Tuesday, April 14, 2020

10 NOVEMBER ’45. KESETIAKAWANAN SOSIAL


Dari Autobiografi  Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung:
“Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa”

Pengantar
Wabah penyakit yang diakibatkan oleh virus Corona (Covid 19) telah menggerakkan banyak rakyat Indonesia untuk menunjukkan kesetiakwananan sosial, yaitu saling menolong. Rakyat kecil membantu sesama rakyat yang sedang mengalami kesulitan, terutama kesulitan dana dan pangan.

Kesetiakawanan sosial seperti ini telah ditunjukkan oleh rakyat Jawa Timur tahun 1945. Seluruh rakyat Indonesia mengetahui mengenai peristiwa pemboman Surabaya yang dilakukan oleh tentara Inggris, yang dimulai pada 10 November ’45. Untuk mengenang peristiwa ini, tanggal 10 November telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Namun ada satu peristiwa yang sangat mengharukan, sekalgus membanggakan, yang terjadi pada saat pemboman tesebut, yaitu kesetiakawanan sosial yang ditunjukkan oleh rakyat Jawa Timur. Akibat pemboman yang membabi-buta yang dilakukan oleh tentara Inggris dari udara, laut dan darat tersebut, sekitar 30.000 penduduk Surabaya tewas. Sebagian besar adalah penduduk sipil, termasuk wanita dan anak-anak. Sekitar 150.000 penduduk Surabaya terpaksa mengungsi ke luar kota. Para pengungsi bukan hanya mendapat makanan dan minuman dari rakyat Jawa Timur, melainkan mereka juga ditampung di rumah-rumah penduduk di kota-kota dan di desa-desa di sekitar Surabaya. Kesetiakawanan sosial ini juga diterima oleh keluarga dr. Wiliater Hutagalung ketika terpaksa mengungsi ke luar kota Surabaya akibat pemboman Inggis di Surabaya.

Peristiwa detik-detik pemboman Surabaya oleh tentara Inggris dituturkan oleh Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, seorang pelaku pertempuran di Surabaya tanggal 28 - 29 Oktober dan perang besar di Jawa Timur yang dimulai tanggal 10 November 1945

Wiliater Hutagalung dilahirkan di Tarutung, Sumatera Utara, pada 20 Maret 1910. Meninggal di Jakarta pada 29 April 2002 (92 tahun). Lulus Sekolah Dokter NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School) di Surabaya tahun 1937.

Mengenal Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung
Silakan klik:

***

Penuturan Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung

Penulis berangkat dari Surabaya ke Jakarta dengan didampingi Ajudan, Mayor Soesilo. Di kereta api, dalam perjalanan menuju Jakarta, bertemu dengan Mr. Amir Syarifoeddin yang pada waktu itu masih berada di Surabaya, setelah lepas dari tahanan Jepang di Surabaya. Beliau dipenjarakan pada tahun 1943 oleh Jepang karena kegiatan politiknya yang anti jepang. Dia telah diangkat sebagai menteri di kabinet pertama, walaupun ketika itu masih dalam penjara Jepang. Dia juga mau menghadap Bung Karno dan Bung Hatta.

Pada tanggal 8 November 1945, kami bertiga diterima oleh Presiden dan Wakil Presiden di Pegangsaan Timur. Setelah membaca dan berunding, penulis diberitahukan agar bersama sama berangkat ke Yogyakarta pada tanggal 9 November 1945, karena Bung Karno akan menghadiri Kongres Pemuda seluruh Indonesia yang pertama, yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 10 November.

Pada tanggal 10 November di pagi hari, diadakan rapat di dekat lapangan terbang Maguwo, yang juga dihadiri Kepala Staf Angkatan Perang yang baru, Oerip Soemohardjo. Sewaktu rapat sedang berjalan, tiba satu telegram dari Surabaya yang dikirim oleh Gubernur Soerjo yang menyampaikan bahwa inggris memberikan ultimatum, bahwa pembunuh Brigadir Jendral Mallaby harus segera diserahkan dan Surabaya harus menyerah kepada Inggris paling lambat tanggal 10 November 1945. Kalau tidak, Surabaya akan dibom.

Gubernur Soerjo dan pimpinan di Surabaya menyatakan: “Pantang menyerah! Surabaya akan melakukan perlawanan sampai akhir!” Bung Karno berdiam sebentar, kemudian mengucapkan:”Hormat pada Gubernur Soerjo dan rakyat Surabaya”.

Pada waktu itu, pimpinan Republik Indonesia sebenarnya ingin menghindari konflik bersenjata dengan sekutu.


Pemboman Atas Surabaya

Kami yang berasal dari Surabaya meminta izin dari Presiden untuk meninggalkan rapat dan segera bertolak ke Surabaya dengan mobil yang dipinjamkan dari Yogya. Kondisi jalanan pada tahun 1945 dan buruknya mobil yang dikendarai menyebabkan kami baru tiba di Surabaya pada tanggal 11 November, pagi hari. Terdengar tembakan di sana sini, tanpa diketahui siapa penembaknya, tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Kami terus menerobos menuju Karang Menjangan dan beruntung dapat menemui keluarga sedang berkumpul di perlindungan di bawah tanah.

Kami segera berangkat menuju keluar kota, tidak sempat membawa barang-barang berharga dari rumah karena kuatir kena bom atau kedatangan musuh. Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi kami, di tengah-tengah tembak-menembak kami naik mobil dan tanpa ada yang terluka kami sampai di Sepanjang, suatu pemukiman di pinggir Sungai Brantas, di sebelah selatan Surabaya.

Penulis mendengar dari keluarga, betapa dahsyatnya pemboman dari pesawat terbang, serta penembakan dari meriam-meriam kapal perang Inggris.

Pemboman atas kota Surabaya oleh inggris pada tanggal 10 November 1945 diklasifikasikan sebagai biadab, tidak dapat dipertanggungjawaban dalam sejarah. Indonesia Sebenarnya tidak ada urusan dengan inggris, tetapi ternyata Inggris berada di Indonesia hanya untuk memberikan dukungan kepada Belanda, sekutu mereka dalam Perang Dunia ke II. Sasaran yang dipilih oleh Inggris adalah daerah yang paling padat penduduknya, yaitu Pasar Turi.

Perkiraan Inggris sendiri jumlah korban yang jatuh akibat pemboman biadab itu adalah 30.000 (tiga puluh ribu) orang, pria wanita, tua muda, anak-anak yang sedang bermain main, orang yang sedang berbaring di tempat tidur, pedagang yang sedang berjualan di pasar serta orang yang sedang berbelanja dan seterusnya dan seterusnya. Saudara Kadim Prawirodirdjo bahkan memperkirakan, korban tewas akibat gempuran selama tiga minggu dapat mencapai 50.000 orang. Tak ada yang menghitung.

30.000 orang Indonesia dibunuh seketika oleh inggris. Untuk apa??? Lembaran hitam dalam sejarah Inggris. Karakter pimpinannya Bully. Peristiwa ini harus selalu diingat oleh generasi-generasi selanjutnya di Indonesia umumnya, di Surabaya khususnya.

Pemboman atas Hirosima mengakhiri Perang Dunia ke II. Pemboman atas Surabaya mengawali perang di Indonesia, perjuangan selama lebih dari empat tahun untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Rakyat Surabaya telah bertekad:MERDEKA ATAU MATI! Pertempuran di Surabaya sejak bulan Oktober 1945 kelihatannya memberi semangat kepada daerah-daerah lain di Indonesia. Perjuangan bersenjata yang kemudian menjalar ke daerah-daerah lain dan diikuti oleh pejuang-pejuang di seluruh Indonesia, bekas jajahan Belanda.

Mereka yang mengalami sendiri, sebagai saksi sejarah harus mempertahankan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan, karena pada hari itu benar-benar gugur ribuan pahlawan tak dikenal. Termasuk banyak pemuda asal Sumatera yang tergabung dalam Pasukan Sriwijaya.

Di Pasar Turi ada waktu itu sama sekali tidak ada sasaran militer, tidak ada perbentangan ataupun industri. Pemboman atas Surabaya, terutama pasar turi, menambah satu bangsa yang dibenci oleh rakyat Indonesia waktu itu yakni:
1.    Belanda
2.    Jepang
3.    Inggris

Pemboman tersebut jelas menimbulkan kepanikan di antara ratusan ribu penduduk. Mereka harus lari dan mengungsi ke luar kota, karena takut akan ada pemboman lagi. Tetapi kemana? Apa yang dapat dibawa? Tidak ada kendaraan angkutan, tidak ada petunjuk.

Ada satu kejadian yang dialami oleh keluarga seorang dokter yang kami kenal baik. Keluarga ini mempunya banyak anak-anak. Semua anak-anak dikumpulkan waktu akan berangkat dari rumah. Bayi yang baru berumur beberapa bulan masih di tempat tidur. Kemudian mereka dengan terburu-buru meninggalkan rumah. Sesudah agak jauh dari rumah, terkejut karena melihat yang berada dalam gendongan bukanlah bayi, melainkan guling. Untunglah masih dapat dengan selamat mengambil bayi dan membawanya bersama anak-anak lain ke luar kota.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena ratusan ribu manusia yang terpaksa meninggalkan rumah dan hartanya mendapat bantuan yang spontan dan mencukupi dari jutaan penduduk Jawa Timur. Berita mengenai pemboman atas kota Surabaya dan diikuti dengan mengungsinya ratusan ribu warga kota, cepat meluas di seluruh Jawa Timur, terutama di daerah-daerah sekitar kota Surabaya.

Salah satu kelompok yang agak besar di Surabaya adalah Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) di bawah pimpinan dr. Soegiri dan Soetomo (Bung Tomo). Kelompok ini sangat kuat dan mempunya banyak pengaruh karena memiliki pemancar radio. Bung Tomo yang menjadi penyiar adalah bekas pegawai Nippon Hokokai (NHK), yang berhasil menyelamatkan peralatan pemancar Radio.ketika pecah perang, situasi di Surabaya semakin gawat.  Mereka pindah ke kota Malang dan meneruskan siaran dari kota ini. Siaran mereka menjadi penyiram semangat perjuangan.

Secara spontan penduduk di sepanjang jalanan di luar kota Surabaya, baik yang menuju arah Gresik maupun seperti yang kami alami menuju arah Mojokerto, Jombang, begitu juga yang kearah Sidoarjo … terus ke Malang, menempatkan makanan dan minuman di pinggir jalan sehingga boleh dikatakan tidak ada pengungsi yang kelaparan atau kekurangan minum juga para penduduk dengan rela menyediakan ruangan-ruangan di rumah mereka untuk manampung para pengungsi. Solidaritas yang spontan!

Setelah menginap satu malam di Sidoarjo, kami melanjutkan perjalanan menuju Mojowarno . di sana ditampung oleh seorang kenalan apoteker yang bekerja di rumah sakit Mojowarno. Satu keluarga menempati satu kamar dan berminggu-minggu mereka terpaksa tidur di atas tikar. Suatu kehidupan yang kontras, dibandingkan dengan kehidupan satu keluarga dokter yang serba kecukupan waktu masih tinggal di Surabaya.

***

Demikianlah kesetiakawanan sosial yang ditunjukkan oleh rakyat di Jawa Timur pada waktu itu. Tanpa komando, tanpa diperintahkan, secara sukarela, ikhlas, memberi makanan dan minuman, bahkan menampung sekitar 150.000 pengungsi dari Surabaya, termasuk keluarga dr. Wiliater Hutagalung.

(Dikutip dari buku Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung oleh putranya, Batara R. Hutagalung).

***

No comments: