Friday, December 16, 2011

RAWAGEDE: Surat Terbuka kepada Menlu RI. Pernyataan Menlu yang Menyesatkan.

RAWAGEDE:

 

Surat Terbuka kepada Menlu RI.

Pernyataan Menlu yang Menyesatkan

Jakarta, 17 Desember 2011

Kepada Yth.
Dr. RM Marty Natalegawa
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia
Di
Jakarta


Dengan hormat.
Pada peringatan peristiwa pembantaian di Rawagede pada 9 Desember 2011, Dubes Belanda Tjeerd de Zwaan  secara resmi atas nama pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947. (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-akhirnya-pemerintah-belanda.html)

Sehubungan dengan hal ini, sebagaiman dikutip oleh TEMPO.CO, Anda mengatakan: “peristiwa penting ini juga menjadi pengakuan pemerintah Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia berlangsung pada 1945. Belanda selama ini mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Interpretasi Anda terhadap langkah pemerintah Belanda ini tidak tepat, dan bahkan sangat menyesatkan,

Pertama, langkah pemerintah Belanda ini adalah sebagai pelaksanaan putusan pengadilan sipil di Den Haag, Belanda, yang memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah atas pembantaian 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dan mengharuskan memberi kompensasi kepada 8 janda korban dan satu orang korban selamat terakhir. Dengan demikian, ini bukan tindakan sukarela dari pemerintah Belanda.

Namun dalam putusan itu, pada butir dua, sebagai “FAKTA-FAKTA” (bahasa belanda: feiten)  tertera:
2.      De feiten
2.1.            Indonesië maakte tot 1949 onder de naam Nederlands-Indië deel uit van het Koninkrijk der Nederlanden.
(Terjemahannya: 2. Fakta-fakta. 2.1. Indonesia sampai 1949 dengan nama India-Belanda adalah bagian dari Kerajaan Belanda.)
(Teks lengkap putusan pengadilan Belanda, lihat:

Dengan demikian, juga bagi pengadilan di Belanda, Republik Indonesia baru ada pada 27 Desmber 1949. Oleh karena itu yang harus dibaca dari putusan ini adalah:
1. Tentara Belanda tahun 1947 telah membunuh WARGANYA SENDIRI, bukan warga Indonesia.
2. Meminta maaf kepada MANTAN WARGANYA.

Pengadilan Belanda, walaupun mengabulkan sebagian tuntutan warga Rawagede, namun masih sejalan dengan sikap pemerintah Belanda, yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945.

Kedua, dari berbagai pernyataan pemerintah Belanda sampai sekarang, tidak pernah menyatakan MENGAKUI DE JURE (De JURE ACKNOWLEDGEMENT/ RECOGNITION), melainkan MENERIMA (ACCEPT).
Pada 15 Agustus 2005 di Den Haag, dalam acara peringatan pembebasan para interniran yang ditahan oleh Jepang di Indonesia antara tahun 1942 – 1945 Ben Bot mengatakan dengan jelas, akan menerima 17.8.1945 sebagai de facto awal kemerdekaan Republik Indonesia. (Lihat:

Sehari kemudian, pada 16.8.2005 di Gedung Kemlu RI di Jl. Pejambon, Ben Bor mengatakan: “…Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence…” (Lihat:

Kemudian pada 18.8.2005 dalam wawancara di satu stasiun TV di Jakarta ketyika ditanya mengapa dia hanya mengatakan ACCEPTANCE (menerima), dan bukan ACKNOWLEGDEMENT (Pengakuan) terhadap proklamasi 17.8.1945, dia mengatakan, bahwa pengakuan HANYA DIBERIKAN SATU KALI, YAITU TAHUN 1949. (Saya memiliki rekaman wawancara tersebut).

Demikian juga jawabannya di parlemen Belanda pada 28 Juni 2006 terhadap petisi dari KUKB yang dikirim tanggal 20 Mei 2005. (Lihat:
Tuntutan KUKB disampaikan oleh Bert Koender ke sidang pleno parlemen Belanda, sesuai janjinya ketika menerima pimpinan KUKB di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005. (Lihat:

Pernyataan Ben Bot ini seharusnya sangat mengejutkan bagi bangsa Indonesia, dan sekaligus merupakan penghinaan dan pelecehan terhadap HARKAT dan MARTABAT sebagai Negara merdeka yang berdaulat, karena ini berarti bagi pemerintah Belanda, sampai 16 Agustus 2005, Republik Indonesia secara yuridis tidak eksis sama sekali, dan baru sejak tanggal 16 Agustus 2005 diterima keberadaannya, namun tidak diakui legalitasnya. Dengan kata lain, bagi pemerintah Belanda, Republik Indonesia adalah ANAK HARAM!

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa pemerintah Belanda sampai detik ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Bagi pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika “penyerahan wewenang” (soevereniteitsoverdracht) dari pemerintah Belanda kepada pemerintah federal Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia hanya satu negara dari 16 Negara Bagian RIS. Oleh karena RIS dianggap sebagai kelanjutan dari Nederlands-Indië (India Belanda), maka RIS harus membayar utang pemerintah India Belanda kepada induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (setara dengan 1,2 milyar US $).

Sejarah mencatat, Presiden RIS Sukarno pada 16 Agustus 1950 menyatakan dibubarkannya RIS, dan pada 17 Agustus 1950, Sukarno menyatakan berdirinya kembali NKRI, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945. Proklamasi kerdekaan ini dipandang dari sudut manapun sah, baik dari hukum internasional (Konvensi Montevideo), maupun dari segi hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (Lihat 18 butir konsep perdamaian dari Presiden Woodrow Wilson, Januari 1918, (lihat:
dan Atlantic Charter/Piagam Atlantik yang dicetuskan oleh Presiden Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Winston Churchill pada 14 Agustus 1941 (Lihat: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/11/atlantic-charter.html), yang juga tercantum dalam Preambel PBB tahun 1945.
(Mengenai Keabsahan Proklamasi 17.8.1945, lihat

Proklamasi 17.8.1945 bukan merupakan suatu revolusi, atau pemberontakan, dan periode antara tahun 1945 – 1950 juga bukan perang kemerdekaan. (Lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/bukan-revolusi-bukan-pemberontakan.html)

Memang kita ketahui dilemma yang dihadapi oleh pemerintah Belanda apabila mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Hal ini kami ketahui dari anggota parlemen Belanda Angelien Eisjink yang membidangi masalah veteran Belanda, ketika kami bertemu di parlemen Belanda pada 15 Desember 2005, kemudian dari Ad van Liempt, jurnalis senior di Hilversum. Mereka mengatakan, apabila pemerintah Belanda mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka akibatnya adalah:


1. Yang Belanda namakan “aksi polisional” tak lain adalah AGRESI MILITER TERHADAP SATU NEGARA MERDEKA DAN BERDAULAT.
2. Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda a.l. di Rawagede, Sulawesi Selatan, Kranggan, dll., bukanlah pembunuhan terhadap warganya sendiri, seperti putusan pengadilan di Den Haag pada 14 September 2011, melainkan adalah KEJAHATAN PERANG dan KEJAHATAN ATAS KEMANUSIAAN.
3. Republik Indonesia berhak menuntut PAMPASAN PERANG, seperti yang dilakukan terhadap agresi militer Jepang.
4. Indonesia dapat menuntut pengembalian uang sebesar sekitar 1 milyar US $, yang telah dibayar kepada pemerintah Belanda dari tahun 1950 – 1956, sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Waktu itu Negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipandang sebagai kelanjutan dari pemerintah India Belanda (Nederlands-Indië) diharuskan membayar utang pemerintah Nederlands-Indië kepada pemerintah induknya, yaitu pemerintah Belanda sebesar 4 ½ milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya untuk dua agresi militer Belanda yang dilancarkan tahun 1947 dan tahun 1948 terhadap Republik Indonesia. Hal ini memang sangat aneh, karena untuk kemerdekaannya RIS harus membayar kepada Belanda, dan bukan sebaliknya. (Lihat ‘De Indonesische Injectie’: http://indonesiadutch.blogspot.com/2009/10/de-indonesische-injectie.html).  Ketika Suriname merdeka dari Belanda, Suriname memperoleh kompensasi sebesar 2 milyar US $! Sampai tahun 1956 telah dibayar sebesar 4 milyar gulden, dan kemudian RI membatalkan secara sepihak persetujuan KMB.
Sangat disayangkan, bahwa walaupun mengetahui bahwa pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, namun pemerintah Indonesia membiarkan sikap ini.

Dalam kesempatan ini, kami meminta Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, untuk menjelaskan kepada rakyat Indonesia, mengenai masalah ini, yaitu mengapa pemerintah Indonesia tetap MEMBIARKAN pemerintah Belanda dengan sikapnya ini.

Kami sangat menghargai upaya pemerintah Indonesia memperjuangkan hak-hak Palestina untuk diakui sebagai Negara, namun sangatlah aneh apabila pemerintah Indonesia mengabaikan untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia terhadap Negara yang pernah menjajah Bumi Nusantara, yang di beberapa daerah berlangsung selama lebih dari tiga ratus tahun. Juga tidak membantu memperjuangkan hak-hak korban agresi militer yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Kami juga masih menantikan jawaban surat kami tertanggal 28 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Anda sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, mengenai permohonan untuk bertemu. Surat tersebut kami sampaikan langsung kepada Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, Abdurrahman M. Fachir pada 28 Oktober 2011.

Atas perhatian yang diberikan, kami sampaikan terima kasih.

Hormat kami,

Ttd.

Batara R. Hutagalung
Ketua Umum KNPMBI/ Ketua KUKB




RAWAGEDE: AKHIRNYA PEMERINTAH BELANDA MEMINTA MAAF


Dari kiri: Dandim Letkol Haryono, Duta Besar Tjeerd de Zwaan, Ketua KUKB Batara R. Hutagalung

Pada 9 Desember 2011 dalam acara peringatan ke 64 peristiwa pembantaian di Monumen Rawagede, pemerintah Belanda, melalui Duta Besar Tjeerd de Zwaan akhirnya secara resmi meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) pada 9 Desember 1947.

Sebelum ini, pemerintah Belanda berulang kali hanya menyatakan menyesal (REGRET), namun Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) tetap menuntut permintaan maaf (APOLOGY) dari pemerintah Belanda. (Lihat tulisan ‘RAWAGEDE: Belanda Menyesal Saja Tidak Cukup. Harus Meminta Maaf’ :
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/rawagede-belanda-menyesal-saja-tidak.html). Selain tuntutan kompensasi, tuntutan permintaan maaf ini juga menjadi salahsatu butir dalam gugatan di pengadilan sipil di Den Haag, Belanda.

Juga disampaikan kesediaan pemerintah Belanda untuk memberikan kompensasi kepada 8 janda dan satu korban selamat terakhir, Sa’ih, yang menggugat pemerintah Belanda di pengadilan Belanda sejak tahun 2009 (!). Masing-masing penggugat akan menerima kompensasi sebesar 20.000 Euro, atau setara dengan Rp. 240 juta. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda sebagai pelaksanaan putusan pengadilan di Den Haag 14 September 2011, yang menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan bertanggungjawab atas pembantaian di Rawagede tahun 1947. (Teks lengkap putusan pengadilan Belanda, 14.9.2011, lihat:

Pemerintah Belanda sebenarnya berhak mengajukan banding sampai 14 Desember 2011, namun memutuskan tidak melakukan hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Menlu Belanda, Uri Rosenthal, dan bahkan segera memutuskan untuk memberikan kompensasi sebesar 20.000 Euro untuk setiap penggugat dan meminta maaf kepada keluarga korban.

Namun sejak dimajukan gugatan pada tahun 2009 sampai putusan pengadilan 14.9.2011, dua orang janda telah meninggal, dan Sa’ih, korban selamat terakhir juga meninggal tahun ini, pada 7 Mei 2011, 7 bulan sebelum putusan pengadilan. Mereka telah hidup dalam kemiskinan, dan di akhir hidup mereka, tidak dapat lagi menikmati hasil tuntutan mereka. Sangat ironis dan menyedihkan!  Ini terjadi karena pemerintah Belanda terkesan mengulur-ngulur waktu, dan menunggu sampai semua janda korban meninggal. Hal ini disampaikan oleh Batara R. Hutagalung, yang berbicara sebagai Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dalam sambutannya di Rawagede pada 9 Desember 2011. (Lihat:

Batara R. Hutagalung menyambut baik keputusan pemerintah Belanda untuk tidak mengajukan banding atas putusan pengadilan pada 14 September 2011, (Teks lengkap putusan pengadilan Belanda, lihat:
http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/rawagede-uitspraak-van-de-rechtbank.html) melainkan melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Namun Batara menyatakan, hal-hal seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi, seandainya Dubes Belanda Baron Schelto van Heemstra pada 3 April 2002 menerima usulan dari Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang pertama kali menuntut pemerintah Belanda pada 20 Maret 2002, ketika di Belanda sepanjang tahun 2002 merayakan 400 tahun berdirinya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). VOC didirikan pada 20 Maret 1642. Belanda merayakan zaman VOC sebagai zaman Keemasan (de gouden eeuw), sedangkan bagi rakyat Nusantara, zaman VOC adalah awal dari penjajahan, perbudakan, pembantaian jutaan rakyat Nusantara dan berbagai pelanggaran HAM berat lainnya.

Pada 3 April 2002, pimpinan KNPMBI diundang oleh Dubes Baron van Heemstra. Dalam kesempatan itu, Batara mengatakan, ada kata-kata bijak dalam bahasa Jerman yang berbunyi: “Lieber ein Ende mit Schrecken, als ein Schrecken ohne Ende”, yang terjemahan bebasnya adalah: “Lebih baik suatu akhir yang dramatis, daripada suatu drama tanpa akhir.”  (mengenai perjuangan KNPMBI sejak tahun 2002 dan KUKB sejak tahun 2005, lihat:

Tujuan dari KNPMBI (kemudian diteruskan oleh KUKB), bukanlah untuk membalas dendam, melainkan menawarkan suatu rekonsiliasi yang bermartabat, artinya antara dua bangsa yang sederajat dan saling mengakui. (Mengenai KUKB, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.com/2008/02/committee-of-dutch-honorary-debts.html)

Namun, untuk dapat dilakukannya rekonsiliasi, pemerintah Belanda harus mengakui dahulu de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. (Petisi KNPMBI, lihat http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html), dan meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.

 Pimpinan KNPMBI diterima oleh Dubes Baron Schelto van Heemstra

Kata-kata bijak ini diulangi kepada Dubes Nikolaos van Dam dalam sambutan Batara Hutagalung pada 9 Desember 2008 di Monumen Rawagede, pada acara peringatan ke 61 peristiwa pembantaian di Rawagede.

Batara R. Hutagalung bersama Duta Besar Belanda Dr. Nikolaos van Dam di Monumen Rawagede, 9.12.2008

Acara tersebut juga merupakan suatu peristiwa bersejarah, karena untuk pertama kalinya seorang Duta Besar Belanda hadir dalam suatu acara peringatan peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia.

Dalam sambutannya, Batara juga mengungkapkan tidak adanya perhatian pemerintah dan parlemen Indonesia. (Lihat:
http://batarahutagalung.blogspot.com/2011/12/perjuangkan-kasus-rawagede-tak-ada.html). Kasus Rawagede dibahas di sidang pleno parlemen Belanda sudah sembilan kali, namun tidak satu kali pun di parlemen Indonesia, yang merupakan wakil-wakil rakyat Indonesia. Yang mendukung tuntutan KUKB justru banyak anggota parlemen Belanda. Pada 18 November 2008, mayoritas anggota parlemen Belanda menjetujui tuntutan Batara R. Hutagalung yang dimajukan sebagai mosi oleh Harry van Bommel dkk, agar Duta Besar Belanda harus hadir pada peringatan 9 Desember 2008 di Rawagede,. (Lihat:

Dalam sambutannya berbahasa Inggris yang ditujukan kepada Duta Besar Belanda, Batara Hutagalung menyampaikan pesan kepada Menlu Belanda Uri Rosenthal, bahwa ini bukanlah akhir dari tuntutan kepada pemerintah Belanda, melainkan awal dari tuntutan-tuntutan atas peristiwa-peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, termasuk pembantaian oleh Westeling di Sulawesi Selatan.

Batara Hutagalung tetap menawarkan rekonsiliasi yang bermartabat, antara dua Negara yang sederajat dan saling mengakui. Untuk itu pemerintah Belanda harus mengakui dahulu de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945, meminta maaf kepada bangsa Indonesia dan memberi kompensasi atas kehancuran yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda antara tahun 1945 – 1950.

Di akhir acara peringatan, Jeffry Pondaag memberikan sambutan sebagai Ketua Yayasan KUKB di Belanda, yang sebelumnya merupakan KUKB Cabang Belanda. Jeffry Pondaag menyampaikan terima kasih terutama kepada Liesbeth Zegveld, pengacara yang mewakili delapan janda dan Sa’ih, korban selamat terakhir (meninggal pada 7 Mei 2011) di pengadilan sipil di Den Haag, Belanda.



*******

Monday, December 12, 2011

Perjuangkan Kasus Rawagede, Tak Ada Sedikitpun Perhatian dari Pemerintah

Perjuangkan Kasus Rawagede, 

Tak Ada Sedikitpun Perhatian dari Pemerintah Indonesia


Minggu, 16 Muharram 1433 / 11 Desember 2011 | 01:13 
Jumat, 09 Desember 2011 15:38 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG - Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Batara Hutagalung, menyatakan kasus pembantaian oleh pemerintah belanda di masa lalu bukan hanya terjadi di Rawagede. Melainkan, hampir serempak di sejumlah daerah. Seperti, di Sulawesi Selatan. Akan tetapi, yang mendapat perhatian baru Rawagede.

Minimnya perhatian publik terhadap kejahatan perang di masa lampau, katanya, akibat kurangnya perhatian pemerintah RI. Saat mengurusi tuntutan Rawagede, pihaknya harus bekerja sendiri. Termasuk juga dari segi biaya.

"Tidak sepeser pun kami memakai uang negara. Biaya yang kami peroleh dari sumbangan para dermawan," ujarnya.

Bahkan, saking tidak adanya perhatian dari pemerintah, tak sekalipun parlemen Indonesia membahas mengenai pembantaian Rawagede ini. Kondisi berbeda justru terlihat di Parlemen Belanda. Lebih dari lima kali, kasus Rawagede jadi agenda pembahasan utama parlemen.

Dalam kesempatan yang sama, Pengacara Kasus Rawagede Pemerintahan Belanda, Liesbeth Zegveld, mengatakan, Rawagede merupakan salah satu desa yang telah menang di pengadilan Belanda dengan meyakinkan pada 14 September 2011 lalu. Kasus ini sangat penting. Karena, dengan munculnya kasus ini perwakilan dari Belanda bersedia datang. Bahkan, meminta maaf secara langsung.

"Kami mohon maaf atas kejadian di masa lalu," ujar Liesbeth.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Reporter: Ita Nina Winarsih


 Koreksi: Kasus Rawagede dibahas di Parlemen Belanda (Tweede Kamer) lebih dari enam kali (!)

RAWAGEDE: Pemerintah Belanda Dinilai Berlama-lama Urus Rawagede


Sabtu, 10 Desember 2011 | 11:25 WIB


TEMPO.CO, Karawang - Ketua Umum Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia Batara Hutagalung menilai pemerintah Belanda sengaja berlama-lama mengurus gugatan warga Rawagede.

 "Ada kesan mengulur-ulur sehingga sejumlah korban keburu meninggal," kata Batara saat ditemui Tempo di Karawang, Jumat, 9 Desember 2011.

Menurut Batara, pada 2008, mereka mengajukan sembilan nama korban Rawagede. Tapi hingga akhirnya pengadilan sipil memutuskan kemenangan korban pada 14 September 2011, korban yang bertahan tinggal enam orang. Satu korban luka tembak, Saih bin Sakam, meninggal pada 5 Mei 2011.

 Tapi Batara bersyukur karena akhirnya kemenangan ada di tangan dan korban dapat kompensasi serta permintaan maaf. "Kami hargai itu meski banyak tuntutan yang belum dipenuhi," ujar dia.

 Menurut Ketua Yayasan Rawagede, Sukarman, awalnya ada 51 janda yang diajukan mendapatkan kompensasi pada 1990. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya menyusut hingga 28 orang, lalu menjadi sembilan orang pada 2008. Sembilan orang inilah yang maju ke Pengadilan Sipil Den Haag.

 Ketika diputuskan pada tahun ini, jumlah orang yang menerima tinggal 6 orang. Meski hanya enam, tiga orang ahli waris lainnya juga mendapat kompensasi yang sama senilai US$ 20 ribu tiap bulan.

 Berikut adalah sembilan nama penerima dana kompensasi:
 1. Wisah binti Silain (alm): ahli waris Tasma,
 2. Layem binti Murkin (alm): ahli waris Mustarwarjo,
 3. Saih bin Sakam (alm): ahli waris Tasmin,
 4. Wanti binti Dodo,
 5. Taswi,
 6. Tijeng binti Tasim,
 7. Wanti binti Sariman,
 8. Cawi binti Basian, dan
 9. Lasmi Binti Kasilan.

 DIANING SARI



Koreksi: Kompensasi sebesar 20.000 Euro tidak diberikan untuk tiap bulan, melainkan hanya untuk satu kali.


RAWAGEDE: PUTUSAN PENGADILAN BELANDA. 14 September 2011


(Ini sebagian terjemahan dari bahasa Belanda. Teks lengkap dalam bahasa Belanda, lihat: 


Vonis: BS8793 
LJN: BS8793, Pengadilan Negeri Den Haag, 354119 / HA ZA 09-4171 
Dibacakan : 14-09-2011
Publikasi : 14-09-2011
Yurisdiksi: Perdata lain-lain
Jenis prosedur: penanganan tingkat pertama - beberapa kali

Indikasi isi: Para penggugat menuntut suatu pernyataan hukum bahwa Negara telah melakukan tindakan melawan hukum terhadap para janda dan anggota keluarga lainnya dari orang-orang yang dieksekusi oleh tentara Belanda di Rawagede (Indonesia) pada 9 Desember 1947 dan terhadap seorang yang cedera dalam eksekusi. Di samping itu mereka juga menuntut kompensasi atas kerugian, di mana besarnya masih harus ditentukan lebih lanjut. Tuntutan-tuntutan itu dikabulkan sebagian. Tuntutan-tuntutan berdasarkan eksekusi jika dicermati lebih lanjut telah kadaluarsa, namun dalih kadaluarsa oleh Negara tidak dapat diterima terhadap para mereka yang terlibat langsung, yakni para janda dari mereka orang-orang yang saat itu dieksekusi dan mereka yang selamat dari eksekusi. Pengadilan telah mempertimbangkan berbagai situasi yang lebih ditekankan pada keseriusan fakta-fakta. Pengadilan juga menganggap penting fakta bahwa tak lama setelah eksekusi Rawagede telah dinyatakan bahwa tindakan itu tidak dibenarkan. Terhadap para ahli waris generasi berikutnya (antara lain anak perempuan yang hadir sebagai penggugat), pengadilan mengabulkan dalih kadaluarsa yang disampaikan oleh Negara. Mengenai tuntutan-tuntutan berkaitan dengan tidak dilakukan penyelidikan dan penuntutan, pengadilan juga mengabulkan dalih kadaluarsa yang disampaikan oleh Negara. Tuntutan-tuntutan yayasan ditolak, karena tidak cukup jelas mereka mewakili kepentingan siapa.

Keputusan 

Vonnis 
PENGADILAN NEGERI DEN HAAG 

Sektor Hukum Perdata 

Nomor perkara / rolnummer: 354119 / HA ZA 09-4171 

Vonnis 14 september 2011
 

dalam perkara dari 

1. [penggugat sub 1], 
2. [penggugat sub 2], 
3. [penggugat sub 3], 
4. [penggugat sub 4], 
5. [penggugat sub 5], 
6. [penggugat sub 6], 
7. [penggugat sub 7], 
8. [penggugat sub 8], 
9. [penggugat sub 9], 
semua pada saat pengajuan gugatan bertempat tinggal di Balongsari, Indonesia, 

dan 

10. yayasan 
 YAYASAN KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA (COMITE
NEDERLANDSE ERESCHULDEN), 
berdomisili dan berkantor di Heemskerk, 
penggugat, 
advokat mr. L. Zegveld di Amsterdam,

melawan 

NEGARA BELANDA (KEMENTERIAN LUARNEGERI), 
dimana kedudukannya berdomisili di Den Haag, 
tergugat, 
advocaat mr. G.J.H. Houtzagers di Den Haag. 

Para penggugat sub 1 sampai dengan 10 selanjutnya setelah ini secara bersama-sama disebut sebagai "penggugat", penggugat sub 9 terpisah sebagai "[penggugat sub 9]" dan penggugat sub 10 terpisah sebagai "Yayasan". Tergugat selanjutnya disebut sebagai "Negara".


Den Haag - 1. Prosedur 

Jalannya prosedur sebagai berikut: 
- dakwaan 30 November 2009, dengan hasil-hasilnya; 
- kesimpulan dan jawaban, dengan hasil-hasilnya; 
- kesimpulan replik, dengan hasil-hasilnya; 
- kesimpulan duplik, dengan hasil-hasilnya; 
- proses verbal dari pleidoi yang diselenggarakan pada 20 Juni 2011 dan berkas-berkas yang disebut dan terkait. 


Sebagai penutup adalah tanggal untuk vonis telah ditentukan. 

2. Fakta-fakta 

 2.1. Indonesia
sampai 1949 merupakan bagian dari Kerajaan Belanda dengan nama Hindia-Belanda. 

2.2. Pada 17 Agustus 1945 Republik Indonesia diproklamirkan oleh pemimpin nasionalistis Indonesia Soekarno dan Hatta. Republik ini semula tidak diakui oleh Belanda. 

2.3. Pada 25 Maret 1947 tercapai Perjanjian Linggarjati antara Belanda dan Republik Indonesia di mana ditetapkan bahwa Republik Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949 akan merdeka.
 
2.4. Perselisihan mengenai penjelasan dan pelaksanaan Perjanjian Linggarjati telah menyebabkan intervensi militer oleh Belanda di wilayah Republik Indonesia (disebut ‘aksi polisionil’). Aksi ini berlangsung hingga 5 Agustus 1947. Selama aksi ini pasukan Belanda telah menduduki antara lain dataran rendah sekitar kota Karawang. Kota ini terletak beberapa kilometer di sebelah selatan pemukiman Rawagede, sekarang dinamai Balongsari, di mana para penggugat 1 sampai 9 bertempat tinggal atau pernah bertempat tinggal. 

2.5. Pada 9 December 1947 tentara Belanda di bawah pimpinan seorang mayor melakukan penyerbuan ke Rawagede dalam rangka menumpas kelompok perlawanan Indonesia yang aktif di wilayah itu. Dalam serbuan ini sejumlah besar penduduk laki-laki, antara lain suami para penggugat sub 1 sampai sub 7, tanpa proses apapun dieksekusi oleh tentara Belanda. [Penggugat sub 9] dalam serbuan ini cedera (selamat, tidak ikut tewas, red]. 

2.6. Pada 12 Januari 1948 terbit laporan dari Dewan Keamanan PBB, ‘Committee of Good Offices on the Indonesian Question'. Dalam laporan ini tindakan tentara Belanda di Rawagede diselidiki dan disebut sebagai "deliberate and ruthless” (disengaja dan kejam, red).

 - 2.7. Dalam surat 22 Juli 1948 Letnan Jenderal [komandan pasukan], (selanjutnya: "[komandan pasukan]"), mengajukan permohonan kepada tuan [Jaksa Agung], jaksa agung pada Mahkamah Agung Hindia Belanda (selanjutnya: "[Jaksa Agung]"): 

"Dengan ini saya mengirim sebuah berkas mengenai kasus Karawang, di mana sebelumnya saya telah membicarakannya dengan Anda. Ini perihal kasus eksekusi dari Mayor [tak terbaca]. Saya merasa agak tidak nyaman; secara pidana orang ini bertanggung jawab dan jika diproses di Pengadilan Militer akan menyusul vonis bersalah yang tak bisa ditarik kembali, hal mana akan menghancurkan karir dia selanjutnya. Pada sisi lain, orang Pengadilan Militer cenderung lebih suka tidak menuntut perkara ini, karena keadaan semua ini terjadi, penuntutan kelak di kemudian hari akan menempatkan orang-orang yang terlibat dalam situasi sangat tidak menguntungkan daripada keadaan sebenarnya ketika peristiwa itu terjadi (…). Saya mohon pendapat Anda dalam perkara ini, sebab sungguh sangat mudah saat ini untuk memutus sampai pada penuntutan, namun saya bertanya-tanya apakah dengan itu perkara dan keadilannya sebanding. Saya sendiri dalam keragu-raguan dan cenderung untuk mengesampingkan perkara (…) 

2.8. [Jaksa Agung] dalam surat tertanggal 29 Juli 1948 kepada [komandan pasukan] menjawab sebagai berikut:

 - 2.8. [Jaksa Agung] dalam surat tertanggal 29 Juli 1948 kepada [komandan pasukan] menjawab sebagai berikut: 

"Kelihatannya sekarang setelah campur tangan dan kepentingan asing sudah tidak ada lagi, saya lebih suka mengesampingkan perkara. Faktanya tetap bahwa perilaku Mayor [tidak terbaca] itu sendiri dapat dimengerti dan dapat dijelaskan, namun walaupun demikian tertolak, sebab dia tidak berada dalam keadaan sangat terpaksa. Asal Mayor [tidak terbaca] tidak bersalah melakukan ekses-ekses seperti penganiayaan dan tidak sepenuhnya keliru menimbang bahwa para pengacau ini dalam waktu dekat tidak membuat keonaran kembali di kawasan, maka saya persilakan Anda untuk tidak melanjutkan perkara. 

2.9. Pada 3 Agustus 1949 pemerintah Belanda dan Republik Indonesia mengumumkan gencatan senjata. Penyerahan kedaulatan berlangsung pada 29 Desember 1949. 

2.10. Pada 7 September 1966 'Perjanjian antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia tentang Hal-ikhwal Keuangan yang Masih Ada antara Kedua Negara' berhasil dicapai (selanjutnya: "Perjanjian Keuangan"). Dalam Pasal 3 Ayat 1 Perjanjian ini ditentukan bahwa para pihak sepakat bahwa pembayaran oleh pemerintah Indonesia sejumlah 600 juta Gulden Belanda kepada pemerintah Belanda akan menyelesaikan semua hal-ikhwal keuangan yang masih ada

[Catatan detikcom: angka 600 juta Gulden ini di luar tuntutan pengambil alihan beban utang Nederlands-Indie sebesar 6,5 miliar Gulden yang harus dibayar Indonesia kepada Belanda menurut konstruksi perjanjian Konferensi Meja Bundar. Namun
Indonesia akhirnya hanya diwajibkan membayar 4,5 miliar Gulden (Sumber: De Indonesische injectie, Lambert Giebels, De Groene Amsterdammer, 5/1/2000)]

2.11. Pada 1969 ditetapkan sebuah 'Nota tentang penelitian arsip ke data-data mengenai ekses-ekses di Indonesia yang dilakukan oleh tentara Belanda dalam periode 1945-1950’ (selanjutnya: Excessennota/Nota Ekses-ekses). Dalam nota ini pemerintah Belanda berpendapat bahwa angkatan bersenjata Belanda membiarkan dirinya melakukan ekses kekerasan di wilayah Republik Indonesia, tetapi bahwa hal ini harus dimengerti dalam situasi gerilya yang kacau di mana aksi-aksi penyergapan dan teror oleh orang Indonesia telah memancing reaksi pembersihan dan kontra gerilya oleh Belanda. Excessennota memuat antara lain hasil penyelidikan dari peristiwa Rawagede sebagai berikut:

- "Setelah ada keluhan dari pihak Republik, langsung dilakukan penyelidikan di tempat oleh para pengamat dari Commissie van Goede Diensten (Committee of Good Offices atau di Indonesia disebut Komisi Tiga Negara, red). Tim pengamat dalam laporan yang dirilis pada 12/1/1947 sampai pada kesimpuan bahwa telah berkembang gerakan teroris di wilayah-wilayah terkait, di mana Rawagede diduga sebagai pusatnya. Walaupun demikian tindakan pasukan tentara Belanda yang diarahkan terhadap Rawagede disebut dalam laporan itu sebagai "deliberate and ruthless" (sengaja dan kejam, red). Antara lain memang dari pihak Belanda - setelah semula membantah- diakui bahwa beberapa tawanan setelah diinterogasi ditembak mati tanpa proses hukum, walaupun selama dan setelah tindakan yang menurut laporan pihak Belanda memakan korban tewas 150 orang Indonesia, tidak ditemukan senjata di kampung tersebut dan tidak ada korban tewas atau luka-luka di pihak Belanda. Sang Mayor, yang memimpin tindakan itu dan yang bertanggung jawab atas eksekusi -total sekitar 20 orang- tawanan, tidak dituntut atas pertimbangan oportunitas setelah konsultasi antara Komandan Pasukan dengan Jaksa Agung. 

2.12. Dalam debat parlemen pada 1969 menyusul terbitnya Excessennota (Nota Ekses-ekses, red), Perdana Menteri [Perdana Menteri] saat itu menyatakan dalam kalimat berikut bahwa tidak akan dilakukan penuntutan atas pertimbangan kejahatan tidak-kadaluarsa, yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1950: 

"Kesimpulan yang diambil pemerintah adalah bahwa dalam banyak kasus, dan sebagian besar sangat serius, tidak dimungkinkan lagi tuntutan pidana dan itu dalam beberapa kasus -di mana tuntutan pidana masih dapat dipertimbangkan- harus dikecualikan, karena kebijakan penuntutan yang diarahkan untuk itu tergantung dari ketersediaan berkas lengkap yang cukup dan kecocokan dari beberapa ketentuan hukum yang belum kadaluarsa itu tidak tentu. Bukan keseriusan delik yang akan menentukan, lebih dari itu seriusnya delik-delik itu juga telah kadaluarsa. (Faktor) kebetulan akan terlalu menguasai kebijakan dan ini tidak akan mengarah pada penerapan hukum yang adil. 

2.13. Perdana menteri [Perdana Menteri] saat itu, berkaitan dengan pertanyaan parlemen menyusul siaran dokumenter Rawagede oleh RTL pada 1995, telah menjanjikan bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan penyelidikan, di mana data-data terbaru yang tersedia akan diuji dengan isi berkas yang ada untuk memastikan apakah berguna untuk meningkatkan ke penuntutan terhadap para penanggung jawab tentara Belanda.

- 2.14. Dalam surat 28 Agustus 1995 Jaksa Agung dari Wilayah Arnhem telah mengirim laporan resmi kepada Kementerian Yustisi dimana dilampirkan hasil-hasil penyelidikanoleh jaksa [jaksa Sarjana Hukum] dan Letnan Kolonel [Letnan Kolonel Sarjana Hukum] mengenai aspek pidana atas fakta-fakta yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede pada 9 Desember 1947 dan pertanyaan apakah fakta-fakta itu sudah atau belum kadaluarsa. Laporan resmi tersebut memuat kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 

"I Ada fakta-fakta pidana yang dilakukan oleh tentara Belanda di Rawagede pada 9 December 1947. 

II Fakta-takta pidana yang dilakukan diduga dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran atas Pasal 148 WMS (singkatan dari Wetboek van Militaire Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, red) lama. 

III Kami tidak sepenuhnya yakin bahwa kekadaluarsaan atas fakta-fakta ini telah dicabut. 

IV Jika kita menganggap bahwa perkara ini tidak kadaluarsa, maka menurut penilaian kami kemungkinan penuntutan akan kandas pada pernyataan tidak layak diadili oleh kejaksaan atas dasar: 
a. keputusan pemerintah Belanda, diambil pada 1969, untuk tidak melakukan penuntutan;
b. keputusan sepot (seponering, pengesampingan perkara, red) yang telah diambil sebelumnya;
c. terlalu lama penuntutan dibiarkan padahal fakta kejadian sudah diketahui sejak 1947/1948, pastinya lagi sejak 1969;
d. ketidakadilan hukum, delik-delik sejenis dalam periode 1946-1950 diadili dalam hal pelanggaran atas Pasal 287 dan Pasal 289 KUHP di manadimungkinkanancaman hukuman lebih ringan daripada pasal-pasal yang berlaku sekarang," 


2.15. Menteri Yustisi dalam surat 5 September 1995 telah memberitahukan kepada parlemen mengenai hasil-hasil penyelidikan sebagai berikut: 

"Masalah dokumenter itu tidak membawa cahaya baru atas fakta-fakta yang sudah umum diketahui. Tentang peristiwa di Rawagede telah secara berturut-turut dilaporkan dalam korespondensi dari arsip Jaksa Agung [Jaksa Agung], laporan PBB 12 Januari 1948, dan dalam Nota Ekses-ekses 1968. Mengenai jumlah korban yang tewas pada 9 Desember 1947 terdapat bermacam-macam versi. Setidaknya harus dipastikan bahwa tentara Belanda dalam peristiwa Rawagede telah melakukan eksekusi di tempat, di mana telah jatuh sejumlah besar korban. 

Juga harus dipastikan bahwa penuntutan atas kejahatan dimaksud tidak dimungkinkan lagi. Pada saat penanganan Nota Ekses-ekses di parlemen pada 1969 Perdana Menteri [Perdana Menteri] saat itu telah menyatakan bahwa sehubungan dengan kemungkinan kejahatan tidak kadaluarsa, yang dilakukan oleh tentara Belanda dalam periode 1945-1950, tidak akan dilakukan penuntutan lagi (Dokumen Parlemen 10 008, Rapat ke-74 2 Juli 1969, halaman 3613/3614). Di samping itu dalam rangka pembahasan di parlemen atas UU 8 April 1971, di mana kesimpulan singkatnya kekadaluarsaan kejahatan-kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan telah dicabut. "Terhadap kejahatan tentara Belanda, yang dilakukan di Indonesia dalam periode 1945-1950, telah dilakukan penyelidikan. Darinya pemerintah telah membuat laporan dalam nota kepada parlemen. Dalam pembahasan terbuka atas nota itu pertimbangan-pertimbangannya telah dijelaskan, yang kemudian telah mendasari keputusan, bahwa sehubungan dengan kemungkinan kejahatan- kejahatan yang belum kadaluarsa dari periode tersebut tidak akan dilakukan penuntutan lagi. Atas pertimbangan itu maka tidak ada lagi dasar untuk pencabutan kekadaluarsaan atas kejahatan- kejahatan tersebut (Dokumen Parlemen 10 251, 140a, MvA kepada EK). Dari sini harus disimpulkan bahwa legislator pada saat pencabutan kekadaluarsaan kejahatan-kejahatan perang tidak dimaksudkan pada kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia dalam periode 1945-1950. Oleh karena itu penyelidikan lebih lanjut saya anggap tidak berguna.
(es/es) 

Sumber: Detik.com