Permintaan Maaf Yang Merangkak
Dari Belanda
Catatan Batara R. Hutagalung
Pendiri dan Ketua Komite Utang Kehormatan
Belanda (KUKB)
Pendahuluan
Pada 18
Februari 2022, media di Belanda memberitakan, bahwa pada hari Kamis 17 Februari
2022 Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf yang
mendalam kepada rakyat Indonesia sebagai reaksi awal atas hasil penyelidikan mengenai
kekerasan yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi militer
Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Permintaan maaf Rutte ini sebenarnya sangat aneh, karena dalam
kunjungan Raja Belanda Willem Alexander ke Indonesia, pada 13 Maret 2020 di Jakarta,
dalam sambutannya di hadapan Presiden Joko Widodo, Willem Alexander
menyampaikan permintaan maaf atas tindak kekerasan yang berlebihan yang
dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.
Yang disampaikan oleh
Willem Alexander dan Mark Rutte mengenai kekerasan yang ekstrim yang dilakukan
oleh tentara Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia
antara tahun 1945 – 1949, sebenarnya juga bukanlah hal baru. Berita mengenai pembantaian-pembantaian
yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap penduduk sipil, non
combatant, di Indonesia sejak tahun 1946, telah diberitakan di media-media
internasional, juga sudah diketahui dan direspon oleh Dewan Keamanan PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa).
Pada 9 Desember 1947
tentara Belanda di bawah komando Mayor Alfons Wijnen membantai 431 penduduk
desa di Rawagede, dekat Karawang, tanpa proses hukum apapun. Pembantaian ini
jelas merupakan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Pembantaian
tersebut terjadi satu hari setelah dimulainya perundingan perdamaian di atas
Kapal Perang AS Renville pada 8
Desember 1947. Dewan Keamanan PBB menyatakan, bahwa pembantaian itu “deliberate
and ruthless” (dengan sengaja dan kejam).
Demikian juga
kejahatan-kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan oleh Westerling dan anak
buahnya dari pasukan elit Depot Speciaale
Troepen (DST), pasukan Baret Hijau, telah diberitakan oleh media di Belanda
dan di media internasional. Hal ini mengakibatkan Westerling dipecat dari dinas
ketentaraan KNIL pertengahan tahun 1948. Namun Westerling tidak pernah dihukum
atas kejahatan-kejahatannya, bahkan di Belanda dia disanjung sebagai pahlawan.
Dalam laporan hasil
penelitian yang diberitakan beberapa hari yang lalu, dinyatakan, bahwa tindak
kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah struktural dan bukan
pengecualian, seperti yang dilaporkan oleh pemerintah Belanda tahun 1969 yang
dinamakan “De Excessennota” (Catatan Ekses). Tahun 2016, sejarawan
Swiss-Belanda, Remy Limpach telah menerbitkan buku, di mana dia juga telah
menulis, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Republik
Indonesia merupakan tindakan yang struktural. Namun laporan kali ini dikemas,
seolah-olah hal-hal tersebut baru diketahui dan diungkap.
Rutte berbohong
apabila dia mengatakan, baru beberapa hari lalu mengetahui mengenai
kekerasan-kekerasan ekstrim yang dilakukan oleh tentara Belanda di masa agresi
militer Belanda di Republik Indoneia. Banyak orang Belanda yang pura-pura
terkejut membaca hasil penelitian yang dibiayai oleh pemerintah Belanda selama
lima tahun, dari tahun 2016 – 2021 dengan anggaran 4,1 juta Euro (sekitar Rp.
66,2 milyar). Ini semua merupakan kebohongan kolektif yang struktural.
Tahun 1947 PBB telah
menilai, bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda adalah
struktural, dengan sengaja dan kejam. namun baru diakui secara resmi oleh
pemerintah Belanda tahun 2022, 75 tahun kemudian.
Tuntutan agar
pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia juga bukan baru, melainkan
sejak tahun 2002, tepat 20 tahun lalu. Proses permintaan maaf ini berlangsung
selama belasan tahun dan bertahap. Dengan kata lain, permintaan maaf ini dilakukan secara merangkak dan setengah hati.
Tuntutan permintaan maaf
ini merupakan butir kedua dari petisi yang disampaikan kepada pemerintah
Belanda sejak tahun 2002. Tuntutan utama adalah, pemerintah Belanda harus mengakui de
jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Menuntut Pemerintah Belanda
Pada 8 Maret 2002, putra-putri pejuang
Indonesia bersama beberapa orang pejuang Angkatan ’45 mendirikan organisasi Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa
(KNPMBI).
Di Belanda, sepanjang tahun 2002 dirayakan
secara besar-besaran 400 tahun berdirinya VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). VOC adalah suatu kongsi
dagang, yang mendapat hak-hak istimewa dari penguasa Republik Belanda waktu
itu, Staaten Generaal, seperti
layaknya suatu negara. Kongsi dagang VOC ini yang mengawali kolonialisme
Belanda di Asia Selatan dan Asia tenggara.
Pada puncak acara peringatan 400 tahun
berdirinya VOC, yaitu tanggal 20 Maret 2002, KNPMBI melakukan demonstrasi ke
Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, dan menyampaikan petisi yang isinya menuntut
pemerintah Belanda untuk:
1.
Meminta
maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pembunuhan massal dan
berbagai pelanggaran HAM berat lain, terutama yang dilakukan oleh tentara
Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia antara tahun 1945
– 1950.
2.
Menghapus
seluruh utang Republik Indonesia kepada Belanda.
Demonstrasi ini diliput oleh satu media
televisi Belanda, NOS (Nederlandse Omroep
Stichting). Wartawati Belanda, Step Vaessen yang meliput acara tersebut, mengirim
berita mengenai demonstrasi tersebut ke Belanda dan di Belanda acara
demonstrasi tersebut ditayangkan pada hari itu juga, tanggal 20 Maret 2002.
Jadi, pemerintah dan rakyat Belanda telah mengetahui mengenai tuntutan-tuntutan
ini sejak tanggal 20 Maret 2002, yaitu 20
tahun lalu.
Mengenai tuntutan kepada pemerintah Belanda,
juga telah disampaikan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag,
Belanda, untuk diketahui adanya. Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan
Belanda pada waktu itu adalah Abdul Irsan SH. Setelah purna tugas tahun 2006,
Beliau menjadi Wakil Ketua Dewan Penasihat Komite Utang Kehormatan Belanda
(KUKB).
Bulan Juni 2002 di
jakarta. Dari kiri:
Ketua Dewan
Penasihat KNPMBI Mayjen TNI (Purn.) KRMH Jonohatmojo, Duta Besar RI untuk
Kerajaan Belanda Abdul Irsan SH., Ketua KNPMBI Batara R. Hutagalung.
Pada 3 April 2002, Duta Besar Belanda waktu
itu, Baron Schelto van Heemstra mengundang pimpinan KNPMBI ke Kedutaan Belanda.
Dia mengusulkan penyeelenggaraan bersama seminar mengenai VOC. Seminar mengenai
VOC terlaksana pada 3 dan 4 September 2002 bertempat di Hotel Menara Peninsula,
Jakarta. Yang menjadi pembicara adalah 6 orang sejarawan Indonesia, dan 4 orang
sejarawan yang datang dari Belanda. Belanda
belum mau meminta maaf.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI luas, dan
tidak terbatas pada Belanda, maka untuk fokus pada permasalahan dengan Belanda,
pada 5 Mei 2005 bertempat di Gedung Joang ’45 Jakarta, para aktivis KNPMBI
mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Tanggal 20 Mei 2005,
pimpinan KUKB ke Kedutaan Belanda dan menyampaikan tuntutan kepada pemerintah
Belanda untuk:
1.
Mengakui
De Jure Kemerdekaan Republik
Indonesia 17 Agustus 1945.
2.
Meminta
maaf atas Penjajahan, Perbudakan dan Pelanggaran HAM Berat
3 April 2002. Duduk di depan: Duta Besar Belanda Baron Sachelto
van Heemstra dan Hj, Lukitaningsih Irsan Radjamin, Penasihat KUKB.
Berdiri di belakang dari
kiri: Kol. TNI (Purn.) Goenanto Martodipoero, Ir. Nuli Salih Siregar, Dra. Irna
HN Hadi Soewito, Ketua KUKB Batara Hutagalung, Staf Kedutaan Belanda.
Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda (waktu
itu) Bernard Rudolf “Ben” Bot di
Jakarfta menyampaikan secara lisan dua hal:
1.
Mulai
saat itu pemerintah MENERIMA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945 SECARA MORAL DAN
POLITIS.
2.
Dalam
aksi militer tahun 1947 banyak orang di kedua belah pihak (Belanda dan
Indonesia) kehilangan nyawa atau luka2. Untuk itu saya menyampaikan rasa penyesalan yang mendalam
(profound regret).
Di Indonesia, tidak ada yang memperhatikan
formulasi kalimatnya, yaitu MENERIMA (ACCEPTANCE) proklamasi 17.8.1945
secara moral dan politis, dengan kata lain, hanya de facto, tetapi tidak MENGAKUI (RECOGNITION), secara yuridis,
yaitu de jure.
Sehari sebelum berangkat ke Indonesia,
tanggal 15 Agustus 2006 dalam suatu acara di Den Haag, Belanda, dia menyatakan
akan ke Jakarta dan menyampaikan, bahwa pemerintah Belanda AKAN MENERIMA DE FACTO
PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945.
Ucapan Menlu Ben Bot tersebut seharusnya
sangat mengejutkan untuk pemerintah dan rakyat Indonesia, karena artinya,
sampai 16 Agustus 2005, untuk pemerintah Belanda, Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945, tidak ada samasekali.
Setelah 60 tahun, pemerintah Belanda berbesar hati dan berkenan menerima de
facto, keberadaan negara Indonesia, namun tetap tidak diakui legalitasnya.
Namun di Indonesia hanya beberapa orang saja yang berreaksi dan memberi
tanggapan.
Mengenai permintaan maaf, Menlu Belanda Ben
Bot menyesalkan jatuhnya korban di
kedua belah pihak, jadi tidak khusus korban pembantaian di pihak Indonesia.
Pada 14 Desember 2005, ketua KUKB, Batara R.
Hutagalung, didampingi oleh Ketua Dewan Penasihat KUKB, Laksamana Pertama TNI
(Purn.) Mulyo Wibisono (alm.) berangkat ke Belanda. Mulyo Wibisono dan Batara
Hutagalung tiba di Amsterdam pada 15 Desember. Pada hari tiu juga, pimpinan
KUKB didampingi oleh para pendukung KUKB di Belanda, ke parlemen Belanda di Den
Haag. Delegasi KUKB diterima oleh Albert Gerad “Bert” Koenders, Ketua Fraksi
Partai Buruh (PvdA) dan Angelina Maria Catharina “Angelien” Eijsink, juga dari
PvdA, yang membidangi pertahanan dan veteran Belanda. PvdA pada waktu itu
merupakan partai oposisi di Belanda.
Di parlemen Belanda. dari kiri: Ketua Dewan Penasihat
KUKB Mulyo Wibisono, Ketua KUKB Batara Hutagalung, Bert Koenders, Angelien
Eijsink
Kepada kedua anggota parlemen Belanda
tersebut KUKB memaparkan tuntutan kepada
pemerintah Belanda, yaitu agar pemerintah Belanda:
1.
Mengakui
de Jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
2.
Meminta
Maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan dan berbagai
pelanggaran HAM Berat.
Dalam kesempatan tersebut, disampaikan secara
rinci persitiwa pembantaian terhadap penduduk sipil di Rawagede. Pada 9
Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa. semua penduduk
sipil, non-kombatan. Bert Koenders berjanji akan membawa hal ini ke sidang
pleno parlemen Belanda dan berjanji akan membantu desa Rawagede. Sejak tahun
2006, peristiwa pembantaian di desa Rawagede pada 9 Desmber 1947 menjadi agenda
pembahasan di parlemen Belanda lebih dari lima kali. Tahun 2007 – 2010 Bert
Koenders menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan, dan tahun 2014 – 2017 dia
menjadi Menteri Luar Negeri Belanda.
Ketika menjadi Menteri Kerjasama Pembangunan,
Bert Koenders memenuhi janjinya. Tahun 2009 dia mengucurkan dana 850.000 Euro
(sekitar Rp. 13,77 milyar) untuk pembangunan di desa Rawagede. Dana ditransfer
melalui Kementerian Dalam Negeri RI.
Sejak tahun 2005, hampir setiap tahun KUKB
melakukan demonstrasi di Kedutaan Belanda di Jakarta, dengan menghadirkan para
janda dan korban selamat dari pembantaian di Rawagede. Dalam beberapa
demonstrasi, juga dihadirkan keluarga korban pembantaian di daerah-daerah lain,
termasuk korban Westerling di Sulawesi Selatan. Tuntutan yang disampaikan
selalu dua butir tersebut, yaitu pemerintah Belanda harus mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
dan meminta maaf kepada bangsa Indonesia.
Pada pertengahan bulan Oktober 2008, delegasi
parlemen Belanda melakukan “kunjungan
kerja’ ke Indonesia, untuk memantau “pekembangan HAM” di Aceh, Papua dan Maluku.
Ketua KUKB, Batara Hutagalung mengenal seorang anggota delegasi Belanda, Henricus
“Harry” van Bommel anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, dan
mengundangnya untuk bertemu dengan beberapa orang janda korban pembantaian di
Rawagede, dan seorang korban yang selamat.
Dari kiri: Ketua KUKB Batara Hutagalung, Harry van
Bommel, Sa’ih, Ibu Wisah, Ibu Wanti, Joel Voordewind, Harm Evert Waalkens.
Pada 19 Oktober 2008 terlaksana pertemuan
yang bersejarah, yaitu tiga anggota parlemen Belanda, Harry van Bommel dari
Partai Sosialis, Joel Stephanus Voordewind dari Partai Uni-Christen dan Harm
Evert Waalkens dari Partai Buruh dipertemukan dengan dua janda korban, Ibu
Wisah dan Ibu Wanti, serta seorang korban selamat, Sa’ih. Semua sudah berusia
di atas 80 tahun. Pertemuan berlangsung di Hotel JW Marriott Jakarta. Pertemuan
tersebut dihadiri oleh seorang wartawati yangmerupakan koresponden satu media
di Belanda, dan diliput oleh TVRI.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua KUKB Batara
Hutagalung menyampaikan tuntutan kepada para anggota parlemen Belanda, agar
dalam peringatan di Monumen Rawagede pada 9 Desember 2008, Duta Besar Belanda
harus hadir. Setelah pertemuan berakhir, Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam
datang ke ruang pertemuan dan masih sempat menyapa semua yang hadir.
Pada 18 November 2008, dalam sidang pleno di
parlemen Belanda (Tweede Kamer), Harry
van Bommel menyampaikan tuntutan Ketua KUKB Batara Hutagalung, agar pada
peringatan di Monumen Rawagede Duta Besar Belanda harus hadir. Harry van Bommel
menyampaikannya di sidang pleno yang disebut
sebagai “de Motie van Bommel”
(Mosi van Bommel). Dilakukan voting atas mosi tersebut. Dalam voting, ada anggota
dari partai-partai oposisi yang mendukung mosi dan ada yang menolak. Demikian
juga dari partai-partai pendukung pemerintah, ada yang mendukung mosi dan ada
yang menolak.
Hasil voting sangat mengejutkan namun
menggembirakan untuk Indonesia. Dari 150 anggota parlemen Belanda, semua hadir,
76 orang menyatakan mendukung, dan 74 orang menolak tuntutan Ketua KUKB. Hanya
berbeda dua suara, tidak ada yang abstain. Ketika ditanya oleh wartawan, van
Bommel mengatakan, dia akan segera menyampaikan kabar gembira ini kepada orang
yang mewakili para keluarga korban di Rawagede, yaitu Ketua KUKB, Batara
Hutagalung. Mengenai voting ini diberitakan oleh media di Belanda.
Pada hari itu juga Harry van Bommel menelepon
dari Belanda. karena adanya perbedfaan waktu 6 jam, maka Harry menelepon pukul
18.00 waktu Belanda. sedangkan di Jakarta telah pukul 24.00. Harry van Bommel
menyampaikan hasil voting di parlemen Belanda kepada Ketua KUKB, Batara
Hutagalung. Batara Hutagalung kemudian mengeluarkan Press Release yang disampaikan ke semua media yang ada di
Indonesia, baik media nasional maupun media internasional., yang isinya adalah,
berdasarkan keputusan parlemen Belanda, Duta Besar Belanda harus hadir pada
peringatan pembantaian 431 penduduk desa Rawagede, di Monumen Rawagede pada 9
Desember 2008.
Tanggal 9 Desember 2008 merupakan lembaran
baru dalam hubungan Indonesia - Belanda, yang sehubungan dengan lembaran hitam
sejarah Belanda di Indonesia. Acara peringatan di Monumen Rawagede ini dihadiri oleh sekitar 150 media nasional
dan internasional, baik media cetak maupuin elektronik.
Sesuai dengan keputusan parlemen Belanda, Duta
Besar Kerajaan Belanda Dr. Nikolaos van Dam hadir pada acara tanggal 9 Desember
2008 dan memberi sambutan. Ini merupakan pertama kalinya seorang perwakilan
tertinggi Belanda di Indonesia hadir dalam peringatan pembantaian terhadap
penduduk sipil di Indonesiayang dilakukan oleh tentara Belanda.
Di Monumen Rawagede 9 Desember 2008.
Dubes Belanda Dr. Nikolaos van Dam
dan Ketua KUKB Batara Huataglung.
Dalam sambutannya, selain menjelaskan bahwa
kehadirannya adalah atas keputusan parlemen Belanda, dia menyampaikan PENYESALAN (REGRET) atas
peristiwa yang dialami oleh penduduk desa Rawagede pada 9 Desember 1947. Belanda masih belum mau meminta maaf, masih
sebatas menyesal.
Pada peringatan di Monumen Rawagede tanggal 9
Desember 2011, setelah vonis di pengadilan sipil di Belanda yang menyatakan
pemerintah Belanda bersalah atas tindak kekerasan di Rawagede tahun 1947, Duta
Besar Belanda, Tjeerd de Zwaan menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga
korban pembantaian. Permintaan maaf ini masih terbatas pada keluarga korban
pembantaian di Rawagede, belum
permintaan maaf secara menyeluruh.
Dari kiri: Kol.
TNI Haryono, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan.
Ketua KUKB Batara
Hutagalung.
Kemudian ketika memberi kompensasi kepada
beberapa orang janda korban Westerling di Makassar, Duta Besar Belanda
menyampaikan permintaan maaf, di mana
digaris-bawahi, bahwa permintaan maaf ini hanya sebatas pada keluarga korban
pembantaian Westerling, dan tidak untuk seluruh korban di Indonesia. Namun
sudah ada peningkatan dari rasa menyesal ke permintaan maaf, walaupun masih
terbatas. Dengan demikian Belanda masih belum mau meminta maaf atas seluruh
kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dilakukan oleh tentara
Belanda di masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia.
Pada bulan Januari 2009, Menlu Belanda Maxime
Verhagen dan Dirjen Politik Kemlu Belanda, Pieter de Goeijer ke Jakarta. Pada
14 Januari, bertempat di Kedutaan Besar Belanda, Ketua KUKB Batara Hutagalung
selama sekitar satu jam bertemu dengan Pieter de Goeijer. Batara Hutagalung
menyampaikan a.l. kejanggala “hubungan diplomatik” antara Indonesia dengan
Belanda, karena pemerintah Belanda tidak mau mengakui de jure kemerdekaan
Republik Indonesia 17.8.1945.
Dirjen Politik
Kemlu Belanda Pieter de Goeijer dan Ketua KUKB Batara Hutagalung
Kemudian Batara Hutagaklung diundang untuk
bertemu dengan Menlu Maxime Verhagen. Dalam pertemuan ini, Batara Hutagalung
menyampaikan, bahwa negara yang diakui oleh Pemerintah Belanda, yaitu Republik
Indonesia Serikat (United States of Reublic Indonesia) telah dibubarkan pada
16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950
dinyatakan berdirinya ke,mbali Negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitarian Republic of Indonesia). dan
sekarang Kerajaan Belanda berhubungan dengan NKRI. Maxime verhagen tidak
memberi komentar apapun.
Menlu Belanda Maxime Verhagen dan Ketua KUKB Batara
Hutagalung
Sebagai catatan: Republik Indonesia menjadi
anggota perserikatan Bangsa-Bangsa pada 27 September 1950, sebagai anggota ke
60. Jadi yang terdaftar di PBB adalah
NKRI, bukan RIS yang diakui oleh Belanda hingga saat ini.
Pada 9 Oktober 2013, Ketua KUKB Batara
Hutagalung, didampingi oleh Wakil Ketua KUKB, Dipl. Ing. Deddy Toekan (alm.) serta
beberapa pendukung KUKB di Belanda, untuk keempat kalinya ke parlemen Belanda.
kali ini delegasi KUKB diterima oleh Harry van Bommel dan Angelien Eijsink,
yang merpakan kenalan-kenalan lama.
Dalam pertemuan ini, Batara Hutagalung,
menyampaikan, bahwa masalah pengakuan de
jure dari pemerintah Belanda atas kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus
1945 harus dibahas tuntas. Selain itu, Batara Hutagalung menyampaikan undangan
kepada kedua anggota parlemen Belanda tersebut untuk menghadiri peringatan
peristiwa pembantaian di desa Galung Lombok pada 1 Februari 2014. Pada 1
Februari 1947, di desa Galung Lombok, kabupaten Polewali Mandar, Provinsi
Sulawesi Barat, anak buah Westerling dari pasukan elit Depot Speciaale Troepen (DST), membantai sekitar 700 penduduk desa.
Dalam penembakan yang dilakukan secara membabi-buta dengan senapan mesin, juga
ikut terbunuh seorang perempuan hamil dan anak-anak. Harry van Bommel dan
Angelien Eijsink menyampaikan, tidak dapat hadir pada tanggal tersebut, karena
mereka telah memiliki agenda lain.
Pada bulan Maret 2020
Raja Belanda Willem Alexander berkunjung ke Indonesia. Pada 13 Maret 2020 dalam
sambutannya di hadapan Presiden Joko Widodo, Willem Alexander mengatakan a.l.:
menyampaikan permintaan maaf atas tindak
kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia antara tahun
1945 – 1950.
Dilema
Belanda
Hingga sekarang, saat artikel ini ditulis pada 20
Februari 2022,, pemerintah Kerajaan Belanda tetap tidak mau mengakui de Jure kemedekaan Republik Indonesia 17
Agustus 1945.
Untuk pemerintah Belanda, kemerdekaan Indonesia adalah
27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “memindahkan” kedaulatan (transfer of souvereignty) dari
pemerintah Nederlands Indie (India
Belanda) ke pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom.
Republik Indonesia merupakan satu dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom
tersebut. Tidak lama setelah berdirinya
RIS, satu-persatu 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom tersebut membubarkan diri
dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Pada 16 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS)
dibubarkan, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945. Republik Indonesia terdaftar sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan September 1950 sebagai Republik Indonesia (RI),
bukan sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS) yang sudah dibubarkan pada 16
Agustus 1950.
Sebagaiman telah ditulis di atas, pada 16 Agustus 2005
Menlu Belanda di Jakarta menyampaikan secara lisan, nahwa mulai saat itu
(16.8.2005) pewmerintah Belanda menerima de
facto proklamasi 17.8.1945, bukan de
jure.
Memang untuk pemerintah Belanda masalah ini sangat
dilematis. Apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka dengan
demikian, pemerintah Belanda terpaksa mengakui, bahwa yang dinamakan “aksi
polisional” tahun 1947 dan 1948 adalah agresi militer terhadap negara Republik
Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Akibatnya sangat fatal untuk Belanda,
yaitu:
1. Pemerintah
Belanda harus membayar pampasan perang (war
reparation), seperrti yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang kepada
Republik Indonesia.
2. Tentara
Belanda menjadi penjahat perang (war
criminals). Oleh karena itu yang paling gigih menentang pengakuan de jure adalah para veteran Belanda yang
pernah ikut dalam agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1949.
Naum di lain pihak, dengan tidak mengakui de jura
Republik Indonesia, pemerintah Belanda telah melanggar etika dan norma
internasional, yaitu apabila dua negara menjalin hubungan diplomatik, keduanya
harus saling mengakui dan menghargai. Dengan sikap ini, pemerintah Belanda
merendahkan negara Republik Indonesia yang dianggap tidak setara, juga
melecehkan martabat bangsa Indonesia.
Alasan pemerintah Belanda melancarkan “aksi
polisional” adalah untuk membasmi perampok, perusuh, pengacau keamanan dan
ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang. Dengan tetap tidak mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 1945, berarti untuk pemerintah Bellanda, para pejuang Indonesia yang
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di seluruh Indonesia adalah para perampok,
perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Sampai saat ini, kalangan konservatif dan sebagian
veteran Belanda masih menyimpan dendam terhadap Republik Indonesia. Dengan
pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, hilang sumber
kekayaan Belanda yang selama ratusan tahun menikmati kekayaan hasil penjajahan
dan perampokan kekayaan Nusantara.
Perang secara militer pertama, yaitu perang Republik
Indonesia mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda berakhir
dengan diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB), 23 Agustus – 2 November
1949. Perang secara militer kedua, yatiu dalam merebut Irian Barat berakhir
dengan ditandatanganinya Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, di mana
Irian Barat diserahkan ke Republik Indonesia. Perjanjian ini berlaku mulai
tanggal 1 Mei 1963, dan dikukuhkan dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)
tahun 1969.
Namun perang non militer antara Republik Indonesia
melawan Belanda belum berakhir. Banyak kalangan di Belanda yang masih menyimpan
dendam karena sumber kekayaan Belanda selama ratusan tahun telah menjadi negara
merdeka dan berdaulat. Mereka masih terus berusaha memecah-belah NKRI melalui dukungan
terhadap gerakan-gerakan separatis di Indonesia, selalu memojokkan Indonesia di
dunia internasional dengan isu pelanggaran HAM, melakukan metode lama, yaitu divide et impera, dll., dengan tujuan
yang sama sejak tahun 1945, yaitu menghancurkan Negara kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan proklamasi 17 Agustus 1945.
Jakarta, 21 Februari 2022
********