Ceramah Kebangsaan
Di
Universitas Warmadewa,
Denpasar, 20 November 2014
PUPUTAN
MARGARANA:
AUSTRALIA DAN INGGRIS
HARUS IKUT BERTANGGUNGJAWAB
Oleh
Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite
Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Sejak tahun 2002, ketika memulai
kegiatan membuka lembaran sejarah yang sehubungan dengan perang mempertahankan
kemerdekaan antara tahun 1945 – 1950
terungkap fakta, bahwa sebagian terbesar masyarakat di Indonesia tidak
mengetahui mengenai berbagai peristiwa kejahatan perang, kejahatan atas
kemanusiaan dan berbagai pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh
tentara Belanda di Indonesia, dalam upaya menjajah kembali bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sangat penting untuk
menyampaikan kepada masyarakat luas di seluruh Indonesia, mengenai hal-hal
tersebut di atas. Selain agar seluruh masyarakat mengetahuinya, juga
menjelaskan pentingnya peristiwa-peristiwa tersebut diangkat kembali.
Tujuan utamanya adalah demi harkat dan
martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, yaitu pengakuan de jure terhadap proklamasi kemerdekaan
17.8.1945. Selain itu, pemerintah Belanda juga harus meminta maaf kepada bangsa
Indonesia dan bertanggungjawab atas agresi militer yang telah mengakibatkan
tewasnya sekitar 800.000 – satu juta jiwa rakyat Indonesia. Agresi militer
tersebut juga mengakibatkan hancurnya infrastruktur dan kemunduran
perekonomian Repulik Indonesia, yang
tahun 1945 baru akan memulai pembangunan, akibat pendudukan Jepang yang tidak
kalah kejamnya antara tahun 1942 – 1950.
Khusus untuk rakyat Indonesia di
wilayah timur, perlu mengetahui, bahwa peristiwa pembantaian yang dilakukan
oleh Westerling bersama anak-buahnya dan Puputan Margarana, terjadi karena
bantuan tentara Inggris dan Australia kepada Belanda. Seandainya tentara Inggris
dan Australia tidak membantu Belanda untuk kembali menjajah Bumi Nusantara,
maka tidak perlu jatuh korban jiwa yang mencapai sekitar satu juta, dan
Indonesia tidak mengalami kehancuran infrastruktur serta perekonomian akibat
agresi militer Belanda tersebut. Bangsa Indonesia dapat memulai pembangunan
tahun 1945, bukan mulai tahun 1950!
Latar Belakang
Sejarah
Pada 17 Agustus 1945, para pemimpin
bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Belanda tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia dan berusaha untuk menjajah kembali. Bahkan hingga kini,
September 2013, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Indoesia adalah
17.8.1945. Di Indonesia ternyata banyak sekali yang tidak mengetahui mengenai
sikap pemerintah Belanda ini.
Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia
adalah 17 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan”
kewenangan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), sebagai hasil dari
Konferensi Meja Bundar (KMB). RIS telah dibubarkan pada 16.8.1950 dan pada
17.8.1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI berdasarkan proklamasi 17.8.1950.
Pengakuan de jure terhadap proklamasi 17 Agustus 1945 membawa masalah yang
sangat besar untuk pemerintah Belanda, terutama untuk veteran Belanda. Apabila
pemerintah Belanda mengakui de jure
kemerdekaan Indonesia 17.8.1945, maka:
- Yang Belanda namakan sebagai “aksi polisional” adalah agresi militer terhadap satu Negara yang merdeka dan berdaulat,
- Belanda harus membayar pampasan perang, seperti yang telah dibayar oleh Jepang kepada Negara-negara di Asia akibat agresi militer Jepang ke Asia Timur dan Asia Tenggara antara tahun 1942 – 1945,
- Veteran Belanda menjadi penjahat perang.
Alasan Belanda melancarkan “aksi
polisional” adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban “di dalam negeri”,
yaitu membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang
dipersenjatai oleh Jepang. Penamaan “aksi polisional” ini juga untuk mengecoh
opini dunia, dengan menyatakan bahwa tindakan ini adalah untuk menyelesaikan
masalah “dalam egeri” Belanda.
Dengan demikian, apabila bangsa
Indonesia membiarkan sikap Belanda seperti ini, maka bangsa Indonesia
membiarkan pandangan, bahwa yang berada di Taman Makam Pahlawan di seluruh
Indonesia adalah perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang
dipersenjatai oleh Jepang.
Setelah Perang Dunia ke II berakhir,
Belanda tidak memiliki angkatan perang yang kuat. Tentaranya di Belanda digilas
oleh tentara Jerman tahun 1940, dan tentaranya di India-Belanda dihancurkan
oleh tentara Jepang. Oleh karena itu, pemerintah Belanda meminta bantuan kepada
sekutunya, Inggris.
Di Chequers, sekitar 100 km dari
London, pemerintah Inggris dan Belanda mengadakan perundingan. Ini merupakan
kelanjutan dari agenda rahasia antara Perdana Meteri Iggris, Winston Churchill
dan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt di Konferensi Yalta, di
mana kekuasaan Negara-negara di Asia akan dikembalikan kepada situasi sebelum
agresi militer Jepang. Artinya Negara-negara jajahan akan “dikembalikan” kepada
tuan-tuan penjajahnya.
Pada 24 Agustus 1945 Inggris dan
Belanda mencapai kesepakatan yang dinamakan Civils
Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini, pemerintah Inggris menyatakan
kesediaannya untuk membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya dengan
kekuatan militer. Salahsatu butirnya persetujuan adalah, tentara Inggris akan “membersihkan” kekuatan bersenjata pendukung
Republik Indonesia (pada waktu itu TNI belum terbentuk), dan kemudian wilayah
yang telah “dibersihkan”, diserahkan kepada Netherlands
Indies Civil Administration (NICA).
Pelaksanaan tugas ini diserahkan
kepada Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara (Supreme Commander South East Asia Command),
Vice Admiral Lord Mountbatten. Dia memperkirakan, untuk melaksanakan tugas ini
dia memerlukan enam divisi, namun dia hanya memiliki tiga divisi, yaitu British-Indian Divisions.
Mountbatten mendapat tambahan pasukan
dua divisi tetara Australia di bawah komando Letnan Jenderal Leslie Morshead,
yang sebelumnya termasuk South West Pacific
Area Command (Komando Pasifik Barat Daya), yang dipimpin oleh Jenderal
Douglas McArthur.
Tiga divisi tentara Inggris ditugaskan
untuk Sumatera, Jawa dan Madura, sedangkan dua divisi tetara Australia
ditugaskan untuk “mengamankan” seluruh wilayah Indonesia bagian timur, dari
Kalimantan Sulawesi, Bali, NTB sampai Irian.
Tentara Inggris mendapat perlawanan
yang sangat dahsyat di Sumatera dan Jawa, terutama di Medan dan Surabaya, yang
membuat Inggris memaksa Belanda untuk melakukan perundingan perdamaian dengan
pihak Republik Indonesia, yang dilaksanakan di Linggajati.
Di Indonesia bagian timur, tentara
Australia memuluskan kembalinya Belanda sebagai penguasa. Pada 15 Juli 1946,
pimpinan tentara Australia “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia timur kepada
Dr. van Mook, mantan Wakil Gubernur Jenderal India Belanda. Sehari kemudian,
pada 16 Juli van Mook menggelar Konferensi Malino, di mana diletakkan dasar
untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), yang akan dikukuhkan dalam
“Konferensi Besar” pada bulan Desember di Bali.
Namun rencana peyeleggaraan konferensi
di Bali tidak berjalan dengan mulus, karena pada waktu itu Republik Indonesia
telah membentuk angkatan perang. Bali berada di bawah komando Letkol I Gusti
Ngurah Rai. Pada 23 November 1946 terjadi pertempuran yang dinamakan Puputan
Margarana, di mana Ngurah Rai gugur bersama 95 orang anak-buahnya.
Sementara itu, di Sulawesi, terutama
di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap tentara Belanda sangat dahsyat dan
menyebabkan pimpinan tertinggi tentara Belanda di Jakarta memutuskan, untuk
mengirim pasukan elit Depot
SpecialeTroepen (DST) di bawah komando Letnan Raymond P.P. Westerling.
Sejarah mencatat, selama terror
Westerling dan anak-buahnya di Sulawesi Selatan (setelah pemekaran, sebagian
termasuk Provinsi Sulawesi Barat) yang berlangsung dari 11 Desember 1946 sampai
2 Maret 1947 telah terjadi banyak pembantaian terhadap penduduk sipil (non
combatant). Mereka dibunuh tanpa proses hukum apapun.
Banyak peristiwa yang terjadi selama
perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950,
yang hingga sekarang tidak diketahui oleh rakyat Indonesia sendiri. Terutama
yang sehubungan dengan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan serta
berbagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya
Belanda untuk menjajah kembali bangsa Indonesia, dengan bantuan tentara Inggris
dan Australia.
Juga sangat sedikit penelitian
mengenai latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Seandainya
tentara Inggris dan Australia hanya melaksanakan tugas dari Tentara Sekutu (Allied Forces) dan tidak memiliki agenda
terselubung untuk membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya, maka berbagai
kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, seperti ‘Pemboman Surabaya
November 1945’, ‘Pertempuran Medan Area Desember 1945’, ‘Palagan Ambarawa
Desember 1945’, ‘Bandung Lautan Api, April 1946’, ‘Pembataian Westerling di
Sulawesi Selatan/Barat 11 Desember 1946 – 2Maret 1947’, ‘Puputan Margarana,
Bali Novemver 1946’, ‘Gerbong Maut Bondowoso November 1947’, ‘Pembantaian dfi Rawagede 9 Desember 1947’,
‘Pembantaian 1.500 penduduk di Kranggan, Jawa Tengah Januari-Februari 1949’,
‘Jembatan Ratapan Ibu, Payakumbuh, Sumatera Barat’, dll, tidak akan terjadi.
Oleh karena itu, dengan mengacu pada
hukum ‘SEBAB – AKIBAT’, maka Australia dan Inggris harus bertanggungjawab atas terjadiya
peristiwa-peristiwa tersebut. Namun yang mennjadi akar permasalahan adalah:
BELANDA TIDAK MAU MENGAKUI DE JURE
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA 17 AGUSTUS 1945!
********
Membela
Martabat Bangsa dan Memperjuangkan Keadilan Untuk Korban Agresi Militer 1945 -
1950
Sejak tahun 2002, Komite Nasional
Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), dan kemudian sejak 5 Mei 2005 dilanjutkan
oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), menuntut pemerintah Belanda untuk:
I. MENGAKUI
DE JURE KEMERDEKAAN REPUBLIK
INDONESIA ADALAH 17 AGUSTUS 1945,
II. MEMINTA
MAAF KEPADA BANGSA INDONESIA ATAS PENJAJAHAN, PERBUDAKAN, KEJAHATAN PERANG,
KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN DAN PELANGGARAN HAM BERAT, TERUTAMA YANG DILAKUKAN
OLEH TENTARA BELANDA SELAMA AGRESI MILITER DI INDONESIA ANTARA TAHUN 1945 –
1950.
Menurut pendapat para aktifis KNPMBI
dan KUKB, masalah pengakuan de jure terhadap proklamasi
17.8.1945 adalah masalah martabat sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Sebagai konsekwensi logis dari pengakuan de jure, pemerintah Belanda harus
membayar pampasan perang (war reparation).
Dengan dibentuknya Mahkamah Kejahatan
Internasional (International Criminal
Court) yang berkedudukan di Den Haag oleh PBB tahun 2002, diberikan
landasan hukum internasional untuk membawa semua kasus-kasus tersebut ke
pengadilan kejahatan internasional. Berdasarkan Statuta Roma, yang
melandasi pembentukan International Criminal Court (ICC), empat jenis kejahatan tidak mengenal
kadaluarsa, yaitu:
- Genocide (pembantaian etnis),
- War crime (kejahatan perang),
- Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan), dan
- Crime of aggression (kejahatan agresi).
Sebagai bukti bahwa untuk kejahatan
perang tidak mengenal kadaluarsa adalah proses pegadilan terhadap seorang
mantan tetara Jerman. Pada bulan Oktober 2009, seorang mantan perwira Jerman,
Heinrich Boere, ditangkap di kota Aachen, Jerman, dan dimajukan ke pengadilan.
Pada bulan Maret 2010, oleh pengadilan dia dijatuhi hukuman penjara seumur
hidup, usianya 89 tahun. Kejahatannya: Tahun 1944, 66 tahun (!) sebelumnya, dia
terbukti membunuh tiga (!) penduduk sipil di Belanda!
*******
No comments:
Post a Comment