Saturday, March 17, 2012

Dua Muka Jan Pieterszoon Coen

"Bapak" Penjajahan di Asia Tenggara/Nusantara

Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Selama lebih dari seratus tahun, sejak tahun 1893, Jan Pieterszoon Coen, mantan Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)  “berdiri” dengan megah dan tenang di kota kelahirannya, Hoorn, di Belanda bagian utara. Namun sejak enam bulan belakangan, terutama dua minggu terakhir ini, “ketenangannya” sangat terusik.

Terusiknya ketenangan tersebut diawali dengan robohnya secara misterius patung JP Coen nan megah tersebut dari beton penyangganya pada 16 Agustus 2011, sehari sebelum bangsa Indonesia memperingati proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2011. Dan kurang dari satu bulan sebelum putusan pengadilan sipil di Den Haag, pada 14 September 2011, yang memenangkan gugatan 9 janda dan satu korban selamat peristiwa pembantaian penduduk sipil di Rawagede, terhadap pemerintah Belanda. Pengadilan sipil di Belanda menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan bertanggungjawab atas pembantaian 431 penduduk desa Rawagede pada 9 Desember 1947, serta menghukum pemerintah Belanda untuk meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian, dan memberi kompensasi kepada para penggugat. (Mengenai putusan pengadilan sipil di Den Haag ini, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-putusan-pengadilan-belanda-14.html)

(Lihat juga: Rawagede. Akhirnya Pemerintah Belanda Meminta Maaf

Jan Pieterszoon Coen, nama ini menyimbolkan dua zaman berbeda, untuk kurun waktu yang bersamaan.

Hingga beberapa waktu yang lalu, untuk sebagian besar warga Belanda, JP Coen menyimbolkan awal dari zaman keemasan –de gouden eeuw- bagi Belanda. Ketika menjadi Gubernur Jenderal VOC (masa jabatan pertama 1619 – 1623, masa jabatan kedua 1627 – 1629), pada 30 Mei 1619 dia menyerang kota Jayakarta. Setelah menghancurkan dan membumihanguskan kota tersebut, dia mengganti nama kota tersebut menjadi Batavia, sesuai kehendak de Heeren Seventien, atau 17 orang penguasa kongsi dagang VOC di Belanda, yang waktu itu disebut sebagai Staaten Generaal. Dia menjalankan dengan keras dan kejam system perdagangan dengan kekuatan militer. VOC, suatu kongsi dagang yang mendapat hak (Oktrooi – piagam) dari Staaten Generaal di Belanda untuk memiliki pasukan sendiri, mencetak mata uang dan menyatakan perang terhadap suatu Negara. Dengan demikian VOC memiliki status seperti layaknya suatu Negara. Di zaman penjajahan Belanda, VOC dikenal sebagai “kumpeni.” (Lihat tulisan mengenai VOC di:

Namun untuk penduduk di bumi Nusantara, nama Jan Pieterszoon Coen identik dengan kekejaman dan awal dari sejarah panjang penjajahan Belanda di bumi Nusantara, yang di beberapa daerah, terutama Batavia dan Maluku, berlangsung lebih dari 300 tahun…sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah India-Belanda kepada Jepang. (Lihat: 9 Maret 2012, 70 tahun berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara. http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/03/9-maret-2012-70-tahun-berakhir.html)

Pada waktu itu, Belanda belum menjadi penguasa tunggal di Asia Tenggara. Pesaing kuatnya adalah Inggris, Spanyol dan Portugal. Namun dengan kekuatan militernya, perlahan-lahan Belanda berhasil mengalahkan para pesaingnya di wilayah, yang kemudian dinamakan sebagai Netherlands Indië (India Belanda).
System “perdagangan” yang dilakukan VOC a.l.:
Apabila ada raja atau sultan yang menolak untuk berdagang dengan syarat yang ditentukan oleh VOC, maka raja atau sultan tersebut ditangkap dan dibuang ke daerah lain atau ke negara lain. Kemudian VOC mengangkat raja atau sultan yang mau berdagang dengan syarat yang ditentukan oleh VOC.

Kepulauan Banda, penghasil tunggal pala, pada waktu itu masih berdagang dengan Inggris, dan hal ini sangat tidak disenangi oleh Coen. Pada bulan Mei 1621 JP Coen mengerahkan armada dan kekuatan militernya yang terbesar untuk menyerang Banda. Ribuan penduduk Banda dibunuh, dan sisanya sebanyak 883 orang dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak. JP Coen bukan hanya mengawali penjajahan di bumi Nusantara, melainkan juga mengawali perdagangan budak, yang secara resmi berlangsung hingga tahun 1863, namun pada kenyataannya, praktek-praktek perbudakan di beberapa daerah di Nusantara masih berlangsung hingga akhir abad 19.

Boleh dikatakan Coen “mengganti total” penduduk Banda dengan pendatang dan budak dari daerah lain untuk mengerjakan perkebunan dan perdagangan pala. Seorang kenalan saya yang berasal dari Maluku, setelah mendengar penjelasan dari saya mengatakan, bahwa selama ini dia heran, mengapa penduduk Banda kelihatan lebih putih, tidak seperti penduduk di sekitar Banda. Kini dia mengetahui, mengapa penduduk Banda sangat berbeda dengan penduduk pada umumnya di Maluku.

Di puncak masa perdagangan budak pada pertengahan abad 18, populasi budak di beberapa kota seperti Batavia dan Makassar mencapai lebih dari 50 (!) % dari seluruh jumlah penduduk..

Akhir tahun 1799 VOC yang hancur karena korupsi –pelesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie- dibubarkan, seluruh wilayah yang dikuasai oleh VOC kini diambilalih oleh pemerintah Be;landa, yang membentuk Netherlands Indië (India Belanda), yang juga diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal VOC yang terakhir juga merupakan Gubernur Jernderal India Belanda pertama. (Mengenai VOC lihat:

Setelah JC Coen tahun 1629 mati karena penyakit, kelihatannya para Gubernur Jenderal penerusnya bersaing dalam kekejaman. Sejarah mencatat antara lain Sistim Tanam Paksa; Hongi Tochten, yaitu ekspedisi pelayaran di Maluku untuk memusnahkan pohon-pohon cengkeh guna menjaga agar harga tetap tinggi; pengasingan/pembuangan raja/sultan/tokoh yang menentang Belanda.

Beberapa yang sangat menonjol antara lain Gubernur Jenderal Adriaen Valckenier (1737 – 1741). Di masa pemerintahannya pada bulan Oktober 1740 terjadi genosida terhadap etnis Tionghoa di Batavia, di mana diperkirakan sekitar 10.000 orang Tionghoa –termasuk lansia,wanita dan anak-anak- tewas dibantai.
Kemudian ketika Joannes Benedictus van Heutsz menjadi Gubernur Militer dan Sipil di Aceh (1898 – 1904) kemudian menjadi Gubernur Jenderal di India Belanda (1904 – 1909), Aceh menjadi ladang pembantaian tentara Belanda.


Jan Pieterszoon Coen berdiri dengan megah



Jan Pieterszoon Coen roboh pada 16.8.2011

Di kota kelahirannya, tahun 1893 masyarakat Hoorn mendirikan patung JP Coen yang sangat megah, dengan tulisan di bawah patungnya yang merupakan glorifikasi “prestasi’ nya selama menjadi Gubernur Jenderal. Patung itu berdiri tegak dengan megah …sampai 16 Agustus 2011.

Tanggal 20 maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC  Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) melakukan demonstrasi di kedutaan Belanda, memrotes perayaan besar-besaran tersebut. KNPMBI menyatakan, bahwa zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan pembantaian ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan penduduk Nusantara, nenek moyang bangsa Indonesia, serta perampokan kekayaan Nusantara. Oleh karena itu, KNPMBI menuntut agar pemerintah Belanda meminta maaf kepada bangsa Indonesia, dan mengembalikan kekayaan Nusantara yang telah dirampok oleh Belanda selama ratusan tahun.

KNPMBI menerima usul Duta Besar Belanda, Baron Schelto van Heemstra untuk menyelenggarakan seminar mengenai dua sisi VOC. Seminar diselenggarakan pada 3 dan 4 September 2002, dengan menghadirkan 6 sejarawan Indonesia, dan 4 sejarawan dari Belanda.

Tuntutan KNPMBI berjalan terus. Pada 5 Mei 2005, aktifis KNPMBI mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), dan menuntut pemerintah Belanda untuk:
  1. Mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945,
  2. meminta maaf kepada bangsa Indonesia atas penjajahan, perbudakan, berbagai pelanggaran HAM berat, kejahatan atas kemanusiaan,
Pada 15 Desember 2005, ketua KUKB bersama Ketua Dewan Penasihat KUKB membawa kasus pembantaian di Rawagede ke parlemen Belanda, juga disampaikan, bahwa hingga saat ini pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi pemerintah Belanda, kemerdekaan RI adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan” kewenangan (soeveriniteitsoverdracht) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sejak tahun 2002 hingga tahun 2008, hampir setiap tahun KNPMBI dan kemudian KUKB mengadakan demonstrasi di kedutaan Belanda di Jakarta, dan hamper setiap tahun menyelenggarakan seminar dan diskusi seputar penjajahan Belanda di bumi Nusantara, terutama mengenai pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede.

Pada 16 Agustus 2005, Menteri Luar Negeri Belanda (waktu itu) Ben Bot, di Jakarta menyampaikan, bahwa kini (sejak 16.8.2005), pemerintah Belanda MENERIMA proklamasi 17.8.1945 secara moral dan politis. Sehari sebelumnya,  di Den Haag, dia menegaskan, bahwa pemerintah Belanda mulai saat itu, menerima de facto kemerdekaan RI 17.8.1945. Artinya, sampai 16.8.2005, ternyata Republik Indonesia untuk pemerintah Belanda, tidak ada samasekali, dan tanggal 16.8.2005 naik tingkat menjadi “anak haram”, yaitu hanya diterima keberadaannya, tetapi tidak diakui legalitasnya!

Pimpinan KUKB ke parlemen Belanda pada Desember 2005, Oktober 2007 dan April 2008. pada Desember 2005, dibentuk KUKB Cabang Belanda, yang pada Februari 2007 menjadi Yayasan KUKB.

KUKB berhasil melobi sejumlah pihak di Belanda, termasuk di parlemen Belanda (Tweede Kamer) untuk mendukung kegiatan dan gugatan KUKB kepada pemerintah Belanda. (Mengenai perjuangan KNPMBI dan KUKB lihat:

Sejak beberapa tahun belakangan, masyarakat Belanda, terutama generasi mudanya, mulai sangat kritis menilai masa lalu Belanda di Indonesia. Menurut beberapa kalangan, termasuk kalangan Belanda, kegiatan KNPMBI dan KUKB yang konsisten sejak 10 tahun (2001 – 2012), merupakan penyebab dibahasnya secara meluas peran Belanda di masa lalu di Indonesia. Di kalangan generasi muda Belanda, VOC kini mendapat penilaian yang negatif. Dalam suatu kesempatan, Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, mencap Perdana Menteri Belanda Balkenende memiliki mental VOC, dan ini dalam pengertian negatif.

Penilaian terhadap beberapa mantan Gubernur Jenderal-pun berubah. Patung Gubernur Jenderal Joannes Benedictus Heutsz pernah dirusak orang tak dikenal.

Sejak beberapa waktu yang lalu, timbul perdebatan mengenai keberadaan patung JP Coen. Adalah Eric van de Beek, seorang jurnalis, yang mengambil inisiatif untuk menentang keberadaan patung JP Coen, sebagaimana diberitakan di Noordholland Dagblad, 10 Maret 2012.

Dewan Kota Hoorn memutuskan, untuk tetap memasang kembali patung JP Coen di tempatnya semula. Anggota Partai Sosialis Hoorn pada 11 Maret 2012 di malam hari menempuh langkah untuk menempelkan plakat keterangan mengenai JP Coen dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris dan Indonesia (!). Namun pejabat pemerintah kota Hoorn mengajak masyarakat Hoorn untuk pada 17 Maret 2012 bersama-sama menghancurkan plakat yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis, yang dianggap illegal.

Teks dalam bahasa Indonesia di plakat tersebut sebagai berikut:

… JAN PIETERSZOON COEN (HOORN, 1587 - BATAVIA, 1629)
Pedagang, direktur jendral dan gubernur jendral di Persatuan Perusahaan
Hindia Timur (VOC).
Dipuji sebagai pendiri kekaisaran bisnis yang paling sukses di VOC dan Batavia,
yang saat ini dikenal sebagai jakarta. Dikritik karena kebijakannya yang agresif
dalam memperoleh monopoli di VOC.
Coen membasmi penduduk kepulauan Banda pada 1621, setelah para penduduknya memasok pala untuk orang-orang Inggris, yang dilarang oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie. Ribuan warga Banda dibunuh. Ratusan dideportasi sebagai budak ke Batavia, di mana mereka akhirnya dikalahkan atau dibunuh.
Karena pembantaian ini Coen mendapat julukan “Jagal dari Banda”.
Patungnya, dibuat oleh Ferdinand Leenhoff pada 1893, tidak lagi dianggap sebagai tanda penghormatan oleh warga kota Hoorn…

Erich van de Beek, pemrakarsa kegiatan ini, mengirim beberapa informasi yang sangat penting kepada saya pada 16 Maret 2012, termasuk teks bahasa Inggris dan Indonesia tulisan di plakat yang ditempelkan oleh anggota Partai Sosialis di Patung JP Coen.

Kelihatannya JP Coen belum juga dapat “beristirahat” dengan tenang. Pro dan kontra patungnya ini sedang berlangsung dengan sengit sejak beberapa hari, di mana saya ikut terlibat. Lihat:

Demikian juga masalah Indonesia dengan Belanda tidak akan selesai, apabila pemerintah Belanda tetap bersikukuh tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, dan tetap menganggap Indonesia sebagai “anak haram.”

Melihat sikap pemerintah Belanda seperti ini, generasi angkatan ’45 tentu masih ingat berbagai penghinaan yang dilakukan oleh Belanda terhadap pribumi sampai 9 Maret 1942. Di berbagai tempat, seperti kolam renang, tempat-tempat hiburan elit, dll., terpampang plakat dengan tulisan, yang dalam bahasa Indonesia artinya “TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI". Dalam bahasa Belanda tulisannya adalah:

VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDERS

Jakarta, 17 Maret 2012


       *******


Wednesday, March 07, 2012

9 Maret 2012, 70 Tahun Berakhirnya Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara


Oleh Batara R. Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) 

Kebanyakan rakyat Indonesia berpendapat, bahwa Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun, tanpa mengetahui, kapan dimulainya penjajahan Belanda, dan kapan berakhirnya. Belum terlihat adanya upaya untuk memberi pencerahan yang jelas kepada rakyat Indonesia.

Yang pertama harus diluruskan adalah: Republik Indonesia tidak pernah dijajah oleh Belanda! 

Republik Indonesia de jure dan de facto baru ada sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Yang dijajah oleh Belanda adalah berbagai kerajaan di Nusantara, yang kemudian dinamai oleh Belanda sebagai Netherlands-Indië, atau terjemahannya adalah India-Belanda (banyak yang menulis: Hindia-Belanda). Kata "Indonesia" pun baru "diciptakan" tahun 1850 oleh George Samuel Windsor Earl, seorang pengacara asal Inggris.(Lihat:


Penjajahan Belanda di bumi Nusantara resmi berakhir pada 9 Maret 1942, yaitu ketika pemerintah India-Belanda menyerah kepada tentara Jepang, dan menyerahkan jajahannya, Netherlands-Indië, kepada Jepang. Jepang kemudian menyatakan menyerah kepada tentara sekutu pada 15 Agustus 1945. Ketika Belanda datang kembali dengan dibantu oleh 3 divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, Republik Indonesia telah berdiri!

Hal kedua yang perlu diluruskan adalah, tidak seluruh wilayah Nusantara mengalami pendudukan Belanda sampai lebih dari 300 tahun. Beberapa kerajaan baru berhasil ditaklukkan Belanda di tahun 1900-an, seperti Kerajaan Batak, Kesultanan Aceh dan beberapa kerajaan di Bali. Yang pertama diduduki oleh Belanda adalah kota Jayakarta, pada 30 Mei 1619, yang oleh para penguasa baru namanya diganti menjadi Batavia. Kemudian beberapa pulau di Maluku, a.l. Banda, diserang dan diduduki oleh Belanda. Para pemimpin Banda dibunuh, dan seluruh rakyatnya yang hidup dibawa ke Batavia untuk dijual sebagai budak.  (Lihat:

Terhadap suatu peristiwa sejarah dapat timbul beragam interpretasi, tergantung dari sudut pandang dan kepentingan pembaca, demikian juga terhadap peristiwa yang terjadi pada 9 Maret 1942, yaitu menyerahnya pemerintah India Belanda kepada tentara Jepang yang berlangsung di Pangkalan Udara (Lanud) Kalijati. Dekat Subang, Jawa Barat.

Pada 9 Maret 1942, bertempat di Lanud Kalijati, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Netherlands Indië (India Belanda), Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal India-Belanda, Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer,  menandatangani dokumen ‘Menyerah-Tanpa-Syarat’ kepada balatentara Dai Nippon yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, dan menyerahkan seluruh wilayah jajahannya -India Belanda- kepada Jepang. Demikianlah peristiwa yang tertulis di buku-buku sejarah, mungkin di seluruh dunia termasuk di Indonesia, Belanda dan Jepang. Itu fakta sejarah.


Duduk di kiri: Hein ter Poorten. Di sebelahnya, Letkol. P.G. Mantel

Untuk Belanda dan sekutu-sekutunya (ABDACOM – American, British, Dutch Australian Command) ini tentu merupakan suatu peristiwa –kekalahan- yang sangat memalukan dan menyedihkan. Untuk Jepang, kemenangan ini adalah fase terakhir dari penyerbuan ke Asia Tenggara guna menguasai wilayah dan sumber daya alamnya –terutama minyak- yang sangat dibutuhkan untuk industri dan menunjang kekuatan perang Jepang.

Namun untuk rakyat di wilayah bekas jajahan Belanda tersebut, peristiwa menyerahnya Belanda kepada Jepang mempunyai arti lain yang sangat penting. Tanggal menyerahnya Belanda kepada Jepang itu sekaligus menandai berakhirnya secara resmi penjajahan Belanda di bumi Nusantara.

Setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak pertama,  menyerahnya Belanda kepada Jepang pada 9 Maret 1942 merupakan tonggak kedua yang terpenting menuju berdirinya Republik Indonesia.

Di masa pendudukan Jepang dari 9 Maret 1942 sampai 15 Agustus 1945, bangsa Indonesia menumbuhkembangkan rasa ‘senasib dan seperjuangan’ serta memperoleh kesempatan membangun kekuatan bersenjata, yang kemudian menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia yang sangat berguna dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia terhadap agresi militer Belanda.

Setelah berhasil menguasai seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, pimpinan militer Jepang menyadari, bahwa mereka tidak dapat mempertahankan seluruh wilayah pendudukannya tanpa bantuan dari penduduk yang dijajahnya, karena kekuatan militernya tidak mencukupi. Apalagi perang di Eropa sejak tahun 1942 telah mengalami perubahan peta kekuatan dengan ikut sertanya Amerika Serikat ke dalam kancah peperangan. Di Asia Timur dan Tenggara, setelah menduduki Manchuria dan Cina, Jepanglah yang memulai perang melawan Amerika Serikat dan kemudian merebut semua jajahan Perancis, Inggris dan Belanda. Oleh karena itu, pimpinan militer Jepang memutuskan untuk melatih pribumi di wilayah pendudukannya untuk menjadi tentara. Walaupun hal ini semata-mata untuk kepentingan Jepang, namun untuk rakyat di bumi Nusantara, langkah Jepang ini menjadi sangat berguna.

Belanda menganggap, bahwa agresi militer Jepang adalah penyerangan terhadap wilayah Belanda. Setelah Jepang berhasil dikalahkan oleh tentara sekutu dan menyatakan ‘menyerah tanpa syarat’ pada 15 Agustus 1945, maka Belanda menganggap, bahwa wilayah yang telah mereka serahkan kepada balatentara Dai Nippon masih merupakan wilayahnya, dan Belanda merasa masih menjadi penguasa negeri tersebut. Oleh karena itu, Belanda menganggap proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 adalah pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, dan kemudian mengerahkan kekuatan militer untuk menguasai kembali bekas jajahannya.


Untuk mengelabui opini dunia internasional Belanda menamakan agresi militernya sebagai “aksi polisional”, dan berdalih, bahwa ini adalah masalah “internal” Belanda. Namun ternyata dunia internasional tidaklah sebodoh seperti yang diperkirakan oleh pemerintah Belanda. Hal ini terlihat dalam berita yang diturunkan oleh Majalah TIME pada 4 Agustus 1947, setelah Belanda melancarkan "aksi polisional I", yang sebenarnya adalah agresi militer terhadap Republik Indonesia. (Lihat:

Lihat juga majalah TIME edisi 23 Desember 1946:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2008/01/ir-soekarno-time-magazine-dec-23-1946.html

Sikap Belanda yang bersikukuh masih memiliki wilayah yang telah diserahkannya kepada Jepang pada 9 Maret 1942, tidak mempunya dasar hukum internasional manapun. Tidak pernah ada hukum internasional yang mengizinkan apalagi mengatur tata-cara penguasaan satu Negara oleh Negara lain untuk dijadikan sebagai jajahan, dan memberlakukan perbudakan yang berlangsung selama lebih dari 200 (!) tahun. Yang ada pada waktu itu adalah “hukum rimba”, yaitu Negara yang kuat dan menang, berhak menjadi penguasa Negara yang kalah. Setelah itu, Negara-negara lain kemudian “mengakui kedaulatan” penguasa baru, alias penjajah. Yang juga dilakukan oleh Jerman di Eropa dan Jepang di Asia tidak berbeda dengan yang telah dilakukan oleh Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Namun sejarah mencatat, Jerman dan Jepang kalah. Negara-negara pemenang kemudian menyaplok sebagian dari wilayah Jerman dan Jepang.

Hal ketiga yang harus dipahami oleh bangsa Indonesia adalah, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, sah dipandang dari semua sudut! (Lihat:

Tanggal menyerahnya Belanda kepada Jepang ini untuk rakyat Indonesia harus menjadi peristiwa yang sangat penting dan perlu diperingati setiap tahun, yaitu untuk:
  1. Menyadarkan seluruh rakyat Indonesia, bahwa tanggal 9 Maret 1942 adalah tanggal secara resmi berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara, dan bukan 17 Agustus 1945, juga bukan 27 Desember 1949. Memang banyak orang di Indonesia yang mengetahui mengenai peristiwa ini, terutama dosen-dosen, guru-guru dan para mahasiswa jurusan sejarah, bahwa Belanda menyerah kepada Jepang pada 9 Maret 1942, namun sebagian terbesar tidak menyadari pentingnya tanggal tersebut, yang sebenarnya merupakan akhir dari penjajahan Belanda di Bumi Nusantara.

  1. Untuk tetap “mengingatkan” semua peristiwa yang sehubungan dengan “lembaran hitam” sejarah Belanda di Indonesia, terutama berbagai pembantaian terhadap ratusan ribu penduduk sipil Indonesia yang dilakukan oleh tentara Belanda selama masa agresi militer mereka di Indonesia, setelah proklamasi kemerdekaan 17.8.1945, seperti di Sulawesi Selatan, Rawagede, Kranggan, dll. Masih cukup banyak korban selamat yang hidup, demikian juga janda-janda dan anak-cucu korban pembantaian. Pengorbanan mereka tidak boleh dilupakan dan diabaikan!

  1. Memopulerkan Pangkalan Udara Kalijati menjadi salahsatu tujuan ‘Wisata-Sjarah’ yang penting bagi bangsa Indonesia. Melihat letaknya cukup dekat satu sama lain, dapat dibuat satu paket Wisata Sejarah ke Rengasdengklok (tempat Bung Karno dan Bung Hatta “diculik”), Rawagede (sekarang bernama Balongsari), keduanya di Kabupaten Karawang dan Pangkalan Udara Kalijati di Kabupaten Subang.

9 Maret 1942, Akhir Penjajahan Belanda di Bumi Nusantara

Lihat:

                                  *******

Sunday, March 04, 2012

The Craft of the Historian: Revolution, Reaction & Reform from a Javanese Perspective, 1785-1855


Hari Sejarah Nasional (National History Day)
Rabu, 29 Februari 2012 di The British International School Jakarta. 

 Key note speech oleh Dr. Peter Carey

 Born of parents who had made their lives in Asia, the Far East has always been a part of my life. My first seven years (1948-55) were spent in Burma and these early years marked me.  In my very traditional British boarding school – Winchester - I retained a fascination for SE Asia. But studying Southeast Asian history for A level was sadly not an option. It was the same at Oxford. Even though my Oxford tutors quickened my love of history through insisting that I use primary sources, it was not until I graduated in 1969 that I was able to pursue my Asian interests.

 Like all the best things in life, the unexpected had a hand in determining my decision to take up SE Asian history. On finishing my written exams, I was placed on the borderline between a First and a Second-Class Honours degree. This necessitated an oral examination – then called a ‘viva’ (viva voce). I contacted my French Revolution Special Subject tutor in Balliol, Richard Cobb (1917-96), who had inspired me with his idea that a successful historian has to have a ‘second identity’ in the country and epoch she is studying: for Richard it was late eighteenth-century France. I asked him to prepare me for the viva. His idea of preparation was to invite me to take a pint of beer with him on Balliol lawn.

 It was a wonderful June evening and who should walk over to join us but the chair of the History Examination Board, Professor Jack Gallagher, a famous historian of India and imperial Britain. ‘And what will you do with a First, young man, if you give a good account of yourself in the oral exam tomorrow?’ He asked. ‘Oh! That’s easy!’ I replied, ‘Richard has been such an inspiring tutor that I will look at a French department and write a local history of the French Revolution.’ ‘Don’t do that!’ came Gallagher’s immediate reply, ‘that’s an over-subscribed field. But if you like that period why don’t you study the impact of the French Revolution overseas by looking at Java during the administration of Napoleon’s only non-French marshal – Herman Willem Daendels (1762-1818; in office as Governor-General, 1808-11). His papers must be somewhere in the Colonial Archives in The Hague or Paris. Give it some thought!’

 This was a bombshell and it did indeed get me thinking. I had an English Speaking Union (ESU) scholarship to do graduate studies at Cornell University in the USA. Why not use that opportunity to take up Jack Gallagher’s challenge? I arrived and announced to my Cornell professors that Daendels and his French Revolutionary inspired colonial administration in Java was my research topic. ‘Great! But that’s not what we do here!’ they said. ‘First, learn the local languages (Indonesian and Javanese) along with the language of the colonial administration – Dutch – and then tell us what you want to do!’  Starting with Dutch, I headed for Cornell’s famed Olin Library, taking out HJ de Graaf’s Geschiedenis van Indonesie (History of Indonesia) (1949) in its Dutch original which I read from cover to cover. When I came to his chapter on the Java War (1825-30), my eye fell on an etching of the Javanese prince, Diponegoro (1785-1855), who had led the five-year struggle against the Dutch. I then had what the Javanese would call a ‘kontak batin’ (a communication from the heart). It was a Eureka moment. Who was this mysterious figure on horseback at the head of his troops entering the prepared encampment from whence he would be captured by treachery and exiled to the Celebes (Sulawesi) for the rest of his life (1830-55).  Maybe instead of the very European Daendels, I would look at the impact of the French Revolution in its colonial setting by studying the life and thoughts of someone at the receiving end, the quintessential Javanese prince, Diponegoro, now one of Indonesia’s foremost national heroes.

 The rest is history. Over 40 years have passed since I sat on Balliol lawn, and in that time my whole professional life has been focused on thinking and writing about Diponegoro. In 2007 my magnum opus biography – Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855  - was published by the Royal Institute for SE Asian and Caribbean Studies (KITLV) in Leiden, and sold out its first two editions. This month it will come out in an expanded Indonesian language edition: Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855  (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia). The age through which Diponegoro lived in late eighteenth and early nineteenth century Java is an excellent illustration of the theme of the current History Day – Revolution, Reaction and Reform. The Revolutions through which he lived were not made in Java but imported from Europe: namely the twin industrial and political revolutions which tore the old regimes in both Europe and Asia apart and hit Java like an Asian tsunami with the coming of Daendels in January 1808.

 In the space of under a decade (1808-16) during the administrations of the Napoleonic marshal and his British nemesis, Lieutenant-Governor Thomas Stamford Raffles (1781-1826; in office, 1811-16), the old colonial order of the Dutch East India Company (1603-1799) was destroyed and a new Netherlands-Indies administration (1818-1942) was born in its place. This Administration’s founding charter – the constitutional regulation (regeerings-reglement) of January 1818 - envisaged a new legal order or rechtstaat and a complete replacement of the corrupt administration of the Company by a new colonial administrative service. This was the reform which turned Java into one of the most lucrative colonies in the world. In the space of just forty years following the end of the Java War, the Dutch took USD75 billion in today’s money out of the island through the profits they made from the ‘Cultivation System’ (1830-70) – in which export crops like sugar, tea, coffee and indigo were bought at low fixed prices from Javanese farmers and sold on world markets at international rates.

 This underlying energy to make profits at any price sparked the reaction of the Java War in which the twin forces of Javanese nationalism and Islam were united under Diponegoro’s ‘holy war’ banner. For the probably the first time in Javanese history, all sections of society were brought together in a single cause. Diponegoro’s efforts came to naught, but his name lived on and just ninety years after his death in 1855, the Indonesians once more rose against the Dutch and after four years of guerrilla war known as the Indonesian Revolution (1945-49), they eventually won their formal independence from Holland in 1949. Revolution, Reaction, Reform colonial style was thus played out across the world’s largest archipelago which placed on the map of Europe would stretch from Lisbon to Minsk and Copenhagen to Ankara. This is an Asian epic, a chapter of world history which at this year’s National History Day you can begin to explore.

 Remember the National History Day gives you a rare opportunity to learn the value of rigorous academic research and how such research can shape popular perceptions and events. Cathy Gorn, the Executive Director of the NHD who has just been awarded the prestigious National Humanities Medal by President Barack Obama, in her acceptance speech cited how three students along with their History teacher from Adlai E. Stevenson High School in Lincolnshire, Illinois, helped to change history in the famous ‘Mississipi Burning’ case. The students selected the 1964 murders of civil rights workers in Philadelphia, Mississippi, for their National History Day Project, creating a documentary that presented important new evidence and helped convince the state of Mississippi to investigate, reopen the case and convict Edgar Ray Killen for the murders. Just think of that - a documentary based on painstaking research which helps to change the course of justice. Just amazing!

Here in Indonesia, Batara Hutagalung (Surabaya, 1944-    ), an historian from North Sumatra who has written numerous books on colonial history (including the British military campaign in Surabaya in November 1945 which left thousands dead), also won a significant victory for the cause of justice. His persistence in securing evidence regarding the Rawagede massacre of 9 December 1947 during the Indonesian War of Independence against the Dutch (1945-49) won a ruling from a Dutch court on 14 September 2011. The court ordered that €20.000 compensation be paid by the Dutch Government to each of the eight remaining widows of the 431 young men massacred by Dutch troops in a village between Karawang and Bekasi. Long immortalised in Indonesian poet Chairil Anwar’s 1948 poem ‘Karawang-Bekasi’ whose opening lines read: ‘We who lie sprawled between Karawang and Bekasi cannot cry ‘Freedom’ or raise our weapons any more!’ Batara Hutagalung’s research symbolically raised the bodies of those massacred young men and brought them to the court room, thus ensuring their eventual valediction.

Remember, through their writings and research historians can literally change the course of history. Knowledge is power and for those who serve the Muse of History, Clio, that power is very considerable. But to use it properly there must be great intellectual integrity and honesty of purpose. All too often history can be abused for political ends – think of the way history is written in dictatorships and totalitarian states. Today you will learn how the craft of the historian can be applied. That craft requires skill and motivation. It is open to abuse and to honour. Today you will learn the path of honour. You are embarking on a journey which will literally change your life. Make sure you have packed everything you need for the road and step forward with confidence!

The journey of a thousand miles starts with a single step!

 Dr. Peter Carey
 Fellow Emeritus of Trinity College, Oxford
 18 February 2012


-------------------

Dr. Peter Carey, penulis buku:
‘The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855’,
KITLV 2007.

Edisi bahasa Indonesia:
' Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir tatanan Lama di Jawa, 1785-1855'
Gramedia, Maret 2012. 

---------------------------- 
 Dimuat di weblog ini dengan seizin Dr. Peter Carey

Gambar-gambar dan foto-foto, lihat:




       *******