Saturday, December 28, 2019

BERDIRI DAN BUBARNYA NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (RIS)


27 Desember 1949 – 16 Agustus 1950

Wawancara saya di Bravos Radio hari Jumat 27 Desember 2019. 
Silakan klik:


Materi wawancara:

Pertama saya menjelaskan perbedaan HARI IBU di Indonesia dengan Mother's Day di USA. 

Kemudian saya meluruskan kekeliruan yang dilakukan oleh Kemendikbud/Ditjen Kebudayaan dan penulisan sejarah di buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR.

Buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR harus segera ditarik dari peredaran karena penulisan mengenai sejarah banyak yang salah, bahkan ngawur.

Saya juga mengangkat peran seorang yang juga berjasa untuk Republik Indonesia, namun "terlupakan."

***

Friday, November 29, 2019

Walisongo Tidak Ada Yang Dari Cina. Wawancara.


Wawancara saya di Bravos Radio, Jumat 29 November 2019.
Silakan klik:


########

Selama puluhan tahun hampir semua rakyat Indonesia pernah mendengar, bahkan percaya, bahwa beberapa Walisongo adalah orang Cina.

Saya menjelaskan sumber2nya dan di mana kesalahannya 

Saturday, October 19, 2019

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Wawancara di Bravos Radio.


Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat Dalam Mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia.

Wawancara saya di Bravos Radio.
Silakan klik:


########


Di tengah perundingan perdamaian yang difasilitasi oleh PBB, belanda mwlanggar Perjanjian Renville dengan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948.  Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan sejumlah menteri ditangkap dan ditahan di beberapa tempat.

Pada akhir Desember 1948 belanda menyatakan, bahwa “aksi polisionalnya” telah selesai. Republik Indonesia dan TNI sudah tidak ada lagi.

Agresi militer belanda dibawa Indonesia ke PBB dan dibahas di Dewan Keamanan.

Pada 28 Januari 1949 PBB mengeluarkan Resolusi No. 67 yang isinya a.l.  mendesak belanda untuk membebaskan para pemimpin RI yang ditahan dan ke meja perundingan dengan pihak Republik Indonesia, yang akan difasilitasi oleh PBB.

Belanda menolak Resolusi PBB tersebut dengan menyatakan, bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Dewan Keamanan PBB rencananya akan bersidang lagi tanggal 10 Maret 1949.

Untuk memperkuat posisi delegasi Indonesia di PBB, atas perintah Panglima Besar Jenderal Sudirman, TNI melancarkan serangan secara besar2an di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan focus SERANGAN SPEKTAKULER terhadap Ibukota RI, Yogyakarta yang diduduki oleh tentara Belanda.

Tanggal 28 Februari 1949 sudah disiapkan teks dalam bahasa Inggris, yang akan disiarkan pada 1 Maret, setelah terjadinya penyerangan.

Siaran Radio disampaikan secara estafet melalui Pemancar radio milik AURI di Playen dan milik pemerintah RI di Wiladek. Siaran diterima di Banten dan diteruskan ke Bukittinggi. Kemudian dari Bukittinggi siaran dapat ditangkap di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Siaran dari Kutaraja dapat ditangkap di Singapura dan Birma, yang kemudian diteruskan ke New Delhi.

Siaran dari New Delhi sampai ke Lake Placid, USA, kedudukan PBB waktu itu.

Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil menunjukkan ke dunia internasional kebohongan belanda, bahwa TNI tidak ada lagi. 

Peristiwa ini memengaruhi jalannya Sidang Dewan Keamanan PBB.

Hasilnya adalah, Belanda ditekan untuk ke meja perundingan dengan Republik Indonesia, Konferensi Meja Bundar (KMB).

Agresi milter Belanda kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948 telah diantisipasi oleh TNI sejak bulan Maret 1948.

Dipersiapkan langkah2 untuk melakukan Perang Gerilya, karena kekuatan TNI pada waktu itu diperkirakan tidak akan sanggup melawan pasukan pihak belanda yang kekuatan tiga kali lipat kekuatan TNI dengan persenjataan yang moderen.

Sedangkan persenjataan di pihak TNI adalah hasil rampasan dari tentara Jepang.

Strategi dan taktik yang diterapkan berhasil menahan kekuatan Belanda dan kakitangannya.

Sampai perundingan KMB, kakuatan Belanda dengan jumlah tentara 150.000 orang yang didatangkan dari belanda,  ditambah 65.000 KNIL serta 50.000 pasukan Cina Po An Tui, tidak berhasil mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.

Perang MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN terhadap agresi militer belanda yang dibantu sekutu, antek2 dan kakitangannya menunjukkan, APABILA TNI BERSAMA RAKYAT TIDAK TERKALAHKAN.

***

Saturday, October 12, 2019

PASUKAN SRIWIJAYA


Pengantar oleh Batara R. Hutagalung
Putra Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20.3.1910 – 29.4.2002).

Di beberapa grup WA dan di facebook beredar beberapa tulisan mengenai Pasukan Sriwijaya yang ikut berperang di pihak Republik Indonesia melawan tentara Inggris/Sekutu di Surabaya, pada 28-29 Oktober 1945 dan dalam pertempuran di Surabaya yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya  tanggal 10 November 1945.

Pasukan Sriwijaya dibentuk oleh para mantan anggota Giyugun (Pasukan Pembantu) yang berasal dari Tanah Batak dan Aceh. 
Di wilayah2 yang didudukinya, tentara Jepang membentuk pasukan2 yang tediri dari pribumi setempat dengan tujuan untuk membantu Jepang, baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya, juga untuk membantu Jepang dalam perang melawan tentara Sekutu.

Di Pulau Jawa dibentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pasukan Pembantu/relawan).Di Sumatera dan Malaya (sekarang Malaysia) pasukan pembantu/relawan dinamakan Giyugun


Tahun 1944, sekitar 2000 anggota Giyugun yang adalah putra-putra Batak dan Aceh dibawa oleh tentara Jepang ke Morotai, Halmahera Utara, untuk membantu Jepang dalam perang melawan tentara Amerika Serikat.

Hanya segelintir yang kembali ke kampung halaman mereka di Tanah Batak dan Aceh.

***

Di beberapa tulisan disebut, bahwa sumber informasi mengenai Pasukan Sriwijaya adalah Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung.

Kami dari keluarga dr. Wiliater Hutagalung menghaturkan terima kasih atas disebarluaskannya cuplikan dari buku Autobiografi dr. Wiliater.. Namun perlu kami sampaikan, adanya beberapa kekeliruan dalam tulisan-tulisan yang diviralkan di grup-grup WA dan di facebook.

Di bawah ini adalah kutipan lengkap dari buku Autobiografi Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung yang sehubungan dengan Pasukan Sriwijaya tersebut.

Buku Autobiografi tersebut diterbitkan tahun 2016 dengan judul: 

Putra Tapanuli Berjuang di Pulau Jawa. 

Penerbit Matapadi Yogyakarta,101 halaman.

Berikut ini kutipan dari buku Autobiografi Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, halaman 17 – 20.




                                     (Untuk memperbesar gambar, silakan klik gambarnya)



 PASUKAN SRIWIJAYA

Pada suatu pagi ketika penulis sedang berjalan kaki di Simpang, melihat dua orang pria yang tampaknya sedang kebingungan, berbicara secara emosional, badan kurus, pakaian compang camping. Setelah agak dekat, penulis mendengar bahwa mereka berbicara dalam bahasa Tapanuli, Sebagai sesama orang Tapanuli penulis berbicara dengan mereka dalam bahasa Tapanuli. Ternyata mereka termasuk orang-orang yang terdampar di Madura yang kemudian menyeberang ke Surabaya.

Mereka menuturkan kisahnya:
Mereka termasuk anggota Giyugun (tentara sukarela) dari Sumatera, yang sebagian besar berasal dari Aceh, Deli dan Tapanuli yang dibawa oleh Jepang ke Morotai, Maluku Utara. Jumlah mereka waktu di Morotai sekitar 2000 orang dan ikut dalam pertempuran melawan tentara Amerika. Mereka telah mengalami pemboman serta gempuran pesawat terbang dan kapal perang Amerika Serikat.

Jepang membentuk Giyugun (di Jawa dinamakan Heiho) di Malaya, Indochina, Filipina dan Sumatera mula-mula untuk membantu Jepang dalam pertahanan pesisir dan menjaga keamanan serta ketertiban lingkungan. Giyugun di Sumatra dibentuk mulai bulan September 1943. Pemuda-pemuda yang direkrut adalah anak anak dari keluarga terpelajar seperti guru-guru, pejabat dan pemuka agama. Jadi Giyugun ini terdiri dari kelompok yang berpendidikan. Menjelang akhir perang, karena kekurangan prajurit Jepang,Giyugun asal Sumatra ini dibawa ke Morotai untuk membantu Jepang dalam pertempuran melawan sekutu.

SetelahJepang menyerah, mereka dilepaskan begitu saja oleh karena tidak ada pengaturan mengenai Giyugun. Mereka tidak tahu di mana mereka berada, di sekitarnya hanyalah hutan belantara dan laut. Dengan berbagai cara mereka mencari dunia yang ada penghuninya, dan akhirnya beberapa ratus orang terdampar di Sulawesi, a.l. di Majene. Sebagian menetap di sana, sebagian lagi ingin pulang ke kampung halaman di Sumatera dan mereka ini meneruskan petualangan dengan mencuri bahkan merampok untuk hidup. Mereka kemudian mengambil perahu-perahu dan kemudian berlayar.

Pada suatu hari sekitar 400 orang terdampar di Madura. Di sana mereka mendengar bahwa Madura itu dekat dengan Surabaya, nama kota yang pernah mereka dengar. Maka menyeberanglah mereka ke Surabaya tanpa mengetahui jalan, bahasa dan tidak mempunyai uang.
Kepada kedua orang ini penulis memberitahukan mengenai keadaan yang sudah berubah bahwa kita sudah merdeka dan siap untuk mempertahankan kemerdekaan. Penulis menganjurkan agar mereka mengumpulkan teman-temannya dan merundingkan kemungkinan untuk bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dibentuk. Setelah berhasil mengumpulkan mereka semua, diadakan pembicaraan dengan hasil bahwa semua setuju untuk membentuk pasukan sendiri dan bergabung dengan tentara Indonesia yang sedang dalam proses pembentukan.

Hal ini dikonsultasikan dengan pimpinan Divisi VI yang kemudian memutuskan menyetujui pemberian status tersendiri bagi para bekas Giyugun yang telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Amerika dan sekutunya di Morotai. Mereka kemudian memilih pimpinannya sendiri dan mengatur pangkat seperti satu batalyon. Setelah diperlengkapi dengan seragam dan tanda pangkat (seperti tentara Jepang, dengan sedikit perubahan), kemudian mereka diberi persenjataan.Mereka menamakan dirinya Pasukan Sriwijaya. Pimpinan mereka bernama Jansen Rambe, yang penulis temui di Simpang beberapa waktu sebelumnya, sehingga pasukan ini dikenal sebagai pasukan Jansen Rambe.

Yang sudah biasa melayani meriam ditempatkan di Kedung Cowek dan yang sanggup memakai senjata penangkis serangan udara disebarkan menurut lokasi meriam penangkis serangan udara.

Di Kedung Cowek pada waktu itu ada rentetan benteng-benteng di pantai menghadap ke Selat Madura. Belanda yang membangun perbentengan yang kokoh ini tidak sempat menggunakannya dan setelah Jepang menyerah, benteng-benteng tersebut masih utuh. Meriam-meriam yang besar dilindungi oleh beton yang tebal dan kokoh, dimaksudkan untuk menghadapi kapal musuh yang mendekati pelabuhan dan pantai Surabaya. Tentara Belanda sendiri tidak sempat menembakkan satu peluru pun pada waktu Jepang menduduki wilayah jajahan Belanda termasuk pulau jawa. Tentara jepang kemudian menambahkan persenjataan dan memperkuat perlindungan.

Tentara Jepang pun tidak sempat memanfaatkan benteng-benteng ini untuk menembak kapal perang musuh sehingga benteng-benteng yang kokoh dan lengkap dengan semua persenjataannya jatuh ketangan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. Di sinilah anggota-anggota Pasukan Sriwijaya yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman tempur ditempatkan. Pada waktu kapal perang Inggris menembaki Surabaya, mereka sangat terkejut melihat perlawanan dari arah benteng-benteng di Kedung Cowek.

Dilihat dari kualitas tembakan mereka menyangka yang melayani meriam-meriam tersebut adalah anggota tentara jepang yang tidak tunduk pada perintah dan dikategorikan sebagai penjahat-penjahat perang (war criminals). Inggris tidak memperhitungkan bahwa pihak Indonesia memiliki anggotapasukan yang mampu melayani meriam-meriam berat seperti yang ada di benteng-benteng di Kedung Cowek. Bahwa ada bekas Giyugund ari Sumatera yang terlatih dan berpengalaman tempur, tentu sama sekali di luar dugaan mereka. Hal ini kemudian hari mereka ketahui dari beberapa orang Indonesia yang pada waktu itu ikut dengan pasukan Inggris.

Dalam pertempuran 3 hari di akhir bulan Oktober 1945 dan pertempuran mempertahankan Surabaya mulai 10 November 1945 diperkirakan sepertiga dari Pasukan Sriwijaya ini tewas. Sebagian besar dari mereka tewas di benteng-benteng di Kedung Cowek.

Semoga rakyat Surabaya juga mengenang putra-putra Sumatera yang gugur sebagai pahlawan tak dikenal dalam mempertahankan kota Surabaya. Kota yang samasekali mereka tidak kenal. Sebagian dari mereka tidak sempat lagi dikuburkan pada waktu perang berkecamuk.

***