BAGIAN PERTAMA
Pengantar
Gagasan Panca Pedoman Bernegara, Berbangsa
dan Bermasyarakat[2] ini
merupakan kritik dan koreksi terhadap yang dinamakan Empat “Pilar” Berbangsa
dan Bernegara yang dikarang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia (MPR RI) periode 2009 - 2014. Anggaran sosialisasi Empat Pilar yang
dikeluarkan oleh MPR mencapai Rp. 1 triliun per tahun.[3]
Dalam Bahan Tayang yang diterbitkan oleh MPR
RI, Empat “Pilar” tersebut adalah:[4]
1.
Pancasila
sebagai Dasar dan Ideologi Negara,
2.
UUD
NRI Tahun 1945 Sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR.
3.
NKRI
Sebagai Bentuk Negara dan
4.
Bhinneka
Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara.
Dari penjelasan yang diberikan mengenai Empat
“Pilar” MPR RI sebagaimana tertulis dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar
MPR terlihat, bahwa landasan filosofis dan landasan sosiologis serta kerangka
teoritisnya lemah. Landasan historisnya yang sebenarnya telah tertera dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, bahkan sangat diabaikan. Juga para penyusun
Empat “Pilar” MPR telah melakukan kesalahan dalam logika bahasa.[5]
Selain itu judulnya juga kurang lengkap, yaitu Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Kalau akan disusun suatu pedoman
(“pilar”), maka seharusnya dinamakan Pedoman
(“Pilar”) Bernegara, Berbangsa dan
Bermasyarakat. Urutan ini sesuai hak-haknya,
yaitu Hak Asasi Negara (State’s rights),
Hak Asasi Bangsa (Nation’s rights)
dan Hak Asasi Manusia (Human rights).
Hal ini juga sehubungan dengan Hak dan Kewajiban Negara; Hak dan Kewajiban Bangsa
serta Hak dan Kewajiban Warga Negara. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang
menjadi warga negara di satu negara, yang mempunyai hak dan kewajiban.
Landasan
Historis
Landasan historis yang di sini sangat
diabaikan untuk kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat Indonesia adalah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945. Landasan historis Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tertera
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, yaitu di alinea kedua dan ketiga, di mana
disebut:[6]
Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha
Esa[7] dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Pembukaan UUD ’45 ini disusun pada 22 Juni
1945 oleh Panitia Sembilan, yang kemudian dinamakan ‘Piagam Jakarta.’ Rumusan tersebut disusun masih dalam suasana
Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik. Tentara Jepang masih menguasai wilayah
bekas jajahan Belanda. Teks tersebut disusun hampir dua bulan sebelum
pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Di dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar[8]
yang disahkan pada 18 Agustus 1945 ditulis a.l.:
Undang-undang Dasar
Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk
mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya
teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui
dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita
dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran
apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.
Alinea kedua menjelaskan bahwa:
“... perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia ...”
dan alinea ketiga menegaskan alinea kedua:
“... maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya ...”
Kalimat terakhir di atas adalah bagian dari
teks Proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Sukarno pada 17 Agustus 1945, yaitu:
“KAMI BANGSA
INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.”
Dengan demikian jelas bahwa proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Pintu
Gerbang Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia. Kedudukan proklamasi 17
Agustus 1945 sebagai Pintu Gerbang
harus diletakkan paling depan, atau sebagai pedoman (“Pilar”) pertama.
Logikanya: Tanpa adanya
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Pintu Gerbang
Kemerdekaan, maka Empat “Pilar” yang lain tidak akan ada.
Dalam menyusun Empat “Pilar” MPR Berbangsa
dan Bernegara, bukan hanya landasan historisnya saja yang diabaikan. Juga
sangat banyak terdapat kesalahan dalam penulisan sejarah Nusantara, baik di
masa pra-kolonialisme, di masa kolonialisme. Demikian juga kesalahan-kesalahan
dalam penulisan sejarah di masa perang mempertahankan kemerdekaan melawan
agresi militer yang dilancarkan oleh mantan penjajah bersama sekutu dan
antek-anteknya antara tahun 1945 – 1950. Bahkan ada kesalahan-kesalahan penulisan
yang fatal dan menyesatkan.
Buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR yang
diterbitkan oleh MPR, sebagai Lembaga Tinggi Negara, dengan anggaran besar
yaitu mencapai Rp. 1 triliun, seharusnya memberikan pencerahan dan informasi
yang benar dan lengkap kepada masyarakat luas mengenai sejarah berdirinya
Negara Bangsa (Nation state)
Indonesia dan sejarah pembentukan Bangsa Indonesia serta proses dan alasan
ditetapkan dan digunakannya bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Bangsa
Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari dan memahami, bahwa bukan
hanya Negara Indonesia yang baru, melainkan Bangsa Indonesia, sebagai entitas
politik, adalah juga bangsa yang baru
ada sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan
demikian, sangat diperlukan konsep untuk Membangun
Bangsa dan Jatidiri/Karakter Bangsa (Nation
and Character Building).
Jangkauan buku Materi Sosialisasi Empat Pilar
MPR jauh lebih luas daripada buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah. Buku ini
seharusnya meluruskan beberapa mitos yang salah yang telah berkembang di
masyarakat, akibat kesalahan-kesalahan yang ada di buku-buku sejarah untuk
sekolah-sekolah. Mitos-mitos yang salah antara lain, bahwa “Belanda menjajah
Indonesia 350 tahun”, “Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun.” Mitos bahwa“rakyat
Indonesia berperang melawan Belanda hanya dengan “bambu runcing.” Mitos yang
salah, bahwa “Sumpah Palapa Gajah Mada” adalah untuk “mempersatukan” Nusantara.
Secara garis besar dapat dijelaskan, bahwa INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.[9]
Yang dijajah oleh Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di
Asia Tenggara. Yang diduduki oleh tentara Jepang antara 9 Maret 1942 – 15
Agustus 1945 adalah wilayah bekas
jajahan belanda, bukan Indonesia, karena sebagaimana diterangkan di atas,
Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945.
Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui
kemerdekaan Indonesia, sampai detik ini tahun 2020,[10]
dan berusaha menguasai bekas jajahannya yang telah menjadi negara merdeka dan
berdaulat sesuai dengan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo. Sejarah mencatat, sampai berlangsungnya
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus – 2
November 1949, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) tetap eksis dan berpartisipasi dalam konferensi yang
difasilitasi oleh PBB sebagai negara yang sejajar dengan Kerajaan Belanda.
Penyebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) harus selalu digunakan, karena pertama,
tertera dalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat 1, yaitu:
“Negara Indonesia
ialah Negara kesatuan berbentuk Republik.”
Kedua, untuk membedakan
dengan negara federal konsep Belanda, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS)
hasil KMB.
Mengenai
Pancasila
Pengertian secara umum mengenai pilar adalah
tiang penyangga, bukan dasar atau fundamen. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK)[11]
melaksanan persidangan pertama dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Persidangan
pertama ini membahas dasar negara yang
akan dibentuk. Dalam sidang pertama tanggal 29 Mei 1945, anggota BPUPK Muh.
Yamin menyampaikan pandangannya. Dia mengawali dengan menyampaikan Kerangka
Uraian secara tertulis, yaitu:[12]
Pekerjaan Panitia Usaha-Istimewa-Anggota berpendirian
sebagai orang Indonesia- Harapan Masyarakat:
1.
Peri
Kebangsaan,
2.
Peri
Kemanusiaan,
3.
Peri
Ke-Tuhanan,
4.
Peri
Kerakyatan,
5.
Kesejahteraan
rakyat.
Setelah membacakan uraian tertulisnya, M.
Yamin kemudian melanjutkan uraian lisannya.
Dalam sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, anggota
BPUPK Ir. Sukarno menyampaikan pandangan dan usulannya mengenai dasar negara
yang akan dibentuk, yang disebutnya sebagai landasan filosofis (bahasa Belanda:
Filosofische grondslag). Sukarno
mengatakan a.l.:[13]
“ ... Filosofische[14] grondslag itulah pundamen, filsafat,
pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung
Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
Kalimat di atas dengan jelas menerangkan,
bahwa negara yang akan dibentuk, dibangun di atas landasan filosofis tersebut. Sukarno
menyampaikan lima prinsip dasar menurut pandangannya, untuk menjadi dasar
negara yang akan dibentuk,yaitu:
1.
Kebangsaan
Indonesia,
2.
Internasionalisme,
atau peri kemanusiaan,
3.
Mufakat,
atau demokrasi,
4.
Kesejahteraan
sosial,
5.
Ketuhanan.
Landasan filosofis ini kemudian dinamakan
Pancasila. Lima butir Pancasila tersebut dicantumkan di alinea keempat dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disusun pada 22 Juni 1945, seperti disebut
di atas. Setelah melalui pembahasan lebih lanjut, dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 disepakati
formulasi finalnya, yaitu:
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
3.
Persatuan
Indonesia,
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang dasar
yang disahkan pada 18 Agustus 1945, adalah a.l.:
“... maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.”
Mengenai nama Pancasila, Sukarno mengatakan
nama tersebut atas petunjuk seorang temannya:[15]
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa. Namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau
dasar, dan di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”
Sebelum digunakan
oleh Sukarno, nama Pancasila yang berasal dari
bahasa Pali,
telah dikenal di kalangan ummat Buddha sejak lebih dari 2.500 tahun, sebagai
lima dasar tata-cara kehidupan bermasyarakat sesuai dengan ajaran Buddha. Pancasila
Buddhis[16]
tersebut berlaku untuk masyarakat luas penganut ajaran Buddha,
sedangkan untuk para Bhikku dan Bhikkuni berlaku Dasasila (10 Dasar).
Tahun 1998 MPR RI telah mengeluarkan
Ketetapan MPR No. XVIII Tanggal 13 November 1998 Tentang Penegasan
Pancasila Sebagai Dasar Negara. Pasal 1 Tap MPR No. XVIII menyebut:[17]
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara.”
Pada 12 Agustus 2011 Presiden Susilo B.
Yudhoyono menandatangani Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Di Pasal 2
ditegaskan kedudukan Pancasila, yaitu:
“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum.”
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 telah
memutus membatalkan penggunaan frasa “Pilar” untuk Pancasila.[18]
Namun MPR tetap menggunakan frasa Empat “Pilar” baik di dalam buku-buku yang
diterbitkan oleh Setjen MPR maupun dalam sosialisasinya.
Kesalahan
penjelasan mengenai Pancasila:
Dalam buku Materi Sosialisasi Empat “Pilar”
MPR terdapat kalimat mengenai Pancasila yang salah dan sangat menyesatkan,
yaitu:[19]
“Pancasila diilhami
oleh gagasan-gagasan besar dunia, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan besar
bangsa Indonesia sendiri.”
Koreksi: Sebagaimana dijelaskan
sendiri oleh Sukarno, bahwa Pancasila digali
dari nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia di Nusantara, bukan diilhami oleh
gagasan-gagasan dari luar.
Mengenai
UUD NRI
Sebagaimana telah ditulis di atas, penyebutan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) harus selalu digunakan. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan
dengan hanya menulis UUD Negara Republik Indonesia (NRI). MPR menyatakan, bahwa
Empat “Pilar” MPR ini menggunakan UUD ’45. Namun sesungguhnya, Empat “Pilar”
MPR menggunakan UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002, yang adalah hasil empat
kali perubahan UUD. Perubahan dilakukan oleh MPR pada tahun 1999, 2000, 2001
dan 2002. Sewajarnya, UUD yang disahkan pada tahun 2002 dinamakan UUD 2002,
sesuai tahun ditetapkannya.
Sebelum dilakukan pembahasan, ada kesepakatan
dasar perubahan UUD 1945, yaitu:
1.
Tidak
mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.
Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.
Mempertegas
sistem presidensiil.
4.
Penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan
dengan cara “adendum.”
Selain kesepakatan-kesepakatan dasar yang
telah dicantumkan, sebelum pembahasan tahun 1999 ada kesepakatan antara
pimpinan MPR RI dengan tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal tidak akan
diubah.
Setelah dilakukan empat kali perubahan, mengenai Struktur UUD ditulis dalam
Bahan Tayang Materi Sosialisai Empat “Pilar” MPR sebagai berikut.[20]
Sebelum perubahan, UUD terdiri dari:
1.
Pembukaan,
2.
Batang
Tubuh
-
16
Bab,
-
37
Pasal,
-
49
Ayat,
-
4
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Ayat Aturan Tambahan
3.
Penjelasan
Setelah perubahan:
1.
Pembukaan,
2.
Pasal-Pasal,
-
21
Bab,
-
73
Pasal,
-
179
Ayat
-
2
Pasal Aturan Peralihan,
-
2
Pasal Aturan Tambahan
Faktanya, perubahan tidak dilakukan dengan
cara “adendum” (tambahan), melainkan
sebagai “amandemen” (Perubahan). UUD yang disahkan pada tahun 2002 tersebut
kemudian dinyatakan sebagai UUD ’45. Oleh karena itu banyak yang berpendapat,
bahwa ini adalah UUD ’45 PALSU, karena selain struktur, isinya juga tidak
sesuai dengan UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Ruh dan semangat yang
terkandung dalam UUD ’45 ASLI serta Penjelasan Tentang UUD ’45 tersebut telah
dihilangkan. Yang berkembang di masyarakat saat ini adalah adanya “UUD ’45
ASLI”, yaitu yang disahkan pada 18 agustus 1945 dan “UUD ’45 PALSU”, yang disahkan pada 10
Agustus 2002.
Dari strukturnya sudah terlihat perbedaan
yang sangat signifikan, terutama jumlah ayat yang semula 49 menjadi 179. Selain
itu ada kejanggalan dalam kerangka UUD yang disahkan pada tahun 2002, yaitu
adanya Bab yang isinya dihapus, namun Bab-nya tetap dicantumkan, yaitu Bab IV
mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Bab IV tetap dicantumkan, namun isinya kosong. Kejanggalan dalam menyusun
kerangka Undang-Undang Dasar ini
terjadi, karena terpaksa memenuhi kesepakatan dengan para tokoh
masyarakat, untuk tidak mengubah Batang Tubuh UUD ’45 ASLI. Apabila tidak
cermat menelitinya, maka terlihat seolah-olah jumlah Bab-nya tetap 16, namun faktanya
hanya 15, dengan penambahan Pasal menggunakan huruf Latin besar, A, B, dst.
Perubahan yang sangat mendasar adalah yang
sehubungan dengan Kedaulatan Rakyat. Dalam UUD ’45 ASLI Pasal 1 ayat 2 disebut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Mengenai hal ini ditulis dalam Penjelasan
Tentang UUD ’45:
“Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama
"Majelis Permusyawaratan Rakyat" sebagai penjelmaan seluruh Rakyat
Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini
menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala
Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang
tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan
haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.”
Namun dalam Undang-Undang Dasar 2002 tidak
ada satu Pasal atau ayat yang khusus mengatur bagaimana tata-cara melaksanakan
kedaulatan rakyat tersebut.
Dalam UUD 2002, pasal 1 ayat 2 diganti
menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar.”
Sehubungan dengan hal ini, kesalahan terbesar
dalam perubahan UUD’45 adalah mengubah Pasal 6, yaitu tentang pengangkatan
presiden dan Wakil Presiden. Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR
sesuai dengan Sila keempat Pancasila, yaitu:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”,
Sebagaimana tertera dalam penjelasan tentang
UUD ’45 ASLI, MPR merupakan pernjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini
dituangkan dalam Pasal 6 ayat 2, yaitu:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”
Dalam UUD tahun 2002,tentang Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dibuat Pasal
baru, yaitu Pasal 6 A ayat 1 – 5, di mana di ayat 1 ditulis:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung
oleh rakyat.”
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung melanggar Sila keempat Pancasila. Selain itu, UUD NRI 2002 menghilangkan
salah-satu kewenangan MPR yang sangat penting, yaitu menetapkan garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN). Tanpa adanya GBHN, maka setiap presiden yang
terpilih membuat programnya kerjanya untuk lima tahun. Dengan dihilangkannya
GBHN, maka tidak ada jaminan kesinambungan suatu program, apabila Presiden
berikutnya tidak melanjutkan program Presiden terdahulu. Hilangnya GBHN dari
UUD NKRI dapat mengakibatkan ketimpangan dalam pembangunan di seluruh wilayah
NKRI.
Juga dalam UUD yang disahkan pada 10 Agustus
2002 ada ayat yang luar biasa anehnya, yaitu Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (perubahan
kedua).”
Kalimat terakhir ini menunjukkan, bahwa
Negara dalam hal ini adalah Pemerintah, TNI dan POLRI serta seluruh aparat
penegak hukum di Indonesia, gagal melindungi bangsanya sehingga orang-orang
Indonesia yang “mengalami penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia” diberi hak untuk meminta suaka politik dari negara lain, yang
dapat melindungi orang-orang Indonesia tersbut. Dalam alinea keempat Pembukaan
UUD ’45 ditulis a.l.:
“Kemudian daripada
itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia ...”
Apabila ada orang Indonesia yang menggunakan
pasal 28 G ayat 2 untuk mencari suaka politik di negara lain, maka para
penyelenggara negara dan penegak hukum di Indonesia tidak melaksanakan atau
gagal menjalankan amanat yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD
’45.
Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar sangat
penting untuk diketahui oleh para penyelenggara Negara, terutama yang ingin
melakukan perubahan UUD. Oleh karena itu menjadi pertanyaan besar, mengapa
Penjelasan Tentang Undang-undang dasar 1945 dihilangkan dalam UUD 2002.
Di dalam penjelasan a.l. disebut:
I. Undang-undang
Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar
Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu
berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun
tidak ditulis.
Memang untuk
menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya
menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja,
akan tetapi harus menyelidiki juga
sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen
Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.
Undang-undang Dasar
Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk
mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya
teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui
dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita
dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa
yang menjadi dasar Undang-undang itu.
Menghilangkan Penjelasan mengenai UUD ’45
yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sama dengan menghilangkan penjelasan
mengenai latar belakang sejarah disusunnya UUD ’45 ASLI. (Mengenai Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun
Undang-Undang Dasar 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945, lihat link di
catatan kaki)[21]
Kesalahan-Kesalahan
Penulisan Sejarah
Dalam buku ‘Sosialisasi Materi Empat Pilar
MPR’ mengenai sejarah, banyak terdapat kesalahan, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan.
Adalah kesalahan besar, apabila suatu Lembaga Tinggi Negara seperti MPR RI
memberikan informasi yang salah, apalagi yang sehubungan dengan sejarah Negara
dan Bangsa Indonesia, terutama sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan
terhadap agresi militer Belanda, mantan penjajah yang dibantu oleh sekutu dan
kaki-tangannya, antara tahun 1945 – 1949.[22]
Berikut ini beberapa contoh kesalahan yang ditulis dalam buku Materi
Sosialisasi Empat “Pilar” MPR.
Kesalahan
asal-usul nama Indonesia:[23] Kesalahan seperti
ini sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu sehubungan dengan nama “INDONESIA.”
Cukup mencari di google.com, dengan memasukkan kata kunci “asal-usul kata
Indonesia”, atau asal-usul nama Indonesia”, akan tampil berbagai artikel
mengenai asal-usul kata/nama Indonesia. Di Materi Sosialisasi Empat “Pilar” MPR
ditulis:
Pada tahun 1850, George Windsor Earl seorang Inggris
etnolog mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians untuk
penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian seorang mahasiswa bernama Earl James
Richardison Logan menggunakan
Indonesia sebagai sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun dikalangan akademik
Belanda, di Hindia Timur enggan menggunakan Indonesia sebaliknya mereka
menggunakan istilah Melayu Nusantara (Malaische Archipel).
Koreksinya:
“Pencipta” kata Indunesia adalah George
Samuel Windsor Earl, seorang ilmuwan asal Inggris. Sedangkan James Richardson
Logan, bukan mahasiswa, melainkan seorang pengacara asal Skotlandia dan pendiri
Journal yang terbit di Singapura. Namanya Richardson, tidak ada “huruf i”
antara huruf “d” dan huruf “s.” Tujuan utama Earl bukan untuk memberi nama
suatu wilayah di Asia tenggara, melainkan memberi
nama untuk cabang ras polinesia berkulit coklat yang menghuni kepulauan
India. Awalnya Earl menyebut penduduk di wilayah Kepulauan India sebagai Indunesian,
atau orang-orang di kepulauan India, namun dia kemudian lebih senang
menggunakan nama Melayunesian. Logan,
sebagai pemilik Jurnal, senang dengan kata Indunesian dengan sedikit perubahan.
Dia mengganti huruf “U” dengan huruf “O”, sehingga menjadi Indonesian. Arti kata Indunesian versi Earl atau Indonesian
versi Logan adalah orang-orang di Kepulauan India. Sedangkan
wilayahnya dinamakan Indonesia, yang artinya adalah Kepulauan India. Penamaan
yang dimaksud oleh Earl dan Logan adalah untuk cabang ras yang berkulit coklat,
tidak termasuk penduduk di bagian Timur, yang kemudian dikenal sebagai Melanesian.
Orang-orang Belanda tidak menyebut “Melayu
Nusantara.” Mereka menamakan wilayah jajahannya sebagai Nederlands Indie (India Belanda), dan menamakan pribumi di wilayah
jajahannya di Asia Tenggara sebagai orang India (Indie).
Kesalahan
berikutnya:[24]
Masa Penjajahan
Sejak berakhirnya
masa kerajaan di Indonesia, masuklah bangsa
Barat seperti Portugis dan Spanyol yang disusul oleh Bangsa Belanda pada abad
XVI tepatnya 1596.
Koreksinya:
Ini
kalimat yang salah total. Pertama, sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tidak ada
wilayah atau negara atau bangsa yang bernama Indonesia. Kedua, masa kerajaan di
Nusantara tidak berakhir ketika bangsa-bangsa barat datang. Kalau masa kerajaan
berakhir, siapa yang diperangi oleh para penjajah selama ratusan tahun sampai
awal abad 20? Sampai sekarang, tahun 2020 masih ada beberapa kerajaan dan
kesultanan, namun tidak sebagai negara yang berdiri sendiri, malainkan menjadi
bagian dari NKRI, seperti Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Tidore, Kesultanan
Cirebon, Kerajaan-Kerajaan di Bali, dll.
Kesalahan
besar:
Berikut ini salahsatu contoh penulisan sejarah yang harus dikategorikan sebagai
kesalahan besar, yaitu:[25]
Kemudian pada 1920 Indische Social Demokratische Partij
atau ISDP dan bagian dari Serikat Islam berubah menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Koreksinya:
cikal-bakal Partai Komunis Indonesia, yaitu Indische Sociaal Democratische Vereeniging -
ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat India) yang didirikan oleh 85 orang
Belanda totok di bawah pimpinan Hendrikus Sneevliet[26]
pada 20 Mei 1914 bukan Partij/Partai,
melainkan suatu perhimpunan (Vereeniging).
Tidak ada seorangpun pribumi yang ikut mendirikan. Tujuannya adalah mengubah
sistem kerajaan di Belanda menjadi Republik Sosialis, bukan kemerdekaan jajahan
Belanda yang dinamakan Nederlands Indie
(India Belanda). beberapa tahun kemudian, tiga orang remaja pribumi, yaitu
Darsono, Alimin dan Semaun yang adalah anggota Sarikat Islam, menjadi anggota
ISDV. Jadi bukan “bagian” dari Sarikat Islam, melainkan beberapa pemuda dan
remaja anggota Sarikat Islam yang bergabung dengan ISDV. Pada 23 Mei 1920 nama
ISDV diganti menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Tahun 1921
anggota-anggota Sarikat Islam (SI) yang juga menjadi anggota PKH dipecat dari
SI. Tahun 1924 nama PKH diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penjelasan
mengenai sejarah yang harus dikategorikan sebagai “ngawur” adalah:[27]
Pada 14 Agustus 1945, melalui Radio Suara Amerika,
diberitakan bahwa Hirosima dan Nagasaki dibom, dan karena kejadian ini
Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan
dengan peristiwa tersebut, tentara Inggris dengan nama South East Asia
Command yang bertugas menduduki wilayah Indonesia menerima penyerahan kekuasaan
dari tangan Jepang (Setidjo, Pandji, 2009)
Koreksinya: Berita mengenai di
Hiroshima dijatuhkan Bom Atom telah diberitakan di Amerika tanggal 6 Agustus
1945 dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom diberitakan tanggal 9 Agustus. Amerika
mengancam, bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo. Oleh karena itu Kaisar
Hirohito tanggal 15 Agustus (ada sumber yang menyebut tanggal 14 Agustus) 1945
memerintahkan kepada militer Jepang untuk menghentikan semua tindakan militer
di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang. Dokumen menyerah tanpa syarat baru
ditandatangani di atas Kapal Perang AS Missouri di Teluk Tokyo (Tokyo Bay) tanggal 2 September 1945. Penyerahan
tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura tanggal 12 September
1945, bukan tanggal 14 Agustus 1945. Penyerahan Jepang di Singapura diterima
oleh Vica Admiral Lord Louis
Mountbatten, Supreme Commander of South
East Asia Command, yang berkuasa atas seluruh wilayah Asia Tenggara dan
Asia Pasifik, bukan hanya bekas jajahan Belanda.
Kesalahan
penulisan yang fatal dan menyesatkan sehubungan dengan hasil KMB adalah:[28]
... dan puncaknya pada 27 Desember 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik
Indonesia dengan syarat harus berbentuk Negara Serikat.
Koreksinya:
Pada
27 Desember 1949, Belanda bukan mengakui
kedaulatan Republik Indonesia. Yang terjadi pada 27 Agustus 1949 adalah PEMINDAHAN KEDAULATAN (transfer of sovereignty) dari
pemerintah Nederlands Indie kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada Republik Indonesia. Bentuk negara Serikat adalah hasil
perundingan dari mulai Linggajati, bukan syarat dari Belanda dalam KMB. Sampai detik ini, Juni 2020, pemerintah
belanda tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan Republik indonesia adalah 17 Agustus 1945. Pada 16 Agustus
2005, Menlu Belanda Ben Bot di Jakarta
menyampaikan secara lisan, bahwa mulai tanggal tersebut, pemerintah Belanda MENERIMA SECARA MORAL DAN POLITIS (DE FACTO) Proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. Pernyataan ini disampaikan juga oleh Raja Belanda, Willem Alexander,
dalam kunjungannya ke Indonesia pada 13 Maret 2020.
Kalimat
yang paling “ngawur”
adalah yang sehubungan dengan hasil KMB, yaitu pembentukan negara federal
Republik Indonesia Serikat (RIS):
... Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia Serikat untuk periode 1949-1950,
dengan Moh. Hatta merangkap sebagai perdana menteri;
Koreksi: Sukarno menjabat
sebagai Presiden RIS sampai tanggal 16 Agustus 1950 BUKAN HASIL KMB. Setelah RIS berdiri pada 27 Desember 1949, satu-persatu
dari 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom yang dibentuk oleh Belanda, dibubarkan
oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada Bulan Mei 1950, tiga Negara bagian yang tersisa, yaitu Republik Indonesia,
Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur sepakat, untuk dibubarkannya
RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17
agustus 1945. M. Hatta bukan Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri,
melainkan hanya Perdana Menteri.
Kesalahan-kesalahan penulisan sejarah bangsa
dan negara Indonesia serta tidak menggunakan UUD ’45 ASLI ini bertentangan
dengan tujuan para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia mendirikan Negara
Indonesia dengan tujuan a.l. mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD
’45, di mana disebut:
“Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...”
Mengenai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konteks
Indonesia[29]
Ditulis:
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan
pada 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Clubgebouw Weltevreden (kini Gedung
Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok
Liong ...
Koreksi: Pedagang Tionghoa tersebut
bukan pemilik gedung, melainkan pemegang HGB (Hak Guna Bangunan). Para pemuda
pribumi menyewa gedung tersebut untuk penyelenggaraan sidang ketiga pada
28.10.1928. Sidang pertama dilakukan di satu Gedung Bioskop, sidang kedua
dilaksanakan di gedung Katholieke
Jongelingen Bond (Persatuan Pemuda Katholik).
Pada
waktu itu, masih hangat masalah diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap
pribumi. Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang membagi
penduduk dalam tiga golongan strata sosial dan hukum. Golongan pertama tentu
bangsa Eropa dan bangsa Jepang yang disetarakan dengan bangsa Eropa. Golongan
kedua adalah timur asing, yaitu bangsa Tionghoa dan bangsa Arab. Pribumi
dimasukkan sebagai golongan ketiga. Peraturan Pemerintah ini tahun 1926
dikukuhkan dalam Peraturan Negara (Staatsreglement).
Jadi
penggunaan gedung di Jalan Kramat Raya bukan
diberikan gratis, melainkan disewa. Tidak ada hubungannya dengan
Bhinneka Tunggal Ika. Bukan rasa persatuan dari pedagang Tionghoa tersebut,
melainkan murni transaksi bisnis, yaitu sewa-menyewa ruangan di gedung. Setelah
masa berlakunya HGB berakhir, gedung tersebut diambil alih kembali oleh Pemda
DKI dan kemudian dijadikan Gedung Sumpah Pemuda.
Mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah Negara Bangsa (Nation
state) Indonesia, yang merupakan kesatuan dan persatuan Kerajaan-Kerajaan
dan Kesultanan-Kesultanan di Asia tenggara/ Nusantara. Wilayahnya, berdasarkan
hukum internasional Uti possidetis iuris, adalah seluruh wilayah bekas Nederlands Indie (India Belanda).
Mengenai Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika bukanlah
semboyan Negara, melainkan semboyan kehidupan bermasyarakat dari bangsa baru,
yang multi etnis, multi agama, multi kebudayaan dsb. Di atas telah diterangkan,
bahwa Negara
dan Bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu, sebagai Bangsa baru yang multi etnis, multi agama, multi bahasa ibu
(etnis dan sub-etnis), multi kebudayaan/tradisi, dalam rangka Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building), penting
disusun Pedoman Bernegara, Berbangsa dan
Bermasyarakat.
Berikut ini disampaikan gagasan pedoman untuk tujuan tersebut di atas, yaitu:
1.
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai Hari Lahirnya Negara dan Bangsa
Indonesia,
2.
Pancasila
Sebagai Landasan Filosofis (Filosofische
grondslag) dan Ideologi Negara,
3.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Bentuk Negara Bangsa (Nation State) Indonesia,
4.
Undang-Undang
Dasar 1945 yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (yang disempurnakan dengan
penambahan/Adendum), Sebagai
Konstitusi NKRI.
5.
Bhinneka
Tunggal Ika, Sebagai Semboyan Kehidupan Masyarakat Indonesia.
Yang
selanjutnya dinamakan Panca Pedoman
Bernegara, Berbangsa, Bermasyarakat (PPBBB atau P2B3)
BAGIAN KEDUA
PANCA PEDOMAN BERNEGARA, BERBANGSA, BERMASYARAKAT
Pengantar
Di Nusantara/Asia Tenggara, baik di masa pra
kolonialisme maupun di masa kolonialisme, kerajaan-kerajaan dan
kesultanan-kesultanan saling berperang dengan tujuan untuk menguasai
kerajaan/kesultanan yang lain. Yang kalah harus membayar upeti kepada pemenang
dan lazimnya waktu itu, banyak penduduk dari kerajaan/kesultanan yang kalah
dijadikan budak.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan kesatuan dan persatuan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di
Nusantara/ AsiaTenggara. Berdirinya NKRI berdasarkan kesepakatan para tokoh dari
berbagai wilayah di bekas jajahan Belanda di Nusantara/Asia Tenggara. Negara
dan bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus
1945.
Sebagai negara dan bangsa yang baru,
masyarakatnya harus memiliki pemahaman mengenai negara, bangsa dan masyarakat
yang menjadi warga di negara baru tersebut. Masyarakat Indonesia harus
mengetahui latar belakang sejarahnya, yaitu dasar dan tujuan didirikannya
negara Indonesia dan dibentuknya bangsa Indonesia, serta perlu mengetahui
sejarah dan alasan penetapan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Bangsa
Indonesia.
PEDOMAN I: PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
17 AGUSTUS 1945
Pembukaan UUD 1945:
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas,
maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Di alinea kedua Pembukaan UUD 1945 telah
ditulis:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Untuk sampai pada pintu gerbang kemerdekaan,
para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia harus melalui jalan panjang perjuangan
yang penuh pengorbanan. Untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terhadap agresi militer mantan penjajah,
sekitar satu juta rakyat Indonesia tewas dibantai oleh tentara Belanda dan
sekutu serta antek-anteknya, tanpa proses hukum.
Pernyataan Jepang menyerah tanpa syarat pada
15 Agustus 1945 adalah pernyataan sepihak dan menghentikan semua kegiatan sipil
dan militer di seluruh wilayah kekuasaannya, termasuk di bekas jajahan Belanda
yang bernama Nederlands Indie (India Belanda). Namun dokumen menyerah tanpa
syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS
Missouri di Teluk Tokyo (Tokyo Bay). Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus
– 2 September 1945 terdapat yang dinamakan vacuum of power (Kekosongan
otoritas/kekuasaan). pasukan Sekutu pertama baru tiba di Jakarta pada 26
September 1945.
Di masa vacuum
of power tersebut, Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Pernyataan kemerdekaan ini bukan pemberontakan terhadap Belanda, karena pada 9
Maret 1942, pemerintah Nederlands Indie menyerah tanpa syarat kepada tentara
Jepang. Negara Nederlands Indie telah
lenyap dari muka bumi. Pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga bukan
pemberontakan tehadap Jepang, karena pada 15 Agustus 1945 Jepang telah
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan menghentikan semua kegiatan
pemerintahan militer di seluruh wilayah yang didudukinya. Pernyataan
kemerdekaan Indonesia bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang
digulingkan atau diganti, melainkan membangun suatu Negara di atas wilayah yang
tidak memiliki pemerintahan dan tidak ada otoritas. Ketika Belanda datang ke
wilayah bekas jajahannya, Belanda datang ke Republik Indonesia yang telah
merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu, konflik bersenjata antara Republik
Indonesia dengan Belanda setelah tanggal 17 Agustus 1945, bukan perang kemerdekaan.
Yang terjadi adalah PERANG
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta
antek-anteknya.
Seandainya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan rakyat Indonesia kalah dalam perang
mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka
Negara dan Bangsa Indonesia lenyap. Wilayah Negara Indonesia menjadi jajahan
Belanda. Juga Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika tidak akan ada.
Mungkin baru setelah tahun 1960-an dbieri “hadiah” kemerdekaan dari penjajah,
seperti kebanyakan negara-negara di Asia dan Afrika yang mendapat “hadiah”
kemerdekaan dari para mantan penjajah setelah tahun 1960-an.
Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada
17 Agustus 1945, dua hari setelah sang penjajah, Jepang, menyatakan menyerah
tanpa syarat kepada tentara Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 dengan demikian
Indonesia adalah pelopor kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Pernyataan
kemerdekaan Indonesia mejadi inspirasi untuk negara-negara terjajah lain dan
membangkitkan semangat untuk kemerdekaan. Pada 2 September 1945 Vietnam juga
menyatakan kemerdekaannya. Indonesia dan Vietnam berhasil mempertahankan
kemerdekaan terhadap agresi militer mantan penjajah masing-masing, yaitu
Belanda dan Perancis.
Latar
Belakang Sejarah
Tulisan ‘Latar
Belakang Sejarah’ yang disampaikan dalam Lampiran. Ini merupakan
ringkasan/rangkuman tulisan-tulisan saya sejak tahun 1999, baik sebagai
buku-buku maupun sebagai artikel-artikel.
Silakan lihat di::
Mengenai asal-usul nama 'Indonesia' , lihat:
Penjelasan mengenai Bangsa
Indonesia Lahir Tanggal 17 Agustus 1945, lihat:
PEDOMAN II: P A N C A S I L A
Dalam sidang pertama Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)[30]
dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, materi yang dibahas adalah dasar negara yang akan dibentuk.
Tercatat ada 32 pembicara selama empat hari bersidang. Rincian adalah, 11 orang
pembicara pada hari pertama tanggal 29 Mei, 10 orang tanggal 30 Mei, 5 orang
tanggal 31 Mei, dan 5 orang tanggal 1 Juni.[31]
Semua pembicara menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara yang akan
dibentuk, juga menyampaikan berbagai teori-teori kenegaraan.
Di atas telah
disampaikan, bahwa pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan
pandangannya mengenai dasar negara yang akan dibentuk yang disebutnya sebagai
landasan filosofis (bahasa Belanda: Filosofische
grondslag). Sukarno mengatakan a.l.:
“ ... Filosofische grondslag itulah
pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk di atasnya
didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
“Saudara-saudara.
Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan
tentang hal dasar.
Paduka Tuian Ketua
yang mulia. Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki. Paduka Tuan
Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag atau, jikalau kita boleh memakai
perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu
“Weltanschauung”, di atas mana kita
mendirikan Negara Indonesia.”
Kalimat ini mempertegas,
bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis. Negara Bangsa (Nation state) Indonesia didirikan di atas landasan filosofis
tersebut, yaitu Pancasila. Dengan demikian jelas kedudukan Pancasila tidak
dapat disamakan atau disejajarkan dengan NKRI, atau dengan “Pilar-Pilar” lain.
Sejak era Orde Lama,
Orde Baru dan di era Orde Reformasi telah sangat banyak tafsir mengenai
Pancasila. Di sini tidak lagi akan dijabarkan atau ditafsirkan Pancasila. Yang
terpenting untuk para penyelenggara negara adalah melaksanakan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar ’45 ASLI secara murni,
PEDOMAN III: NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Bentuk Negara Kesatuan ini tercantum di dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal I ayat 1, yaitu:Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik.[33]
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
adalah Negara Bangsa (Nation State), yang merupakan
persatuan dan kesatuan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia
Tenggara/Nusantara. Kerajaan-kerajaan dan Kesultanan-kesultanan di Asia
Tenggara/ Nusantara adalah negara-negara berdasarkan etnis, yang menjadi suku-suku
bangsa di dalam kerangka NKRI. Perlu dipahami dan digaris-bawahi, bahwa berdirinya
NKRI berdasarkan kesepakatan.
Penyebutan NKRI penting
dipertahankan, untuk membedakan dengan negara federal Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang adalah konsep Belanda. sebagaimana ditulis di atas, pada
awal Perang Asia-Pasifik pemerintah Nederlands
Indie (India-Belanda) menyerah kepada tentara Jepang pada 9 Maret 1942.
Negara Nederlands Indie lenyap dari
muka bumi. Pada 7 Desember 1942, bertepatan dengan peringatan satu tahun
dimulainya Perang Asia-Pasifik, Ratu Belanda menyampaikan pidato di radio di
London, di mana dia menjanjikan akan memberi kewenangan yang lebih luas kepada
pribumi di wilayah jajahannya, dan akan menghapus Undang-Undang yang
diskriminatif terhadap pribumi. Sampai tanggal menyerahnya kepada Jepang, di
wilayah jajahannya pemerintah kolonial membagi penduduk dalam tiga strata
sosial dan hukum, di mana pribumi diletakkan pada strata paling bawah, yang
disetarakan dengan anjing. Melalui jaringan intel bawah tanahnya pemerintah
Belanda di pengasingan di London mendengar perkembangan di bekas jajahannya,
bahwa Jepang akan memberi kemerdekaan kepada bekas wilayah jajahan Belanda.
pemerintah Belanda di pengasingan menggagas sistem pemerintahan yang akan dilaksanakan
di wilayah bekas jajahannya, yaitu sistem negara federal atau negara-negara
bagian.
Konsep Belanda tersebut
yang pertama kali disodorkan dalam perjanjian Linggajati tahun 1946, berhasil
diwujudkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag,
Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil KMB, dibentuk
negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diresmikan pada 27
Desember 1949. Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta, merupakan satu
dari 16 Negara Bagian RIS. RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17
Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Mengenai Negara Indonesia yang akan dibentuk
adalah Negara Bangsa (Nation state),
juga disampaikan oleh Ir. Sukarno dalam pidatonya di BPUPK tanggal 1 Juni 1945.
Sukarno mengatakan a.l.:[34]
“Dasar pertama, yang baik dijadikan
dasar buat negara Indonesia adalah kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia ... Satu Nationale Staat! (bahasa Belanda.
artinya Negara Bangsa/Negara Kebangsaan)”
Pembahasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation State), membentuk Bangsa
Indonesia serta “menciptakan” Bahasa Indonesia dimulai dalam Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia I yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I.
Pembahasan ini dimatangkan dan dirumuskan sebagai Putusan Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia II pada sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928.
Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II juga disebut sebagai Kongres Pemuda II.
Putusan Kongres Pemuda II kemudian dinamakan Sumpah Pemuda.
PEDOMAN IV: UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
tetap menggunakan Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945
beserta Penjelasannya. Penjelasan UUD ’45 adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari UUD ’45 itu sendiri, karena di dalam penjelasan tersebut ada hal-hal yang
sangat mendasar yang harus diketahui oleh para penyelenggara Negara.
Sejarah memiliki peran penting dalam menyusun
UUD ’45. Oleh karena itu, para anggota MPR RI yang akan melakukan pembahasan
mengenai UUD, harus mengetahui dan memahami sejarah di masa pra kolonialisme,
di masa kolonialisme, di masa pendudukan tentara Jepang dan di masa perang
mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949.
Misalnya ketika membahas mengenai warga
negara, mengacu pada Undang-Undang yang sangat diskriminatif di masa
kolonialisme Belanda, yang meletakkan pribumi dalam strata sosial dan hukum sebagai
warga kelas tiga, yang paling bawah, yang disetarakan dengan anjing..
Di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel,
tempat pemandian umum, gedung-gedung bioskop tertentu, bahkan di perkumpulan
olahraga elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER, yang artinya adalah TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI.
Catatan: Uraian yang lebih rinci mengenai
“Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun Undang-Undang Dasar Yang Disahkan Pada 18
Agustus 1945, lihat:
Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945, lihat:
PEDOMAN V: BHINNEKA
TUNGGAL IKA
Kalimat Bhinneka
Tunggal Ika yang menjadi semboyan masyarakat Indonesia ini telah dikenal
sejak abad 14. Kalimat ini ada di dalam karya sastra seorang pujangga di zaman
Kerajaan Majapahit, Mpu Tantular, karyanya berjudul Kakawin Sutasoma, yang
ditulis sekitar tahun 1350-an.[35]
Pada waktu itu, agama Hindu dan agama Buddha
berkembang bersamaan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Mpu Tantular sendiri
dikenal beragama Buddha. Perpaduan agama Hindu dan agama Buddha masih terlihat
di Bali. Dalam ritual-ritual keagamaan di Bali yang dikenal beragama Hindu,
masih ada unsur-unsur dari agama Buddha.
Dalam karyanya ini, Mpu tantular
menggambarkan kehidupan yang damai dan rukun masyarakat di Kerajaan Majapahit,
yang pada waktu itu sebagian beragama Hindu aliran Siwaisme dan sebagian lagi
beragama Buddha. Kalimat yang menjadi rujukan di sini tertera dalam yang
dinamakan pupuh 139, bait 5. yang
ditulis dalam bahasa Jawa kuno sebagai berikut:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
(Konon Buddha dan
Siwa merupakan dua unsur yang berbeda)
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
(Mereka memang
berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?)
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
(Sebab kebenaran
Jina/Buddha dan Siwa adalah tunggal)
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
(Terpecah belahlah
itu, tidak ada dharma/kebenaran yang mendua)
Dasar pemikiran Mpu Tantular nampaknya
bertitik tolak dari prinsip harmoni Jawa untuk menghindari konflik, dan
kemudian mengasumsikan bahwa walaupun Siwa dan Buddha berbeda, namun pada dasarnya
mereka adalah satu. Buddha adalah penamaan untuk seorang manusia yang telah
mencapai kesempurnaan, dan tidak lagi mengalami siklus lahir, dewasa, mati dan
kemudian mengalami reinkarnasi (rohnya lahir/menitis kembali) lagi. Sidharta
Gautama yang dinyatakan sebagai pendiri agama Buddha, bukanlah Buddha pertama
dan juga bukan Buddha terakhir. Menurut ajaran Buddha, akan datang lagi Buddha
Maitreya, atau Buddha Welas Asih (Kasih Sayang).
Para pendiri bangsa Indonesia sepakat
menerima usulan untuk menggunakan kalimat Bhinneka
Tunggal Ika menggunakan sebagai simbol perekat dan kesatuan bangsa
Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis agama, budaya, bahasa, dsb. Bhinneka Tunggal Ika diharapkan menjadi
simbol kerukunan masyarakat Indonesia. Bhinneka
Tunggal Ika kini diartikan sebagai:
“Walaupun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang
berbeda baik, etnis/suku, agama dan budaya, tetapi kini terhimpun sebagai satu
kesatuan.”
Semboyan ini sangat baik untuk diterapkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebagai bangsa yang baru, yang tediri
dari berbagai etnis, agama, tradisi/adat-istiadat, dll.
********
MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA
(Nation and Character
Building)
Permasalahan
yang Dihadapi Bangsa Indonesia Setelah Tahun 1950.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, gagasan
untuk mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation
state) dan membentuk bangsa serta
“menciptakan” Bahasa Indonesia telah mulai dibahas dalam Kerapatan
Pemuda-Pemudi Indonesia I dari tanggal 28 April – 1 Mei 1926. Kerapatan Pemuda
ini kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Kongres Pemuda I ini kurang
mendapat sorotan dalam sejarah pembentukan
Bangsa Indonesia, serta penetapan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Persatuan bangsa
yang akan dibentuk.
Di awal abad 20, para pemuda pribumi yang
berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, mendirikan berbagai
organisasi kepemudaan, yang masih berdasarkan etnis atau agama, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong
Islamieten Bond, Sekar Rukun (Pemuda sunda) dll. Tidak jarang terjadi
konflik di antara mereka karena latar belakang sejarah atau karena politik
pecah-belah (divide et impera) yang
dilakukan oleh penjajah.
Peran tokoh-tokoh dari Perhimpunan India (Indische Vereeniging) di Belanda sangat
besar dalam mendorong agar organisasi-organisasi pemuda pribumi yang
berdasarkan etnis dan agama dipersatukan. Awalnya adalah pendekatan-pendekatan
pribadi dari anggota-anggota organisasi-organisasi pemuda tersebut.
Akhirnya tercapai kesepakatan untuk
mengadakan pertemuan besar resmi yang dinamakan Kerapatan Pemuda-Pemudi
Indonesia Pertama, yang dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Sebagian besar pserta
Kerapatan tersebut belum fasih berbahasa Melayu, sehingga para pembicara
menggunakan bahasa Belanda. demikian juga hasil-hasil Kerapatan ditulis dalam
bahasa Belanda. Dalam kongres inilah diletakkan batu pertama untuk “MEMBENTUK BANGSA INDONESIA”, dan “MENCIPTAKAN BAHASA INDONESIA.”
Apabila dilihat dari segi logika, maka embrio
gagasan mendirikan Negara Bangsa (Nation
state) dan Bangsa Indonesia serta “terciptanya” Bahasa Persatuan ada di
Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I). Salahsatu penggagas dan
kemudian menjadi Ketua Panitia adalah Mohamad Tabrani Soerjowitjitro, seorang
pemuda asal Pamekasan, Madura. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan
“diciptakannya” Bahasa Indonesia. Semula M. Yamin menolak usulan ini dan
mengusulkan agar digunakan bahasa Melayu. Usulan Tabrani ini diterima dalam
Kerapatan Pemuda-Pemudia Indonesia II (Kongres Pemuda II). Tabrani sendiri
seuasi Kerapatan Pertama, melanjutkan pendidikan jurnalisme di Jerman, kemudian
di Belanda, sehingga tidak hadir dalam Kerapatan II bulan Oktober 1928.
Gagasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation state) dan membentuk Bangsa
Indonesia dimatangkan dalam Kerapatan Pemuda – Pemudi Indonesia II (Kongres
Pemuda II) pada 27 dan 28 Oktober 1928. Gagasan tersebut baru dikenal oleh para
tokoh dan aktifis pergerakan kemerdekaan, belum dikenal oleh seluruh rakyat di
wilayah jajahan Belanda.
Demikian juga pada saat diproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak serta-merta seluruh rakyat
Indonesia mengenal gagasan tersebut. Bahkan Bahasa Persatuan, yaitu Bahasa
Indonesia, sampai tahun 1970-an masih belum digunakan di seluruh wilayah
Indonesia, terutama oleh para lansia di daerah-daerah pedalaman, bukan hanya di
luar Jawa, melainkan juga di Jawa. Hal-hal tersebut dikarenakan masih minimnya
sarana dan prasarana komunikasi, juga masih sangat kurangnya pencerahan dari
pemerintah sejak tahun 1950-an.
Sebagai bangsa
yang baru dibentuk pada 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia dari Merauke
sampai Sabang dapat dikatakan belum memiliki rasa persatuan sebagai satu
bangsa, karena latar belakang sejarah Nusantara. Sebagaimana dijelaskan di
atas, baik di masa pra kolonialisme, maupun di masa kolonialisme,
kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara/ Nusantara masih
saling memerangi dan menjajah. Bahkan tidak jarang, penduduk dari kerajaan yang
dikalahkan, dijadikan budak oleh kerajaan yang menang. Juga akibat politik Divide et impera yang dilakukan oleh
penjajah, juga mewariskan konflik di antara beberapa etnis di Nusantara. Konflik-konflik
warisan ini perlu dijelaskan sebab-sebabnya dan disusun konsep untuk
menyelesaikannya secara menyeluruh, agar tidak terus berlarut-larut.
Selain masalah kebangsaan, juga seluruh
rakyat Indonesia masih belum memiliki kesamaan
jatidiri (karakter), seperti bangsa Jerman yang sudah merupakan masyarakat
yang homogen sejak lebih dari 1.000 tahun, baik agama,[36]
bahasa dan budaya. Demikian juga bangsa Jepang, bangsa India,[37]
bangsa Turki, dll., yang sudah merupakan masyarakat yang homogen sejak lebih
dari 1.000 tahun. Masyarakat/bangsaIndonesia pada saat ini masih merupakan
masyarakat yang heterogen. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multi ras,
etnis, multi agama, multi bahasa ibu (bahasa etnis), multi kebudayaan.
Di samping itu, sampai tahun 1950 masih
terdapat jutaan pribumi dan penduduk di wilayah Republik Indonesia yang
berpihak ke Belanda dan tidak mau mengambil kewarga negaraan Indonesia. Untuk
membentukan suatu masyarakat yang homogen dari masyarakat yang heterogen, tentu
memerlukan waktu yang panjang, melalui interaksi yang intensif.
Diperlukan suatu proses yang panjang untuk
mengubah pola berpikir dari pola berpikir “KAMI”
menjadi “KITA.” Ini salahsatu
keunggulan bahasa Indonesia, yaitu dibedakan antara “kami” dan “kita.” Dalam
bahasa Inggris, Belanda atau Jerman misalnya, kata “we” (bahasa Inggris), “wij”
(bahsa Belanda), atau “wir” (bahasa
Jerman), dapat berarti “kami” atau “kita.”
Demikianlah selintas kondisi bangsa
Indonesia, setelah menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Masih sangat banyak
permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia setelah tahun 1950. Hal ini
juga disadari oleh para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia, termasuk Presiden
Sukarno. Pada setiap peringatan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus,
Presiden Sukarno menyampaikan Pidato dengan judul yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi negara pada saat itu.
Dalam pidato tanggal 17 Agustus 1957,
Presiden Sukarno menyampaikan perlunya MEMBANGUN
BANGSA DAN KARAKTER[38]
BANGSA (Nation and Character Building).
Sukarno juga mengatakan, untuk membangun bangsa dan karakter bangsa, diperlukan
suatu Revolusi Mental.
Konsep PANCA
PEDOMAN BERNEGARA, BERBANGSA, BERMASYARAKAT yang sudah disempurnakan, dapat
menjadi landasan, pertimbangan atau masukan untuk menyusun konsep MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building), sebagaimana dicita-citakan oleh para
pendiri Negara dan Bangsa Indonesia.
Langkah-Langkah
dan Kebijakan Yang Harus Dilakukan
Konsep Membangun
Bangsa dan Jatidiri Bangsa harus diterapkan sejak dini, melalui pendidikan formal
di sekolah-sekolah. Dalam kurikulum harus dimasukkan kembali PENDIDIKAN KEWARGA
NEGARAAN dan BELA NEGARA. Sejarah kebangsaan harus diteliti ulang dan diajarkan
di sekolah-sekolah, mengganti penulisan-penulisan sejarah yang saat ini banyak
terdapat kesalahan.
Di Era Orde Baru, telah
dilakukan penjabaran Pancasila menjadi 36 Butir sebagai Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat,
yang dikukuhkan melalui TAP MPR No. II Tahun 1978 Tentang Eka
Prasetya Pancakarsa.
36 Butir penjabaran yang
dikenal sebagai P – 4. Adalah:[39]
Sila pertama dengan simbol Bintang:
1.
Bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
2.
Manusia
Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
3.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.
Membina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
5.
Agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6.
Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
7.
Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
Sila kedua dengan simbol Rantai:
1.
Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3.
Mengembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia.
4.
Mengembangkan
sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.
Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7.
Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
8.
Berani
membela kebenaran dan keadilan.
9.
Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila ketiga dengan simbol Pohon Beringin:
1.
Mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2.
Sanggup
dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3.
Mengembangkan
rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4.
Mengembangkan
rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5.
Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
6.
Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7.
Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Sila keempat dengan simbol Kepala Banteng:
1.
Sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2.
Tidak
boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3.
Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.
Menghormati
dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.
Dengan
iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
7.
Di
dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
8.
Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.
Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran
dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.
Memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
Sila kelima dengan simbol Padi Dan Kapas:
1.
Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
2.
Mengembangkan
sikap adil terhadap sesama.
3.
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4.
Menghormati
hak orang lain.
5.
Suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6.
Tidak
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain.
7.
Tidak
menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
8.
Tidak
menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9.
Suka
bekerja keras.
10.
Suka
menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
11.
Suka
melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
Tidak ada yang salah dalam 36 Butir penjabaran
Pancasila yang dirumuskan di Era Orde Baru. Kesalahannya adalah pada
pelaksanaannya yang terindikasi sebagai indoktrinasi terselubung. Badan yang
melaksanakan penataran P-4 tersebut adalah Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai BP-7. Dalam prakteknya,
penataran P - 4 dijadikan sebagai keharusan, yang tentu bertentangan dengan
butir-butir yang terkandung dalam P-4 tersebut.
Sebenarnya butir-butir penjabaran Pancasila
tersebut di atas dapat dikembangkan menjadi dasar-dasar Pendidikan Kewaga
negaraan, di samping untuk membangun bangsa, juga untuk pembentukan Jatidiri
(karakter) bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru. Ini dalam rangka
MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation
and Character Building).
Setelah Orde Baru tumbang, TAP MPR No. II
Tahun 1978 Tentang Eka Prasetya Pancakarsa dicabut melalui Tap MPR No. XVIII Tahun 1998. Dengan dicabutnya TAP MPR
No. II Tahun 1978 tersebut, maka hilang juga BP-7.
Langkah atau program lain yang dapat
dilakukan adalah pertukaran para pelajar dari satu daerah/provinsi dengan para
pelajar dari provinsi lain, baik di masa liburan sekolah, maupun dimasukkan ke
dalam program sekolah. Hal seperti yang pernah dilakukan di tahun 1960-an.
Kunjungan ke situs-situs bersejarah, baik lokal maupun nasional harus
dimasukkan dalam program sekolah-sekolah.
Masih sangat banyak cara untuk saling
mengenalkan sesama anak bangsa untuk merealisasikan kata-kata bijak: “Tak kenal maka tak sayang.”
Jakarta, 27 Juni 2020.
********
Catatan:
Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa
ada tulisan-tulisan yang akan melengkapi gagasan Panca Pedoman Berbangsa,
Bernegara, Bermasyarakat.
Tulisan-tulisan tersebut telah dimunggah ke
weblog dan juga telah disebar-luaskan ke masyarakat.
Tulisan-tulisan tersebut adalah:
1.
Mengenai asal-usul nama 'Indonesia' , lihat:
2. Penjelasan mengenai Bangsa Indonesia Lahir
Tanggal 17 Agustus 1945, lihat:
3.
Tulisan
‘Latar Belakang Sejarah’ yang
disampaikan dalam Lampiran. Ini merupakan ringkasan/rangkuman tulisan-tulisan
saya sejak tahun 1999, baik sebagai buku-buku maupun sebagai artikel-artikel.
Silakan lihat di::
Ringkasan dari buku-buku karya saya yang
menjadi sumber penulisan latar belakang sejarah adalah:
1. 10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Millenium Publishers,
Jakarta 2001. 470 halaman.
2. SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Penerbit LkiS,
Yogyakarta, 2010. 742 halaman.
3. SERANGAN UMUM 1 MARET
1949. Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat.
Penerbit Matapadi,
Yogyakarta, 2016. 316 halaman.
(Versi ringkasnya)
4. INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.
Penerbit Matapadi,
Yogyakarta, 2017. 310 halaman.
Catatan kaki:
[1] Di sini
digunakan tanda kutip pada kata “Pilar” untuk menunjukkan, bahwa sebenarnya
Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 telah memutus membatalkan/ melarang
penggunaan frasa “Pilar” untuk Pancasila. Namun MPR masih tetap menggunakan
frasa “Pilar.”
Pengertian PILAR secara umum adalah
tiang penyangga, bukan dasar.
[2] Tulisan ini
merupakan kelanjutan dan penyempurnaan tulisan terdahulu yang diposting di
weblog tanggal 15 Januari 2013 dengan judul “PANCA PILAR KEHIDUPAN BERNEGARA,
BERBANGSA DAN BERMASYARAKAT. PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945. PILAR PERTAMA BANGSA
INDONESIA”
[3] Yoseph Umar Hadi,
(Anggota MPR/DPR RI 2014 – 2019) sebut, Anggaran Sosialisasi Empat Pilar
Kebangsaan capai 1 Trilyun Per Tahun.
[5] Lihat: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegar: “Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dasar normatif dampak
putusan MK terhadap penggunaan istilah Empat Pilar. Putusan MK telah sesuai
dengan kaidah logika bahasa hukum dan kaidah yang berlaku terkait dengan konsep
dan hakikat Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat
dikategorikan menjadi satu varian yang sama. Dalam hal ini MPR RI telah
melakukan kesalahan logika bahasa dalam menggunakan istilah 4 Pilar MPR RI.
[7] Dalam Sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, ketika membahas Pembukaan
Undang-Undang Dasar, I Gusti Ktut Pudja mengusulkan, agar kalimat alinea
ketiga: “Atas berkat Allah Yang Maha Esa” diganti menjadi “Tuhan Yang Maha
Kuasa.” Usul ini diterima oleh sidang dan disahkan oleh Ketua PPKI Sukarno.
Lihat: Risalah Sidang badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, (PPKI). Sekretariat Negara
Republik Indonesia. Jakarta, 1998. Halaman 537.
[8] Penjelasan tentang
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Dasar yang disahkan pada
18 Agustus 1945.
[9] Penjelasan yang rinci,
lihat: Batara R. Hutagalung, ‘INDONESIA
TIDAK PERNAH DIJAJAH’, Penerbit Matapadi, Yogyakarta, Desember 2017, 316
halaman.
[10] Pada 16 Agustus 2005
Menlu Belanda, Ben Bot (waktu itu) di Jakarta menyampaikan secara lisan, bahwa
mulai saat itu, tahun 2005, pemerintah Belanda menerima Proklamasi 17 Agustus 1945 secara politis an moral.
Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, di Den Haag dia menyatakan
dengan jelas, bahwa pemerintah Belanda akan MENERIMA DE FACTO proklamasi 17.8. 1945. Hal ini tentu sangat aneh,
karena dalam persetujuan Linggajati bulan November 1946, pemerintah Belanda
bahkan MENGAKUI de facto wilayah Indonesia adalah Sumatera, Jawa dan Madura.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Raja Belanda Willem Alexander mengulangi
pernyataan Menlu Ben Bot, bahwa pemerintah Belanda MENERIMA Proklamasi
kemerdekaan Indonesia 17.8.1945 secara politis dan moral. Jadi Belanda tetap tidak mau mengakui de jure
kemerdekaan NKRI 17.8.1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan
Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda
“memindahkan” kedaulatan dari pemerintah Nederlands Indie (India Belanda)
kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan
berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi
17.8.1945.
[11] Pada waktu itu belum
ditulis nama Indonesia, melainkan hanya BPUPK (bahasa Jepang: Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Ada juga
yang menulis Dokuritsu Zyunbi Cosakai),
bukan BPUPKI.
[12] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Halaman 11.
[14] Dalam buku Risalah Sidang
BPUPKI ditulis ‘Philosifische’,
dengan huruf-huruf “Ph.” Dalam bahasa Belanda tidak ditulis dengan huruf-huruf
“Ph”, melainkan dengan huruf “F.” Jadi penulisannya yang benar adalah ‘Filosofische grondslag.’
[16] 5 sila dalam
Pancasila Buddhis (dalam bahasa Pali) tersebut adalah:
-
Pannatipata
veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
-
Adinnadana
veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
-
Kamesu
micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.
-
Musavadha
veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan
melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.
-
Surameraya
majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya
saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengonsumsi segala zat yang
dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
[17] Lihat: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyar Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pencabutan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik
Indonesia Nomor
II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (Ekaprasetia
Pancakarsa) dan Penetapan Tentang Penegasan Pancasila
Sebagai Dasar Negara.
[18] MK Batalkan Empat Pilar
Berbangsa-Bernegara. Republika, Kamis , 03 Apr 2014, 18:40 WIB
[19] Materi Sosialisasi Empat
Pilar MPR RI. Sekretaria Jenderal MPR
RI. Cetak kesembilan, April 2019. Halaman 27.
[26] Ketika Sneevliet
membawa gagasan komunis ke Nederlands Indie, belum ada satupun negara di dunia
yang memakai sistem komunis. Sneevliet hanya memwawa “angin surga” gagasan
“samarata-samarasa komunisme” kepada beberapa remaja pribumi yang terpesona
dengan gagasan tersebut.
[30] Pada waktu itu belum
disebut nama Indonesia, jadi nama badan tersebut hanya Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan (?Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)., yang dibentuk oleh
pemerintah militer Jepang di Jawa, yaitu Tentara XVI Jepang. Di Sumatera,
pemerintah militer di bawah Tentara XV juga membentuk BPUPK, namun tidak
diberitakan mengenai kelanjutan BPUPK di Sumatera.
[31] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1998. Halaman xxxii.
[32] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1998. Halaman 90.
[33] Dicantumkannya Bentuk
Negara Kesatuan berbentuk Republik untuk menegaskan pembahasan dalam sidang
BPUPK, di mana dibahas a.l. usulan bentuk negara adalah kerajaan.
Di masa Perang Dunia II, pemerintah Belanda melarikan diri ke Inggris.
Sementara dalam pengasingan di Inggris, pemerintah Belanda merencanakan,
setelah usai Perang dunia, akan membentuk “Persemakmuran bersama “ (common
wealth) yang terdiri dari Belanda, Indonesia, Suriname dan Curacao, di bawah
naungan Belanda. dalam pidato radionya di London tanggal 7 Desember 1942, ratu
Belanda pertama kali menggunakan namas Indonsia, dan bukan Nederlands Indie.
Juga dirancang, Indonesia akan dibagi menjadi daerah-daerah otonom, seperti
layaknya suatu Negara Federal. Rencana ini berhasil direalisasikan oleh Belanda
dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana sebagai hasil KMB, dibentuk Neraga
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 16 Aguasutus 1950 RIS dibubarkan dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan
berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945.
[34] Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik
Indonesia, 1998. Halaman 92 dan 93.
[35] Waskito, “Perenialisme Tertua.”
[36] Secara keseluruhan,
masyarakat Jerman beragama Kristen, baik Kristen Katholik di jerman bagian
selatan, maupun Kristen Protestan (aliran Lutheran) di Jerman bagian utara.
[37] Setelah pemisahan
Pakistan, maka mayoritas masyarakat Indiea beragama Hindu. Selain bahasa
nasional Hindi, masih ada bahasa-bahasa dari Sub-etnis.
[38] Presiden Sukarno menyebut
‘Karakteer” yang sama dengan kata Character dalam bahasa Inggris. Kini, untuk
kata Character dari bahsa Inggris digunakan kata JATIDIRI dalam bahasa
Indonesia.