Saturday, May 20, 2006

Wejangan Leluhur Bangsa

Pengantar
Seorang teman lama saya, Kemal, yang mengetahui saya menjadi anggota beberapa milis, dan memiliki data base dari ribuan alamat email orang Indonesia, memohon saya untuk membantu menyebarluaskan tulisan, yang merupakan “Wejangan Leluhur Bangsa.”
Wejangan tersebut ditulis oleh kenalannya, Nelwa, yang menulis setelah melakukan meditasi yang dalam dan bahkan dapat dikategorikan sebagai suatu tapa. Dalam bahasa awam mungkin disebut sebagai suatu perenungan yang mendalam. Minggu lalu kami betiga bertemu, dan Nelwa membacakan tulisan tersebut secara lengkap untuk saya. Saya mendengarkan dengan sangat cermat. Setelah “Wejangan” tersebut selesai dibacakan, saya tertegun. Yang keluar dari mulut saya hanya satu kata: “Sempurna!”
Menurut pendapat saya, isi wejangan tersebut memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi bangsa Indonesia saat ini dan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkannya dari perpecahan dan kehancuran akibat kesalahanh bangsa ini sendiri.
Memang, tidak semua yang membaca wejangan ini akan segera sependapat, namun mohon direnungkan dengan tenang dan mendalam esensi dari pesan yang disampaikan, dan kemudian membandingkan sendiri dengan situasi serta kondisi yang kini sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Pendapat dan tanggapan mengenai wejangan ini mohon tidak ditujukan kepada saya pribadi, melainkan kepada kita semua, seluruh anak bangsa, untuk didiskusikan.
Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bukanlah masalah teknis, bukan masalah kekurangan ilmuwan, bukan masalah kekurangan dana. Ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, baru ada segelintir manusia Indonesia yang memiliki gelar kesarjanaan. Itupun hanya di beberapa bidang, untuk menunjang kepentingan penjajah, dan bukan untuk pembangunan bangsa dan negara, apalagi untuk mencerdaskan rakyat Nusantara.. Kini bangsa Indonesia telah memiliki ratusan ribu sarjana, dan bahkan guru besar untuk segala bidang ilmu pengetahuan. Seharusnya, dana pembangunan juga mencukupi, dan tidak perlu mengemis-ngemis terus ke luar negeri untuk menambah utang, yang pada akhirnya sebagian besar masuk ke kantong-kantong pribadi pejabat negara. Uang negara yang dikorupsi mencapai retusan trilyun rupiah. Adalah suatu kenyataan, bahwa perekonomian, dunia hukum, kehidupan sosial dan budaya negara ini ambur-adul. Indonesia memiliki telalu banyak poliTIKUS yang menggerogoti negara, dan belum tampak seorangpun yang dapat dikategorikan sebagai seorang negarawan.
Mohon inti wejangan di bawah ini direnungkan dahulu, sebelum memberi komentar, tanggapan atau pendapat. Komentar, tanggapan dan pendapat seluruh anak bangsa sangat diperlukan, agar kita dapat menemukan solusi atas permasalahan yang kita hadapi bersama.

Salam persatuan anak bangsa!

Jakarta 20 Mei 2006

Batara R. Hutagalung

===============================================

Wejangan Leluhur Bangsa

Disampaikan melalui Nelwa
Panca Sila adalah hasil dari penggalian yang sedalam-dalamnya di dalam jiwa rakyat Nusantara sendiri. Di dalam Panca Sila ada dua sifat, yaitu statis dan dinamis. Statis tujuannya mempersatukan, dan dinamis tujuannya tuntunan atau arah perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Dasar yang statis harus terdiri dari elemen-elemen di mana “di dalamnya ada jiwa Indonesia”. Kalau kita tidak mempersatukan elemen-elemen jiwa Indonesia, maka tidak mungkin dibangun dasar untuk negara Indonesia dengan jiwa bangsa Indonesia.
Saat ini semua berubah, kita telah memasukkan elemen-elemen asing ke dalam jiwa bangsa Indonesia, maka ini tidak akan menjadi dasar yang sehat dan kuat, apalagi untuk mempersatukan jiwa rakyat Indonesia. Sadar atau tidak sadar, kita telah melanggar hukum alam dalam jiwa bangsa ini sendiri. Karena hakekat dan jiwa kaum dan bangsa ini, yang telah dipersatukan dalam satu wadah yang diberi nama bangsa Indonesia, telah dilanggar dari segala elemen-elemen yang bukan jiwanya sendiri.
Pada saat catatan dibuka, bahwa para leluhur bangsa ini telah mempersatukan jiwa-jiwa manusia yang ada dalam ketertindasan dijajah oleh bangsa asing, dan dengan semangat kesatuan, jiwa yang memiliki semangat ingin merdeka.
Kesatuan tekad yang penuh dengan air mata dan darah, membawa sekelompok manusia bersatu menjadi satu bangsa, satu kata dalam satu jiwa, satu negara Indonesia, wujud dari kesatuan jiwa kaum dan bangsa ini.
Panca Sila ada, bukan lahir karena insiden, tapi lahir dari nilai perjalanan historis bangsa ini. Perjalanan sejarah bangsa ini selama di bawah kekuasaan dan kekejaman kolonialisme dan imperialisme, telah membentuk “jiwa persatuan” mempersatukan segenap tenaga, pikiran dan tekad dalam satu perbuatan untuk merdeka, dan mendirikan negara dengan menumbangkan penjajahan dan imperialisme. Pada zaman sebelum atau sesudah kolonialisme, kita memang memiliki bibit-bibit nasional borjuis.
Kita juga mempersiapkan diri untuk mempertahankan negara yang kita dirikan, yang suatu saat kelak menjadi benteng “pertahanan negara” dari serangan imperialisme itu.
Dengan adanya segenap tenaga revolusioner yang ada di dalam jiwa rakyat Indonesia, maka oleh karenanya pada tanggal 17 Agustus 1945 kita dapat mengadakan Proklamasi. Karena persatuan jiwalah kita dapat mempertahankannya.
Sekarang ini persatuan itu terganggu, sehingga kita kembali berikhtiar mengumpulkan jiwa-jiwa revolusioner untuk memperbaiki keretakan-keretakan tubuh dari bangsa Indonesia ini. Setelah itu, kami semua para pendahulumu, yang mempersiapkan dasar dan negara yang telah didirikan. Di atas dasar itulah maka segenap rakyat dipersatukan pada saat itu. Maka lahirlah Panca Sila, yang memberi nilai sejarah bangsa ini.
Nilai luhur Panca Sila adalah mempersatukan dan memberi arah bagi kehidupan negara kita ini. Nilai statis dari Panca Sila adalah persatuan, dan nilai dinamis adalah kearah mana kita harus berjalan sebagai bangsa dan negara. Panca Sila diciptakan dari “jiwa persatuan”. Panca Sila diciptakan untuk mempersatukan jiwa-jiwa rakyat ini menjadi “jiwa bangsa”, lalu “jiwa negara”. Kekuatan energi dari jiwa-jiwa para leluhurmu yang menciptakan Panca Sila.

Apakah anak-anak bangsa sebagai penerus kami sudah mengamalkannya? Apakah pemimpin-pemimpin bangsa sekarang ini sudah mengamalkannya ? Jujurlah dalam bersikap, tanyakan pada dirimu sebagai anak bangsa. Jika sudah tidak ada lagi kemauan dan kehendak untuk mengamalkan Panca Sila yang lahir dari energi jiwa-jiwa para leluhur bangsa ini, maka tidak akan ada lagi Indonesia.
Jiwa-jiwa anak bangsa akan gentayangan sendiri-sendiri tanpa tuntunan dan arah, kehilangan cahaya sebagai petunjuk terang suatu bangsa. Maka tunggulah, dan semua akan ada pembuktian sebagai peringatan keras bagi kaum dan bangsa ini.
Kumpulan manusia adalah kumpulan dari satu jiwa, bukan seperti kursi yang disejajarkan di dalam gedung-gedung perwakilan rakyat dan pemerintah. Yang duduk di situ tidak mempunyai jiwa Ketuhanan, jiwa Kemanusiaan, jiwa Kebangsaan, jiwa Kedaulatan rakyat, dan jiwa ber-Keadilan. Jadi wakil-wakil rakyat sekarang ini tidak lebih dari kursi-kursi yang disejajarkan itu. Tidak ada energi jiwa, atau : Mati Rasa!
Sudahkah kita menghayati Sila Ketuhanan yang sebenarnya? Sila Ketuhanan dalam Panca Sila bukan sekedar barang yang diucapkan saja, tapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bangsa. Adanya agama yang berbeda dalam satu bangsa bisa menjadi rukun beragama sesuai kepercayaaan masing-masing, karena adanya rasa Kebangsaan Indonesia. Dalam negara harus ada perbedaan yang harus dipertegas antara keperluan negara sebagai “negara” dan urusan agama.
Fakta yang terjadi sekarang dilihat dengan mata telanjang tetapi menggunakan akal yang gelap. Semuanya dicampur-adukkan antara urusan agama dan urusan negara, sehingga lunturlah nilai Ketuhanan yang ada pada bangsa ini.
Inipun akibat dari pelanggaran hukum alam pada jiwa bangsa yang telah memasukkan jiwa-jiwa paham asing ke dalam jiwa-jiwa bangsa Indonesia sendiri. Mereka lupa bahwa adanya kepercayaan ber-Tuhan pada bangsa ini juga ada dalam sejarah perjalanan bangsa ini sebelumnya. Jiwa bangsa ini sudah tidak lagi menyatu dalam Ketuhanan yang sebenarnya.
Bangsa ini sudah lahir semenjak kalian belum ada di dunia. Bangsa ini ada sejak zaman pra-Hindu, yang sudah mempunyai kultur dan bercita-cita. Bangsa ini sebelum kedatangan orang Hindu sudah mahir dalam tanam padi secara sistem sawah. Jangan dikira itu hasil dari pembawaan oleh orang Hindu. Tidak! Sudah sebelumnya.
Alfabet Ha-Na-Ca-Ra-Ka-Da-Ta-Sa-Wa-La, jangan dikira itu dibawa oleh orang Hindu. Wayang kulit-pun bukan dibawa oleh orang Hindu. Orang Hindu hanya memperkaya wayang kulit dengan tambahan lakon Mahabarata dan Ramayana. Tapi kita sudah lebih dahulu punya wayang kulit, tetapi belum ada tambahan lakon Mahabarata dan Ramayana. Yang ada Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala dan Cepot. Lakon lain, yang datang di luar punya kita itu, hanya memperkaya wayang kulit.

Jadi jika kita umpamakan sejarah perjalanan bangsa ini seperti istilah bersaf-saf (saf: barisan ketika shalat berjama’ah – redaksi). Saf pra-Hindu yang sudah berbudaya dan beradab bukan buaya dan biadab. Saf berikutnya, saf Hindu, datang dalam bidang politik berupa negara Taruna, negara Kalingga, negara Sanjaya, negara Empu Sendok, negara Kutai, dll.
Lalu datang lagi saf berikutnya, zaman kita menganut Islam : negara Demak Bintoro, negara Pajang, negara Mataram kedua. Lalu datang lagi saf berikutnya, saf kolonialisme dan imperialisme.
Tapi dari semua fase yang ada dalam perjalanan sejarah, bangsa ini selalu hidup dalam alam pemujaaan. Ke dalam itulah ia menaruhkan segenap harapan dan kepercayaannya dalam ber-Tuhan. Maka proses bangsa ini dalam mencari nilai-nilai Ketuhanan juga ada dalam sejarah manusia di bumi ini, yang telah kita lupakan bahkan telah membuangnya ke tempat sampah yang kotor.
Kita harus melihat sejarah manusia yang berangkat dari alam pikiran manusia di segala zaman itu. Dipengaruhi oleh cara hidupnya yaitu bagaimana cara manusia mencari hidup, mempertahankan hidup dan memelihara hidup. Ini semua mempengaruhi alam pikiran manusia yang juga mempengaruhi alam persembahannya dalam Ketuhanan.
Fase pertama : gambaran manusia nomaden yang mengira Tuhan itu guntur, Tuhan itu adalah angin, Tuhan adalah air. Maka tradisi di India, sungai Gangga sampai saat ini disucikan. Dan di bagian Jawa, ada istilah lampor. Kalau ada angin dari selatan bertiup kencang, orang berteriak : “lampor-lampor!”
Fase kedua : manusia hidup dari peternakan, pindah bentuk lagi dalam Ketuhanan, beralih kepada bentuk binatang. Bangsa Mesir pada saat itu menyembah sapi, namanya Apis; burung, namanya Osiris; di India, sapi.
Fase ketiga : manusia hidup dari pertanian, maka pindah pula cara memahami Ketuhanan, yaitu pemujaan kepada sesuatu unsur yang menguasai pertanian. Timbul Dewi Laksmi, Dewi Sri, Dewi Sari Pohaci di tanah Pasundan. Pada saat musim tanam lantas memohon pada dewi-dewi tersebut. Bentuk Ketuhanan sudah digambarkan dalam bentuk manusia berupa gambar dewa-dewi, berbeda dengan alam pikiran manusia yang pertama dan kedua, belum ada bentuk manusia.
Fase keempat : manusia hidup sudah bisa menciptakan alat. Siapa yang menjadi penentu daripada pembuatan alat ini? Penentunya ialah akal.
Akal-lah yang membuat sabit, bajak dsb. Berpindahlah pikiran manusia pada Ketuhanan yang tadinya berupa batu, pindah ke sapi, lalu pindah berupa dewi. Maka dalam fase keempat menjadi gaib, tidak bisa dilihat dan tidak bisa diraba, yaitu akal.
Fase terakhir : alam industrialisme, maka sebagian manusia merasa dirinya adalah Tuhan. Apa yang tidak bisa dibayangkan oleh manusia pada alam industrialis ini ? Mau petir ? Manusia bisa bikin petir : aku bikin menara tinggi, aku isi dengan elektrik sekian milyar volt, aku buka stroom lalu aku jadikan petir. Mau hujan ? Aku bisa. Mau keluar dari bumi ini ke planet lain ? Aku bisa, aku akan menguasai bulan. Aku bisa, aku kuasa, aku ciptakan senjata. Aku bunuh manusia, aku matikan musuh-musuhku, aku bisa. Hingga mereka mengatakan bahwa aku Tuhan ! Begitulah cara hidup di alam industrialisme, semua adalah “aku - aku” : Ego!
Itulah semua sejarah manusia tentang Tuhan, yang dalam alam pikirannya bergantung kepada cara hidupnya ! Maka para pendahulu atau leluhur dari kaum dan bangsa ini membuat dan menjadikan Sila Pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Diselami sedalam-dalamnya sejarah peradaban manusia dengan cara hidupnya, yang sebagian besar dari masyarakat agraris atau pertanian yang sampai saat ini masih ada kepercayaan tentang Dewi Sri, Sari Pohaci, yang masih dilestarikan dalam budaya bangsa ini untuk mengingatkan manusia tentang nilai-nilai dan Ketuhanan itu sendiri.
Jadi masyarakat kaum dan bangsa ini masih ada dalam fase ketiga, keempat dan kelima, yaitu alam industrialisme, yang itu bukan lagi corak dari cara hidup manusia Indonesia yang sebenarnya. Tingkat cara hidup masyarakat kita secara umum adalah agraris, tapi kita mulai melangkah ke arah industrialisme. Dari tingkat cara hidup bangsa Indonesia inilah maka kita mengikat satu kepercayaan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Aku (........) leluhur dari kaum dan bangsa ini, mengingatkan dan menurunkan catatan dari perjalanan bangsa ini. Bahwa aku percaya Tuhan Yang Maha Esa, Dia ada dan nyata. Selagi hidup di dunia ini, aku sering mendapat peringatan berupa impian.
Dan jika impian itu aku rasakan dalam rasa, keesokan harinya akan terjadi. Bagi orang lain mungkin terjadinya nanti atau bulan depan. Bagiku pribadi, kalau aku bermimpi, pasti esok terjadi. Hal ini membawa keyakinan padaku bahwa Tuhan ada dan nyata.
Dengan dasar utama dari Ketuhanan Yang Maha Esa ini kita akan menjadi bangsa yang besar dan melaksanakan kebajikan. Untuk itulah Sila Ketuhanan dimasukkan dengan jelas, nyata dan tegas. Dari Sila Utama, jiwa bangsa terus berevolusi menyelami nilai kedua, ketiga, keempat dan kelima untuk diamalkan. Tetapi saat ini, Sila yang Utama sudah dilupakan. Bagaimana langkah evolusi jiwa bangsa ini, untuk bisa menuju ke perjalanan jiwa berikutnya?! Ibarat Sila Ketuhanan adalah Roh yang Terang – Hidup yang menghidupi jiwa-jiwa dalam ber-perikemanusiaan, ber-bangsa, jiwa kedaulatan rakyat dan jiwa ber-keadilan.
Dalam perjalanan sejarah manusia yang mencari Tuhan, tidak ada yang saling membunuh sesama manusia karena kepercayaan dan keyakinan yang disebut agama. Dulu manusia membunuh karena wilayah kekuasaan, karena rasa memiliki dan nafsu saling menguasai. Tapi bangsa ini sudah melebihi batas-batas kemanusiaan sehingga membunuh bangsanya sendiri, dan membuat aturan-aturan yang mengganggu kebebasan dan hak dalam menjalankan ibadah agamanya masing-masing.

Bangsa ini tidak lagi belajar dari sejarah yang ada dan selalu hidup, karena bangsa ini hidup dari sejarah itu sendiri. Negara dan agama, tidak ada aturan-aturan yang jelas dan tegas. Sehingga negara diatur oleh agama, dan agama diatur oleh negara.
Lihatlah para ulama yang nyata-nyata berpolitik dan merubah fungsi ulama menjadi pemimpin negara, sehingga rebutan untuk menjadi pemimpin, mulai dari kaum cendekiawan sampai ulama. Tidak ada lagi penasehat-pensehat yang memberi “aturan benar dan wajar” dalam kehidupan ber-bangsa dan ber-negara. Orang-orang dibiarkan bertindak sewenang-wenang karena mengatasnamakan agama. Pemimpin-pemimpin bangsa ini membiarkan kezaliman yang berkedok agama. Karena negara tidak lagi dianggap sebagai kekuatan dan alat kekuasaan. Karena pemimpin rakyat dan bangsa ini tidak punya “jiwa kepemimpinan Panca Sila”.
Jika agama dijadikan alat kekuasaan pada bangsa ini, maka ketahuilah : kaum dan bangsa ini telah benar-benar melampaui batas dan harus membayar dengan harga mahal. Secara prinsip dalam Ketuhanan yang sesungguhnya, bahwa bangsa ini melanggar hukum alam dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para suci terdahulu, mulai dari para Buddha, para Nabi dan Rasul serta para Wali-wali Agung terdahulu mengatakan : “Cintailah Tuhan di atas segala hal dan cintai sesama manusia seperti kamu mencintai dirimu”.
Tapi tidakkah kita menyadari bahwa dari segi Peri-Kemanusiaan kita sudah melanggarnya?! Begitupun dari segi Kebangsaan yang satu jiwa, yang diwariskan oleh para leluhur bangsa dengan tebusan darah, tidak ada lagi dalam catatan anak bangsa ini.
Banyak anak-anak bangsa yang pintar, bersekolah, berpendidikan di Amerika, di Eropa, di luar negeri, pulang dan bekerja untuk bangsanya. Tapi sangat disayangkan, banyak yang kehilangan “jiwa anak bangsa Indonesia”, sehingga pulang dengan membawa “jiwa asing”, membela kepentingan asing, membawa elemen-elemen asing, dan tidak lagi menyumbangkan ilmu yang digali di luar negeri kepada rakyat dalam tujuan mencerdaskan bangsa sendiri. Anak bangsa menimba ilmu di negara orang, tapi sekarang hasil dari ini semua apa? Lihatlah! Utang negara menumpuk, korupsi melampaui batas, perebutan kekuasaan tanpa pengetahuan di bidangnya.
Untuk siapa anak bangsa ini bekerja? Untuk bangsa dan negara ini? Atau untuk bangsa asing? Jika kita bekerja untuk bangsa dan negara Indonesia harus dengan dengan jiwa Indonesia. Jika dengan “jiwa asing”, elemen-elemen asing bekerja untuk bangsa-rakyat Indonesia, jangan bermimpi tentang Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. Karena kami para leluhur bangsa ini menjadikan Indonesia yang merdeka, bukan dari “jiwa dan elemen asing”, tapi dari jiwa bangsa dan kultur serta karakter rakyat Nusantara yang sesuai dengan budaya dan manusianya. Justru bangsa Indonesia ini lahir karena jiwa-jiwa rakyat pada saat berjuang untuk mengusir jiwa-jiwa asing yang ingin menguasai tanah leluhur dan kekayaan bangsa ini, dari penjajahan dan imperialisme asing. Sekarang semua ini digadaikan kepada jiwa-jiwa asing.
Akibatnya tanpa disadari, jiwa-jiwa bangkit dari kemarahan dengan berbagai masalahnya, yang sebenarnya adalah wujud dari kemarahan dan jiwa-jiwa anak bangsa yang juga merupakan wujud dari kekecewaan para leluhur bangsa ini yang tidak lagi mau dijajah oleh jiwa-jiwa dan elemen-elemen asing, yang berkedok mengatasnamakan anak-anak bangsa, bekerja untuk bangsa dan rakyat serta negara. Semua itu dusta!
Lihat undang-undang yang lahir dari perwakilan rakyat dan pemerintah ini, apakah sesuai dengan jiwa bangsa ini? Tetapi sesuai dengan jiwa-jiwa asing dan elemen-elemen yang berkedok anak bangsa. Mulai dari segi ekonomi, sosial, budaya, politik, telah dirasuki oleh elemen asing dan jiwa asing.
Yang membuat sedih para leluhur bangsa ini, kehidupan ber-agama dan ber-Ketuhanan-pun telah dirasuki oleh jiwa asing. Sudah jauh tersesat dalam kultur dan karakter jiwa bangsa Indonesia yang sesungguhnya, dalam menerapkan nilai-nilai agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika agama sudah saling menguasai dalam kehidupan suatu bangsa, maka tunggulah kehancuran itu. Kalian yang menginginkannya!
Tidakkah melihat dan bercermin pada negara yang sekarang sedang bertikai dalam suatu agama yang akibatnya manusia saling membunuh, padahal mereka memeluk agama yang sama tetapi berbeda aliran?! Apakah seperti itu yang harus ditiru?! Seolah kita kehilangan jati diri sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya untuk saling menghargai, walaupun berbeda agama tetapi satu. Maka sadarlah, setiap kaum mempunyai cara dalam menjalankan nilai-nilai Ketuhanan dan keyakinannya.
Setiap individu punya tanggung jawab sendiri dengan Tuhannya. Jangan lagi ada agama dalam politik atau politik dalam agama. Jika ini terus dilakukan, terimalah akibatnya, karena pemimpin bangsa ini membiarkan sebagian kecil orang mengatasnamakan agama dan mengatur kehidupan ber-negara.
Maka kelak kalian akan mengetahui. Hukum alam akan berlaku bagi semuanya tanpa memilih. Semua sesuai dengan perbuatannya, dengan hukum-hukum alam tertinggi. Maka manusia akan diajarkan untuk mengetahui mana yang benar dan wajar.
Siapa yang menanam, maka dia juga yang akan menuai hasilnya. Jangan mengira dalam angan-angan tanpa pengetahuan, bahwa para leluhur pendiri bangsa ini sudah mati. Kami hidup dalam pemikiran-pemikiran dan energi alam semesta yang mengalir pada anak-anak pilihan untuk meneruskan perjuangan dan mengukir sejarah dalam perjalanan bangsa ini yang masih belum terselesaikan, yaitu satu bangsa yang besar akan jaya, aman, sentausa, adil makmur dan sejahtera.
Sekarang! Berbarislah wahai anak bangsa yang memang dipilih dan terpilih untuk berbuat benar dan wajar! Dalam barisan saling menasehati tanpa pilih kasih tapi saling mengasihi. Dengan ini maka pengkhianatan akan tersingkir dan orang-orang yang masuk dalam barisan ini adalah seleksi dari alam semesta, yang sayang dan selalu memberi kepada kaum dan bangsa ini. Jangan melangkah ragu dan setengah jiwa seperti sekarang ini!
Contohnya, kita mengarah pada sistim demokrasi. Demokrasi yang mana? Apakah sesuai dengan jiwa bangsa ini? Jika demokrasi yang kita jalankan hanya di bidang politik berarti itu meniru demokrasi jiwa asing. Alat untuk mencapai tujuan bentuk dari suatu masyarakat tidak selalu dengan sistem demokrasi. Jangan jalankan demokrasi jiplakan dari jiwa asing! Ciptakan demokrasi yang ada dalam jiwa Nusantara, bukan hanya demokrasi politik tapi juga bidang ekonomi, sosial dan budaya. Demokrasi yang mengalir dalam jiwa bangsa ini.
Demokrasi Indonesia bukan demokrasi asing. Kalian akan saksikan pada saat jiwa asing Amerika, Eropa, memaksakan kehendak demokrasi dengan berbagai tujuan kepada masyarakat Irak. Apa yang terjadi? Berpuluh-puluh tahun nasib bangsa Irak akan terombang-ambing karena demokrasi jiwa asing merasuki jiwa bangsa Irak dan tidak sesuai dengan jiwa masyarakatnya. Perang saudara akan membinasakan kaum Irak sendiri. Betapapun kejamnya seorang Saddam Hussein, ia lebih mengerti karakter dan jiwa bangsa Irak daripada negara Eropa atau Amerika. Untuk itulah Saddam Hussein dipilih alam semesta untuk memimpin bangsa Irak dengan jiwa dan karakter yang sesuai sebagai anak bangsa itu sendiri.
Demokrasi jiplakan asing adalah demokrasi yang dalam bidang sejarah, ekonomi, masyarakat dan politik, adalah sekadar ideologi suatu masa atau satu periode saja. Sebelum adanya demokrasi Eropa barat dan Amerika, berjalan suatu sistem feodalisme. Artinya suatu pemerintahan yang ditentukan oleh Raja. Maka pada suatu ketika terjadi perubahan dalam alam pemikiran, alam penghidupan dan kehidupan masyarakat Eropa yang membawa perubahan pada alam ideologi masyarakatnya. Maka menjadi masyarakat yang materialis disebabkan karena kapitalisme yang sedang naik daun. Jadi sistem demokrasi ada karena kapitalisme yang sedang naik daun.
Kita bukan masyarakat kapitalis, kita tidak menghendaki kapitalisme. Tetapi kita menghendaki yang sesuai dengan Sila dari Pancasila yang kelima, masyarakat ber-Keadilan Sosial. Tidak bisa menggunakan sistem demokrasi itu sebagai alat dalam masyarakat yang ber-Keadilan Sosial. Apakah kita sudah menjadi bentuk masyarakat yang hidup dalam materialisme dan kapitalisme?!
Siapa yang menciptakan bentuk masyarakat seperti ini ? Pada saat kapitalisme naik daun maka di Eropa para buruh yang semakin terorganisir akan menuntut dan kekuasaan kaum buruh juga naik. Pada suatu saat secara alamiah pikiran politik dan sistem demokrasi akan membahayakan kaum kapitalis. Maka dengan adanya alasan dari kaum kapitalis bahwa sistem demokrasi tidak cocok diterapkan, maka kapitalisme mempergunakan fasisme.
Tidak ada perlawanan buruh dalam parlemen. Tetapi kekuasaan ada di tangan diktator. Ini sekadar gambaran dari bentuk-bentuk masyarakat materialis karena faham kapitalisme. Belajar dari sejarah materialisme dan produk dari kapitalisme melahirkan banyak cacat-cacat dalam sistem demokrasi jiwa asing atau jiplakan itu.
Maka sebagai bangsa Indonesia yang memikul amanat penderitaan rakyat, memikul kewajiban untuk menyelenggarakan suatu masyarakat yang bukan masyarakat kapitalis tetapi masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Jadi tinggalkan cara berpikir ala demokrasi yang hanya di bidang politik saja.
Seluruh rakyat Indonesia meletakkan sesuatu di atas kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Maka demokrasi yang harus dijalankan adalah demokrasi Indonesia yang mempunyai kepribadian bangsa Indonesia. Jika tidak demikian maka kita tidak dapat menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan dari rakyat itu sendiri.
Demokrasi Indonesia bukan sebagai alat teknis seperti demokrasi jiwa asing. Tetapi sebagai suatu alam jiwa, pemikiran dan perasaan kita. Kita harus meletakkan alam jiwa, pemikiran dan perasaan kita di atas kepribadian kita sendiri, di atas penyelenggaraan cita-cita suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang sudah jelas tidak bisa dengan demokrasi seperti cara sekarang ini. Kita jangan dibodohi oleh alam pemikiran yang bukan alam kepribadian bangsa kita sendiri.
Suatu saat kalian akan menjadi saksi bahwa negara demokrasi asing akan runtuh. Pemberontakan kaum buruh akan meruntuhkan kekuasaan kaum kapitalis, maka tidak ada lagi demokrasi sebagai alat teknis semata. Semua akan kembali ke alam demokrasi manusia sesungguhnya yang tidak mau lagi dijadikan alat politik dari kaum kapitalis.
Maka sangatlah mundur bangsa ini apabila memakai demokrasi sebagai alat kekuasaan teknis dalam bentuk masyarakat Indonesia yang sangat memegang prinsip rasa kekeluargaan dan gotong-royong. Jika sudah ada dalam jiwa masyarakat ini sifat rasa kekeluargaan dan gotong-royong, untuk apa lagi alat teknis yang namanya “demokrasi jiplakan”?!
Sekali lagi belajarlah dari sejarah perjalanan bangsa kita sendiri yang berangkat dari budaya bangsa ini yang begitu toleran dan welas asih. Renungkanlah hal ini dalam diri masing-masing anak bangsa ini.
Bangsa Indonesia adalah suatu “blue print” yang sempurna. Anak bangsa harus mengerti “blue print” ini sebagai kader-kader pembangunan. Tetapi belum engkau latih dirimu menjadi kader. Bukan sekadar kalian punya otak, itu harus diisi dengan pengetahuan. Seperti meng-“aku” : aku adalah insinyur, aku dokter, aku politikus, aku ahli hukum. Bukan sekadar itu yang diperlukan. Di samping pengetahuan teknis, anak bangsa sebagai kader harus mengerti “blue print” ini. Jiwamu harus menyatu dengan jiwa “blue print” ini. Jiwa kader-kader bangsa harus jiwa yang mempunyai kehendak dan tekad menyumbangkan tenaga dalam orkestra maha besar, rakyat Indonesia yang dua ratus juta lebih ini, agar dari jiwa “blue print” ini yang menyatu dengan jiwa kader-kader bangsa, terselenggara satu masyarakat adil, makmur, sejahtera sesuai dan sejalan dengan Panca Sila.
Alam pemikiran Belanda sudah tidak ada, yang ada alam sekarang, alam kader-kader bangsa pemuda dan pemudi. Kaum muda jangan hanya menerima apa yang diajarkan. Tetapi mesti belajar berpikir bebas. Berpikir bebas bukan anti liberalisme. Berpikir bebas mengalami dan mengerti “blue print” ini. Berpikir dengan bebas untuk menatap ke depan, bagaimana aku sebagai kader bangsa menyumbangkan tenagaku untuk negaraku agar “blue print” masyarakat adil makmur sejahtera itu menjadi terwujud.
Jangan isi otakmu dengan prasangka terhadap golongan ilmu dengan golongan ilmu lain. Kita membutuhkan pengalaman-pengalaman, kepintaran, kepandaian dalam segala bidang ilmu, “human skills”, “material investment”, “mental investment”, “technical” dan “managerial know how”. Kita harus melihat dan mengambil pengalaman-pengalaman dari bangsa-bangsa lain yang berguna dan bermanfaat tanpa prasangka buruk.
Buang prasangka buruk, ambil yang baik dan manfaatkan yang baik untuk lekas bekerja menyusun konsep masyarakat adil, makmur, sejahtera. Jadilah kader-kader bangsa yang produktif. Ciptakan produktivitas dalam segala bidang : pertanian, perkebunan, kelautan, ekonomi dan lain-lain.
Masyarakat petani harus produktif. Ciptakan padi unggul dengan sistem organik bukan dengan pupuk urea, sehingga tidak ada lagi impor beras. Ambil pengalaman negara-negara dan bangsa lain yang bermanfaat bagi pertanian sistem organik, juga dalam perkebunan dan kelautan. Contoh dalam bidang perkebunan : kita membeli tutup botol dari gabus dari Yunani atau India. Kenapa tidak membuat tutup botol dari karet?
Apakah mesti ada pabrik besar untuk membuat tutup botol dari karet? Tidak! Setiap rumah di daerah perkebunan karet bisa membuat tutup botol dengan latex. Maka masyarakat di daerah yang banyak karet sudah produktif. Begitu juga dengan kelautan, banyak yang bisa dihasilkan dari masyarakat yang produktif mengolah hasil kelautan. Jangan jadi semboyan saja.
Tiap-tiap kader bangsa menjadi manusia produktif. Maka dalam tempo dua, tiga tahun akan mencapai “moment” nyata, minimal di bidang pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia yang produktif, bukan konsumeris dan materialis. Ambil ilmu dan pengetahuan dari luar untuk mengangkat dan menjadi nilai tambah dalam bidang-bidang yang diciptakan oleh produktivitas masyarakat luas.
Wahai anak-anak bangsa Indonesia, jika engkau mengerti “blue print” masyarakat adil, makmur, sejahtera adalah amanat dari leluhurmu, amanat dari pejuang-pejuang bangsa yang telah mangkat lebih dahulu, yang telah banyak menelan penderitaan untuk bangsa Indonesia ini, maka engkau juga akan mengerti bahwa segenap rakyat Indonesia sangat menginginkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan. Seperti gambar “blue print” yang kami, leluhurmu, telah mewariskan untukmu semua.
Jika engkau hidup dalam “blue print” bangsa Indonesia ini, maka betapa leluhurmu akan berbahagia dalam alam keabadian, karena semua ini diwujudkan menjadi kenyataan. Tanggung-jawab tugas yang mulia ada pada kader-kader bangsa ini.
Engkau akan melihat hari kemudian tanah air kita, bangsa itu cemerlang. Di tepi langit engkau melihat cahayanya. Kebesaran suatu bangsa, cahaya masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
Engkau, wahai kader bangsa, bukan hanya menjadi pupuk tapi engkau adalah bibit yang akan tumbuh subur dalam kalbumu, dalam dadamu, dalam jiwamu. Dan roh kalian bergelora tumbuh menjadi masyarakat baru. Bangkit dan tercapai segala cita-cita bangsa Indonesia yang jaya, bangsa yang besar.
Majulah! Sumbangkan bunga-bunga harum pada sanggul Ibu Pertiwi. Semua harus memberi sumbangsihnya kepada Ibu Pertiwi. Dibawah naungan “blue print” Panca Sila, kita agungkan Ibu Pertiwi, yaitu Tanah Air ini. Bumi Nusantara yang kaya raya ini. Jangan sia-siakan waktu, karena waktu adalah dirimu sendiri, wahai anak-anak bangsa!

Friday, May 12, 2006

Putraku Pindah Agama. Alhamdulillah, Puji Tuhan, Buddha Memberkati

                 Renungan Waisak



Oleh Batara R. Hutagalung

Menjelang perayaan Trisuci Waisak -yaitu hari kelahiran Pangeran Siddharta Gotama (Gautama), hari tatkala Sang Pertapa Gotama mencapai pencerahan yang sempurna setelah bersamadhi di bawah pohon Bodhi, dan juga hari meninggalnya Sang Budhha Gotama yang oleh penganut ajaran Buddha dinamakan Parinibbana (Sansekerta: parinirvana) Sang Buddha- aku merenungkan banyak hal yang menyangkut diriku, putraku, keluargaku, masyarakat di lingkunganku, bangsaku dan juga masyarakat internasional, terutama yang sehubungan dengan kehidupan dan kerukunan beragama.

Beberapa tahun belakangan, di seluruh dunia banyak terjadi konflik kekerasan yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan mengatasnamakan agama, bahkan pembunuhan ratusan sampai ribuan manusia juga atas nama agama. Masing-masing pihak menyatakan bahwa yang dilakukannya adalah demi agamanya, demi Tuhannya, demi Allahnya.

Aku sungguh tidak dapat mengerti, mengapa agama yang seharusnya membawa kedamaian di muka bumi, mengajarkan manusia untuk saling mengasihi, justru digunakan sebagai alasan dan pembenaran untuk pembunuhan sesama manusia, dan bahkan yang berasal dari satu agama, namun berbeda aliran. Kelompok yang satu menyatakan, bahwa yang diyakini oleh kelompok lain adalah aliran sesat.

Ada kelompok yang selalu merasa terganggu bukan hanya dengan keberadaan komunitas agama yang berbeda, namun juga tidak memberikan toleransi terhadap perbedaan sekecil apapun, selain keyakinan yang dianutnya. Semua ingin diseragamkan. Budaya, perilaku, ukuran moral, cara berbusana dsb. ingin diseragamkan.

Apakah agamanya yang salah? Apakah Tuhannya atau Allahnya yang salah menurunkan ajaran? Ataukah manusianya yang tidak mengerti makna ajaran yang sebenarnya? Aku tak tahu. Belum tahu. Mungkin tak akan pernah tahu.

Aku sendiri dibesarkan di keluarga Kristen Protestan. Mengenai atribut Protestan baru kuketahui ketika aku kuliah di Universitas Hamburg, Jerman (dahulu Barat), di tahun 70-an. Kata tersebut berasal dari kata protes, yaitu protes terhadap gereja katholik di Jerman. Pada 31 Oktober 1517 di Wittenberg, Jerman, Dr. Martin Luther yang waktu itu beragama Katholik, menyampaikan 95 thesisnya yang merupakan reformasi terhadap gereja Katholik. Dia membentuk komunitasnya sendiri dan komunitasnya disebut sebagai Protestan, yaitu yang melakukan protes. Di Jerman sendiri, pengikut Martin Luther menamakan diri sebagai Evangelis Lutheran.

Abad 16 - 17 di Eropa sedang berkecamuk wabah reformasi, bukan hanya di Jerman. Namun sempalan Katholik di Jerman tidak mengalami penderitaan seperti yang dialami oleh sempalan Katholik di Perancis, yang dinamakan kaum Hugenott. Tahun 1685 sekitar 50.000 orang Hugenott dari Perancis melarikan diri ke Jerman dan sebagian besar ditampung di Prusia.

Konflik antara Kristen Katholik dan Kristen Protestan di Eropa berlangsung cukup lama dan mengakibatkan pertumpahan darah yang besar, seperti juga yang terjadi antara Islam aliran Syiah dan Islam aliran Suni, yang juga telah berlangsung lebih dari seribu tahun dan menelan korban yang luar biasa besarnya di kedua belah pihak. Konflik ini masih berlangsung hingga sekarang, seperti terlihat di Irlandia Utara antara Kristen Katholik dengan Kristen Protestan, dan di Irak antara kelompok Suni dan kelompok Syiah.

Di Universitas Hamburg, aku mengambil jurusan sosiologi dan psikologi sebagai vak utama (Hauptfächer), dan filosofi sebagai vak tambahan wajib (Pflicht-Nebenfach). Aku harus membiayai sendiri biaya hidup dan kuliahku, dan karena menghadapi beberapa kesulitan, aku tak dapat menamatkan kuliahku.

Gedung fakultas teologi letaknya tepat di muka asrama tempatku tinggal. Aku memang juga gemar membaca buku-buku berbagai agama, sehingga aku juga sering mengikuti kuliah-kuliah teologi Kristen Protestan. Di Uni Hamburg, untuk banyak jurusan dan sejauh tempat tersedia, para mahasiswa dapat mengikuti kuliah dari beragam jurusan. Apabila telah terdaftar sebagai mahasiswa di Uni Hamburg, dia cukup mencatatkan nama di fakultas yang bersangkutan, dan mencatatkan nama pada daftar yang tersedia di awal semester, kemudian dia dapat mengikuti kuliah yang diminatinya.

Yang mengambil jurusan Teologi Kristen di Uni Hamburg, tidak hanya dari yang beragama Kristen Protestan, melainkan juga yang berlatarbelakang agama lain, bahkan ada beberapa pendeta Buddhis.

Waktu itu di Hamburg ada seorang Pendeta Kristen dari Indonesia, Mangasi S. Siahaan, yang sedang melanjutkan studinya di bidang teologi, dan kemudian berhasil meraih gelar Doktor Theologi di Uni Hamburg, kalau tak salah, dengan predikat Magna Cum Laude. Seringkali sebelum kuliah, dia mampir ke asramaku untuk ngopi dan ngobrol, dan berdiskusi mengenai berbagai hal, termasuk mengenai keagamaan.
Juga ada Pendeta Kristen muda dari Indonesia, Sahat Tobing, yang juga melanjutkan studinya di Uni Hamburg. Dan masih ada beberapa Pendeta Kristen Indonesia lain, yang juga sering berdiskusi denganku mengenai agama.

Aku juga mempunyai seorang teman baik orang Jerman, Peter Marwedel, anggota Partai Komunis Jerman (KPD). Aku sering menyindir dia, karena dia memiliki mobil Mercedez Benz. Aku bilang, “ Peter, kamu seorang komunis, kok naik Mercedez? Seharusnya kamu naik Volkswagen (VW).” Dia menjawab:” Aku ‘kan sering ke luar kota, jadi perlu mobil dengan mesin yang kuat.”

Aku katakan: “Ah Peter, itu cuma alasan pembenaranmu. Menurutku, kau seorang komunis yang berpikiran kapitalistik.” Peter cuma cengar-cengir saja dan bilang: “Terserah. Apapun pendapatmu, itu hakmu untuk menilai tindakanku. Aku tak akan berubah hanya karena ucapanmu.” Kami tetap berteman baik, walaupun sering berdebat dan berbeda pendapat.

Dengan merekalah aku sering berdiskusi. Mendiskusikan berbagai agama, berbagai ajaran, berbagai jalan keselamatan, berbagai thesis dan anti-thesis.

Dari semua ajaran yang aku pelajari dan diskusikan, jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Sidharta Gotama (Gautama) yang paling menarik bagiku. Yang sangat terkesan bagiku dari ajarannya adalah, bahwa segala sesuatunya terpulang pada diri kita sendiri. Semua perbuatannmu adalah tanggungjawabmu sendiri. Untuk perbuatan baik, kau akan menerima balasan yang baik, dan untuk perbuatanmu yang buruk, kau akan menerima akibat yang buruk juga. Ini yang dikenal sebagai Hukum Karma, atau Hukum Perbuatan. Jangan menggantungkan nasibmu atau apapun kepada sesuatu yang kau tak ketahui. Itulah esensi yang kutangkap dari sekian banyak buku mengenai ajarannya yang dinamakan Buddhisme.

Menurut pendapatku, di dalam ajaran Buddha, tidak ada dogma, melainkan semuanya anjuran. Mengenai apakah mematuhi dan menjalankannya atau tidak, adalah tanggungjawab kita sendiri.

Salah satu dasar ajaran Buddha adalah Panca – Sila. Kata Panca-Sila ini diadopsi oleh Ir. Sukarno untuk memberi nama lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dibacakannya pada 1 Juni 1945.

Kata Panca-Sila sendiri berasal dari bahasa Pali. Panca artinya lima dan Sila pengertian sebenarnya adalah dasar, namun dalam pengertian Buddhis, Sila adalah kerelaan jiwa diri sendiri, setelah memahami mengenai sebab dan akibat, untuk kemudian memegang dan menjalankannya agar kita dapat mencapai Pencerahan dan Nirvana (Pali: Nibbana). Nirvana bukanlah suatu tempat seperti surga, melainkan suatu keadaan, di mana mata-rantai atau lingkaran dari kelahiran-dewasa-sakit-mati-lahir kembali, dst. telah diputus.

Jika melanggar Sila, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya dan ini bukan merupakan hukuman dari Buddha.

Kelima sila dalam Panca – Sila yang dianjurkan untuk dipegang dan dilaksanakan adalah:

Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami (Menahan diri dari pembunuhan),
Adinadana veramani (Menahan diri dari pencurian),
Kamesumicchacara veramani (Menahan diri dari perzinaan)
Musavada veramani (Menahan diri dari pendustaan),
Sura-meraya-majja pamadtthana veramani (Menahan diri dari minuman dan barang-barang yang memabukkan).

Sejak tahun 1974, aku memutuskan untuk mencoba mengikuti semua anjuran Buddha. Dalam pemahamanku mengenai sila pertama, yang dimaksud dengan pembunuhan, adalah termasuk pembunuhan terhadap hewan untuk santapan manusia. Aku dapat menerima pendapat, bahwa hewanpun mempunyai hak hidup yang sama.

Oleh karena itu, juga sejak tahun 1974 aku memutuskan untuk hidup sebagai seorang vegetarian, alias tidak makan daging dan ikan samasekali. Sehubungan dengan sila kelima, sejak lima tahun aku sudah berhenti minum alkohol. Dahulu ketika masih di Jerman, itulah minumanku sehari-hari. Mengenai sila-sila yang lain, perlahan-lahan aku usahakan untuk kupenuhi. Terus terang aku akui, masih sulit sekali untuk dilaksanakan sepenuhnya. Sangat sulit! Mungkin kalau aku bisa menjalankan kelima sila tersebut dengan sempurna, maka aku dapat mencapai pencerahan yang sempurna juga. Tapi sekarang belum …

Dari kumpulan tulisan ucapan Buddha Gotama –yang ditulis oleh muridnya, Ananda- yaitu Tripitaka, atau Tiga Keranjang (Bahasa Jerman: Drei Körbe) yang tebalnya ribuan halaman, mungkin belum separuhnya yang kubaca.

Aku juga tidak mau mengikuti aliran apapun, apakah itu Mahayana, Hinayana, Theravada, Zen Buddhisme, Buddhisme Tibet, karena semua aliran itu merupakan sinkretisme, telah bercampur dengan nilai-nilai agama setempat, sebelum datangnya Buddhisme. Sinkretisme ini terdapat di semua agama. Masih banyak orang Jawa yang beragama Islam, dalam melakukan ritual adat, memberikan sesajen untuk Dewi Sri. Dalam ajaran Islam ‘kan tak ada Dewi Sri. Juga tak ada Nyai Roro Kidul.

Oleh karena itu, aku tidak mengikuti aliran apapun dalam Buddhisme. Aku hanya membatasi diri untuk memahami nilai-nilai dasar yang terkandung dalam inti ajaran Buddha, dengan pemahamanku sendiri, bukan berdasarkan pemahaman atau penafsiran orang lain. Aku hanya berpegang pada Tripitaka ... dan penafsiranku sendiri.

Aku bersyukur, bahwa belum pernah terjadi, ada aliran dalam Buddhisme disebut sebagai aliran sesat dan dilarang oleh aliran atau kelompok lain, seperti yang terjadi pada komunitas Ahmadiyah di Indonesia, atau pada Lia Aminuddin, yang ditangkap oleh Polisi, dengan tuduhan penghinaan terhadap agama. Lia Aminuddin mengaku mendapat wahyu dari Malaikat Jibril. Demikian juga dengan seseorang yang katanya biasa melakukan Shalat dengan bersiul. Kini diapun mendekam di tahanan.

Padahal Undang-Undang Dasar ’45 (UUD ’45) menjamin kebebasan beragama setiap warga. Bab XI mengenai Agama, Pasal 29 (2) berbunyi::
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Selain itu, Bab X A mengenai Hak Asasi Manusia, Pasal 28 E (2) berbunyi:
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”

Pasal 28 I (2) berbunyi:
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 28 J (1) berbunyi:
“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Jadi sangat mengherankan, bahwa para penyelenggara negara, tidak memperhatikan Undang-Undang Dasar, yang seharusnya menjadi landasan dan acuan semua ucapan, keputusan dan tindakan mereka.

Kini, tahun 2006, oleh Mendagri dan Menteri Agama diterbitkan Surat Peraturan Bersama (SPB) yang menggantikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, SKB no. 01 BER/MDN-MAG/1969, tahun 1969, yang mengatur agar pendirian tempat ibadah harus dengan seizin masyarakat setempat.

Sepertinya, di negeri ini, segala sesuatu yang semakin dicoba untuk diatur, semakin ambur-adul. Dari data-data yang diperoleh berbagai pihak, sebelum dikeluarkannya SKB tahun 1969, perusakan, pembakaran dan penutupan gereja relatif kecil, dibandingkan setelah dikeluarkannya SKB dua Menteri.

Bahkan, apabila dicermati, SPB dua Menteri tahun 2006 ini jauh lebih mengerikan dibandingkan dengan SKB tahun 1969, karena dalam SPB, kehidupan dan kerukunan beragama “dikendalikan” oleh Gubernur, Bupati, Walikota dan pejabat-pejabat setempat.

Dari tahun 1965 s/d 1974 (10 tahun) terjadi perusakan 46 Gereja atau rata-rata 4,6 gedung Gereja yang dirusak per tahun. Kemudian antara tahun 1975 s/d 1984 (10 tahun) jumlah Gereja yang dirusak meningkat 89 atau rata-rata 8,9 per tahun. Demikian pula antara tahun 1985 s/d 1994 (10 tahun) terjadi peningkatan 2 x lipat dari jumlah sebelumnya, yaitu 132 Gereja atau rata-rata 13,2 per tahun. Dan kemudian antara 1995-1997 (2 tahun), terjadi peningkatan yang sangat mencolok dimana jumlah Gereja yang dirusak menjadi 105 atau rata-rata 52,5 per tahun. Hingga 1 Juli 1997, telah terjadi penutupan, perusakan dan pembakaran 374 Gereja. Perusakan tersebut diatas, belum termasuk perusakan rumah ibadah agama lain seperti Vihara maupun fasilitas Pemerintah, swasta dan fasilitas umum.
Sayang aku belum mendapat data yang akurat mengenai jumlah gereja, vihara, dll. yang dirusak, dibakar atau ditutup paksa antara 1997 – 2006. Menurut perkiraan beberapa pihak, hingga tahun 2006, jumlah gereja saja yang dirusak, dibakar atau ditutup paksa dapat melebihi angka 1.000 (!). Luar biasa! Ini terjadi di negara, di mana salah satu prinsip dasar negara adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Sudah seharusnya, para penyelenggara negara memperhatikan UUD ’45 dan melaksanakannya secara konsekwen, karena apabila diteliti, baik SKB maupun SPB dua Menteri mengenai pendirian rumah ibadah, jelas melanggar UUD ’45.

Mungkin ada yang dapat mengajukan hal ini sebagai Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Buddhisme Tibet, sebagaimana diakui oleh Dalai Lama, dibawa oleh Atisha, seorang murid dari Dharmakirti, yang hidup di Sriwijaya, Sumatera pada abad ke 10. Dharmakirti dikenal sebagai Swarnadwipa Dharmakirti, atau Dharmakirti di Pulau Emas (Sumatera). Ajarannya mengenai Boddhicitta sangat ternama di seluruh dunia Buddhis di Asia Timur. Banyak orang datang ke Sriwijaya dari berbagai penjuru dunia, untuk berguru pada Dharmakirti. Di masa itu, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya, sebagai negara maritim, tidak hanya dikenal dengan kekuatan armadanya, melainkan juga kebudayaan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan berbagai Candi di Jawa, seperti Candi Borobudur dan Candi Mendut.

Memang sangat mengherankan, di Sumatera sendiri tidak terlihat sisa candi Buddha peninggalan kerajaan Sriwijaya. Mengapa dibangun candi hanya di Pulau Jawa, sedangkan di Sumatera sendiri, sebagai pusatnya waktu itu, tidak dibangun candi sama sekali? Ataukah seperti halnya di banyak tempat, ketika masuk agama-agama baru, maka tempat-tempat beribadah atau pemujaan dari agama lama dihancurkan total? Seperti patung Buddha terbesar di dunia yang berada di Afghanistan, yang dihancurkan oleh Taliban ketika mereka berkuasa?  Apabila demikian halnya, maka hal ini sangat disayangkan, karena kita kehilangan sebagian dari budaya kita yang kaya dengan ragamnya.

Candi Borobudur pun, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit yang beragama Hindu-Buddha, ditelantarkan sehingga tertutup hutan lebat selama sekitar 5 abad, sampai ditemukan kembali oleh Thomas Stamford Raffles, ketika Inggris berkuasa di Nusantara tahun 1811 – 1816.

Mengenai perkembangan agama Islam di Nusantara ada dua pendapat, yang masing-masing merasa paling benar. Pendapat pertama menyatakan, bahwa perkembangan Islam di Nusantara berlangsung damai, dan semua –dari raja sampai rakyatnya- masuk Islam dengan sukarela. Pendapat kedua menyatakan, bahwa masuknya Islam memang secara damai, yaitu dibawa oleh para pedagang dan tokoh-tokoh Islam waktu itu, namun dalam perkembangan dan penyebaran selanjutnya, dilakukan dengan kekerasan senjata, sebagaimana digambarkan dalam beberapa penulisan, antara lain Serat Dharmogandul, mengenai jatuhnya Majapahit, dan buku yang disusun oleh Ir. M.O. Parlindungan Siregar yang berjudul “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Teror Agama Islam Mazhab Hambali Di Tanah Batak 1816 – 1833.”

Parlindungan Siregar menulis berdasarkan catatan ayahnya yang mendengar sendiri dari beberapa saksi mata. Catatan sejarah tersebut dihimpun dari tahun 1851 – 1941. Disebutkan, bahwa bala tentara kaum Paderi dari Sumatera Barat menyerbu Tanah Batak tahun 1816, dan memaksa semua orang di wilayah yang telah ditaklukkan untuk masuk Islam. Mungkin hal ini yang menerangkan, mengapa Batak Selatan yang berbatasan dengan Sumatera Barat boleh dikatakan seluruhnya beragama Islam, dan di Batak Utara banyak yang memeluk agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, dan masih banyak juga yang menganut ajaran Batak asli, yaitu Parmalim.






Kembali ke keluargaku

Kedua orang tuaku beragama Kristen Protestan dan mereka sangat rajin ke gereja, bahkan sampai di hari tua mereka, menjelang usia 90 tahun. Walaupun harus didorong di kursi roda, setiap hari minggu mereka ke gereja. Kini mereka telah tiada.

Kakak perempuanku yang paling tua, menikah dengan seorang pria dari Bali, Prof. Ida Bagus Adnyana Manuaba, dari kasta Brahmana. Suami kakakku beragama Hindu, sedangkan kakakku tetap beragama Kristen. Mereka dikaruniai tiga putri dan dua putra.
Ketiga putrinya menikah dengan tiga pria beragama Islam, dan keluarga mereka beragama Islam, sedangkan keluarga kedua putranya beragama Hindu.

Abangku yang kedua, keempat dan kelima beragama Kristen, sedangkan abangku yang ketiga, menikah dengan seorang perempuan dari Purwokerto yang beragama Islam. Abangku memilih untuk pindah ke agama Islam. Tak ada seorangpun dari keluarga kami yang Kristen menuduhnya “murtad.” Tahun lalu dia menunaikan ibadah Haji. Aku sekarang dengan senang hati memanggilnya Pak Haji, dan dia gembira dengan sebutan ini.

Dengan demikian, kami enam orang kakak-beradik menganut empat agama –Kristen, Islam, Hindu dan Buddha- dan hidup rukun, tanpa pernah ada pertengkaran mengenai agama. Saling menghargai agama yang lain, dan tidak pernah memaksakan, bahwa yang lain harus mengikuti agama yang dianutnya.

Aku tetap ke Gereja. Tak masalah gereja apapun atau aliran apapun, selama gereja tersebut menggunakan Bibel (Kitab suci) yang sama. Bila abangku yang beragama Islam meneleponku dan menanyakan bagaimana kabarku, sering aku menjawab: “Alhamdulillah baik-baik saja. Insya Allah semua tetap berlangsung dengan baik.” Tak masalah bagiku untuk menggunakan bahasa yang dia pergunakan.

Di keluarga besar Hutagalung yang berasal dari kakek kami yang biasa dipanggil sebagai Opung (kakek) Thomas (bila dihitung sampai cucu dan buyut jumlahnya sudah mencapai ratusan), yang beragama Islam dan Kristen cukup seimbang, dan saling mengunjungi di hari besar masing-masing agama.

Ikatan adat orang Batak cukup kuat, sehingga berbagai upaya untuk mengadu-domba orang Batak hingga kini tidak berhasil. Dalam upacara-upacara adat, tidak dilihat seseorang memeluk agama apa. Yang dilihat hanya kaitannya dalam adat Batak yang berpegang pada Dalihan Na Tolu. Juga tidak peduli, apakah dia seorang Menteri atau Jenderal. Apabila dalam hirarki keluarga dan adat dia berada di posisi agak rendah, maka dalam upacara adat, dia kebagian kerja yang sesuai dengan tingkatnya menurut adat.

Putraku tahun ini berusia 11 tahun. Suatu hari, ketika dia di kelas 3 SD, dia pulang dari sekolah dan bertanya kepadaku: “Papa, apa sih artinya Kafir?”
Aku balik bertanya kepadanya: “Mengapa kamu tanya itu?”
Dia menjawab: “Tadi ada temanku bilang kepadaku, Kafir lu!”

Aku tertegun. Sejenak aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepada putraku. Apakah dia harus membalas temannya dengan mengatakan, “dasar Islam goblok lu”, atau maki-makian lain? Temannya itu pasti juga akan mengadukan kepada ayahnya, apa yang dikatakan oleh putraku. Dan ini pasti akan berbuntut panjang. Bisa jadi panjang buntutnya seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Akhirnya aku hanya mengatakan kepada putraku: “Sudah, tak usah dihiraukan omongannya. Bilang saja, ngomong gitu nggak baik.”

Saat itu aku menyadari, bagaimana rawannya kehidupan beragama di negara yang berdasarkan Pancasila ini. Seandainya aku juga seorang yang emosinya tinggi, tentu sudah terjadi keributan. Aku juga menyadari, bahwa tak mungkin anak kelas 3 SD akan terpikir untuk memaki-maki teman sekelasnya dengan persoalan agama. Aku tak tahu, apakah ini hasil didikan orang tuanya, kakaknya, guru agamanya, pamannya atau entah siapa. Yang jelas tak mungkin dari anak kelas 3 SD.

Sejak itu, aku selalu sangat berhati-hati dalam mendidik putraku mengenai hal-hal yang sehubungan dengan agama, etnis dan kehidupan di masyarakat.

Mengingat latarbelakang diriku sendiri yang beragama Kristen, juga sesuai dengan esensi ajaran Buddha yang kutangkap dan kupahami, sudah sejak tiga tahun aku bekali putraku dengan pesan, bahwa segala sesuatunya terpulang pada dirinya sendiri. Semua perbuatannnya adalah tanggungjawabnya sendiri. Untuk perbuatan baik, dia akan menerima balasan yang baik, dan untuk perbuatan yang buruk, dia akan menerima akibat yang buruk juga. Jangan menggantungkan nasibnya atau apapun kepada sesuatu yang dia tak ketahui. Semua yang dilakukannya, haruslah berdasarkan keputusannya sendiri, termasuk dalam masalah agama.

Kelak dia sendiri yang harus memutuskan, agama mana yang akan dia anut, ajaran mana yang akan dia ikuti. Aku melihat diriku sendiri, yang beragama Kristen namun jga mengagumi ajaran Buddha.

Selain ajaran Buddha, puisi Gibran Khalil Gibran mengenai anak-anak sangat berkesan di hatiku. Di dalam bukunya yang berjudul “The Prophet” (Sang Nabi), Gibran, warga Amerika kelahiran Libanon menulis puisi berjudul “On children.”

Khalil Gibran dilahirkan pada 6 Januari 1883 di Bsharri, Libanon dan meninggal pada 10 April 1931 di New York City. Dia seorang penyair dan seniman yang beragama Kristen Katolik Maronit.

Ketika aku membaca puisinya itu, aku merasa, dia memaparkan kepadaku suasana batinku. Gibran telah membaca apa yang kupikirkan mengenai putraku dan masa depannya. Gibran telah menulis hampir seratus tahun yang lalu mengenai apa yang kupikirkan sekarang, tahun 2006. Luar biasa Gibran Khalil Gibran ini …
Pusi Khalil Gibran dalam The PROPHET, tersebut berbunyi:

On Children

 
And a woman who held a babe against her bosom said, "Speak to us of Children."
And he said:
Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

They come through you but not from you,
And though they are with you, yet they belong not to you.
You may give them your love but not your thoughts.
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

You may strive to be like them, but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.
You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies, so He loves also the bow that is stable.


Terjemahannya kira-kira sebagai berikut (mungkin ada yang dapat lebih baik menerjemahkannya?):

Tentang anak-anak
Dan seorang perempuan yang sedang mendekap bayi di dadanya berkata, bicaralah kepada kami mengenai anak-anak.
Dan dia berkata:
Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu.

Mereka adalah putra putri dari kehidupan yang merindukan dirinya sendiri
Mereka datang melaluimu tetapi bukan darimu,
Dan walaupun mereka tinggal bersamamu, mereka bukanlah milikmu.
Kau dapat memberikan kasih-sayangmu tetapi tidak pikiranmu.
Karena mereka mempunyai pemikiran sendiri.
Kau dapat memberikan tempat untuk raga tetapi tidak untuk jiwa mereka,
Karena jiwa mereka menghuni rumah masa depan, yang tak dapat kau kunjungi, bahkan tak juga dalam mimpi-mimpimu.

Kau dapat berupaya keras untuk menjadi seperti mereka, tetapi jangan mencoba membuat mereka sepertimu.
Karena kehidupan tidak berjalan ke belakang juga tak tinggal di masa lalu.
Kau adalah busur dari mana anak-anakmu melesat ke depan sebagai anak panah hidup.

Sang pemanah melihat sasaran di atas jalur di tengah keabadian, dan DIA meliukkanmu dengan kekuatanNYA sehingga anak panahNYA dapat melesat dengan cepat dan jauh.

Biarkanlah liukkanmu di tangan sang pemanah menjadi keceriaan;
Bahkan DIA pun mengasihi anak panah yang terbang, demikian juga DIA mengasihi busur yang mantap.

Demikian puisi Khalil Gibran, yang namanya di Amerika salah ditulis menjadi Kahlil Gibran.


Mengenai kumpulan puisi “The Prophet” ini, George Russel menulis:
" I do not think that East has spoken with so beautiful a voice since the "Gitanjali" of Rabindranath Tagore as in The Prophet of Kahlil Gibran, who is artist as well as poet. I have not seen for years a book more beautiful in its thought, and when reading it I understand better than ever before what Sokrates meant in the "Banquet" when he spoke of the beauty of thought which exercises a deeper enchantment than the beauty of form . . .
I could quote from every page, and from every page I could find some beautiful and liberating thought "


Aku tak dapat membayangkan dunia putraku di masa depan, sebagaimana orang tuaku dahulu tak dapat membayangkan dunia di mana aku hidup sekarang. Aku tak akan mengekang putraku dengan nilai-nilai dan agama yang kuyakini sekarang. Biarlah dia menemukan nilai-nilai yang diyakininya bahwa itu adalah yang terbaik baginya. Biarlah dia menentukan agama yang diyakininya sebagai yang terbaik baginya. Apapun pilihannya –atau tidak memilih apapun- aku akan berbahagia atas keputusannya, karena itulah keputusan putraku sendiri yang sangat kukasihi, dan bukan keputusanku.

Kelak, apabila putraku menyatakan akan pindah agama –apapun pilihannya- aku akan mengatakan kepadanya:
“Alhamdulillah, Puji Tuhan, Buddha Memberkati. Kau telah memilih jalanmu, aku berbahagia bersamamu!”

Mengenai langkahku ini aku sangat yakin, bahwa aku berada di jalan yang benar.


(Berikut ini aku tambahkan pada  23 Desember 2016)
Ketika tahun 1992 aku kembali dari perantauan di Eropa selama hampir 30 tahun, aku diberikan Naskah Autobiografi ayahku, yang waktu itu berusia 80 tahun. Naskah tersebut ditulis tahun 1986 dan disempurnakan tahun 1988.

Di pengantar Autobiografi tersebut ayahku menulis (aslinya dalam tulisan tangan) kesaksian dari seorang mantan tentara yang berusia 78 tahun.

Ayahku menulis:

          Tuhan itu ada!

Pernyataan dan pengakuan ini berdasarkan pengalaman dan renungan pada usia 78 tahun.

Sering kita katakan: “Kebetulan”, oleh karena kita tidak merencanakan sesuatu pertemuan yang terjadi dengan akibat yang penting dan menjadi sejarah, atau menyaksikan suatu peristiwa yang merubah jalan pikiran dan tujuan hidup kita

Sekarang saya yakin bahwa itu semua diatur oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan yang memilih pelaku yang menentukan nasib sesama manusia yang membuat sejarah.

Jakarta, Agustus 1988

Letkol. TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung

 Ayahku meninggal dengan tenang pada 29 April 2002, di usia 92 tahun.

Atas desakan dari beberapa anggota keluarga dan kenalan, Autobiografi tersebut berhasil diterbitkan pada bulan Oktober 2016.


Di usia 72 tahun, aku membenarkan dan menggaris-bawahi kesaksian ayahku, yang ditulis ketika beliau berusia 78 tahun.

Kini aku berdoa sebagaimana Yesus mengajarkan kepada umatnya, namun aku tetap bermeditasi sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Aku ingin menutup renungan Waisak ini, dengan lyrik lagu John Lennon:

Imagine
Imagine there's no heaven,
It's easy if you try,
No hell below us,
Above us only sky,
Imagine all the people
living for today...

Imagine there's no countries,
It isnt hard to do,
Nothing to kill or die for,
No religion too,
Imagine all the people
living life in peace...

Imagine no possesions,
I wonder if you can,
No need for greed or hunger,
A brotherhood of man,
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say Im a dreamer,
but Im not the only one,
I hope some day you'll join us,
And the world will live as one.


“Semoga semua machluk berbahagia!”
“Selamat Merayakan Trisuci Waisak Bagi Yang Beragama Buddha!”

Wassalam,
Shalom,
Salam Sejahtera,
Om, Santi, Santi, Santi, Om,
Namo Buddhaya, Buddha Memberkati

Jakarta, Waisak 2550 (13 Mei 2006)

Batara R. Hutagalung


(Dengan penambahan tanggal 23 Desember 2016)