Tuesday, December 26, 2023

SURABAYA 10 NOVEMBER 1945. Latar Belakang dan Tujuan Agresi Militer Inggris di Republik Indonesia

 

 

 

 

TELAH TERBIT BUKU

 

SURABAYA 10 NOVEMBER 1945

Latar Belakang dan Tujuan Agresi Militer Inggris

di Republik Indonesia.

Karya Batara R. Hutagalung

 


Penerbit: INDOCAMP, Jakarta, Oktober 2023.

Tebal buku 420 halaman.

Harga buku Rp. 190.000,-.

 

Kata Sambutan, Edisi pertama, Oktober 2001:

(Judul buku: “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?”)

-      Letjen TNI (Purn.) R. Soeprapto, Ketua Umum Dewan Harian Angkatan ‘45/ Gubernur DKI Jakarta 1982 – 1987.

 

Kata Sambutan, Edisi Oktober 2023:

-      Bambang Sulistomo, SIP, MSi. (Putra Bung Tomo, Pahlawan Nasional).

-      Letjen TNI (Purn.) R. Ediwan Prabowo, SIP, Pangdam V/Brawijaya, 2013 – 2014.

-      DR (HC) Heppy Trenggono, M.Kom. Pengusaha, Pengamat Sejarah.

 

Sinopsis:

Hasil penelitian yang dilakukan sejak tahun 1994 – 1999 berhasil membuktikan, bahwa alasan pimpinan tentara Inggris untuk melakukan agresi militernya terhadap Republik Indonesia, yang dimulai dengan pemboman atas Surabaya pada 10 November 1945 adalah salah dan merupakan pemutar-balikan fakta.

Alasan yang dikemukakan oleh pimpinan tentara Inggris untuk mengerahkan pasukan terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II terbukti salah, yaitu menuduh pihak Indonesia:

1.   Telah melanggar gencatan senjata,

2.   Membunuh secara licik Brigjen Aubertin Walter Sothern  Mallaby.

 

Tujuan agresi militer Inggris ini sesungguhnya adalah membantu Belanda berkuasa kembali di bekas jajahannya. Diperoleh dokumen rahasia tertanggal 2 September 1945, di mana tertera perintah dari Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Vice Admiral Lord Louis Mountbatten kepada Panglima Divisi V tentara Inggris, yang isinya antara lain “... to return the colony to the Dutch administration ...” (terjemahannya: “... untuk mengembalikan koloni tersebut (Indonesia) kepada Belanda ...” Copy dokumen dilampirkan dalam buku ini.

Keabsahan dokumen ini diakui oleh Duta Besar Inggris untuk Republik Indonesia, Richard Gozney, dalam pernyataannya di Seminar Internasional dengan judul: “The Battle of Surabaya November 1945. Back Ground and Consequences.” yang diselenggarakan di LEMHANNAS RI tanggal 27 Oktober 2000.

Seminar tersebut diselenggarakan dalam rangka menuntut pemerintah Inggris untuk meminta maaf atas agresi militer dan bertanggungjawab atas akibat dari agresi militer tersebut.

Setelah berhasil menuntut pemerintah Inggris, materi/bahan-bahan untuk menuntut pemerintah Inggris diterbitkan sebagai buku pada bulan Oktober 2001, dengan judul:

“10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?.”

 

Selain kedua hal terpenting di atas, dalam buku ini ditulis hal-hal yang juga harus diketahui  oleh seluruh rakyat Indonesia, antara lain:

 

-      Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dipandang dari semua segi adalah sah, antara lain berdasarkan hukum internasional, Konvensi Montevideo 26 Desember 1933. Juga merujuk pada pernyataan kemerdekaan 7 provinsi di Belanda pada 26 Juli 1581 yang melepaskan diri dari penjajahan Spanyol, dan kemudian mendirikan Republik Belanda.

-      Perjanjian Chequers/Civil Affairs Agreement yang ditandatangani oleh pemerintah Belanda dan pemerintah Unggris di Chequers, Inggris, pada 24 Agustus 1945, merupakan “pernyataan perang” ABDACOM terhadap Republik Indonesia.

-      Resolusi Jihad Ulama Se-Jawa dan Madura yang dideklarasikan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya.

-      Pertempuran heroik dan dahsyat serta sangat membanggakan di Surabaya tanggal 28 – 30 Oktober 1945, yang merupakan pertempuran besar pertama antara tentara Indonesia (TKR/BKR) melawan tentara sekutu di bawah komando Brigjen AWS Mallaby.

-      Pada 30 Oktober 1945 dalam rangka menyebar luaskan berita mengenai tercapainya gencatan senjata, terjadi tembak-menembak di mana  kemudian Brigjen Mallaby ditemukan tewas.

Peristiwa ini yang dijadikan alasan oleh tentara Inggris untuk melancarkan agresi militernya yang dimulai dengan pemboman Surabaya pada 10 November 1945.

 

 

********

Friday, August 18, 2023

SEPUTAR PERISTIWA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

 

SEPUTAR PERISTIWA

PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

 

 

Catatan Batara R. Hutagalung

Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Pedulu Sejarah

(FKMPS)

 

Sejak adanya media sosial, a.l. youtube, facebook, dll, dan terlebih lagi sejak muncul berbagai kanal/podcast yang tumbuh seperti jamur di musim hujan, setiap orang dengan mudah dan murah, bahkan gratis, dapat menyebarluaskan segala macam berita, juga karangan-karangan pribadinya, termasuk “mengarang” peristiwa-peristiwa sejarah.

Menjelang tanggal 17 Agustus setiap tahun, bermunculan sangat banyak cerita-cerita mengenai peristiwa-peristiwa seputar proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagian besar ceita yang tidak benar dan tidak jelas sumber-sumbernya. Bahkan cukup banyak yang harus dikatakan ngawur, karena karangannya sangat salah dan tidak masuk akal

Dalam penulisan historiografi, ada adagium, yaitu: “No document, no history ... only his strory.” Yang artinya, “Tanpa dokumen, tidak ada sejarah ... hanya cerita dia.”

Untuk suatu penelitian mengenai sejarah, yang terpenting adalah sumber primer, sumber sekunder dan sumber tersier, yang lengkap dan validitas masing-masing harus diuji serta dapat dibuktikan.

Apabila sumber-sumbernya tidak lengkap atau tidak valid bahkan salah, maka semua tulisannya akan salah. Demikian juga yang mengutip tulisan yang salah tersebut dan kemudian menyebarluaskan tulisan yang salah.

Selain itu, peneliti juga harus memahami ilmu hermeneutika dan menggunakan logika, baik ketika membaca/meneliti sumber-sumbernya juga dalam penulisan hasil penelitiannya.

Penulisan dari hasil suatu peneltian, adalah interpretasi (tafsir) dari sudut pandang peneliti.

***

 

Saya lahir di Surabaya, tanggal 4 Desember 1944. Saya melakukan penelitian mengenai sejarah secara intensif sejak tahun 1994.

Berawal dari penuturan ayah saya, Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung (20.3.1910 – 29.4.2002) yang adalah pelaku sejarah Angkatan ‘45, yang ikut mendirikan cikal-bakal Divisi V/Brawijaya, Jawa Timur tahun 1945, dan kemudian sejak tahun 1947 di Kementerian Pertahanan di Yogyakarta.

Selain itu, saya juga mewancarai teman-teman seperjuangan ayah saya, Angkatan ’45, baik sejak di Surabaya tahun 1945, maupun sejak di Kementerian Pertahanan di Yogyakarta tahun 1947.

 

Januari 1950 Wiliater Hutagaung, yang waktu itu menjabat sebagai Kepal Staf “Q” TNI, bersama sejumlah perwira TNI, keluar dari dinas TNI karena menolak hasil-hasil Komferensi Meja Bundar (KMB). Mereka masuk ke partai-partai politik dan tahun 1956 berhasil mendorong pemerintah Indonesia membatalkan secara sepihak seluruh hasil KMB.

Hasil-hasil penelitian saya mulai saya publikasikan tahun 1999, dan kumpulan tulisan yang sehubungan dengan peristiwa 10  November 1945 di Surabaya, saya ternitkan sebagai buku dengan judul  “10 NOVEMBER 1945. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?” Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris.”

Di bawah ini adalah tulisan peristiwa yang terjadi sejak tanggal 8 Agustus – 17 Oktober 1945. Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku “SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” yang saya terbitkan bulan Februari 2010. Penerbit LkiS Yogyakarta, 742 halaman. Tulisan ini diambil dari halaman 63 – 112.

(Lihat foto sampul di bawah ini).

 

Sebagaimana telah ditulis di atas, penulisan suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu, adalah interpretasi dari peneliti/penulis.

Mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, sangat banyak versi yang beredar, termasuk mengenai peristiwa seputar Proklamasi tanggal 17 Agsutus 1945. Oleh karena itu penilaiannya diserahkan kepada  pembaca, berdasarkan sumber-sumber yang ada, versi mana yang paling masuk akal dan mendekati kebenaran, karena kebenaran mutlak tidak  akan pernah ada.

 

 

Jakarta, 18 Agustus 2023.

 

 

********

 

 


 

Hasil penelitian sejak tahun 1994. Diterbitkan Februari 2010.

Sumber: 71 buku, 1 tabloid, 1 situs web.

11 wawancara dengan Angkatan ’45.

742 halaman.

 

 

Jepang Menyerah Kepada Sekutu

 

Tanggal 8 Agustus, Menteri Luar Negeri Uni Sovyet, Molotov menyampaikan kepada Sato, Duta Besar Jepang di Moskow, bahwa pada tengah malam Uni Sovyet akan mengumumkan pernyataan perang kepada Jepang. Hal ini sesuai kesepakatan dengan Amerika Serikat dan Inggris pada konferensi Yalta bulan Februari 1949.[1] Tanggal 9 Agustus, Tentara Merah Uni Sovyet memasuki Manchuria yang masih dijajah Jepang, dan setelah menggilas tentara Jepang di Manchuria hanya dalam dua hari, pada 12 Agustus Tentara Merah mendarat di Korea, dan kemudian menduduki kepulauan Sachalin, yang hanya berjarak 42 kilometer dari pantai satu pulau Jepang di bagian utara.[2]

Pada 9 Agustus 1945, tiga orang pimpinan PPKI -Ir. Sukarno, Drs. M. Hatta dan dr. Rajiman Wedyodiningrat (juga didampingi dr. Suharto, dokter pribadi Sukarno)- diundang ke Saigon (kemudian Ho Chi Minh City), Viet Nam, untuk menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, Nanyo Gun Saiko Sikikan (Panglima Tertinggi Wilayah Selatan). Mereka diantar oleh Letnan Kolonel Nomura dan Myoshi.[3]

Bertepatan dengan hari keberangkatan tiga pemimpin Indonesia untuk bertemu dengan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara yang berkedudukan di Viet Nam, pada 9 Agustus pesawat pembom AS menjatuhkan bom atom kedua atas kota Nagasaki, yang kelihatannya sebagai reaksi terhadap pengumuman perang oleh Rusia kepada Jepang. Nampaknya, Amerika Serikat tidak ingin berbagi kekuasaan dengan Uni Sovyet atas Jepang. Bom atom kedua di Nagasaki telah menewaskan antara 35.000 sampai 40.000 orang serta melukai sejumlah besar penduduk. Amerika Serikat mengancam Pemerintah Jepang, bom atom ketiga akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo.

Pada 10 Agustus, Jepang mulai melakukan perundingan dengan pihak Sekutu, di mana Pemerintah Jepang kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa Pemerintah Jepang menyetujui  persyaratan penyerahan sesuai dengan deklarasi Potsdam tanggal 26 Juli 1945. Jepang hanya meminta, agar posisi Kaisar Jepang sebagai penguasa di Jepang tidak diganggu. Pihak Sekutu mengabulkan permintaan Jepang tersebut.

Sementara itu, pada 11 Agustus,[4] ketiga pemimpin Indonesia diterima Marsekal Terauchi di Villa-nya di Dalat, Vietnam. Atas nama pemerintah Jepang, selain mensahkan Sukarno dan Hatta sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPKI, Marsekal Terauchi menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, dan wilayah kedaulatan Indonesia: Seluruh wilayah bekas India Belanda. Terauchi bahkan menyetujui sidang pertama PPKI dilaksanakan tanggal 18 Agustus 1945.[5]

Mengenai pertemuan tersebut, Hatta mengingat:[6]

“… Dari Saigon kami berangkat pagi sekali ke Dalat,[7] sebab jam 10 kami akan diterima oleh Jenderal Terauchi dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di Tokyo.

Tepat pada waktunya kami diterimanya. Setelah ia bersalaman dengan kami, ia mengucapkan pidato yang pendek sekali, yang isinya tak lain dari menyatakan bahwa Pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan memberikan Kemerdekaan kepada Indonesia. Sesudah itu ia memberi ‘selamat’ kepada kami, yang kemudian diikuti oleh stafnya. Aku gembira luar biasa sebab hari itu tanggal 12 Agustus 1945, hari ulang tahunku …

…Pada waktu itu Soekarno bertanya kepada Jenderal Terauchi, kapankah putusan Tokyo itu tentang Indonesia merdeka dapat kami umumkan kepada rakyat Indonesia. Jenderal Terauchi menjawab bahwa itu terserah kepada tuan-tuan Panitia Persiapan. Kapan saja dapat itu. Itu sudah menjadi urusan tuan …”

 

Tanggal 13 Agustus rombongan Sukarno-Hatta-Wedyodiningrat meninggalkan Saigon dan singgah di Singapura, di mana mereka bertemu dengan anggota PPKI yang mewakili Sumatera, Mr. Teuku Mohammad Hassan, dr. M. Amir dan Mr. Abbas, dan kemudian bersama-sama ke Jakarta.[8] Mereka tiba di Jakarta tanggal 14 Agustus, di mana sejumlah tokoh serta masyarakat telah menunggu di bandar udara. Pimpinan tinggi militer Jepang, antara lain Jenderal Nagano dan Laksamana Muda Tadashi Maeda juga ikut menjemput di bandar udara.[9]

Selain itu, juga ikut hadir beberapa pemuda, yaitu Chaerul Saleh, Sudiro, Sayuti Melik dan isterinya S.K. Trimurti, Asmara Hadi dan adiknya A.M. Hanafi. Mereka termasuk kelompok pemuda yang disebut “Pemuda Revolusioner”, yakni kelompok pemuda yang tidak bersedia kompromi dengan Jepang mengenai proklamasi kemerdekaan dan menginginkan, bahwa pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia sesegera mungkin diumumkan. Mereka ingin segera mengetahui hasil pembicaraan antara pemimpin Indonesia dengan Marsekal Terauchi.[10]

Setelah turun dari pesawat, Sukarno hanya memberikan pidato singkat. Ahmad Subarjo yang juga hadir di bandara, menuliskan Sukarno antara lain mengatakan:[11]

“… Jika beberapa waktu yang lalu saya menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya menyatakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga ...”

Namun menurut Hanafi, sempat terjadi sedikit perdebatan antara Sukarno dan Chaerul Saleh, yang menghampiri Sukarno. Sukarno mengatakan:[12]

 “Pokoknya, kemerdekaan sudah dekat. Kita semua harus siap.”

Chaerul Saleh menjawab:

“Tapi kami tidak mau kemerdekaan hadiah. Kami tak mau janji-janji Jepang itu, Oleh karena itu kami mendesak, proklamasikan kemerdekaan kita sekarang juga! Jepang sudah kalah, Jepang sudah dibom! Jenderal Terauchi tentu tidak akan mengatakan kejadian demikian kepada Bung Karno.”

Mendengar kata-kata Chaerul Saleh ini, Bung Karno jadi terhenyak, lalu mengatakan:

“Kita tidak bisa membicarakan soal-soal begini di sini”, ujarnya.

Saya lihat mata Bung Karno membelalak, tidak senang rupanya didesak begitu.

“Kita tidak bisa bicara soal itu di sini, lihat itu, Kempetai mengawasi kita. Bubarlah! Nanti kita bicara lagi”, kata Bung Karno lalu masuk ke mobil di mana Bung Hatta sudah duduk.

 

Demikian catatan Hanafi. Pertemuan kelompok pemuda revolusioner di Kemayoran itu adalah asal mula pemikiran untuk membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.

Subarjo menuliskan, setelah kembali dari Saigon, Hatta memberitahu kepadanya, bahwa sesungguhnya Marsekal Terauchi menyerahkan kepada pihak Indonesia untuk mengambil keputusan. Hatta berkata:[13]

“Tuan-tuan, adalah tergantung keputusan tuan-tuanlah sekarang, kapan Indonesia akan merdeka.”

 

Setibanya di Jakarta, para pemimpin Indonesia diundang oleh Gunseikan (Kepala Pemerintahan Jepang) untuk makan siang di Istana Gunseireikan dan Pembesar-Pembesar yang hadir menyambut mereka dengan gembira dan memberi selamat.[14]

Tanggal 14 Agustus malam hari, tiba di Jakarta seorang yang mengaku bernama Ilyas Husin dan menyatakan sebagai utusan pekerja di Bajah (Banten Selatan). Husin tersebut datang ke rumah Sukarni Kartodiwiryo di jalan Fort de Kock, dan meminta menginap di sana. Ternyata “Husin” tersebut adalah Tan Malaka, yang oleh para pendukungnya dianggap sebagai bapak Republik Indonesia.[15] Menurut Iwa Kusuma Sumantri, Tan Malaka adalah tokoh yang mendorong kelompok pemuda revolusioner ke arah persatuan yang harus dilakukan terlebih dahulu. Juga adalah Tan Malaka yang mempunyai pandangan, bahwa rakyat Indonesia harus merebut sendiri kemerdekaannya dan tidak menunggu-nunggu sampai bangsa lain memberikan “Kemerdekaan Hadiah” kepadanya.[16]

Pada 14 Agustus itu juga tecapai kesepakatan antara pihak Sekutu dengan Pemerintah Jepang mengenai tata cara penyerahan Jepang, dan Kaisar Jepang, Hirohito, mengeluarkan perintah secara sepihak, agar tentara Jepang segera menghentikan pertempuran. Jepang menyerah tanpa syarat!

Namun Sekutu, terutama Amerika Serikat, tidak langsung menerima penyerahan Jepang dan hingga akhir Agustus 1945, pesawat-pesawat pembom Amerika Serikat masih terus membom kota-kota serta pusat-pusat industri di Jepang, dengan tujuan menghancurkan potensi industri Jepang agar supaya tidak dapat lagi membangun kekuatan militer. Di 66 kota yang dibom, rata-rata sekitar 40% bangunan dihancurkan dan sekitar 30% penduduk kota di Jepang kehilangan tempat tinggal serta harta benda.

Pada 1 September 1945 Kaisar Jepang Hirohito memberikan mandat kepada Menteri Luar Negeri Mamoru Shigemitsu  dan Jenderal Yoshijiro Umezu, Chief of the General Staff of the Imperial Japanese Army, untuk mewakili pemerintah dan militer Jepang dalam penyerahan kepada Sekutu.

Kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09.04, di atas kapal perang AS Missouri, di teluk Tokyo. Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers mewakili tentara Sekutu; Admiral C.W. Nimitz, mewakili Pemerintah Amerika Serikat;  Hsu Yung Chiang, mewakili Republik China; Bruce Fraser, mewakili Inggris; Kuzma Derevyanko, mewakili Uni Sovyet; Thomas Blamey, mewakili Australia; L. Moore Cosgrave, mewakili Canada;  Jaques Le Clerc mewakili Pemerintah Sementara Prancis; Admiral C.E.L. Helfrich, mewakili Belanda dan Leonard M. Isitt, mewakili Selandia Baru.

Serah terima dari tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada 12 September 1945, pukul 03.41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten,[17] Supreme Commander South East Asia Command, mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.[18]

Ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah zaman penjajahan Jepang, yaitu pertama, zaman pendudukan Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah,[19] karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Namun justru tindakan tentara Jepang tersebut telah menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung lagi[20].

Kedua, mempercepat proses pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.

Dan ketiga, walaupun sebenarnya untuk tujuan perang dan dan memantapkan kekuasaan mereka, pembentukan Peta, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun semi-militer bagi Seinendan, keibodan, dll. dalam jumlah besar, memungkinkan -dalam waktu singkat- dibentuknya  berbagai  satuan pasukan, yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, sehingga ketika Belanda –dibantu oleh Inggris dan Australia- ingin berkuasa kembali di wilayah bekas Hindia Belanda, mendapat perlawanan bersenjata yang sangat sengit. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Haag bulan November 1949, tentara Belanda tidak dapat mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.

 

 

“Penculikan” Sukarno – Hatta ke Rengasdengklok

 

Bahwa Jepang akan segera menyerah kepada Sekutu, telah didengar oleh beberapa tokoh Indonesia, terutama yang bekerja di instansi pemerintahan Jepang, seperti dr. Abdulrachman Saleh, seorang dosen di Ika Dai Gaku (sekolah dokter). Beberapa saat setelah mendengar berita penyerahan Jepang, dia segera menyebarluaskan berita tersebut.[21] Bahkan mereka yang memiliki radio yang dapat menangkap siaran luar negeri, telah mengikuti perkembangan sejak tanggal 10 Agustus 1945 di mana tersiar, bahwa setelah serangkaian perundingan, Jepang menyatakan kesediaan untuk menyerah tanpa syarat dan hanya tinggal menunggu diumumkan oleh Kaisar Hirohito. Pada malam tanggal 14 Agustus 1945, Kaisar Hirohito secara sepihak memerintahkan kepada balatentara Dai Nippon untuk segera menghentikan tembak-menembak, yang diartikan sebagai pernyataan menyerah. Pemerintah pendudukan Jepang tidak segera mengumumkan kepada rakyat Indonesia mengenai menyerahnya Jepang.[22] Namun berita ini dapat didengar oleh tokoh-tokoh Indonesia, antara lain melalui siaran BBC, dan sudah tentu dalam waktu singkat berita tersebut tersebar di seluruh Jawa dan Sumatera. Tentara Sekutu –terutama Amerika Serikat- tidak segera menerima pernyataan Jepang tersebut, dan masih terus melakukan pemboman atas kota-kota serta Industri di Jepang, dengan target akan menghancurkan terlebih dahulu kekuatan industri Jepang.

Tanggal 14–17 Agustus adalah tiga hari yang paling dramatis dalam persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejak tiba kembali di Indonesia, Sukarno dan para pemimpin lain memperdebatkan prosedur dan waktu untuk menyatakan kemerdekaan. Sebagian masih ingin merundingkan hal tersebut dengan Jepang, sedangkan yang lain –terutama para pemuda revolusioner- menganggap tidak perlu lagi, karena Jepang telah menyerah. Pada prinsipnya kelompok pemuda revolusioner menolak kemerdekaan sebagai suatu hadiah. Mereka menggagas “skenario” kemerdekaan Indonesia.

Rencana kelompok pemuda revolusioner yang diawali di Kemayoran, dilanjutkan di Jl. Cikini No. 71. Setelah perdebatan di bandar udara pada 14 Agustus sore hari, kelompok pemuda revolusioner mengadakan pertemuan di belakang gedung Eyckman Institut. Selain Chaerul Saleh, hadir antara lain A.M. Hanafi, D.N. Aidit, Wikana, Parjono, Johar Nur, Abu Bakar Lubis, Eri Sudewo, Armansyah, Darwis dan Yusuf Kunto. Wikana dijemput di Kebon Sirih oleh Aidit dan datang ke pertemuan tersebut dengan dibonceng naik sepeda oleh Aidit. Dalam pertemuan tersebut diambil kesimpulan dengan suara bulat, bahwa kemerdekaan Indonesia harus segera dinyatakan melalui suatu proklamasi. Putusan tersebut akan disampaikan kepada Sukarno dan Hatta agar supaya mereka mau segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan memutuskan hubungan dengan “janji-janji kemerdekaan hadiah” a la Jepang. Dalam pertemuan itu Aidit mengajukan usul agar Sukarno segera ditetapkan sebagai Presiden Indonesia yang pertama.[23] Tanpa bertele-tele, keputusan segera diambil:[24]

 

“Kirim segera utusan ke Bung Karno dan Bung Hatta, mendesak supaya proklamasi kemerdekaan bangsa diumumkan segera!”

 

Menurut catatan Hanafi, ketika Wikana dan Darwis[25] tiba di Pegangsaan Timur 56, di sana telah ada Drs. M. Hatta, Mr. Subarjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Joyopranoto dan Dr. Buntaran.[26] Wikana segera menyampaikan keputusan kelompok pemuda revolusioner tersebut. Sukarno menjawab, akan mengadakan perundingan dahulu dengan tokoh-tokoh yang hadir di sana. Pembicaraan berlangsung cukup lama, kemudian Sukarno meminta Hatta untuk menyampaikan kepada utusan kelompok pemuda revolusioner, di mana pada pokoknya mereka meminta penangguhan waktu untuk pernyataan proklamasi, yaitu menunggu sampai ada pemberitahuan resmi tentang menyerahnya Jepang, dan juga setelah mendengar pertimbangan Gunseikan. Namun kata-kata yang dipergunakan oleh Hatta, dianggap sangat pedas untuk mereka. Hatta mengatakan antara lain:[27]

“Saya juga pernah muda. Juga pernah berkepala panas dan berhati panas. Setelah tua, hati panas dulu itu tetap saja panas, hanya saja dikawal oleh kepala dingin. Karena itu kami tidak setuju kalau pemuda-pemuda yang memproklamasikan kemerdekaan, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap. Boleh coba! Saya ingin melihat kesanggupan saudara-saudara.”

 

Wikana yang melihat misinya gagal, kemudian menjawab:

“Kami tidak bertanggungjawab terhadap apapun yang bakal terjadi, jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan. Sedangkan kami para pemuda akan menunjukkan kesanggupan kami sebagaimana yang saudara kehendaki itu.”

 

Dalam catatan Hanafi, Wikana dan Darwis berada di Pegangsaan Timur 56 hingga pukul 1.30 dini hari. Mengenai pertemuan di rumah Sukarno tersebut, Subarjo yang juga hadir di sana, mengutip tulisan Hatta yang menulis:[28]

“… ia sedang sibuk merancang teks proklamasi yang akan dibincangkan esok harinya dalam Badan Persiapan, sewaktu Subarjo mengajaknya untuk pergi bersama-sama menemui Sukarno di tempat kediamannya, sebagaimana yang disebut terakhir ini sedang dikerumuni oleh para pemuda di bawah pimpinan Wikana dan Chaerul Saleh…

…Wikana meminta kepada Sukarno agar pada malam itu juga diumumkan melalui radio, bahwa Indonesia telah melepaskan diri dari cengkeraman Jepang… Wikana mengancam dengan ucapan: ‘Jika Bung tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan terjadi suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran besok hari.’

Mendengar kata-kata ancaman tersebut, demikian diceriterakan, Sukarno naik darah dan ia berdiri menuju Wikana serta memuntahkan kata-kata: ‘Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok situ dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu sampai esok hari!’

Wikana digambarkan bersikap mundur sedikit dan menyatakan bahwa yang dimaksud bukanlah Sukarno, tetapi orang-orang Ambon yang menjadi alat-alat Belanda …”[29]

 

Menurut catatan Subarjo, Wikana dan teman-temannya meninggalkan rumah Sukarno sekitar pukul 11.30. Selanjutnya, kelompok pemuda revolusioner mengadakan pertemuan di asrama BAPERPI yang dipimpin oleh Supeno,[30] di Jalan Cikini No. 71, di mana hadir juga beberapa anggota Peta seperti dr. Sujono, Singgih, Yusuf Kunto dll. yang kemudian memainkan peranan dalam “penculikan” Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok.[31] Mereka juga mendengar berita bahwa pimpinan Angkatan Darat Jepang tidak menyetujui proklamasi kemerdekaan Indonesia, karena mereka akan memegang keputusan deklarasi Potsdam mengenai status quo. Malam itu juga para pemuda tersebut memutuskan untuk menjemput Sukarno dan Hatta, dan dibawa ke markas Peta di Rengasdengklok. Sukarno dijemput di Pegangsaan Timur 56; dia juga membawa isterinya, Fatmawati serta putranya, Guntur Sukarnoputra. Hatta dijemput di kediamannya di Miyakodori No. 57.[32] Mereka menginginkan, di Rengasdengklok Sukarno dan Hatta dapat dalam suasana tenang dan tanpa gangguan dari siapapun merumuskan teks proklamasi, yang kemudian secepatnya akan dibacakan di Jakarta.[33]

Sehubungan dengan pertemuan di Jl. Cikini No. 71, serta kemudian detik-detik peristiwa “penculikan Sukarno-Hatta”, Sidik Kertapati menulis:[34]

… Kira-kira jam 23.30 para utusan yang dipimpin Wikana meninggalkan halaman rumah Bung Karno bersama-sama pula dengan Johar Nur dan Darwis, yang belakangan datang menyusul karena lama menunggu para utusan kembali.

Tepat tengah malam hari itu juga jam 24.00 lewat sedikit (tanggal 15 masuk ke tanggal 16), Wikana dan kawan-kawan melaporkan hasil pertemuan dengan para pemimpin di Pegangsaan Timur 56 kepada rapat pemuda dan pelajar di Cikini 71. Pada pertemuan itu datang pula dr. Muwardi dari Barisan Pelopor Istimewa, Sukarni dengan salah seorang dari kelompoknya bernama Yusuf Kunto dan Singgih shodancho dari daidan Jakarta.

Pertemuan Cikini itu menghasilkan putusan bersama bahwa kemerdekaan Indonesia harus terus diupayakan dan harus dinyatakan sendiri oleh rakyat Indonesia tanpa menunggu kemerdekaan “hadiah” dari Jepang. Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta akan dibawa ke luar kota agar nantinya sewaktu  membicarakan tentang pelaksanaan proklamasi bisa terhindar dari intaian Jepang. Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta akan dibawa ke suatu tempat di mana pasukan bersenjata siap mengawal dan menghadapi segala kemungkinan  yang timbul jika proklamasi itu nantinya menjadi kenyataan...

…Letak Rengasdengklok tidak seberapa jauh dari Jakarta. Tempat itu adalah basis dari gerakan anti-fasis pimpinan “Sapu Mas” (SM), itulah sebabnya pertemuan memilihnya sebagai tempat untuk pengamanan Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta…

…Sementara itu tanggal 16 Agustus 1945, sekitar jam 4.00 pagi, sebuah mobil ke luar dari Cikini 71, meluncur menuju selatan. Di dalam mobil ada dr. Muwardi, Chairul Saleh, Sukarni dan Yusuf Kunto. Sesampai di Pegangsaan Timur 56 mobil berhenti. dr. Muwardi turun untuk membangunkan dan menyiapkan kepergian Bung Karno ke luar kota. Sedang yang lainnya meneruskan perjalanan ke rumah Drs. Moh. Hatta di Miyakodori.

dr. Muwardi ragu-ragu dan segan membangunkan Bung Karno di pagi-pagi buta. Baru setelah Chairul Saleh tiba dengan mobil pinjaman kepunyaan Winoto Danuasmoro, Bung Karno dibangunkan oleh Chairul Saleh. Kepada Bung Karno, Chairul Saleh menerangkan:

“…keadaan sudah memuncak, kegentingan harus diatasi! Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap-siap menghadapi kegentingan itu. Keamanan di Jakarta tak bisa ditanggung lagi oleh pemuda dan karena itu supaya Bung Karno bersiap berangkat ke luar kota.”

Juga di pagi-pagi buta itu Drs. Moh. Hatta dibangunkan. Semula dia mendongkol, tetapi setelah mendengar keadaan genting dan berbagai kemungkinan yang bisa membahayakan jiwanya, maka Hatta pun bersedia ikut ke rumah Bung Karno. Setiba di Pegangsaan Timur 56, penyingkiran dan pengamanan ke luar kota disetujui dan diputuskan segera berangkat, hanya Hatta harus pulang dulu ke rumahnya mengambil jas yang tertinggal. Baru jam 4.30 menjelang pagi, rombongan berangkat ke luar kota. Bung Karno beserta keluarga (Fatmawati dan Guntur yang baru berumur 9 bulan) dalam satu mobil, sedangkan Hatta berada di mobil lainnya bersama-sama Sukarni. Sepasukan Peta di bawah pimpinan Singgih syodanco mengawal rombongan sampai di Rengasdengklok.

 

Demikian catatan Sidik Kertapati. Selanjutnya mengenai pembicaraan di Rengasdengklok, Kertapati menulis:[35]

… Setiba di chudan Rengasdengklok, setelah beristirahat sebentar di salah satu ruangan, Bung Karno mendapat penjelasan tentang keputusan rapat Cikini 71 dan tentang maksud pengamanan Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta. Disampaikan pula bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Selanjutnya Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta diminta kesediannya untuk atas nama rakyat, memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Juga dijelaskan bahwa situasinya sudah sangat memungkinkan dan keinginan rakyat untuk merdeka juga sudah sedemikian memuncak.

Mengenai berita menyerahnya Jepang, Bung Karno dan Drs. Moh. Hatta menanggapi dengan baik, sama sekali tidak meragukannya. Sedang mengenai proklamasi, Bung Karno dan terutama Drs. Moh. Hatta, masih tetap ragu, belum bisa memberi jawaban yang pasti. Pembicaraan di pagi itu belum menghasilkan putusan apa pun.

Bung Karno dengan keluarga kemudian diistirahatkan di suatu rumah yang cukup memadai untuk akomodasi tamu. Rumah itu milik seorang Tionghoa yang sudah lanjut usianya, bernama I Siong.

Kira-kira jam 15.30 sore, Mr. Subarjo, mbah Diro bersama Yusuf Kunto tiba di Rengasdengklok …

 

Kelompok “Sapu Mas” (SM) di chudan Rengasdengklok dipimpin oleh Umar Bahsan, Shodancho Peta. SM didirikan pada 2 Juni 1940 oleh 14 pemuda, antara lain Umar Bahsan, Nanang Wadli, Darmawan, Menajat, Mansur, Sudirja, Gaos, Saleh, Raedi, Abdulmurad dan Abdulgani. Tujuannya adalah menetang penjajahan Belanda, dan kemudian di zaman pendudukan Jepang, sebagai gerakan anti fasis.[36]

Waktu Peta dibentuk, mereka tidak segera masuk menjadi anggota Peta, namun setelah ternyata yang menjadi pimpinan Peta adalah perwira-perwira Indonesia, maka mereka segera mendaftarkan diri, sehingga terbentuk chudan Rengasdengklok.

Sidang PPKI dijadwalkan akan diselenggarakan tanggal 16 Agustus 1945. Subarjo termasuk orang pertama yang mendapat informasi, bahwa Sukarno-Hatta telah diculik. Hal ini tentu membuat para pemimpin Indonesia lain yang tidak mengetahui keberadaan Sukarno-Hatta merasa sangat cemas, demikian juga Laksamana Muda Maeda, yang mendapat informasi dari Subarjo. Kecurigaan tentu langsung tertuju kepada kelompok pemuda revolusioner, setelah adanya perdebatan sengit malam sebelumnya.

Semula, ketika ditemui di pagi hari, Wikana dan para pemuda lainnya menolak untuk memberitahu, ke mana mereka membawa Sukarno-Hatta. Siang hari sekitar pukul 2.30, Wikana bertemu dengan teman-temannya dan mengatakan, bahwa Shigetada Nishijima dari Kaigun Bukanfu (Kantor Angkatan Laut Jepang) telah datang untuk menemuinya, dan memberikan kepastian dukungan pihak Angkatan Laut Jepang. Akhirnya Wikana bersama Pandu Kartawiguna dan Yusuf Kunto, anggota Peta, datang menemui Subarjo dan menerangkan, bahwa mereka telah membawa Sukarno-Hatta ke luar kota oleh karena kekhawatiran bahwa kedua pemimpin Indonesia itu akan ditangkap dan dibunuh oleh Angkatan Darat Jepang, atau paling tidak, akan dijadikan sandera kalau timbul kerusuhan, karena Peta telah merencanakan akan mengadakan suatu demonstrasi besar-besaran, bahkan dikabarkan akan adanya suatu pemberontakan besar terhadap Jepang. Subarjo kemudian mengatakan kepada Kunto:[37]

“Jika atas dasar keselamatan, Saudara telah membawa Sukarno dan Hatta ke luar kota, Saudara tidak usah khawatir akan keselamatan mereka jika kembali ke sini, karena saya percaya bahwa kita dapat mengandalkan dukungan Angkatan Laut (Kaigun) andaikata mereka menemui kesulitan dari pihak Angkatan Darat Jepang. Karena itu tolonglah beritahukan kepada saya di mana mereka berdua disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta sehingga kita segera dapat memulai proklamasi kemerdekaan kita. Saya sepenuhnya bertanggungjawab atas usaha ini.”

 

Mereka kemudian mengatakan, bahwa Sukarno-Hatta telah dibawa ke Rengasdengklok. Disepakati, Subarjo akan ditemani oleh Kunto menjemput Sukarno-Hatta dari Rengasdengklok. Pukul 16.00 sore, Subarjo bersama Sudiro, Kunto dan supir mobil berangkat dengan mengendarai mobil Skoda tua milik Subarjo. Di tengah jalan, kendaraan sempat mengalami pecah ban karena memang bannya telah gundul. Rombongan tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 18.00. Di sana telah ada Sukarni, yang berpakaian seragam tentara. Di asrama Peta, Subarjo dan Sudiro disambut oleh seorang perwira Peta, Shodancho (Mayor) Subeno. Subeno adalah menantu Mr. R.P. Singgih, sarjana hukum lulusan Universitas Leiden, Belanda. Subarjo menuturkan pembicaraannya dengan Mayor Subeno:[38]

Kami dipersilakan duduk di hadapan Mayor Subeno dengan batas sebuah meja kayu yang sederhana. Sukarni dan Kunto duduk di sebelahnya.

Apa maksud kedatangan Saudara?” ia bertanya dengan nada sungguh-sungguh.

Kami datang untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta serta membawa mereka kembali ke Jakarta, untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan,” jawab saya.

Bisakah Saudara mengatakan pada kami apakah Jepang sudah menyerah?” Mayor bertanya.

Kami justru datang untuk memberitahukan penyerahan Jepang kepada  Sukarno dan Hatta,” jawab saya.

Apakah Saudara datang atas nama Kaigun?” Mayor bertanya lagi.

Tidak, sama sekali tidak! Bung Diro dan saya telah datang kemari dengan persetujuan penuh Wikana dari kelompok pemuda serta teman-teman lainnya. Mereka setuju untuk membawa kembali Bung Karno dan Bung Hatta ke Jakarta, dengan syarat bahwa keselamatan mereka berdua dan para pemuda dapat dijamin. Mereka pun telah menerima  jaminan saya bahwa saya sepenuhnya bertanggungjawab atas berhasil atau gagalnya Proklamasi,” jawab saya.

Saya memandang Kunto yang tentunya telah melaporkan kepada Mayor tentang perundingan kami di Jakarta. Ia mengangguk dan membisikkan beberapa kata kepada Mayor Subeno. Mayor tampaknya puas.

Apakah Saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam?” demikian tanyanya.

Tidak mungkin,” jawab saya dengan cepat. Sekarang telah kurang lebih pukul 08.00. Kami harus kembali dahulu, kemudian memanggil para anggota Panitia Persiapan untuk mengadakan suatu sidang kilat. Hal ini memerlukan banyak waktu. Saya khawatir bahwa kami harus bekerja semalam suntuk sebelum kami siap.

Bagaimana kalau pukul 06.00 pagi besok?” Mayor mendesak.

Saya akan berusaha sedapat-dapatnya, kami mungkin bisa selesai pukul 06.00, tetapi menjelang tengah hari besok, kami pasti telah siap,” demikian saya tegaskan.

Jika tidak, bagaimana?” komandan itu bertanya.

Mayor, jika segala sesuatunya gagal, sayalah yang memikul tanggung-jawabnya, dan Mayor boleh tembak mati saya!” Saya tegaskan secara spontan. Naluri saya berkata bahwa itulah satu-satunya yang dapat dimengerti seorang tentara. Mayor Subeno rupanya puas dengan jawaban tersebut.

Baiklah kalau begitu, Saudara boleh sekarang menemui Bung Karno dan Bung Hatta, dan memberitahukan kepada mereka tentang menyerahnya Jepang.”

… Sukarno dan Hatta rupanya telah mengenakan pyama setelah makan malam ... Subarjo segera mengatakan:

Cepat, cepat, kita sekalian harus kembali ke Jakarta. Panitia Persiapan tak dapat melanjutkan tugasnya tanpa kita. Mereka telah menunggu dengan sia-sia pagi ini.”

Apakah Jepang sudah menyerah?” Sukarno bertanya.

Saya telah kemari untuk memberitahukannya,” saya jawab, “Saya telah diberitahu pagi ini oleh Maeda sendiri. Ia meminta untuk meneruskan ini kepada bung seperti telah dijanjikannya kemarin. Ia mengetahui tentang menghilangnya bung dari kota.

… Tiga buah mobil telah menunggu kami termasuk Skoda saya. Saya agak terperanjat dan heran melihat Pak Sutarjo Kartohadikusumo ada di tengah-tengah mereka… Pemerintah Pendudukan Jepang telah mengangkat-nya sebagai Gubernur Jakarta…

Beliau menyambut kami dan sambil tertawa berkata:

Pemuda-pemuda ini memang berani tetapi tanpa perhitungan. Saya datang ke Rengasdengklok untuk memeriksa panen padi pagi ini. Adalah putera saya sendiri[39], dari kesatuan tentara PETA di sini yang telah menangkap dan kemudian menahanku di sini.” Kami semuanya tertawa keras.[40]

Sekitar pukul 09.00 malam kami berangkat ke Jakarta. Kami berada pada mobil yang paling depan. Sukarni duduk di antara saya dan pengemudi; dan di bagian belakang mobil duduk Sukarno, isterinya, Fatmawati dengan bayinya Guntur di tengah, dan Hatta …

…Kendaraan kami berhenti di tempat kediaman Sukarno, Pegangsaan Timur No. 56 sekitar pukul 11.00 malam. Fatmawati dan bayinya ke luar dari mobil disusul Bung Karno. Tak lama kemudian Sukarno kembali. Kami meneruskan perjalanan ke rumah Bung Hatta di Oranje Boulevard No. 57 (sekarang jalan Diponegoro). Hatta turun dari mobil disusul Sukarni.

Ada sesuatu yang harus saya selesaikan dengan pembantu rumah tangga saya,” kata Hatta.

Sewaktu mereka muncul kembali, Sukarni telah berpakaian preman, mengganti pakaian seragamnya. Semua kami memaklumi, bahwa satu-satunya tempat kami dapat dengan bebas memperbincangkan langkah-langkah selanjutnya yang harus diambil mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan ialah di tempat kediaman Maeda.

 

Demikianlah penuturan Subarjo.

Mereka segera menuju kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, di Nassau Boulevard No. 1 (sekarang Jl. Imam Bonjol No. 1) untuk melakukan perundingan.

 

 

Proklamasi Kemerdekaan

 

Laksamana Muda Maeda termasuk kelompok perwira tinggi Jepang yang bersimpati kepada bangsa Indonesia. Wawasan luas yang dimiliki oleh Maeda mungkin berdasarkan pengalamannya ketika menjadi Atase Angkatan Laut pada Kedutaan Besar Jepang di Belanda dan kemudian di Berlin Jerman, sebelum pecah Perang Dunia II. Selain itu Maeda pernah bertugas selama sepuluh tahun di Kementerian Angkatan Laut di Tokyo, dan mendalami masalah-masalah Indonesia.[41] Maeda menjabat sebagai Kepala Kantor Penghubung Angkatan Laut (Kaigun Bukanfu) di Jakarta, sementara Markas Besar Angkatan Laut untuk Jawa, berada di Surabaya, di bawah komando Laksamana Shibata.

Malam itu juga tanggal 16 Agustus 1945, Maeda mengusahakan untuk mengatur pertemuan antara pemimpin bangsa Indonesia dengan Jenderal Yamamoto, Gunseikan[42] di Jawa. Namun Jenderal Yamamoto telah menerima pesan dari Tokyo melalui Jenderal Itagaki di Singapura, bahwa Pemerintah Jepang telah menerima syarat-syarat penyerahan sesuai dengan isi Deklarasi Potsdam untuk memelihara status quo di seluruh wilayah yang diduduki Jepang. Oleh karena itu dia menolak untuk menerima Sukarno dan Hatta, dan bahkan dia pun tidak ingin menerima kedatangan Laksamana Maeda. Yamamoto hanya menghubungkan Maeda dengan bawahannya, Letnan Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum.[43]

Maeda sangat menyadari, bahwa apabila Jepang menghalangi proklamasi kemerdekaan rakyat Indonesia, dipastikan akan timbul pemberontakan yang hebat. Oleh karena itu, setelah penolakan Yamamoto dalam pembicaraan melalui telepon dia menekankan kekuatirannya kepada Letnan Jenderal Nishimura. Nishimura bersedia bertemu dengan pimpinan Indonesia di kediamannya yang berdekatan dengan rumah Maeda. Dia didampingi oleh para penasihat politik utamanya, Kolonel Myoshi, Kolonel Nomura, Kapten Nakamura, Saito dan Nakatani. Dalam perdebatan yang berlangsung, terlihat perbedaan pandangan mengenai Indonesia antara Angkatan Darat sebagai penguasa atas Jawa, dan Angkatan Laut Jepang. Nishimura yang sependapat dengan Yamamoto, tetap bersikeras untuk tidak mengizinkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, karena apabila hal ini terjadi, maka dialah yang kemudian akan kena hukuman. Kedua pemimpin Indonesia meminta ketegasan sikap Jepang yaitu, dapatkah Nishimura menjamin bahwa kemerdekaan Indonesia akan berjalan terus seperti direncanakan, dalam keadaan bahwa Tokyo telah menyerah? Jika tidak, maukah Jepang mengizinkan deklarasi kemerdekaan dengan segera, dengan tanggal dimundurkan, seolah-olah hal itu telah terjadi sebelum penyerahan dan kemudian membiarkan masalah-masalah detil supaya disusun secara tidak resmi oleh PPKI.[44] Akhirnya disepakati, bahwa pejabat militer Jepang akan mentolerir proklamasi kemerdekaan, selama hal itu tidak dikaitkan kepada Jepang. [45]

Setelah pertemuan dengan Nishimura, para pemimpin Indonesia kemudian pergi bersama Laksamana Maeda ke rumahnya, dan Jenderal Nishimura mengutus seorang kepercayaannya, Kolonel Myoshi, untuk hadir sebagai pengamat.[46] Kolonel Myoshi yang fasih berbahasa Belanda dan Indonesia, menjadi penterjemah dalam perundingan tanggal 8 dan 9 Maret 1942 di Kalijati ketika Belanda menyerah kepada tentara Jepang.[47]

Awalnya kelompok pemuda revolusioner sama sekali tidak menyetujui keterlibatan pihak Jepang termasuk Laksamana Maeda, namun kemudian dapat menerima penjelasan, yaitu adanya jaminan Maeda, bahwa di rumah kediamannya, pimpinan bangsa Indonesia dapat mengadakan perundingan dan persiapan proklamasi kemerdekaan tanpa kuatir akan mendapat gangguan dari Kempeitai, Polisi Militer Jepang yang sangat ditakuti karena kekejamannya.

Lewat tengah malam menjelang tanggal 17 Agustus, selain Sukarno, Hatta dan Mr. Subarjo telah berkumpul di rumah Laksamana Maeda antara lain Sukarni, Sutarjo Kartohadimusumo, Chaerul Saleh, Dr. G.S.S.J. Ratu Langie, Mr. I.G. Ktut Puja, Mr. Teuku M. Hasan, Mr. Johannes Latuharhary, dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat, dr. Amir, Jusuf Kunto, R. Oto Iskandar Dinata, K. Gunadi, Semaun,  Bakri, Sayuti Melik, B.M. Diah, Andi Sultan Daeng Raja, Mr. Abdul Abbas, Prof. Dr. Supomo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, dr. Samsi Sastrawidigda, dr. Buntaran Martoatmojo, A. Hamidan dan A.R. Ripai. [48]

Chaerul Saleh, yang berbicara atas nama kelompok pemuda revolusioner menolak untuk menerima pertemuan itu sebagai rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, karena menganggap badan itu terlalu berbau Jepang. Pendapat tersebut diterima, dan dalam pembukaan pertemuan, Sukarno mengatakan:[49]

“Rapat ini bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, rapat ini adalah rapat wakil-wakil bangsa Indonesia …”

Lebih lanjut Sukarno mengatakan:

“… untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diharapkan dan untuk tidak memalukan bangsa kita, saya memajukan suatu resolusi. Rapat inilah yang mengambil resolusi itu dan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang akan melaksanakan kemudian…”

 

Di ruang bagian dalam di rumah Maeda, dalam pertemuan untuk menyusun teks proklamasi yang dapat diterima oleh pimpinan militer Jepang, pihak Indonesia diwakili oleh Sukarno. Hatta dan Subarjo, sedangkan dari pihak Jepang adalah Laksamana Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizumi dan Miyoshi. Teks tersebut harus disusun sedemikian rupa, sehingga samar-samar dan sama sekali tidak melibatkan Jepang, seperti syarat yang dikemukakan oleh Letnan Jenderal Nishimura. Menurut catatan Nishijima, kalimat “pemindahan kekuasaan” merupakan terjemahan kasar dari bahasa Jepang gyoseiken no iten (pemindahan pengawasan administratif), ketimbang shuken no joto (penyerahan kedaulatan sah), sedangkan pengertian Indonesia mengenai “pemindahan kekuasaan” mencakup pengertian yang lebih luas dalam arti politis, dan tidak hanya administratif.

Akhirnya dicapai kesepakatan mengenai bunyi teks proklamasi yang juga dapat diterima oleh Myoshi, sesuai keinginan Jenderal Nishimura.[50] Perumusan teks tersebut selesai sekitar pukul 04.00 dinihari. Selesai pembahasan teks proklamasi, Maeda pergi tidur dan pembicaraan dilanjutkan di antara para pemimpin Indonesia. Teks tersebut dengan tulisan tangan Sukarno berbunyi:

 

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

 

Namun ketika teks tersebut dibacakan di hadapan tokoh-tokoh Indonesia lain yang telah menunggu, beberapa pemuda menyatakan protesnya, karena mereka menilai bunyi teks tesebut terlalu mengambang dan tidak tegas. Oleh para perumus dijelaskan, bahwa teks tersebut memang harus demikian, agar tidak terlihat ada kaitan Jepang dalam hal ini. Akhirnya dicapai juga kesepakatan untuk menerima rumusan teks proklamasi tersebut.

Setelah itu, muncul permasalahan mengenai siapa yang akan menandatangani. Sukarno mengusulkan, agar semua yang hadir, menandatangani sebagai cerminan wakil-wakil seluruh rakyat Indonesia. Ini mencontoh Declaration of Independence dari Amerika Serikat, yang ditandatangani oleh para wakil dari 13 negara bagian. Namun Sukarni menentang pendapat Sukarno dan mengusulkan, jumlah penandatangan cukup enam orang, karena dia keberatan bahwa orang yang boleh dikatakan tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan, namanya akan tercantum dalam teks proklamasi. Akhirnya –menurut Hanafi- Chaerul Saleh bangkit dan dengan suara baritonnya dengan tegas mengatakan:[51]

Sudahlah, cukup Bung Karno dan Bung Hatta saja yang menandatangani Proklamasi itu!

 

Kata-kata Chaerul Saleh ini ternyata menjadi palu yang dijatuhkan ke meja sejarah pada pukul 05.00 pagi pada tanggal 17 Agustus 1945. Teks Proklamasi yang aslinya ditulis dengan tangan oleh Sukarno, kemudian ditulis dengan mesin tik.[52]

Rencananya, proklamasi kemerdekaan akan diumumkan di Ikada, namun karena sudah bocor dan kuatir akan terjadi keributan dan kekacauan apabila Kempeitai melarangnya, maka dipindahkan ke Pegangsaan Timur 56, tempat kediaman Sukarno.

 Di bulan Ramadhan, pada hari Jumat Legi[53] tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, di depan rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta serta sejumlah pimpinan bangsa Indonesia, Ir. Sukarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia:

 

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

 

Atas nama bangsa Indonesia,

 

Sukarno/Hatta

Hari 17 bulan 8 tahun ’45.

 

Mengenai detik-detik proklamasi kemerdekaan yang dilangsungkan di Pengangsaan Timur 56, Kertapati menulis:[54]

 

Tanggal 17 Agustus 1945…

… Mikropon pun sudah disiapkan, sekali pun hanya satu. Tepat jam 10.00 Bung Karno ke luar dari ruangan. Dr. Muwardi bersama Suwiryo menjadi panitia upacara, membuka upacara dengan membacakan rencana Undang-Undang Dasar. Sesudah itu Suwiryo sebagai wakil pemerintahan kota dan Drs. Moh. Hatta menyampaikan beberapa patah kata sambutan menekankan arti sejarah Proklamasi Kemerdekaan.

Sesudah itu Bung Karno tampil ke depan mendekati corong mikropon dan menyampaikan pidatonya:

“Saudara-saudara sekalian. Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.

Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai Kemerdekaan Nasional tidak berhenti. Pada saat itu seolah-olah tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kekuatan sendiri.

Sekarang tibalah nasib Tanah Air kita di dalam tangan bangsa Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, atau dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia, permusyawaratan itu seia sekata berpendapat, bahwa sekarang datang saatnya  untuk menyatakan kemerdekaan kita.”

 

Pidato Bung Karno dikunci dengan pernyataan Proklamasi Kemerdekaan.

Kembali hening dan sunyi senyap. Abdullatief Hendraningrat, chudancho, menggunakan pakaian seragam dengan samurai di pinggang, dari samping nampak seperti perwira Jepang, mengerek Sang Saka.

Sang Saka Merah Putih pun berkibar di angkasa.

 

Dengan menyerahnya Belanda secara resmi kepada Jepang tanggal 9 Maret 1942,[55] dan Jepang sebagai penguasa wilayah bekas India Belanda, tidak menghalangi proklamasi kemerdekaan tersebut -bahkan Laksamana Maeda meyediakan rumahnya untuk digunakan sebagai tempat pertemuan pimpinan Indonesia- maka seharusnya secara de iure, pernyataan Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 adalah sah.

Juga adalah kenyataan, bahwa Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu tanggal 15 Agustus 1945, namun penyerahan dokumen menyerah tanpa syarat tersebut baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas kapal perang Amerika, USS Missouri.[56] Maka antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September, di wilayah bekas India Belanda tersebut  terdapat kekosongan pemerintahan (vacuum of power).

Di masa vacuum of power tersebut, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan kemudian membentuk pemerintahan. Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi, yaitu:

1.   Adanya wilayah,

2.   Adanya penduduk, dan

3.   Adanya pemerintahan.

 

Kemudian beberapa Negara merdeka dan berdaulat memberikan pengakuan terhadap Republik Indonesia, seperti Mesir, Liga Arab dan kemudian menyusul India, setelah merdeka dari penjajahan Inggris.

Dengan demikian, pernyataan kemerdekaan Republik Indonesia pada waktu itu, bukan suatu pemberontakan baik terhadap Belanda maupun terhadap Jepang. Bukan suatu revolusi, karena tidak ada pemerintah yang digulingkan. Juga perang yang timbul dengan Belanda setelah itu bukan merupakan perang kemerdekaan, karena Republik Indonesia telah merdeka dan telah memiliki angkatan perang.

Pernyataan kemerdekaan ini juga sesuai dengan semangat Atlantic Charter (Piagam Atlantik) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, dan Perdana Menteri Inggris, Sir Winston Churchill, tanggal 14 Agustus 1941, di mana antara lain diakuinya “Rights for selfdetermination of peoples” (hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri), yang merupakan kelanjutan dari pernyataan Presiden AS Wodrow Wilson yang dicetuskannya pada akhir Perang Dunia I. Piagam Atlantik tersebut isinya antara lain:[57]

“… they (Roosevelt dan Churchill – pen) respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them

(mereka menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan pemerintahan yang akan melindungi kehidupanny dan ingin melihat hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas secara paksa).

 

Atlantic Charter ini kemudian menjadi landasan dari Charter for Peace (Piagam Perdamaian), yang dicetuskan di San Francisco tanggal 24 Juni 1945, dan kemudian tertuang dalam Preambel Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pembentukannya diresmikan pada 24 Oktober 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut, pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia mempunyai legitimasi yang kuat, dipandang dari sudut manapun.

Dalam rapat yang dilangsungkan di kantor Ir. Sukarno (sekarang Gedung Mahkamah Agung) diputuskan, untuk secara resmi memberitahu pemerintah militer Jepang mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Sutarjo Kartohadikusumo ditunjuk sebagai utusan yang akan menyampaikan hal ini kepada Jenderal Yamamoto.

Dengan ditemani Mr. Kasman Singodimejo, Kartohadikusumo pergi ke kantor Gunseikanbu di lapangan Gambir (sekarang Medan Merdeka Timur), di mana mereka diterima oleh Jenderal Yamamoto. Kepada Yamamoto disampaikan, bahwa rakyat Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Yamamoto, yang sebelumnya telah mendapat laporan dari Nishimura, menerima pemberitahuan itu dengan tenang, dan tidak ada tanda-tanda kemarahan ataupun keterkejutan.[58]

 

 

Sukarno Presiden Republik Indonesia Pertama

 

Rencana penyebarluasan berita mengenai proklamasi kemerdekaan melalui radio pagi itu juga ternyata gagal, karena pihak Kempeitai telah mengetahui dan menjaga ketat stasiun radio, namun hal tersebut dapat dilaksanakan malam hari. Berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh Yusuf Ronodipuro di depan corong radio.[59] Selain itu, para petugas telegrafis dan stenotipis di bagian monitoring, antara lain Bachtar Lubis, Sumajit, Herawati Diah, Suryodipuro, M.S. Simanjuntak dan Wardiyo, juga berjasa dalam penyebarluasan berita proklamasi kemerdekaan tersebut.[60]

Pada 18 Agustus PPKI mengadakan sidang yang pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Sidang tersebut dihadiri oleh:[61]

1.     Ir. Sukarno, sebagai Ketua,

2.     Drs. Mohammad Hatta, sebagai Wakil Ketua,

3.     Mr. Supomo,

4.     dr. Rajiman Wedyodiningrat,

5.     R. Panji Suroso,

6.     K.H. Wahid Hasyim,

7.     Ki Bagus Hadikusumo,

8.     R. Oto Iskandar Dinata,

9.     Abdul Kadir,

10.                        Suryohamijoyo,

11.                        Purboyo,

12.                        Mas Sutarjo Kartohadikusumo,

13.                        Yap Cwan Bing,

14.                        Mr. Johannes Latuharhary,

15.                        dr. M. Amir,

16.                        Mr. Abdul Abbas,

17.                        Mr. Teuku Mohammad Hasan,

18.                        A.A. Hamidhan,

19.                        Dr. G.S.S.J. Ratu Langie,

20.                        Mr. Andi Pangeran,

21.                        I Gusti Ktut Puja,

22.                        R. Adipati Aria Wiranata Kusuma,

23.                        Ki Hajar Dewantara,

24.                        Mr. Kasman Singodimejo,

25.                        Sayuti Melik,

26.                        Mr. Iwa Kusuma Sumantri,

27.                        Mr. Ahmad Subarjo.

 

Pada sidang hari itu, antara lain dibahas rancangan Undang-Undang Dasar yang telah disusun oleh BPUPKI pada bulan Juli 1945. Setelah dibahas kembali pasal demi pasal, hanya sedikit dilakukan perubahan, terutama yang ada kaitannya dengan Jepang. Selain itu, atas usul dari Mr. I.K Puja dari Bali, kata “Allah” dalam Pembukaan diganti dengan kata “Tuhan.” Juga dalam kalimat mengenai persyaratan menjadi Presiden, yaitu: “Presiden ialah orang Indonesia Asli yang beragama Islam”, dicoret bagian yang berbunyi: “yang beragama Islam.” Selain itu, diterima usulan untuk menambahkan satu pasal baru yang mengenai pemilihan Presiden dan Wakilnya yang untuk pertama kali diajukan oleh PPKI.[62]

Malam itu juga secara aklamasi ditetapkan Undang-Undang Dasar RI beserta Preambelnya. Mungkin UUD Republik Indonesia merupakan UUD yang paling singkat dibahas dan diputuskan untuk diberlakukan.

Setelah pengesahan UUD tersebut, berdasarkan pasal tambahan yang baru saja disetujui, PPKI juga secara aklamasi mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden RI dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.[63]

Pada hari minggu tanggal 19 Agustus, PPKI bersidang lagi, di mana dibahas mengenai pertahanan negara. Oto Iskandar Dinata mengusulkan agar Peta, Heiho dan semua pasukan bentukan Jepang dibubarkan, karena menurutnya status Peta dan Heiho di mata Sekutu tidak dapat diperbaiki. Dia mengatakan antara lain:

“Peta dibentuk oleh balatentara Dai Nippon, kedudukannya di kalangan internasional tidak keruan. Oleh karena itu diharapkan supaya Peta oleh balatentara Dai Nippon dengan resmi dan cepat dibubarkan. Heiho supaya diberhentikan dan dalam pada itu pemuka-pemuka yang mempunyai kecakapan militer ditentukan untuk membentuk tentara kebangsaan yang kuat.”

 

Pendapatnya diterima, dan pada 19 Agustus, PPKI dengan suara bulat meminta Jepang membubarkan Peta dan Heiho, yang nota bene –tanpa diketahui oleh pimpinan Republik Indonesia- telah dibubarkan dua hari sebelumnya oleh Jenderal Nagano.[64] Untuk melaksanakan keputusan mengenai masalah pertahanan, dibentuk panitia kecil yang terdiri dari tiga orang, yaitu Abdulkadir sebagai Ketua, dan anggotanya adalah Otto Iskandar Dinata dan Mr. Kasman Singodimejo. Pengumuman pembubaran Peta tidak dipatuhi oleh beberapa daidan, yang tidak bersedia menyerahkan senjata mereka.

Selain itu, PPKI juga menetapkan pembagian wilayah bekas India Belanda menjadi 8 propinsi, yang dipimpin oleh seorang Gubernur:

1.   Sumatera            : Mr. Teuku Mohammad Hassan,

2.   Jawa barat          : Mas Sutarjo Kartohadikusumo,

3.   Jawa Tengah     : R. Panji Suroso,

4.   Jawa Timur         : R.M.T.A. Suryo

5.   Sunda Kecil        : Mr. I Gusti Ktut  Puja,

6.   Kalimantan          : Ir. Pangeran M. Noor,

7.   Sulawesi             : Dr. G.S.S.J. Sam Ratu Langie,

8.   Maluku                : Mr. Johannes Latuharhary.

 

Sore hari tanggal 19 Agustus, tokoh-tokoh pemuda bersama kelompok mahasiswa kedokteran yang bertempat tinggal di Jl. Prapatan No. 10 mengadakan pertemuan di jalan Prapatan, dan mengundang Presiden Sukarno, yang kemudian datang bersama Ahmad Subarjo. Syahrir, yang termasuk kelompok yang tidak setuju untuk bekerjasama dengan Jepang dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, juga hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengusulkan kepada Sukarno, agar perebutan kekuasaan dari Jepang segera dilakukan, dan tidak menunggu belas kasihan dari Jepang. Wikana dari kelompok pemuda revolusioner mengusulkan, agar Peta dan Heiho segera disusun kembali, dan menjadi basis angkatan perang Indonesia.[65]

Dalam pertemuan tersebut, kelompok pemuda mendesak pembubaran PPKI dan dibentuknya Komite Nasional Indonesia. Syahrir mengemukakan bahwa dirinya belum siap untuk duduk sebagai pimpinan di badan yang diusulkan. Dia mengatakan:[66]

“Saya belum sanggup, teruskanlah oleh saudara-saudara, biarlah saya membantu di samping saudara-saudara. Menurut perhitungan dan keyakinan saya dan berdasarkan pula atas keterangan yang saya dengar tadi, mungkin kita baru dapat merdeka dengan rencana 4 – 5 tahun lagi!”

Di sini ada perbedaan penulisan antara Sidik Kertapati dan A.M. Hanafi, karena menurut Hanafi, kelompok pemuda mengadakan petemuan di Jl. Prapatan No. 10 pada 22 Agustus, sedangkan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden hatta tidak hadir. Syahrir memang hadir dalam pertemuan tersebut. Mengenai pertemuan ini Hanafi mengutip tulisan Alizar Thaib (panggilan akrabnya: Jack) “19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia” yang diterbitkan tahun 1993. Kutipan Hanafi:[67]

“Pada 22 Agustus, pukul 20.00 di Asrama Mahasiswa di Jalan Prapatan No. 10 diadakan rapat persiapan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang ditugaskan membantu menjalankan pemerintahan….

… Bung Karno dan Bung Hatta yang tadinya akan hadir, ternyata tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya Sutan Syahrir yang datang bercelana pendek, berkemeja putih dan bersepatu tenis, ikut hadir, padahal tadinya dia memboikot Proklamasi karena dianggapnya sebagai ‘made in Japan.’

Maka Sutan Syahrir dipersilakan berbicara. Ternyata pembicaraannya penuh kebimbangan, sesuai dengan sikapnya yang kurang sreg mengenai cara memproklamasikan kemerdekaan.[68]

…Rapat bubar tanpa hasil pada pukul 10.00 (malam – pen.). Meskipun rapat sudah bubar, 10 orang anggota Komite van Aksi Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Chaerul Saleh, sebagai Wakil Ketua, dan juga Johar Nur, ketika itu pejabat Ketua PPPI, tetap duduk di sekitar meja panjang yang tadinya digunakan sebagai meja rapat. Tiba-tiba Syahrir menghampiri Johar Nur dan berkata dalam bahasa Belanda:

‘Julie weten niet dat de geallieerden de oorlog hebben gewonnen en Nederland behoort tot een van de geallieerden. Laten wij een organisatie vormen.Laten wij de Nederlanders hier ontvangen. En na vijf jaren plegen we een opstand.’ (Kalian tidak tahu bahwa sekutu menang perang dan Belanda salah satu anggota sekutu. Sebaiknya kita bentuk organisasi. Biarlah orang Belanda itu kita terima. Sesudah lima tahun kita adakan pemberontakan).

Yang dimaksud ‘organisasi’ rupanya adalah ‘Rode Kruis’ alias Palang Merah, seperti kemudian dijelaskan oleh Eri Sudewo, mahasiswa Ika Dai Gaku yang menjadi pengikut fanatik Sutan Syahrir.

Sepuluh anggota Komite van Aksi bungkem seribu bahasa. Tiba-tiba Johar Nur bangkit dan berteriak: ‘Tidak! Tidak!’

Mendengar reaksi keras dari Johar Nur ini, Sutan Syahrir lalu membalikkan diri dan tanpa permisi atau mengucapkan ‘selamat malam’, ia lalu cepat-cepat menuju pintu ke luar, diikuti oleh Abu Bakar Lubis.

Lalu Eri Sudewo, yang ditunjuk oleh Johar Nur sebagai komandan ketentaraan mahasiswa Ika Dai Gaku dan termasuk juga inisiator gerakan Proklamasi Kemerdekaan bersama Nasrun Iskandar, Piet Mamahit dan M.T. Haryono (semuanya mahasiswa Ika Dai Gaku) mengajak Johar Nur masuk ke ruangan telepon. Mereka semua pengikut-pengikut Syahrir. Di ruangan ini tiba-tiba Eri Sudewo menodongkan pistol kepada Johar Nur sambil ujung larasnya ditempelkan ke hidung sehingga terasa dingin. Ia mendesis dalam bahasa Belanda:

‘De revolutie is mislukt. De leiders moeten eraan gaan’, (Revolusi sudah gagal. Pemimpin-pemimpin harus menanggung akibatnya)

 

Demikianlah awal perpecahan antara kelompok pemuda revolusioner dengan kelompok mahasiswa Prapatan 10. Dari insiden tersebut juga dapat diketahui sikap Syahrir mengenai proklamasi kemerdekaan, dan hal ini juga menerangkan sikap lunaknya kepada Belanda di kemudian hari, yaitu dalam perundingan dengan Belanda di Linggajati akhir 1946.

 

 

Pembentukan Kabinet RI Pertama, KNI dan BKR

 

Pada 22 Agustus 1945, PPKI bersidang kembali, dan terutama atas desakan kelompok pemuda revolusioner, PPKI resmi dibubarkan dan dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Mereka ingin segera menghapus “bau” Jepang dari badan-badan perjuangan Republik Indonesia.

Sidang terakhir PPKI memutuskan pembentukan:

1.   Komite Nasional,

2.   Partai Nasional Indonesia,

3.   Badan Keamanan Rakyat.

 

Mengenai pembentukan KNIP, Sumantri mencatat: [69]

Pada 22 Agustus 1945 Pemerintah telah menetapkan, bahwa

1.   Komite Nasional Indonesia dibentuk di seluruh Indonesia dengan pusatnya di Jakarta.

2.   Komite Nasional Indonesia adalah penjelmaan kebulatan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan Kemerdekaan Indonesia, yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat.

3.   Usaha Komite Nasional ialah:

a)   Menyatakan keamanan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka;

b)   Mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat;

c)   Membantu menenteramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum;

d)   Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita Bangsa Indonesia dan di daerah membantu Pemerintah Daerah untuk kesejahteraan umum.

4.   Komite Nasional di Pusat memimpin dan memberi petunjuk kepada Komite-Komite Nasional di daerah. Di mana perlu, di daerah didirikan pusat daerah, yaitu untuk: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sunda Kecil

.

Setelah berbagai pertimbangan, keputusan untuk membentuk satu partai yaitu Partai Nasional Indonesia tidak dilaksanakan dan semua hal yang sehubungan dengan politik diserahkan kepada KNIP. Dengan pertimbangan agar pihak Sekutu tidak mencurigai bahwa Badan Keamanan Rakyat (BKR) merupakan suatu kekuatan militer, maka diputuskan, bahwa BKR adalah bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).

Setelah perpecahan dengan kelompok mahasiswa Jl. Prapatan No. 10, kelompok pemuda revolusioner memandang perlu memiliki markas yang akan dijadikan pusat perjuangan. Mereka memutuskan untuk menempati gedung di Jalan Menteng 31, yang waktu itu masih dipergunakan sebagai kantor Jawa Hokokai. Di zaman Belanda, gedung tersebut adalah Hotel Schomper I, dan termasuk satu hotel mewah. Pada zaman Jepang, gedung tersebut dijadikan asrama pemuda yang tergabung dalam Angkatan Baru Indonesia, di mana mereka juga mendapat pendidikan politik, antara lain dari Ir. Sukarno, Drs. M. Hatta, Sutan Syahrir dan Mr. Ahmad Subarjo. Kemudian setelah “Poetera” dibubarkan dan sebagai penggantinya, didirikan Jawa Hokokai, maka gedung tersebut dipakai menjadi kantor Jawa Hokokai. Mengenai perebutan gedung tersebut, Hanafi menuturkan:[70]

“Sesudah makan sahur, buru-buru saya dan Darwis melangkah ke Menteng 31 mengambil semua kuncinya, dan memberitahukan Tukijo dan Ramli –penjaga yang saya kenal sejak zaman Asrama Angkatan Baru Indonesia (1942)- bahwa kantor Jawa Hokokai kita tutup dan sekarang menjadi markas komando Komite van Aksi Revolusi Proklamasi.

Dari sana saya dengan Parjono pergi ke kampung Ambon, menemui Pak Gantang, mengemukakan supaya malam itu ia mengerahkan anak buahnya, jago-jago pencak dari Tugu, Marunda, dan menduduki Menteng 31, siap-siap bersama-sama kami pemuda-pemuda.”

Demikianlah asal mulanya Menteng 31 resmi menjadi Markas Komando Pemuda Komite van Aksi Revolusi Proklamasi.

 

Pada 29 Agustus 1945, bertempat di gedung kebudayaan,  Presiden Sukarno melantik 200 anggota KNIP. Sebagai Ketua KNIP pertama dipilih Mr. Kasman Singodimejo. Komite Nasional di Pusat dan di daerah dipimpin oleh seorang Ketua dan beberapa orang anggota pengurus, yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional. Untuk pertama kali para Ketua KNI-D ditetapkan oleh Presiden Sukarno.

 

Kabinet pertama Republik Indonesia dibentuk pada 5 September 1945. Susunan Kabinet Presidensial tersebut adalah sebagai berikut:[71]

Menteri Luar Negeri          : Mr. Ahmad Subarjo

Menteri Dalam Negeri      : R. Adipati Aria Wiranata Kusumah

Menteri Kehakiman           : Mr. Supomo

Menteri Keamanan           : (belum diumumkan)

Menteri Kesehatan           : dr. R. Buntaran Martoatmojo

Menteri Kemakmuran

(Perekonomian)                : Ir. Surachman

Menteri Pendidikan           : Ki Hajar Dewantara

Menteri Penerangan        : Mr. Amir Syarifuddin Harahap

Menteri Keuangan           : dr. Samsi Sastrawidigda

Menteri Sosial                 : Mr. R. Iwa Kusuma Sumantri

Menteri Perhubungan     

dan Pekerjaan Umum      : R. Abikusno Cokrosuyoso

Menteri Negara                 : K.H. Wahid Hasyim

Menteri Negara                 : Mr. R.M. Sartono

Menteri Negara                 : Mr. Alexander Andries Maramis

Menteri Negara                 : R. Oto Iskandar Dinata

Menteri Negara                 : dr. M. Amir.

 

Selain itu juga diangkat pejabat-pejabat tinggi negara yaitu:

Ketua Mahkamah Agung : Mr. Kusumah Atmaja

Jaksa Agung                     : Mr. Gatot Tarunamiharja

Sekretaris Negara            : Mr. A. Gafar Pringgodigdo

Juru Bicara Negara          : Sukarjo Wiryopranoto

 

Nama Mr. Amir Syarifuddin Harahap telah diumumkan, walaupun pada saat dia itu masih di dalam penjara di Malang, dan baru dibebaskan oleh Jepang tanggal 1 Oktober 1945.[72] Suatu hal yang tampak “lucu” adalah kehadiran Amir Syarifuddin, yang selalu datang dengan mengenakan celana pendek, karena setelah ke luar dari penjara, dia belum memiliki celana panjang. Juga ketika datang ke Surabaya bersama Presiden Sukarno tanggal 29 Oktober 1945 dalam rangka menyelesaikan “the Soerabaya Incident”, yang kemudian berbuntut dengan tewasnya Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, yang diikuti pembalasan tentara Inggris pada bulan November 1945. Dalam satu foto bersama cabinet pertama RI terlihat, Amir Syarifuddin masih mengenakan celana pendek.[73]

Untuk jabatan Menteri Keamanan, sebenarnya telah ditunjuk Supriyadi, mantan Chudancho yang memimpin pemberontakan Peta di Blitar bulan Februari 1945, namun Supriyadi tidak pernah datang untuk mengemban tugas tersebut. Banyak yang menduga, bahwa dia telah tewas dalam pemberontakan tersebut. Namun banyak yang berpendapat, Sukarno tidak mungkin mengangkat orang untuk menjadi menteri, apabila diketahui bahwa orang tersebut telah meninggal.[74]

Hingga akhir September 1945, pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di seluruh wilayah bekas India Belanda, terutama di Jawa dan Sumatera, berjalan cukup mulus, tanpa tentangan keras dari pihak Jepang, dan belum ada perlawanan dari orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari tawanan dan interniran Jepang.

Tanggal 7 Oktober 1945, Syahrir membuat gebrakan pertamanya, yaitu menyampaikan petisi kepada Sukarno dan Hatta, yang ditandatangani oleh 50 anggota KNIP. Isinya adalah, mendesak agar diberikan status MPR kepada KNIP. Pada sidang paripurna KNIP yang berlangsung tanggal 16 dan 17 Oktober 1945, KNIP memperoleh status MPR, berarti seimbang dengan Presiden.[75] Pada rapat pembukaan, Wakil Presiden Hatta membacakan apa yang kemudian dikenal sebagai Maklumat Wakil Presiden No. X. Teks tersebut berbunyi:[76]

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Sesudah mendengar pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dibentuk kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional menurut Pasal IV Aturan Peralihan dan Undang-Undang Dasar hendaknya dikerjakan oleh Komite Nasional Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.

 

Menimbang:

Bahwa didalam keadaan yang genting ini perlu ada Badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia, disebelah Pemerintah; Menimbang selanjutnya bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat;

 

Memutuskan:

Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.

 

Syahrir dan Amir Syarifuddin ditunjuk menjadi formatur untuk membentuk Badan Pekerja. Kemudian mereka menyampaikan daftar Badan Pekerja yang beranggotakan 15 orang di mana Syahrir menjadi Ketua, Amir Syarifuddin menjadi Wakil Ketua dan R. Suwandi menjadi Sekretaris.

Pada bulan Oktober 1945, Oto Iskandar Dinata diculik oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Iskandar Dinata ditemukan tewas pada 20 Desember 1945 di Mauk, Jawa Barat. Peristiwa penculikan dan pembunuhan Iskandar Dinata hingga kini belum terungkap.

 

 

***

 

 

Referensi[77]

 

-         Abdulgani, Dr. H. Roeslan, Seratus Hari di Surabaya,Yang Menggemparkan Indonesia, Kisah singkat tentang Kejadian-kejadian di kota Surabaya antara tanggal 17 Agustus s/d akhir November 1945, PT Jayakara Agung Offset, Jakarta, Cetakan ke VI, 1995.

-         Album Pahlawan Bangsa, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2000.

-         Anderson, Prof. Dr. Benedict R., Revolusi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 -1946, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

-         Boediardjo. Siapa Sudi Saya Dongengi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996. Holk H. Dengel, Die deutschen Marinestützpunkte Jakarta und Surabaya 1943 - 1945, Risalah.

-         Chidmad, Tatang SH et al., Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Media Presindo, Yogyakarta, 2001.

-         De Excessennota, Nota Betreffende het Archiefonderzoek naar de Gegevens Omtrent Excessen in Indonesië begaan door Nederlandse Militairen in de Periode 1945 – 1950, Sdu Uitgeverij Koninginnegracht, Den Haag, 1995.

-         Dewantara, Bambang Sokawati, Ki Hajar Dewantara, Ayahku, Pustaka Sinar harapan, Jakarta, 1989.

-         Dijk, Cornelis van, Darul Islam. Sebuah Pemberontakan, Grafiti, cetakan IV, Jakarta 1995.

-         Engelen, O.E., et al., Lahirnya Satu Bangsa dan Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1997.

-         Gozney, Richard CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris. Uraian dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences" Diselenggarakan di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.

-         Hadi-Soewito, Dra. Irna H.N., Chairul Saleh, Tokoh Kontroversial, Jakarta, Tim Penulis, 1995.

-         Hadi-Soewito, Dra. Irna H.N., Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan, Grasindo, Jakarta, 1994. [Buku ini ditulis a.l. berdasarkan catatan-catatan alm. Mayjen TNI (Purn.) Sungkono].

-         Hanafi, A.M., Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.

-         Hanna, Willard A., "Indonesian Banda", Colonialism and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya Banda Neira, Maluku, 1991 (Reprint).

-         Hardjosoediro, Drs. Soejitno, Dari Proklamasi ke Perang Kemerdekaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1987, dalam: Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan, jilid VII, diterbitkan oleh Markas Besar Legiun Veteran RI,  Jakarta, 1999, hlm. 156 - 157.

-         Hassan, H. Ismael, SH., Hari-hari  terakhir PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Lahirnya, Tugas dan Perjuangan, Jakarta, 2002.

-         Hatta, Drs. Mohammad, Memoir, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1982.

-         Hutagalung, Batara, 10 November '45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?. Analisis Latar Belakang Agresi Militer Inggris, Millenium Publisher, Jakarta, 2001.

-         Hutagalung, Letkol. TNI (Purn.) Dr. W., Anak Bangsa dari Tiga Episode Perang Kemerdekaan, Naskah, 1986.

-         Ijzereef, Willem, De Zuid-Celebes Affaire. Kapitein Westerling en de standrechtelijke executies, De Bataafsche Leeuw, Groningen, 1984.

-         Indriastuti, Pemerintahan Militer di Daerah Gerilya Gunung Sumbing pada tahun 1948 - 1949, Fakultas Sastra Univ. Diponegoro, Semarang, 1988.

-         Joyoadisuryo, Prof. Ahmad Subarjo SH., Kesadaran Nasional, Otobiografi, Gunung Agung, Jakarta, 1978.

-         Idris, Kemal, Bertarung Dalam Revolusi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.

 

-         Jasin, Komisaris Jenderal Pol.(Purn.) DR. H. Moehammad, Singa Pejuang RI, PPKBI, Jakarta, 2001.

-         Kartasasmita, Didi, Pengabdian Bagi Kemerdekaan, Otobiografi, ditulis oleh Tatang Sumarsono,  Pustaka Jaya, Jakarta, 1993,

-         Kartohadikusumo, Mayjen.TNI (Purn.) Drs. Setiadi, Soetardjo. "Petisi Sutardjo" dan Perjuangannya, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.

-         Kawilarang, Alex E., Untuk Sang Merah Putih, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

-         Kertapati, Sidik, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000.

-         Lapian, A.B. & Dooglever, P.J. (Eds), Menelusuri Jalur Linggarjati, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992.

-         Latief, Abdul, Naskah, belum ada judul, Jakarta, 1997.

-         Lebra, Joyce C., Tentara Gemblengan Jepang,  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

-         Malaka, Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan, Dari Penjara ke Penjara, (Tanpa nama penerbit), Jakarta, 1998.

-         Meelhuijsen, Willy, Revolutie in Soerabaja. 17 Agustus - 1 December 1945, Walburg Pers, Zutphen, Netherlands, 2000.

-         Moor, J.A. de, Westerling's Oorlog, Indonesie 1945 - 1950, Uitgeverij Balans, Netherlands, 1999.

-         Nasution, Dr. A.H., Memenuhi Panggilan Tugas, Kenangan Masa Gerilya, jilid 2 A, CV Hadi Mas Agung, Jakarta, 1983.

-         Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 2, Bandung, 1977.

-         Nasution, Dr. A.H., Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia. Diplomasi atau Bertempur, Jilid 11, Bandung, 1977.

-         Parrot, J.G.A. Who Killed Brigadier Mallaby?, Cornell University, USA, 1976.

-         Penders, Dr.C.L.M., Bojonegoro 1900 – 1942. A Story of endemic poverty in north-east Java – Indonesia, Gunung Agung, Singapore, 1984.

-         Post, Laurens van der, The Admiral's Baby, John Murray, London, 1996.

-         Rahardjo, Pamoe, Gerilya dan Diplomasi. Operasi Hayam Wuruk. Sebuah Epik dalam Revolusi, Yayasan Mencerdaskan Bangsa, Jakarta, 1996.

-         Ratu Langie, Dr. G.S.S.J., Indonesia di Pasifik. Analisa Masalah-Masalah Pokok Asia-Pasifik. Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982. Judul asli: "Indonesia in den Pacific - Kernproblemen van den Aziatischen Pacific", Batavia, 1937.

-         Reid, Anthony J.S., Revolusi Nasional Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

-         Reksodipuro, Subagio SH dan H. Subagiyo I.N., 45 Tahun Sumpah Pemuda, Yayasan gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta 1974.

-         Parlindungan, Mangaradja Onggang, Pongkinagolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816 – 1833, Penerbit Tandjung Pengharapan, Jakarta, 1964.

-         Salim, Islam, Terobosan PDRI dan Peranan TNI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

-         Salyo, Suwarni SH, Serangan terhadap Surabaya 10 November 1945. Upaya Menegakkan Kembali Penjajahan Yang Mengorbankan Rakyat Surabaya. Makalah dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequence", Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.

-         Seemann, Dr. Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch-Indonesische  Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000.

-         Sekretariat Negara RI, 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jilid I 1945 - 1960, , Jakarta, 1995.

-         Setiadijaya, Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan, 10 November '45. Gelora Kepahlawanan Indonesia, Yayasan Dwi Warna, Jakarta, 1991.

-         SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Latar Belakang dan Pengaruhnya, SESKOAD, Bandung, 1989.

-         Simatupang, Mayjen. TNI (Purn.) T.B., Pelopor Dalam Perang, Pelopor Dalam Damai, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981. (Diterbitkan pertama kali tahun 1954, oleh Yayasan Pustaka Militer).

-         Simatupang, Mayjen. TNI (Purn.) T.B., Laporan dari Banaran.  Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1980. (Diterbitkan pertama kali tahun 1960, oleh Badan Penerbit PT Pembangunan).

-         Subiantoro, Mayjen (Purn.) R., Makalah dalam Seminar Internasional "The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences", Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000.

-         Suharto, Jenderal TNI (Purn.), Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi, PT Citra Lamtorogung Persada, Jakarta, 1988.

-         Sumantri, Prof. Iwa Kusuma SH., Sejarah Revolusi Indonesia, jilid 1 - 3, Jakarta 1963.

-         Sumual, Ventje, Menatap Hanya Ke Depan, Biografi Seorang Patriot, Filsuf, Gembong Pemberontak, Bina Insani, Jakarta, 1998.

-         Tarjo, N.S.S., Dari Atas Tandu, Pak Dirman Memimpin Perang Rakyat Semesta, Yayasan Wiratama '45, Yogyakarta, 1984.

-         Tabloid Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998.

-         Tim Lembaga Analisis Informasi, Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949. Media Pressindo, Yogyakarta, 2000.

-         Tobing, Drs. H. Afif L., Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Yayasan Pahlawan Nasional Dr. F.L. Tobing, Jakarta, 1997.

-         Tobing, K.M.L.,Linggarjati. Perjuangan Politik Bangsa Indonesia. PT Gunung Agung, Jakarta, 1886.

-         Tohir, Ir. H. Warnak, Pertempuran 5 Hari 5 Malam di Palembang, Jakarta, 1983.

-         Trisnaningprodjo, Imam Soetrisno, Geger Suroboyo, dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Beta, Yapeta, Jakarta, 1999.

-         Villiers, John, Südostasien vor der Kolonialzeit, Fischerweltgeschichte, Fischer Taschenbuch Verlag, Frankfurt am Main, 1980.

-         Wolf, Charles Jr., The Indonesian Story. The Birth, Growth and Structure of the Indonesian Republic, The John Day Company, New York, 1948.

-         Yayasan 19 Desember 1948, Dokumen RIPRESS Dalam Perang Rakyat Semesta 1948 - 1949, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

-         Yong, Mun Cheong, H.J. van Mook and Indonesian Independence. A study of His Role in Dutch - Indonesian Relations, Martinus Nijhoff, Den Haag, 1982.

-         Yosodipuro, Suyatno, Mendobrak Untuk Melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Daerah Surakarta, Jakarta, 1984.

-         Zahorka, Herwig, Arca Domas - ein deutscher Soldatenfriedhof in Indonesien, Bogor, September 2000.

-         De Excessennota. Nota betreffende het Archiefonderzoek naar de gegevens omtrent Excessen in Indonesië begaan door nederlandse militairen in de Periode 1945-1950. Sdu Uitgeverij Koningennegracht, Den Haag 1995.

-         Situs Web: http://www. koridor.com, 23 Juni 2000.

-         United Nations Information Services (Situs web, http://www.un.org)

-         Sejumlah wawancara dengan para pelaku sejarah serta masukan, keterangan, dokumen, buku dan informasi, antara lain dari:

·        Komisaris Jenderal Pol.(Purn.) DR. H.Moehammad Jasin, Angkatan ’45,

·        Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. W. Hutagalung, Angkatan ’45,

·        Mayor Jenderal TNI (Purn.) H. KRMH Jono Hatmodjo, Angkatan ’45,

·        Brigadir Jenderal TNI (Purn.) drg. Barlan Setiadijaya, Angkatan ’45,

·        Kolonel TNI (Purn.) R. Kadim Prawirodirdjo (Di tahun enampuluhan telah mewawancarai lebih dari 3.000 pelaku sejarah/pejuang Surabaya 1945),

·        Pamoe Rahardjo, Ketua Umum Yayasan Pembela Tanah Air (YAPETA),

·        H.M.S. Tadjoedin, Ketua Umum Yayasan 19 September 1945,

·        Bambang Purnomo, Angkatan ‘45

·        Suyatno Yosodipoero, Angkatan ‘45

·        Gunanto Martodipoero, Widyaiswara Lemhannas.

·        Dra. Irna H.N.Hadi Soewito, Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jakarta

 

 

********



[1] Ibid., hlm. 84-85

[2] Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Pustaka Pena, Jakarta, 2000, hlm. 70.

[3] Anderson, ibid., hlm. 85

[4] Menurut Anderson, pertemuan tersebut tanggal 11 Agustus (hlm. 85), namun Hatta menulis (lihat Memoir

    hlm. 437), bahwa pertemuan tersebut berlangsung tanggal 12 Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahunnya.

[5] Anderson, loc.cit..

[6] Hatta, ibid., hlm. 437

[7] Kira-kira 300 km di sebelah utara Saigon –pen.

[8] Hatta, ibid., hlm. 438.

[9] Anderson, ibid., hlm. 86.

[10] A.M. Hanafi, Menteng 31. Membangun Jembatan Dua Angkatan. Pustakan Sinar Harapan, Jakarta, 1997,

   hlm. 15.

[11] Subarjo, ibid., hlm. 295. Lihat juga Hatta, Memoir, hlm. 440.

[12] Hanafi, ibid.., hlm. 16 - 17.

[13] Subarjo, ibid., hlm. 294.

[14] Hatta, ibid., hlm. 441.

[15] Prof. Iwa Kusuma Sumantri SH, Sejarah Revolusi Indonesia.Masa Revolusi Bersenjata, jilid kedua, Jakarta,

    hlm. 12.

[16] Sumantri, op.cit., hlm. 13.

[17] Louis Mountbatten, !st Earl, Viscount Mountbatten Of Burma, Baron Romsey Of Romsey. Nama aslinya

     adalah Louis Francis Albert Victor Nicholas, Prince Of Battenberg, anak keempat dari Prinz (Pangeran)

     Ludwig von Battenberg –kemudian menjadi Marquess of Milford Haven- dan isterinya, Prinzessin Victoria

     von Hesse-Darmstadt (cucu Queen Victoria, ratu Inggris). Mountbatten tewas tanggal 27 Agustus 1979 di

     Donegal Bay, Irlandia, akibat bom yang dipasang di kapalnya oleh Irish Republican Army (IRA).

[18] Nasution, ibid., hlm. 63.

[19] Dr. Roeslan Abdulgani,  Seratus Hari di Surabaya yang Menggemparkan Indonesia, Cetakan VI, PT

     Jayakara  Agung Offset, Jakarta, 1995, hlm. 4.

[20]  R. Subiantoro, Mayjen (Purn.). Makalah dalam seminar internasional “The Battle of Surabaya, November

   1945. Back Ground and Consequences”,  Lemhannas, 27 Oktober 2000.

[21] Kertapati, op.cit., hlm., 100.

[22] Beberapa data menyebutkan, perintah Kaisar Hirohito untuk menghentikan pertempuran disampaikan tanggal

  15 Agustus. Mungkin ini terjadi karena perbedaan waktu antara Eropa dan Asia.

[23] Kertapati, ibid., hlm. 77.

[24] Hanafi, ibid., hlm. 21.

[25] Menurut Sidik Kertapati, Wikana pergi dengan Aidit, Subadio dan Suroto Kunto, sedangkan Johar Nur dan

  Darwis menyusul belakangan, karena menunggu terlalu lama. Lihat Kertapati, ibid., hlm. 78 dan  79.

[26] Menurut catatan Subarjo (hlm. 303 – 305), pertemuan di tempat Sukarno berlangsung tanggal 15 Agustus, dan

  ketika dia bersama Buntaran dan Iwa Kusuma Sumantri tiba di tempat Sukarno sekitar pukul 11.00 malam,

  Sukarno sedang berdebat sengit dengan sekelompok pemuda, di antaranya adalah Wikana.

[27] Hanafi, ibid., hlm. 22.

[28] Hatta, Drs. M,  Mitos dan Kenyataan tentang Proklamasi 17 Agustus 1945”, halaman 338, dalam Subarjo,

  ibid., hlm. 308 – 309.

[29]  Lihat juga Hatta, Memoir, hlm. 445.

[30] Supeno menjadi Menteri Pemuda dan Pembangunan di Kabinet Hatta tahun 1948. Bulan Februari 1949, ketika

   ikut bergerilya  setelah agresi militer Belanda 19 Desember 1948, Supeno ditembak mati oleh tentara Belanda.

[31] Subarjo, ibid., hlm. 23.

[32] Zaman Belanda bernama Oranje Boulevard, sekarang  Jl. Diponegoro.

[33] Hanafi, ibid., hlm 17 – 19.

[34] Kertapati, ibid.,  hlm. 79 - 81.

[35] Kertapati, ibid., hlm. 88.

[36] Kertapati, ibid., hlm. 27 – 28.

[37] Subarjo, ibid., hlm. 316.

[38] Ibid., hlm.  317 – 321.

[39] Putra tersebut adalah Drs. Setiadi Kartohadikusumo, yang terakhir berpangkat Mayor Jenderal TNI.

[40] Lihat juga, Kartohadikusumo, ibid., hlm. 164 – 165.

[41] Subarjo, ibid., hlm. 245,  253-254.

[42] Gunseikan = Kepala Pemerintahan Militer.

[43] Anderson, ibid., hlm. 101.

[44] Ibid., hlm 101-102.

[45] Uraian Anderson ini berdasarkan catatan-catatan Nakatani dan Nishimura yang hadir dalam pertemuan

    tersebut.

[46] Ibid., hlm. 102 – 103.

[47] Subarjo, ibid. hlm. 330.

[48] Hanafi, ibid., hlm. 20 – 29.

[49] Kertapati, ibid., hlm. 94

[50] Anderson, ibid., hlm. 104 – 105.

[51] Hanafi, ibid., hlm. 30.

[52] Mengenai hal ini, Herwig Zahorka, dalam buku kecilnya “Arca Domas, ein deutscher Soldatenfriedhof in

    Indonesien”, hlm. 3, menulis bahwa ketika teks akan ditulis dengan mesin tik, ternyata tidak dapat

    mempergunakan mesin tik Jepang, karena mesin tik Jepang mempunyai huruf Jepang, sehingga dipinjam

    mesin tik dari kantor Korvettenkapitän (di Angkatan Darat setara dengan Kolonel) Dr. Hermann Kandeler,

    yang juga wakil Pemerintah Jerman di India Belanda.

[53] Menurut kalender Jawa, tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat Legi, dan bagi orang Jawa, ini

    merupakan hari baik.

[54] Kertapati, ibid., hlm. 95 – 96.

[55] Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan., jilid dua, hlm. 5 dan 21.

[56] Meelhuijsen, op.cit., hlm. 46.

[57] Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, jilid 2, hlm. 5

[58] Kartohadikusumo, ibid., hlm. 166.

[59] Kertapati, ibid., hlm. 99.

[60] Ibid., hlm. 99 – 100.

[61] Sumantri, ibid, jilid pertama, hlm. 119.

[62] Kertapati, ibid., hlm. 102.

[63] Sumantri, ibid.,  jilid dua, hlm. 31.

[64] Anderson, ibid., hlm. 124.

[65] Kertapati, ibid., hlm. 104.

[66] Ibid., hlm. 105.

[67] Hanafi, ibid., hlm. 34 – 36.

[68] Di sini Hanafi memberi catatan :”Apa yang dituliskan oleh si Jack ini saya nilai benar semuanya. Waktu itu

    saya sendiri hadir di dalam rapat tersebut. Bahkan saya sendiri jugalah yang menjemput Bung Syahrir di

    rumahnya di jalan Jawa. Ketika saya datang, ia sedang duduk-duduk dengan santai bersama Abu Bakar Lubis

    seusai main tenis, keadaan yang membuat saya keheran-heranan.”

[69] Sumantri, ibid., jilid dua, hlm. 34.

[70] Hanafi, ibid., hlm. 38 – 39.

[71] Sumantri, loc.cit.

[72] Kertapati, ibid., hlm. 109.

[73] Dituturkan oleh Dr. Ruslan Abdulgani pada seminar internasional di Lemhannas tanggal 27 Oktober 2000.

[74] Tahun 2008 muncul seorang yang mengaku bahwa dialah sosok Suprijadi, pemimpin pemberontakan Blitar, 

    yang dikabarkan telah meninggal.

[75] Anderson, ibid., hlm. 200 – 201. Di sini Anderson menulis, bahwa dengan demikian KNIP seimbang dengan

    Presiden. Namun apabila mengacu pada UUD ’45, dengan memperoleh  status MPR, maka kedudukan KNIP

    di atas Presiden.

[76] Nomer X ini terjadi, karena Sekretaris Negara waktu itu, Mr. Gafar Pringgodigdo, tidak membawa arsip,

    sehingga tidak mengetahui nomer urut surat yang harus dikeluarkan. Maka diputuskan untuk menggunakan

    huruf  X, untuk  nomer yang belum diketahui. Lihat: Hatta, ibid., hlm. 473.

[77] Nama pengarang serta judul buku ditulis sesuai aslinya, menggunakan ejaan lama.