Tuesday, April 14, 2020

PASUKAN SRIWIJAYA ,10 NOVEMBER ’45

Putra-putra Aceh, Deli dan Batak Berjuang di Surabaya

Dari Autobiografi  Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung:
“Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa”

Pengantar
Dalam posting saya terdahulu, saya menyampaikan kisah Kesetiakawanan sosial yang ditunjukkan rakyat Indonesia di Jawa Timur pada detik-detik pemboman tentara Inggris di Surabaya tanggal 10 November 1945.

Kisah tersebut yang dituturkan oleh pelaku sejarah, Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung dalam Autobiografinya, ternyata mendapat respon yang sangat positif dari pembaca di berbagai grup medsos. Di satu grup di facebook saja, yang merespon positif hampir mencapai 400. Biasanya respon terhadap tulisan2 sehubungan dengan wabah virus Corona hanya mencapai belasan, atau paling tinggi puluhan saja. Hal ini berarti, masyarakat sangat terbuka dengan kisah dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan.

Dalam situasi di Indonesia saat ini menghadapi pandemi virus Corona, tetap harus dijaga Kesatuan dan Persatuan Bangsa, agar perbedaan pendapat dan pandangan, tidak menjurus ke perpecahan bangsa dan negara Indonesia..Perlu kiranya dibuka lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, di mana seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Mengenai hal ini, ada bagian dari sejarah yang dituturkan oleh Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang menunjukkan, bahwa ratusan pemuda yang berasal dari Aceh, Deli dan Batak, ikut berperang di Surabaya/jawa Timur dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang diproklasikan pada 17 Agustus 1945.

***

Belanda sama sekali tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia (sampai detik ini, April 2020). Dalam kunjungannya ke Indonesia awal Maret 2020, Raja Belanda hanya menegaskan pernyataan Menlunya tahun 2005, bahwa mulai tahun 2005, pemerintah Belanda MENERIMA PROKLAMASI 17. 8.1945 SECARA MORAL DAN POLITIS, hanya menerima de facto. Artinya, sampai tahun 2005 untuk pemerintah Belanda, NKRI tidak eksis samasekali. dan setelah 60 tahun Indonesia merdeka, pemerintah Belanda hanya MENERIMA DE FACTO. Yang diakui de jure oleh pemerintah Belanda adalah Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS sudah dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.

Karena tidak memiliki tentara yang kuat setelah hancur dalam Perang Dunia II di Eropa dan di Asia tenggara, Belanda meminta bantuan sekutunya, yaitu Inggris dan Australia. Dalam rangka membantu Belanda, sesuai dengan perjanjian Civil Affairts Agreement yang ditandatangani di Chequers, Inggris, tanggal 24 Agustus 1945, Inggris membantu Belanda untuk “memperoleh kembali” jajahannya, dengan kekuatan militer. Inggris mengerahkan tiga Divisi, dan dua Divisi tentara Australia membantu Belanda menguasai seluruh wilayah Indonesia bagian timur.

Tanggal 28 dan 29 Oktober 1945 terjadi pertempuran di Surabaya melawan tentara Inggris. Dalam rangka menyebarluaskan gencatan senjata tanggal 30 Oktober 1945, komandan tentara Inggris, Brigjen AWS Mallaby tewas dalam suatu tembak-menembak.

Tewasnya Mallaby dijadikan alasan oleh tentara Inggris untuk “menghukum” Surabaya, dengan mengerahkan pasukan terbesarnya, sejak Perang Dunia II di kawasan Asia berakhir pada 15 Agustus 1945.

Dalam perang besar mempertahankan kemerdekaan yang diawali oleh pemboman Inggris di Surabaya, sangat banyak pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia yang ikut berperang di Surabaya/Jawa Timur. Salahsatu pasukan yang terdiri dari pemuda-pemuda yang berasal dari Aceh, Deli dan Batak, adalah Pasukan Sriwijaya.

Adanya Pasukan Sriwijaya ini (yang saya ketahui) hanya ditulis oleh dua orang pelaku pertempuran di Surabaya, yaitu Kadim Prawirodirdjo (pangkat terakhir Mayor Jenderal TNI) dalam bukunya “Dari Panggung Perang Kemerdekaan” yang terbit tahun 1987, dan dr. Wiliater Hutagalung, yang pada bulan Januari 1950 dengan jabatan sebagai Kepala Staf “Q,” mengunduran diri dari TNI, karena menolak hasil Konferensi Meja Bundar (KMB)

Dalam buku Autobiografinya, Wiliater Hutagalung menuturkan mengenai pembentukan dan peran Pasukan Sriwijaya di Surabaya tahun 1945.

*Mengenai Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, silakan klik:*



Penuturan Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung

Pada suatu pagi ketika penulis sedang berjalan kaki di Simpang, melihat dua orang pria yang tampaknya sedang kebingungan, berbicara secara emosional, badan kurus, pakaian compang camping. Setelah agak dekat, penulis mendengar bahwa mereka berbicara dalam bahasa Tapanuli, Sebagai sesama orang Tapanuli penulis berbicara dengan mereka dalam bahasa Tapanuli. Ternyata mereka termasuk orang-orang yang terdampar di Madura yang kemudian menyeberang ke Surabaya.

Mereka menuturkan kisahnya:
Mereka termasuk anggota Giyugun (tentara sukarela) dari Sumatera, yang sebagian besar berasal dari Aceh, Deli dan Tapanuli yang dibawa oleh Jepang ke Morotai, Maluku Utara. Jumlah mereka waktu di Morotai sekitar 2000 orang dan ikut dalam pertempuran melawan tentara Amerika. Mereka telah mengalami pemboman serta gempuran pesawat terbang dan kapal perang Amerika Serikat.

Jepang membentuk Giyugun (di Jawa dinamakan Heiho) di Malaya, Indochina, Filipina dan Sumatera mula-mula untuk membantu Jepang dalam pertahanan pesisir dan menjaga keamanan serta ketertiban lingkungan. Giyugun di Sumatra dibentuk mulai bulan September 1943. Pemuda-pemuda yang direkrut adalah anak anak dari keluarga terpelajar seperti guru-guru, pejabat dan pemuka agama. Jadi Giyugun ini terdiri dari kelompok yang berpendidikan. Menjelang akhir perang, karena kekurangan prajurit Jepang, Giyugun asal Sumatra ini dibawa ke Morotai untuk membantu Jepang dalam pertempuran melawan sekutu.

Setelah Jepang menyerah, mereka dilepaskan begitu saja oleh karena tidak ada pengaturan mengenai Giyugun. Mereka tidak tahu di mana mereka berada, di sekitarnya hanyalah hutan belantara dan laut. Dengan berbagai cara mereka mencari dunia yang ada penghuninya, dan akhirnya beberapa ratus orang terdampar di Sulawesi, a.l. di Majene. Sebagian menetap di sana, sebagian lagi ingin pulang ke kampung halaman di Sumatera dan mereka ini meneruskan petualangan dengan mencuri bahkan merampok untuk hidup. Mereka kemudian mengambil perahu-perahu dan kemudian berlayar.

Pada suatu hari sekitar 400 orang terdampar di Madura. Di sana mereka mendengar bahwa Madura itu dekat dengan Surabaya, nama kota yang pernah mereka dengar. Maka menyeberanglah mereka ke Surabaya tanpa mengetahui jalan, bahasa dan tidak mempunyai uang.

Kepada kedua orang ini penulis memberitahukan mengenai keadaan yang sudah berubah bahwa kita sudah merdeka dan siap untuk mempertahankan kemerdekaan. Penulis menganjurkan agar mereka mengumpulkan teman-temannya dan merundingkan kemungkinan untuk bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dibentuk. Setelah berhasil mengumpulkan mereka semua, diadakan pembicaraan dengan hasil bahwa semua setuju untuk membentuk pasukan sendiri dan bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dalam proses pembentukan.

Hal ini dikonsultasikan dengan pimpinan Divisi VI yang kemudian memutuskan menyetujui pemberian status tersendiri bagi para bekas Giyugun yang telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Amerika dan sekutunya di Morotai. Mereka kemudian memilih pimpinannya sendiri dan mengatur pangkat seperti satu batalyon. Setelah diperlengkapi dengan seragam dan tanda pangkat (seperti tentara Jepang, dengan sedikit perubahan), kemudian mereka diberi persenjataan. Mereka menamakan dirinya Pasukan Sriwijaya. Pimpinan mereka bernama Jansen Rambe, yang penulis temui di Simpang beberapa waktu sebelumnya, sehingga pasukan ini dikenal sebagai pasukan Jansen Rambe.

Yang sudah biasa melayani meriam ditempatkan di Kedung Cowek dan yang sanggup memakai senjata penangkis serangan udara disebarkan menurut lokasi meriam penangkis serangan udara.

Di Kedung Cowek pada waktu itu ada rentetan benteng-benteng di pantai menghadap ke Selat Madura. Belanda yang membangun perbentengan yang kokoh ini tidak sempat menggunakannya dan setelah Jepang menyerah, benteng-benteng tersebut masih utuh. Meriam-meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal dan kokoh, dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan dan pantai Surabaya. Tentara belanda sendiri tidak sempat menembakkan satu peluru pun pada waktu Jepang menduduki wilayah jajahan Belanda termasuk pulau jawa. Tentara jepang kemudian menambahkan persenjataan dan memperkuat perlindungan.

Tentara Jepang pun tidak sempat memanfaatkan benteng-benteng ini untuk menembak kapal perang musuh sehingga benteng-benteng yang kokoh dan lengkap dengan semua persenjataannya jatuh ketangan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Di sinilah anggota-anggota Pasukan Sriwijaya yang telah terlatih idan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan. Pada waktu kapal perang Inggris menembaki Surabaya, mereka sangat terkejut melihat perlawanan dari arah benteng-benteng di Kedung Cowek.

Dilihat dari kualitas tembakan mereka menyangka yang melayani meriam-meriam tersebut adalah anggota tentara jepang yang tidak tunduk pada perintah dan dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (war criminals). Inggris tidak memperhitungkan bahwa pihak Indonesia memiliki anggota pasukan yang mampu melayani meriam-meriam berat seperti yang ada di benteng-benteng di Kedung Cowek. Bahwa ada bekas Gyugun dari Sumatera yang terlatih dan berpengalaman tempur, tentu sama sekali di luar dugaan mereka. Hal ini kemudian hari mereka ketahui dari beberapa orang Indonesia yang pada waktu itu ikut dengan pasukan Inggris.

Dalam pertempuran 3 hari di akhir bulan Oktober 1945 dan pertempuran mempertahankan Surabaya mulai 10 November 1945 diperkirakan sepertiga dari Pasukan Sriwijaya ini tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di benteng-benteng di Kedung Cowek.

Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putra-putra Sumatera yang gugur sebagai pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan kota Surabaya. Kota yang samasekali mereka tidak kenal. Sebagian dari mereka tidak sempat lagi dikuburkan pada waktu perang berkecamuk.

********

 

No comments: