Sunday, September 23, 2012

Kemenangan Jokowi-Ahok: Pengulangan sejarah dan sejarah baru untuk Jakarta

Oleh Batara R. Hutagalung


Selain mencatat pengulangan sejarah, kemenangan pasangan Ir. Joko Widodo (Jokowi) – Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pilkada DKI Jakarta 2012, dan mencatat sejarah baru untuk Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, juga memberi pelajaran yang sangat berharga untuk ke depan.

Diasumsikan, bahwa penghitungan suara yang akan dilakukan oleh KPUD tidak berbeda jauh dengan hitung-cepat (quick count) yang telah dilakukan oleh enam lembaga penelitian, maka tanggal 7 Oktober 2012 DKI Jakarta akan memiliki Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Hasil penghitungan cepat enam lembaga tersebut telah menyatakan kemenangan pasangan Jokowi/Ahok atas pasangan Dr. Ing. Fauzi Bowo (Foke) - Mayjen. TNI (Purn.) Nachrowi Ramli (Nara).

Selama ini, hasil hitung-cepat tidak berbeda jauh dengan tabulasi yang dilakukan oleh KPU, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian, apabila tidak terjadi “hal-hal yang aneh”, maka dipastikan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012 – 2017.

Dengan berhasilnya Joko Widodo, yang masih menjabat sebagai Walikota Solo, menjadi Gubernur DKI Jakarta, maka ini adalah pengulangan sejarah, yaitu seorang Walikota Solo menjadi orang nomer satu di Jakarta. Hal ini pernah terjadi, ketika Syamsurizal, mantan Walikota Solo, menjadi orang nomer satu di Jakarta tahun 1951 – 1953.  Pada waktu itu statusnya masih sebagai Walikota Jakarta.

Pada tahun 1959, status Kota Jakarta mengalami perubahan dari kotapraja yang dipimpin oleh seorang walikota, ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur.

Yang menjadi gubernur Jakarta pertama ialah Brigjen. TNI. dr. Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan jabatan gubernurnya tetap dipegang oleh Sumarno.

Jabatan Sumarno diselingi oleh Hendrik Hermanus Joel Ngantung, yang lebih dikenal dengan nama Henk Ngantung, yang menjadi Gubernur DKI tahun 1964 - 1965. Henk Ngantung adalah seorang seniman dari Minahasa keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.

Karena kesehatannya terganggu, Henk Ngantung diganti lagi oleh Sumarno, yang merangkap sebagai Menteri Dalam Negeri. Henk Ngantung yang dituduh terlibat dalam peristiwa tragedi nasional September/Oktober 1965, memang tidak pernah ditangkap atau diperiksa, namun hidupnya dalam kemiskinan dan meninggal juga dalam keadaan miskin.

Sejarah baru: Akhir era militer di DKI Jakarta

Dari kalangan militer yang pertama kali memimpin Jakarta adalah Letkol Daan Yahya, yang menjadi Gubernur militer Jakarta tahun 1948 – 1950. Daan Yahya berasal dari Sumatera Barat. Gubernur DKI terakhir dari kalangan sipil adalah Henk Ngantung tahun 1965.

Sejak tahun 1965, dimulai oleh Brigjen. Dr. H. Sumarno Sastroatmodjo, yang menggantikan Henk Ngantung, Jakarta selalu dipimpin oleh militer. Sumarno digantikan oleh Letjen. TNI/KKO. Ali Sadikin, kemudian berturut-turut Letjen. TNI. Tjokropranolo,  Letjen. TNI. Soeprapto, Letjen. TNI. Wiyogo Atmodarminto, Letjen.TNI. Soerjadi Soedirdja dan terakhir Letjen. TNI. Soetiyoso.

Tahun 2007, Fauzi Bowo yang menjadi Wakil Gubernur ketika Soetiyoso menjabat sebagai Gubernur, berhasil memenangkan pemilihan Gubernur, mengungguli Mayjen. Pol. (Purn.) Adang Daradjatun. Yang menjadi Wakil Gubernurnya Bowo masih dari kalangan militer, yaitu Mayjen. TNI (Purn.) Priyanto. Ketika maju menjadi Calon Gubernur dalam pilkada 2012, Bowo masih didampingi oleh seorang militer, Mayjen.TNI. (Purn.) Nachrowi Ramli.

Dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta putaran pertama, sejumlah petinggi militer masih ikut meramaikan “pesta demokrasi.” Tercatat selain Mayjen. TNI (Purn.) Nachrowi Ramli (Cawagub dari Fauzi Bowo) yang masuk ke putaran kedua, ada Mayjen.TNI (Purn.) Hendardji Soepandji (Cagub Independen), dan Letjen. TNI (Purn.) Nono Sampono (Cawagub dari Alex Nurdin).

Sejarah baru yang dicatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok adalah, untuk pertamakalinya sejak tahun 1965 tidak ada militer di pucuk pimpinan DKI Jakarta. Dengan kemenangan pasangan Jokowi-Ahok di putaran kedua pada 20 September 2012, kini Jakarta “bebas militer”, karena baik Jokowi maupun Ahok tidak mempunyai latar belakang militer.

Sejarah kedua yang dicatat dengan kemenangan Jokowi-Ahok adalah, untuk pertamakalinya seorang etnis Tionghoa ikut memimpin Ibukota Republik Indonesia, dan sekaligus juga menambah catatan sejarah, yaitu untuk kedua kalinya seorang yang beragama Kristen ikut memimpin masyarakat yang mayoritasnya beragama Islam. Henk Ngantung yang menjadi Gubernur DKI tahun 1964 – 1965 berdarah campuran Minahasa, sedangkan kedua orangtua Basuki Tjahaja Purnama (Zhong Wan Xie), mantan Bupati Belitung Timur yang akrab dipanggil Ahok. dari etnis Tionghoa. Ahok adalah putra pertama dari pasangan alm. Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) dan Buniarti Ningsih (Bun Nen Caw).

Kemenangan "semut" melawan "gajah"

Kemenangan pasangan pemimpin muda (Jokowi 51 tahun, Ahok 46 tahun) yang hanya didukung oleh dua partai yang relatif kecil di Jakarta, juga memberi pelajaran yang sangat berharga dan dapat menjadi barometer untuk pemilihan-pemilihan yang akan dating, baik pemilihan presiden maupun kepala daerah yang lain.

Jokowi – Ahok hanya didukung oleh PDIP dan Gerindra, sedangkan Bowo – Nara didukung oleh partai-partai penguasa di pemerintah pusat: Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP dan Hanura, serta sejumlah partai gurem yang tak mempunyai wakil di DPRD. Bahkan pada putaran kedua,koordinator tim sukses pasangan independen Faisal Basri – Biem menyatakan dukungannya ke Bowo – Nara.

Apabila dilihat perolehan suara di Jakarta pada pemilu 2009, PDIP dan Gerindra dijumlah, maka hanya memperoleh 18 % dari jumlah suara pemilih, sedangkan partai-partai pendukung Bowo – Nara memperoleh 82 % suara. Apabila kemudian melihat komposisi kursi di DPRD DKI, pendukung Jokowi - Ahok hanya memperoleh 17 kursi dari keseluruhan 94 kursi di DPRD DKI.

Selain itu, jalan Jokowi-Ahok menuju DKI 1 dan 2 masih diganjal oleh isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan), yang pertama kali dilontarkan oleh penyanyi dangdut Rhoma Irama. Dalam khotbahnya di Masjid, dia mengatakan, bahwa Bowo-Nara orang Betawi, sedangkan Jokowi orang Jawa, Ahok etnis cina beragama Kristen, bahkan memfitnah, bahwa orangtua Jokowi juga Kristen. Memang bukan rahasia, bahwa Joko Widodo berasal dari etnis Jawa dan Ahok dari etnis Tionghoa beragaman Kristen. Namun selanjutnya, dengan mengutip ayat dari Al Qur’an, Rhoma Irama mengatakan, bahwa orang yang beragama Islam dilarang memilih pemimpin yang bukan Islam.

Pernyataan penyanyi dangdut ini mendapat dukungan dari menteri Agama Suryadarma Ali. Walaupun Irama sendiri dalam pernyataannya di televisi tidak membantah telah mengeluarkan isu SARA, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) menyatakan bahwa Irama tidak melanggar UU Pemilu mengenai SARA.

Ketua DPR RI, Marzuki Alie, yang adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, juga menyatakan, bahwa orang yang beragama Islam harus memilih pemimpin yang beragama Islam.

Presiden Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sebagai atasan dari Suryadarma Ali dan Marzuki Alie, tidak memberikan komentar ataupun teguran terhadap bawahannya, dan membiarkan hal ini menjadi polemik di masyarakat, sehingga memberikan kesan, bahwa diapun mendukung isu-isu SARA tersebut.

Puncak dari penjegalan dengan isu SARA dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta, yang -tidak tanggung-tanggung- mengeluarkan Fatwa, bahwa orang yang beragama Islam tidak boleh memilih kafir sebagai pemimpin.

Angka-angka berbicara

Perolehan suara pasangan Jokowi-Ahok pada putara kedua mencapai sekitar 54 suara pemilih dan Bowo-Nara yang didukung oleh “gajah-gajah” hanya memperoleh sekitar 46 % suara saja. Ini berarti warga Jakarta telah sangat cerdas, terbuka dan tidak terpengaruh oleh isu-isu SARA. Apabila warga Jakarta yang beragama Islam mengikuti Fatwa MUI Jakarta, maka seharusnya Fauzi Bowo-Nara memperoleh suara paling sedikit 85 % suara warga yang beragama Islam, dan apabila mengikuti perolehan suara dari partai-partai penguasa pendukungnya, maka di atas kertas, pada putaran kedua Bowo-Nara seharusnya memperoleh 82 %.

Fakta-fakta di atas yang menjadi catatan sejarah, akan berdampak positif yang luar biasa besarnya, bukan hanya untuk Jakarta dan seluruh Indonesia, melainkan juga akan meningkatkan citra bangsa Indonesia di dunia internasional, karena kemenangan Jokowi - Ahok ini sekaligus menepis tudingan selama ini, bahwa Islam di Indonesia itu radikal, mendiskriminasikan non-Islam serta anti etnis Tionghoa!

Juga kemenangan Jokowi yang berasal dari Jawa Tengah menunjukkan kemenangan Bhinneka Tunggal Ika yang tercermin di Jakarta, bahwa warga Jakarta, juga tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta tidak menolak calon-calon dari daerah lain. Peristiwa ini terjadi di tengah-tengah maraknya isu, bahwa kepala daerah haruslah putra daerah asli.

Turunnya kredibilitas partai politik

Kalau dilihat pemilu tahun 2009, Partai Demokrat saja memperoleh 30% suara di DKI Jakarta! Kelihatannya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para petinggi Partai Demokrat sangat berpengaruh dalam penilaian masyarakat. Kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini terbongkar adalah yang melibatkan jajaran tertinggi partai, dimulai dengan M. Nazaruddin, mantan Bendahara partai, Angelina Sondakh, mantan Wakil Sekjen, Hartati Murdaya, mantan Anggota Dewan Pembina. Selain itu, yang diduga ikut terlibat kasus-kasus korupsi seperti Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat, dan Andi Mallarangeng, Menteri Pemuda dan Olahraga, juga Mirwan Amir, anggota DPR RI. Deretan nama-nama petinggi partai Demokrat yang diduga terlibat kasus-kasus korupsi kelihatannya akan semakin panjang.

Bukan hanya partai Demokrat yang kian terpuruk dengan kasus-kasus korupsi, melainkan juga partai-partai lain, yang kader-kadernya telah banyak dijebloskan ke penjara karena kasus Korupsi. Yang paling akhir adalah Zulkarnaen Djabbar, anggota DPR RI dari partai Golkar, yang oleh KPK telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Al Qur’an.

Setelah calon yang didukungnya kalah, Golkar kembali menunjukkan sikap mencla-menclenya. Seorang petinggi partai Golkar, Indra J. Piliang menyatakan, bahwa Golkar keliru mendukung pasangan Fauzi Bowo dan Nara, kader-kader partai Demokrat, yang sebenarnya dianggap “musuh” oleh partai Golkar. (lihat:

Fauzi Bowo adalah anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, dan Nachrowi Ramli adalah Ketua Partai Demokrat di DKI.

Kemenangan Jokowi-Ahok menjadi peringatan bagi semua yang masih hidup dimasa lampau, yang tidak dapat membaca tanda-tanda zaman, bahwa zaman telah berubah, masyarakat ingin perubahan dan menolak status quo. Para petinggi partai politik tidak dapat lagi membodoh-bodohi rakyat dengan janji-janji palsu seperti akan memberantas korupsi, namun ternyata para petinggi partai politik tersebut justru yang melakukan korupsi. Rakyat tentu masih ingat iklan anti korupsi partai Demokrat yang “dibintangi” oleh Angelina Sondakh (sedang menjalani proses pengadilan), Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum.

Tokoh-tokoh agama tidak dapat lagi menggiring umatnya untuk memilih atau tidak memilih seseorang karena latar belakang agama, demikian juga tokoh-tokoh dari sesuatu etnis, tidak dapat lagi sesukanya untuk “mengancam” warga etnisnya.

Masyarakat tentu juga tidak melupakan pernyataan-pernyataan partai-partai dan tokoh-tokoh yang mendukung lawan-lawan Fauzi Bowo pada putaran pertama, yang menyatakan bahwa Fauzi Bowo telah gagal sebagai gubernur. Namun ketika pada putaran kedua mereka menyatakan dukungan kepada Fauzi Bowo dengan alasan a.l. bahwa dia yang pantas menduduki jabatan sebagai gubernur, pernyataan-pernyataan seperti ini dinilai oleh banyak kalangan sebagai menjilat ludah sendiri.

Hal-hal tersebut diatas seharusnya menjadi pelajaran yang sangat penting bagi para petinggi partai politik, untuk berhati-hati berbicara, dan jangan seenaknya mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan pernyataan yang dikeluarkannya sendiri beberapa waktu sebelumnya.Ternyata ingatan kolektif masyarakat masih cukup baik dibandingkan daya ingat para petinggi partai, yang cepat lupa dengan ucapan-ucapannya sendiri, dan janji-janjinya setelah menang.

Kendala besar yang akan dihadapi oleh Jokowi-Ahok

Apabila euphoria kemenangan telah usai dan kemudian memasuki rutinitas kerja, permasalahan yang lebih besar dan lebih berat lagi akan dihadapi oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru.

Selain masalah klasik yaitu banjir, kemacetan lalu-lintas dan polusi udara yang diakibatkan oleh jumlah kendaraan bermotor yang meningkat dengan tajam setiap tahun, Gubernur dan Wagub akan menghadapi tantangan dan tentangan besar, baik di internal Pemda DKI maupun di DPRD DKI Jakarta.

Diduga, bahwa selama ini sejumlah besar proyek di lingkungan Pemda DKI diatur melalui “arisan” di antara perusahaan-perusahaan yang mungkin telah puluhan tahun mendapat proyek-proyek dari Pemda DKI. Apabila hal ini akan dibenahi, sudah tentu akan mendapat perlawanan keras dari pejabat-pejabat yang selama ini ikut menikmati praktek-praktek “arisan” ini.

Demikian juga untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang perlu mendapat persetujuan dari DPRD, tentu dengan dukungan 17 orang melawan 77 orang dari kubu pendukung lawan di pilkada, akan susah untuk dilakukan, apalagi apabila kebijakan tersebut akan merugikan kelompok atau pengusaha-pengusaha mitra mereka selama ini.

Kelihatannya perjuangan pasangan Jokowi-Ahok selama sekitar 5 bulan untuk memenangkan pilkada DKI, akan terlihat sangat kecil dan enteng, dibandingkan perjuangan berat lima tahun kedepan, menghadapi birokrasi internal dan tentangan di DPRD DKI Jakarta.


Tak perlu pura-pura jadi Betawi

Dalam melakukan kampanye, Jokowi-Ahok membuat catatan baru, yaitu dalam  hal pakaian. Mereka "menciptakan" ciri-ciri khusus, yang samasekali baru untuk Jakarta, yaitu dengan mengenakan baju kotak-kotak.

Kemenangan Jokowi-Ahok dengan mengenakan baju kotak-kotak, dan tidak mengenakan busana yang banyak dipakai oleh orang Jakarta, yang disebut Betawi, juga sekaligus menjadi contoh, bahwa untuk kampanye dan menang di Jakarta, tidaklah perlu mengenakan pakaian ala orang Jakarta, alias Betawi. Juga tidak perlu pura-pura menjadi "orang Betawi."

Untuk melakukan ini, bukan hanya diperlukan kreatifitas tinggi, melainkan juga keberanian yang luar biasa besarnya, untuk melawan arus, yaitu yang selalu dilakukan oleh semua calon yang ingin bertarung di Jakarta.

Untuk pemilihan Gubernur/Wagub di DKI Jakarta, para calon dapat mengembangkan kreatifitasnya, untuk menunjukkan ciri-ciri khusus, seperti yang telah ditunjukkan oleh Jokowi-Ahok.


*******