Wednesday, August 05, 2020

Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, "BAPAK BAHASA INDONESIA"

MOHAMMAD TABRANI  SOERJOWITJITRO

“BAPAK BAHASA INDONESIA”

 

 

Catatan Batara R. Hutagalung

 

Pengantar

Suatu Bangsa (nation) tanpa Bahasa Nasional? Tanpa bahasa persatuan? Kalau bangsa tersebut terdiri dari ratusan etnis/suku bangsa yang memiliki bahasanya masing-masing dan tidak memiliki bahasa persatuan, bagaimana mereka akan saling berkomunikasi? Demikianlah situasinya, ketika para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia di awal tahun 1920-an merencanakan akan mendirikan suatu NEGARA BANGSA (nation state) dan membentuk suatu bangsa baru. Belum ada bahasa persatuan. Belum ada BAHASA INDONESIA.

 

Definisi mengenai bangsa (nation), dengan beberapa variasi, pada umumnya berkisar pada kesamaan asal-usul/daerah, kesamaan budaya dan kesamaan bahasa. Di akhir abad 19/awal abad 20 ada penambahan mengenai definisi suatu bangsa dari Joseph Ernest Renan (1823 – 1892) dan Otto Bauer (1881 – 1938). Menurut Renan, juga ada faktor keinginan untuk menjadi satu, sedangkan Otto Bauer menambahkan, adanya kesamaan nasib yang diartikan sebagai kesamaan sejarah.

 

Para tokoh pribumi di wilayah jajahan Belanda sejak awal abad 20 telah memulai gerakan untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan bangsa Belanda yang sangat diskriminatif, bahkan rasis dan kejam. Namun organisasi-organisasi yang dibentuk pada waktu itu masih bersifat kedaerahan (pulau), kesukuan/etnis atau keagamaan. Organisasi Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908, tujuannya adalah membantu pemuda etnis Jawa memperoleh pendidikan. Tujuan awal didirikannya Jong Java (Pemuda Jawa) adalah untuk membentuk Jawa Raya, yang mencakup Madura dan wilayah etnis Sunda, kemudian akan diperluas ke Bali dan Lombok. Demikian juga organisasi-organisasi pemuda lain masih berdasarkan daerah asal atau etnis dan agama, yaitu Jong Sumateranen Bond (Persatuan Pemuda Sumatera), Jong Ambon (Pemuda Ambon), Jong Celebes (Pemuda Sulawesi), Sekar Rukun (Pemuda Sunda), Jong Islamieten Bond (Persatuan Pemuda Muslim), Katholieke Jongelingen Bond (Persatuan Pemuda Kristen Katholik), Indonesische Christen Jongeren (Pemuda Kristen Protestan), dll.

 

Baik sebelum datangnya para penjajah dari Eropa, maupun di masa kolonialisme, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara masih saling memerangi dan menduduki kerajaan atau kesultanan yang dikalahkan. Pada dasarnya tidak berbeda dengan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa. Negara yang kalah harus membayar upeti kepada pemenang. Tidak jarang rakyat dari negara yang kalah dijadikan budak oleh pemenang.

 

Para tokoh gerakan melepaskan diri dari penjajahan bangsa asing menyadari, agar menjadi kuat, maka mereka harus menyatukan kekuatan dan potensi dari semua etnis di wilayah jajahan Belanda. Selain belum ada persatuan, gerakan melawan penjajah juga sangat berat karena banyak raja-raja atau sultan-sultan yang berpihak kepada penjajah dan bahkan ikut menindas serta memeras rakyatnya sendiri untuk  kepentingan penjajah. Perlu juga diketahui, bahwa tidak semua pribumi menginginkan kemerdekaan. Mereka sudah nyaman di bawah penjajahan Belanda sebagai pegawai, pedagang atau serdadu KNIL.

 

Para tokoh pergerakan kemerdekaan juga sangat menyadari, bahwa mereka berasal dari berbagai etnis dengan latar-belakang budaya/adat-istiadat, agama dan BAHASA yang berbeda, sehingga harus mencari kesamaan-kesamaan untuk mempersatukan semua etnis di wilayah jajahan Belanda.

 

Untuk mendirikan suatu negara yang berasal dari berbagai etnis, maka negara tersebut harus merupakan suatu NEGARA BANGSA (Nation state), yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan yang ada sebelumnya di Asia Tenggara, yang merupakan negara-negara berdasarkan etnis, seperti Kerajaan Majapahit, Kerajaan Batak, Kesultanan Aceh, Kesultanan Siak, Kesultanan Palembang, Kesultanan Banten, Kerajaan Mataram, Kerajaan Badung (Bali), Kerajaan Klungkung (Bali), Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, dll.

 

Langkah pertama untuk mendirikan suatu Negara Bangsa adalah MEMBENTUK SUATU BANGSA yang terdiri dari ratusan etnis di wilayah jajahan Belanda. Untuk itu akan diperlukan nama untuk bangsa yang akan dibentuk. Setelah itu, harus dicari atau “diciptakan” BAHASA untuk saling berkomunikasi di antara ratusan etnis-etnis yang masing-masing memiliki bahasa etnisnya.

 

Di masa penjajahan, bahasa pengantar di kalangan atas adalah bahasa Belanda. Sejak mulai didirikan sekolah-sekolah untuk pribumi, bahasa pengantar di sekolah-sekolah tingkat bawah adalah bahasa Melayu. Di sekolah-sekolah lanjutan/tinggi, bahasa pengantar adalah bahasa Belanda, sehinggga para pribumi yang mengenyam pendidikan sampai tingkat tinggi, hanya paham bahasa etnisnya dan bahasa Belanda. Para tokoh pergerakan tidak ingin nama negara yang akan didirikan dan bangsa yang akan dibentuk adalah nama yang diberikan oleh penjajah, yaitu Nederlands Indie (India Belanda). Belanda menamakan pribumi “Indier”, artinya orang India. Sebutan ini menimbulkan kerancuan dengan Sub-kontinen India dan orang India jajahan Inggris. Para tokoh pergerakan juga menolak bahasa penjajah menjadi bahasa persatuan.

 

Sejak tahun 1920-an ada kesepakatan di kalangan tokoh-tokoh pergerakan, bahwa negara yang akan didirikan dan bangsa yang akan dibentuk akan diberi nama INDONESIA.[1] Sejak itu mereka sangat gencar mensosialisasikan penggunaan nama Indonesia ke seluruh wilayah jajahan Belanda. Para pendukung gerakan kemerdekaan mulai mengganti semua nama yang menggunakan kata “Indie” menjadi Indonesia.

 

 

PERAN M. TABRANI SOERJOWITJITRO[2] DALAM “TERTJIPTANYA” BAHASA INDONESIA

Setelah sepakat mengenai nama Negara yang akan didirikan dan bangsa yang akan dibentuk, yaitu INDONESIA, langkah selanjutnya adalah mencari bahasa persatuan. Berdasarkan bahasa lokal yang menjadi penanda suku bangsa (etnis) di wilayah jajahan Belanda, terdapat 659 suku bangsa. [3]

 

Kalau melihat jumlah penuturnya, maka pilihan akan jatuh ke bahasa Jawa. Namun pertimbangan utama bukan hanya jumlah penutur atau yang menggunakan bahasa tersebut, melainkan persebaran penuturnya. Para ilmuwan Eropa, yaitu dari Inggris, Belanda, Jerman, Perancis dan Italia, selain melakukan penelitian mengenai etnologi, antropologi, arkeologi, sejarah, geologi, dll., juga melakukan penelitian di bidang filologi, ilmu pengetahuan mengenai bahasa.

 

Mereka melihat, di wilayah Asia Tenggara telah berkembang satu Lingua franca, bahasa pergaulan dan perdagangan yang telah digunakan sejak ratusan tahun oleh berbagai etnis dalam berinteraksi, terutama dalam perdagangan, yaitu bahasa Melayu. Akar bahasa Melayu tersebut adalah Riau.[4] Persebaran bahasa Melayu ini juga sebagai salah-satu alasan utama peneliti asal Inggris, George Samuel Windsor Earl, untuk “memberi nama” cabang ras Polynesia berkulit coklat yang menghuni Kepulauan India di Asia Tenggara sebagai Melayu-nesian, dan bukan “ciptaan” pertamanya, yaitu INDU-NESIAN.

Semula dia “menciptakan” nama INDU-NESIAN (penduduk/penghuni Kepulauan India), namuan kemudian dia lebih senang dengan “ciptaan lainnya” yaitu Melayu-Nesian (Penduduk/penghuni Kepulauan Melayu), a.l. persebaran bahasa Melayu yang cukup luas di Kepulauan India. [5]

 

Bulan Februari tahun 1850 Earl menulis artikel dalam jurnal yang terbit di Singapura bernama The Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. (Jurnal Kepulauan India dan Asia Timur). Jurnal tersebut diterbitkan oleh James Richardson Logan. Artkel Earl berjudul “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian, and Melayu-Polynesian Nations” (Tentang Karakteristik Utama Bangsa-Bangsa Papua, Australia dan Melayu Polinesia) dalam Volume (Jilid) IV jurnal tersebut. Mengenai orang-orang Melayu yang menghuni Kepulauan India, Earl menulis: “Their language, too, is spoken at every sea port with the exception of  those of the Northern Philippines.” (Bahasa mereka, juga, digunakan di setiap pelabuhan dengan pengecualian mereka yang tinggal di Filipina Utara). Demikian yang ditulis oleh George Samuel Windsor Earl tahun 1850.

 

Fakta ini yang juga menjadi pertimbangan para tokoh pergerakan untuk mengadopsi bahasa Melayu menjadi BAHASA NASIONAL dari Negara Bangsa (Nation state) yang akan dibentuk.

 

Adalah Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, seorang pemuda anggota Jong Java kelahiran Pamekasan, Madura, yang pertama kali menulis nama BAHASA INDONESIA, bukan bahasa Melayu. Tabrani, waktu itu seorang wartawan di Harian Hindia Baro, menulis dalam Editorial tanggal 10 Januari 1926, di mana dia pertama kali menulis nama “BAHASA INDONESIA.” Kemudian dalam Editorial tanggal 11 Februari 1926 Tabrani menulis: “Bangsa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah. Bahasa Indonesia belum ada, maka ciptakanlah!”[6]

 

Tabrani  adalah juga salahsatu dari beberapa pemuda pribumi yang memprakarsai pertemuan para pemuda pribumi dari beberapa organisasi. Pertemuan mereka yang pertama diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia (sekarang Jakarta). Hadir pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon,  Studierenden Minahasaers (Pelajar Minahasa), Sekar Rukun (Pemuda Sunda) dan beberapa peminat perorangan. Mereka hadir tidak sebagai pengurus organisasi, melainkan masih secara pribadi.


 

Mohammad Tabrani Soerjowitjitro


Dengan suara bulat dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan keagamaan tersebut. Tujuan pertemuan adalah:[7]

“Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”

 

Susunan Panitia:

Ketua                  : Mohammad Tabrani Soerjowitjitro  

Wakil Ketua        : Sumarto

Sekretaris            : Djamaluddin Adinegoro

Bendahara           : Suwarso.

 

Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.[8]


 


Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I

(Kongres Pemuda I)

 

Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani mengundang organisasi-organisasi pemuda pribumi untuk menghadiri pertemuan yang waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Dalam bahasa Belanda dinamakan Het eerste indonesische Jeugd Congres. Kerapatan tersebut  diselenggarakan di Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur) milik Perkumpulan Vrijmetselaarij (Freemasonry),[9] Batavia dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926. Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I.

 

Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I, hadir anggota-anggota dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden Minahasaers (Pelajar Minahasa), Sekar Rukun (Pemuda Sunda) dan beberapa peminat perorangan. Hadir juga Wage Rudolf Supratman, wartawan dari Harian Sin Po.

 

Pertemuan besar pertama dari para pemuda-pemudi pribumi di wilayah jajahan Belanda membahas  hal-hal yang diperlukan untuk mewujudkan   Persatuan. Tema-tema yang dibahas adalah Peran Perempuan, Peran Agama dan pentingnya suatu bahasa persatuan, dalam rangka mencapai persatuan. Pada waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga semua pembicara menggunakan bahasa Belanda. Pembahasan juga dilakukan dalam bahasa Belanda. demikian juga laporan hasil Kerapatan (Kongres).

 

Muhammad Yamin

 

Dalam pembahasan mengenai bahasa persatuan, timbul perbedaan pendapat  yang cukup tajam antara Mohammad Tabrani dan Muhammad Yamin (1903 – 1962). Dalam pidatonya, Yamin mengajukan usul agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan tetap dengan nama BAHASA MELAYU. Sementara M. Tabrani tetap pada pendiriannya, bahwa nama bahasa harus BAHASA INDONESIA.

 

Sehubungan dengan hal ini, Tabrani menulis a.l.:[10]

“Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun menurut keyakinannya bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa tersebut ...

... sekitar pidato saudara Yamin ini mungkin ada faedahnya disajikan sesuatu yang hanya diketahui oleh tiga pemuda ketika itu yaitu saudara Yamin sendiri, saudara Djamaludin dan saya. Soalnya, saya tidak setuju, jika berdasarkan uraian saudara Yamin itu (walaupun saya menyetujui seluruh pidatonya) Kongres lantas akan mengambil keputusan, bahasa Melayulah yang akan dijadikan bahasa persatuan. Jalan pikiran saya ialah tujuan kita besama yaitu SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA.

Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut BAHASA INDONESIA, dan bukan Bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia itu.

Saudara-saudara Yamin dan Djamaludin memahami dan menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya, sehingga pengambilan putusan tentang nama bahasa persatuan ditunda dan hendaknya dikemukakan dalam Kongres Pemuda kedua.

 

Demikian penjelasan M. Tabrani, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I.

 

Djamaluddin (Adinegoro)

 Dari keterangan M. Tabrani dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” terlihat jelas, bahwa embrio gagasan SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya kesepakatan mengenai bahasa persatuan, yaitu apakah namanya BAHASA MELAYU atau BAHASA INDONESIA, sehingga perumusan hasil kerapatan ditunda sampai kerapatan pemuda kedua.

 

Dalam Kerapatan Pemuda I juga belum dicapai kesepakatan untuk melakukan fusi (peleburan) berbagai organisasi yang berdasarkan etnis, karena masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Namun salahsatu terobosan besar dan terpenting adalah disepakati pentingnya suatu bahasa persatuan.

Keberhasilan lain dari kerapatan pemuda-pemudi pertama ini adalah, didirikannya dua organisasi pemuda dan pelajar yang tidak lagi bersifat kedaerahan atau keagamaan, setelah usai Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Pada bulan September 1926 beberapa peserta Kerapatan Pemuda I, a.l. Sugondo Joyopuspito mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan kemudian pada 20 Februari 1927 di Bandung didirikan Jong Indonesia. Dalam kongres pertama Jong (Pemuda) Indonesia di Bandung tanggal  28 Desember 1927, nama Jong Indonesia resmi diganti menjadi Pemuda Indonesia.[11] Kedua organisasi ini ikut menjadi motor penyelenggaraan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Bahkan Ketua PPPI, Sugondo Joyopuspito dipilih menjadi Ketua Panita Kerapatan II (Kongres Pemuda II).

 

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II. Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu BAHASA PERSATUAN BANGSA INDONESIA, ada di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).

 

Setelah usai Kongres Pemuda I, pembicaraan-pembicaraan yang sangat intensif dilakukan oleh para pemimpin organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda I. Pada 15 Agustus 1926 diselenggarakan pertemuan di Oost Java Bioscoop. Hadir wakil-wakil dari Jong Bataksche Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Vereeniging voor Ambonesische Studerenden, Sekar Rukun dan Panitia Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I.

 

Pada akhir tahun 1926, dua tokoh yang sangat berperan dalam Kerapatan I, yaitu M. Tabrani dan Djamaluddin melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman. Tabrani baru kembali ke Nederlands-Indiƫ tahun 1931, sehingga tidak dapat menghadiri Kerapatan Pemuda II. Namun usulnya untuk menggunakan nama BAHASA INDONESIA diterima dalam Kerapatan Pemuda II.

 

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II. Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu BAHASA PERSATUAN BANGSA INDONESIA, ada di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).

 

Setelah usai Kongres Pemuda I, pembicaraan-pembicaraan yang sangat intensif dilakukan oleh para pemimpin organisasi-organisasi pemuda yang ikut dalam Kongres Pemuda I. Pada 15 Agustus 1926 diselenggarakan pertemuan di Oost Java Bioscoop. Hadir wakil-wakil dari Jong Bataksche Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Vereeniging voor Ambonesische Studerenden, Sekar Rukun dan Panitia Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yaitu M. Tabrani dan anggota-anggota Panitia lainnya..

 

Dari beberapa kali rapat besar dan belaasn kali diskusi-diskusi kecil dari peserta Kerapatan I, menghasilkan kesepakatan untuk mengadakan suatu acara besar, yaitu rapat umum yang terbuka untuk semua yang berminat, di mana akan disampaikan seruan kepada para pemuda-pemudi untuk bersatu dan menggunakan Bahasa Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Sugondo Joyopuspito, mantan pimpinan Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang kemudian diangkat menjadi Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II, yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda II.

 

Mengenai tujuan sebenarnya diselenggarakan Kerapatan Pemuda II dijelaskan oleh Sugondo dalam buku ’45 Tahun Sumpah Pemuda.’  Sugondo menulis: [12]

“Sebagian besar dari hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga pada undangan, yaitu wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol,, ormas, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: pegawai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandse Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada Gubernur Jenderal; laporannya sering membela orang Indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr. Hazen, Gobee dan van der Plas).

Panitia Kongres Pemuda II adalah sebuah panitia yang dibentuk oleh sidang terakhir (sidang-sidang ini sudah dimulai dalam tahun 1927 dan sidang terakhir diadakan pada awal bulan Oktober 1928) dari para utusan Pengurus Besar Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambos, Pemuda Kaum Betawi dengan Ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Panitia itu diberi tugas untuk mengadakan rapat umum. Dalam rapat umum oitu supaya diadakan pidato-pidato tentang soal yang memperkuat persatuan. Panitia itu ditugaskan untuk merumuskan resolusi yang menganjurkan persatuan dan pemakaian Bahasa Indonesia di kalangan pemuda.

Panitia ini disebut Panitia Kongres Pemuda II oleh karena di tahun 1926 sudah pernah ada Panitia Kongres Pemuda I, yang diketuai oleh Moh. Tabrani dan yang terdiri dari pemuda-pemuda anggota berbagai organisasi pemuda, tetapi bukan utusan dari Pengurus Besar organisasi-organisasi itu.

Anggapan bahwa rapat-rapat umum pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu adalah rapat kongres pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia disebabkan oleh beberapa hal.

Sebab pertama ialah penyiaran resolusi oleh sekretarisnya, yang berjudul Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia. Dan resolusi itu dibuka dengan kata-kata “Kerapatan pemuda-pemoeda Indonesia yang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemuda Indonesia ..... memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri Jakarta; ...”

Resolusi itu memberi kesan kepada orang yang tidak menghadiri rapat-rapat umum tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu seolah-olah pada hari tesebut di atas para pemuda mengadakan rapat kongres.

Muh. Yamin waktu itu masih muda, baru satu tahun menjadi mahasiswa Rechts Hoge School. Dan anggota panitia lainnya lebih muda lagi, kecuali Djokomarsaid yang sudah pernah menjadi mantri polisi. Dan sudah menjadi watak orang muda suka memakai perkataan-perkataan  yang muluk. Sebab itu judul dan kata-kata resolusi yang disusun oleh Yamin lebih mengutamakan effect daripada kebenaran. Lagipula pemuda Yamin mempunyai aspirasi menjadi sastrawan.

Seorang sastrawan itu dalam pandangannya memang lebih dipimpin oleh imajinasi daripada oleh kenyataan.

Begitulan Yamin dalam pidatonya di rapat umum yang pertama tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia” berkata, bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan itu, karena para yang hadir datang dari seluruh Indonesia, seolah-olah orang-orang yang hadir dalam rapat umum itu baru datang kemarin dengan “kapal terbang” dari Ambon, Manado, Kotaraja, Padang, Denpasar, Yogya  dan lain-lain tempat dari seluruh Indonesia.

Seterusnya dalam pidato Yamin melukiskan imajinasinya dengan kata-kata, bahwa persatuan dan Kebangsaaan Indonesia ialah hasil fikiran dan kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamakan Roh Indonesia.

Briljant kata beberapa orang muda. Bombast kata orang dewasa yang lebih suka mendengarkan kata-kata yang sederhana.”

 


Demikianlah penjelasan dari Sugondo Joyopuspito, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Dari keterangan ini terlihat, bahwa yang dirancang sebenarnya adalah rapat umum yang terbuka untuk masyarakat luas, Jadi di dalam Kongres Pemuda II tidak dilakukan pembahasan-pembahasan, melainkan hanya pidato-pidato untuk membangkitkan semangat para pemuda pribumi untuk bersatu, dan menggunakan BAHASA INDONESIA.

 

 P E N U T U P

 

Dari penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh kedua Ketua Panitia Kerapatan Pemuda dan tokoh-tokoh yang menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia yang pertama dan kedua terlihat, bahwa selama ini sangat banyak kekeliruan dalam tulisan-tulisan mengenai kedua Kerapatan (Kongres) tersebut.

 

Kesalahan tulisan-tulisan  mengenai Kerapatan pertama disebabkan a.l. karena para penulis mengenai Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I) tidak membaca hasil laporan Kerapatan pertama tersebut keliru menginterpretasikan hasil kerapatan dan salah menarik kesimpulan. Hal ini terjadi karena laporan hasil kerapatan pertama dalam bahasa Belanda, baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tahun 1981. Misalnya dalam buku karangan Drs. Mardanus Safwan, Peranan Gedung Kramat Raya No. 106 dalam melahirkan Sumpah Pemuda yang diterbitkan tahun 1973, mengenai Kongres Pemuda Indonesia Pertama terdapat beberapa kesalahan. M. Tabrani, Ketua Panitia Kongres Pemuda I menulis, bahwa dalam daftar bacaan buku tersebut, tidak dijumpai Laporan Hasil Kongres Pemuda Indonesia I.[13] Hal ini berakibat, semua penulisan yang merujuk pada tulisan Mardanus Safwan, juga akan salah.

 

Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang yang lebih rinci dan menulis baru, bukan sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah yang salah.

 

Keberhasilan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I adalah:

1.   Terobosan besar pertama (embrio) dalam upaya mempersatukan berbagai organisasi pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda, yang masih berdasarkan etnis, daerah (pulau) dan agama untuk mendirikan Negara Bangsa (nation state) Indonesia, membentuk Bangsa Indonesia dan “menciptakan” bahasa Indonesia.

2.   Didirikannya dua organisasi pemuda/pelajar yang menggunakan nama INDONESIA dan tidak berdasarkan etnis, daerah atau agama, yaitu Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, yang didirikan pada bulan September 1926 dan Pemuda Indonesia, yang didirikan pada 20 Februari 1927.

3.   Disepakati bahasa Melayu akan menjadi bahasa persatuan. Hanya mengenai nama bahasa tersebut. M. Yamin menginginkan nama bahasa persatuan adalah BAHASA MELAYU, sedangkan M. Tabrani yang adalah Ketua Panitia Kerapatan, tetap menginginkan nama bahasanya adalah BAHASA INDONESIA.

 

Sudah waktunya dilakukan koreksi besar atas penilaian terhadap Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I), yang sebenarnya merupakan EMBRIO PERSATUAN PEMUDA PRIBUMI DAN GAGASAN MENDIRIKAN NEGARA BANGSA (NATION STATE) INDONESIA, MEMBENTUK BANGSA INDONESIA DAN “MENCIPTAKAN” BAHASA INDONESIA.

 

Sudah waktunya menonjolkan tokoh-tokoh yang sebenarnya sangat berperan dan berjasa, sehingga terselenggaranya pertemuan besar pertama pemuda pribumi dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, yang waktu itu masih berdasarkan daerah (pulau) etnis (suku bangsa) dan agama. Tokoh-tokoh yang sangat berperan sehingga terselenggaranya pertemuan besar yang sangat bersejarah tersebut di antaranya adalah Mohammad Tabrani Surjowitjitro dan Djamaluddin Adinegoro. Terbukti, bahwa Tabranilah yang pertama menggunakan nama BAHASA INDONESIA, dan mengusulkan, agar nama bahasa yang akan dijadikan bahasa persatuan dari Bangsa Indonesia yang akan dibentuk, bukan Bahasa Melayu sebagaimana diusulkan oleh Muhammad Yamin, melainkan dinamakan BAHASA INDONESIA.

 

Seandainya dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I), Tabrani tidak gigih mempertahankan pendapatnya, yang didukung oleh Djamaluddin (Sekretaris Panitia), maka resolusi yang dicetuskan dalam Kerapatan Pemuda II (Kongres Pemuda II) yang belakangan disebut sebagai Sumpah Pemuda, telah dicetuskan dalam Kerapatan Pemuda I (Kongres Pemuda I), dan formulasi resolusi tersebut adalah:

-      Kami putra dan putri indonesia mengaku bertumpah darah yang satu. tanah indonesia,

-      Kami putra dan putri indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa indonesia,

-      Kami putra dan putri indonesia, MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA MELAYU.

 

Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai Bahasa Nasional yang dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar ’45 pasal 36, yaitu: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Seandainya M. Tabrani tidak gigih mempertahankan pendapatnya, bahwa nama bahasa harus BAHASA INDONESIA, dan pendapat M. Yamin diterima oleh sidang, maka Pasal 36 UUD ’45 menjadi: “Bahasa Negara ialah BAHASA MELAYU.”

 

Demikian juga, bahwa butir ketiga resolusi hasil Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II) ialah Kami putra dan putri indonesia, MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA, dan Pasal 6 UUD ’45 tertera: “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”, adalah berkat kegigihan M. Tabrani mempertahankan pendapatnya.

 

Kabarnya, Kemendikbud sedang mengajukan usul agar M. Tabrani memperoleh gelar Pahlawan Nasional Indonesia. M. Tabrani sangat layak mendapat gelar tersebut. Sangat ideal apabila pemberian gelar Pahlawan Nasional Indonesia dapat diberikan pada 10 November 2020, masih dalam suasana peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia

 

Agar supaya seluruh rakyat Indonesia mengetahui, bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan yang bernama Bahasa Indonesia dan bukan Bahasa Melayu, adalah berkat jasa dan kegigihan M. Tabrani, maka di semua kota-kota di seluruh Indonesia nama M. Tabrani Soerjowicitro harus diabadikan sebagai nama satu jalan utama di setiap kota. Seandainya di Pamekasan, tempat kelahiran M. Tabrani (10 Oktober 1904), belum ada jalan yang bernama Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, Pamekasan dapat menjadi pelopor pemberian nama M. Tabrani sebagai nama salah-satu jalan utama.

 

Tidaklah berlebihan apabila selain mendapat gelar Pahlawan Nasional indonesia, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro ditetapkan sebagai “BAPAK BAHASA INDONESIA.”

 

 

Jakarta 5 Agustus 2020

 

 

********



[1] Mengenai nama Indonesia telah saya tulis secara rinci dalam tulisan saya: ASAL-USUL NAMA INDONESIA. Lihat: https://batarahutagalung.blogspot.com/2006/03/asal-usul-kata-indonesia.html

[2] M. Tabrani Soerjowitjitro lahir di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904. Meninggal pada 12 Januari 1984.

[3] Mahsun, Prof. Indonesia dakam Perspektif Politik Kebahasaan. PT RajaGreafindo Persada, Jakarta, 2015, halaman VI.

[4] Mahsun, ibid., hal. 63

[5] Pendiri dan Editor jurnal tersebut, James Richardson Logan, seorang pengacara asal Skotlandia, menggunakan nama “ciptaan Earl, yaitu Indumesian, namun dia mengganti huruf “U” dengan huruf “O”sehingga namanya menjadi INDONESIAN.

[7] M. Tabrani, Kongres Pemuda Indonesia Pertama, dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta. 20 Mei 1974. Halaman 309.

 

[8] M. Tabrani, Kongres Pemuda Indonesia Pertama, dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda, ibid., hal. 309.

[9] Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma, di Jl. Budi Utomo No. 1.

[10] M. Tabrani, ibid., hal. 313-314.

[11] 45 Tahun Sumpah Pemuda. Ibid., hal. 44.

[12] Sugondo Joyopuspito, Beberapa Cerita Yang Kurang Tepat Dalam Beberapa Karangan Tentang Sumpah Pemuda. Dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda. Diterbitkan oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, 20 Mei 1974, halaman 209.

Sugondo Joyopuspito adalah Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II),  sekaligus Ketua Sidang.

[13] M. Tabrani, ibid., hal. 310, dan hal. 315 – 318..