Friday, January 25, 2013

PEMBANTAIAN DI GALUNG LOMBOK. Siaran Pers



KOMITE UTANG KEHORMATAN BELANDA

SIARAN PERS

Dalam rangka memperingati peristiwa pembantaian lebih dari 700 penduduk desa yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Galung Lombok, kecamatan Polewali Mandar, Sulawesi Barat  pada 1 Februari 1947, masyarakat Mandar di Sulawesi Barat akan menyelenggarakan:

I.             KONGRES RAKYAT MANDAR II:
“Menuntut Kejahatan Perang Belanda ke Mahkamah Kejahatan Internasional”,
yang akan dilaksanakan pada
Hari/tanggal         : Sabtu, 2 Februari 2013
Tempat            : Gedung Assammalewuang, Jl. Jend. Gatot Subroto, Majene,
Sulawesi.Barat
Waktu                   : Pukul 08.00 – 15.30

Kongres akan dibuka oleh Gubernur Sulawesi Barat, H. Anwar. A. Shaleh

Keynote speaker: Mayjen TNI (Purn.) Salim Mengga, Ketua Umum Kerukunan Keluarga Mandar – Sulawesi Barat (KKMSB)

Pembicara:
1. Drs. H. Hamzah H. Hasan, Ketua DPRD Sulawesi Barat
2. Brigjen TNI. (Purn.) H. Jawas Jusuf, putra seorang korban
3. Prof. DR. Edward   L. Poelinggomang, Sejarawan UnHas
4. Mulyo Wibisono, SH., MSc, Ketua Dewan Penasihat KUKB.
5. H. Zainuddin, saksi mata.
6. Batara R. Hutagalung, Pendiri dan Ketua KUKB.
.
II.       NAPAK TILAS, untuk merekonstruksi peristiwa pembantaian tersebut, yang akan diikuti oleh lebih dari 1000 peserta.

A c a r a:

07.00 – 08.30      Berkumpul di Desa Tandung, Kec. Tinambung.
08.30 – 09.00      Menuju ke Monumen Galung Lombok
09.00 – 09.30      Teatrikal “Panyapuang” terhadap rakyat di Galung Lombok
09.30 – 10.00      Istirahat 
10.00 – 12.30      Pembukaan
Sambutan-sambutan, Orasi, a.l.:
H. A. Samad Bonang, SH, Ketua Lembaga Advokasi,
Brigjen. (Purn.) Jawas Jusuf, tokoh masyarakat SulBar,
H. Kalma Kata, Bupati Majene,
Drs. Ha. Hamzah H. Hasan, Ketua DPRD SulBar,
Mayjen (Purn.) Salim Mengga, Ketua Umum KKMSB)
Batara R. Hutagalung, Ketua KUKB.
            12.30 – 13.00            Penutup. Makan siang
                                                Konferensi pers

Demikian rencana kegiatan dalam rangka memperingati peristiwa Pembantaian di Galung Lombok.


Hormat kami,


Batara R. Hutagalung
Ketua KUKB

Catatan:
1. Duta besar Belanda untuk Republik Indonesia juga diundang.
2. Beberapa media dari Belanda  dan pers nasional telah menyatakan akan hadir.
Daftar nama para korban, lihat:

Beberapa sumber Belanda mengenai pembantaian di Galung Lombok, lihat:

 
Weblogs Batara R. Hutagalung:
http://10november1945.blogspot.com





Monumen Galung Lombok

Kuburan massal

Kuburan massal

Seorang putri korban menunjukkan makam ayahnya

Seorang putra korban di makam ayahnya

Ketua KUKB di depan tembok daftar nama para korban

Ketua KUKB bersama seorang janda korban (91 tahun) dan dua saksi mata

Fatani Thayeb (104 tahun), saksi mata


Thursday, January 24, 2013

Pembantaian di Galung Lombok. Sumber Belanda


Terjemahan

Pembantaian di Galung Lombok

Tugas Depot Militer Pasukan Khusus di bawah pimpinan Vermeulen setelah beraksi di Soeppa, belumlah selesai. Beberapa hari kemudian, pada hari Selasa, 1 Februari 1947, terjadi drama yang terbesar. Pagi hari itu masih gelap ketika militer Belanda menyisir beberapa desa di didaerah Majene, di bagian utara Sulawesi Barat. Menurut dinas intel, para nasionalis yang memberontak akan menyerang Majene pada hari itu. Seperti biasanya, seluruh warga dikeluarkan dari rumah mereka dan digiring ke sebuah ladang padi yang kering. Di situ lah Vermeulen memanggil nama-nama 29 orang orang pria yang sebelumnya sudah pernah ditahan tetapi kemudian dilepaskan kembali. Bagi Vermeulen persoalannya sudah jelas: mereka adalah teroris. Alasannya karena sewaktu penahanan mereka yang sebelumnya, mereka ternyata menyandang surat keterangan dengan cap organisasi perlawanan Angkatan Laoet Repoeblik Indonesia. Hukumannya sudah pasti: peluru di kepala.

Letnan Muda tersebut menunjuk 3 orang pembantu dan berempat mereka menembakan peluru ke kepala ke-29 orang tersebut. ‘Pemurnian’ (istilah yang dipergunakan sendiri oleh Vermeulen) telah dimulai. Kemudian 16 orang pria dipisahkan, mereka dikeluarkan dari penjara dan dibawa ketempat ini dengan satu tujuan tertentu: untuk ditembak mati. Setelah eksekusi yang terakhir ini, penyaringan yang yang sebenarnya mulai dilancarkan. Pimpinan desa ditanya siapa diantara orang yang dikumpulkan disitu adalah penjahat. Mereka pun ditembak mati. Ketika pimpinan desa tidak lagi mau menjawab, orang-orang dipilih secara acak dan ditembak ditempat. Kapiten Ryborz dari KNIL membantu pada eksekusi tersebut. Dalam waktu satu jam, lebih dari 200 orang Indonesia dibantai. Ladang tersebut menjadi kubangan darah.

Saat berlangsungnya pembantaian tersebut, Vermeulen mendapat berita bahwa satu patroli diserang gerilyawan. 3 Orang militer Pasukan Khusus Belanda dikatakan telah terbunuh. Vermeulen segera beranjak memeriksa. Sementara itu Komandan Stufkens memerintahkan Ryborz untuk meneruskan eksekusi. Korban pun bertambah dengan 30 orang lagi. Van Groenendaal, yang tidak hadir pada aksi-aksi ini tetapi berada bersama Westerling di daerah Sulawesi lainnya, dikemudian hari mendengar dari kawan2nya apa yang terjadi dengan ketiga orang DST yang dibunuh tersebut. “Mereka dipancing oleh seorang wanita! Mereka sedang beristirahat di tepi jalan ketika didatangi oleh seorang wanita cantik yang mengajak mereka ke kampung. Dengan bodohnya mereka menurut dan kemudian ditemukan telah dicincang!”  Tidak jelas dalam keadaan yang bagaimana anggota patroli tersebut ketika ditemukan oleh Vermeulen, tetapi pasti dalam keadaan cukup mengerikan. Menurut seorang saksi mata, tentara Belanda tsb. ditemukan digantung dari sebatang pohon ditepi jalan dengan kemaluannya dipotong dan dijejalkan kedalam mulut mereka. Sekembalinya ke Galung Lombok, Vermeulen jelas sangat gusar.


Pembalasan dendam Vermeulen
Sebagai tidakan balas dendam, orang-orang yang berasal dari kampong para penyerang, dipisahkan dari yang lainnya. Kemudian terjadi penembakan membabi buta. Setelah beberapa menit penembakan tepat arah ke gerombolan orang penduduk kampung itu yang sangat mencekam, Mayor Stufkens keluar dari semak2 setelah katanya “buang air” dan menghentikan penembakan.  75 Dari 115 orang kampung Segeri telah tergeletak mati. Dari penduduk Tahlolo ternyata 60 orang yang terbunuh. Yang lain, kurang dari separohnya, ternyata sempat menghindari diri dari penembakan. Di ladang tersebut masih pula bergelimpangan mayat-mayat yang dieksekusi pagi harinya. Ternyata yang mati jumlahnya 364 orang. Mayat-mayat tersebut dipendam dalam kuburan masal. Setelah itu beberapa kampung dibakar dan diratakan dengan tanah.

Menurut keterangan Vermeulen, orang-orang melarikan diri, oleh karena itu ditembaki. Menurut seorang tua dari Galung Lombok  yang kini sudah buta, kejadiannya justru sebaliknya. Semua orang digiring ke kampung tersebut dan mulai ditembaki. Ketika mulai ditembaki, saya bersama 9 orang lainnya berusaha melarikan diri. Kami melarikan diri dengan gerakan zig-zag, namun 9 orang terbunuh, hanya saya yang selamat. Anak-anak pun turut terbunuh. Kebetulan mungkin, karena mereka berdekatan dengan orang tuanya”. Saksi mata lainnya bernama B. Lahir, mengisahkan: “Semua orang digiring ke Galung Lombok, termasuk wanita dan anak-anak. Orang-orang yang berasal dari Segeri dipisahkan dan semuanya ditembak mati. Ayah B. Lahir termasuk menjadi korban. Pada saat itu ia sendiri dibopong oleh ayahnya, tetapi dirinya sempat diselamatkan oleh neneknya. Mereka menodongkan laras bedil kedalam mulut ayah saya. Paman saya sempat menyelamatkan diri dengan cara menelusup dibawah mayat-mayat, melumurkan wajahnya dengan darah dan pura-pura mati. Ketika tumpukan mayat-mayat diperiksa kembali dengan ditendangi sekalipun untuk memastikan bahwa semuanya telah mati, ia tidak bereaksi”.

Hanya beberapa orang saksi tersisa yang bisa mengisahkan kejadian ini. Memang dikemudian hari ada usaha melakukan rekonstruksi pembantaian tersebut, tetapi saksi-saksi mata tidak pernah didengar. Hal tersebut jelas dari fakta sebutan yang dipergunakan bagi drama tersebut:’ Panik penembakan di Galung Galung’. Namun 60 tahun kemudian, ketika ditanyakan di desa Galung Galung, penduduk disitu menunjukkan tempat yang berjarak 15 km dari situ, pembantaian tersebut berlangsung di Galung Lombok! Selama 60 tahun, namanya berbeda, kampungnya berbeda… Para saksi tidak saja menunjukkan lokasi yang tepat, tetapi laporan resmi bertambah dengan fakta-fakta  yang lebih menyerikan; anak-anak yang terbunuh… Laporan resmi tidak pernah mengusik hal tersebut. Mungkin saja, melihat kenyataan bahwa nama tempat yang sengaja dikelirukan, kesaksian-kesaksian tersebut memang benar adanya. Sekali lagi… “hal-hal yang tidak tercatat’.

---------------------------------------------------------

Laporan-laporan resmi

Bertolak belakang dengan perintah dan kebiasaan, Mayor KNIL  J.Stufkens tidak membuat laporan mengenai kejadian di ladang padi kering tersebut. Kejadian di Galung Lombok baru direkonstruksikan dikemudian hari. Namun ketika itu pembantu letnan Vermeulen sudah lama meninggalkan Sulawesi. Ia berangkat pada tanggal 5 Februari, segera setelah kejadian dramatis di Galung Lombok, cuti (?) ke Jawa. Westerling pernah menyatakan bahwa ia memindahkan Vermeulen setelah menerima laporan tentang kekejian yang telah berlangsung, tapi hal tersebut tidak pernah dinyatakan hitam di atas putih. Di laporan resmi tidak ada indikasi apapun bahwa suatu kegaduhan besar telah terjadi di Galung Lombok.

Desas-desus dari pihak pejabat-pejabat pemerintahan mengenai tindak-tanduk militer KNIL (jadi bukan dari anggota Depot Pasukan Khusus) di Pare-pare, menyebabkan Jaksa Agung Felderhof di Batavia bertanya-tanya apakah “ekses-ekses seperti itu mungkin benar terjadi”. Pada tanggal 7 Pebruari, iapun minta penjelasan kepada Veldhuis, Perwira Yustisi di Makassar. Sekali lagi, Galung Lombok tidak disebut-sebut, yang dipersoalkan adalah kejadian-kejadian yang terdahulu. Sementara masih menunggu jawaban Veldhuis, desas-desus yang terdengar oleh Felderhof semakin gencar. Maka Felderhof pun memanggil rapat dengan Jendral Spoor dan Mayor Jendral Buurman van Vreeden. Serta merta perkembangan berjalan gencar: Rapat tersebut memutuskan bahwa hukum darurat (Stand Recht) yang kebetulan baru saja dikuasakan kepada seluruh jajaran perwira tepat setelah pembantaian Galung Lombok, ditarik kembali. Bersamaan dengan itu, Kolonel De Vries diperintahkan mempersiapkan penarikan kembali Depot Pasukan Khusus. Maka pada tanggal 4 Maret 1947, Westerling berangkat dari Sulawesi Selatan, dilepas oleh beberapa ribu penduduk yang secara ‘spontan’ datang ke pelabuhan.

Sementara itu desas-desus mengenai tindak-tanduk Depot Pasukan Khusus telah sampai di Belanda. Pertanyaan diajukan ke Parlemen, sebuah komisi pemeriksa dibawah pimpinan Mr. Enthoven diperintahkan memeriksa hal itu. Satu setengah tahun kemudian, pada penghujung tahun 1948, laporan akhir komisi tersebut menyebutkan bahwa ekses-ekses memang telah terjadi. Kejadian di Galung Galung (loh?) ternyata dianggap keterlaluan sehingga memerlukan pemeriksaan kriminal. Jendral Spoor dan Van Mook menyetujuinya dan Kabinet di Den Haag menyetujui  pengusutan secara hukum. Yang ditugaskan adalah Raadsheer-commissaris G.L. Paardekoper. Hasil pemeriksaan oleh Paardekoper resmi disampaikan pada akhir tahiun 1949, menjelang penyerahan kedaulatan. Telah disepakati bahwa persoalan-persoalan Pengadilan Militer Hindia Belanda akan dialihkan kepada pihak Belanda. Ternyata pengaturan itu tidak dilakukan untuk laporan Paardekooper. Mungkin karena dirasakan politis terlalu rancu. Laporan tersebut tidak dikirim ke Belanda, perwakilan Belanda di Indonesia mengatakan berkas laporan tersebut “terlalu tebal untuk dibuatkan salinannya.” Maka Menteri KVP Van Maarseveen pun memutuskan tidak meneruskan penuntutan tersebut; tanpa berkas tidak ada perkara.

Sementara itu anggota parlemen Belanda terus mendesak dan komisi pemeriksaan yang kedua kalinya dibentuk. Akhli hukum Mr. Van der Rij dan Mr. Stam mendapat tugas memeriksa secara tuntas kejadian2 di Sulawesi pada saat diberlakukan “Stand Recht” (diadili ditempat). Pada saat pemeriksaan mereka, ternyata bahan bukti sudah hilang. Namun Van Rij dan Stam mengumpulkan banyak keterangan saksi dan fakta-fakta. Baru pada bulan Agustus 1954 laporan mereka yang menghebohkan itu dibeberkan. Vermeulen, Ryborz dan Stufkens dipersalahkan. Namun bukan hanya mereka; menurut kedua akhli hukum tersebut, juga otoritas sipil yang merestui, mendiamkan atau justru mendorong aksi-aksi tersebut tidak boleh terlewatkan. Laporan tersebut dipersembahkan kepada Kabinet Drees ke-3. Sebelumnya Drees sudah pernah menyatakan keengganannya menuntut Westerling. Penuntutan seperti itu, selang hanya beberapa waktu setelah pengalihan kekuasaan akan terlalu menghebohkan. Bagaimana mungkin dewan menteri dapat mempertanggungjawabkan penuntutan ke-3 orang tersebut tapi tidak terhadap Westerling?

Demikianlah, seluruh laporan tersebut dipeti-es-kan. Laporan Van Rij – Stam tidak dipublikasikan. Baru pada tahun 1969, ketika sebuah laporan TV “Latar Belakang Pemberitaan” mengungkit masalah kejahatan yang terjadi di Indonesia itu disiarkan, kesimpulan-kesimpulan laporan tersebut mulai terkuak. Acara TV tersebut mengakibatkan kegusaran publik dan diadakannya pemeriksaan baru: De Excessennota. Kejadian di Sulawesi hanyalah sebagian kecil dari catatan kejahatan perang yang diteliti di Indonesia dalam masa pasca PD II dibawah pemerintah Belanda. Catatan-catatan tersebut selanjutnya tidak membawa tindak lanjut apapun, kecuali Westerling menjadi lambang segala ekses yang pernah berlangsung di India Belanda. Persoalannya kembali dipeti-es-kan.

Tulisan oleh Karin van den Born
Penelitian oleh Karin van den Born dan Maarten Hidskes
Penyusunan oleh Erik Willems
-------------------------------------------------------
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Rudolph Baer.

=======================================


Galung Lombok

Het Depot Speciale Troepen onder leiding van Vermeulen was na de actie in Soeppa nog niet klaar. Een paar dagen later, op dinsdag 1 februari 1947, vond het grootste drama plaats. Het was vroeg in de ochtend en nog donker toen Nederlandse militairen enkele dorpen in de buurt van Madjene in het noordelijke deel van Zuid-Celebes uitkamden. Volgens de inlichtingendienst zouden opstandige nationalisten die dag Madjene aanvallen. Zoals gebruikelijk werden eerst alle bewoners uit hun huizen gehaald en bijeengedreven op een drooggevallen rijstakker. Daar dreunde Vermeulen de namen op van negenentwintig mannen die eerder al waren opgepakt, maar weer waren vrijgelaten. Voor hem stond het vast: dit waren terroristen - om de eenvoudige reden dat ze bij hun aanhouding in het bezit bleken van papieren met het zegel van de verzetsorganisatie Angkatan Laoet Republik Indonesia. Daarmee stond ook hun straf vast: de kogel.

De onderluitenant wees drie helpers aan en met z'n vieren schoten ze de negenentwintig ieder een kogel door het hoofd. De 'zuivering' (zoals Vermeulen het zelf noemde) was begonnen. Vervolgens liet hij zestien mannen apart zetten. Alle zestien waren gevangenen, die met maar één bedoeling uit gevangenis waren gehaald en naar deze plek gebracht: om te worden doodgeschoten. Na deze executie begon pas de eigenlijke zuivering. Aan de dorpsoudste vroeg Vermeulen of er misdadigers onder de bijeengedreven dorpelingen waren. Ook zij werden doodgeschoten. Weigerde de dorpsoudste iets te zeggen, dan werden er willekeurige slachtoffers gekozen. Kapitein Ryborz van het KNIL assisteerde bij de executies. Binnen een uur werden ruim tweehonderd Indonesiërs vermoord. De rijstakker werd een dodenakker.

Nog tijdens de executies vernam Vermeulen dat een paar kampongs verderop mogelijk een patrouille van het Depot was aangevallen. Drie Nederlandse militairen van de Speciale Troepen zouden zijn gedood. Vermeulen ging direct op onderzoek uit. In de tussentijd gaf commandant Stufkens aan Ryborz de opdracht door te gaan met de executies. Nog eens dertig doden. Van Groenendaal, die zelf niet bij deze acties aanwezig was maar met Westerling elders op Celebes zat, hoorde later van zijn maten wat er met de DST'ers was gebeurd. "Die drie hebben zich laten verleiden door een meid! Ze waren op patrouille en in de berm van de weg aan het uitrusten. En toen kwam er een mooie meid en die verzocht ze mee in de kampong te gaan. Ze waren zo dom om dat te doen en zijn gelijk in de pan gehakt! Ze hebben ze naderhand gepontomd - in mootjes gehakt - teruggevonden." Hoe Vermeulen zijn mannen precies heeft aangetroffen, is niet duidelijk. Maar het zal behoorlijk akelig geweest zijn. Volgens een plaatselijke getuige had de guerrilla de militairen aan de kant van de weg in een boom gehangen met afgesneden penis in de mond. Bij terugkomt was Vermeulen in ieder geval woedend.

De wraak van Vermeulen

Uit wraak liet Vermeulen de mannen die uit dezelfde kampong afkomstig waren als de overvallers apart zetten. Wat volgde, had alles van een wilde schietpartij. Na enkele verschrikkelijke minuten waarin gericht gevuurd werd op de wanordelijke groep kampongbewoners kwam majoor Stufkens uit de bosjes waar hij, naar hij later beweerde, 'zijn behoefte' deed, en stopte de vuurpartij. Van de 115 mannen uit Segeri lagen er vijfenzeventig dood op de grond. Van de inwoners van Tahlolo bleken er zestig vermoord. De anderen, minder dan de helft, slaagden erin aan het vuur te ontkomen. Op de rijstakker lagen ook nog de lichamen van de mannen die vroeger in de ochtend waren gefussilleerd. In totaal bleken er die dag 364 doden te zijn. De lichamen werden in een massagraf geworpen. Daarna werden verschillende kampongs in brand gestoken en met de grond gelijk gemaakt.
Volgens latere verklaringen van Vermeulen vluchtten de mannen en werd daarna pas het vuur geopend. Maar volgens een oude blinde man in Galung Lombok ging het precies andersom: "Ze brachten alle mensen naar dit dorp en ze begonnen op iedereen te schieten. Toen ze begonnen te schieten, probeerde ik met tien andere mensen weg te lopen. We liepen zigzag, maar negen werden vermoord, alleen ik kon zigzaggend wegkomen. Er werden ook kinderen vermoord. Dat was per ongeluk...ze stonden ernaast." Een andere plaatselijke getuige, B. Lahir, vertelt: "Ze brachten alle mensen naar Galung Lombok, ook vrouwen en kinderen. Ze selecteerden de mensen die uit Segeri kwamen. En alle mensen uit Segeri werden vermoord." Onder de slachtoffers was ook de vader van Lahir. Hijzelf zat, als klein kind, op dat moment op de rug van zijn vader maar werd nog net door zijn oma gered. "Ze duwden m'n vader een geweerloop in de mond." De oom van Lahir kon zichzelf redden door onder de lijken te kruipen, bloed op zijn gezicht te smeren en te doen of hij dood was. Zelfs toen de Nederlandse militairen nog eens op het stapeltje lijken trapten om te controleren of iedereen dood was, verraadde de oom van Lahir zichzelf niet.

Het zijn slechts een paar getuigenissen van mensen die het nog na kunnen vertellen. Er zijn later wel pogingen gedaan een reconstructie van het bloedbad te maken maar plaatselijke ooggetuigen zijn nooit eerder gehoord. Dat blijkt alleen al uit het feit dat het drama officieel bekend werd onder de noemer 'de vuurpaniek van Galung Galung'. Maar bij navraag in het dorp Galung Galung, 60 jaar later, verwijzen de bewoners naar 15 kilometer verderop: het bloedbad had plaats in Galung Lombok! Zestig jaar lang de verkeerde naam, het verkeerde dorp... De getuigen wijzen niet alleen de exacte geografische locatie aan, maar kleuren het schrikwekkende beeld dat uit de officiële rapporten opdoemt met nog gruwelijker details; vermoorde kinderen...daar maakten de rapporten geen melding van. Het zou, gezien de vastgestelde vergissing in de plaatsnaam, toch waar kunnen zijn. Misschien weer iets dat 'buiten de boekjes bleef...'.

-------------------------------------


Officiële rapporten

Tegen instructie en gewoonte in maakte KNIL-majoor J. Stufkens geen rapport op van wat er gebeurd was op de rijstakker. De gebeurtenissen in Galung Lombok zijn pas later gereconstrueerd. Maar toen was onderluitenant Vermeulen al lang weg van Celebes. Hij verliet op 5 februari 1947, dus vlak na het drama in Galung Lombok, het eiland en ging (op verlof?) naar Java. Westerling beweerde later dat hij Vermeulen had weggezonden nadat hem de laatste gruwelijkheden ter ore waren gekomen maar dat is niet zwart op wit vastgelegd. Niets in de officiële papieren duidt erop dat de gebeurtenissen in Galung Lombok destijds voor commotie zorgden.

Geruchten van bestuursambtenaren over het optreden van KNIL-militairen (en dus niet van het Depot Speciale Troepen!) te Paré Paré deden procureur-generaal Felderhof te Batavia vrezen dat "het plegen van dergelijke excessen weleens waarheid" zou kunnen zijn. Hij vroeg daarover op 7 februari aan Veldhuis, de officier van justitie te Makassar, opheldering. Nogmaals, Galung Lombok was daarbij niet in het geding, het ging om eerdere acties. Terwijl het antwoord van Veldhuis uitbleef, stroomden meer geruchten bij Felderhof binnen. Dat had tot gevolg dat Felderhof op 21 februari een vergadering met generaal Spoor en generaal-majoor Buurman van Vreeden bijeenriep. Opeens gingen de ontwikkelingen snel: de vergadering besloot het noodrecht, dat juist na het drama Galung Lombok was toegekend aan alle officieren, in te trekken. Tegelijkertijd werd kolonel De Vries opgedragen het vertrek van het Depot Speciale Troepen voor te bereiden. Op 4 maart was het zover: Westerling vertrok van Zuid-Celebes, uitgewuifd door enkele duizenden inwoners die 'spontaan'naar de haven waren gekomen.

Inmiddels waren geruchten over het optreden van het Depot Speciale Troepen tot Nederland doorgedrongen. Er werden kamervragen gesteld. Een onderzoekscommissie onder leiding van mr. Enthoven moest de kwestie onderzoeken. Na anderhalf jaar, eind 1948, meldde het eindrapport van de commissie dat er sprake was van excessen. Zo waren o.a. de gebeurtenissen te Galung Galung (sic!) volgens de commissie te ernstig om géén strafvervolging in te stellen. Generaal Spoor en Van Mook waren het hiermee eens en het kabinet in Den Haag stemde in met een gerechtelijk vooronderzoek. Raadsheer-commissaris G.L. Paardekooper werd hiermee belast. Dat onderzoek lag in de herfst van 1949 ter tafel, vlak voor de souvereiniteitsoverdracht. Volgens afspraak zouden de lopende zaken van het Indisch Militair Gerechtshof worden overgedragen aan Nederland. Maar met het rapport Paardekooper gebeurde dat niet. Waarschijnlijk omdat het politiek te gevoelig lag. Het rapport kwam niet naar Nederland, de Nederlandse vertegenwoordiging in Indonesië liet weten dat het "te dik was om er een afschrift van te maken". Daarop besloot KVP-minister Van Maarsseveen van verdere vervolging af te zien; zonder dossier was er geen beginnen aan.

Ondertussen bleef de kamer aandringen en werd een tweede onderzoekscommissie uitgezonden. De juristen Mr. Van Rij en Mr. Stam kregen de opdracht volledig verslag uit te brengen van de gebeurtenissen op Celebes ten tijde van het standrecht. Tijdens hun onderzoek bleek bewijsmateriaal verdwenen. Toch verzamelden Van Rij en Stam veel getuigenissen en feiten. Pas in augustus 1954 brachten ze hun vernietigende rapport uit. Vermeulen, Ryborz en Stufkens waren verantwoordelijk voor misstanden, maar zij niet alleen. Volgens de juristen konden ook "de burgerlijke autoriteiten, die hun handelingen goedkeurden, verzwegen, aanmoedigden of door de vingers zagen" niet buiten schot blijven. Het rapport werd aangeboden aan het derde kabinet Drees. Eerder al had Drees laten weten niet voor de vervolging van Westerling te voelen. Zo'n affaire zou, kort na de overdracht, te veel politiek gevoelig stof doen opwaaien. En hoe zou de ministerraad het kunnen verantwoorden om Westerling buiten vervolging te stellen en de drie andere mannen wel aan te klagen?

Zo verdween de hele affaire Celebes in een la. Het rapport Van Rij Stam werd niet openbaar gemaakt. Pas in 1969, toen een tv-uitzending van Achter het Nieuws de wandaden in Indonesië oprakelde, kwamen de conclusies van het rapport naar buiten. De uitzending leidde tot publieke verontwaardiging en een nieuw onderzoek: de excessennota. Celebes was daarin slechts een klein onderdeel, want het onderzoek betrof alle wandaden die in het naoorlogse Indonesië onder Nederlandse verantwoordelijkheid waren gepleegd. Consequenties had de nota verder ook niet, behalve dat Westerling in de discussie voor velen het symbool werd van alle excessen die in voormalig Nederlands-Indië hadden plaatsgevonden. Opnieuw ging de kwestie daarmee in feite in de doofpot.

Tekst: Karin van den Born
Research: Karin van den Born en Maarten Hidskes
Regie en samenstelling: Erik Willems

=============================================
Terjemahan

Sejarah 18 Januari 2007

Maut mengancam di Sulawesi

Siaran Nederland 2, pukul 21:25
Malam ini siaran bagian kedua dari dua serangkai mengenai Sulawesi Selatan. Aksi pembersihan yang mengenaskan oleh Depot Pasukan Khusus, tepat 60 tahun yang lalu, benar2 tidak lagi terkendalikan setelah Komandan Westerling memecah pasukannya. Pasukan berjumlah 60 orang dibawah pimpinan Pembantu Letnan J.B. Vermeulen yang menangani bagian utara daerah itu melakun ekses-ekses yang teramat sangat kejamnya.

Akan ditampilkan pula para saksi yang masih hidup yang akan menuturkan hal-hal yang sangat mengejutkan mengenai tindak-tanduk militer Belanda. Pasukan Komando dibawah pimpinan Westerling tersebut dikirim ke Sulawesi Selatan karena situasi disana dirasakan tidak lagi terkendalikan. Maut mengancam di segala penjuru, gerombolan berkelana kesan-kemari melakukan berbagai bentuk kekerasan.

Westerling mendapat mandat dari atasannya untuk menumpas gerombolan-gerombolan tersebut dengan segala cara. Cara yang dipilihnya adalah dengan eksekusi para tersangka di tempat, namun selang beberapa waktu, ketelitian pemeriksaan semakin memudar. Akhirnya, sebagaimana nyata dari pemeriksaan oleh otorita Belanda maupun dari kesaksian-kesaksian, aksi-aksi pembersihan tersebut serta merta berubah menjadi pembunuhan masal.

Bahkan, pada tanggal 1 Februari 1947 terjadi pembunuhan 364 orang ketika militer Belanda secara membabi buta menembaki kerumunan orang. Menurut laporan dari dua kali pemeriksaan oleh komisi resmi Belanda diawal tahun ‘50-an, tempat kejadian itu di desa Galung Galung. Pembuat dokumenter Erik Willems dari “Andere Tijden” (wartawan yang pertama kalinya berkunjung ke lokasi), menemukan kekeliruan tempat; ternyata tidak pernah ada pemeriksaan atas kejadian itu di lokasi. Ternyata tempat kejadian adalah Galung Lombok. 

Tidak ada orang Belanda yang pernah dihukum atas kejadian tersebut. Westerling dinyatakan kebal hukum karena menjalankan perintah atasan sehingga pemeriksaan terhadap bawahannya pun dihentikan di awal tahun 50-an.

------------------------------------------

Diterjemahkan oleh Rudolph Baer

********


Sumber:  Harian TROUW


geschiedenis 18 januari 2007

Op Celebes was niemand zijn leven zeker

Nederland 2, 21.25 uur
Vanavond het tweede deel van het tweeluik over Zuid-Celebes. De beruchte zuiveringsacties van het Depot Speciale Troepen in Zuid-Celebes, dezer dagen precies zestig jaar geleden, liepen écht uit de hand toen commandant Raymond Westerling zijn troepen opsplitste. Bij de groep van ongeveer 60 man die onder onderluitenant J.B. Vermeulen het noordelijk terrein van de operaties bestreek, hebben zich zeer ernstige excessen voorgedaan.

Ook komen ooggetuigen en overlevenden in Indonesië aan het woord, die schokkende verhalen vertellen over het optreden van de Nederlandse soldaten.

De commando’s onder Westerling waren naar Zuid-Celebes gestuurd omdat de toestand daar onhoudbaar was. Niemand was zijn leven meer zeker, plunderende en rovende benden trokken rond en pleegden allerlei vormen van geweld.

Westerling kreeg van zijn superieuren volmachten om daar met alle middelen tegen op te treden. Hij koos voor het standrechtelijk executeren van verdachten, maar na verloop van tijd werd de nauwkeurigheid bij het onderzoek almaar kleiner. En op het laatst, zo blijkt uit Nederlands onderzoek en uit ooggetuigeverslagen, liepen de acties uit op regelrechte moordpartijen.

Op 1 februari 1947 zijn zelfs 364 doden gevallen toen de soldaten in het wilde weg op een menigte mannen begon te schieten. Volgens Nederlandse rapporten – er zijn twee onderzoekscommissies op pad gestuurd in begin jaren vijftig – gebeurde dat in het dorpje Galoeng Galoeng. Documentairemaker Erik Willems van Andere Tijden (de eerste journalist die daar ooit geweest is) ontdekte dat zij zich in de plaats vergist hadden omdat ze nooit ter plaatse onderzoek hadden ingesteld: het bleek om de plaats Galoeng Lombok te gaan.

Geen van de betrokken Nederlanders is ooit gestraft voor deze gebeurtenissen. Westerling is buiten vervolging gesteld omdat hij in opdracht handelde en tegen enige ondergeschikten is de vervolging begin jaren vijftig gestaakt.





Tuesday, January 15, 2013

PANCA PILAR KEHIDUPAN BERNEGARA, BERBANGSA DAN BERMASYARAKAT. PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945. PILAR PERTAMA BANGSA INDONESIA


Catatan Batara R. Hutagalung
Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR) tengah mensosialisasikan Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

Saya menilai, landasan teoritis penyusunan empat pilar kurang kuat, landasan filosofisnya lemah, dan landasan historisnya kelihatannya terabaikan.

Dalam beberapa diskusi dengan teman-teman sering saya sampaikan, bahwa apabila memang akan “dibangun” pilar untuk Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, juga harus melihat historisnya berdirinya Republik Indonesia. Secara logika, empat pilar yang digagas tersebut tidak akan ada, seandainya tidak ada Proklamasi 17.8.1945.

Memang kesadaran berbangsa dan bernegara selama ini yang semakin pudar dan hilangnya nasionalisme menjadi kegundahan kita semua. Mungkin ini yang menyebabkan pejabat-pejabat negara tergopoh-gopoh dan dengan ceroboh menyusun dengan tidak cermat dasar-dasar berbangsa dan bernegara, sehingga mengabaikan landasan historis berdirinya Republik Indonesia.

Tulisan ini masih merupakan kerangka pemikiran untuk mendapatkan input, dan yang sedang saya elaborasi lebih lanjut.

Yang akan saya tambahkan a.l.: Munculnya kecenderungan untuk kembali melakukan glorifikasi terhadap empat pilar yang telah disosialisasikan, seperti glorifikasi Pancasila  (P4) di zaman Orde Baru dan TUBAPIN di zaman “orde lama.” Beberapa pejabat/kepala daerah mulai “jual kecap” tentang hal-hal dan kondisi yang ideal (das Sollen) yang dibayangkannya (Wunschdenken) yang sebenarnya sangat jauh dari realita.

Sedangkan realitanya (das Sein), masyarakat ini sedang mengalami krisis moral yang sangat parah, apalagi melihat “kenakalan” para penyelenggara negara: banyak anggota Dewan Yang Terhormat melakukan KKN dan selingkuh; "wakil Tuhan" (hakim) “nakal” memalsukan putusan MA yang mengurangi hukuman bandar narkoba, hakim berpesta narkoba, hakim perempuan selingkuh, jaksa perempuan menjual lebih dari 300 butir pil ekstasi barang bukti, karena ingin memiliki HP Blackberry, dll “kenakalan” para pejabat. Yang terakhir adalah pernyataan yang sangat tidak pantas yang diucapkan oleh seorang "wakil Tuhan" yang ingin menjadi "Wakil Tuhan Agung", alias hakim agung, yang mengatakan bahwa pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati.

Dulu waktu di sekolah Dasar/Sekolah Rakyat, kita membaca mengenai “Si Kancil Anak Nakal, Suka Mencuri Ketimun”, sekarang kita menghadapi poli-tikus, alias tikus-tikus raksasa yang menggerogoti uang rakyat dan para penyelenggara serta tokoh-tokoh yang "nakal."

Menurut pendapat saya, Panca Pilar masih harus diperjuangkan untuk realisasinya, dalam kerangka Nation and Character Building. Melihat kondisi bangsa saat ini, saya melihat konsep Nation and Character Building, yang terhenti tahun 1965/1966, dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang, sangat perlu dilanjutkan.

Pada 3 April 2014 Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjatuhkan putusan, bahwa Frasa PILAR tidak boleh digunakan. 

Kemudian  digunakan Frasa EMPAT KONSENSUS.

Mohon tanggapan.

Salam,

Batara R. Hutagalung

Weblogs:

==========================================================



Panca Pilar Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat

PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
PILAR PERTAMA BANGSA INDONESIA

Oleh Batara R. Hutagalung

Pendahuluan
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), terutama kepada pimpinan MPR yang telah mencetuskan gagasan untuk merumuskan ‘Empat Pilar (Konsensus) Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’, namun mengingat pentingnya masalah yang perlu dikemukakan agar dalam merumuskan Pilar Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat, benar-benar sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar ’45 dan melanjutkan semangat para pendiri bangsa untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan dengan mendirikan satu negara yang merdeka dan berdaulat, serta tidak melupakan pengorbanan rakyat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka disampaikan pemikiran berikut ini untuk menyempurnakan rumusan Pilar/Konsensus Kehidupan Bernegara, Berbangsa dan bermasyarakat.

Di era demokrasi dan kebebasan berpendapat, tentu setiap warganegara berhak   menyampaikan pendapatnya, dan ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Memang pendapat dari rakyat biasa, kalau berbeda apalagi bertentangan dengan pendapat resmi yang dikeluarkan oleh suatu lembaga negara, tentu sangat sulit untuk disosialisasikan, karena hampir tidak ada penguasa yang mau mengakui kekeliruannya.

Mungkin ada kalangan di Indonesia yang masih ingat di zaman kekuasaan kelompok yang menamakan dirinya “Orde Baru”, dan era kepemimpinan Sukarno oleh penguasa “Orde Baru” dinyatakan sebagai “Orde Lama”, di mana penguasa menjadi pemilik tunggal kebenaran. Termasuk memberikan interpretasi terhadap dasar negara, Pancasila, dan kemudian tafsir tunggal tersebut disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia, dengan berbagai cara, termasuk memaksakan kehendak penguasa.

Di era Sukarno, sosialisasi tafsir Pancasila termasuk dalam yang dinamakan “Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi” (TUBAPIN), dan penguasa memperkenalkan “Demokrasi Terpimpin” (guided democracy). Sedangkan di era Suharto sosialisasi tafsir tunggal Pancasila disampaikan dalam bentuk yang disebut sebagai penataran “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).” Penguasa Orde Baru  memperkenalkan “Demokrasi Pancasila”, di mana dinyatakan antara lain, bahwa dalam “Demokrasi Pancasila” tidak dikenal oposisi!

Suharto, sebagai pemimpin Orde Baru digulingkan oleh yang menamakan dirinya “Orde Reformasi” pada 21 Mei 1998. Setelah berjalan 14 tahun, masih belum jelas di bidang mana atau apa yang telah direformasi. Sebagian besar penguasa Orde Reformasi adalah wajah-wajah lama yang telah berjaya di zaman Orde Baru, dan bahkan beberapa orang telah berjaya sejak zaman Orde Lama. Selain itu, ada kelompok manusia yang ikut memperngaruhi jalannya pemerintahan, yang di zaman apapun, baik di zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, maupun di zaman kemerdekaan sampai sekarang, selalu berada di lingkungan penguasa. Ini biasanya kelompok pengusaha dan kaum oportunis.

Sejak runtuhnya kekuasaan Orde baru, setidaknya rakyat telah lebih bebas untuk menyatakan pendapatnya. Walaupun semua boleh berpendapat apapun, namun yang memiliki kekuasaan dan kewenangan masih merasa paling pintar dan pemilik kebenaran tunggal. Tetapi rakyat Indonesia sekarang sudah sangat cerdas, dan tidak dapat lagi dibodoh-bodohi oleh penguasa yang berperilaku seolah-olah menjadi pemilik tunggal kebenaran dan mempunyai hak untuk memaksakan tafsir tunggal kepada rakyat.


Dasar menetapkan Empat "Pilar"
Sejak beberapa tahun belakangan, MPR gencar memperkenalkan dan menyosialisasikan EMPAT PILAR Kehidupan berbangsa dan Bernegara. Empat Pilar tersebut, sebagaimana terpampang di situs MPR, adalah:
v     Pancasila,
v     Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 (UUD ’45),
v     Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
v     Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam pengantar untuk sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, Syamsul Maarif, SS menjelaskan[1]:

“… Setelah ada amanat UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD pasal 15 ayat 1 hurup e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang-Undang Dasar. Sertamerta berbagai wacana baik dari unsur pemerintahan maupun organisasi politik dan kemasyarakatan, mulai mengungkap bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat kesepakatan yang disebut sebagai empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Empat pilar ini adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pilar adalah tiang penyangga suatu bangunan agar bisa berdiri secara kokoh. BIla tiang ini rapuh maka bangunan akan mudah roboh.

Empat tiang penyangga ditengah ini disebut soko guru yang kualitasnya terjamin sehingga pilar ini akan memberikan rasa aman tenteram dan memberi kenikmatan.

Empat pilar itu pula, yang menjamin terwujudnya kebersamaan dalam hidup bernegara. Rakyat akan merasa aman terlindungi sehingga merasa tenteram dan bahagia.

Empat pilar tersebut juga fondasi / dasar dimana kita pahami bersama kokohnya suatu bangunan sangat bergantung dari fondasi yang melandasinya. Dasar atau fondasi bersifat tetap, statis sedangkan pilar bersifat dinamis.

Salah satu tugas dari MPR adalah Sosialisasi Empat pilar bernegara yang diamanatkan dalam UU No 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 15 ayat (1) huruf e, yakni mengkoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan Undang Undang Dasar ...”

Tidak salah menetapkan empat pilar tersebut sebagai pilar kebangsaan. Namun apabila ditinjau kebih dalam lagi, ada satu pilar yang dilupakan, yaitu Proklamasi 17 Agustus 1945. Mungkin karena para penyusun rumusan empat pilar kurang mengerti mengenai makna dan arti penting proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika dinyatakan sebagai harga mati untuk bangsa Indonesia. Apakah dengan demikian, Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan harga mati yang harus dipertahankan dan diperjuangkan?


Proklamasi 17 Agustus 1945. Pilar/Konsensus Pertama

Para pendiri dan penyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dalam pembukaan UUD merumuskan sebagai berikut:

Pembukaan UUD 1945

"… Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :

v     Ketuhanan Yang Maha Esa,
v     kemanusiaan yang adil dan beradab,
v     persatuan Indonesia, dan
v     kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
v     serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Demikian Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang kemudian dinyatakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945 (UUD ’45).

Pada 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan rumusan untuk dasar dari negara Republik Indonesia, yang akan dibentuk. Demikian juga Mr. Muhamad Yamin yang menyampaikan secara lisan. Setelah mengalami beberapa perubahan, akhirnya diterima rumusan yang sampai sekarang dinyatakan sebagai dasar negara Republik Indonesia, yaitu:

v     Ketuhanan Yang Maha Esa,
v     kemanusiaan yang adil dan beradab,
v     persatuan Indonesia, dan
v     kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan,
v     serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Sukarno mengatakan, bahwa seorang temannya yang ahli bahasa menyarankan untuk menamakan lima dasar negara ini Pancasila, yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya lima dasar.

Sebelum digunakan oleh Sukarno, Pancasila telah dikenal di kalangan ummat Buddha sejak lebih dari 2.500 tahun, sebagai lima dasar kehidupan agama Buddha. 5 sila dalam Pancasila Buddhis (dalam bahasa Pali) yaitu:
v     Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
v     Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
v     Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.
v     Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.
v     Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.

Pancasila Buddhis tersebut berlaku untuk masyarakat luas penganut agama Buddha, sedangkan untuk para Bhikku dan Bhikkuni berlaku Dasasila (10 sila).

Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan keberagaman –dan diharapkan- menjadi simbol kerukunan bangsa Indonesia, merujuk kepada kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular,  yang hidup  di masa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14, yang menggambarkan kehidupan yang damai dan rukun masyarakat di Kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sebagian beragama Hindu aliran Siwaisme dan sebagian lagi beragama Buddha.

Kalimat yang menjadi rujukan di sini tertera dalam yang dinamakan pupuh 139, bait 5. yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno sebagai berikut:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
(Konon Buddha dan Siwa merupakan dua unsur yang berbeda)

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,      
(Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?)

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, 
(Sebab kebenaran Jina/Buddha dan Siwa adalah tunggal)

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.        
(Terpecah belahlah itu, tidak ada dharma/kebenaran yang mendua)

Dasar pemikiran Mpu Tantular nampaknya bertitik tolak dari prinsip harmoni Jawa untuk menghindari konflik, dan kemudian mengasumsikan bahwa walaupun Siwa dan Buddha berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah satu. Namun apabila diteliti lebih lanjut, ajaran Buddha tidak dapat disatukan atau disamakan dengan ajaran Hindu, karena ajaran Buddha justru meniadakan dewa-dewa Hindu ternasuk Siwa, dan Buddha bukanlah Dewa seperti dalam ajaran Hindu atau Jahwe/Tuhan/Allah dalam ajaran Yahudi, Kristen dan Islam. Buddha adalah penamaan untuk seorang manusia yang telah mencapai kesempurnaan, dan tidak lagi mengalami siklus lahir, dewasa, mati dan kemudian mengalami reinkarnasi (rohnya lahir/menitis kembali) lagi. Sidharta Gautama yang dinyatakan sebagai pendiri agama Buddha, bukanlah Buddha pertama dan juga bukan Buddha terakhir. Menurut ajaran Buddha, akan datang lagi Buddha Maitreya, atau Buddha Welas Asih (Kasih Sayang).

Para pendiri bangsa Indonesia sepakat menerima usulan untuk menggunakan kalimat Bhinneka Tunggal Ika, yang mencoba menggambarkan perbedaan dan keSATUan Siwa – Buddha, untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki  keanekaragaman etnis/suku, agama, budaya dll. Dengan kata lain, Bhinneka Tunggal Ika kini diartikan sebagai: “Walaupun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda baik, etnis/suku, agama dan budaya, tetapi kini terhimpun sebagai satu kesatuan.”

Dengan mengacu kepada Pembukaan Undang-Undang Dasar, maka kedudukan proklamasi kemerdekaan terletak paling depan, sehingga apabila akan meletakkan dasar-dasar berbangsa dan bernegara, sudah seharusnya Proklamasi 17.8.1945 juga mendapat tempat pertama.


Latar Belakang Sejarah

Bangsa Belanda datang ke Nusantara, awalnya untuk berdagang, namun dalam perjalanan sejarahnya berubah menjadi penjajah, yang menguasai berbagai wilayah di Nusantara melalui kekuatan militernya. Pada 20 Maret 1642, para pedagang Belanda mendirikan kongsi dagang yang dinamakan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang mendapat piagam (Oktrooi) dari pemerintah Belanda waktu itu (Staaten General), untuk a.l.:[2]
  1. Memiliki tentara sendiri,
  2. Mencetak mata uang,
  3. Menyatakan perang terhadap suatu negara.

Dengan demikian, VOC bukan kongsi dagang biasa, melainkan sudah menyerupai satu negara. Dengan berbagai cara, VOC dapat menguasai beberapa wilayah di Nusantara, dan kemudian menyatakan bahwa wilayah-wilayah yang dikuasainya itu sebagai milik VOC. Di zaman VOC ini tahun 1642 secara resmi diberlakukan perbudakan, dan undang-undang perbudakan. Belanda menjadi salahsatu pedagang budak terbesar di dunia. Selain dari perdagangan umum, perdagangan budak menyumbang dana yang tidak sedikit untuk APBN  Belanda.

Awalnya, Belanda bersaing ketat dan kejam dengan beberapa negara Eropa dalam menguasai perdagangan di Asia Tenggara, yaitu Spanyol, Portugal dan Inggris. Mereka saling merampok dan membunuh untuk menjadi penguasa tunggal di kawasan yang kaya akan rempah-rempah, yang waktu itu sangat mahal di Eropa. Namun perlahan-lahan, ketiga pesaing tersebut berhasil disingkirkan oleh Belanda.

Karena praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang menyebabkan kebangkrutan kongsi dagang terbesar di dunia waktu itu, piagam VOC tidak diperpanjang oleh pemerintah Belanda, dan pada 31 Desember 1779 VOC dibubarkan. Sejak itu, singkatan VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie, artinya runtuh karena korupsi! Wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh VOC, diambilalih oleh pemerintah Belanda dan kemudian dinyatakan sebagai provinsi seberang lautan yang dinamakan Nederlands Indië (India Belanda). Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797 – 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah Nederlands Indië (India-Belanda) pertama (1800 – 1801).


Sejak itu, penguasaan atas wilayah-wilayah di bumi Nusantara dilakukan secara sistematis, sehingga di awal abad 20, hampir seluruh wilayah di Asia Tenggara dikuasai oleh Belanda, dengan beberapa pengecualian, yaitu beberapa wilayah yang menjadi jajahan Inggris dan Portugal.

Setelah perang Napoleon di Eropa, Bengkulu masih jajahan Inggris dan Singapura adalah jajahan Belanda. Tahun 1824 Inggris dan Belanda melakukan ruilschlag (tukar guling), sehingga kemudian Bengkulu menjadi jajahan Belanda dan Singapura menjadi jajahan Inggris. Di Kalimantan dan Irian, Inggris dan Belanda sepakat untuk berbagi, dan di Timor, Belanda dan Portugal sepakat untuk membagi dua pulau tersebut.

Membagi-bagi negara-negara  di Asia, Afrika dan Amerika Selatan menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa, dilakukan hingga pecahnya Perang Dunia I. Tidak ada satupun hukum internasional yang memberi legitimasi kepada satu bangsa atau negara untuk menguasai, menjajah bangsa lain, merampok dan kemudian memperbudak manusia, seperti yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa termasuk Belanda, selama ratusan tahun. Yang ada hanyalah berdasarkan atas kekuatan seperti halnya hukum rimba, yaitu siapa yang lebih kuat memangsa yang lebih lemah.

Penjajahan Belanda di beberapa wilayah di Nusantara, berlangsung lebih dari 300 tahun, seperti di Jayakarta, yang setelah dikuasai oleh Belanda tahun 1919, namanya diganti menjadi Batavia,[3] demikian juga di wilayah Kepulauan Banda. Namun di beberapa daerah seperti Aceh, Batak, Bali, kekuasaan Belanda hanya sekitar 30 tahun saja, sampai 9 Maret 1942. undang-undang perbudakan di India Belanda baru dihapus tahun 1860, namun praktek perbudakan masih berlangsung terus sampai akhir abad 19. Penjajahan Belanda tidak sepenuhnya berlangsung dengan mulus, namun diselingi oleh kekuasaan Inggris antara tahun 1911 – 1816.[4]

Perang Dunia di Eropa pecah pada bulan September 1939, dan di Asia, yang kemudian dikenal sebagai Perang Pasifik, dimulai dengan penyerangan tentara Jepang terhadap pangkalan tentara Amerika Serikat di Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Satu persatu negara-negara di Asia tenggara yang waktu itu adalah jajahan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, jatuh ke tangan balatentara Dai Nippon.

Penyerbuan tentara Jepang ke Asia tenggara diakhiri dengan penyerbuan ke pulau Jawa pada 1 Maret 1942. Pada 9 Maret 1942 di Kalijati, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi tentara Belanda di India-Belanda, mewakili Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat (unconditional surrender). Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya kepada Jepang.

Dengan demikian, tanggal 9 Maret 1942 juga merupakan tanggal resmi berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Sejak tanggal tersebut, Belanda telah kehilangan haknya atas wilajah India-Belanda. Berakhir sudah hak Belanda atas jajahan yang diperolehnya berdasarkan hukum rimba, yaitu siapa yang kuat, memangsa yang lemah. Belanda kalah kuat melawan agresi Jepang, dalam mempertahankan mangsanya/ jajahannya.[5]

Mengenai hilangnya “hak sejarah” Belanda atas Republik Indonesia, diterangkan oleh Lambertus Nicodemus Palar,[6] Ketua delegasi RI di PBB, dalam Memorandum yang disampaikan di sidang Dewan Keamanan pada 20 Januari 1949, ketika Belanda melancarkan agresi militernya kedua yang dimulai pada 19 Desember 1948. Memorandum yang sangat mengagumkan tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut:

“…Tanpa sama sekali mempedulikan kenyataan dan kemajuan sejarah, Belanda tetap memegang pendiriannya bahwa masalah Indonesia merupakan masalah dalam negerinya dan bahwa adanya Republik itu adalah sesuatu yang illegal, yang harus dilenyapkan selekas-lekasnya. Sehubungan dengan ini, Belanda sekarang ini melakukan politik obstruktif dengan berusaha mengenyampingkan KTN (Komisi Tiga Negara yang dibentuk Dewan Keamanan PBB setelah agresi miliiter Belanda pertama yang dilancarkan oleh tentara Belanda pada 21 Juli 1947, 4 bulan setelah diratifkasinya Persetujuan Linggajati) dalam menyelesaikan masalah Indonesia. Sebaliknya, Pemerintah Republik selalu memegang pendirian bahwa maslah Indonesia harus diselesaikan di bawah pengawasan Dewan Keamanan dan dengan perantaraan KTN, karena inilah satu-satunya jaminan bahwa Belanda tidak akan menyalahi persetujuan dan mencari penyelesaian secara unilateral ...

Bahwasanya menurut sejarahnya RI bukanlah terlahir sebagai hasil suatu pemberontakan terhadap Belanda, melainkan lahir sesudah Belanda bulat-bulat menyerahkan Indonesia kepada Jepang, dengan tidak sedikit juga pun ada bayangannya untuk mencoba mempertahankannya ...

… Sesudah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa  bersyarat kepada Jepang, maka rakyat Indonesia memutuskan untuk memegang strateginya sendiri. Berdasarkan strategi ini, maka pemimpin-pemimpin Indonesia memandang pemerintah balatentara Jepang sebagai sesuatu yang bersifat sementara saja, karena tidak seorangpun di antara mereka yang berpikiran bahwa Jepang akan sanggup mengalahkan Sekutu, terutama sekali Amerika, Rusia dan Inggeris ...

Kami menolak tuntutan Belanda, bahwa mereka mempunyai hak historis atas Indonesia. Hak historis yang dituntutnya itu telah hancur pada saat mereka memperlihatkan ketidakmampuan mereka memikul tanggung-jawabnya atas Indonesia.

Dari segala segi, "hak sejarah" yang didasarkan atas kekuasaan dan penindasan tidaklah sesuai lagi dalam suatu dunia yang mengagung-agungkan kemerdekaan...”

Demikian a.l. isi Memorandum delegasi RI dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu (allied forces). Pernyataan ini sekaligus menandai berakhirnya Perang Pasifik, yang juga berarti berakhirnya Perang Dunia II yang dimulai di Eropa tahun 1939. Sebelumnya, pada 5 Mei 1945 Jerman menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu, yang menandai berakhirnya perang di Eropa.

Pemerintah India Belanda dan kekuasaan Belanda di Bumi Nusantara telah berakhir pada 9 Maret 1942, dan kemudian Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945. Namun dokumen menyerah tanpa syarat secara resmi baru ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945, di atas kapal perang Amerika Serikat, Missouri, di Tokyo Bay, sehingga terjadi vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh tentara Jepang, termasuk Nederlands Indië (India Belanda).

Di masa vacuum of power tersebut, pada 17 Agustus 1945 para pemimpin bangsa Indonesia mengambil inisiatif untuk menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus mengangkat Ir. Sukarno sebagai Presiden RI serta Drs. M. Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Kemudian pada 2 September 1945, dibentuk kabinet pemerintah RI pertama. Dengan demikian, pembentukan negara Republik Indonesia sah sesuai dengan Konvensi Montevideo, yang ditandatangani oleh 20 negara di Montevideo, Ibukota Uruguay, pada 26 Desember 1933.[7]

Penetapan batas negara dinyatakan seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indië. Penetapan ini juga berdasarkan kesepakatan internasional, Utti possidetis iuris, yaitu seluruh wilayah yang pernah dikuasai oleh penguasa sebelumnya, dikuasai oleh penguasa penerusnya.)

Bangsa Indonesia adalah bangsa terjajah pertama yang menyatakan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai. Setelah itu menyusul bangsa Vietnam, yang menyatakan kemerdekaannya pada 2 September 1945.

Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, dan berusaha menjajah kembali. Namun setelah usai Perang Dunia II, Belanda tidak lagi memiliki angkatan perang yang kuat. Angkatan perangnya di Belanda dihancurkan oleh tentara Jerman dalam waktu tiga hari, dan di India Belanda, tentara KNIL dihancurkan oleh tentara Jepang. [8]

Pada 24 Agustus 1945 di Chequers, dekat London, Inggris, pemerintah Belanda mengadakan perundingan dengan pemerintah Inggris, untuk meminta bantuan Inggris menguasai kembali wilayah bekas jajahannya. Inggris menyatakan kesediannya untuk membantu Belanda dengan kekuatan militer Ingris. Kesediaan Inggris dituangkan dalam perjanjian yang dinamakan Civil Affairs Aggreement (CAA), di mana tentara Inggris akan “membersihkan” wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dan setelah “dibersihkan”, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). [9]

Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command (Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara) ditugaskan untuk melaksanakan perjanjian Chequers tersebut. Dia menyatakan memerlukan enam divisi untuk pelaksanaan tugasnya. Karena hanya tersedia tiga British Indian Divisions di bawah komandonya, maka dia dibantu oleh dua divisi tentara Australia di bawah komando Letjen Leslie (Ming the merciless) Morsehead.

Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1.       Melucuti tentara Jepang serta  mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2.       membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia,
3.       serta menciptakan  keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).

Namun ternyata ada agenda rahasia (hidden agenda) dalam tugas yang diberikan kepada pasukan Inggris yang mewakili tentara Sekutu, yaitu melaksanakan persetujuan Chequers seperti telah disebutkan di atas. Akibat perjanjian ini, maka dalam pelaksanaannya, untuk “membersihkan” kekuatan bersenjata Republik Indonesia, tentara Inggris telah banyak melakukan kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa di kalangan rakyat Indonesia, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Di Surabaya saja, selama pertempuran 28/29 Oktober, dan pemboman kota Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu pada bulan November, korban jiwa diperkirakan lebih dari 20.000.

Untuk mengganti tentara Inggris dan Australia yang ditarik dari Indonesia akhir tahun 1946, Belanda mengirim lebih dari 150.000 tentara dari Belanda (KL - Koninklijke Landmacht), dan merekrut sekitar 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Landmacnt).

Bangsa Indonesia masih harus berperang selama hampir lima tahun, untuk mempertahankan kemerdekaannya. Agresi militer Belanda –yang dibantu oleh Inggris dan Australia- di Indonesia berakhir dengan dicapainya kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada bulan November 1949, di mana disepakati a.l.:
  1. Dibentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari 16 negara bagian,
  2. Dibentuk Uni Belanda – Indonesia, di mana Ratu Belanda adalah kepala Uni Belanda – RIS,
  3. Integrasi mantan tentara KNIL ke dalam tubuh TNI,
  4. RIS yang dipandang sebagai kelanjutan dari India belanda, harus menanggung utang India Belanda kepada pemerintah Belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya dua agresi militer Belanda yang dilancarkan terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948. Pemerintah RIS, dan kemudian setelah RIS dibubarkan, dilanjutkan oleh pemerintah RI, telah membayar sebesar 4 milyar gulden, dan dihentikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia tahun 1956.[10]
  5. Masalah Irian Barat ditunda pembicaraannya, sehingga dalam RIS Irian barta tidak termasuk sebagai bagian dari RIS. Krena Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI, maka akhir tahun 50-an, timbul konfrontasi antara RI dengan Belanda. Dengan difasilitasi oleh PBB, tahun 1969 dilaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian Barat, yang hasilnya menetapkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia. Untuk pemerintah Belanda, yang diakui secara yuridis adalah RIS, di mana Irian Barat tidak termasuk di dalamnya. Tahun 2000, pemerintah Belanda menugaskan pakar sejarah, Prof. Dr. Pieter Drooglever untuk meneliti ulang mengenai PEPERA. Setelah melakukan penlitian selama 5 tahun dengan biaya yang sangat besar, Drooglever menerbitkan laporannya dalam bentuk buku setebal lebih dari 700 halaman. Dengan satu kalimat, Drooglever menyebut, bahwa PEPERA tersebut adalah suatu lecurangan besar. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, mengapa Belanda, setelah lebih dari 30 tahun, di tengah-tengah permasalahan yang dihadapi Indonesia di Irian Barat, mengangkat kembali peristiwa ini.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, setelah berdiri pada 27 Desember 1949, 15 negara bagian dibubarkan atau membubarkan diri, dan bergabung dengan Republik Indonesia.

Tahun 1956 melalui UU No. 13/1956, Pemerintah RI menyatakan pembatalan KMB dan pembatalan Uni Belanda – Indonesia. Salahsatu butir yang sangat merugikan pemerintah RI adalah adanya ketentuan, bahwa apabila ingin melakukan hubungan dengan negara lain, RI harus mendapat persetujuan dari pemerintah Belanda.[11]

Peristiwa pemboman Surabaya November 1945, pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa, Bandung Lautan Api, Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan/Barat, Pembantaian di Rawagede, Gerbong Maut Bondowoso, Pembantaian di Kranggan (Jawa Tengah), pembantaian di “Jembatan Ratapan Ibu” di Payakumbuh (Sumatera Barat), dll., tidak akan terjadi, seandainya tidak ada konspirasi Belanda – Inggris dan Australia yang tertuang dalam Civil Affairs Agreement CAA), yang ditandatangani oleh pemerintah Inggris dan Belanda di Chequers, dekat London pada 24 Agustus 1945, di mana Inggris menyatakan kesediaannya membantu Belanda memperoleh kembali Indonesia sebagai jajahannya.

Dalam mempertahankan kemerdekaan sejak Agustus 1945, diperkirakan sekitar satu juta ralyat Indonesia mengorbankan nyawa mereka, dan agresi militer Belanda-Inggris-Australia tersebut juga telah menyebabkan kehancuran infrastruktur, bangunan, perumahan rakyat serta perekonomian Indonesia.


Keabsahan Proklamasi 17 Agustus 1945[12]

Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, dan pada 9 Agustus menjatuhkan bom atom di Nagasaki. Amerika mengancam, apabila Jepang tidak menyerah, maka bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo, Ibukota Jepang. Pada 15 Agustus 1945 Kaisar Jepang Hirohito menyatakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Namun penandatanganan dokumen menyerah tanpa syarat kepada sekutu ditandatangani oleh Jepang pada 2 September 1945 di atas kapal perang AS  Missouri, di Teluk Tokyo. Ini berarti, antara tanggal 15 Agustus sampai 2 September 1945, terdapat vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Negara-negara yang diduduki oleh Jepang, termasuk Indonesia.

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada 18 Agustus mengangkat Sukarno sebagai Presiden dan M. hatta sebagai Wakil Presiden. Pada 5 September 1945, dibentuk Kabinet RI pertama.

Dengan demikian, tiga syarat pembentukan suatu Negara telah terpenuhi sesuai dengan konvensi Montevideo, yaitu:
  1. Adanya penduduk yang permanen,
  2. Adanya wilayah tertentu,
  3. adanya pemerintahan, dan
  4. Kemampuan untuk menjalin hubungan internasional.

Dalam Konvensi Montevideo yang ditandatangani oleh 20 negara-negara seluruh Amerika pada 26 Desember 1933, disebutkan a.l.:
The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states.

Ayat tiga konvensi ini menyebutkan, bahwa keabsahan tersebut tidak tergantung dari pengakuan negara lain. Bahkan sebelum pengakuan dari negara lain, negara tersebut berhak mempertahankan integritas dan kemerdekaannya. Ayat tiga tersebut berbunyi.
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.
The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

Pada tahun 1946, Liga Arab memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Pada 10 Juni 1947 Mesir menjalin hubungan diplomatic dengan Republik Indonesia, kemudian disusul oleh India setelah merdeka dari Inggris. Dengan demikian ketika Belanda pada 21 Juli 1947 melancarkan agresi militernya yang pertama terhadap Republik Indonesia yang telah diakui de facto oleh Belanda, keempat syarat konvensi Montevideo telah terpenuhi.

Political will untuk memerdekaan negara-negara yang dijajah oleh negara lain telah tercetus sejak awal abad 20. Secara resmi, hal ini dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson, dalam 14 butir konsep perdamaian yang disampaikannya di muka Kongres AS pada 8 Januari 1918, 10 bulan sebelum berakhirnya perang dunia pertama. Dalam butir lima konsepnya, Wilson menyebut:[13]
A free, open-minded, and absolutely impartial adjustment of all colonial claims, based upon a strict observance of the principle that in determining all such questions of sovereignty the interests of the population concerned must have equal weight with the equitable claims of the government whose title is to be determined.

Pada waktu itu, Franklin D. Roosevelt menjabat sebagai Asisten Menteri Angkatan Laut di kabinet Wilson. Pada 4 Maret 1933, Roosevelt terpilih untuk pertama kali sebagai presiden Amerika Serikat. Roosevelt adalah satu-satunya yang terpilih empat kali sebagai presiden AS. Dia menjabat sebagai presiden hingga meninggal pada 12 April 1945.

Pada 14 Agustus 1941, Franklin D. Roosevelt sebagai Presiden AS dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengeluarkan seruan yang dikenal sebagai Piagam Atlantik (Atlantic Charter), di mana butir tiga menyebutkan:[14]
“ …Third, they respect the right of all peoples to choose the form of government under which they will live; and they wish to see sovereign rights and self government restored to those who have been forcibly deprived of them …”

Butir tiga ini dikenal sebagai “ …right for selfdetermination of peoples …” (Hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri).

Atlantic Charter ini menjadi dasar dari United nations Charter (Piagam PBB), yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945. Pasal satu ayat dua dalam preamble (pembukaan) piagam PBB ini menguatkan butir ketiga dari Atlantic Charter. Bunyinya:[15]
“… To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace…”

Ratu Belanda Wihelmina sendiri, dalam pidato radio yang disampaikan di tempat pengasingan di London pada 7 Desember 1942 mendukung gagasan Atlantic Charter tersebut.[16]

Landasan moral dan politis serta HAM ini mendapat kekuatan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo mengenai persyaratan pembentukan suatu negara, yang ditandatangani oleh 19 negara di Ibukota Uruguay, Montevideo pada 26 Desember 1933.

Pernyataan Woodrow Wilson diulang dan diperkuat dalam Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt bersama Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada 14 Agustus 1941, di awal Perang Dunia II.

Hingga saat ini, seratus tahun setelah pertama kali dicetuskan oleh Presiden Wilson, masih ada beberapa bangsa yang belum menikmati kemerdekaannya, seperti bangsa Palestina, bangsa Kurdi dan Irlandia Utara yang masih dijajah oleh Inggris.


Proklamasi  17.8.1945 adalah Pilar  Pertama
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa Belanda menguasai beberapa wilayah di bumi Nusantara selama lebih dari 300 tahun, terutama Jayakarta, yang oleh Belanda dinamakan Batavia. Sementara di beberapa daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara dan Bali kekuasanan Belanda hanya berlangsung selama sekitar 30 atau 40 tahun saja. Namun permasalahannya bukanlah pada lama atau tidaknya penguasaan suatu bangsa atau negara teradap bangsa atau negara lain, melainkan pada keabsahan penguasaan tersebut, yang lazim disebut sebagai penjajahan.

Apabila meneliti perjalanan sejarah dari bulan Maret 1942 sampai Agustus 1945, maka jelas pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia bukan merupakan suatu pemberontakan ataupun revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan.[17]

Mencermati sejarah panjang sejak timbul gagasan pada awal abad 20 untuk mendirikan suatu negara yang bebas dari penjajahan, hingga dinyatakannya kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, kelihatannya para perumus empat pilar kebangsaan tidak memahami KALIMAT PERTAMA dalam pembukaan UUD ’45. yang menyebutkan: “… Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa…” Inilah kalimat terpenting pertama dalam pembukaan UUD ’45.

Sehubungan dengan kalimat penting pertama tersebut, dan masih merupakan satu kesatuan, kalimat selanjutnya dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, menegaskan, bahwa proklamasi 17 Agustus 1945: “… telah mengantarkan bangsa Indonesia ke depan PINTU GERBANG KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA …”

Dengan meneliti lebih dalam dan digunakan logika serta kaidah ‘Sebab-Akibat’ (Bahasa Jerman: Ursache – Wirkung), maka jelas sekali bahwa Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Pilar Pertama sekaligus Pilar Utama bangsa Indonesia. Secara logika dapat dijelaskan, bahwa apabila tidak ada Proklamasi kemerdekaan 17.8.1945, maka empat pilar yang lain TIDAK AKAN ADA!

Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno terpilih sebagai Presiden RIS, dan untuk mengisi jabatan yang kosong, Mr. (gelar sarjana hukum) Asaat Datuk Mudo, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), diangkat menjadi Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia. KNIP kemudian menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[18]

Tak lama setelah RIS berdiri pada 27.12.1949, satu persatu 15 negara bagian –selain Republik Indonesia- membubarkan diri atau dibubarkan oleh rakyatnya, dan kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1945, dan pada 17 Agustus 1950, Ir. Sukarno menyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang proklamasi kemerdekaannya adalah 17.8.1945.

Pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17.8.1945 sah dipandang dari berbagai segi, baik dari segi hukum internasional, maupun dari segi politik dan HAM. Kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamirkan pada 17.8.1945, di masa kekosongan kekuasaan (vacuum of power) di wilayah pendudukan Jepang. Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu pada 15.8.1945, namun dokumen penyerahan baru ditandatangani pada 2 September 1945.

Sebelumnya, setelah pertahanan Belanda dan sekutunya di Jawa dalam waktu satu minggu dihancurkan oleh tentara di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, pada 9 Maret 1942  di Pangkalan Udara Kalijati, Jawa Barat, Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, mewakili Gubernur Jenderal Nederlands Indië (India Belanda), Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer mendatangani dokumen menyerah tanpa syarat, dan menyerahkan seluruh wilayah jajahan Belanda kepada balatentara Dai Nippon.

Melihat sejarah panjang dari mulai timbulnya gagasan untuk mendirikan suatu negara yang merdeka dan berdaulat, hingga terwujudnya negara yang dimaksud dengan pernyataan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, di mana untuk mempertahankan kemerdekaan tersebut bangsa Indonesia masih harus berjuang selama hampir lima tahun dengan pengrobanan rakyat yang mencapai satu juta jiwa, maka sudah seharusnya Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi PILAR PERTAMA Kehidupan berbangsa dan Bernegara di republic Indonesia.


Makna Proklamasi 17 Agustus 1945
Setelah proklamasi kemerdekaan 17.8.1945, bangsa Indonesia memiliki negara  yang disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kemudian disusunlah Undang-Undang Dasar, yang dinamakan UUD ’45, di mana di dalamnya terkandung nilai Pancasila dan keberagaman etnis/suku bangsa, agama, budaya, dll disebut sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Proklamasi 17.8.1945 juga merupakan pintu gerbang untuk membangun empat pilar lainnya.

Proklamasi 17.8.1945 merupakan symbol dari keberanian para pemimpin bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia dan semangat berjuang seluruh rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17.8.1945.

Proklamasi 17.8.1945 sah baik berdasarkan hukum internasional, maupun berdasarkan politik, moral dan HAM. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan keabsahan proklamasi 17.8.1945 kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk menepis anggapan selama ini, bahwa dunia internasional hanya mengakui 27 Desember 1949.

Ternyata tidak semua rakyat Indonesia menganggap penting  de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945. Hal ini dapat diterangkan, apabila meneliti sejarah panjang penjajahan Belanda 1602 - 1942, dan periode 1945 – 1950.

Sejak zaman penjajahan Belanda, sangat banyak pribumi yang membantu Belanda menjajah bangsanya sendiri. Selain menjadi kaki-tangan Belanda dalam masalah administrasi, juga banyak yang menjadi serdadu Belanda (lazim disebut serdadu “kumpeni”). Juga ketika bangsa Indonesia berjuang mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1950, sangat banyak pribumi yang membantu Belanda, baik dalam hal pemerintahan, maupun menjadi serdadu KNIL. Sebagai hasil perundingan Konferensi meja Bundar, dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), di mana Republik Indonesia  merupakan satu dari 16 Negara Bagian. 15 Negara Bagian lain adalah negara-negara atau daerah otonom yang dibentuk oleh Belanda.

Untuk menguasai Indonesia kembali sebagai jajahan, selain mendatangkan lebih dari 150.000 serdadu dari Belanda, Belanda juga merekrut lebih dari 60.000 pribumi untuk menjadi serdadu KNIL, yang membantu Belanda membunuh bangsanya sendiri. Salahsatu butir kesepakatan KMB, mantan tentara KNIL diterima di TNI dengan pangkat yang sama. Terkuak berita, bahwa sebelum KNIL di bubarkan, mereka dinaikkan pangkatnya sampai dua tingkat. Di tahun 70-an, ada beberapa mantan serdadu KNIL yang mencapai pangkat Jenderal di TNI.

Demikian juga di Dewan Perwakilan Rakyat RIS yang dibentuk tahun 1950. Sebagian besar berasal dari negara-negara bagian bentukan Belanda. Walaupun  RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950 dan pada 17 agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI, mereka bertahan sampai Pemilihan Umum pertama yang diselenggarakan oleh Republik Indonesia tahun 1955.

Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “melimpahkan kewenangan” (soevereniteitsoverdracht) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Di dalam RIS, Republik Indonesia merupakan satu dari 16 negara bagian.

Satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yaitu Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang didirikan pada 9 Maret 2002, dan kemudian dilanjutkan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), yang didirikan oleh para aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005, sejak tahun 2002 berusaha menyadarkan bangsa Indonesia mengenai adanya upaya untuk mengaburkan proklamasi 17 Agustus 1945, yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, dan mendapat dukungan dari beberapa kalangan di Indonesia.

Jelas masih diperlukan penelitian dan pembahasan lebih lanjut untuk lebih merinci dan menjabarkan makna dari Proklamasi 17 Agustus 1945, yang kemudian akan disosialisasikan kepada seluruh rakyat Indonesia dan kepada para penyelenggara negara, terutama kepada para pejabat yang menjadi ujung-tombak bangsa Indonesia di dunia internasional yang harus lebih memperdalam pemahaman mengenai keabsahan proklamasi 17.8.1945, agar dapat menjelaskan dan mempertahankan keabsahan Proklamasi 17.8.1945 di dunia internasional.

Tidak memperjuangkan pengakuan terhadap proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, adalah suatu pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri bangsa dan menodai perjuangan mempertahankan kemerdekaan serta mengabaikan pengorbanan satu juta jiwa rakyat Indonesia.


********

Direvisi bulan Juni 2014.


[3] Di zaman pendudukan Jepang, tanggal 8 Agustus 1942 diganti menjadi Jakarta, yang digunakan sampai sekarang.
[6] Telah diusulkan menjadi Pahlawan Nasional, namun hingga sekarang belum diangkat oleh Presiden.
[8] Lihat tulisan ‘Belanda tetap Tidak Mau Akui Kemerdekaan Republik Indonesia 17.8.1945’: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/belanda-tetap-tak-akui-kemerdekaan-ri.html
[9] Terjemahan teks lengkap dari Civil Affairs Agreement, lihat: Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. LKiS, Yogyakarta 2010. Hlm. 142 -  144.
[10] RIS kemudian dilanjutkan oleh RI sampai tahun 1956, telah membayar 4 milyar gulden kepada Belanda. Hal ini disampaikan oleh sejarawan Belanda, Lambert Giebels, dalam tulisannya ‘DE INDONESISCHE INJECTIE’ di majalah di Belanda, DE GROENE AMSTERDAMMER, pada 5 Januari 2000. Lihat:
[12] Tulisan yang rinci mengenai keabsahan proklamasi 17 Agustus 1945, lihat:
[17] Lihat tulisan ‘Bukan Revolusi, Bukan Pemberontakan, Bukan Perang kemerdekaan’: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/02/bukan-revolusi-bukan-pemberontakan.html
[18] Dengan demikian, Asaat Datuk Mudo adalah de facto Presiden Republik Indonesia ketiga (de facto Kepala negara kedua adalah Syafruddin Prawiranegara, yang mendapat mandat dari Sukarno-Hatta  untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI, dari 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949, di masa agresi militer Belanda kedua).