderar Hindia Belanda Timur, Dr. Charles Olke van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur, dan Simon Hendrik Spoor. Tahun 1946 Spoor, menggantikan Letnan Jenderal van Oyen menjadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia.

Tahun 1942 jumlah tentara Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia hanya sekitar 1000 orang. Mereka kemudian dapat merekrut orang-orang dari Suriname dan Curacao untuk menjadi tentara, sehingga saat Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, jumlah tentara Belanda yang berada di Australia sudah mencapai sekitar 5000 orang –termasuk orang Indonesia yang menjadi serdadu KNIL seperti Kolonel Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo, yang kemudian memimpin delegasi Belanda dalam perundingan di atas kapal perang AS Renville.

Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC berada di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan India.

Pulau-pulau lain dari wilayah bekas India Belanda –Kalimantan, Sulawesi, Papua, dll.- berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Supreme Commander South West Pacific Area Command – SWPAC (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya).

Pada 15 Agustus 1945 dilakukan penyerahan wewenang atas wilayah bekas India Belanda dari Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglimaSouth West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) kepada Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Pada hari itu juga, Letnan Gubernur Jenderal van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.

Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan Pemerintah Belanda –termasuk van Mook dan kawan-kawan yang mendengar melalui radio di Australia.

Setelah perang di Eropa usai dengan menyerahnya Jerman pada 8 Mei 1945, fokus kekuatan tempur tentara Sekutu dialihkan ke Perang Pasifik untuk menghadapi Jepang. Walau pun tanggal 11 Februari 1945 di Yalta telah disepakati ikutsertanya Uni Sovyet dalam perang melawan Jepang, namun Amerika Serikat berusaha mencegah terulangnya pemberian konsesi kepada Uni Sovyet seperti di Eropa, di mana mereka praktis membagi Eropa dan Jerman menjadi dua bagian, yaitu Eropa Barat dan Berlin Barat di bawah pengaruh kapitalisme Barat dan Eropa Timur serta Berlin Timur, di bawah pengaruh komunis Uni Sovyet. Pasukan Uni Sovyet telah memasuki Korea bagian utara dan bersiap-siap untuk memulai menyerang Jepang dari arah utara.

Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa MacArthur harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada Komando Asia Tenggara di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Maka pada tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak orang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.

Setelah penyerahan wewenang dari Panglima Tertinggi South West Pacific Area Command atas Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta daerah-daerah lain yang termasuk wilayah bekas India Belanda kepada South East Asia Command (SEAC) di bawah Lord Mountbatten, Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya adalah[9]:

Nota tanggal 24 Agustus 1945

Musyawarah yang berlangsung antara perwakilan Belanda dan Inggris mengenai asas-asas yang perlu diperhatikan bila saja timbul persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan dan peradilan sipil, yang berlangsung di wilayah Netherlands Indies (India Belanda) yang telah dibebaskan dan ada di bawah perintah Panglima Tertinggi Sekutu, Komando Asia Tenggara, telah mencapai persetujuan mengenai persyaratan sebagaimana dalam memorandum ini.

Asas-asas yang terdapat dalam memorandum ini dimaksudkan untuk mencari pemecahan mengenai hal-hal yang timbul dengan mendadak dan sedapat mungkin bertujuan untuk mempermudah tugas yang dibebankan kepada pimpinan tertinggi sekutu dan pemerintah Belanda, serta memudahkan tercapainya tujuan bersama. Perlu dimaklumi bahwa peraturan ini semata-mata hanya bersifat sementara tanpa mengganggu kedaulatan Belanda dalam bentuk apapun juga.”

dto. Ernest Bevin
(Menteri Luar Negeri Inggris – pen)

Azas-azas yang perlu diperhatikan dalam mengatur pemerintahan dan peradilan sipil di wilayah India Belanda dalam Komando Asia Tenggara.

1. Di daerah-daerah di mana terdapat operasi-operasi militer, perlu dilakukan peninjauan dalam stadium (tingkat) pertama atau militer. Selama itu maka Panglima Tertinggi Sekutu, sesuai dengan situasi, berhak untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggapnya perlu. Selama berlaku keadaan stadium pertama itu, maka pemerintah Belanda, dalam usahanya untuk membantu Panglima Tentara Sekutu dalam melaksanakan tugasnya, akan memperbantukan pada tentara Sekutu itu, perwira-perrwira NICA (Netherlands Indies Civil Administration) secukupnya untuk menjalankan pemerintahan di wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, di bawah pengawasan umum fihak komandan militer Sekutu setempat. Dinas-dinas dari NICA akan dipergunakan sebanyak mungkin dalam setiap kesempatan yang berhubungan dengan pemerintahan sipil, termasuk pelaksanaan rencana-rencana sehubungan dengan eksploitasi sumber-sumber bantuan dari wilayah India Belanda yang telah dibebaskan, bila sekiranya kebutuhan militer menghendakinya selama dalam keadaan stadium pertama itu. Kiranya perlu diketahui, bahwa perwira-perwira NICA itu mempunyai cukup kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang dianggap perlu. Penggunaan atau penguasaan tenaga kerja, tempat tinggal dan bahan-bahan persediaan, pemakaian tanah, gedung-gedung, alat-alat pengangkutan dan dinas-dinas lainnya yang oleh Panglima Tertinggi Sekutu dianggap perlu untuk kebutuhan militer dari komandonya, sedapat mungkin akan diusahakan dengan perantaraan pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum India Belanda.
2. Telah tercapai kata sepakat, bahwa Pemerintah India Belanda secepat dan sepraktis mungkin akan diberi kembali tanggung jawab sepenuhnya atas pemerintahan sipil di wilayah India Belanda. Bila menurut pertimbangan, situasi militer mengizinkan, maka Panglima Tertinggi Sekutu akan segera memberitahukan Letnan Gubernur Jenderal untuk kembali bertanggung jawab atas pemerintahan sipil.
3. Pemerintahan India Belanda, dinas-dinas administrasi serta peradilan Belanda dan India Belanda akan dilaksanakan oleh pembesar-pembesar India Belanda, sesuai dengan hukum yang berlaku di India Belanda.

Butir yang terpenting untuk Belanda adalah, penyerahan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” oleh tentara Inggris kepada Netherlands Indies Civil dministration (NICA). Chequers, tempat peristirahatan Perdana Menteri Inggris, menjadi tempat pertemuan penting untuk perundingan-perundingan dengan pemerintah Belanda.

Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal bagi negara-negara bekas jajahan negara Eropa. Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan ini diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.

Di sini terlihat, bahwa Atlantic Charter –isinya terpenting adalah butir tiga yaitu “hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri” (Right for selfdetermination of people)- yang dicetuskan oleh Roosevelt dan Churchill pada 14 Agustus 1941, hanya sebagai suatu lip service, sekadar propaganda untuk menunjukkan bahwa mereka seolah-olah sangat peduli akan nasib negara-negara jajahan. Namun belang ini segera terlihat, yaitu ketika Jerman telah diambang kekalahan, yang berarti juga setelah itu Jepang pasti akan dapat dihancurkan, mereka melupakan janji-janji muluk sebelumnya, dan bahkan membantu mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada para penguasa sebelumnya, termasuk Indonesia yang akan “dikembalikan” kepada Belanda. Kepalsuan janji mereka terlihat nyata setelah Perang Dunia II di Eropa dan Perang Pasifik selesai, di mana negara-negara yang dijajah masih harus berjuang bertahun-tahun untuk mencapai kemerdekaan.

Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.

Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1.       Melucuti tentara Jepang dan memulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2.       merehabilitasi para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees),
3.       serta menciptakan  keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris dan Australia telah banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta kejahatan agresi, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di Surabaya saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan pemboman kota Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu pada bulan November, korban jiwa diperkirakan lebih dari 20.000.

Mengenai penambahan tugas yang diberikan secara mendadak kepadanya, Mountbatten menulis:
“...Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.

Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese...”

Pada 1 September 1945, van Mook bersama van der Plas menemui Mountbatten di Kandy, Ceylon (Sri Lanka), untuk menindak-lanjuti hasil perundingan CAA antara Belanda dan Inggris, serta tindaklanjut hasil keputusan konferensi Yalta dan Deklarasi Potsdam. Nampaknya, misi van Mook dan van der Plas berhasil, karena sehari setelah pertemuan tersebut, Mountbatten mengeluarkan perintah tertanggal 2 September 1945 kepada pada komandan Divisi, termasuk komandan Divisi 5, dengan kalimat yang kemudian berakibat fatal bagi rakyat Indonesia, terutama di Surabaya. Isi perintah Mountbatten sebagai berikut:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C. Imperial Forces.
Re. Directive ASD4743S.

You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.(3)
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.
I wish you God speed and a sucessful campaign.

(signed)
Mountbatten
Vice Admiral.

Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
“...In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to
maintain services...”

dan kalimat berikutnya:
“…the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion...”

menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“…..mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda…”
dan
“………mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”

Van Mook dan pimpinan Belanda lain selalu menyatakan kepada pimpinan militer Inggris, bahwa pengambil-alihan Indonesia tidak memerlukan kekuatan militer. Kemungkinan karena percaya akan keterangan van Mook tersebut, maka Mountbatten mengirim salah satu stafnya, Mayor Jenderal A.W.S. Mallaby, yang adalah seorang perwira administrasi, yang belum pernah memimpin pasukan tempur. Untuk dapat memimpin satu Brigade tempur, ia rela pangkatnya turun menjadi Brigadir Jenderal. Adalah suatu kebanggaan bagi seorang perwira, apabila dapat menjadi komandan satu brigade pasukan tempur.

Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan, sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945, yang mengalami kehancuran total dalam pertempuran dahsyat di Surabaya pada 28-29 Oktober 1945, dan juga kemudian mengakibatkan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, perwira tinggi Inggris pertama yang tewas dalam perang.

Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941. Juga belum diketahui adanya perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers pada 24 Agustus 1945, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta, bahwa Tentara Sekutu hanya akan menjalankan tugas-tugas kemiliteran, telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Mungkin pada waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya, namun dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh siasat Inggris dan Belanda.

Jalan sejarah mungkin akan menjadi lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi Inggris -British-Indian Divisions- dengan persenjataan lengkap dan moderen telah mendarat di Jawa dan Sumatera, dan dua Divisi Australia dapat sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur, yaitu dari mulai Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat dan seterusnya ke timur.

Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat lebih dari 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing. Semula, Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun kenyataannya, Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan hampir seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tersebut, seperti yang terjadi di Surabaya.

Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Tentara ke 15 Inggris, yang juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.

Untuk mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun 1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacht).



“Jasa” Australia kepada Belanda di Indonesia Timur tahun 1945/1946

Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten kemudian mendapat bantuan dua Divisi Australia di bawah Letnan Jenderal Sir Leslie J. Morshead, yang mungkin karena kekejamannya mendapat julukan “Ming the merciless” (Ming yang tak kenal ampun). Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan dan wilayah Indonesia Timur lainnya.

Jenderal MacArthur menugaskan Morshead untuk menyerbu pertahanan Jepang di Kalimantan, dan kemudian membantu Belanda untuk memperoleh Indonesia kembali sebagai jajahan, sesuai dengan janjinya kepada van Mook dalam pertemuan di pulau Tacloban, Filipina pada 10 Desember 1944. Dengan nama sandi Oboe 1, penyerangan atas Kalimantan dimulai dengan penyerbuan pasukan Brigade 26 pada 1 Mei 1945 atas Pulau Tarakan. Pada 6 Mei kota Tarakan dan bandaranya jatuh ke tangan tentara Australia, dan pada 22 Juni perlawanan tentara Jepang di seluruh Pulau Tarakan berakhir.

Pada 1 Juli 1945, Divisi 7 tentara Australia mendarat di Balikpapan. Pendaratan ini merupakan pendaratan pasukan amphibi terbesar dan terakhir yang dilakukan oleh tentara Australia pada Perang Dunia II. Sasaran utamanya adalah menguasai ladang-ladang minyak yang sangat dibutuhkan untuk keperluan perang tentara Sekutu.

Pimpinan militer Inggris tidak dapat segera mengirimkan divisi-divisi yang telah ditentukan. Karena belum dapat memberangkatkan pasukan ke Jawa. Tanggal 8 September 1945, Inggris menerjunkan beberapa perwira marinir dengan parasut di bawah pimpinan Mayor Alan G. Greenhalgh di Jakarta. Pada hari itu, Kapten Nakamura memberikan informasi kepada Letnan Kolonel van der Post, bahwa 4 orang parasutis telah mendarat di bandar udara Kemayoran dan langsung dibawa ke Hotel des Indes. Selain Mayor Greenhalgh, ada seorang perwira Belanda, Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken, dua orang prajurit Inggris dan tiga orang prajurit Belanda. Mereka adalah staf komunikasi yang membawa peralatan baru yang canggih untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Peralatan tersebut segera dipasang di markas Letkol van der Post. Pada petang hari itu juga telah terjalin kontak langsung dengan Markas Besar Tentara Sekutu Komando Asia Tenggara di Kandy, Sri Lanka.

Mayor Alan Greenhalgh dan Letnan Mr. S. J. Baron van Tuyll van Seroskerken mewakili suatu organisasi yang baru dibentuk, dengan nama lengkapnya adalah The Combined Services Organization for the Relief of all Prisoners-of-War and Civilian Internees. Di seluruh Asia Tenggara, organisasi ini kemudian dikenal sebagai Recovery of Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI.

Tanggal 15 September 1945, Rear Admiral Sir Wilfred R. Patterson dengan kapal perang H.M.S. Cumberland berlabuh di Jakarta. Petinggi Belanda yang ikut bersama Patterson di kapal tersebut adalah van der Plas, mantan Gubernur Jawa Timur sewaktu pemerintahan India Belanda, yang kini mewakili NICA dan sejumlah orang Belanda, yang merupakan pejabat tinggiCivil Affairs.

Pada 18 September 1945, beberapa staf RAPWI diterjunkan dengan payung di Gunungsari, Surabaya. Mereka ditugaskan untuk berhubungan dengan para interniran Belanda dan Sekutu. Oleh Jepang, tim RAPWI ditempatkan di Hotel Yamato (Oranje), di Tunjungan, tanpa persetujuan pimpinan Republik Indonesia.

Pendaratan satu batalyon Seaforth Highlanders  (Batalyon Seaforth Highlanders  termasuk resimen yang lebih dari 200 tahun lalu, telah mengharumkan namanya dalam operasi melawan Perancis dan Perancis- Belanda di Jawa di masa kepemimpinan Thomas Stamford Raffles) dari Divisi 23 tentara Inggris di Jakarta, baru dilakukan pada 30 September 1945, 43 (!) hari setelah pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia. Berangsur-angsur Inggris mengirim pasukan dari Divisi 23 ke Bogor, Bandung dan Semarang. Letnan Jenderal Sir Philip Christison, yang sebelumnya adalah Panglima tentara Inggris di Arakan, Birma, tiba di Jakarta pada 30 September 1945, dengan pesawat pembom Mitchell. Sir Philip Christison, Panglima the 15 British Army Corps, memulai karir militernya sebagai dokter tentara, semasa Perang Dunia I. Christison yang oleh teman-teman akrabnya dipanggil “Christie”, diangkat menjadi Panglima AFNEI (Allied Forces in the Netherlands East Indies) pada 27 September 1945.
Setelah memperoleh informasi dari perwira-perwira Inggris yang berada di Jakarta, Lord Mountbatten mengemukakan kebijakan baru yang akan dilakukannya di Indonesia, yaitu:
“Gagasan kami satu-satunya adalah membuat Belanda dan Indonesia saling berciuman dan kemudian mengundurkan diri.”

Kebijakan ini jelas sangat berbeda dengan surat perintah yang telah dikeluarkannya pada 2 September 1945, sehari setelah kedatangan van Mook dan van der Plas di Markas Besarnya di Kandy, Sri Lanka. Nampaknya sejalan dengan kebijakan baru dari Mountbatten tersebut, sebelum berangkat ke Jakarta, di Singapura Letnan Jenderal Christison membuat pernyataan di muka pers yang kemudian menjadi sangat kontroversial. Anderson mencatat:

"...Christison mengatakan, bahwa Inggris mempunyai tiga tujuan di Indonesia:
- untuk melindungi dan mengungsikan tawanan-tawanan perang Sekutu dan tawanan-tawanan lainnya;
- melucuti dan mengembalikan Jepang, dan
- memelihara hukum dan ketertiban.

Angkatan Darat Jepang ke 16 akan bertanggung jawab atas keamanan dalam negeri di daerah-daerah yang tidak diduduki Sekutu, sampai
“pengaturan-pengaturan tercapai bagi pejabat-pejabat setempat untuk mengambilalihnya. Kemudian Jepang akan dilucuti …

…Inggris tidak mempunyai maksud untuk mencampuri urusan-urusan dalam negeri, melainkan hanya untuk menjamin hukum dan ketertiban.”

Christison juga meminta kepada pemimpin-pemimpin Indonesia supaya memperlakukan dia dan pasukannya sebagai tamu-tamu. Selanjutnya dia juga mengatakan: “Pasukan Inggris tidak akan bergerak di luar daerah-daerah pendudukan yang telah ditetapkan, yaitu Batavia (Jakarta), Surabaya, Medan dan Padang, untuk maksud apapun…"

Tentu pernyataan ini –yang membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia- menggoncangkan para petinggi Belanda, baik yang di Belanda, maupun yang telah berada di Indonesia karena mereka menilai, dengan pernyataan Christison tersebut, Inggris bermaksud tidak akan memenuhi perjanjian Chequers dan hasil keputusan Konferensi Yalta serta Deklarasi Potsdam, mengenai pengembalian situasi kepada status quo di Asia, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1942. Reaksi keras dari Pemerintah Belanda membuat Pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan, bahwa Inggris tidak bermaksud untuk keluar dari perjanjian –Civil Affairs Agreement- yang telah ditandatangani di Chequers tanggal 24 Agustus 1945.

Mengenai sepak-terjang tentara Australia dalam membantu Belanda “membersihkan” wilayah timur Indonesia, Anthony Reid mencatat:

“...Tentara Australia ini sebelumnya termasuk Komando Wilayah Pasifik Baratdaya yang kemudian dibubarkan, dengan tugas baru yang diberikan kepada Letnan Jenderal MacArthur. Kini mereka diberi wewenang atas Kalimantan, Sulawesi, dan semua pulau di bagian Timur, kecuali Bali dan Lombok. Mereka mempunyai kekuatan pasukan yang besar di Borneo Inggris, Kalimantan, Irian dan markas besar mereka di Morotai. Dengan demikian, mereka dapat bergerak lebih cepat daripada tentara Inggris. Pendaratan tentara Australia,
- di Kupang tanggal 11 September 1945,
- di Banjarmasin tanggal 17 September,
- di Makasar tanggal 21 September,
- di Ambon tanggal 22 September,
- di Manado tanggal 2 Oktober,
- di Pontianak tanggal 16 Oktober.

Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota itu sebelum adanya suatu gerakan Republik yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, mereka relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh pihak Belanda...”

 Setelah tentara Australia menguasai Bali, maka pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.

Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus orang tentara.
Sementara itu, pada bulan Juni/Juli 1946, timbul konflik internal Republik Indonesia, dan Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia.

Pada 3 Juli 1946, terjadi peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi Indonesia ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda  memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik.

Di tengah-tengah kemelut internal Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 secara resmi pimpinan tentara Australia “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration).

Belanda tidak berlama-lama menunggu, dan pada 16 – 25 Juli 1946, van Mook menggelar “Konferensi Malino”, satu kota kecil di sebelah utara Makassar, yang dihadiri oleh 39 orang “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.

Di Konferensi Malino ini diletakkan dasar untuk mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT), yang akan disempurnakan dalam Konferensi besar di Denpasar pada bulan Desember 1946.

Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.

Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947, dan –di tengah-tengah perundingan Konferensi Meja Bunda di Den Haag, Belanda- dieksekusi pada 5 September 1949.

Perlawanan rakyat Indonesia Timur, terutama di Sulawesi dan Bali sangat hebat, sehingga Belanda mengirim pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST) di bawah komando Westerling ke Sulawesi Selatan. Westerling menjalankan aksi terror, yaitu dengan membantai ribuan penduduk sipil tanpa proses (standrechtelijkeexcecutie), untuk mematahkan semangat perlawanan rakyat Indonesia.

Untuk memuluskan pelaksanaan Konferensi besar di Denpasar, maka Belanda “membersihkan” tentara Indonesia di Bali. Dalam rangka menguasai seluruh Bali, terjadilah peristiwa heroik Puputan Margarana, di mana Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai tewas bersama 95 anak buahnya.

Belanda terus memperkuat tentaranya di Indonesia hingga mencapai sekitar 80.000 orang, dengan persenjataan yang jauh lebih hebat dan moderen, dibandingkan dengan yang dimiliki oleh tentara Indonesia, sehingga ketika Inggris menarik seluruh tentaranya dari Jawa dan Sumatera pada 30 November 1946, tentara Inggris dan Australia telah diganti oleh tentara Belanda dengan kekuatan yang sama. Suatu kerjasama yang sempurna, sesuai hasil Konferensi Yalta, Deklarasi Potsdam dan perjanjian Chequers.
Demikian “jasa” Australia dan Inggris dalam membantu Belanda menduduki wilayah-wilayah tersebut, karena pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang terorganisir; yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak memungkinkan untuk bertempur.

Politik pemerintah Australia terhadap Republik Indonesia baru berubah tahun 1947, setelah terlihat nyata, bahwa Belanda tidak mampu mempertahankan Indonesia sebagai jajahan. Australia memperhitungkan, bahwa apabila mereka meneruskan dukungan terhadap Belanda, dan kemudian ternyata Indonesia dapat menjadi negara besar yang merdeka dan berdaulat, Australia akan mendapat kesulitan menjalin hubungan bertetangga yang baik. Berdasarkan pertimbangan inilah maka terjadi perubahan sikap Australia.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa apabila Australia sejak semula tidak mendukung Belanda, Belanda tidak mungkin dapat menguasai seluruh wilayah Indonesia Timur, dan tidak akan terjadi pembantaian ratusan rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Westerling bersama anak buahnya di Sulawesi Selatan antara 11 Desember 1946 – Februari 1947, dan di tepat-tempat lain di Indonesia. Tidak akan terjadi peristiwa pembantaian di desa Rawagede, Kranggan, Gerbong Maut Bondowoso, Jembatan Ratapan Ibu di Payakumbuh, Sumatera Barat, dll.

Apabila berpegang pada hukum kausalitas, yaitu hukum sebab-dan-akibat (bahasa Jerman: Ursache und Wirkung), maka yang harus ikut bertanggungjawab atas terjadinya pembantaian terhadap ratusan ribu rakyat Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, adalah Inggris dan Australia!


Kesimpulan

Belanda tidak mau mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, bahkan sampai detik ini, 6 September 2014. Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu (Allied Forces), Belanda “merasa” masih memiliki hak atas wilayah yang pada 9 Maret 1942 telah diserahkan kepada predator baru: Jepang.

Klaim Belanda bahwa wilayah Nusantara adalah “provinsi seberang laut”, tidak memiliki landasan hukum internasional, atau landasan hukum apapun. Sampai tahun 1942, Negara-negara di seluruh dunia saling menyerang dan saling merebut wilayah, termasuk di Eropa. Beberapa Negara di Eropa sempat “hilang”, seperti Austria, Cekoslovakia, dll. Dapat dikatakan, sampai tahun 1942, yaitu ketika Jepang melancarkan agresi militernya untuk menduduki Negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, dianggap wajar, sehingga batas Negara selalu berubah-ubah. Juga dapat dikatakan, sampai tahun 1942, berlaku “hukum rimba”, yaitu siapa yang kuat, dia memangsa yang lemah.

Tidak ada satu hukum internasionalpun yang memberi legitimasi kepada satu Negara atau satu bangsa, untuk menjajah Negara lain, bahkan menjual manusia hasil perampokannya sebagai budak, sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda di bumi Nusantara selama lebih dari 200 tahun. Antara tahun 1640- 1862 ada Undang-Undang Perbudakan di wilayah jajahan Belanda.

Sebagaimana disebut di atas, proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia memiliki landasan hukum internasional, landasan politik dan landasan moral, serta sesuai dengan Anggaran Dasar Persertikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Namun Bangsa Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Agresi militer Belanda –yang awalnya dibantu oleh Inggris dan Australia- di Indonesia berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan November 1949, di mana disepakati a.l.:
  1. Dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
  2. Dibentuk Uni Belanda – Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda – RIS,
  3. Integrasi mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
  4. RIS yang dipandang sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung utang India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan, dilanjutkan oleh pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden, dan dihentikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.[10]
  5. Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak termasuk sebagai bagian dari RIS. Karena Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul konfrontasi antara RI dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang hasilnya menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian Barat tidak termasuk di dalamnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik Indonesia.

Tahun 1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan pemerintah RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan dengan negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.[11]

Belanda meninggalkan jajahannya, India-Belanda, pada 9 Maret 1942 sebagai pecundang. Ketika Belanda datang ke Republik Indonesia –dengan dibantu tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia- Belanda datang ke satu Negara yang MERDEKA DAN BERDAULAT!

Oleh karena itu, yang dilakukan oleh tentara Inggris (Pemboman Surabaya November 1945, Pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa dan Bandung Lautan Api), tentara Australia di wilayah Indonesia Timur dan kemudian oleh tentara Belanda di seluruh wilayah Republik Indonesia, adalah agresi militer terhadap Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Termasuk di sini: PUPUTAN MARGARANA!






*******




[2] Tulisan yang rinci mengenai keabsahan proklamasi 17 Agustus 1945, lihat:
[7] Urip Sumoharjo, mantan Mayor KNIL berumur 52 tahun, dinilai yang paling senior dan berpengalaman;
    menjadi tentara KNIL sejak tahun 1914. Mayor adalah pangkat tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang
    inlander (pribumi)   pada waktu itu.
[8] Beberapa sumber menyebutkan, pemilihan Panglima Besar TNI diadakan pada  12 Desember 1945. Namun banyak yang meragukan data ini, karena pada 12 Desember, Sudirman telah memimpin Palagan Ambarawa melawan tentara Inggris.
[9] Terjemahan teks lengkap dari Civil Affairs Agreement, lihat: Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010. Hlm. 142 -  144.
[10] RIS kemudian dilanjutkan oleh RI sampai tahun 1956, telah membayar 4 milyar gulden kepada Belanda. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Belanda, Lambert Giebels, dalam tulisannya ‘DE INDONESISCHE INJECTIE’ di majalah di Belanda, DE GROENE AMSTERDAMMER, pada 5 Januari 2000. Lihat:
[11] Teks lengkap UU No. 13/1956, lihat:


                                                  ******** 


LAMPIRAN – LAMPIRAN
____________________________



Pidato Menlu Ben Bot di Den Haag, 15.8.2005

Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der Nederlanden, ter gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument

Den Haag, 15 augustus 2005

Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000 kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers, herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.

Eerst het verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos stierven.

Na de capitulatie was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en kinderen, het leven.

In de jaren daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en psychisch leed.

Zelf kijk ik met gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen, vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen, maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.

Waarschijnlijk daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans ‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat, denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets weggooit wat nog enigszins eetbaar is.

Een kleine anekdote. Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.

Ik verdacht mijn buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn loontje”.

Er wordt weer veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.

De bevrijding, de terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende, de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen, terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.

Misschien is dat ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt komen.

(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst relevant zijn.

Winston Churchill zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen, of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland  - op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.

Werken aan een gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.

Indonesië is belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van de betrekkingen met Indonesië.

(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.

Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal  met steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden.

Aanvaarding in morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.

Door de grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.

Dames en heren,
Pas wanneer men op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.

Pas achteraf is te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.

Dit is de boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in Nederland en van de veteranen van de politionele acties.

Immers, om ons gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.


********



Pidato Menlu Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005

Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration

Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands

Jakarta, 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1.      SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)

2.      I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3.      Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August.
Ladies and gentlemen,
4.      This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary.

Ladies and gentlemen,
5.      If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad.
6.      The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities.
7.      In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering.
8.      Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9.      This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity.
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN.
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60 years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA
(Translation: Friendship knows no borders.)
Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)

*******
Source:

___________________________________________




14 Butir Woodrow Wilson Untuk Perdamaian

Woodrow Wilson's 14 Points

In January 1918, ten months before the end of World War I, President Woodrow Wilson appeared before a joint session of Congress and made this address suggesting possible peace terms to end the four-year-old conflict in which soldiers from England, France, Germany, Russia and many other nations had died by the millions. The United States under Wilson had remained out of the war until 1917. The Fourteen Points outlined in this speech served as both the basis for peace and the hopeful establishment of a better post-war world at the conclusion of "the culminating and final war for human liberty."
Gentlemen of the Congress:
Once more, as repeatedly before, the spokesmen of the Central Empires have indicated their desire to discuss the objects of the war and the possible basis of a general peace. Parleys have been in progress at Brest-Litovsk between Russian representatives and representatives of the Central Powers to which the attention of all the belligerents has been invited for the purpose of ascertaining whether it may be possible to extend these parleys into a general conference with regard to terms of peace and settlement.
The Russian representatives presented not only a perfectly definite statement of the principles upon which they would be willing to conclude peace, but also an equally definite program of the concrete application of those principles. The representatives of the Central Powers, on their part, presented an outline of settlement which, if much less definite, seemed susceptible of liberal interpretation until their specific program of practical terms was added. That program proposed no concessions at all, either to the sovereignty of Russia or to the preferences of the populations with whose fortunes it dealt, but meant, in a word, that the Central Empires were to keep every foot of territory their armed forces had occupied--every province, every city, every point of vantage as a permanent addition to their territories and their power.
It is a reasonable conjecture that the general principles of settlement which they at first suggested originated with the more liberal statesmen of Germany and Austria, the men who have begun to feel the force of their own peoples' thought and purpose, while the concrete terms of actual settlement came from the military leaders who have no thought but to keep what they have got. The negotiations have been broken off. The Russian representatives were sincere and in earnest. They cannot entertain such proposals of conquest and domination.
The whole incident is full of significance. It is also full of perplexity. With whom are the Russian representatives dealing? For whom are the representatives of the Central Empires speaking? Are they speaking for the majorities of their respective parliaments or for the minority parties, that military and imperialistic minority which has so far dominated their whole policy and controlled the affairs of Turkey and of the Balkan States which have felt obliged to become their associates in this war?
The Russian representatives have insisted, very justly, very wisely, and in the true spirit of modern democracy, that the conferences they have been holding with the Teutonic and Turkish statesmen should be held within open, not closed, doors, and all the world lies been audience, as was desired. To whom have we been listening, then? To those who speak the spirit and intention of the resolutions of the German Reichstag of the 9th of July last, the spirit and intention of the liberal leaders and parties of Germany, or to those who resist and defy that spirit and intention and insist upon conquest and subjugation? Or are we listening, in fact, to both, unreconciled and in open and hopeless contradiction? These are very serious and pregnant questions. Upon the answer to them depends the peace of the world.
But whatever the results of the parleys at Brest-Litovsk, whatever the confusions of counsel and of purpose in the utterances of the spokesmen of the Central Empires, they have again attempted to acquaint the world with their objects in the war and have again challenged their adversaries to say what their objects are and what sort of settlement they would deem just and satisfactory. There is no good reason why that challenge should not be responded to, and responded to with the utmost candor. We did not wait for it. Not once, but again and again we have laid our whole thought and purpose before the world, not in general terms only, but each time with sufficient definition to make it clear what sort of definite terms of settlement must necessarily spring out of them. Within the last week Mr. Lloyd George has spoken with admirable candor and in admirable spirit for the people and Government of Great Britain.
There is no confusion of counsel among the adversaries of the Central Powers, no uncertainty of principle, no vagueness of detail. The only secrecy of counsel, the only lack of fearless frankness, the only failure to make definite statement of the objects of the war, lies with Germany and her allies. The issues of life and death hang upon these definitions. No statesman who has the least conception of his responsibility ought for a moment to permit himself to continue this tragical and appalling outpouring of blood and treasure unless he is sure beyond a peradventure that the objects of the vital sacrifice are part and parcel of the very life of society and that the people for whom he speaks think them right and imperative as he does.
There is, moreover, a voice calling for these definitions of principle and of purpose which is, it seems to me, more thrilling and more compelling than any of the many moving voices with which the troubled air of the world is filled. It is the voice of the Russian people. They are prostrate and all but helpless, it would seem, before the grim power of Germany, which has hitherto known no relenting and no pity. Their power, apparently, is shattered. And yet their soul is not subservient. They will not yield either in principle or in action. Their conception of what is right, of what is humane and honorable for them to accept, has been stated with a frankness, a largeness of view, a generosity of spirit, and a universal human sympathy which must challenge the admiration of every friend of mankind; and they have refused to compound their ideals or desert others that they themselves may be safe.
They call to us to say what it is that we desire, in what, if in anything, our purpose and our spirit differ from theirs; and I believe that the people of the United States would wish me to respond, with utter simplicity and frankness. Whether their present leaders believe it or not, it is our heartfelt desire and hope that some way may be opened whereby we may be privileged to assist the people of Russia to attain their utmost hope of liberty and ordered peace.
It will be our wish and purpose that the processes of peace, when they are begun, shall be absolutely open and that they shall involve and permit henceforth no secret understandings of any kind. The day of conquest and aggrandizement is gone by; so is also the day of secret covenants entered into in the interest of particular governments and likely at some unlooked-for moment to upset the peace of the world. It is this happy fact, now clear to the view of every public man whose thoughts do not still linger in an age that is dead and gone, which makes it possible for every nation whose purposes are consistent with justice and the peace of the world to avow now or at any other time the objects it has in view.
We entered this war because violations of right had occurred which touched us to the quick and made the life of our own people impossible unless they were corrected and the world secured once for all against their recurrence.
What we demand in this war, therefore, is nothing peculiar to ourselves. It is that the world be made fit and safe to live in; and particularly that it be made safe for every peace-loving nation which, like our own, wishes to live its own life, determine its own institutions, be assured of justice and fair dealing by the other peoples of the world, as against force and selfish aggression.
All the peoples of the world are in effect partners in this interest, and for our own part we see very clearly that unless justice be done to others it will not be done to us.
The program of the world's peace, therefore, is our program; and that program, the only possible program, all we see it, is this:
1. Open covenants of peace must be arrived at, after which there will surely be no private international action or rulings of any kind, but diplomacy shall proceed always frankly and in the public view.
2. Absolute freedom of navigation upon the seas, outside territorial waters, alike in peace and in war, except as the seas may be closed in whole or in part by international action for the enforcement of international covenants.
3. The removal, so far as possible, of all economic barriers and the establishment of an equality of trade conditions among all the nations consenting to the peace and associating themselves for its maintenance.
4. Adequate guarantees given and taken that national armaments will be reduced to the lowest points consistent with domestic safety.
5. A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.
6. The evacuation of all Russian territory and such a settlement of all questions affecting Russia as will secure the best and freest cooperation of the other nations of the world in obtaining for her an unhampered and unembarrassed opportunity for the independent determination of her own political development and national policy, and assure her of a sincere welcome into the society of free nations under institutions of her own choosing; and, more than a welcome, assistance also of every kind that she may need and may herself desire. The treatment accorded Russia by her sister nations in the months to come will be the acid test of their good will, of their comprehension of her needs as distinguished from their own interests, and of their intelligent and unselfish sympathy.
7. Belgium, the whole world will agree, must be evacuated and restored, without any attempt to limit the sovereignty which she enjoys in common with all other free nations. No other single act will serve as this will serve to restore confidence among the nations in the laws which they have themselves set and determined for the government of their relations with one another. Without this healing act the whole structure and validity of international law is forever impaired.
8. All French territory should be freed and the invaded portions restored, and the wrong done to France by Prussia in 1871 in the matter of Alsace-Lorraine, which has unsettled the peace of the world for nearly fifty years, should be righted, in order that peace may once more be made secure in the interest of all.
9. A re-adjustment of the frontiers of Italy should be effected along clearly recognizable lines of nationality.
10. The peoples of Austria-Hungary, whose place among the nations we wish to see safeguarded and assured, should be accorded the freest opportunity of autonomous development.
11. Romania, Serbia, and Montenegro should be evacuated; occupied territories restored; Serbia accorded free and secure access to the sea; and the relations of the several Balkan states to one another determined by friendly counsel along historically established lines of allegiance and nationality; and international guarantees of the political and economic independence and territorial integrity of the several Balkan states should be entered into.
12. The Turkish portions of the present Ottoman Empire should be assured a secure sovereignty, but the other nationalities which are now under Turkish rule should be assured an undoubted security of life and an absolutely unmolested opportunity of autonomous development, and the Dardanelles should be permanently opened as a free passage to the ships and commerce of all nations under international guarantees.
13. An independent Polish state should be erected which should include the territories inhabited by indisputably Polish populations, which should be assured a free and secure access to the sea, and whose political and economic independence and territorial integrity should be guaranteed by international covenant.
14. A general association of nations must be formed under specific covenants for the purpose of affording mutual guarantees of political independence and territorial integrity to great and small states alike.
In regard to these essential rectifications of wrong and assertions of right, we feel ourselves to be intimate partners of all the governments and peoples associated together against the imperialists. We cannot be separated in interest or divided in purpose. We stand together until the end.
For such arrangements and covenants we are willing to fight and to continue to fight until they are achieved; but only because we wish the right to prevail and desire a just and stable peace such as can be secured only by removing the chief provocations to war, which this program does remove.
We have no jealousy of German greatness, and there is nothing in this program that impairs it. We grudge her no achievement or distinction of learning or of pacific enterprise such as have made her record very bright and very enviable. We do not wish to injure her or to block in any way her legitimate influence or power. We do not wish to fight her either with arms or with hostile arrangements of trade, if she is willing to associate herself with us and the other peace-loving nations of the world in covenants of justice and law and fair dealing.
We wish her only to accept a place of equality among the peoples of the world--the new world in which we now live--instead of a place of mastery.
Neither do we presume to suggest to her any alteration or modification of her institutions. But it is necessary, we must frankly say, and necessary as a preliminary to any intelligent dealings with her on our part, that we should know whom her spokesmen speak for when they speak to us, whether for the Reichstag majority or for the military party and the men whose creed is imperial domination.
We have spoken now, surely, in terms too concrete to admit of any further doubt or question. An evident principle runs through the whole program I have outlined. It is the principle of justice to all peoples and nationalities, and their right to live on equal terms of liberty and safety with one another, whether they be strong or weak.
Unless this principle be made its foundation, no part of the structure of international justice can stand. The people of the United States could act upon no other principle, and to the vindication of this principle they are ready to devote their lives, their honor, and everything that they possess. The moral climax of this, the culminating and final war for human liberty has come, and they are ready to put their own strength, their own highest purpose, their own integrity and devotion to the test.
Woodrow Wilson - January 8, 1918









********

_____________________________________



Konvensi Montevido
Mengenai Hak dan Kewajiban Negara-Negara
------------------------------------------------------------
MONTEVIDEO CONVENTION
ON RIGHTS AND DUTIES OF STATES
Agreement signed at Montevideo, Uruguay, on December 26, 1933 (and entering into force the following year), that established the standard definition of a state under international law. Adopted by the Seventh International Conference of American States, the convention stipulated that all states were equal sovereign units consisting of a permanent population, defined territorial boundaries, a government, and an ability to enter into agreements with other states. Among the convention’s provisions were that signatories would not intervene in the domestic or foreign affairs of another state, that they would not recognize territorial gains made by force, and that all disputes should be settled peacefully. The agreement was signed by the United States, Argentina, Brazil, Chile, Colombia, Cuba, the Dominican Republic, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Haiti, Honduras, Mexico, Nicaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, and Venezuela. Bolivia was the only country attending the conference that refused to sign the agreement.

ARTICLE 1

The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

ARTICLE 2

The federal state shall constitute a sole person in the eyes of international law.

ARTICLE 3

The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

ARTICLE 4

States are juridically equal, enjoy the same rights, and have equal capacity in their exercise. The rights of each one do not depend upon the power which it possesses to assure its exercise, but upon the simple fact of its existence as a person under international law.

ARTICLE 5

The fundamental rights of states are not susceptible of being affected in any manner whatsoever.

ARTICLE 6

The recognition of a state merely signifies that the state which recognizes it accepts the personality of the other with all the rights and duties determined by international law. Recognition is unconditional and irrevocable.

ARTICLE 7

The recognition of a state may be express or tacit. The latter results from any act which implies the intention of recognizing the new state.

ARTICLE 8

No state has the right to intervene in the internal or external affairs of another.

ARTICLE 9

The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all the inhabitants.
Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals.

ARTICLE 10

The primary interest of states is the conservation of peace. Differences of any nature which arise between them should be settled by recognized pacific methods.

ARTICLE 11

The contracting states definitely establish as the rule of their conduct the precise obligation not to recognize territorial acquisitions or special advantages which have been obtained by force whether this consists in the employment of arms, in threatening diplomatic representations, or in any other effective coercive measure. The territory of a state is inviolable and may not be the object of military occupation nor of other measures of force imposed by another state directly or indirectly or for any motive whatever even temporarily.

ARTICLE 12

The present Convention shall not affect obligations previously entered into by the High Contracting Parties by virtue of international agreements.

ARTICLE 13

The present Convention shall be ratified by the High Contracting Parties in conformity with their respective constitutional procedures. The Minister of Foreign Affairs of the Republic of Uruguay shall transmit authentic certified copies to the governments for the aforementioned purpose of ratification. The instrument of ratification shall be deposited in the archives of the Pan American Union in Washington, which shall notify the signatory governments of said deposit. Such notification shall be considered as an exchange of ratifications.

ARTICLE 14

The present Convention will enter into force between the High Contracting Parties in the order in which they deposit their respective ratifications.

ARTICLE 15

The present Convention shall remain in force indefinitely but may be denounced by means of one year's notice given to the Pan American Union, which shall transmit it to the other signatory governments. After the expiration of this period the Convention shall cease in its effects as regards the party which denounces but shall remain in effect for the remaining High Contracting Parties.

ARTICLE 16

The present Convention shall be open for the adherence and accession of the States which are not signatories. The corresponding instruments shall be deposited in the archives of the Pan American Union which shall communicate them to the other High Contracting Parties.
In witness whereof, the following Plenipotentiaries have signed this Convention in Spanish, English, Portuguese and French and hereunto affix their respective seals in the city of Montevideo, Republic of Uruguay, this 26th day of December, 1933.


********
Piagam Atlantik

Atlantic Charter

The Atlantic Charter was the product of the Atlantic Conference, which was an historic meeting between President Franklin D.Roosevelt and British Prime Minister Winston Churchill.

Meeting from August 9-12, 1941, in great secrecy aboard the U.S. heavy cruiser USS Augusta and the British battle cruiser HMS Prince of Wales, the two leaders and their staffs discussed the general strategy of the war against the Axis Powers. The major public outcome of the Atlantic Conference was the Atlantic Charter, issued by President Roosevelt and Prime Minister Churchill on August 14, 1941. The Atlantic Charter formed the basis of the United Nations Charter.

Joint Statement by President Roosevelt and Prime Minister Churchill, (released) August 14, 1941:

The following statement signed by the President of the United States and the Prime Minister of Great Britain is released for the information of the Press:
The President of the United States and the Prime Minister, Mr. Churchill, representing His Majesty's Government in the United Kingdom, have met at sea.
They have been accompanied by officials of their two Governments, including high ranking officers of the Military, Naval and Air Services The whole problem of the supply of munitions of war, as provided by the Lease-Lend Act, for the armed forces of the United States and for those countries actively engaged in resisting aggression has been further examined.

Lord Beaverbrook, the Minister of Supply of the British Government, has joined in these conferences. He is going to proceed to Washington to discuss further details with appropriate officials of the United States Government. These conferences will also cover the supply problems of the Soviet Union.

The President and the Prime Minister have had several conferences They have considered the dangers to world civilization arising from the policies of military domination by conquest upon which the Hitlerite government of Germany and other governments associated therewith have embarked, and have made clear the stress which their countries are respectively taking for their safety in the face of these dangers.

They have agreed upon the following joint declaration:

The President of the United States of America and the Prime Minister, Mr. Churchill, representing His Majesty's Government in the United Kingdom, being met together, deem it right to make known certain common principles in the national policies of their respective countries on which they base their hopes for a better future for the world.

First, their countries seek no aggrandizement, territorial or other;

Second, they desire to see no territorial changes that do not accord with the freely expressed wishes of the peoples concerned;

Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them;

Fourth, they will endeavor, with due respect for their existing obligations, to further the enjoyment by all States, great or small, victor or vanquished, of access, on equal terms, to the trade and to the raw materials of the world which are needed for their economic prosperity;

Fifth, they desire to bring about the fullest collaboration between all nations in the economic field with the object of securing, for all, improved labor standards, economic advancement and social security;

Sixth, after the final destruction of the Nazi tyranny, they hope to see established a peace which will afford to all nations the means of dwelling in safety within their own boundaries, and which will afford assurance that all the men in all the lands may live out their lives in freedom from fear and want;

Seventh, such a peace should enable all men to traverse the high seas and oceans without hindrance;

Eighth, they believe that all of the nations of the world, for realistic as well as spiritual reasons must come to the abandonment of the use of force. Since no future peace can be maintained if land, sea or air armaments continue to be employed by nations which threaten, or may threaten, aggression outside of their frontiers, they believe, pending the establishment of a wider and permanent system of general security, that the disarmament of such nations is essential. They will likewise aid and encourage all other practicable measures which will lighten for peace-loving peoples the crushing burden of armaments.


********




__________________________________________________


Pidato Ratu Wilhelmina, 7 Desember 1942

Radio address by Queen Wilhelmina
London, 7 December 1942

Today it is a year ago that the Japanese, without previous declaration of war, launched their treacherous attack on our Allies. At that time we did not hesitate for a moment to throw ourselves into the struggle and to hasten to the aid of our Allies, whose cause is ours.

Japan had been preparing for this war and for the conquest of the Netherlands Indies for years and in so doing sought to follow the conduct of its Axis partners in attacking one country after another. This plan we were able to prevent, thanks to our immediate declaration of war. After a year of war we can bear witness that the tide is turning and that the attacker, who had such great advantages, is being forced on the defensive.

It is true that the Netherlands Indies, after defending themselves so heroically are, for the most part, occupied by the enemy, but this phase of the struggle is only a prelude. The Japanese are getting ever nearer the limit of their possibilities as our ever-growing might advance towards them from all sides. They have not been able to break China's courage and endurance and Japan now faces the ebbing of her power in this self-willed war, which will end with her complete downfall.

At this moment my thoughts are more than ever with my country and my compatriots in the Netherlands and the Netherlands Indies. After an age-old historical solidarity, in which had long since passed the era of colonial relationship, we stood on the eve of a collaboration on a basis of equality when suddenly we were both confronted by the present ordeal. The treacherous aggression on the Netherlands in 1940 was the first interruption in the process of development; the heroic battle of the Netherlands Indies, followed by the occupation of the major part of this territory in 1942, was the second.

At the time when the Indies were still free and only Holland was occupied, the vigor of our unity became apparent and on both sides a feeling of stronger kinship developed more rapidly than it could have in peacetime. Now, however, this mutual understanding has been deepened still further because the same struggle is shared in all its agony and the same distress is suffered in all its bitterness. In the Netherlands as well as in the Netherlands Indies the enemy, with his propaganda for the so-called new order, has left nothing untried to lure the spirit of the people and to disguise his tyranny and suppression with the lies of his promises for the future. But these lies and this deceit have been of no avail because nearly all have seen through them and have understood that our enemies have as their aim nothing but slavery and exploitation and that as long as they have not been driven out and defeated there can be no question of freedom.

In previous addresses I announced that it is my intention, after the liberation, to create the occasion for a joint consultation about the structure of the Kingdom and its parts in order to adapt it to the changed circumstances. The conferences of the entire Kingdom which will be convoked for this purpose, has been further outlined in a Government declaration of January 27th, 1942. The preparation of this conference, in which prominent representatives of the three overseas parts of the Kingdom will be united with those of the Netherlands at a round table, had already begun in the Netherlands Indies, Surinam and Curacao, the parts of the Kingdom which then still enjoyed their freedom. Especially in the Netherlands Indies, detailed material had been collected for this purpose and it was transmitted to me in December 1941 by the Governor-General. The battle of the Netherlands Indies disrupted these promising preparations.
We can only resume these preparations when everyone will be able to speak his mind freely.

Although it is beyond doubt that a political reconstruction of the Kingdom as a whole and of the Netherlands and the overseas territories as its parts is a natural evolution, it would be neither right nor possible to define its precise form at this moment. I realize that much which is great and good is growing in the Netherlands despite the pressure of the occupation; I know that this is the case in the Indies where our unity is fortified by common suffering. These developing ideas can only be shaped in free consultation in which both parts of the Kingdom will want to take cognizance of each other's opinions. Moreover, the population of the Netherlands and of the Netherlands Indies has confirmed, through its suffering and its resistance, its right to participate in the decision regarding the form of our responsibility as a nation towards the world and of the various groups of the population towards themselves and one another.

By working out these matters now, that right would be neglected, and the insight which my people have obtained through bitter experience, would be disregarded.
I am convinced, and history as well as reports from the occupied territories confirm me in this, that after the war it will be possible to reconstruct the Kingdom on the solid foundation of complete partnership, which will mean the consummation of all that has been developed in the past. I know that no political unity nor national cohesion can continue to exist which are not supported by the voluntary acceptance and the faith of the great majority of the citizenry. I know that the Netherlands more than ever feel their responsibility for the vigorous growth of the Overseas Territories and that the Indonesians recognize, in the ever-increasing collaboration, the best guarantee for the recovery of their peace and happiness. The war years have proved that both peoples possess the will and the ability for harmonious and voluntary cooperation.

A political unity which rests on this foundation moves far towards a realization of the purpose for which the United Nations are fighting, as it has been embodied, for instance, in the Atlantic Charter, and with which we could instantly agree, because it contains our own conception of freedom and justice for which we have sacrified blood and possessions in the course of our history. I visualize, without anticipating the recommendations of the future conference, that they will be directed towards a commonwealth in which the Netherlands, Indonesia, Surinam and Curacao will participate, with complete self-reliance and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs, but with the readiness to render mutual assistance.

 It is my opinion that such a combination of independence and collaboration can give the Kingdom and its parts the strength to carry fully their responsibility, both internally and externally. This would leave no room for discrimination according to race or nationality; only the ability of the individual citizens and the needs of the various groups of the population will determine the policy of the government.
 In the Indies, as in the Netherlands, there now rules an oppressor who, imitating his detestable associates and repudiating principles which he himself has recognized in the past, interns peaceful citizens and deprives women and children of their livelihood. He has uprooted and dislocated that beautiful and tranquil country; his new order brings nothing but misery and want. Nevertheless, we can aver that he has not succeeded in subjugating us, and as the ever-growing force of the United Nations advances upon him from every direction, we know that he will not succeed in the future.

 The Netherlands Indies and the Netherlands with their fighting men on land, at sea and in the air, with their alert and brave merchantmen and by their dogged and never-failing resistance in the hard struggle, will see their self-sacrifice and intrepidity crowned after the common victory with the recovery of peace and happiness for their country and their people in a new world. In that regained freedom they will be able to build a new and better future.



********


Some Comments
1. Quoted from AUTONOMY FOR INDONESIA by A. ARTHUR SCHILLER 1944 - Pacific Affairs, vol. 17, no. 4, Dec. 1944, pp. 478-488.

‘In 1936 the so-called Sutardjo motion was laid before the Council, calling for autonomy of the Indies within the Kingdom, particularly by fostering greater political activity in Indonesian society, by establishing an imperial council with representation of the four territories therein, by enlarging the numbers and powers of the People's Council and making department heads — as ministers — responsible thereto. This precursor of the promises recently made was adopted by the Council. But in November 1938 a royal decree disposed of the matter, on the ground that "clarity of aim is lacking in its formulation, and that the calling of a conference in the manner visualized would be contrary to existing constitutional law."’
‘It was just a year after the invasion of Holland that the Queen and officials of the Netherlands government first promised far-reaching reorganization of the Kingdom of the Netherlands and of the component territories thereof — the Netherlands, Netherlands East Indies, Surinam and Curacao —upon the termination of the war. In the words of the Governor-General of the Indies,' on June 16, 1941: "Immediately after the liberation of the mother country, the adaptation of the structure of the Kingdom to the demands of the times will be considered, the internal constitutional form of the overseas territories constituting an integral part of the program." Shortly thereafter, the Queen promised that a conference would be held to advise the Crown upon the relation of the parts of the Kingdom to one another, and upon the revision of the Administrative Acts (constitutions) of the four territories? Details of the future conference were announced in January 1942: fifteen delegates from the Netherlands, fifteen from the Netherlands Indies, and three each from Surinam and Curacao. Ten of the Indies members were to be appointed upon recommendation by the People's Council, the central representative body of the Indies, the other five to be named by the Government of the Netherlands Indies independently. Queen Wilhelmina's radio address of December 6, 1942, was, accordingly, but a confirmation of a course of conduct outlined earlier.’

2. Quote from Imperialism in SE Asia- A Fleeting Passing Phase by Nicholas Tarling p. 262

The Dutch had … begun to prepare the way for their return as early as 1942 by an attempt to 'counter American attitudes toward colonialism'1. A broadcast by Queen Wilhelmina in December alluded to 'a commonwealth in which the Netherlands, Indonesia, Surinam and Curacao will participate' in 'a combination of independence and collaboration'. Talking to the British, H. J. van Mook, the wartime Colonial Minister, had envisaged a Netherlands government and a Netherlands Indies government, with equal status, and, above them, responsible for defence and foreign policy and matters of general interest, an Imperial government. The speech has been called 'a poorly designed and unrealistic proposal ... better characterized as an improvised concession to the language of the times rather than a map of the road to independence'. It echoed the proposals made by the moderate nationalists in the 1930s in the Soetardjo petition of 1936, for example and then rejected. It was, however, a belated attempt at a new form of post-imperial state-building that, unless it was developed in a liberal way, would have little appeal in 1945, and perhaps not sufficient even if it were.

3. Quote from Troubled days of peace: Mountbatten and South East Asia Command, 1945-46, by Peter Dennis, Manchester University Press, 1987 pp. 74-75.

American approval of Dutch colonial policies and their future application was the sine qua non for access to American military largesse, and when Roosevelt suggested that the Dutch make some announcement about the postwar status of the NEI and other Dutch colonies, Van Mook was among the ministers consulted on the thrust of the speech.'

It was timed to coincide with a meeting in Quebec of the influential Institute of Pacific Relations, which had organised a conference to discuss the postwar colonial situation. When she broadcast on 7 December 1942, the Queen promised to convene a conference as soon as possible after the end of the war to discuss the reorganisation of the Kingdom of the Netherlands into a Commonwealth in which relations between the four component parts (the Netherlands, the East Indies, Surinam and Curacao) would be based on the twin principles of 'complete partnership' and 'self-reliance' and freedom of conduct for each part regarding its internal affairs.'

Although Roosevelt and American public opinion seemed reassured by these promises, the speech merely stored up troubles for the Dutch. It offered little concrete information about the postwar status of the East Indies, and gave even fewer substantive concessions to reformist let alone nationalist opinion.

Van Mook's attempts to spell out the details to a number of American journalists were purely personal; others, including the Dutch prime minister, Professor P.S. Gerbrandy, maintained in private that the speech in no way represented any diminution of the powers of the central government over colonial affairs. Promises of a postwar conference locked the Dutch government into the vagueness of the speech and prevented them from advancing further initiatives as the wartime situation unfolded.
The speech was delivered in English – for primarily American consumption – and thus was largely unknown to the very audience to which it was theoretically designed to apply. When the Dutch finally straggled back to the NEI in September 1945, they were no longer part of an American-dominated theatre, but were clinging to the coat-tails of the hard pressed British, who had colonial problems of their own. Furthermore, all the Dutch had to offer was a shadowy plan for reform that was almost three years old. Conditions in the NEI had changed dramatically since 1942, and had rendered the vague promises of the Queen's speech all but irrelevant.

The Dutch, however, did not realise this. Throughout the war information on the NEI was scanty and, as later events showed, often completely unreliable.


Or:


                                                   ********






No comments: