Saturday, April 16, 2016

Ir. Joko Widodo ke Belanda Sebagai Apa?


Ir. Joko Widodo ke Belanda Sebagai Apa?


Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)

Apabila dua Negara akan menjalin hubungan diplomatik, sudah seharusnya kedua Negara tersebut saling mengakui. Ini sesuai dengan etika hubungan internasional, dan juga dengan Hak Asasi Negara (Rights of a state), yaitu:
1. Kedaulatan,
2. Kesetaraan,
3. Mempertahankan diri.

Juga adalah hak suatu Negara untuk tidak mengakui Negara lain, dan ini berlaku resiprokal (timbal-balik), sebagaimana Indonesia dengan Israel dan Taiwan, tidak saling mengakui dan tidak ada hubungan diplomatik.

Tidak adanya hubungan diplomatik tidak mempengaruhi perdagangan, investasi, pariwisata, bahkan jual-beli senjata, sebagaimana dilakukan oleh Indonesia dengan Israel. Beberapa tahun lalu terungkap, bahwa tahun 1980 Indonesia membeli 36 pesawat tempur Sky Hawk dari Israel, yang disamarkan, seolah-olah membeli dari satu Negara Eropa Barat.

Pada 5 Mei 2005, KUKB menyampaikan Petisi kepada Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende yang isinya menuntut pemerintah Belanda agar:
1.    Mengakui de jure kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
2. Meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas penjajahan, perbudakan, pelanggan HAM dan kejahatan atas kemanusiaan.

Pada 16 Agustus 2005, menlu Belanda (waktu itu) Ben Bot datang ke Jakarta, dan dalam pidatonya di gedung Kemlu mengatakan, bahwa kini pemerintah Belanda MENERIMA SECARA POLITIS DAN MORAL Proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945. Namun sehari sebelumnya, dalam pidatonya di Den Haag, dia mengatakan dengan lebih tegas, bahwa kini (15.8.2005) pemerintah Belanda MENERIMA DE FACTO kemerdekaan Indonesia 17.8.1945. (Teks lengkap, ihat lampiran)

Pernyataan ini sangat mengejutkan, karena artinya, hingga 15/16 Agustus 2005, NKRI untuk pemerintah Belanda TIDAK EKSIS SAMA SEKALI, dan 60 tahun setelah kemerdekaan RI, sang mantan penjajah berkenan SECARA LISAN, menerima de facto kemerdekaan Indonesia. (Lihat tulisan: Mengapa Belanda tak mau akui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945? Mengapa Pemerintah RI Membiarkannya? Dapat dibaca di: http://batarahutagalung.blogspot.com/2013/08/mengapa-belanda-tak-mau-akui-de-jure_11.html)

Juga dalam wawancara dengan satu stasiun TV di Jakarta yang disiarkan pada 18.8.2005, dia menggaris-bawahi, bahwa pengakuan secara yuridis telah diberikan akhir 1949. Berarti yang dimaksud adalah kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).

Sejarah mencatat, bahwa RIS telah dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17.8.1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan RI, yang kemerdekaannya adalah 17.8.1945. Dengan demikian, Negara yang secara yuridis (de jure) diakui oleh pemerintah Belanda, sudah tidak ada lagi.

Pada bulan Oktober 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono rencananya akan ke Belanda, memenuhi undangan dari Ratu Belanda. Namun pada menit-menit terakhir kunjungan tersebut dibatalkan, karena adanya tuntutan dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) ke pengadilan di Belanda, agar mengeluarkan perintah untuk menangkap Presiden RI atas tuduhan pelanggaran HAM terhadap warga Maluku di Ambon.

Juga diberitakan, bahwa dalam kunjungan tersebut Presiden RI akan menerima pernyataan tertulis dari pemerintah Belanda mengenai pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Kemudian akhir Maret 2014 Presiden Yudhoyono rencananya akan ke Belanda untuk menghadiri Konferensi Nuklir Internasional. Juga kali ini dibatalkan.

Presiden Yudhoyono sampai akhir masa jabatannya sebagai Presiden, tidak pernah mengunjungi Belanda, sehingga terhindar dari masalah besar yang menyangkut kedaulatan NKRI dan martabat bangsa Indonesia.

Kini diberitakan, bahwa Presiden Joko Widodo dari tanggal 18 – 22 April 2016 akan berkunjung ke empat Negara di Eropa yaitu Jerman, Inggris, Belgia dan Belanda, serta ke Uni Eropa di Brussel, Belgia.
.
Khusus, kunjungan seorang Presiden Republik Indonesia ke Belanda, akan memunculkan tiga masalah:

Masalah pertama adalah, Pemerintah Belanda hingga saat ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17.8.1945. Bahkan hingga 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda juga tidak mau mengakui de facto kemerdekaan RI adalah 17.8.1945.

Pemerintah Belanda TIDAK mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, dengan demikian, Ir. Joko Widodo datang bukan sebagai Presiden, karena negaranya tidak diakui oleh pemerintah Belanda.

Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui secara yuridis oleh pemerintah Belanda sudah dibubarkan, sehingga Ir. Joko Widodo tidak mungkin mejadi Presiden dari Negara yang sudah dibubarkan.

Oleh karena itu timbul pertanyaan: Ir. Joko Widodo datang ke Belanda sebagai apa?

Masalah kedua adalah, dikabarkan bahwa pada kunjungan Presiden Yudhoyono (yang dibatalkan) ini akan disampaikan naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI. Pada 16.8.2005 di Jakarta, Ben Bot sebagai Menlu Belanda (waktu itu) hanya menyampaikan secara lisan.

Staf Khusus Presiden Yudhoyono Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah pada 30.9.2010 mengatakan, bahwa Presiden SBY akan mencatat sejarah hubungan Indonesia-Belanda dengan melakukan kunjungan kenegaraan. Ini merupakan kunjungan kenegaraan yang pertama dari seorang Kepala Negara RI ke Kerajaan Belanda. Faizasyah mengatakan: “Waktu Pak Harto, Gusdur dan Bu Mega dahulu bukan kunjungan kenegaraan.” (Berita dari media, lihat lampiran)

Janggal kedengarannya, bahwa untuk pengakuan dari suatu Negara, kepala Negara dari Negara yang akan diberi pengakuan, harus datang ke Negara yang akan memberi pengakuan. Mungkin hal ini pernah terjadi di antara Negara yang masih berstatus jajahan, yang datang ke tuan penjajahnya untuk menerima “kemerdekaannya.”

Belum pernah ada suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, bahkan yang sudah eksis sejak 70 tahun dan diakui oleh dunia internasional, harus menghadap ke kepala Negara/pemerintah yang akan memberi pengakuan.

Oleh karena itu, apabila hal ini terjadi, yaitu dalam kunjungan ini, Kepala Negara Republik Indonesia, baru menerima pernyataan tertulis pengakuan dari Kerajaan Belanda, bukankah hal ini merupakan pelecehan terhadap KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA?

Peristiwa ini akan dipandang, bahwa setelah 71 tahun (1945 – 2016), pemerintah Belanda akhirnya “mengakui” (menerima de facto) kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Peristiwa ini akan mengukuhkan “versi Belanda”, bahwa Indonesia belum merdeka pada 17.8.1945. Bukankah ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap MARTABAT BANGSA?

Masalah ketiga adalah, apa yang akan diberikan oleh pemerintah Belanda kepada Kepala Negara Republik Indonesia? Apakah PENGAKUAN DE JURE, atau hanya PENERIMAAN (ACCEPTANCE) DE FACTO?

Apabila yang akan diberikan adalah PENERIMAAN DE FACTO, maka ini adalah pengulangan sejarah, karena dalam Persetujaun Linggajati, pemerintah Belanda telah menerima de facto Republik Indonesia atas wilayah Sumatera, Jawa dan Madura.

Sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana didirikan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia adalah satu dari 16 Negara Bagian RIS. Kemudian sejak berdirinya RIS, satu persatu Negara-Negara Bagian RIS dibubarkan, dan bergabung dengan Republik Indonesia, sehingga ketika RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, maka 15 Negara Bagian bekas RIS telah bergabung dengan Republik Indonesia, yang dinyatakan berdiri kembali oleh Ir. Sukarno, mantan Presiden RIS, pada 17 Agustus 1950.

Peristiwa penggabungan satu Negara ke Negara lain mirip dengan kasus Jerman Barat (Republik Federal jerman) dan Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman). Tahun 1990 Jerman Timur dinyatakan bubar, dan bergabung dengan Republik Federal Jerman (Jerman Barat). Dalam hal ini, wilayah Jerman Barat yang menjadi makin luas. Demikian juga dengan Republik Indonesia, setelah bubarnya RIS.

Seharusnya, Republik Indonesia sejak pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dapat mengacu kepada Konvensi Montevideo yang ditandatangani di Montevideo, Uruguay pada 26 Desember 1933. Ini sehubungan dengan persyaratan berdirinya suatu Negara, yaitu:
1.    Adanya wilayah tertentu,
2.    Adanya penduduk yang permanen, dan
3.    Adanya pemerintahan.

Juga dinyatakan, bahwa walaupun tidak ada pengakuan dari Negara lain, Negara yang bersangkutan berhak mempertahankan diri.

Kemudian mengenai batas wilayah Negara, apabila mengacu kepada hukum internasional: UTI POSSIDETIS IURIS, maka wilayah Negara Republik Indonesia adalah seluruh bekas wilayah Nederlands Indië (India Belanda).

Pernyataan kemerdekaan Indonesia juga sejalan dengan semangat yang dituangkan oleh Presiden AS Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill di dalam Atlantic Charter (Piagam Atlantik), mengenai Hak bangsa-Bangsa Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri (Rights for selfdetermination of people). Atlantic Charter ini juga didukung oleh Ratu Belanda Wilhelmina, sebagaimana disampaikannya dalam pidato Radio di London, Inggris, pada 7 Desember 1942.

Apabila dalam kunjungan Presiden Republik Indonesia ke Belanda, di mana hal-hal tersebut di atas belum jelas, maka penyerahan “pernyataan pengakuan terhadap Republik Indonesia oleh Belanda, merendahkan MARTABAT BANGSA INDONESIA. Bahkan yang paling fatal adalah, apabila yang diserahkan, ternyata hanya PENERIMAAN DE FACTO KEMERDEKAAN RI 17.8.1945.

Pemerintah Belanda hingga saat ini tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, karena pemerintah Belanda sadar akan konsekuensinya, yaitu, apa yang dinamakan oleh pemerintah Belanda tahun 1947 dan 1948 sebagai “aksi poilisional”, adalah agresi militer terhadap suatu Negara yang merdeka dan berdaulat. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda harus membayar WAR REPARATION (pampasan perang), dan yang lebih fatal untuk veteran Belanda yang ikut dalam agresi militer tersebut menjadi WAR CRIMINALS (penjahat perang).

Apalagi sejak diberlakukannya Statuta Roma, yang menjadi dasar dari International Criminal Court (Mahkamah Kejahatan Internasional) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, semua kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Belanda dapat dituntut. Hal ini pernah diusulkan oleh seorang Dosen Fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Manuel Kneepkens. Tahun 1993 dia mengusulkan agar dibentuk tribunal internasional untuk mengadili penjahat perang Belanda, terutama kejahatan Westerling.

Dalam Statuta Roma, untuk empat jenis kejahatan dinyatakan tidak diterapkan azas kadaluarsa, yaitu untuk:
1.    Genocide (pembersihan etnis),
2.    Crime against humanity (kejahatan atas kemanusiaan),
3.    War crimes (kejahatan perang), dan
4.    Crime of aggression (kejahatan agresi).

Empat jenis kejahatn tersebut telah dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Tahun 1969, atas desakan dari parlemen Belanda, pemerintah Belanda melakukan penyelidikan terhadap tindakan-tindakan militernya di Indonesia antara tahun 1945 – 1950, yang kemudian diterbitkan dengan judul De Excessennota (Catatan ekses), di mana tercantum sekitar 100-an tindakan yang dilakukan oleh militer Belanda, yang oleh pemerintah Belanda dinilai sebagai “ekses.”

Namun banyak pakar hukum di Belanda sendiri menyatakan, bahwa yang telah dilakukan adalah kejahatan perang. Beberapa peristiwa pembantaian terhadap penduduk sipil, seperti di Sulawesi Selatan/Barat, Rawagede, dll., juga dicantumkan, walaupun jumlah korbannya disebutkan jauh lebih kecil dibandingkan kenyataannya.

Pada 14 September 2011, pengadilan sipil di Den Haag Belanda, atas gugatan 8 orang janda dan satu korban selamat dari pembantaian di desa Rawagede, telah menjatuhkan vonis, bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggungjawab. Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk sipil di desa Rawagede, dekat Karawang, Jawa Barat. Tuntutan bahkan tidak perlu dimajukan ke Mahkamah Kejahatan Internasional, cukup di pengadilan sipil di Belanda.

Oleh karena itu sangat diragukan, bahwa pemerintah Belanda akan memberikan pernyataan tertulis untuk mengakui de jure kemerdekaan RI adalah 17.8.1945, karena berarti pemerintah Belanda sendiri yang membuka pintu lebar-lebar untuk gugatan terhadap agresi militer Belanda di Indonesia antara tahun 1945 – 1950.

Sedangkan penerimaan (ACCEPTANCE) de facto PROKLAMASI 17.8.1945, tidak dapat diterima oleh bangsa Indonesia, karena merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan NKRI dan melecehkan MARTABAT BANGSA.

Memang seorang presiden tidak dapat mengetahui secara rinci semua persoalan yang menyangkut Negara, bangsa dan masyarakat, Para pembantu presiden, dalam hal ini para menteri yang harus memberikan masukan dan saran. Sehubungan dengan masalah hubungan antar Negara, adalah tugas dari menteri Luar Negeri.

Namun dalam hubungan antara Indonesia dengan Belanda, tentu menjadi masalah besar apabila menlu RI justru membela sikap pemerintah Belanda, sebagaimana yang dilakukan oleh Hassan Wirajuda ketika menjadi menlu.

Yang juga mengejutkan adalah pernyataan Dr. Hasan Wirayudha ketika sebagai Menteri Luar Negeri RI memberi Keynote Speech di acara peringatan di Linggajati pada 11 November 2006. Dia dengan gamblang membela versi Belanda yang tidak mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia mengatakan a.l. (Teks lengkap dilampirkan secara terpisah):
“… Kemerdekaan dimungkinkan dalam pengertian hak menentukan nasib sendiri apabila demand metropolitan powers, negara penjajah dapat menyetujui, by agreement, sesuatu yang merupakan akibat dari kesepakatan, bukan merupakan hak, tetapi produk dari perundingan, kalau pihak yang lain tidak setuju, maka kemerdekaan itu tidak akan ada …

… saya sering mempertanyakan setiap tanggal 17 Agustus dibacakan naskah proklamasi. Kita memaknai kami bangsa indonesia dengan ini menyatakan dengan ini kemerdekaannya, pertanyaan saya tadi, apakah bisa? Seperti yang saudara telah ketahui, tidak bisa sebenarnya, menurut tatanan dunia internasional pada saat itu…”

Yang sangat luar biasa di sini adalah, pernyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang Menteri Luar Negeri RI, yang seharusnya membela proklamasi kemerdekaan RI 17.8.1945 sebagai harga mati, bahkan cenderung membodohi rakyat Indonesia mengenai “tatanan dunia internasional pada waktu itu.” (Teks lengkap Keynote speech Hassan Wirajuda, lihat: http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2013/09/menlu-ri-2006-mengeluh-kiurang.html).

Kalau menlu RI sudah membela sikap Belanda mengenai kemerdekaan Indonesia, apakah akan memberi masukan kepada Presiden RI untuk bersikap tegas terhadap Belanda, yang tidak mau mengakui kedaulatan RI?

Adalah hak belanda untuk tidak mengakui kemerdekaan Indonesia, sebagaimana Indonesia tidak mengakui Israel dan Taiwan, namun ini berlaku resiprokal (timbal-balik). Untuk “menormalisasi” hubungan antara Indonesia dengan Belanda sesuai dengan etika internasional, yaitu kesetaraan, hanya ada dua cara:
1.    Belanda mengakui de jure kemerdekaan RI 17.8.1945, maka Indonesia akan menjadi setara dengan Belanda,
2.    Memutus hubungan yang janggal, sehingga Indonesia dan Belanda setara, yaitu tidak saling mengakui.

Presiden Jokowi di awal pemerintahannya dengan tegas menyatakan, akan menjalankan amanat TRISAKTI BUNG KARNO. Butir pertama adalah BERDAULAT DALAM POLITIK. Tentu ini berarti politik dalam DAN LUAR NEGERI.

Catatan mengenai menteri Luar Negeri sekarang, Retno Marsudi.
Retno Marsudi memperoleh gelar S1nya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1985. Ia lalu memperoleh gelar S2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda.
Retno Marsudi diangkat menjadi Menlu RI pada 27 Oktober 2014.  pada 12 Januari 2015 di Istana Noordeinde, Den Haag, dia mendapat anugerah tertinggi Ridder Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Raja Belanda. Raja Willem-Alexander der Nederlanden.
Pada Jumat 24 Oktober 2014, sehubungan dengan diusulkannya Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi untuk menjadi Menlu RI di Kabinet Presiden Jokowi, Hassan Wirajuda mengatakan: “"Itu orang-orang terbaik saya," (lihat lampiran)



********



LAMPIRAN-LAMPIRAN

----------------------------------------------------------------------------


Jumat 15 Apr 2016, 20:04 WIB
Jokowi akan Tingkatkan Kerja Sama Maritim dalam Kunjungan ke Eropa
Bagus Prihantoro Nugroho - detikNews

Jakarta -
Presiden Jokowi akan melakukan kunjungan kerja ke empat negara pada pekan depan. Salah tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk meningkatkan kerja sama di bidang kemaritiman.

"Kita telah mencanangkan sebagai maritim sebagai hal yang menjadi prioritas pemerintah, nanti akan ada kerja sama maritim dengan beberapa negara," kata Seskab Pramono Anung dalam konferensi pers di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (15/4/2016).

Keempat negara di Eropa yang akan dikunjungi Jokowi yakni Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda. Jokowi akan meninjau bagaimana pembangunan pelabuhan di Belanda.

"Presiden akan melakukan kunjungan lapangan," imbuh Wamenlu AM Fachir.

Selebihnya dalam kunjungan tersebut akan dilakukan peningkatan kerja sama perdagangan. Isu-isu politik terkini seperti Timur Tengah, terorisme dan lain sebagainya juga akan dibahas dalam berbagai pertemuan.

"Kunjungan yang akan dilakukan Bapak Presiden ini di empat negara plus Uni Eropa antara lain dengan tema yang sangat jelas, yaitu pertama memperkokoh kemitraan Indonesia dan Uni Eropa. Kedua menampilkan Indonesia sebagai negara yang terbuka sekaligus kompetitif. Ada hampir di semua negara Presiden akan melakukan pertemuan-pertemuan resmi dengan kepala negara atau kepala pemerintahan," ujar Wamenlu.
(bpn/dhn)


********
SOLOPOS.COM > News >

Belanda akan serahkan surat pengakuan Kemerdekaan RI ke SBY

Kamis, 30 September 2010 19:44 WIB | |

Jakarta–Kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pekan depan punya makna sejarah. Dalam kesempatan itu akan disampaikan naskah resmi pengakuan pemerintah Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan RI.
Demikian papar Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, tentang agenda Presiden SBY di Belanda. Dia ditemui di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (30/9).
“Suratnya sudah diinisiasi sejak 2009 oleh pemerintah Belanda,” kata Faiz.
Menurut jadwal, pada tanggal 6-8 Oktober mendatang Presiden SBY berada di Belanda dengan agenda utama kunjungan kenegaraan. Ini kali pertama Presiden RI adakan kunjungan kenegaraan resmi ke Belanda semenjak proklamasi kemerdekaan RI pada 65 tahun silam.
“Waktu Pak Harto, Gus Dur dan Bu Mega duhulu itu bukan kunjungan kenegaraan,” jelas Faiz.
Sementara kunjungan kenegaraan Presiden SBY nanti, berlangsung atas undangan Ratu Beatrix. Surat undangan resmi dari Kerajaan Belanda itu sudah disampaikan sejak 4 tahun lalu.
“Kegiatan formal di sana nanti bertemu dengan Ratu Belanda, PM Belanda dan menandatangani satu perjanjian kemitraan komprehensif,” papar Faiz.
Agenda lain Presiden SBY selama di Belanda adalah bussiness meeting dengan para pengusaha besar dan berpidato di salah satu perguruan tinggi. Tak ketinggalan Presiden SBY dialog dengan WNI dan mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda.
Menyinggung pernyataan Dubes JE Habibie yang jadi kontroversi di Belanda, menurut Faiz sudah tak lagi jadi masalah. Semua salah paham sudah dijelaskan dan tak lagi yang menjadi ganjalan bagi pemerintah Belanda.
“Kita maklumi ada salah kutip. Pemerintah di sana juga tidak mempermasalahkan apa yang disampaikan Pak Habibie. Kita anggap sudah selesai,” paparnya.
dtc/nad


 
********


Belanda Akui Kemerdekaan RI secara Tertulis
Selama ini, Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan.

Ita Lismawati F. Malau, Nur Farida Ahniar | Kamis, 30 September 2010, 17:48 WIB

VIVAnews - Setelah 65 tahun Indonesia merdeka, Belanda akhirnya akan memberikan pengakuan tertulis. Selama ini Belanda hanya memberikan penyerahan kedaulatan, bukan pengakuan kedaulatan.

Pernyataan tertulis ini akan diserahkan pada kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, 5-8 Oktober mendatang. Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan pengakuan itu akan ditandatangani oleh pemerintah Belanda. 

Dengan kunjungan ini diharapkan, kedua negara bisa lebih melihat ke depan, dan tidak terseret oleh beban sejarah. "Ini juga menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," kata Faizasyah di Kompleks Istana Kepresidenan di Jakarta, Kamis 30 September 2010.

Meski belum memberikan pengakuan secara tertulis, namun secara de facto, Menteri Luar Negeri Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia dengan menghadiri peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2005.

Dalam lawatannya itu, Yudhoyono akan bertemu dengan Ratu Belanda Beatrix dan Perdana Menteri Belanda. Indonesia-Belanda juga akan menandatangani perjanjian kemitraan komprehensif. Kunjungan kenegaraan itu juga mengagendakan pertemuan bisnis dengan pengusaha besar Belanda. Yudhoyono juga akan berbicara di salah satu Perguruan Tinggi di Belanda.

Menurut Faizasyah, kunjungan Presiden ini merupakan kunjungan yang tertunda selama 4 tahun. Ratu Belanda telah memberikan undangan sejak 4 tahun lalu.(ywn)

© VIVA.co.id


********


Pidato Ben Bot 15.8.2005 di Den Haag:
“Kini pemerintah Belanda menerima de facto proklamasi 17.8.1945!”

----------------------------------------------------------------------------------------------------

Toespraak door dr. Bernard Bot, minister van Buitenlandse Zaken van het Koninkrijk der Nederlanden, ter gelegenheid van de 15 augustus herdenking bij het Indië-monument
Den Haag, 15 augustus 2005
Geachte aanwezigen, dames en heren,
De Stichting Herdenking 15 augustus 1945 ben ik dankbaar voor de mogelijkheid vandaag de herdenkingstoespraak te houden. Dat is voor mij, als minister van buitenlandse zaken en vertegenwoordiger van de regering, een eervolle taak. Maar ik sta hier ook, net als velen van u, als een kind van Indië. Net als bij u roept deze herdenking bij mij gevoelens en emoties op, komen op deze dag zowel positieve als negatieve herinneringen boven aan Indonesië, 5 tijdzones en 14.000 kilometer van deze plek verwijderd, maar gevoelsmatig toch zo nabij. Het zijn herinneringen die je de rest van je leven meedraagt, maar een optimistische en toekomstgerichte levenshouding niet in de weg hoeven te staan. Immers, herdenken is, naast herinneren, ook vooruitzien.
Eerst het verleden: met de capitulatie van Japan, precies 60 jaar geleden, kwam ook een einde aan de Japanse bezetting van Nederlands Indië, een bezetting die zovelen van ons leed had berokkend. Wij gedenken de familieleden en vrienden die tijdens de Japanse bezetting het leven lieten of hebben geleden. Wij gedenken ook de talloze Indonesische dwangarbeiders, de Romusha’s, die vaak naamloos stierven.
Na de capitulatie was het leed, in tegenstelling tot wat toen vurig werd gehoopt, nog niet geleden. Meteen na de capitulatie ontstond een machtsvacuüm dat slechts geleidelijk kon worden opgevuld door de Britten. Tijdens deze zogeheten Bersiap-periode verloren vele duizenden onschuldige Nederlands-Indische en Indonesische burgers, veelal vrouwen en kinderen, het leven.
In de jaren daarna volgde een pijnlijke, langdurige en gewelddadige scheiding der wegen tussen Indonesië en Nederland. Voor wat betreft grote delen van de Nederlands-Indische gemeenschap spreken wij dus over vele jaren van fysiek en psychisch leed.
Zelf kijk ik met gemengde gevoelens terug op mijn kamptijd in Tjideng. Als kind word je misschien iets minder snel geraakt door het leed en de ontbering om je heen, vat je de dingen wat makkelijker op. Maar je wordt ook sneller volwassen. Een verblijf in het weeshuis, toen mijn moeder in het ziekenhuis werd opgenomen, maakte mij, zoals dat heet, vroeg “streetwise”.
Waarschijnlijk daarom staat die periode scherp in mijn geheugen geetst. Ik herinner me nog levendig de internering, het vertrek van mijn vader naar Birma, de koempoelans ‘s-morgens en ‘s-avonds, het urenlange wachten en daarna buigen voor kampcommandant Soni. Ook weet ik dat je duizend angsten uitstond als je wegens ziekte niet bij de koempoelan aanwezig kon zijn, omdat de Japanners je zouden kunnen betrappen bij een controle. De herinnering aan de honger is iets dat, denk ik, bij mijn generatie sterk voortleeft in de zin dat je niet snel iets weggooit wat nog enigszins eetbaar is.
Een kleine anekdote. Wij werden verplicht een soort volkstuintjes aan te leggen zogenaamd om wat groente te verbouwen. Ik was aangewezen mee te werken aan een tomatenbed. Groot was mijn teleurstelling toen op een kwade ochtend bleek dat alle zo goed als rijpe tomaten waren verdwenen.
Ik verdacht mijn buurjongen van deze euvele daad en besloot tot retaliatie. Alleen, bij hem waren de tomaten nog onrijp en groen. Ik heb ze toch verorberd en heb dat moeten berouwen. Niet lang daarna voelde ik me doodziek worden en moest mijn moeder opbiechten wat ik had gedaan. “Jongen”, zei ze, “zo komt boontje altijd om zijn loontje”.
Er wordt weer veel geschreven over de Japanse capitulatie. Natuurlijk is het verschrikkelijk wat er in Hiroshima en Nagasaki is gebeurd. Maar ik weet ook dat de oorlog niet veel langer had moeten duren of wij hadden dat kamp niet overleefd. En mijn vader zou zeker niet zijn teruggekeerd uit Birma en Siam. 15 Augustus is daarom een dag die voor mij een speciale betekenis heeft.
De bevrijding, de terugkeer van mijn vader die ik uiteraard bij die eerste ontmoeting niet kende, de terugkeer in Nederland zijn evenzovele onuitwisbare herinneringen die ik graag met U hier vandaag deel. De ontvangst in Nederland kwam enigszins als een koude douche. En ik zeg dat niet vanwege het koude klimaat waarin ik terecht kwam. Het was moeilijk uit te leggen wat wij hadden ondergaan. Steevast kwam er als reactie dat bij ons in Indie in ieder geval het zonnetje had geschenen, terwijl zij in de hongerwinter kou hadden geleden. Kortom, al snel werd duidelijk dat niemand in Nederland zat te wachten op die uit Indië afkomstige groep Nederlanders. Je leerde dus al snel niet te veel te praten over wat je had meegemaakt, en juist wel met sympathie te luisteren naar de verhalen over de oorlog in Nederland, de Duitsers en de vernietigingskampen.
Misschien is dat ook wel de reden waarom wij zo goed en snel in de Nederlandse samenleving wisten te integreren. Misschien daarom hebben we snel pleisters geplakt op al die wonden en gewoon de draad van ons leven weer opgepakt. En natuurlijk was er ook aanleiding om dankbaar te zijn. We hadden het immers overleefd en in ieder geval een nieuw thuis gevonden. Persoonlijk ben ik dus dankbaar dat ik hier voor u mag staan, dat ik zoals zo velen van u die periode goed heb doorstaan en heb laten zien dat je ook gesterkt uit zo’n beproeving te voorschijn kunt komen.
(Levende geschiedenis)
Zestig jaar, dames en heren. De afstand in tijd tussen het heden en de gebeurtenissen van toen wordt steeds groter. En brengt dit niet het risico van vergetelheid met zich mee, zoals de heer Boekholt dat twee jaar geleden bij deze gelegenheid schetste? Ik hoop en vertrouw erop dat dit niet zo zal zijn. Ik denk dat ook toekomstige generaties zich zullen blijven interesseren in het gemeenschappelijke verleden van Nederland en Indonesië. Ik denk dat onze jeugd die geschiedenis graag wil adopteren, zoals de scholieren van het Vrijzinnig Christelijk Lyceum het Indië-monument hebben geadopteerd en zoals vele andere scholen bijvoorbeeld militaire begraafplaatsen verzorgen. Maar om de geschiedenis met overtuiging te koesteren, moet in de ogen van onze jeugd het verleden en de kennis van dat verleden ook voor het heden en de toekomst relevant zijn.
Winston Churchill zei het eens als volgt: hoe verder men terug kan kijken hoe verder men vooruit weet te zien. Inderdaad: historische kennis is geen overbodige luxe, maar een voorwaarde voor een heldere blik op de toekomst. En dat geldt zeker voor de relatie tussen Nederland en Indonesië. Wanneer Nederlanders op welke wijze dan ook in contact zullen komen met Indonesië en Indonesiërs, dan zullen zij iets moeten weten van de geschiedenis van dat land, en dus ook van eeuwen van gedeelde Indonesisch-Nederlandse geschiedenis. Nederlanders die zonder enige kennis van de geschiedenis in Indonesië succesvol zaken denken te kunnen doen, of diplomatie te bedrijven, komen meestal van een koude kermis thuis.
Wanneer een samenleving de toekomst met optimisme en strijdbaarheid tegemoet wil treden moet zij wel bereid zijn ook over de minder fraaie kanten van de eigen geschiedenis eerlijk te zijn. Zeker in een tijd waarin wij in Nederland  - op de werkvloer, in de sportkantine en op school - bruggen willen slaan tussen de diverse etnische en geloofsgemeenschappen in ons land. In de context van deze herdenking betekent dat dan dat wij durven toegeven dat ook na invoering van de zogeheten ethische politiek de belangen van de Indonesische bevolking voor de meeste Nederlanders op zijn best op de tweede plaats kwamen.
Werken aan een gemeenschappelijke toekomst. Dat moet niet alleen binnen onze samenleving het adagium zijn, maar ook in de relatie tussen Nederland en Indonesië. De uitdagingen die wij gezamenlijk ter hand moeten nemen zijn legio, zoals de strijd tegen intolerantie, extremisme en terrorisme.
Indonesië is belangrijk. Het is een drijvende kracht achter regionale samenwerking in Zuid-Oost Azië. Indonesië herbergt als seculiere staat meer moslims dan welk land ook ter wereld, maar is tevens hoeder van eeuwenoude, boeddhistische, hindoeïstische en christelijke tradities. Als zodanig heeft Indonesië recht van spreken in de dialoog der culturen. Tijdens het Nederlandse voorzitterschap van de Europese Unie vorig jaar, hebben wij dan ook veel aandacht besteed aan intensivering van de betrekkingen met Indonesië.
(Boodschap aan Jakarta)
Dames en heren,
Om de relatie tussen Indonesië en Nederland verder te intensiveren is het behulpzaam om wat er nog resteert aan oud zeer weg te nemen, althans voor zover wij dat als Nederlanders in onze macht hebben. Daarom zal ik als vertegenwoordiger van ons land en als vertegenwoordiger van de generatie die de pijn van de scheiding heeft ondervonden, nog vandaag het vliegtuig nemen, die vijf tijdzones doorkruisen en 28000 kilometer afleggen. Op 17 augustus zal ik dan ons land vertegenwoordigen bij de Indonesische herdenking van de op 17 augustus 1945 uitgeroepen onafhankelijkheid. Ik zal aan het Indonesische volk uitleggen dat mijn aanwezigheid mag worden gezien als een politieke en morele aanvaarding van die datum.
Maar waar het nu in de eerste plaats om gaat is dat wij de Indonesiërs eindelijk klare wijn schenken. Al decennialang zijn Nederlandse vertegenwoordigers op 17 augustus aanwezig bij vieringen van de Indonesische onafhankelijkheid. Ik zal  met steun van het Kabinet aan de mensen in Indonesië duidelijk maken dat in Nederland het besef bestaat dat de onafhankelijkheid van de Republiek Indonesië de facto al begon op 17 augustus 1945 en dat wij – zestig jaar na dato - dit feit in politieke en morele zin ruimhartig aanvaarden.
Aanvaarding in morele zin betekent ook dat ik mij zal aansluiten bij eerdere spijtbetuigingen over de pijnlijke en gewelddadige scheiding der wegen van Indonesië en Nederland. Bijna zesduizend Nederlandse militairen lieten in die strijd het leven, velen verloren ledematen, of werden slachtoffer van psychische trauma’s, waarvoor, opnieuw, in Nederland maar weinig aandacht bestond.
Door de grootschalige inzet van militaire middelen kwam ons land als het ware aan de verkeerde kant van de geschiedenis te staan. Dit is buitengewoon wrang voor alle betrokkenen: voor de Nederlands-Indische gemeenschap, voor de Nederlandse militairen, maar in de eerste plaats voor de Indonesische bevolking zelf.
Dames en heren,
Pas wanneer men op de top van de berg staat kan men zien wat de eenvoudigste en kortste weg naar boven zou zijn geweest. Zoiets geldt ook voor diegenen die betrokken waren bij de besluiten die in de jaren veertig werden genomen.
Pas achteraf is te zien dat de scheiding tussen Indonesië en Nederland langer heeft geduurd en met meer militair geweld gepaard is gegaan dan nodig was geweest.
Dit is de boodschap die ik mee zal nemen naar Jakarta. Daarbij hoop ik vurig op het begrip en de steun van de Indische gemeenschap, de Molukse gemeenschap in Nederland en van de veteranen van de politionele acties.
Immers, om ons gemeenschappelijke verleden levend te houden, hebben wij ook een gemeenschappelijke perspectief op de toekomst nodig. Samen werken aan een gezonde en veilige toekomst van onze samenleving, en aan goede betrekkingen met Indonesië, zal ons helpen ook de meest pijnlijke aspecten van ons verleden dragelijk te maken.
Ik dank u voor uw aandacht.

********

Pidato Ben Bot di Jakarta, 16.8.2005:
Belanda KINI MENERIMA PROKLAMASI 17.8.1945
SECARA POLITIS DAN MORAL
-----------------------------------------------------------------------------------------           
Speech by Minister Bot On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Address by Dr. Bernard Bot
Minister of Foreign Affairs of the Kingdom of the Netherlands
Jakarta, 16 August 2005
On the 60th anniversary of the Republic of Indonesia’s independence declaration
Colleagues, ... Honoured guests, Ladies and gentlemen,
1.      SAYA MERASA MENDAPAT KEHORMATAN BERADA DI SINI BERSAMA BAPAK-BAPAK DAN IBU-IBU PADA MALAM INI.
(Translation: Ladies and gentlemen - it is an honour for me to be here this evening with you all.)

2.      I am here today in my capacity as a Dutch minister to pay my respects to the Indonesian people, a people with whom we Dutch have had strong bonds for hundreds of years.
3.      Tomorrow, your country will be celebrating the 60th anniversary of your declaration of independence, the Proklamasi. It is an historic moment on which I would like to congratulate Indonesia on behalf of the entire Dutch government. Allow me also to congratulate our trusted partner, the Indonesian Ministry of Foreign Affairs, on its 60th anniversary on 19 August.
Ladies and gentlemen,
4.      This is the first time since Indonesia declared its independence that a member of the Dutch government will attend the celebrations. Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence. Only when someone is standing on the summit of the mountain can he see what would have been the simplest and shortest way up. This applies equally to the people on the Dutch side who were involved in the decisions taken from 1945 onwards. Only in hindsight does it become clear that the separation between Indonesia and the Netherlands was marked by more violence and lasted longer than was necessary.
Ladies and gentlemen,
5.      If a society wants to face the future with its eyes open, it must also have the courage to confront its own history. This applies to every country, including the Netherlands and the Republic of Indonesia. Within the context of 17 August, this means that we Dutch must admit to ourselves, and to you the Indonesians, that during the colonial period and especially its final phase harm was done to the interests and dignity of the Indonesian people – even if the intentions of individual Dutch people may not always have been bad.
6.      The end of the Japanese occupation of Indonesia did not bring an end to the suffering of the Indonesian people nor to that of the Dutch community in Indonesia. The Japanese occupation and the period directly after the Proklamasi were followed by an extremely painful, violent parting of the ways between our countries and communities.
7.      In retrospect, it is clear that its large-scale deployment of military forces in 1947 put the Netherlands on the wrong side of history. The fact that military action was taken and that many people on both sides lost their lives or were wounded is a harsh and bitter reality especially for you, the people of the Republic of Indonesia. A large number of your people are estimated to have died as a result of the action taken by the Netherlands. On behalf of the Dutch government, I wish to express my profound regret for all that suffering.
8.      Although painful memories never go away, they must not be allowed to stand in the way of honest reconciliation. The Indonesian and Dutch veterans who fought one another at that time have been setting a good example for many years by commemorating victims of both sides together. Ali Boediardjo, the former Secretary of the Republic’s negotiating delegation, was speaking about reconciliation in 1990 when he said: “We have one basic principle in common, that is humanism, which means that one can understand his fellow-man and can forgive the evil he has done.”
9.      This is also an important moment for me personally. The country where I was born, Indonesia, and the Netherlands, my motherland, are reaching out to one another and opening a new chapter in their relations. Let us apply ourselves to deepening our friendship with dedication and in harmony. And may our friendship serve the interests of the common challenges all of us will have to meet in the twenty-first century. Let us work together for peace, justice and prosperity.
10. Reconciliation will also be high on the agenda in Aceh. The Indonesian government and the GAM signed a peace agreement yesterday in Helsinki. On behalf of the Dutch government, I would like to congratulate both parties on the results achieved and hope that this will mean lasting peace for the people of Aceh. Because even more than all the aid from the international community, this peace agreement will be decisive for the prosperous development of the province. The role of the EU and ASEAN in monitoring the peace agreement is an important new step in the growing relationship between the EU and ASEAN.
Ladies and gentlemen,
11. The Republic of Indonesia is an important partner for the Netherlands. Your country is a driving force behind regional integration in Southeast Asia and dialogue with the European Union. And your country is assuming a prominent position in the dialogue of cultures. The secular Republic of Indonesia not only has more Muslims than any other country in the world, it is also a faithful guardian of centuries-old Buddhist, Hindu and Christian traditions. Dutch society too is rich in traditions, cultures and religions. So let us carry the Indonesian motto bhinekka tunggal ika - “unity in diversity”, which is also the motto of the European Union, in our hearts, as a permanent goal to strive for. Let Indonesia and the Netherlands, each from in its own unique position and drawing on our historical ties, make a positive contribution to understanding and respect between countries and peoples.
12. I look forward to tomorrow’s celebrations of 60 years of the Proklamasi.
PERSAHABATAN TIDAK MENGENAL BATAS NEGARA
(Translation: Friendship knows no borders.)
Knowing that you have friends on the other side of the world inspires confidence – like-minded friends to whom you feel connected and with whom you can journey on the path to the future.
MARI KITA MENYONGSONG MASA DEPAN BERSAMA-SAMA DENGAN PENUH KEYAKINAN.
(Translation: Let us embark upon the future together in trust).
TERIMA KASIH BANYAK
(Thank you very much)





********

Wawancara Menteri Luar Negeri Belanda, Bernard Rudolf (Ben) Bot di Metro Tv Jakarta, 18 Agustus 2005:


                          ********



 
Eksekusi Mati, Jaksa Agung Sempat Galau  
Selasa, 20 Januari 2015 | 15:54 WIB

TEMPO.COJakarta - Jaksa Agung Prasetyo menyatakan sempat galau saat ingin menetapkan waktu pelaksanaan eksekusi enam terpidana hukuman mati kasus narkoba. Ia mengklaim, saat Presiden Joko Widodo memerintahkan eksekusi dipercepat, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta pengunduran waktu. "Jangan didor ketika saya masih di Belanda," kata Prasetyo menirukan ucapan Retno, Selasa, 21 Januari 2015. (Baca: Australia Lobi Jokowi Batalkan Eksekusi Mati.)

Retno sendiri hanya tersenyum menanggapi cerita yang dilontarkan Prasetyo. Beberapa hari sebelum eksekusi, Retno memang kembali ke Belanda untuk menerima dua penghargaan atas prestasinya sebagai duta besar di negara tersebut. (Baca: Eksekusi Diprotes, Menteri Tedjo: Kita Harus Tegas.) 

Ia menerima penghargaan tertinggi Ridder Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau dari Raja Willem-Alexander di Istana Noordeinde, Den Haag. Retno juga mendapat anugerah sebagai The Best Ambassador dalam penghargaan Certificate of Merit oleh Diplomat Magazine. (Baca: Eksekusi Mati Rani, Kesaksian Ayah, dan Isi Wasiat.) 

Retno dianugerahi karena berjasa sebagai duta besar yang mampu meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda. Ia berjanji orang pertama yang mendapat kabar jika dirinya kembali ke Indonesia adalah Prasetyo. "Just landed," kata Prasetyo mengulang isi pesan singkat Retno saat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pada 17 Januari 2015.

Eksekusi mati akhirnya dilaksanakan Prasetyo pada 19 Januari 2015 pukul 00.00 WIB. Salah satu terpidana yang ditembak mati di Nusakambangan adalah warga negara Belanda, Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya.

FRANSISCO ROSARIAN




********


Jumat 24 Oct 2014, 17:27 WIB
Hassan Wirajuda: Bagusnya Menlu dari Kalangan Profesional
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sedang pempersiapkan susunan kabinet yang akan menempati posisi menteri untuk 5 tahun ke depan. Lalu, bagaimana pandangan Mantan Menteri Luar Negeri RI, Hassan Wirajuda, terkait posisi Menteri Luar Negeri Jokowi?

‎"Saya juga belum tahu siapa," kata Hassan usai menjadi pembicara dalam diskusi yang diprakarsai Human Right Working Goverment (HRWG) bertajuk ‎ 'The Future of Human Rights in Asean Community: Opportunies and Challanges' di Auditorium CSIS Jalan Tanah Abang III No 23-27, Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2014). Menurut Menlu yang menjabat sejak tahun 2001 sampai 2009 ini, orang yang cocok menjabat Menlu Jokowi adalah dari kalangan profesional.

‎"Menurut saya pribadi, bagus kalau Menlunya orang karir, profesional‎," kata

‎Hassan sendiri tidak menjawab gamblang mana yang lebih cocok menjadi Menlu saat disodorkan dua nama yang saat ini sedang menguat, yaitu Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Menlu, Yuri Octavian Thamrin dan Dubes RI untuk Belanda, Retno LP Marsudi.

Kendati begitu, Menlu pada era Presiden Megawati Sookarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu menyebut bahwa keduanya adalah orang-orang terbaik. "Itu orang-orang terbaik saya," ujarnya.

Sebelumnya, Selama dua hari terakhir, Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Octavian Thamrin terlihat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yuri atau Retno, Menlu pilihan Jokowi?

‎Yuri memang salah satu orang dari dalam Kemlu yang disebut-sebut sebagai calon kuat Menlu. Selain Yuri, ada nama-nama lain seperti Retno LP Marsudi, Desra Percaya, Djauhari Oratmangun, dan Havaz Oegroseno.

Nah, Yuri pada Senin (20/10) malam dan Selasa (21/10), terlihat berada di dekat Jokowi di Istana Merdeka. Pria yang pernah menjadi jubir Kemlu dan Pewakilan Tetap RI di Jenewa yang selalu tampil rapi itu menemani Presiden Jokowi saat menerima beberapa tamu negara.
(idh/jor)


********

MANTAN KEPALA BAKIN BARU TAHU BELANDA BELUM AKUI KEMERDEKAAN INDONESIA
SABTU, 29 JUNI 2013 , 09:54:00 WIB
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
 
RMOL. Letnan Jenderal (Purn) Moetojib kaget. Kepala Badan Kordinasi Intelijen (Bakin) di periode 1996-1998 itu baru tahu Kerajaan Belanda belum mengakui kemerdekaan RI secara de jure pada 17 Agustus 1945.

Kekagetan itu disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) pada 1995-1996 ini saat membuka ceramah umum yang disampaikan Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Batara R. Hutagalung di Paguyuban Seno Cakti (PSC), di kompleks Badan Intelijen Negara (BIN), Sabtu pagi (29/6).

"Bila demikian, maka aksi polisional Belanda yang dilakukan dua kali setelah 17 Agustus 1945 adalah invasi," ujar Moetojib yang selain Ketua PSC juga Ketua Yayasan Jati Diri Bangsa.

Moetojib juga menyinggung sikap Kementerian Luar Negeri yang kurang kencang membicarakan masalah ini. Menurutnya, sikap Kemlu itu mungkin karena khawatir akan merusak hubungan baik kedua negara.

"Tidak apa-apa, pemerintah berhubungan baik tapi masyarakat tetap memperjuangkan masalah ini," demikian Moetojib. [ald]





******