Friday, October 30, 2020

70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia - Amerika Serikat

 

70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia–Amerika Serikat

 

Pasang surut hubungan Indonesia-Amerika Serikat

 

Batara R. Hutagalung

Pengamat politik internasional

 

Kehadiran Amerika Serikat di Nederlands Indie yang kemudian menjadi Republik Indonesia, dimulai awal abad 19 dengan dibukanya beberapa konsulat Amerika Serikat untuk perdagangan di beberapa kota di wilayah jajahan Belanda.

 

Kehadiran militer Amerika Serikat di Nederlands Indie terjadi pada bulan Januari 1942. Dalam rangka menghadapi agresi militer Jepang,  dibentuk komando bersama, yaitu ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command). Namun invasi tentara Jepang tidak terbendung. Tentara Sekutu yang ada di Pulau Jawa menyerah kepada tentara Jepang pada bulan Maret 1942.

 

Setelah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sejak berdirinya Republik Indonesia, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengalami pasang–surut.

 

Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan bekas jajahannya dan  meminta bantuan Sekutunya dalam Perang Dunia II, yaitu negara-negara yang tergabung dalam ABDACOM. Dengan bantuan tiga divisi tentara Inggris dan dua divisi tentara Australia, Belanda behasil masuk  ke bekas jajahannya, yang telah menjadi negara merdeka.  Belanda melancarkan agresi militernya terhadap Republik Indonesia tahun 1947 dan 1948.

 

Pada awalnya, pemerintah Amerika Serikat masih berpihak kepada Belanda dan membantu Belanda dengan melatih para wajib militer yang akan dikirim ke Indonesia, serta membantu perlengkapan militer Belanda. Namun sejak The Indonesian National Revolution dibahas di Dewan Keamanan PBB, dalam semua resolusi Dewan Keamanan PBB sejak resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, Amerika bersikap positif terhadap Republik Indonesia.

 

Agresi militer Belanda kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, mendapat kecaman dari pemerintah dan rakyat Amerika. Beberapa Senator Amerika berkunjung ke Indonesia untuk memantau perkembangan secara langsung. Rakyat Amerika geram terhadap Belanda, karena Belanda juga menggunakan dana bantuan Amerika yaitu European Recovery Program (ERP) yang dikenal sebagai Marshall Plan, untuk membiayai agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia. Agresi militer belanda tersebut dibahas dalam sidang-sidang di Dewan Keamanan PBB. Amerika Serikat ikut menandatangani resolusi No. 64 tanggal 28 Desember 1948, yang isinya mendesak pemerintah Belanda untuk membebaskan Presiden Indonesia dan semua tahanan politik, yang ditahan oleh Belanda ketika melancarkan agresi militernya.

 

Usul dari Amerika Serikat bersama Kuba, Norwegia dan China (Taiwan) diterima oleh Dewan Keamanan dan dituangkan dalam resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949 yang isinya a.l. menyerukan kepada pemerintah Belanda untuk menghentikan segala tindakan militer, membebaskan tanpa syarat para pemimpin Republik Indonesia dan ke meja perundingan yang akan difasilitasi oleh PBB. Wakil-wakil Amerika memimpin komisi PBB untuk menjembatani konflik bersenjata antara Republik Indonesia dengan Belanda. pada agresi militer Belanda pertama bulan Juli 1947, wakil Amerika, Dr. Frank Graham menjadi Ketua komisi Jasa Baik PBB (Committee of Good Offices for Indonesia). Kemudian pada agresi militer Belanda kedua tanggal 19 Desember 1948, wakil Amerika Horace Merle Cochran menjadi ketua komisi PBB, United Nations Commission for Indonesia.

 

Amerika Serikat berperan dalam menekan pemerintah Belanda untuk ke meja perundingan, yaitu Konferensi Meja Bundar, yang  diselenggarakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar dibentuk Negara Republik Indonesia Serikat (United States of Republic Indonesia). Republik Indonesia Serikat terdiri dari 16 Negara Bagian dan Daerah Otonom. Republik Indonesia merupakan satu dari 16 Negara- negara Bagian tersebut. Pada 27 Desember 1949, dilakukan pemindahan kedaulatan (transfer of sovereignty) dari pemerintah Nederlands Indie kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat.

 

Sehari kemudian pada 28 Desember 1949, Amerika Serikat  resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia Serikat. Duta Besar Amerika Serikat yang pertama untuk Republik Indonesia Serikat adalah Merle Cochran, mantan Ketua Komisi PBB untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia), sedangkan Duta Besar Republik Indonesia Serikat pertama untuk Amerika Serikat adalah Ali Sastroamijoyo.

 

Setelah Republik Indonesia Serikat berdiri, satu-persatu dari 15 negara bagian tersebut membubarkan diri dan bergabung ke Republik Indonesia. Pada 16 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (Unitarian Republic of Indonesia) berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. 

 


                                                                                                     

Melalui resolusi Dewan Keamanan No. 86 tanggal 26 September 1950, sepuluh anggota Dewan Keamanan setuju menerima Republik Indonesia menjadi anggota PBB, termasuk Amerika Serikat. China (Taiwan) abstain dalam voting ini. Pada 28 September 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi anggota PBB ke 60. Untuk hampir semua negara-negara yang telah menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Indonesia Serikat, tidak ada masalah sehubungan dengan perubahan bentuk Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Juga tidak ada masalah untuk Amerika Serikat. Merle Cochran tetap menjabat sebagai Duta Besar  Amerika Serikat untuk Republik Indonesia sampai tanggl 27 Februari 1953. Demikian juga Ali Sastroamijoyo tetap sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat sampai Februari 1953.

 

Hanya satu negara yang tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia adalah 17 Agustus 1945, yaitu Belanda. Sampai artikel ini ditulis bulan November 2019, pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui de jure proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949. Pada 16 Agustus 2005 di Jakarta, Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menyampaikan secara lisan, bahwa mulai saat itu, 16 Agustus 2005, pemerintah Belanda menerima Proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis. Artinya pemerintah Belanda hanya secara lisan menerima de facto kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Pernyataan tertulis belum juga diberikan hingga saat ini.

 

Di awal tahun 1950-an, hubungan antara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat sangat baik, dengan ditandai kunjungan Presiden Sukarno ke Amerika Serikat. Tahun1956 Presiden Sukarno memenuhi undangan dari Presiden Dwight D. Eisenhower. Sukarno disambut dengan sangat meriah oleh rakyat Amerika Serikat. Bahkan Presiden Sukarno mendapat kesempatan untuk berbicara di Kongres Amerika pada 17 Mei 1956. Sukarno menyampaikan penjelasan mengenai Pancasila, landasan filosofis negara Indonesia. Dalam pidato ini, setiap Sila yang disebutkan mendapat tepuk tangan yang meriah.

 

Di era Perang Dingin antara Pakta Warsawa dan NATO, kedua kubu berusaha menarik negara-negara lain masuk ke dalam kubunya.  Setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada bulan April 1955, posisi Indonesia di dunia internasional semakin menonjol. Indonesia sangat gigih melawan imperialisme dan kolonialisme. Pada waktu itu masih sangat banyak negara-negara di Asia dan Afrika berada di bawah penjajahan negara-negara Eropa Barat, yang adalah anggota NATO. Peran penting Indonesia di Asia dan Afrika tentu sangat mengkhawatirkan negara-negara yang masih memiliki jajahan di kedua benua tersebut. Pada tahun 1957 Amerika Serikat mulai mengintervensi politik dalam negeri Indonesia dengan membantu gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi. Melalui CIA, Amerika memasok persenjataan untuk kedua gerakan tesebut.

 

Tahun 1961 Presiden Sukarno berkunjung lagi ke Amerika untuk kedua kali dan bertemu dengan Presiden John F. Kennedy. Kennedy mendukung upaya Indonesia untuk memasukkan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia, sesuai dengan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Setelah Presiden Kennedy tewas terbunuh di Dallas pada 22 November 1963, hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat di era administrasi Lyndon  B. Johnson semakin memburuk. Terungkap upaya-upaya Amerika dan Inggris untuk menggulingkan Sukarno.

 

Indonesia menjadi medan laga untuk dinas-dinas rahasia dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, Jerman, Uni Soviet, Cekoslovakia dan RRC, Puncaknya terjadi pada tanggal 30 September/1Oktober 1965 di mana 6 Jenderal TNI tewas dibunuh, kemudian terjadi pembantaian terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia, atau yang dituduh sebagai anggota PKI. Diperkirakan yang tewas dibunuh antara 500.000 – 1 juta orang. Terungkap bahwa CIA menyusun daftar nama 5.000 tokoh-tokoh PKI yang kemudian diserahkan kepada TNI. Dalam pertarungan di Indonesia pada waktu itu pemenangnya adalah NATO. Blok Timur tersingkir dari Indonesia, bahkan tanggal 1 Oktober 1966 Indonesia membekukan hubungan dengan RRC, karena keterlibatannya dalam mendukung PKI.

 

Sampai berakhirnya Perang Dingin tahun 1991, Indonesia mendapat sangat banyak bantuan dari negara-negara yang tergabung dalam NATO, terutama dari Amerika Serikat. Bantuan yang diberikan bukan hanya dana, melainkan juga perlengkapan militer. Tahun 1967 Amerika Serikat memprakarsai dibentuknya Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang mengkoordinir bantuan dari negara-negara barat untuk Indonesia. Intervensi yang berlebihan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dilakukan oleh Ketua IGGI, Jan Pronk dari Belanda, membuat pemerintah Indonesia menghentikan hubungan dengan IGGI tahun 1992. Setelah IGGI dibubarkan, dibentuk wadah baru, yaitu Consultative Group on Indonesia (CGI). CGI dibubarkan tahun 2007.

 

Pada 25 April 1974 terjadi revolusi di Portugal di mana Marcelo Caetano digulingkan oleh militer. Pemerintah baru di Portugal melepaskan semua jajahan Portugal, termasuk Timor Timur. Terjadi perebutan kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di Timor Timur, yang kelihatannya akan dimenangkan oleh kelompok Fretelin yang berhaluan kiri. Di era Perang Dingin, kemenangan kekuatan yang berhaluan kiri di Timor Timur meresahkan NATO. Kekuatirannya adalah apabila Uni Soviet akan membangun pangkalan militer di Timor Timur yang letaknya di muka Australia.

 

Pada 6 Desember 1975 Presiden Amerika Gerald Ford didampingi Menteri Luar Negeri Henry Kissinger berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Suharto. Fokus pembahasan adalah rencana penyerbuan ke Timor Timur yang akan dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kunjungan ini merupakan signal, bahwa Amerika Serikat memberi “lampu hijau” kepada Indonesia untuk melancarkan serangan.

 

Kissinger masih berpesan kepada Suharto, agar serangan dilaksanakan setelah Ford dan Kissinger meninggalkan Indonesia. ABRI menyerang Timor Timur pada 7 Desember 1974. Media internasional memberitakan, terjadi banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Indonesia selama perang berlangsung. Diperkirakan korban tewas di kalangan penduduk Timor Timur antara 50.000 – 80.000 jiwa. Namun di masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan negara-negara NATO lain tidak terlalu mempermasalahkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan terus memberikan bantuan dana serta persenjataan kepada Indonesia.

 

Setelah Perang Dingin berakhir tahun 1991, sikap negara-negara NATO berubah terhadap beberapa negara, ternasuk terhadap Indonesia. Di negara-negara bekas anggota ABDACOM, pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1965 mulai diangkat ke permukaan. Di Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan Australia, berbagai kalangan sangat gencar memojokkan Indonesia dengan isu-isu pelanggaran HAM.

 

Di Belanda pada 11 Februari 1991 didirikan organisasi yang dinamakan Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO). Tujuan organisasi yang mirip dengan PBB ini adalah membantu anggota2nya untuk memperoleh kemerdekaan. Gerakan2 separatis di Indonesia, yaitu Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka, menjadi anggota UNPO sejak tanggal didirikannya. Timor Leste menyusul pada Januari 1993.

 

Setelah terjadi insiden Santa Cruz di Dili, Timor Timur pada 12 November 1991 di mana sekitar 200 orang tewas tertembak oleh ABRI, Amerika Serikat dan NATO menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia berupa embargo senjata. Pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan Referendum di Timor Timur. Rakyat Timor Timur diberi opsi, apakah akan menerima Otonomi Khusus di wilayah Indonesia atau menolak otonomi khusus dan memisahkan diri dari Indonesia. Sebanyak 75,80% rakyat Timor Timur memilih opsi kedua dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur merdeka pada 20 Mei 2002, dan menamakan diri Timor Leste. Amerika mencabut embargo senjata terhadap Indonesia tahun 2005.

 

Pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dilengserkan dari kursi kepresidenan. Beberapa pengamat melihat, bahwa para konglomerat yang dibesarkan oleh Suharto, termasuk dalam  kelompok yang ikut berperan dalam menggulingkan Suharto. Presiden Bill Clinton yang dikenal dekat dengan keluarga Riady, diduga ikut terlibat dalam penggulingan Suharto.

 

Di masa administrasi Presiden George Walker Bush dari tahun 2001 – 2009 diwarnai dengan konflik dengan dunia Islam, termasuk dengan Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Diawali dengan serangan pesawat terbang yang merobohkan dua menara World Trade Centre di New York pada 11 September 2001, kemudian diikuti dengan penyerangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan dan Irak. Di Indonesia juga terjadi serangkaian pemboman, a.l. Bom Bali I dan Bom Bali II, yang menewaskan ratusan wisatawan mancanegara, terutama wisatawan asal Australia. Langkah GW Bush dipandang sebagai realisasi tesis atau esei dari Samuel Huntington mengenai benturan peradaban. Lebih jelasnya ini dinilai sebagai konflik antara peradaban barat dengan Islam.

 

Ketika Barrack H. Obama menggantikan GW Bush tahun 2009, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat sangat baik. Ini disebabkan antara lain karena Obama pernah tinggal dan bersekolah di Sekolah Dasar di Jakarta selama beberapa tahun. Setelah bercerai dengan ayahnya, ibunya Obama menikah dengan seorang warga negara Indonesia. Sejak tahun 1967 Obama tinggal selama beberapa tahun di Jakarta.

 

Di masa administrasi Presiden Obama, terjadi peningkatan dalam hubungan bilateral di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi di mana terjadi peningkatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Juga adanya kemudahan untuk warga negara Indonesia yang ingin berkunjung ke Amerika Serikat. Ditandatanganinya US–Indonesia comprehensive Partnership menunjukkan perhatian besar Amerika terhadap Indonesia, yang diperhitungkan sebagai kekuatan ekonomi  di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, keamanan kawasan di Asia Tenggara juga mendapat perhatian dari Obama. Hal ini sehubungan dengan munculnya RRC bukan hanya sebagai kekuatan ekonomi, melainkan juga sebagai kekuatan militer.

 

Sejak beberapa tahun beredar rekaman video yang berisi pernyataan-pernyataan Presiden GW Bush, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, purnawirawan Jenderal Wesley Clark, John McCain dan ulasan-ulasan di media-media di Amerika Serikat, sehubungan dengan Al Qaida, Taliban dan ISIS. Dari pernyataan-pernyataan para politisi Amerika tersebut terungkap, bahwa Al Qaida, Taliban dan ISIS dibentuk serta dibiayai oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Hal ini tentu menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagian pihak di Indonesia berpendapat, bahwa isu radikalisme Islam dan teroris Islam dimunculkan oleh pihak NATO untuk memojokkan Islam. Isu ini dinilai sebagai upaya NATO dalam mencari atau menetapkan The new common enemy. Hal ini dilakukan, setelah the old common enemy, yaitu imperium komunis Uni Soviet dan Pakta Warsawa lenyap tahun 1991.

 

Pengganti Barrack Obama, Donald J. Trump, merombak total politik luar negeri Amerika Serikat. Beberapa pengamat di Indonesia menilai, terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika ke 45 berdampak lebih baik dibandingkan apabila Hillary Clinton yang menjadi Presiden Amerika. Hal ini sehubungan dengan kedekatan keluarga Clinton dengan RRC dan para konglomerat China perantauan (oversea Chinese), antara lain dengan keluarga Riady dari Lippo grup. Pada waktu pencalonan Bill Clinton sebagai presiden petama kali tahun 1992, keluarga Riady diduga ikut mendanai. Pada pencalonan kedua tahun 1996, bukan hanya para konglomerat dari Indonesia, Taiwan dan Hong Kong, pemerintah RRC ikut terlibat dalam pengumpulan dana untuk pencalonan Bill Clinton. Hal ini diungkap a.l. oleh jurnalis ternama Bob Woodward di The Washington Post. Diberitakan, Kedutaan Besar RRC di Washington menjadi pusat pengumpulan dana. Para konglomerat tersebut telah memiliki hubungan yang lama dengan Dinas Rahasia RRC, Ministry of State Security (MSS).

 

Para calon presiden Amerika Serikat dilarang menerima sumbangan dana dari orang-orang yang bukan warganegara Amerika. Skandal ini terungkap dan James Riady dijatuhi hukuman harus membayar denda yang cukup tinggi. Diperkirakan, apabila Hillary Clinton yang menjadi Presiden Amerika Serikat, maka bukan hanya bisnis keluarga Riady yang akan sangat mulus, melainkan ekspor RRC ke Amerika akan makin meningkat dan upaya RRC untuk menancapkan kukunya di Indonesia akan lebih mudah dan kokoh.

 

Fokus kebijakan politik Donald Trump adalah internal Amerika Serikat dengan slogan yang dicanangkannya pada waktu kampanye, yaitu Make America Great Again (MAGA). Gebrakan pertama adalah penarikan diri Amerika dari Trans Pacific Partnership (TPP) tahun 2017. TPP dinilai tidak membawa keuntungan sama sekali untuk Amerika Serikat, bahkan hanya menjadi beban.

 

Gebrakan besar dari Trump adalah menghadang ekspansi RRC dengan program Belt and Road Inisiative (BRI) Presiden China Xi Jinping. Ketika pertama kali diperkenalkan ke dunia internasional, yaitu di Indonesia tahun 2013, konsep Xi Jinping masih bernama One Belt One Road (OBOR). Banyak kalangan menilai, bahwa konsep Xi Jinping ini merupakan kelanjutan ambisi China yang dicanangkan oleh RRC tahun 1949, yaitu program “Maraton 100 tahun” untuk menguasai dunia. Berarti targetnya tahun 2049 China sudah menguasai dunia. China pada saat ini telah menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Di bidang militer kekuatan China masih di bawah Amerika Serikat dan Rusia. Namun China mebangun Angkatan Perangnya secara besar-besaran dan mulai menunjukkan gigi di Laut China Selatan.

 

Trump menuduh, terjadinya defisit neraca perdagangan Amerika Serikat terhadap China sejak beberapa tahun belakangan karena praktek-praktek perdagangan yang curang yang dilakukan oleh China. Oleh karena itu Trump mengenakan tarif yang tinggi untuk produk-produk dari China. China membalas dengan langkah yang sama, yaitu mengenakan tarif yang tinggi untuk produk-produk Amerika yang akan masuk ke China. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China dimulai.

 

Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia ini tentu berdampak negatif untuk perekonomian global. Juga berimbas ke Indonesia. Perang dagang ini makin memperlemah perekonomian Indonesia. Tarif tinggi yang dikenakan terhadap produk-produk asal China yang akan masuk ke Amerika membuat banyak perusahaan asing di China merelokasikan industrinya ke negara-negara di Asia Tenggara. Namun belum satupun yang merelokasikan usahanya ke Indonesia.

 

Di bidang ekonomi, Amerika Serikat memang dapat menarik diri dari keterlibatannya di Asia Timur dan Asia Tenggara, tetapi Amerika Serikat tidak boleh menarik diri dari keterlibatan militernya di kawasan ini, karena berarti akan menyerahkan kawasan ini di bawah hegemoni RRC. Presiden Filipina Rodrigo Duterte bulan Oktober 2019 berkunjung ke Rusia dan bertemu dengan Presiden Vladimir V. Putin. Topik utama yang dibahas adalah keamanan di Laut Cina Selatan. Filipina yang adalah sekutu Amerika Serikat, telah beberapa kali menentang klaim RRC atas perairan yang hingga saat ini diakui dunia internasional sebagai bagian dari Filipina. Putin telah menyatakan kesediaan Rusia untuk hadir di kawasan Laut China Selatan. Dalam peta RRC, Kepulauan Natuna yang secara internasional diakui adalah bagian dari Republik Indonesia, dimasukkan menjadi wilayah RRC.

 

Kepentingan Amerika Serikat dan sekutunya di Asia Tenggara terlalu besar untuk dilepaskan kepada RRC. Sebut saja Freeport yang merupakan salahsatu tambang emas terbesar di dunia. Ini saja sudah menjadi alasan untuk Amerika Serikat tidak melepaskan keterlibatannya dalam hal keamanan di kawasan Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Kehadiran tiga kekuatan terbesar dunia di kawasan Laut China Selatan, akan dapat menjaga perimbangan kekuatan dan stabilitas di kawasan yang berpotensi besar menjadi pemicu konflik bersenjata.

 

Kepentingan ini juga berlaku untuk Indonesia. Demi menjaga perimbangan kekuatan agar dominasi RRC di Asia Tenggara dan di Indonesia tidak menjadi mutlak, suka atau tidak suka, untuk menjaga keseimbangan kekuatan militer di Laut China Selatan, kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara masih sangat diperlukan. Juga untuk kepentingan Amerika Serikat sendiri, dan sekutunya.

 

Pengangkatan Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan RI dinilai sangat tepat untuk menjaga perimbangan kekuatan Amerika Serikat dan China di Indonesia, karena Prabowo Subianto dan keluarganya sejak puluhan tahun dikenal cukup dekat dengan Amerika Serikat dan Blok Barat. Perekonomian Indonesia saat ini sangat didominasi oleh para konglomerat keturunan China yang memiliki hubungan erat dengan RRC.

 

Melihat pasang-surut hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat selama puluhan tahun menunjukkan masih berlakunya adagium, bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi hanya kepentingan. Tidak ada salahnya slogan Trump Make America Great Again diadopsi oleh Indonesia menjadi Make Indonesia Great Again.


********

Artikel ini telah dimuat di Mingguan berbahasa Inggris, Independent Observer pada bulan Desember 2019.




 

***

 

 

 

 

Tuesday, October 27, 2020

28 OKTOBER 1928: TIDAK ADA SUMPAH PEMUDA

 

28 OKTOBER 1928: TIDAK ADA SUMPAH PEMUDA

 

 

Catatan Batara R. Hutagalung

Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

 

Pengantar

Selama puluhan tahun rakyat Indonesia percaya, bahwa pada 28 Oktober 1928 para pemuda pribumi yang tergabung dalam berbagai organisasi-organisasi di wilayah jajahan Belanda mengucapkan “Sumpah Pemuda.” Apabila diteliti lebih mendalam terlihat, bahwa pada 28 Oktober 1928 tidak ada yang dinamakan “Sumpah Pemuda.” Penamaan ini merupakan rekayasa di tahun 1950-an.

 

Di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah dan penulisan-penulisan mengenai sejarah yang beredar di masyarakat luas, terdapat sangat banyak kesalahan, rekayasa, manipulasi, pemalsuan penulisan sejarah dan bahkan pemalsuan sejarah, yaitu mengarang suatu peristiwa yang sebenarnya tidak ada. Juga di buku pedoman/ panduan Kurikulum 2013 Revisi 2017 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud, masih terdapat banyak kesalahan.

 

Penulisan mengenai sejarah yang paling banyak salah, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan adalah buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI yang diterbitkan oleh MPR RI. Masyarakat perlu mengetahui, bahwa rencana anggaran yang akan dikeluarkan oleh negara untuk sosialisasi Empat Pilar MPR tahun 2020 mencapai satu trilyun Rupiah. Artinya negara mengeluarkan dana satu trilyun Rupiah untuk menyebar-luaskan tulisan sejarah yang salah. Walaupun hal ini sudah disampaikan melalui Surat Terbuka kepada Ketua MPR RI 2019 – 2024 dan ke banyak anggota DPR/MPR RI serta penyelenggara negara, namun tidak ada satupun yang berreaksi. Kelihatannya para wakil rakyat tidak berminat untuk meluruskan penulisan sejarah yang salah, yang telah mereka sebar luaskan dengan anggaran yang sangat besar dari negara.

 

Mengenai rekayasa hasil Kerapatan Pemuda Indonesia II yang kemudian disebut sebagai “Sumpah Pemuda”, beberapa sejarawan  sebenarnya sudah sejak lama menulis atau menyampaikan adanya rekayasa tersebut. Bahkan ada sejarawan yang menulis, bahwa “Sumpah Pemuda” adalah Kebohongan Besar. Namun karena masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun percaya hasil rekayasa ini, sangat sulit untuk mengubah pendapat umum tersebut. Hal ini sama seperti mitos-mitos atau kebohongan atau kekeliruan lain yang selama puluhan tahun telah beredar dan melekat dalam ingatan kolektif masyarakat.

 

Dalam beberapa tulisan terdahulu, sudah saya kemukakan, bahwa yang dibahas dalam Kongres Pemuda II hanyalah menyelesaikan perbedaan pendapat antara M. Tabrani Suryowicitro, dengan Muhammad Yamin, dalam Kongres Pemuda I mengenai nama bahasa yang akan digunakan menjadi Bahasa Persatuan. Sedangkan mengenai Satu Nusa dan Satu Bangsa indonesia telah disepakati bersama.

 

 

Tujuan Diselenggarakannya Kongres Pemuda I dan II

 

Di awal abad 20 di wilayah jajahan Belanda, semua organisasi baik untuk umum maupun untuk para pemuda, masih bersifat kedaerahan, atau yang berasal dari satu pulau atau berdasarkan kesamaan agama. Organisasi-organisasi tersebut a.l. Budi Utomo, Tri Koro Darmo, Jong (pemuda) Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Minahasa, Sekar Roekoen (organisasi pemuda Sunda), Pemoeda Kaoem Betawi, dll. Juga berdasarkan agama, seperti Jong Islamieten Bond (Islam), Indonesische Christen Jongeren (Kristen Protestan) dan Katholieke Jongelingen Bond (Kristen Katholik).

 

Tujuan didirikannya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 adalah untuk membantu putra-putra bangsawan Jawa dari golongan rendahan untuk memperoleh pendidikan. Demikian juga organisasi pemudanya, Tri Koro Darmo dan Jong Java hanya untuk para pemuda dari Jawa dan Madura. Tujuan Jong Java adalah mendirikan Jawa Raya yang mencakup Bali dan Lombok. Demikian juga dengan tujuan didirikannya organisasi-organisasi pemuda pribumi lain yang masih bersifat etnis atau agama, yaitu hanya untuk kegiatan-kegiatan sosial, saling membantu dengan dasar etnisitas atau agama. Organisasi-organisasi tersebut tidak dapat dinamakan sebagai gerakan nasional bangsa Indonesia, karena bangsa (nation) Indonesia belum ada, bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945.

 

Satu-satunya organisasi pemuda pribumi yang didirikan oleh pemuda-pemuda yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda adalah Indische Vereeniging (Perhimpunahn India), yang didirikan di Belanda tahun 1908. Pada waktu itu, jajahan Belanda di Asia Tenggara dinamakan Nederlands Indie (India Belanda), dan penduduknya oleh orang Belanda hanya disebut sebagai Indier (orang India). Sebutan ini sangat menyesatkan, karena tidak dibedakan namanya antara India jajahan Inggris dan India jajahan Belanda. Hanya dalam bahasa Inggris jajahan-jajahan tersebut dinamakan British East India dan Netherlands East India. Tujuan didirikannya Indische Vereeniging semula juga hanya untuk kegiatan-kegiatan sosial dan saling membantu.

 

Pada 25 Desember 1912 Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro), Cipto Mangunkusumo dan Ernest FE Douwes Dekker (Danudirja Setiabudhi) mendirikan partai politik pertama yang dinamakan Indische Partij (Partai India). Indische Partij hanya berusia beberapa bulan, karena tidak mendapat izin dari pemerintah kolonial. Karena sikap mereka yang radikal dan dianggap mengganggu ketenteraman masyarakat, ketiga tokoh tersebut diasingkan ke Belanda tahun 1913. Di Belanda, Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo masuk menjadi anggota Indische Vereeniging. Suwardi Suryaningrat bahkan kemudian menjadi ketua Indische Vereeniging. Sejak itu Indische Vereeniging bersifat politis dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penjajahan.

 

Para tokoh pergerakan melawan penjajahan Belanda, baik yang berada di Nederlands Indie maupun yang berada di Eropa, termasuk di Belanda, menyadari, bahwa mereka berasal dari berbagai etnis, yang berbeda kebudayaan, bahasa dan agama. Oleh karena itu mereka melihat, bahwa untuk melawan penjajah, mereka harus membangkitkan kesadaran semua etnis, agar bersatu. Para pemuda yang berada di Belanda, telah terlebih dahulu bernaung di organisasi yang tidak bersifat kedaerahan atau keagamaan..

 

Pemikiran-pemikiran dan pergerakan para pemuda/mahasiswa pribumi dari Nederlands-Indië (India Belanda) yang belajar di Eropa, terutama di Belanda, sangat berpengaruh terhadap pergerakan pemuda-pemudi pribumi di Nederlands Indie. Sejak awal tahun 1920-an nama INDONESIA diperkenalkan kepada tokoh-tokoh dan para pemuda pribumi di Nederlands Indie. Himbauan ini disambut baik oleh banyak anggota dari beberapa organisasi pemuda tersebut.

 

Banyak di antara mereka sudah saling mengenal, karena mereka menempuh pendidikan di sekolah yang sama, atau tinggal di tempat kos/asrama yang sama, sehingga hampir setiap hari bertemu dan berdiskusi. Pertemuan-pertemuan dan tempat mereka berdiskusi adalah di Indonesische Clubgebouw (Gedung Perkumpulan India) di Jl. Kramat 106, tempat mereka kos dan menyewa ruangan, atau ngobrol tentang politik di Gang Rijkman dan Fromberg Park, dll.

 

Para pemuda pribumi tersebut sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan guna mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pribumi diseluruh wilayah jajahan belanda, yang waktu itu masih berdasarkan etnis, berasal dari pulau yang sama atau berdasarkan kesamaan agama. Inilah tujuan utama diselenggarakannya Kongres Pemuda I dan II.

 

                              Susunan Acara Kongres Pemuda II

 

Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I

(Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia I)

 

Pertemuan besar informal dari para pemuda pribumi yang pertama, diselenggarakan tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis, Batavia (sekarang Jakarta). Hadir secara pribadi (belum sebagai wakil organisasi) pemuda-pemuda dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa peminat perorangan.

 


Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur). Tempat penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Sekarang menjadi Kantor Pusat Kimia Farma, di Jl. Budi Utomo No. 1

 

Dengan suara bulat  dibentuk satu panitia untuk menyelenggarakan pertemuan dari berbagai organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan dan keagamaan tersebut. Tujuannya, sebagaimana dituturkan oleh M. Tabrani Suryowicitro, Ketua Panitia Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I:

“Menggugah semangat kerjasama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di Tanah Air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok untuk lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia.”

 

Susunan Panitia:

Ketua: Mohammad Tabrani Soerjowitjitro

Wakil Ketua: Sumarto

Sekretaris: Djamaluddin (Kemudian dikenal sebagai Adi Negoro)

Bendahara: Suwarso.

Anggota Panitia lain adalah Bahder Djohan, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, Hamami, Sanusi Pane dan Sarbaini.

 

Panitia yang diketuai oleh Mohammad Tabrani mengundang para anggota dari organisasi-organisasi pemuda untuk menghadiri pertemuan yang waktu itu dalam bahasa Melayu dinamakan Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I. Dalam bahasa Belanda dinamakan Het eerste indonesische Jeugd Congres. Kerapatan tersebut  diselenggarakan di Gedung De Ster in het Oosten (Bintang Timur) milik Perkumpulan Vrijmetselaarij (Freemason), Batavia dari tanggal 30 April – 2 Mei 1926.  Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I kemudian disebut sebagai Kongres Pemuda I.

 

Mohammad Tabrani Soerjowitjitro

 

Dalam Kerapatan Besar Pemuda Indonesia I, hadir anggota-anggota  dari Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataksche Bond, Jong Islamieten Bond, Studierenden Minahasaers dan Sekar Rukun. Status peserta masih sebagai pribadi. Hadir juga Wage Rudolf Supratman, wartawan dari Harian Sin Po.

 

Pertemuan besar pertama dari para pemuda-pemudi pribumi di wilayah jajahan Belanda membahas  masalah Persatuan, Peran Perempuan, Peran Agama dan pentingnya Bahasa Persatuan, dalam rangka mencapai persatuan. Pada waktu itu tidak semua peserta fasih berbahasa Melayu, sehingga semua pembicara menggunakan bahasa Belanda. Pembahasan juga dilakukan dalam bahasa Belanda. Demikian juga hasil-hasil kerapatan diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul Verslag van het Eerste Indonesisch Jeugdcongres, Gehouden te Weltevreden van 30 April tot 2 Mei 1926 (Laporan Kongres Pertama Pemuda Indonesia, diselenggarakan di Weltevreden dari tanggal 30 April sampai 2 Mei 1926). 

 

Laporan lengkap yang diterbitkan oleh Panitia Kongres disita dan dimusnahkan oleh penguasa Belanda. Untung sebelum menyampaikan laporan tersebut, Tabrani diam-diam membuat dua salinan laporan. Satu diberikan kepada redaksi majalah mingguan, dan satu salinan disampaikan ke Museum  Pusat di Batavia. Sangat disayangkan, laporan hasil Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tahun 1981.

 

Dalam sambutan pembukaan Kerapatan, Tabrani mengatakan :

“Bagaimana kita memajukan pertumbuhan Semangat Persatuan Nasional dengan menghindari segala sesuatu yang dapat mencerai-beraikan  kita. Maka panitia memilih acara-acara yang mengandung unsur-unsur pemersatu dan menjauhkan diri dari  benih-benih perpecahan.”

 

Tabrani menutup sambutannya dengan kata-kata:

”Mengakhiri pidato saya, saya amat mengharapkan, supaya kongres ini menyuarakan generasi muda sekarang yang nantinya terpanggil untuk bekerja, berkarya, berjuang dan meninggal untuk Kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Rakyat di seluruh kepulauan Indonesia, bersatulah!

 

Demikianlah yang diucapkan oleh seorang pemuda berusia 22 tahun, pada 30 April 1926.

 

Salahsatu pidato yang sangat penting disampaikan oleh pemuda Sumarto, Ketua Jong Java. Dia mengatakan:

“Semangat persatuan Indonesia pada pokoknya bersumber  kepada semangat kemerdekaan. Ia mengandung cita-cita untuk mencapai Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka. Indonesia karenanya adalah  pengertian politik, berbeda dengan Indonesia dalam pengertian bukan politik. Secara etnologisch, philologisch dan geografisch. Indonesia mengandung arti yang lebih luas.

Karenanya dapat dimengerti bahwa sebutan itu tidak dapat memuaskan banyak orang. Bahkan menimbulkan pendapat, bahwa Indonesia itu hanya impian atau khayalan belaka. Namun mereka yang berpendapat demikian berbuat suatu kesalahan karena tidak dapat membedakan antara politik dan ilmu. Indonesia menurut pendapat saya harus diartikan secara politis.

DR. Ratulangi dalam Kongres Al-Indie di Bandung menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia ialah daerah di Asia dan Australia yang terkenal dengan nama Hindia Belanda.

Berhubung dengan ini, orang Indonesia ialah yang tergolong PRIBUMI INDONESIA.”

 

Kalimat terakhir ini merujuk kepada Peraturan Pemerintah kolonial (Regeringsreglement) tahun 1920 yang membagi penduduk menjadi tiga golongan strata sosial dan hukum, yaitu:

1.   Europeanen (bangsa-bangsa Eropa). Bangsa Jepang disetarakan dengan bangsa Eropa.

2.   Vreemde Oosterlingen (Timur asing), yaitu bangsa Cina dan bangsa Arab,

3.   Inlander (Pribumi).

 

Tahun 1926, Peraturan Pemerintah tersebut dikukuhkan menjadi Peraturan Negara (Staatsregeling).

 

Perlu diketahui, bahwa selama ratusan tahun, dari tahun 1640 – 1862, di wilayah jajahan Belanda resmi diberlakukan Undang-Undang Perbudakan. Pribumi leluhur bangsa Indonesia diperjualbelikan sebagai BUDAK DI NEGERI SENDIRI. Pada waktu itu, salahsatu ukuran kekayaan seseorang adalah jumlah budak yang dimilikinya.

 

Sampai tanggal 9 Maret 1942, yaitu tanggal menyerahnya pemerintah Nederlands Indie (India Belanda) kepada Jepang di Kalijati, di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel mewah, tempat pemandian umum elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER, artinga TERLARANG UNTUK ANGJING DAN PRIBUMI. Pribumi yang berada di dalam gedung-gedung/hotel-hotel mewah tersebut hanyalah para jongos. Setalah ratusan tahun diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, pribumi “naik tingkat” menjadi JONGOS DI NEGERI SENDIRI.



Buku yang terbit di Belanda dengan judul: "Verboden voor honden en inlander", artinya "TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI."


Diskriminasi rasial dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang sangat biadab ini juga menjadi salah-satu penyebab yang membangkitkan semangat pribumi untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini juga menjadi dasar dalam menyusun Undang-Undang Dasar yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) bulan Mei/Juni dan Juli 1945. Rancangan Undang-Undang Dasar ini disahkan pada 18 Agustus 1945.

(Lihat Pasal 6 Ayat 1 UUD ’45 asli, dan Pasal 26 Ayat 1 UUD ’45).

 

Sebagai penutup pidatonya, Sumarto mengatakan:

“Jika pada penutup uraian saya ini ditanyakan kepada saya, apakah kemauan saya dan apakah yang sepenuhnya terkandung dalam hati saya, maka jawab saya ialah: Pemuda Indonesia bangunlah menuju persatuan, bangkitlah menuju indonesia merdeka!”

 

Dapat dikatakan, bahwa Kongres Pemuda Indonesia I adalah jawaban terhadap Peraturan Pemerintah Kolonial yang snagat diskriminatif, yang menempatkan pribumi, pemilik negeri yang sesungguhnya, menjadi penduduk kelas tiga, menjadi golongan strata sosial dan hukum yang terrendah,

 

Mengenai peranan wanita, tiga pembicara menyampaikan pandangannya, yaitu Nona Stientje Ticoalu-Adam asal Minahasa yang menyampaikan mengenai kedudukan wanita di Minahasa, Djaksodipuro menyampaikan mengenai hukum adat di Solo yang dikenal dengan sebutan “rapak-lumuh,” dan Bahder Djohan.


Dalam Kerapatan pemuda pertama tersebut juga dibahas mengenai peran agama untuk mencapai persatuan. Paul Pinontoan, pemuda asal Minahasa, menyerukan saling pengertian (tolerantie) di antara pemeluk bermacam-macam agama dan kepercayaan di seluruh Indonesia demi untuk memperkuat gerakan persatuan nasional.

 

Selain hal-hal tersebut di atas, juga dibahas masalah Bahasa Persatuan. Disadari bahwa diperlukan satu bahasa persatuan sebagai pengganti bahasa Belanda. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan digunakannya nama Bahasa Indonesia untuk bahasa Melayu.  Sedangkan Mohammad Yamin (1903 – 1962) mengajukan usul agar menetapkan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, tetap dengan nama BAHASA MELAYU. Bahasa Melayu telah menjadi Lingua franca, bahasa pengantar dalam perdagangan dan komunikasi antar etnis/bangsa di kawasan Asia Tenggara sejak ratusan tahun.

Sehubungan dengan hal ini, Tabrani menulis a.l.:

“Menurut Mohammad Yamin, hanya dua bahasa, yaitu Jawa dan Melayu, yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan. Namun menurut keyakinannya bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Kebudayaan Indonesia di masa depan akan diutarakan dalam bahasa tersebut....

... sekitar pidato saudara Yamin ini mungkin ada faedahnya disajikan sesuatu yang hanya diketahui oleh tiga pemuda ketika itu yaitu saudara Yamin sendiri, saudara Djamaludin dan saya. Soalnya, saya tidak setuju, jika berdasarkan uraian saudara Yamin itu (walaupun saya menyetujui seluruh pidatonya) Kongres lantas akan mengambil keputusan, bahasa Melayulah yang akan dijadikan bahasa persatuan. Jalan pikiran saya ialah tujuan kita besama yaitu SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA.

Kalau Nusa itu bernama Indonesia, Bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasanya harus disebut BAHASA INDONESIA, dan bukan Bahasa Melayu, walaupun unsur-unsur bahasa Melayu mendasari Bahasa Indonesia itu.

Saudara-saudara Yamin dan Djamaludin memahami dan menghargai dan menyetujui jalan pikiran saya, SEHINGGA PENGAMBILAN PUTUSAN TENTANG NAMA BAHASA PERSATUAN DITUNDA DAN HENDAKNYA DIKEMUKAKAN DALAM KONGRES PEMUDA KEDUA.

 

Demikian penjelasan M. Tabrani, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I.

 

Dari keterangan M. Tabrani dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” terlihat jelas, bahwa embrio gagasan “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa” telah disampaikan dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda-Pemudi Indonesia I. Namun karena masih ada beberapa kendala, a.l. belum tercapainya kesepakatan, maka gagasan tersebut dicetuskan dan disetujui dalam Kerapatan (Kongres) Pemuda II.

 


Djamaluddin Adinegoro

 

Dalam Kongres Pemuda I juga     belum tercapai kesepakatan untuk melakukan fusi (peleburan) berbagai organisasi yang masih berdasarkan etnis dan agama, karena masih banyak yang mempertahankan azas kedaerahannya. Salahsatu terobosan besar adalah disepakati pentingnya suatu bahasa persatuan. Kongres Pemuda I menghasilkan kesepakatan untuk menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan, yang kemudian diterima sebagai salahsatu butir resolusi dalam Kongres Pemuda II dengan nama Bahasa Indonesia.

 


Muhammad Yamin

 

Keberhasilan lain dari kerapatan pemuda-pemudi Indonesia pertama ini adalah didirikannya dua organisasi pemuda yang tidak lagi bersifat kedaerahan atau keagamaan. Setelah usai kerapatan, pada bulan September 1926 didirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan kemudian pada 20 Februari 1927 didirikan Jong Indonesia. Dalam kongres pertama Jong Indonesia di Bandung tanggal 28 Desember 1927, nama Jong Indonesia resmi diganti menjadi Pemuda Indonesia. Kedua organisasi ini ikut menjadi motor penyelenggaraan kerapatan pemuda-pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II).

 

Bukan hanya sebagai pendahulu Kongres Pemuda II, hasil-hasil yang dicapai dalam Kongres Pemuda I dan pembahasan-pembahasan sesudah Kerapatan Pemuda I, sangat penting dalam mata-rantai proses pembangunan Bangsa dan Negara Bangsa Indonesia serta menetapkan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan. Oleh karena itu, Kongres Pemuda Indonesia I harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Kongres Pemuda Indonesia II. Peletakan dasar menetapkan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia, yaitu Bahasa Persatuan Bangsa Indonesia, ada di Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I).

 

Pada akhir tahun 1926, dua tokoh yang berperan dalam Kerapatan I, yaitu M. Tabrani dan Djamaludin melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman. Tabrani kembali ke Nederlands-Indië tahun 1931, sehingga tidak dapat menghadiri Kerapatan II. Dalam pertemuan pada 23 April 1927 disepakati untuk menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.

 

 

Putusan Kongres Pemuda II Merupakan Pematangan Hasil Kongres Pemuda I.

 

Pada awal bulan Oktober 1928 dibentuk Panitia Penyelenggara Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II.

Susunan Panitia Kongres Pemuda II:

Ketua                   : Sugondo Joyopuspito (PPPI)

Wakil Ketua        : Joko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris            : Muhammad Yamin (Jong Sumateranen Bond)

Bendahara                   : Amir Syarifuddin Harahap (Jong Bataksche Bond)

 

Sebagaimana telah ditulis di atas, bahwa Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II merupakan rapat umum yang terbuka untuk semua yang berminat hadir. Hal ini mengakibatkan membludaknya masyarakat yang menghadiri ketiga sidang yang diselenggarakan selama dua hari, jumlah yang hadir mencapai sekitar 700 orang. Namun yang resmi tercatat sebagai peserta sidang sekitar 80 orang yang berasal dari 9 organisasi pemuda pribumi.

 

Dalam tiga persidangan selama dua hari, disampaikan pidato-pidato mengenai persatuan, baik dari kalangan pemuda maupun dari kalangan senior. sebagaimana telah ditulis di atas, Mohammad Tabrani, tokoh yang berperan dalam kerapatan pertama tidak hadir, karena melanjutkan pendidikan jurnalistik di Jerman kemudian di Belanda. namun gagasannya mengenai “menciptakan” bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu, dibahas dalam kerapatan II. Yamin, yang dalam Kerapatan Pemuda I masih bersikukuh agar bahasa Melayu ditetapkan menjadi Bahasa Persatuan tetap dengan nama Bahasa Melayu, akhirnya menyetujui, bahwa nama Bahasa Persatuan bukan Bahasa Melayu, melainkan Bahasa Indonesia.  

 

Pada dasarnya, Kerapatan Pemuda II hanya menyempurnakan hasil dari Kerapatan Pemuda I dan beberapa pertemuan besar setelah Kerapatan Pemuda I serta belasan kali diskusi yang intensif di antara para pemuda dari organisasi-organisasi, baik yang terlibat dalam Kerapatan Pemuda I, maupun organisasi-organisasi yang dibentuk setelah Kerapatan Pemuda I.

 

Gagasan membentuk Bangsa Indonesia dan mendirikan Negara Bangsa (Nation State) Indonesia, serta akan menggunakan Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, dirumuskan dalam resolusi sebagai Putusan Kongres Pemuda II. Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang Sugondo Joyopuspito pada sidang ketiga, sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928.

 

Menurut sejarawan JJ Rizal, sesuai dengan bukti yang ia dapat melalui Harian Sinpo, naskah asli hasil Putusan Kongres Pemuda-pemuda Indonesia berbunyi sebagai berikut:

 

1.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air Indonesia.

2.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa Indonesia. 

3.   Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa, bahasa Indonesia.

 

Pada sesi terakhir kongres, ketika Mr. Sunario sedang berpidato, M. Yamin menyodorkan secarik kertas kepada Soegondo dan berbisik kepada Soegondo: 

”Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie” (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini),

 

Kemudian Soegondo membubuhi paraf ”setuju” pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk ”paraf setuju” juga. Teks tersebut dibacakan oleh Soegondo.

Teks Putusan Kongres Pemuda – pemuda Indonesia yang ditulis oleh M. Yamin adalah sebagai berikut:

1.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

2.   Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

3.   Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

 

 (Sumber: https://baranom.wordpress.com/2014/05/03/sumpah-pemuda-antara-fakta-dan-dusta/

 

Resolusi tersebut dibacakan oleh Ketua Sidang, Sugondo Joyopuspito dan diterima oleh sidang, menjadi Putusan Kongres. Tidak ada pembacaan Ikrar atau “Sumpah Pemuda.”



Sugondo Joyopuspito

 

Mengenai kesalah-pahaman terhadap hasil Kongres Pemuda II, Sugondo Joyopuspito, mantan Ketua Panitia/Ketua Sidang, dalam buku “45 Tahun Sumpah Pemuda” yang diterbitkan tahun 1973 oleh Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta, menjelaskan:

 

“Sebagian besar dari hadirin adalah khalayak ramai. Di antara khalayak ramai itu hadir juga para undangan, yaitu wakil perkumpulan-perkumpulan pemuda, parpol,, ormas, dan orang-orang terkemuka. Hadir pula untuk menjalankan tugas dinas: pegawai PID (Politieke Inlichtingen Dienst) dan pegawai (Kantoor voor Inlandse Zaken) (kantor ini membuat laporan kepada Gubernur Jenderal; laporannya sering membela orang Indonesia dan berbeda dengan laporan PID; kepala kantor ini antara lain ialah Dr. Hazen, Gobee dan van der Plas).

 

Panitia Kongres Pemuda II adalah sebuah panitia yang dibentuk oleh sidang terakhir (sidang-sidang ini sudah dimulai dalam tahun 1927 dan sidang terakhir diadakan pada awal bulan Oktober 1928) dari para utusan Pengurus Besar Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi dengan Ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Panitia itu diberi tugas untuk mengadakan rapat umum. Dalam rapat umum itu supaya diadakan pidato-pidato tentang soal yang memperkuat persatuan. Panitia itu ditugaskan untuk merumuskan resolusi yang menganjurkan persatuan dan pemakaian Bahasa Indonesia di kalangan pemuda.

 

Panitia ini disebut Panitia Kongres Pemuda II oleh karena di tahun 1926 sudah pernah ada Panitia Kongres Pemuda I, yang diketuai oleh Moh. Tabrani dan yang terdiri dari pemuda-pemuda anggota berbagai organisasi pemuda, tetapi bukan utusan dari Pengurus Besar organisasi-organisasi itu.

 

Anggapan bahwa rapat-rapat umum pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu adalah rapat kongres pemuda-pemuda dari seluruh Indonesia disebabkan oleh beberapa hal.

Sebab pertama ialah penyiaran resolusi oleh sekretarisnya, yang berjudul Poetoesan Congres Pemoeda Indonesia. Dan resolusi itu dibuka dengan kata-kata “Kerapatan pemuda-pemoeda Indonesia yang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemuda Indonesia ..... memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928...”

 

Resolusi itu memberi kesan kepada orang yang tidak menghadiri rapat-rapat umum tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 itu seolah-olah pada hari tesebut di atas para pemuda mengadakan rapat kongres.

 

Moh. Yamin waktu itu masih muda, baru satu tahun menjadi mahasiswa Rechts Hoge School. Dan anggota panitia lainnya lebih muda lagi, kecuali Djokomarsaid yang sudah pernah menjadi mantri polisi. Dan sudah menjadi watak orang muda suka memakai perkataan-perkataan  yang muluk. Sebab itu judul dan kata-kata resolusi yang disusun oleh Yamin lebih mengutamakan effect daripada kebenaran. Lagipula pemuda Yamin mempunyai aspirasi menjadi sastrawan.

Seorang sastrawan itu dalam pandangannya memang lebih dipimpin oleh imajinasi daripada oleh kenyataan.

 

Begitulan Yamin dalam pidatonya di rapat umum yang pertama tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia” berkata, bahwa ia merasa gembira berbicara di muka persidangan itu, karena para yang hadir datang dari seluruh Indonesia, seolah-olah orang-orang yang hadir dalam rapat umum itu baru datang kemarin dengan “kapal terbang” dari Ambon, Manado, Kotaraja, Padang, Denpasar, Yogya  dan lain-lain tempat dari seluruh Indonesia.

Seterusnya dalam pidato Yamin melukiskan imajinasinya dengan kata-kata, bahwa persatuan dan Kebangsaaan Indonesia ialah hasil fikiran dan kemauan sejarah yang sudah beratus-ratus tahun umurnya. Semangat yang selama ini masih tidur, sekarang telah bangun dan sadar, dan inilah yang dinamakan Roh Indonesia.

Briljant kata beberapa orang muda. Bombast kata orang dewasa yang lebih suka mendengarkan kata-kata yang sederhana.”

 

Demikianlah penjelasan dari Sugondo Joyopuspito, Ketua Panitia Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II). Dari keterangan initerlihat, bahwa yang dirancang adalah rapat umum yang terbuka untuk masyarakat luas. Jadi di dalam Kerapatan Pemuda II tidak dilakukan pembahasan-pembahasan yang mendalam. Panitia Kerapatan ditugaskan untuk merumuskan resolusi, yang sudah dibahas sejak Kerapatan Pemuda I tahun 1926.

 


Poster ini dibuat bukan oleh Panitia Kongres, karena ada beberapa kesalahan:

1. Nama Jong Ambon tidak dicantumkan,

2. Penulisan Jong Batak seharusnya Jong Bataksche Bond.

3..Tempat penyelenggaraan di Batavia. Nama Jakarta baru digunakan mulai tanggal 8 Agustus 1942, yaitu di masa pendudukan tentara Jepang.



PENUTUP

 

Dari penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para pelaku sejarah, terutama kedua Ketua Panitia Kerapatan Pemuda dan tokoh-tokoh yang menyelenggarakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia yang pertama dan kedua terlihat, bahwa selama ini cukup banyak kekeliruan dalam karangan-karangan mengenai kedua pertemuan besar organisasi-organisasi pemuda pribumi.

 

Kesalahan-kesalahan karangan mengenai Kerapatan pertama disebabkan a.l. karena para pengarang kelihatannya belum membaca hasil laporan Kerapatan pertama. Hal ini terjadi karena laporan hasil kerapatan pertama dalam bahasa Belanda, baru diterjemahkan ke Bahasa Indonesia tahun 1981. Misalnya dalam buku karangan Drs. Mardanus Safwan, “Peranan Gedung Kramat Raya No. 106 dalam melahirkan Sumpah Pemuda” yang diterbitkan tahun 1973, mengenai Kongres Pemuda Indonesia Pertama terdapat beberapa kesalahan. M. Tabrani, Ketua Panitia Kongres Pemuda I menulis, bahwa dalam daftar bacaan buku tersebut, tidak dijumpai Laporan Hasil Kongres Pemuda Indonesia I.

 

Apabila membaca karangan-karangan mengenai Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, dan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II terlihat, bahwa karangan Mardanus Safwan ini menjadi rujukan/referensi. Kalau rujukan rujukannya salah, maka jelas karangan-karangan berikutnya yang menggunakan rujukan tersebut dipastikan salah. Demikianlah cara penyebaran informasi yang salah yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

 

Dalam beberapa artikel yang dimuat di beberapa media ternama, ditulis nama-nama orang-orang yang “berperan” dalam “lahirnya Sumpah Pemuda,” hanya satu nama yang ikut berperan dalam Kerapatan Besar Pemuda-Pemudi Indonesia I, yaitu Muhammad Yamin. Bahkan dalam satu artikel, ditulis nama orang-orang yang sama-sekali tidak ada perannya dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II, apalagi dalam “melahirkan Sumpah Pemuda.” Beberapa nama yang ditulis hanya merupakan tamu yang samasekali tidak ikut berbicara, apalagi berperan.

 

Belakangan ini dimunculkan beberapa nama pemuda bangsa Cina, seolah-olah pemuda-pemuda bangsa Cina ikut berperan dalam “Sumpah Pemuda” yang tidak pernah ada. Juga tidak tidak dijelaskan mereka mewakili organisasi pemuda mana, karena peserta Kongres Pemuda II adalah 9 organisasi pemuda pribumi. Bangsa Cina dan bangsa Arab pada waktu itu baru menikmati status sosial sebagai penduduk kelas dua, di atas status sosial pribumi. Yang paling janggal adalah, pedagang bangsa Cina yang menyewakan gedung tempat penyelenggaraan acara, juga ditulis sebagai “tokoh” yang berperan dalam “lahirnya Sumpah Pemuda.” Dia bukan pemilik gedung, melainkan hanya pemegang HGB (Hak Guna Bangunan), yang menyewakan gedungnya menjadi tempat kos dan pertemuan para pemuda pribumi. Setelah masa berlakuknya HGB habis, gedung tersebut diambil kembali oleh Pemda DKI  dan kemudian dijadikan Museum Sumpah Pemuda. Jadi gedung tersebut disewa, bukan digunakan secara gratis.

 

Sudah waktunya lembaga-lembaga yang berwenang untuk penulisan-penulisan sejarah, terutama untuk buku-buku pelajaran mengenai sejarah di sekolah-sekolah, melakukan penelitian ulang dan menulis baru, bukan sekadar revisi tulisan lama, agar generasi mendatang tidak lagi membaca sejarah yang salah.

 


jakarta, 28 Oktober 2020.