Tuesday, June 07, 2016

Telah Terbit Buku: SERANGAN UMUM 1 MARET 1949






Telah terbit buku:
“SERANGAN UMUM 1 MARET 1949”
Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat. 
306 + xxx halaman.

 Lampiran a.l.:

1.    Perintah Siasat Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, tgl 1.1.1949 (halaman 271),
2.    Instruksi Rahasia Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng tgl. 18.2.1949, untuk mengadakan serangan besar-besaran antara tgl. 25.2. – 1.3. 1949 (halaman 278).

3. Sambutan tertulis Gubernur DIY Sri Sultan Hamangku Buwono X dalam acara Orasi Kebangsaan II “Serangan Umum 1 Maret 1949” yang disampaikan oleh Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara Hutagalung di Fakultas Hukum UGM pada 9 Maret 2015.





Penulis: Batara R. Hutagalung.
Penerbit: Matapadi, Yogyakarta

Harga Rp. 65.000,- (Di luar ongkos kirim)

Dapat memesan langsung ke penerbit atau ke penulis.


Pengantar

Sejak tahun 70-an hingga sekarang, terus menjadi kontroversi, siapa penggagas dan pemberi perintah peristiwa yang dinamakan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Di era Orde Baru, hanya dikenal bahwa penggagas, pemberi perintah dan pemegang kendali operasi militer tersebut adalah Letkol Suharto, Komandan Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta.

Setelah Presiden Suharto lengser, muncul versi kedua, bahwa penggagas, dsb. Adalah Sultan Hamengku Buwono IX.



Di Konferensi Nasional Sejarah VII bulan Oktober 2001 di Jakarta, saya menyampaikan “versi ketiga” sebagai Makalah dengan judul “Fakta Baru Mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 “, yang menjadi landasan penulisan buku ini.

Di versi ketiga ini, tidak ada aktor tunggal, yaitu yang mendengar siaran radio internasional, penggagas operasi militer RI terbesar pada waktu itu, pengendali serangan dsb.

Versi ini pertama kali muncul di Majalah bulanan Bonani Pinasa yang terbit di Medan. Di edisi November dan Desember 1992 telah dimuat secara bersambung penuturan Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung. Namun peredaran majalah ini terbatas hanya di Medan dan sekitarnya.

Ketika mengurus Bintang Gerilya tahun 1994, yang menjadi saksi untuk mendapat tanda penghargaan tersebut adalah Presiden Suharto dan Jenderal TNI (Purn.) Surono, yang tahun 1949 adalah ajudan dari dr. Wiliater Hutagalung di Yogyakarta.


            dr. Wiliater Hutagalung diterima Presiden Suharto di Jl. Cendana








Untuk keperluan ini, satu eksemplar Riwayat  Perjuangan Letkol. dr. Wiliater Hutagalung, yang juga berisi episode Serangan Umum 1 Maret 1949, diserahkan kepada Presiden Suharto.


Latar belakang dan Tujuan Serangan Umum 1 Maret 1949

Peristiwa ini terjadi di masa agresi militer Belanda II yang dilancarkan pada 19 Desember 1948. Belanda mengerahkan pasukan terbesarnya untuk menghancurkan Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Belanda menamakan agresi militer ini sebagai "aksi polisional" untuk membasmi perampok dan perusuh yang dipersenjatai oleh Jepang.

Tentara Belanda berhasil menangkap hampir semua pimpinan Republik Indonesia, termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Akhir Desember 1948 Belanda menyatakan "aksi polisional" telah berakhir dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi.

Pada 28 Januari 1949 PBB mengeluarkan Resolusi yang isinya  a.l. menyerukan kepada Belanda agar membebaskan para pemimpin Republik Indonesia yang ditahan oleh Belanda, dan kembali ke meja perundingan.

Belanda menolak dengan menyatakan, bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, demikian juga tidak ada lagi kekuatan bersenjata pendukung RI. Belanda tidak mau menyebut TNI.

Dewan Keamanan PBB rencananya akan bersidang lagi pada bulan Maret 1949.

Penolakan Belanda dan rencana Sidang Dewan Keamanan PBB dapat didengar oleh pimpinan Republik Indonesia, baik militer maupun sipil, yang sedang melakukan Perang Gerilya.

Kepada Panglima Besar Sudirman yang waktu itu berada di dekat Pacitan, masuk berbagai informasi mengenai hal ini, yang dapat didengar melalui “Radio Rimbu.”

Awal bulan Februari 1949 Letkol. dr. Wiliater Hutagalung, Perwira Teritorial yang juga di tim dokter Panglima Besar, sedang berada bersama Panglima Besar. Sebagai Perwira Teritorial, Hutagalung menjadi penghubung antara Panglima Besar dengan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, yang membawahi Jawa Tengah Bagian Barat.

Panglima Besar Sudirman membahas masalah ini dengan pimpinan militer yang juga dihadiri oleh Letkol. dr. W. Hutagalung.

Diputuskan untuk mengadakan serangan secara besar-besaran di wilayah Divisi I, II dan III, yang tidak dapat ditutup-tutupi oleh Belanda, dan harus diketahui oleh dunia internasional. Operasi militer ini harus dilaksanakan sebelum Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Placid, USA.

Hal ini perlu dilakukan untuk memperkuat posisi delegasi Indonesia, di bawah pimpinan Lambertus Nicodemus Palar,  dalam Sidang Dewan Keamanan PBB bulan Maret.

Letkol. dr. W. Hutagalung ditugaskan untuk menyusun “Grand Design” Serangan Umum di wilayah Divisi III/Gubernur Militer III.

Serangan Umum adalah serangan yang dilakukan serentak di seluruh wilayah suatu Divisi, dan perintah diberikan oleh Panglima Divisi.

Pada 18 Februari 1949, di Markas Divisi III di lereng Gunung Sumbing digagas Serangan Umum di seluruh wilayah Divisi III, dengan suatu SERANGAN SPEKTAKULER terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang diduduki oleh Belanda ketika melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1949.

Serangan di seluruh wilayah Divisi I (Jawa Timur) di bawah Panglima Divisi Kol. Sungkono,, Divisi II (Jawa Tengah Bagian Timur) di bawah Panglima Divisi Kol. Gatot Subroto dan Divisi III (Jawa tengah Bagian Barat) di bawah Panglima Divisi Kol. Bambang Sugeng, dilancarkan hampir bersamaan.

Operasi militer terbesar selama Perang Gerilya melibatkan seluruh jajaran pimpinan militer dan sipil yang ikut bergerilya. Unit medis dan paramedis melibatkan Palang Merah Indonesia. Logistik (makanan dan minuman) selama berlangsungnya Perang Gerilya, disediakan oleh rakyat.

Pemerintah Darurat RI di Bukittinggi juga selalu mengeluarkan siaran yang menunjukkan eksistensi dari Pemerintah Indonesia di pengasingan (Government in exile). Siaran-siaran dari Jawa, secara estafet diteruskan melalui pemancar di Banten, Bukittinggi, Kota Raja (sekarang banda Aceh) sampai ke Singapura dan New Delhi … kemudian sampai ke PBB di Lake Placid, USA.

Operasi militer dengan garis komando yang ketat, dan dukungan pemerintah sipil serta peran para diplomat RI di PBB berhasil meyakinkan dunia internasional, bahw Republik Indonesia masih ada, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sanggup melancarkan serangan besar, dan bahkan menduduki Ibukota Yogyakarta selama beberapa jam.

                     ********