Monday, June 01, 2020

Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD '45 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945


PERAN PENTING SEJARAH DALAM MENYUSUN UUD 1945
YANG DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945


Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)


Pengantar

MPR RI periode 1999 – 2004 telah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45). Perubahan dilakukan empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002.

Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 terdiri dari:

1.   Pembukaan,
2.   Batang Tubuh
-      16 Bab,
-      37 Pasal,
-      49 Ayat,
-      4 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Ayat Aturan Tambahan
3.   Penjelasan

Setelah dilakukan perubahan, UUD yang dinamakan UUD NRI menjadi:

1.   Pembukaan,
2.   Pasal-Pasal,
-      21 Bab,
-      73 Pasal,
-      179 Ayat
-      2 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Pasal Aturan Tambahan

Perubahan yang sangat signifikan adalah dihapuskannnya “Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar.’ Dalam UUD Republik Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945 penjelasan tentang UUD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan dan Batang Tubuh UUD '45. Penjelasan ini sangat penting, bukan hanya memberi keterangan yang lebih rinci mengenai Pasal-Pasal dan Ayat-Ayat yang telah disahkan, melainkan juga menerangkan latar belakang sejarah dirumuskannya pasal dan ayat serta menjelaskan tujuan mendirikan Negara Indonesia yang merupakan Negara Bangsa (Nation State). Juga menyampaikan garis besar kebijakan yang harus dilakukan oleh Negara, termasuk kebijakan dalam bidang ekonomi kerakyatan yang sesuai dengan UUD ’45 Pasal 33. Dalam penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 ditulis a.l.:[1]

UMUM

I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.

Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.

Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.

Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.

II.Pokok-pokok pikiran dalam pembukaan.
Apakah pokok-pokok yang terkandung dalam pembukaan Undang-undang Dasar.

1. "Negara" --begitu bunyinya-- yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian "pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.

2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

III.Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam "pembukaan" dalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang Dasar Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang Dasar), maupun hukum yang tidak tertulis.
Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.

IV.Undang-undang Dasar bersifat singkat dan supel.
Undang-undang Dasar hanya memuat 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka rencana ini sangat singkat jika dibandingkan misalnya dengan Undang-undang dasar Filipina.
Maka telah cukup jikalau Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi, kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain penyelenggara Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru dan Negara Muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok, sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut.
Demikianlah sistim Undang-undang Dasar.

Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh, zaman berubah terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang ini.
Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis, harus melihat segala gerak-gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia. Berhubung dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi, memberi bentuk, (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah berubah.
Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat.

Oleh karena itu, makin "supel" (Elastic) sifatnya aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistim Undang-undang Dasar jangan sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membikin Undang-undang yang lekas usang ("verouderd").

Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidup Negara, ialah semangat, semangat para penyelenggara Negara, semangat para Pemimpin pemerintahan. Meskipun dibikin Undang-undang Dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara Negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, Undang-undang Dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek.

Sebaliknya meskipun Undang-undang Dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, Undang-undang Dasar itu tentu tidak akan merintangi jalannya Negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan, dinamic.

Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok-pokok saja harus ditetapkan dalam Undang-undang Dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu harus diserahkan kepada Undang-undang.

Demikian a.l. yang tertulis dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Negara Indonesia.

Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia selama puluhan tahun, sejak awal abad 20 bukan hanya sekadar membaca buku-buku di Nederlands Indie (India-Belanda), di wilayah jajahan Belanda, melainkan menimba ilmu dan melakukan penelitian di beberapa negara di Eropa. Mereka berinter-aksi dengan para aktifis gerakan anti imperialisme dan anti kolonialisme.  Hasil-hasilnya ditulis dan disebarluaskan melalui media-media yang tersedia pada waktu itu. Pengalaman dan pengetahuan mereka yang menjadi dasar menyusun Undang-Undang dari Negara yang akan dibentuk. Jadi sangat salah apabila ada pendapat yang mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia disusun hanya dalam beberapa hari. Bahkan ada seorang tokoh senior yang menulis, bahwa Undang-Undang Dasar Republik disusun hanya dalam 8 jam, yaitu pada waktu ditetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.

Semua pasal dan ayat yang dirumuskan bukan tanpa alasan, melainkan dengan pertimbangan yang matang dan sudah melalui pembahasan panjang, bahkan sebelum dimulainya penyusunan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Dalam sidang-sidang dan di sela-sela sidang Badan yang menyusun rancangan Undang-Undang Dasar tersebut, juga dilakukan pembahasan serta perdebatan sengit. Apabila terjadi kebuntuan dalam sidang dan tidak tercapai musyawarah, maka dilakukan voting, antara lain ketika menentukan bentuk Negara yang akan didirikan, yaitu apakah bentuk Kerajaan atau Republik atau bentuk lain. Mayoritas sidang memilih bentuk negara yang akan didirikan adalah Republik.

Salahsatu dasar penting dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 adalah sejarah Nusantara, baik di masa pra kolonialisme, di masa kolonialisme Belanda dan di masa pendudukan tentara Jepang. Selain tercantum dalam Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK),[2] hal-hal tersebut di atas juga dapat dibaca di buku-buku yang ditulis oleh para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia.


Risalah Sidang BPUPK dan PPKI 
(Untuk memperbesar, silakan klik fotonya)


Mereka yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945,
bukan hanya harus mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, melainkan juga harus mengetahui perkembangan sejarah Indonesia sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yaitu di masa perang mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, di masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), 27.12.1949 – 16.8.1950 dan di masa pemerintahan kabinet parlementer NKRI, 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, di mana berlaku Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang masih disusun parlemen RIS.

Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom, di mana Republik Indonesia dengan Ibukotanya Yogyakarta, adalah satu dari 16 Negara Bagian tersebut. 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom adalah bentukan Belanda. Di banyak Negara Bagian/Daerah Otonom duduk orang-orang Belanda dalam pemerintahan. Belanda sangat berperan dalam mengangkat wakil-wakil dari Negara Bagian/Daerah Otonom untuk menjadi anggota parlemen dalam Parlemen RIS. Dengan demikian, mayoritas anggota Parlemen RIS berasal dari Negara-Negara bagian/Daerah Otonom yang dibentuk oleh Belanda.

Sukarno menandatangani UUDS pada 15 Agustus 1950 masih sebagai Presiden RIS. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) yang disusun oleh parlemen RIS, digunakan oleh NKRI sampai tanggal 5 Juli 1959, tanggal dikeluarkannya Dekrit Presiden. Di dalam UUDS yang berlaku pada waktu itu, tidak dikenal adanya Dekrit untuk mengubah UUDS. Oleh karena itu perlu kiranya diketahui, mengapa sampai dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk Kembali Ke UUD ’45.

Kemudian juga penting diteliti periode setelah tahun 1965, mengapa timbul tuntutan untuk dilakukannya perubahan UUD ’45, yaitu periode Orde Baru1965 – 1998 dan sampai pada waktu dimulainya pembahasan tahun 1999 untuk mengubah UUD ’45 yang disahkan pada 17 Agustus 1945.


Sekilas Sejarah Penjajahan Bangsa-Bangsa Eropa

Sejarah penjajahan (kolonialisme) oleh bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara yang kemudian menjadi wilayah Republik Indonesia, dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis di Maluku tahun 1512. Kemudian berturut-turut datang bangsa Spanyol, Inggris dan terakhir bangsa Belanda. Perancis sempat menguasai wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggra, yaitu ketika Belanda diduduki oleh Perancis di masa kejayaan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) di Eropa.

Tujuan bangsa-bangsa Eropa sejak awal bukanlah untuk berdagang, melainkan untuk menguasai wilayah-wilayah di luar Eropa. Hal ini dapat dilihat dari Traktat Tordesillas (Tordesillas Treaty) yang disepakati oleh dua kekuatan dunia waktu itu, Portugal dan Spanyol. Dalam rangka mencari wilayah untuk dijadikan pemukiman (koloni) bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol yang adalah bertetangga di Eropa selatan, mereka saling berperang. Untuk mengakhiri pertikaian tersebut, kedua negara Katholik tersebut sepakat untuk membuat perjanjian. Dengan difasilitasi oleh Paus Alexander VI, pada 7 Juni 1494 di kota Tordesillas, Spanyol ditandatangani kesepakatan untuk membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan kedua negara tersebut di luar Eropa.

Patokannya adalah Kepulauan Tanjung Verde di sebelah barat pantai Afrika. Sekitar 39°53'BB. Belahan dunia di luar negara-negara Eropa sebelah timur menjadi “milik” Portugis dan “separuh dunia” di sebelah barat Kepulauan Verde menjadi “milik” Spanyol. Namun ketika mereka bersaing lagi di Maluku sejak tahun 1521, dibuat perjanjian baru yaitu Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. di mana Maluku “diserahkan” kepada Portugis. Spanyol menyingkir ke Filipina dan kemudian menjadi penjajah di Filipina.

Negara-negara Eropa lain tidak mengakui Perjanjian Tordesillas dan Zaragoza, sehingga dalam memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa, mereka saling berperang, merampok dan membunuh. bahkan menjual tawanan-tawanan prang sebagai budak, seperti yang dilakukan oleh Belanda. Selama lebih dari 250 tahun, Belanda adalah pedagang budak terbesar di dunia. Melalui perang dan perjanjian-perjanjian, awal abad 20, dengan pengecualian Timor Timur yang dikuasai oleh Portugis, Belanda menjadi penguasa tunggal di wilayah Asia Tenggara yang kemudian menjadi Nederlands Indie (India – Belanda).

Bangsa Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Asia Tenggara, tepatnya di Banten, tahun 1596. Pada 20 Maret 1602, di Belanda didirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oost-indische Compagnie – VOC. VOC memperoleh piagam (Ooktroi) dari penguasa di Belanda, Staatengeneraal seperti layaknya suatu negara, yaitu:[3]
-      berhak memiliki tentara,
-      berhak mencetak mata uang sendiri,
-      berhak memungut pajak,
-      berhak melakukan perjanjian dengan suatu negara,
-      berhak menyatakan perang terhadap suatu negara, dll.

Kepala Kantor Dagang Pusat bergelar Gubernur Jenderal, dan Kepala Kantor Dagang Cabang bergelar Gubernur. Semula VOC membuka kantor dagangnya di Banten. Kemudian VOC meminta izin kepada Pangeran Jayakarta untuk membuka kantor dagang di Jayakarta. Setelah mendapat izin, VOC mendirikan kantor berfondasi Batu dan berdinding kayu. Kemudian VOC menyewa lahan 1,5 hektar dan membangun kantor dan gudang yang kokoh seperti suatu benteng, dengan tembok setinggti 7 meter. Dari “kantor dagang” ini VOC di bawah Gubernur Jenderal VOC ke 4, Jan Pieterszoon Coen (1587 - 1629) menyerang tuan rumah, dan berhasil mengalahkan Jayakarta pada 30 Mei 1619. Dengan demikian, tanggal 30 Mei 1619 adalah awal penjajahan Belanda di Asia tenggara/Nusantara. “Bapak” penjajahan Belanda adalah jan Pieterszoon Coen (JPC). Semboyan JPC adalah: “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” artinya “jangan putus asa, jangan beri ampun musuhmu, karena Tuhan bersama kita.” Semboyan JPC yang kejam ini yang dipakai Belanda sampai menyerah kepada tentara Jepang di Kalijati, Jawa Barat pada 9 Maret 1942.[4]

Komoditi utama yang diperdagangkan oleh Belanda sejak tahun 1600 selain rempah-rempah adalah budak dan candu (opium). Harga rempah-rempah terutama cengkeh dan pala di Eropa dapat mencapai 400 kali lipat dari harga pembelian di Maluku/Kepulauan Banda. Ukuran kekayaan pada waktu itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pemerintah kolonial memegang monopoli perdagangan candu. Dengan praktek-praktek “dagang” yang sangat agresif dan brutal, dalam waktu singkat VOC menjadi perusahaan raksasa. Tahun 1637 VOC menjadi perusahaan terkaya sepanjang masa. Nilai asetnya apabila dikonversikan dengan nilai ekonomi abad 21, mencapai 7,9 TRILIUN US $. Tidak ada satupun perusahaan raksasa multi nasional sekarang yang dapat mencapai prestasi kekayaan VOC tahun 1637. Oleh karena itu, Belanda menyatakan zaman VOC sebagai “zaman keemasan” (de gouden eeuw). Ini tentu sangat ironis. Kekayaan yang diperoleh penjajah bukan hanya melalui perdagangan rempah-rempah, melainkan juga dengan perdagangan narkoba (candu) dan memperjual-belikan manusia serta berhasil memegang monopoli perdagangan melalui perang, pembunuhan, bahkan genosida terhadap etnis Wandan (penduduk Kepulauan Banda), diglorifikasi oleh pemerintah dan rakyat Belanda di abad 20/21 sebagai “zaman keemasan.” Di abad 19, kontribusi keuntungan dari Nederlands Indie (India Belanda) terhadap APBN Negara Belanda mencapai 12,5 %. Sampai tahun 1939, kontribusi dari Nederlands Indie terhadap APBN Belanda masih 9%.

Praktek-praktek penjajahan Belanda yang sangat kejam, yang di beberapa wilayah di Asia Tenggara berlangsung selama lebih dari 300 tahun, tepatnya di Jayakarta (sekarang Jakarta) dan di Kepulauan Banda, telah membangkitkan rasa kebencian terhadap penjajah dan kaki-tangannya. Hukuman mati yang paling kejam dan sadis adalah penyulaan (silakan cari di google dengan memasukkan kata kunci “penyulaan”). Di wilayah jajahan Belanda, selama lebih dari 200 tahun, yaitu dari tahun 1642 – 1860 resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Seperti ditulis di atas, ukuran kekayaan di masa itu adalah jumlah budak yang dimiliki oleh seseorang. Pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Tentara Belanda yang menangkap orang-orang yang akan dijadikan budak, kebanyakan dari daerah-daerah yang mereka taklukkan.  Ada juga raja-raja dan penguasa setempat yang menjual rakyatnya sebagai budak.

Bulan Mei 1619 terjadi genosida, pembantaian etnis Wandan, penduduk asli Kepulauan Banda. Diperkirakan sekitar 13.000 penduduk tewas dibantai dengan sadis, sekitar 1.000 orang berhasil menyelamatkan diri ke pulau-pulau yang berdekatan, kemudian sisanya sekitar 870 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dibawa ke Batavia dan dijual sebagai budak. Ketika wilayah jajahan Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis, Herman Willem Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal. Untuk kepentingan pertahanan, tahun 1809, dia membangun jalan Raya Pos sepanjang 1.000 km dari Anyer ke Panarukan. Dia memberlakukan sistem Rodi, yaitu kerja paksa dengan kondisi yang sangat tidak manusiawi. Hal ini mengakibatkan ribuan pekerja pribumi meninggal.

Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang diberlakukan antara tahun 1830 – 1870 membawa keuntungan yang luar biasa besarnya untuk penjajah. dalam kurun waktu 40 tahun pelaksanaan sistem Tanam Paksa, keuntungan bersih (bahasa Belanda: Batig slot) yang diperoleh penjajah sekitar 850 juta gulden. Tahun 1992 ada yang mengkonversikan dengan index perekonomian tahun 1996. Nilainya sekitar 15,5 milyar gulden. Namun sistem tanam paksa yang membawa keuntungan besar untuk penjajah, menimbulkan kesengsraan untuk pribumi yang dijajah. Tahun 1949 di Grobogan ribuan orang mati kelaparan. Kelaparan juga terjadi di Cirebon dan daerah-daerah lain.

Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang membagi penduduk menjadi tiga golongan, yaitu:
1.   Bangsa Eropa (Europeanen). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.
2.   Timur asing (bangsa Cina dan bangsa Arab).
3.   Pribumi (Inlander).

Tahun 1926 Peraturan Pemerintah ini dikukuhkan sebagai Peraturan Negara (Staatsregeling).

Dalam Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik, tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.[5] Sampai tanggal 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel, tempat pemandian umum, bioskop, bahkan di perkumpulan olahraga, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER. Artinya, TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang ada di dalam gedung-gedung, hotel dsb., hanyalah para jongos.

Setelah selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi di wilayah jajahan Belanda naik tingkat menjadi jongos di negeri sendiri. Hal-hal tersebut di atas tentu sangat menyakiti perasaan dan harga diri para pribumi, yang sebenarnya adalah pewaris dan pemilik negeri ini. Pribumi mengalami diskriminasi rasial yang luar biasa besarnya di negeri sendiri, bahkan tidak dinilai sebagai manusia, melainkan disetarakan dengan anjing.

Demikian sekilas mengenai kekejaman dan diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap pribumi di zaman kolonialisme Belanda di Asia tenggara. Hal-hal tersebut di atas yang membangkitkan kesadaran dan semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan asing



Judul buku yang terbit di Belanda.
Artinya: Terlarang Untuk Anjing dan Pribumi.
(Untuk memperbesar, klik fotonya)


SEJARAH PENYUSUNAN UUD ’45 ASLI

Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa mereka yang melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya mengetahui latar belakang penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yaitu sejarah penjajahan di Nusantara sampai tahun 1945, dan sejarah indonesia, baik di masa perang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta kaki-tangannya antara tahun 1945 – 1949, maupun sejarah Indonesia dari tahun 1949 sampai dimulainya pembahasan perubahan UUD pada tahun 1999.

Untuk memenuhi janji akan memberikan kemerdekaan kepada penduduk di wilayah bekas jajahan Belanda, pada 29 April 1945 pemerintah militer Jepang, dalam hal ini pimpinan Tentara XVI Angkatan Darat Jepang di Pulau Jawa membentuk yang dinamakan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan - BPUPK (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). awalnya beranggotakan 60 orang dan 7 orang pengamat dari militer Jepang. Kemudian keanggotaan dari pihak pribumi ditambah 6 orang menjadi 66 orang. Pada waktu itu belum dicantumkan nama INDONESIA, jadi bukan BPUPKI. Melainkan hanya BPUPK.Para anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945.

Pemerintah militer Jepang masih ikut menyusun keanggotaan BPUPK, di mana di dalam jumlah 60 orang tersebut dimasukkan juga 4 orang yang mewakili bangsa Cina, satu orang mewakili bangsa Arab, yaitu Abdurrahman Baswedan. Wakil keturunan Indo-Eropa/Belanda adalah Pieter Frederik Dahler. Wakil-wakil bangsa Cina dipilih yang pro Jepang, yaitu Oey Tjong Hauw, pendiri organisasi bangsa Cina  Chung Hua Hui. Di jaman Jepang, dia menjadi anggota Badan Penasihat Jepang, mewakili bangsa Cina di Jawa Tengah. Oey Tjong Hauw adalah putra dari Oey Tiong Ham, konglomerat terkaya di Asia Tenggara di awal abad 20. Oey Tiong Ham mulai membangun imperium bisnisnya dengan perdagangan candu (opium) yang pada waktu itu sangat menguntungkan. Kemudian ada Oey Tiang Tjoei, yang di zaman Jepang menjadi anggota Badan Penasihat mewakili bangsa Cina di Jawa Barat. Selain itu ada Tan Eng Hoa dan Liem Koen Hian.


Dalam BPUPK para anggota dari pribumi terdiri dari golongan nasionalis dan golongan agama (Islam). Tidak ada seorangpun dari golongan kiri, yaitu sosialis atau komunis. Satu orang wakil bangsa Cina, Liem Koen Hian ternyata adalah agen Cina komunis RRC. Namun selama persidangan dia berhasil menutup identitasnya. Keterangan lebih lanjut mengenai Liem Koen Hian ada di bawah ini.


Di Sumatera, pada 25 Juli 1945 pemerintah militer di bawah Tentara XV Jepang juga membentuk BPUPK. Ketuanya adalah Mohammad Sjafei. Namun tidak terdengar kelanjutannya. BPUPK di Pulau Jawa mulai bersidang pada 29 Mei 1945. Sampai tanggal 1 Juni, dibahas mengenai dasar dari negara yang akan didirikan.

Sejarah PRIBUMI[6] di Nusantara di masa penjajahan, yaitu sejarah leluhur Bangsa Indonesia, menjadi salah-satu landasan penting untuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) dalam menyusun Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Demikian juga perjuangan para pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda untuk membentuk BANGSA INDONESIA dan mendirikan satu NEGARA BANGSA (Nation State) sejak awal abad 20, sangat memengaruhi penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Bekas wilayah Nederlands Indie (India Belanda), yaitu wilayah bekas jajahan Belanda, masih diduduki oleh tentara Jepang, dengan pemerintah yang dipimpin oleh militer Jepang. Penyusunan draf Undang-Undang Dasar  yang akan menjadi UUD negara Indonesia disusun mulai tanggal 29 Mei 1945, masih dalam situasi Perang Dunia II/Perang Pasifik. Di Eropa, Jerman sudah menyerah tanpa syarat pada 8 Mei 1945. Di Asia-Pasifik Jepang masih mengadakan perlawanan terhadap tentara Sekutu sampai tanggal 15 Agustus 1945..

Tujuan para pendiri negara dan bangsa mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation State) Indonesia sebagaimana ditulis dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar, dituangkan dalam Pokok-pokok Pikiran di dalam penjelasan tersebut, yaitu:

1. "Negara" --begitu bunyinya-- yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian "pembukaan" itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.

2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam "pembukaan" ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur ...”

Demikian kutipan dari Penjelasan UUD ’45 ASLI. Penjelasan tersebut di atas adalah penjabaran Pancasila untuk menerangkan tujuan mendirikan Negara. Pancasila dimasukkan dalam Pembukaan UUD ’45.

Merujuk pada Butir 3 Penjelasan UUD ’45 di atas , yaitu “Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia,” maka pemilihan presiden dan Kepala Daerah secara langsung telah bertentangan dengan UUD ’45 ASLI.

Pada UUD ’45 ASLI, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara, menjadi hanya Lembaga Tinggi di UUD 2002, di mana kewenangannya yang mendasar dipangkas, yaitu Pasal 1 Ayat 2: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Di UUD 2002 Pasal 1 Ayat 2 diubah menjadi:”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Tidak ada satupun Pasal dan Ayat du UUD 2002 yang menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 3, yaitu “Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN’). GBHN dihapus dan tidak ada di UUD 2002. Yang ketiga adalah Pasal 6 ayat 2, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Pasal 3 Ayat 2 diubah menjadi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Peraturan perundang-undangan dari zaman penjajahan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan ORANG-ORANG BANGSA INDONESIA ASLI dan siapa orang-orang bangsa lain yang DAPAT menjadi warga negara Indonesia. Hal ini merupakan sikap para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia terhadap peraturan negara (Staatsregeling) pemerintah kolonial yang sangat diskriminatif bahkan rasialis terhadap pribumi, yang adalah pemilik negeri ini.

Hal ini tertera dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara. Ditulis:[7]

 “...Sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu, pembahasan masalah warganegara dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK PENDUDUK. Penduduk golongan Bumiputra dengan sendirinya menjadi warganegara. Penduduk golongan Timur Asing keturunan Arab – yang diwakili oleh A.R. Baswedan meminta dengan tegas agar mereka dinyatakan sebagai warganegara, dengan alasan demikianlah ajaran Islam serta tradisi Arab. Penduduk golongan Timur Asing keturunan Tionghoa terbagi, antara mereka yang berkehendak  dinyatakan sebagai warganegara – diwakili oleh Liem Koen Hian- dan mereka yang tidak ingin menjadi warganegara, diwakili oleh Oey Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoey dan Tan Eng Hoa. Sedangkan penduduk keturunan Eropa – yang diwakili PF Dahler- meminta agar dinyatakan menjadi warganegara Indonesia.” [8]

Catatan: Belakangan terungkap, bahwa ternyata Liem Koen Hian seorang komunis. Tahun 1951 Liem Koen Hian ditangkap sebagai agen Cina komunis RRC. Hingga meninggal, dia tidak mau menjadi warganegara Republik Indonesia dan menjadi warga negara RRC.[9]

Apabila tidak mengetahui sejarah penjajahan, perbudakan, yaitu pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, diskriminasi terhadap pribumi, yaitu pribumi menjadi warga kelas tiga, maka tidak akan mengetahui maksud kalimat:
“...Sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu, pembahasan masalah warganegara dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK PENDUDUK ...”

Pertimbangan yang berlatar belakang sejarah penjajahan, perbudakan dan diskriminasi terhadap pribumi di masa penajahan menjadi dasar untuk merumuskan dan menetapkan Pasal 6 ayat 1, yaitu: “Presiden ialah ORANG INDONESIA ASLI.” Dan Pasal 26 ayat 1 mengenai warga negara, yaitu: “Yang menjadi warga negara ialah ORANG-ORANG BANGSA INDONESIA ASLI dan ORANG-ORANG BANGSA LAIN yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.”

Dalam Penjelasan UUD ’45 ASLI mengenai Pasal 26 ayat 1 ditulis: “ORANG-ORANG BANGSA LAIN, MISALNYA PERANAKAN BELANDA, PERANAKAN TIONGHOA DAN PERANAKAN ARAB yang bekedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia DAPAT menjadi warga negara.”

Demikian penjelasan dalam UUD ’45 ASLI. Dengan demikian jelas adanya, bahwa para pendatang DAPAT menjadi warga negara, namun mereka bukan ORANG INDONESIA ASLI.

Mengenai definisi pendudk asli/pribumi (Indigeneous people), dapat dipakai konvensi PBB mengenai pribumi, yaitu ‘masyarakat yang telah bermukim di suatu wilayah sebelum kolonialisme.’ Mengenai batasannya dapat berpatokan pada Resolusi organisasi-organisasi pemuda  pribumi yang dcetuskan dalam Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober 1928, yaitu akan mengaku SATU NUSA, SATU BANGSA dan menjunjung tinggi BAHASA PERSATUAN, INDONESIA.

Masalah kewarganegaraan keturunan Arab dan keturunan Indo-Eropa selesai disusun dalam draf UUD yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Namun masalah kewarga negaraan bangsa Cina yang ada di Indonesia tidak selesai sampai disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Kewarga-negaraan bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia tidak jelas, bahkan semakin mengambang dengan datangnya bangsa Belanda ke Republik Indonesia setelah Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Belanda menganggap bahwa wilayah bekas jajahannya masih milik Belanda, sehingga semua penduduknya dianggap sebagai warga negara Nederlands Indie, termasuk bangsa Cina. Pada waktu itu, sebagian terbesar bangsa Cina lebih memilih berpihak kepada Belanda, dan bahkan dibentuk pasukan milisi bangsa Cina, Po (Pao) An Tui, yang ikut berperang di pihak Belanda selama masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia 1945 - 1949.

Masalah bangsa Cina di Republik Indonesia berlarut terus sampai tahun 1950-an. Untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan bangsa Cina yang tinggal di Indonesia, baru dibahas di sela-sela Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung bulan April 1955. Dicapai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah RRC yang diwakili oleh Perdana Menteri Chou Enlai. Disepakati bahwa bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia diberi waktu sampai bulan Januari 1960 untuk memilih, apakah akan memilih menjadi  warganegara Indonesia atau memilih menjadi warganegara RRC.

Sampai bulan November tahun 1959, sebagian besar bangsa Cina di Indonesia tetap tidak ingin menjadi warga negara Indonesia, Atas desakan berbagai kalangan pribumi yang menginkan adanya keputusan yang tegas, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10 bulan November tahun 1959 tentang larangan bagi orang asing untuk berdagang di luar Ibukota Kabupaten (dahulu Karesidenan). Akibatnya, sekitar 200.000 bangsa Cina memilih kembali ke RRC, dan sisanya mengajukan permohonan untuk menjadi warganegara Indonesia. Dengan demikian, mereka yang telah menjadi wargenagara Republik Indonesia, dapat berdagang sampai ke pelosok-pelosok desa di Indonesia.


Dekrit Presiden 5 Juli 1959: KEMBALI KE UUD’45.

Pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959, yang inti isinya adalah KEMBALI KE UUD 1945. Tentu sangat penting untuk diketahui juga latar belakang dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada waktu itu berlaku UUD Sementara, yang disusun oleh Anggota DPR RIS (Republik Indonesia Serikat).

RIS dibentuk sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda 23 Agustus – 2 November 1949. Di KMB, dicapai kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia, Perwakilan dari BFO (Bijeenkommst voor Federaal Overleg) dan Pemerintah Belanda. BFO (Musyawarah Konsultasi Pemerintah Federal) yang dibentuk oleh Belanda, mencakup 15 Negara2 Bagian dan Daerah2 Otonom.

Pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, dilakukan “Pemindahan Kedaulatan” (Transfer of Sovereignty) dari Pemerintah Nederlands Indië (India Belanda) kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). “Pemindahan Kedaulatan” tersebut BUKAN KEPADA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (RI).

Oleh karena itu, hingga detik ini, Juli 2019, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda hingga saat ini, kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yang dianggap sebagai “hadiah” dari Belanda

RIS terdiri dari 16 Negara Bagian. RI adalah salahsatu Negara Bagian RIS. Presiden RIS adalah Ir. Sukarno. Ibukota RIS adalah Jakarta. Pemerintahan RIS berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana Menteri RIS pertama adalah Drs. M. Hatta.

Pemangku jabatan Presiden RI adalah Asaat Datuk Mudo, SH. Ibukota RI adalah Yogyakarta.

Karena RIS dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah Nederlands Indië, maka pemerintah RIS harus menanggung utang pemerintah Nederlands Indië sebesar 4,5 milyar gulden (setara 1,1 milyar US $). Di dalam jumlah tersebut, termasuk biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Indonesia dari tahun 1945 – 1949. 

Beberapa bulan setelah berdirinya RIS, beberapa negara Bagian RIS dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan kemudian semua bergabung dengan RI. Pada bulan Mei 1950 tiga negara Bagian yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur  (NIT) sepakat untuk membubarkan RIS dan mendukung dinyatakan tegaknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI bedasarkan proklamasi 17 Agustus 1945. NST dan NIT kemudian bergabung dengan RI.

Tanggal 19 Mei 1950 tercapai kesepakatan antara Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI untuk menandatangani Piagam pengesahan UUD Sementara yang akan berlaku untuk Republik Indonesia setelah RIS dibubarkan. Tanggal 15 Agustus 1950 Presiden RIS Sukarno menandatangani UUD Sementara RI. Tanggal 16 Agustus 1950 Presiden RIS Ir. Sukarno resmi menyatakan pembubaran RIS.

Tanggal 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Republik Indonesia berbentuk kesatuan, berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemerintahan RI berdasarkan UUD Sementara (UUDS) juga berbentuk Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri.

Tahun 1955 diselenggarakan Pemilihan Umum pertama dalam sejarah Indonesia. Selain memilih anggota parlemen, juga dipilih anggota KONSTITUANTE yang ditugaskan menyusun UUD RI untuk mengganti UUDS 1950 yang masih disusun oleh Parlemen RIS. Partai Komunis Indonesia (PKI) bangkit kembali dan menjadi peserta pemilu tahun 1955.

Konstiuante diresmikan tanggal 9 November 1956. Dipimpin oleh Wilopo, beranggotakan 514 orang. Sampai bulan Mei 1959 Konstituante tidak berhasil menyusun UUD RI.


Keadaan negara sangat kacau. Belanda dan antek2nya ikut membuat kekacauan. Gerakan-gerakan bawah tanah yang dibentuk oleh Belanda, yaitu Nederlands Indie Guerilla Organisatie – NIGO (Organisasi Gerilya di India-Belanda), Pemberontakan Andi Azis, mantan tentara KNIL, Kudeta APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh Raymond Westeling tanggal 23 januari 1950, Vrijwillige Ondergrondse Corps – VOC (Korps Bawah Tanah Sukarela), jaringan intelijen yang dibentuk oleh Chales Olke van der Plas: Van der Plas Connection. Pemberontakan RMS yang dimulai pada 25 April 1950 didalangi oleh “tangan2 hitam dari Belanda” (Zwarte hand uit Nederland). Pemberontakan RMS berlangsung sampai Desember 1963.

Ketimpangan dalam pembangunan dan ketidak-puasan daerah2 di luar Pulau Jawa yang menuntut otonomi daerah mengakibatkan konflik bersenjata di kalangan para mantan pejuang mempertahankan kemerdekaan RI, yaitu munculnya PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi yang dideklarasikan pada 2 Maret 1957 dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera yang dideklarasikan pada (15 Februari 1958).

Perekonomian masih didominasi oleh perusahaan2 bangsa Belanda dan bangsa Cina, yang mayoritasnya masih tidak mau mengambil kewarga-negaraan Indonesia. Akibat penjajahan yang panjang, pribumi tidak dapat bersaing dengan bangsa Belanda dan bangsa Cina, yang memiliki modal, pengalaman dan jaringan yang telah terbentuk selama ratusan tahun, baik di wilayah Nederlands Indië (India Belanda), maupun di dunia internasional.

Pada 3 Mei 1956 Pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan hasil KMB dengan Belanda. Konflik dengan Belanda sehubungan dengan sengketa Irian Barat memuncak dan berujung dengan pemutusan hubungan diplomatik Indonesia-Belanda pada 17 Agustus 1960. Berlanjut dengan konfrontasi dengan Belanda dalam sengketa Irian Barat, yang tidak mau diserahkan oleh Belanda kepada RI, sesuai dengan hasil KMB.

Di internal pemerintahan RI juga tak sedikit permasalahan yang dihadapi. Sejak kembali ke NKRI pada 17 Agustus 1950 sampai bulan Juli 1959, tercatat ada 7 kabinet. Hanya ada dua kabinet yang dapat bertahan selama dua tahun. Bahkan ada beberapa kabinet yang hanya berlangsung kurang dari satu tahun. Dengan demikian, tidak ada menteri dan kementeriannya yang dapat bekerja secara efektif dan optimal.

Mayoritas di Konstituante sepakat dengan usulan Presiden Sukarno agar kembali ke UUD 1945, namun dalam tiga kali sidang Konstituante yang membahas usulan ini, tidak pernah tercapai Quorum (korum).

KSAD Letjen AH Nasution menyatakan dukungan kepada Presiden Sukarno agar mengeluarkan Dekrit Presiden KEMBALI KE UUD ’45. Bahkan Perdana Menteri Juanda juga mendukung kembali ke UUD ’45.

Pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya:
1.   Menyatakan Pembubaran Konstituante.,
2.   Menetapkan UUD 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
3.   Pembentukan MPR Sementara, yang terdiri dari anggota2 DPR ditambah dengan utusan2 dari daerah2 dan golongan2 serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Pada waktu itu, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dinilai sebagai DEKRIT PENYELAMATAN BANGSA dari ancaman perpecahan guna mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI.


Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
 
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 1999 – 2004, dari tahun 1999 – 2002 telah empat kali melakukan perubahan Undang-Undang Dasar RI. Ini sebagai realisasi dari sebagian tuntutan reformasi yang digulirkan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998.

Pada waktu itu ribuan mahasiswa melakukan unjuk-rasa damai yang dikenal sebagai People Power (Kekuatan rakyat). Mereka menduduki Gedung DPR/MPR RI selama beberapa hari, menuntut pengunduran diri Presiden Suharto yang baru dilantik untuk ketujuh kali. Presiden Suharto tunduk pada tuntutan rakyat yang diwakili oleh para mahasiswa dan pada 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai presiden.

Di samping menuntut pengunduran diri Presiden Suharto, mahasiswa juga menuntut perubahan UUD ’45 Pasal 7 tentang masa jabatan presiden. Di Pasal 7 UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 disebut: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

Kalimat ini dianggap kurang jelas dan tidak tegas sehingga diinterpretasikan, bahwa seseorang dapat menjabat sebagai presiden lebih dari dua kali dan tanpa batas. Hal ini berdasarkan pengalaman di era Orde Baru, di mana seorang presiden menjabat lebih dari 32 tahun.

***

Dalam kampanye pemilihan umum pertama tahun 1999 setelah lengsernya penguasa Orde Baru, tercatat hanya dua partai politik  yang mencantumkan agenda perubahan UUD dalam programnya, dan hanya satu yang berhasil masuk ke DPR/MPR RI periode 1999 - 2004. Namun setelah para anggota DPR RI terpilih dan kemudian terbentuk MPR RI, diagendakan untuk dilakukannya perubahan UUD ’45 secara besar-besaran. Dipandang dari sudut demokrasi dan hak rakyat untuk mengetahui program Partai Politik, maka MPR RI 1999 – 2004 tidak memiliki legitimasi untuk mengadakan perubahan UUD ’45. Seharusnya partai-partai politik mencantumkan dalam rencana programnya  mengenai pasal dan ayat akan diubah atau ditambahkan, sehingga rakyat, terutama kalangan akademisi dan kaum intelektual dapat mengetahui serta ikut membahas rencana perubahan tersebut.

Pada waktu dimulai pembahasan-pembahasan terlihat ada pihak yang yang bekerjasama dengan pihak asing, telah menyiapkan rencana perubahan UUD RI yang sangat mendasar dengan tujuan membuat Undang-Undang Dasar Baru untuk Republik Indonesia, bukan hanya sekadar sebagai Adendum atau Amandemen.

Sehubungan dengan hal ini, patut dipertanyakan peran organisasi-organisasi asing, baik dalam pendanaan maupun dalam penyusunan isi perubahan UUD. Hal ini memberi kesan, bahwa perubahan UUD ’45 adalah “pesanan asing,” terutama mengubah pasal 6 ayat 1 mengenai Presiden ialah orang Indonesia ASLI, dan menambahkan ayat 4 dan 5 di Pasal 33, yang merupakan pintu masuk untuk mengeksploitasi kekayaan SDA Indonesia dan liberalisasi perdagangan. Organisasi asing tersebut a.l. National Democratic Institute (NDI), satu Organisasi non-pemerintah (NGO) dari Amerika Serikat. NDI adalah organisasi di bawah Partai Demokrat AS, yang waktu itu sedang berkuasa tahun 1996 - 2000.

Dalam buku ‘Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar’ yang diterbitkan MPR RI pada bulan Maret 2005 (cetakan pertama), tercantum Kesepakatan Dasar Perubahan UUD 1945, yaitu:[10]
1.   Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.   Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.   Mempertegas sistem presidensial,
4.   Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal,
5.   Perubahan dilakukan dengan cara Adendum.

Selain kesepakatan2 yang telah dicantumkan, sebelum pembahasan tahun 1999 ada kesepakatan antara pimpinan MPR RI dengan tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal tidak akan diubah.

Perubahan dilakukan sebanyak empat kali, yaitu tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Setelah keempat perubahan tersebut ditetapkan pada 10 Agustus 2002 dan kemudian diumumkan ke masyarakat, berbagai pihak menyoroti prosedur dan hasil-hasil perubahan UUD tersebut.

Selain masalah prosedur untuk perubahan UUD yang dinilai cacat hukum, juga terlihat sangat banyak penambahan materi dalam pasal-pasal dan jumlah ayat yang mencapai 89% serta ada ayat-ayat yang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD ’45 dan jiwa serta semangat UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Juga terlihat telah terjadi penyimpangan dari kesepakatan, yaitu perubahan-perubahan tersebut dimasukkan sebagai Amandemen, bukan sebagai Adendum seperti kesepakatan semula.

Secara keseluruhan, perubahan-perubahan UUD tersebut telah menyimpang dari dasar dan tujuan para pendiri negara dan bangsa  Indonesia.

Sebagaimana telah ditulis di atas, mengenai Struktur UUD ditulis dalam Bahan Tayang Materi Sosialisai Empat “Pilar” MPR sebagai berikut.[11]
Sebelum perubahan, UUD terdiri dari:

1.   Pembukaan,
2.   Batang Tubuh
-      16 Bab,
-      37 Pasal,
-      49 Ayat,
-      4 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Ayat Aturan Tambahan
3.   Penjelasan

Setelah perubahan:
1.   Pembukaan,
2.   Pasal-Pasal,
-      21 Bab,
-      73 Pasal,
-      179 Ayat
-      2 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Pasal Aturan Tambahan

Perubahan yang sangat mendasar adalah yang sehubungan dengan Kedaulatan Rakyat. Dalam UUD ’45 ASLI Pasal 1 ayat 2 disebut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Mengenai hal ini ditulis dalam Penjelasan Tentang UUD ’45:
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat" sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.”
Dalam UUD 2002, diganti menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Namun dalam Undang-Undang Dasar tidak ada satu Pasal atau ayat yang mengatur mengenai bagaimana melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut. Juga ada ayat yang luar biasa anehnya, yaitu Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (perubahan kedua).”

Kalimat terakhir ini menunjukkan, bahwa Negara, dalam hal ini adalah Pemerintah, TNI dan POLRI serta seluruh aparat penegak hukum, gagal melindungi bangsanya, sehingga orang Indonesia tersebut diberi hak untuk meminta suaka politik dari negara lain, yang dapat melindungi orang Indonesia. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45, terdapat kalimat:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...”

Demikian juga penjelasan mengenai UUD ’45 ASLI, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945, juga dihilangkan. ‘Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar’ sangat penting untuk diketahui oleh para penyelenggara Negara, terutama yang ingin melakukan perubahan UUD. Di dalam penjelasan a.l. disebut:

I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.
Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.
Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.
Menghilangkan Penjelasan mengenai UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sama dengan menghilangkan penjelasan mengenai latar belakang sejarah disusunnya UUD ’45 ASLI.

Undang-Undang yang disahkan pada 10 Agustus 2002 kemudian dinyatakan sebagai Undang-Undang Dasar ’45. Penamaan UUD yang disahkan pada bulan Agustus 2002 sebagai UUD ’45 tentu mendapat tentangan dari banyak pihak yang menilai, bahwa UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 tidak patut dikatakan sebagai UUD ’45, karena banyaknya perubahan-perubahan yang mendasar dan bahkan ada yang isinya bertentangan dengan UUD ’45 Asli dan Pancasila.

Juga adanya BAB  yang isinya dihapus, yaitu BAB IV mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA), namun BABnya tetap dicantumkan sehingga apabila tidak diteliti dengan cermat, maka secara sepintas tampaknya UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 juga sama dengan UUD ’45 ASLI, yaitu terdiri dari 16 BAB. Padahal sebenarnya hanya terdiri dari 15 BAB. Oleh karena itu, kalau tetap dinyatakan sebagai UUD ’45, maka beberapa kalangan menyebut bahwa ini adalah UUD ’45 PALSU. Seharusnya UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 dinamakan UUD 2002, sesuai tahun ditetapkannya.

                               
BEBERAPA ALASAN UNTUK MENOLAK UUD RI TAHUN 2002

1.   Apabila diteliti secara mendalam, ternyata UUD 2002 sebenarnya hanya terdiri dari 15 BAB, bukan 16 BAB. Di UUD 2002 BAB IV ternyata kosong. Hanya tertulis: BAB IV. DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG. Dihapus. Pencantuman BAB yang kosong ini seolah-olah ingin  memberikan kesan, bahwa UUD 2002 tetap terdiri dari 16 BAB seperti UUD ’45 ASLI. Penambahan BAB tidak ditulis dengan angka Romawi, melainkan ditambahkan dengan huruf Latin besar A, B, seperti pada Bab VII, menjadi BAB VII A DAN BAB VII B, sehingga jumlah BAB berdasarkan angka Romawi tetap XVI (16).

Demikian juga dengan pasal-pasalnya, tidak ditambahkan angka-angka Arab, melainkan ditambahkan huruf Latin besar juga seperti pasal 7 A, 7 B dan 7 C. Bahkan pasal 28 sampai 28 G. Dengan demikian, jumlah pasal sesuai dengan angka Arab, tetap berjumlah 37 pasal.

Secara sepintas terlihat seolah-olah UUD 2002 sama dengan UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, yaitu terdiri dari 16 Bab dan 37 pasal. Hal ini dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik, bahkan dikatakan sebagai suatu pengelabuan..

2.   Dalam UUD 2002 BAB I Pasal 1 Ayat 2 mengenai Kedaulatan Rakyat sangat kabur. Di UUD ’45 Asli Pasal 1 Ayat 2 tertera: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pasal 1 ayat 2 ini sesuai dengan Sila keempat Pancasila, yaitu; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan.
Di Pasal 1 ayat 2 UUD 2002 hanya disebut: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”  Namun selanjutnya di dalam UUD 2002 tidak ada Pasal atau ayat yang mengatur pelaksanaan Pasal 1 ayat 2 ini.

Dengan demikian UUD 2002 telah mengebiri Kedaulatan rakyat dan membuat menjadi tidak jelas, bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan.

Salahsatu hak dan wewenang MPR yang sangat penting yang ada di UUD ’45 Asli dan dihapus dalam UUD 2002 adalah Pasal 3. Di UUD ’45 Asli tertera: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan UUD dan Garis2 Besar daripada Haluan Negara (GBHN). Di UUD 2002 Pasal 3 menjadi: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD.

Untuk negara sebesar Indonesia yang terdiri dari ratusan etnis yang tinggal di ribuan pulau, sangat diperlukan GBHN agar tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan, baik secara geografis maupun secara geo-politik dan geo-sosial-budaya.

3.   Pasal 6 Ayat 1 tentang syarat calon presiden mengalami perubahan mendasar. Di UUD ’45 Asli tercantum: “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Di UUD 2002 Pasal 6 Ayat 1 kata : ORANG INDONESIA ASLI dihapus, dan diganti menjadi: “Calon presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”

Satu-satunya pengusul perubahan ini adalah JE Sahetapy dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dia beralasan, bahwa Pasal 6 Ayat 1 diskriminatif untuk wargan negara dari keturunan non-pribumi. Pandangan ini sangat ahistoris. Sebagaimana dapat dilihat dari Risalah Sidang BPUPK, justru kata ASLI cicantumkan dalam pasal 6 ayat 1 bertitik-tolak dari sejarah. Juga untuk mengantisipasi kemungkinan orang Jepang menjadi Presiden dari negara yang akan dibentuk.

Di masa penjajahan. Pemerintah kolonial membuat Undang-Undang Perbudakan yang resmi berlaku dari tahun 1642 – 1840, di mana pribumi selama lebih dari 200 tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri. Para budak tidak memiliki hak-hak sebagai manusia. Pada waktu itu tidak ada yang menyatakan bahwa memperjual-belikan pribumi menjadi budak di negeri sendiri adalah pelanggaran HAM dan diskriminatif. Pribumi tidak dianggap sebagai manusia, melainkan hanya sebagai komoditi dagang. Seperti telah ditulis di atas, setelah UU Perbudakan dihapus, tahun 1920 pemerintah kolonial membagi penduduk menjadi 3 golongan, di mana pribumi menjadi golongan ketiga, yang disetarakan dengan anjing.

Perubahan Pasal 6 Ayat 1 ini dinilai telah menghapus hak prerogatif tunggal pribumi menjadi TUAN DI NEGERI SENDIRI, yang berdasarkan sejarah penjajahan, perbudakan dan diskriminasi ras, bahkan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia selama ratusan tahun. Dirumuskannya Pasal 6 Ayat 1 berdasarkan sejarah panjang penjajahan, perbudakan dan diskriminasi pribumi. Pasal 26 Ayat 2 mengenai warga negara juga dirumuskan sebagai respon terhadap peraturan yang berlaku di masa penjajahan, sebagaimana diterangkan di atas.[12]

4.   Pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat, sebagaimana dicantumkan dalam UUD 2002 BAB III Pasal 6 A, bertentangan dengan Sila keempat Pancasila, yaitu: “Kedaulatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.”

Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota secara langsung  juga melanggar Sila keempat Pancasila. Kalau alasan pemilihan langsung adalah untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan, politik uang (money politics), suap dan KKN, terbukti bahwa pemilihan langsung juga penuh dengan kecurangan-kecurangan dsb. Kepala-kepala Daerah hasil pemilihan langsung juga banyak yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.

Anggaran negara untuk pemilihan langsung dan biaya yang harus dikeluarkan oleh sorang calon luar biasa besarnya, sehingga memaksa seseorang dengan ambisi besar melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma-norma hukum, nalar dan akal sehat.

Praktek-praktek yang dilakukan oleh seseorang yang masih menjabat dan akan mempertahankan jabatannya, sering menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Selain itu, terlihat bahwa pemilihan langsung, apalagi kalau pasangan calonnya hanya dua, terjadi konflik horisontal di antara para pendukung kedua kubu.

Sementara para partai politik yang awalnya berseberangan, setelah selesai pemilihan, kelompok yang kalah dalam waktu singkat ikut di gerbong pemenang. Alasan kedua belah pihak sangat pragmatis. Yang menang tidak ingin “diganggu” selama lima tahun oleh adanya oposisi yang kuat, kelompok yang kalah ingin ikut menikmati “kue besar.”  Sedangkan di akar rumput, konflik dan dendam berlangsung terus.


KEMBALI KE UUD ’45 ASLI UNTUK DISEMPURNAKAN.

Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia telah menulis, bahwa memang Undang-undang Dasar yang disusun tahun 1945 belum sempurna, dan harus disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun penambahan pasal dan ayat harus tetap mengacu kepada ruh dan semangat serta tujuan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, mereka yang akan ikut terlibat dalam pembahasan dan perumusan penambahan pasal dan ayat, harus benar-benar mengetahui dan memahami sejarah perjuangan leluhur Bangsa Indonesia dan perjuangan Bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Penambahan pasal dan ayat harus sesuai dengan kesepakatan, yaitu dengan cara ADENDUM.


********


LAMPIRAN
PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA YANG DISAHKAN PADA 18 AGUSTUS 1945
Selengkapnya lihat:


***





[1] Teks lengkap Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar disampaikan sebagai lampiran tulisan ini.
[2] Pada waktu didirikan bulan April tahun 1945, belum dicantumkan kata INDONESIA, melainkan dinamakan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan ( BPUPK).  Dalam bahasa Jepang adalah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Ada juga yang menyebut sebagai Dokuritsu Zyunb Cosakai.
Pada waktu itu dibentuk dua BPUPK. Sumatera dan Jawa berada di bahwa pemerintahan militer Angkatan Darat (Rikugun) sedangkan kawasan timur di bawah Angkatan Laut (Kaigun. Di Jawa yang dibawah kekuasaan Tentara XVI, dibentuk BPUPK dengan Ketuanya Dr. Radjiman Wedyodiningrat. ). Di Sumatera yang di bawah kekuasaan Tentara XV, dibentuk BPUPK pada 25 Juli 1945 dengan Ketuanya Muhammad Sjafei. Kedua BPUPK dibentuk hanya untuk wilayah Sumatera dan Jawa. Setelah BPUPK dibubarkan, dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan INDONESIA (PPKI), yang meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Belanda.

[4] Mengenai tanggal menyerahnya Belanda kepada tentara Jepang di Kalijati dekat Subang, Jawa barat, ada sumber yang menulis tanggal 8 Maret 1942. Dalam buku Autobiografi dari Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda, menyerahnya Belanda kepada Jepang tanggal 9 Maret 1942.

[5] Lihat, 9 Maret 1942. Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara:
[6] Dalam tulisan ini tidak dibunakan kata ‘Indonesia’ untuk penduduk di wilayah jajahan Belanda dan di wilayah pendudukan tentara Jepang, karena sebagai entitas politik, sebelum tanggal 17 Agustus 1945 belum ada Bangsa Indonesia.
[7] Risalah Sidang BPUPKI. Sekretariat Negara RI, Jakarta, Cetakan pertama, Edisi ke IV tahun 1998. Halaman xxxvii.
[8] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sekretariat Negara RI, Jakrta 1998. Cetakan pertama Edisi ke IV, halaman xxxvii.
[9] Op.cit. halaman 480.
[10] Bahan Tayang  Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Sekretariat Jenderal MPR RI. Cetakan Ketujuhbelas, April 2017. Halaman 24.
[11] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Setjen MPR RI, tahun 2019, halaman 27
[12] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sekretariat Negara RI, Jakrta 1998. Cetakan pertama Edisi ke IV, halaman  xxxvii.

No comments: