Thursday, December 14, 2006

Pernyataan Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, CMG

Pernyataan Richard Gozney, CMG, Duta Besar Kerajaan Inggris untuk RI (2000 - 2004), disampaikan dalam Seminar Internasional “The Battle of Surabaya, November 1945. Back Ground and Consequences”, di Lemhannas, Jakarta, 27 Oktober 2000. Diselenggarakan oleh Komite Pembela Hak Asasi Rakyat Surabaya Korban Pemboman November ’45 (KPHARS) bersama LEMHANNAS RI (Lembaga Ketahanan Nasional RI). Teks lengkap ini dimuat dalam buku Batara R. Hutagalung, “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?”, Millenium Publisher, Jakarta, Oktober 2001.
Uraian ini (transkrip dari rekaman kaset) disampaikan dalam bahasa Indonesia dan tanpa membaca teks. Pembicara sebelum Richard Gozney adalah alm. Dr. Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah.
Moderator adalah Batara R. Hutagalung. Ketua KPHARS.
Keynote Speaker adalah Prof. Dr. Machfud MD., Menteri Pertahanan RI.
Seminar ditutup oleh Gubernur LEMHANNAS, Letjen TNI Johny Lumintang.

Batara R. Hutagalung
Ketua Yayasan Persahabatan 10 November ’45.

===============================================

Bapak Ketua, Bapak Gubernur Lemhannas dan Bapak Ruslan Abdulgani, banyak terima kasih.
Kesulitan saya jelas, bagaimana bisa ikuti seorang tokoh seperti yang barusan, terutama seorang tokoh yang mempunyai ingatan, mempunyai memory seperti seekor gajah. Saya baru 2 bulan kembali ke Indonesia; saya merasa seperti punya ingatan atau memory seperti seekor tikus kecil, dibandingkan dengan Bapak Ruslan. Apalagi saya tidak punya di sini beberapa lelucon seperti Bapak Ruslan. Yang belum sempat mengantuk atau istirahat, boleh sekarang.



    Seminar di LEMHANNAS RI, 27 Oktober 2000

Pertama-tama saya mau berterima kasih banyak kepada Pak Batara Hutagalung untuk undangan ini, dan untuk kesempatan ikut serta dalam seminar ini. Pada waktu saya terima undangan, saya ragu-ragu, dengan pertanyaan untuk saya sendiri. Saya tanya: “Apakah ini sudah waktunya, sudah matang untuk bisa ikut serta dalam seminar tentang peristiwa yang begitu peka untuk Indonesia, untuk sejarah Indonesia?”
Tetapi saya dianjurkan oleh Pak Batara dan yang lain-lain dan juga oleh beberapa tokoh di Surabaya, di mana saya bicarakan tentang hal ini. Mereka mengatakan, sekarang sudah waktunya, dan ini dalam suasana rekonsiliasi yang ada di sini. Sudah waktunya untuk menyampaikan sambutan dari perwakilan Inggris di sini. Kemudian saya tidak ragu-ragu lagi. Saya menerima undangan itu, tetapi, seperti Pak Batara bilang tadi, saya bukan ahli sejarah, apalagi ahli sejarah peristiwa bulan Oktober dan November 1945 di Surabaya, dan malahan belum sempat mempelajari secara mendalam dokumen-dokumen seperti yang punya Pak Roeslan Abdulgani atau yang dipelajari Pak Roeslan di Archive di London.


Dute Besar Inggris, Richard Gozney, Batara R. Hutagalung, Ketua KPHARS,
Ruslan Abdulgani, pelaku sejarah

Saya tidak akan bicara lama di sini, singkat saja. Secara sangat serius, pertama-tama saya mau katakan, yaitu bahwa kami di Inggris sangat menyesal atas tewasnya ribuan orang di Surabaya. Kami hormati orang Indonesia yang menjadi korban dan memperingati kehidupan mereka. Kami juga menghormati tentu saja prajurit-prajurit Inggris yang meninggal, 500 orang yang disebut tadi oleh Pak Roeslan. Kami juga menghormati ribuan orang Belanda dan orang Indo Belanda yang dibunuh sebagai akibat penyerbuan Indonesia oleh Jepang pada tahun empatpuluhan itu. Oleh karena itu, kita semua hormati juga usaha-usaha Lemhannas bersama dengan Pak Batara dan Panitia ini, untuk menjelaskan secara rinci sejarah pada waktu tahun 1945 itu.
Seperti yang saya katakan, bukan peranan saya hari ini, karena fakta-fakta, kenyataan itu secara rinci harus di lakukan para ahli dari universitas-universitas; dan ada juga di Inggris. Saya kenal 3 atau 4 orang di sana. Satu di Universitas London, satu di Oxford dan satu lagi di Inggris Utara. Saya pikir, mereka bisa ditarik ke sini, kalau kita usahakan bersama-sama dengan Panitia ini, bersama dengan Lemhannas dan bersama saya.


Yang saya mau singgung sekarang, hanya sebagian latar belakangnya secara umum dan secara politik, kalau diperkenankan. Sekarang, 55 tahun kemudian, mudah sekali kalau kita menilai aksi pada waktu itu, kegiatan pada waktu itu, keputusan pada waktu itu, atas dasar standar hari ini. Kalau dipertimbangkan atas dasar standar yang sekarang tapi kejadian 55 tahun yang lalu, susah sekali menganggap bahwa aksi 55 tahun yang lalu; ada yang pantas, ada yang acceptable, bisa diterima hari ini.



Narasumber di seminar

Sebagaimana yang terjadi di Surabaya, seperti ada banyak peristiwa-peristiwa selama perang dunia kedua, baik di Asia maupun di Eropa. Selama itu, beberapa bulan sesudah selesai perang dunia II, kalau dinilai hari ini, atas dasar atau standar hari ini, akan dianggap kurang acceptable, tidak acceptable. Tetapi, membuat evaluasi atas standar atau penilaian hari ini, atas aksi-aksi 55 tahun yang lalu, saya pikir sebenarnya itu salah; itu suatu –kalau boleh dikatakan- godaan yang harus dihindari, karena standar-standar pada zaman itu lain. Dan kalau di sini secara langsung yang terjadi di Surabaya, motivasinya Brigadir Mallaby dan Jenderal yang ikut 10 hari kemudian setelah kematian Brigadir Mallaby, mereka pada umumnya, pokoknya motivasinya jelas, dan saya pikir cukup murni juga.
Ada kekosongan pada waktu itu, seperti Pak Ruslan tadi ceritakan, tidak ada penyerahan Jepang yang jelas, bahkan sebaliknya. Itu disinggung dalam buku yang ditulis oleh ayahnya Pak Batara Hutagalung. Disinggung secara sangat jelas, ada kekosongan kekuasaan setelah penyerahan resmi oleh Jepang, tapi kenyataannya di sini, di Jawa itu lain. Jepang tidak menyerahkan secara terperinci. Tadi Pak Roeslan ceritakan tentang pendaratan dan sebagainya.
Nah, sebagai akibat adanya kekosongan itu, tentara kami, tentara Inggris datang dengan 3 tujuan:

- Yang pertama, untuk menyelamatkan wanita dan anak dan orang-orang sipil yang sudah lama ditahan selama zaman Jepang dan ada kekhawatiran yang riil, yang sebenarnya, atas nasibnya orang-orang sipil, banyak wanita, banyak anak-anak juga pada waktu itu.


- Tujuan yang kedua, untuk mengatur penarikan Jepang dan juga seperti Bapak Abdulgani baru menjelaskan, itu belum dilaksanakan, belum dilakukan secara jelas, itu tujuan yang kedua.


- Dan yang ketiga, ini sesuatu yang kami mengakui terus terang, tanpa persoalan, yakni yang dimaksud dalam surat yang penting dari Panglima Asia, Mountbatten.


Mountbatten tidak ada di sini, tetapi dia adalah Panglima seluruh tentara Inggris untuk wilayah Asia- adalah untuk membantu Belanda, mengambil kembali Indonesia sebagai jajahan.

Nah itulah aksi motivasi tujuan kami, yang tentu saja atas dasar standar yang hari ini, tidak bisa diterima dengan baik. Tapi saya pikir, sebaiknya kita semua pikir atas standar atau sejarah pada zaman itu. Dan pada zaman itu, tidak ada satu negara jajahan Inggris pun yang sudah diberi kemerdekaan; India pun masih ada di bawah jajahan Inggris sampai tahun 1947. Wah, saya salah ya, maaf, ini ada satu jajahan Inggris yang sudah merdeka yaitu yang disebut Amerika Serikat, tapi hanya itu. Selanjutnya, pada waktu itu, saya katakan sebagai orang Eropa, bahwa keadaan negara jajahan dari negara-negara Eropa seperti Prancis, seperti Belanda, seperti Inggris, pada saat itu masih sesuatu yang rupanya wajar, dan sekarang sudah aneh; tapi itu 55 tahun kemudian ‘kan?
Kembali ke pikiran saya yang pokok untuk kita -yang saya anjurkan- kita coba menghindarkan yang saya sebut godaan untuk membuat evaluasi tentang kejadian pada waktu itu atas dasar standar penilaian hari ini. Jadi pada waktu itu standar kepentingan Inggris, latar belakangnya, semuanya lain. Nah hanya itu yang mau saya katakan di sini. Tentu saja saya sangat gembira, bahwa Inggris, pemerintah Inggris, perwakilan Inggris diundang untuk ikut serta di sini. Saya menerima undangan kemarin dengan kerendahan hati, benar. Oleh karena ini masalah sejarah Indonesia dan peranan Inggris pada waktu itu, selalu akan merupakan suatu aspek yang kontroversial, dan untuk itu saya mau berterima kasih telah diterima hari ini.



Narasumber di seminar

Saya akan membuat laporan untuk teman saya, yang anaknya Brigadir Mallaby, sekarang sudah pensiun. Dia mantan Duta Besar Inggris di Jerman dan di Prancis; dia salah satu diplomat Inggris yang paling senior, yang paling penting. Sekarang sebagai direktur di satu bank di London. Soalnya saya tidak tahu, tadi Pak Batara umumkan rencana kami atau kita untuk mengundang Mallaby ke sini. Tentu dia belum dengar, karena saya belum memberi tahu dia, harus tunggu dulu untuk melihat kalau bisa menariknya ke sini. Beliau belum pernah mengunjungi makam ayahnya yang ada di sini, di Jakarta (Menteng Pulo-red). Barangkali tahun depan atau dua tahun lagi kita bisa mengundang -yang seperti Pak Hutagalung katakan tadi- untuk memberikan suatu kuliah atau semacam itu di suatu universitas. Dia tidak punya pengalaman di Asia, tetapi dia tahu menahu tentang masalah-masalah hubungan luar negeri di Eropa, dan bisa bicara tentang hal itu, barangkali; tetapi nanti saya hubungi dia.
Sekali lagi, secara sangat serius, yang penting adalah bahwa sebagai wakil Pemerintah Inggris, saya katakan bahwa kami orang Inggris sangat menyesal atas tewasnya sebegitu banyak orang Surabaya pada waktu itu. Terima kasih.



       *******

Friday, December 08, 2006

10 NOVEMBER '45. MENGAPA INGGRIS MEMBOM SURABAYA?

Tulisan ini merupakan cuplikan dari buku Batara R. Hutagalung: “10 November ’45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?" Millenium Publisher, Jakarta Oktober 2001, xvi + 472 halaman.

Pertempuran 28 – 30 Oktober 1945
Pada bulan Agustus 1943 di Quebec, Kanada, dicapai kesepakatan antara Presiden Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Churchill, untuk membentuk South East Asia Command (SEAC –Komando Asia Tenggara), dan mulai tanggal 16 November, SEAC di bawah pimpinan Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. Wewenang SEAC meliputi Sri Lanka, sebagian Assam, Birma, Thailand, Sumatera, dan beberapa pulau kecil di Lautan Hindia.
Pulau-pulau lain dari wilayah bekas Hindia Belanda berada di bawah wewenang Letnan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima tentara Sekutu Komando Wilayah Pasifik Baratdaya (South West Pacific Area Command – SWPAC).
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, MacArthur diperintahkan untuk segera membawa pasukannya ke Jepang, dan kewenangan atas wilayah SWPAC diserahkan kepada Mountbatten.
Mengenai penambahan tugas yang diberikan kepadanya, Mountbatten menulis:
Having taken over the NEI (Netherlands East Indies – pen.) from the South-West Pacific Area without any intelligence reports, I had been given no hint of the political situation which had arisen in Java. It was known of course, that an Indonesian Movement had been in existence before the war; and that it had been supported by prominent intellectuals, some of whom had suffered banishment for their participation in nationalist propaganda –but no information had been made available to me as to the fate of this movement under the Japanese occupation.
Dr. H.J. van Mook, Lieut.-Governor-General of the NEI who had come to Kandy on 1st September, had given me no reason to suppose that the reoccupation of Java would present any operational problem beyond the of rounding up the Japanese
.”
Catatan Admiral Lord Mountbatten tersebut menunjukkan dengan jelas, bahwa informasi yang diberikan oleh Dr. van Mook kepada Mountbatten salah dan menyesatkan sehingga berakibat sangat fatal, bukan saja bagi rakyat Indonesia, namun juga bagi tentara Inggris, sebagaimana kemudian dialami oleh Brigade 49 di Surabaya bulan Oktober 1945.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
1. melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces),
2. membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta
3. menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Namun di kemudian hari, ternyata ada tugas rahasia yang dilakukan oleh tentara Inggris -dengan mengatasnamakan Sekutu- yaitu mengembalikan Indonesia sebagai jajahan kepada Belanda. Pada waktu itu, para pemimpin Indonesia belum mengetahui adanya hasil keputusan konferensi Yalta yang sehubungan dengan Asia, yaitu mengembalikan situasi kepada status quo, seperti sebelum invasi Jepang tahun 1941; dan juga belum diketahui ada perjanjian bilateral antara Belanda dan Inggris di Chequers, mengenai komitmen bantuan Inggris kepada Belanda. Selain itu, pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Jenderal Sir Philip Christison di Singapura sebelum berangkat ke Jakarta –mungkin waktu itu pernyataan tersebut tulus disampaikannya- telah membesarkan hati pimpinan Republik Indonesia. Dengan demikian boleh dikatakan, bahwa para pemimpin Republik Indonesia waktu itu terkecoh oleh Inggris.
Mungkin jalan sejarah akan lain, apabila waktu itu telah diketahui isi surat Mountbatten kepada komandan-komandan pasukan, terutama apabila pimpinan Republik Indonesia telah mengetahui adanya kesepakatan Inggris dengan Belanda di Chequers tanggal 24 Agustus 1945. Apabila hal-hal tersebut telah diketahui pada waktu itu, dapat dipastikan bahwa para pimpinan Republik –terutama dari garis keras- tidak akan menerima perdaratan tentara Sekutu, yang di banyak tempat ternyata membawa perwira dan serdadu Belanda dengan berkedok RAPWI. Paling sedikit, perlawanan bersenjata telah dimulai di seluruh Indonesia sejak September 1945, dan tidak pada akhir bulan Oktober/awal November, di mana tiga divisi British-Indian Divisions secara lengkap telah mendarat di Jawa dan Sumatera.
Untuk pelaksanaan tugasnya, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di Hindia Belanda; dan jabatan Komandan AFNEI, semula dipegang oleh Rear Admiral Sir Wilfred Patterson, yang kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison, juga seorang bangsawan Inggris. Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945. Pasukan yang akan ditugaskan adalah British-Indian Divisions, yaitu Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Tengah dan Divisi ke 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Brigade 49, dengan julukannya “The Fighting Cock” di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, 42 tahun, mendarat di surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23, yang seharusnya ditugaskan untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, namun karena Divisi 5 yang seharusnya ditugaskan ke Jawa Timur, masih tertahan di Malaysia, oleh karena itu, Mallaby diperintahkan untuk segera ke Surabaya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 sekitar pukul 11.00, satu pesawat terbang Dakota yang datang dari Jakarta, menyebarkan pamflet di atas kota Surabaya. Isi pamflet -atas instruksi langsung dari Mayor Jenderal Hawthorn, panglima Divisi 23- yang disebarkan di seluruh Jawa, memerintahkan kepada seluruh penduduk untuk dalam waktu 2 x 24 jam menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada Perwakilan sekutu di Surabaya, yang praktis ketika itu hanya diwakili tentara Inggris. Dalam seruan tersebut tercantum a.l.:
“Supaya semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris….Barangsiapa yang memiliki senjata dan menolak untuk menyerahkannya kepada tentara Sekutu, akan ditembak di tempat (persons beeing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot).”
Dikabarkan, bahwa Mallaby sendiri terkejut dengan isi pamflet, karena jelas bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober, sehari sebelum pamflet tersebut disebarkan. Namun pimpinan brigade Inggris mengatakan, mereka terpaksa melakukan perintah atasan. Mereka mulai menahan semua kendaraan dan menyita senjata dari pihak Indonesia. Maka berkobarlah api kemarahan di pihak Indonesia, karena mereka menganggap pihak Inggris telah melanggar kesepakatan yang ditandatangani tanggal 26 Oktober. Di samping itu langkah-langkah Inggris yang akan mendudukkan Belanda kembali sebagai penguasa di Indonesia kian nyata. Gubernur Suryo segera mengirim kawat yang disusul dengan laporan panjang lebar ke Pemerintah Pusat di Jakarta. Jawaban baru diterima sekitar pukul 15.00 dan berbunyi:
“Diminta kebijaksanaan Pemerintah Jawa Timur setempat agar pihak ketentaraan dan para pemuda-pemudanya tidak melakukan perlawanan terhadap tentara Sekutu…”
Gubernur Suryo tidak berhasil menemui Mayor Jenderal drg. Mustopo, lalu menyerahkan kawat tersebut kepada Residen Sudirman. Tepat pukul 17.00, Residen Sudirman tiba di markas Divisi TKR Surabaya di Jalan Embong Sawo dan menyerahkan kawat tersebut kepada komandan Divisi, Mayor Jenderal Yonosewoyo.
Tak lama kemudian, datang Kolonel Pugh, yang menyampaikan pendirian Brigadier Mallaby mengenai seruan pamflet terrsebut, bahwa Mallaby akan melaksanakan tugas, sesuai perintah dari Jakarta. Pugh kembali ke markasnya, tanpa mendapat jawaban dari pimpinan Divisi TKR.
Setelah kepergian Kolonel Pugh, dilakukan perundinngan sekitar setengah jam antara Residen Sudirman dan Panglima Divisi Yonosewoyo, dengan keputusan: “Komando Divisi Surabaya akan segera memberikan jawaban terhadap ultimatum tersebut secara militer.”
Dalam pertemuan kilat pimpinan Divisi TKR Surabaya, dibahas berbagai pertimbangan dan diperhitungkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Apabila mereka menyerahkan senjata kepada Sekutu, berarti pihak Indonesia akan lumpuh, karena tidak mempunyai kekuatan lagi. Apabila tidak menyerahkan senjata, ancamannya akan ditembak di tempat oleh pasukan Inggris/ Sekutu.
Kubu Indonesia memperhitungkan, pihak Inggris tidak mengetahui kekuatan pasukan serta persenjataan lawannya. Sedangkan telah diketahui dengan jelas, bahwa kekuatan Inggris hanyalah satu brigade, atau sekitar 5.000 orang. Artinya, kekuatan musuh jauh di bawah kekuatan Indonesia di Surabaya dan sekitarnya, yang memiliki pasukan bersenjata kurang lebih 30.000 orang. Jenis senjata yang dimiliki mulai dari senjata ringan hingga berat, termasuk meriam dan tank peninggalan Jepang yang, sebagian terbesar masih utuh. Selain kekuatan pasukan terbatas, pasukan Inggris yang baru 2 hari mendarat, dipastikan tak mengerti liku-liku kota Surabaya.
Sesuai dengan strategi Carl von Clausewitz, pakar teori militer Prusia, bahwa: ”Angriff ist die beste Verteidigung” (Menyerang adalah pertahanan yang terbaik), maka dengan suara bulat diputuskan: “Menyerang Inggris!”.
Perintah diberikan langsung oleh Komandan Divisi Surabaya, Mayor Jenderal Yonosewoyo. Subuh baru merekah. Serangan besar-besaran pun mulai dilancarkan pada hari Minggu, 28 Oktober pukul 4.30 dengan satu tekad, tentara Inggris yang membantu Belanda, harus dihalau dari Surabaya, dan penjajah harus dipaksa angkat kaki dari bumi Indonesia. Praktis seluruh kekuatan bersenjata Indonesia yang berada di Surabaya bersatu. Juga pasukan-pasukan dan sukarelawan Palang Merah/kesehatan dari kota-kota lain di Jawa Timur a.l. dari Sidoarjo, Gresik, Jombang dan Malang berdatangan ke Surabaya untuk membantu.
Hal ini benar-benar di luar perhitungan Inggris, terutama mereka tidak mengetahui kekuatan dan persenjataan pihak Indonesia. Selama ini, informasi yang mereka peroleh mengenai Indonesia, hanya dari pihak Belanda, sedangkan Belanda sendiri diperkirakan tidak mengetahui perkembangan yang terjadi di Surabaya –di Indonesia pada umumnya- sejak Belanda menyerah kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942. Sebagian terbesar dari mereka diinternir oleh Jepang, dan baru dibebaskan pada akhir Agustus 1945. Nampaknya, informasi yang diberikan oleh Belanda kepada Inggris sangat minim, atau salah.
Di samping BKR/TKR yang menjadi cikalbakal TNI, juga tercatat sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan oleh para pemuda atau karyawan berbagai profesi, Pasukan Pelajar (TRIP), Pasukan BKR Tanjung Perak, Pasukan Kimia TKR, Pasukan Genie Tempur (Genie Don Bosco), Pasukan BKR Kereta Api, Pasukan BKR Pekerjaan Umum, Pasukan Sriwijaya, Pasukan Buruh Laut, Pasukan Sawunggaling, TKR Laut, Barisan Hizbullah, Lasykar Minyak, TKR Mojokerto, TKR Gresik, Pasukan Jarot Subiantoro, Pasukan Magenda Bondowoso, Pasukan Sadeli Bandung. Selain itu ada pula pasukan-pasukan pembantu seperti Corps Palang Merah, Corps Kesehatan, Corps PTT, Corps Pegadaian, bahkan ada juga Pasukan Narapidana Kalisosok, dll. Puluhan kelompok pemuda yang berasal dari suku tertentu membentuk pasukan sendiri, seperti misalnya Pasukan Pemuda Sulawesi (KRIS-Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Pasukan Pemuda Kalimantan, Pemuda Ponorogo, dan juga ada Pasukan Sriwijaya, yang sebagian terbesar terdiri dari pemuda mantan Gyugun (sebutan Heiho di Sumatera) dari Batak dan ada juga yang dari Aceh. Pasukan Sriwijaya ini telah mempunyai pengalaman bertempur melawan tentara Sekutu di Morotai, Halmahera Utara.
Bukan saja BKR/TKR yang menjadi cikalbakal Angkatan Darat, melainkan dibentuk juga pasukan Laut dan Udara. Tercatat a.l. Pasukan BKR Laut/TKR Laut Tanjung Perak, Pasukan Angkatan Muda Penataran Angkatan Laut, Pasukan BKR/TKR Udara di Morokrembangan.
Selain pasukan-pasukan yang bersenjata, diperkirakan lebih dari 100.000 pemuda dari Surabaya dan sekitarnya, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing dan clurit ikut dalam pertempuran selama tiga hari. Kebanyakan dari mereka yang belum memiliki senjata, bertekad untuk merebut senjata dari tangan tentara Inggris.
Selain para wanita yang rela berkorban sebagai anggota Palang Merah, juga tak dapat diabaikan peran serta ibu-ibu juru masak dan yang membantu di dapur umum yang didirikan untuk kepentingan para pejuang Republik Indonesia. Para pejuang dan sukarelawan itu bukan hanya penduduk Surabaya, melainkan berdatangan dari kota-kota lain di sekitar Surabaya, seperti Gresik, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Bondowoso, Ponorogo bahkan dari Mojokerto, Malang, pulau Madura, dan Bandung.
Inggris Mengibarkan Bendera Putih
Serbuan ke pos-pos pertahanan Inggris di tengah kota dilengkapi dengan blokade total: Aliran listrik dan air di wilayah pos pertahanan Inggris dimatikan. Truk-truk yang mengangkut logistik untuk pasukan Inggris, terutama yang akan mengantarkan makanan dan minuman bisa dicegah. Kekacauan demi kekacauan menyebabkan suplai yang dijatuhkan pesawat Inggris dari udara, ikut pula terganggu. Tidak sedikit yang meleset dari sasaran, bahkan boleh dikatakan hampir semua jatuh ke tangan pasukan Indonesia.
Dalam penyerbuan itu, korban di pihak Indonesia tidak sedikit, sebab berbagai pasukan –khususnya laskar pemuda- tanpa pendidikan militer dan pengalaman tempur, hanya bermodalkan semangat dan banyak yang hanya bersenjatakan clurit atau bambu runcing, begitu bersemangat maju menggempur musuh yang notabene tentara profesional.
Dengan bermodalkan keberanian serta semangat ingin mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi, para pejuang Indonesia akhirnya mampu memporak-porandakan kubu Inggris. Setelah dua hari tidak menerima kiriman makanan dan minuman, serta korban yang jatuh di pihak mereka sangat besar, pasukan Inggris akhirnya mengibarkan bendera putih, meminta berunding.
Mallaby menyadari, bila pertempuran dilanjutkan, tentara Inggris akan disapu bersih, seperti tertulis dalam kesaksian Capt. R.C. Smith:
“…….. on further consideration, he (Mallaby, red.) decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out. "
Walaupun ia sadari tidak ada pilihan lain, tetapi ketika persyaratan yang diajukan Indonesia antara lain Inggris harus angkat kaki dari Surabaya dan meninggalkan persenjataan yang ada di pos-pos pertahanan yang telah dikepung, Mallaby menilai tampaknya terlalu berat baginya sebagai pimpinan tentara yang baru memenangkan Perang Dunia II untuk melakukan hal itu.

Presiden Sukarno Diminta Melerai “Insiden Surabaya”
Ternyata pada hari pertama penyerbuan rakyat Indonesia terhadap pos-pos pertahanan tentara Inggris di Surabaya, pimpinan tentara Inggris menyadari, bahwa mereka tidak akan kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia di Surabaya. Mallaby (lihat kesaksian Kapten R.C. Smith) memperhitungkan, bahwa Brigade 49 ini akan “wiped out” (disapu bersih), sehingga pada malam hari tanggal 28 Oktober 1945, mereka segera menghubungi pimpinan tertinggi tentara Inggris di Jakarta untuk meminta bantuan. Menurut penilaian pimpinan tertinggi tentara Inggris, hanya Presiden Sukarno yang sanggup mengatasi situasi seperti ini di Surabaya. Kolonel. A.J.F. Doulton menulis:
The heroic resistance of the british troops could only end in the extermination of the 49th Brigade, unless somebody could quell the passion of the mob. There was no such person in Surabaya and all hope rested on the influence of Sukarno.” (Perlawanan heroik tentara Inggris hanya akan berakhir dengan musnahnya Brigade 49, kecuali ada yang dapat mengendalikan nafsu rakyat banyak itu. Tidak ada tokoh seperti itu di Surabaya dan semua harapan tertumpu pada pengaruh Sukarno).
Panglima Tertinggi Tentara Sekutu untuk Asia Timur, Letnan Jenderal Sir Philip Christison meminta Presiden Sukarno untuk melerai “incident” di Surabaya. Pimpinan tentara Inggris menilai, situasi di Surabaya sangat mengkhawatirkan bagi mereka, sehingga Presiden Sukarno yang sedang tidur, didesak agar segera dibangunkan. Dalam Autobiografi yang ditulis oleh Cindy Adams, Sukarno menuturkan:
“Tukimin yang setia berbisik-bisik. Itu ada seorang yang menamakan dirinya Pembantu Khusus (ADC - aide-de-camp = perwira pembantu –pen.) dari komandan Tentara Inggris. Ia menyatakan, bahwa ada persoalan yang amat penting. Kepadanya telah saya jawab, bahwa Bapak sedang tidur, tetapi ia mendesak agar supaya saya membangunkan Bapak.
Akhirnya setelah saya bangun, selama 30 menit terpaksa berbicara melalui telepon. Tetapi tidak sepatah kata pun apa yang sedang menggelisahkan perasaan saya dari pembicaraan telepon itu saya ungkapkan kepada intern keluarga saya, baik Fatmawati maupun kepada Tukimin. Saya hanya menyatakan bahwa besok pagi saya akan ke Surabaya dengan kapal terbang militer kepunyaan Inggris. Dan kemudian saya kembali ke kamar tidur, dan pelan-pelan menutup pintu.
Saya dengan Hatta, yang baru saja dipilih menjadi Wakil Presiden, selama lebih kurang 2 jam berbicara dengan pihak Sekutu Inggris, tetapi pihak Inggris mengharapkan saya, sebab saya dibutuhkan. Dan saya tahu, bahwa tidak akan ada sesuatu pun yang akan dapat menghentikan persoalan ini.
Di Surabaya, ternyata Inggris telah menempatkan markasnya di gedung-gedung di tengah kota Surabaya sebagai pusatnya….”
Pada 29 Oktober 1949 di Kompleks Darmo, Kapten Flower yang telah mengibarkan bendera putih, masih ditembaki oleh pihak Indonesia; untung dia selamat, tidak terkena tembakan. Kapten Flower, yang ternyata berkebangsaan Australia, kemudian diterima oleh Kolonel dr. Wiliater Hutagalung. Hutagalung mem-fait accompli, dengan menyatakan:
We accept your unconditional surrender!”,
dan mengatakan, bahwa pihak Indonesia akan membawa tentara Inggris -setelah dilucuti- kembali ke kapal mereka di pelabuhan.
Pimpinan Republik Indonesia di Jakarta pada waktu itu tidak menghendaki adanya konfrontasi bersenjata melawan Inggris, apalagi melawan Sekutu. Pada 29 Oktober sore hari, Presiden Sukarno beserta Wakil Presiden M. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin Harahap, tiba di Surabaya dengan menumpang pesawat militer yang disediakan oleh Inggris. Segera hari itu juga Presiden Sukarno bertemu dengan Mallaby di gubernuran. Malam itu dicapai kesepakatan yang dituangkan dalam “Armistic Agreement regarding the Surabaya-incident; a provisional agreement between President Soekarno of the Republic Indonesia and Brigadier Mallaby, concluded on the 29th October 1945.” Isinya a.l.:
· Perjanjian diadakan antara Panglima Tentara Pendudukan Surabaya dengan PYM Ir. Sukarno, Presiden Republik Indonesia untuk mempertahankan ketenteraman kota Surabaya.
· Untuk menenteramkan, diadakan perdamaian: ialah tembakan-tembakan dari kedua pihak harus diberhentikan.
· Syarat-syarat termasuk dalam surat selebaran yang disebarkan oleh sebuah pesawat terbang tempo hari (yang dimaksud adalah pada tanggal 27 Oktober 1945) akan diperundingkan antara PYM Ir Sukarno dengan Panglima Tertinggi Tentara pendudukan seluruh Jawa pada tanggal 30 Oktober besok.
Mayjen Hawthorn tiba tanggal 30 Oktober pagi hari. Perundingan yang juga dilakukan di gubernuran segera dimulai, antara Presiden Sukarno dengan Hawthorn, yang juga adalah Panglima Divisi 23 Inggris. Dari pihak Indonesia, tuntutan utama adalah pencabutan butir dalam ultimatum/pamflet tanggal 27 Oktober, yaitu penyerahan senjata kepada tentara Sekutu; sedangkan tentara Sekutu menolak memberikan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Perundingan alot, yang dimulai sejak pagi hari dan baru berakhir sekitar pukul13.00, menghasilkan kesepakatan, yang kemudian dikenal sebagai kesepakatan Sukarno – Hawthorn. Isi kesepakatan antara lain:
· The Proclamation previously scatttered by aircraft shall be annulled; that is to say, the disarmament of the TKR and the Pemudas shall not be carried out.
· The Allied forces shall not guard the city.
The TKR shall be recognized; its continued use of arms shall be allowed.
Yang terpenting bagi pihak Indonesia dalam kesepakatan ini adalah pencabutan perintah melalui pamflet tertanggal 27 Oktober dan pengakuan terhadap TKR yang bersenjata.

Brigadir Jenderal Mallaby Tewas
Setelah disepakati truce (gencatan senjata) tanggal 30 Oktober, pimpinan sipil dan militer pihak Indonesia, serta pimpinan militer Inggris bersama-sama keliling kota dengan iring-iringan mobil, untuk menyebarluaskan kesepakatan tersebut. Dari 8 pos pertahanan Inggris, 6 di antaranya tidak ada masalah, hanya di dua tempat, yakni di Gedung Lindeteves dan Gedung Internatio yang masih ada permasalahan/tembak-menembak.
Setelah berhasil mengatasi kesulitan di Gedung Lindeteves, rombongan Indonesia-Inggris segera menuju Gedung Internatio, pos pertahanan Inggris terakhir yang bermasalah. Ketika rombongan tiba di lokasi tersebut, nampak bahwa gedung tersebut dikepung oleh ratusan pemuda. Setelah meliwati Jembatan Merah, tujuh kendaraan memasuki area dan berhenti di depan gedung. Para pemimpin Indonesia segera ke luar kendaraan dan meneriakkan kepada massa, supaya menghentikan tembak-menembak.
Kapten Shaw, Mohammad Mangundiprojo dan T.D. Kundan ditugaskan masuk ke gedung untuk menyampaikan kepada tentara Inggris yang bertahan di dalam gedung, hasil perundingan antara Inggris dengan Indonesia. Mallaby ada di dalam mobil yang diparkir di depan Gedung Internatio. Beberapa saat setelah rombongan masuk, terlihat T.D. Kundan bergegas keluar dari gedung, dan tak lama kemudian, terdengar bunyi tembakan dari arah gedung. Tembakan ini langsung dibalas oleh pihak Indonesia. Tembak-menembak berlangsung sekitar dua jam. Setelah tembak-menembak dapat dihentikan, terlihat mobil Mallaby hancur dan Mallaby sendiri ditemukan telah tewas.
Ada dua kejadian pada tanggal 30 Oktober 1945, yang pada waktu itu dilemparkan oleh Inggris ke pihak Indonesia, sebagai yang bertanggung jawab, dan kemudian dijadikan alasan Mansergh untuk “menghukum para ekstremis” dengan mengeluarkan ultimatum tanggal 9 November 1945:
1. Orang-orang Indonesia memulai penembakan, dan dengan demikian telah melanggar gencatan senjata (truce),
2. Orang-orang Indonesia membunuh Brigadier Mallaby.
Tewasnya Mallaby memang sangat kontroversial, tetapi mengenai siapa yang memulai menembak, di kemudian hari cukup jelas. Kesaksian tersebut justru datangnya dari pihak Inggris. Ini berdasarkan keterangan beberapa perwira Inggris yang diberikan kepada beberapa pihak. Yang paling menarik adalah yang disampaikan kepada Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh (Labour). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen (House of Commons) Tom Driberg, menyampaikan:
“….. some of the press reports from Indonesia have been entirely responsible. In particular, I have learned from officers who have recently returned that some of the stories which have been told, not only in the newspaper, but, I am sorry to say, from the Government Front Bench in his House, have been very far from accurate and have innecessarily imparted prejudice and concerns the lamented death of Brigadier Mallaby. That was announced to us as a foul murder, and we accepted it as such. I have learned from officers who were present when it happened the exact details and it is perfectly clear that Brigadier Mallaby was not murdered but was honourably killed in action……. The incident was somewhat confused –as such incidents are- but it took place in and near Union Square in Surabaya. There had been discussions about a truce earlier in the day. A large crowd of Indonesians –a mob if you like- had gathered in the square and were in a rather excited state.
About 20 Indians, in a building on the other side of the square, had been cut off from telephonic communication and did not know about the truce. They were firing sporadically on the mob. Brigadier Mallaby came out from the discussions, walked straight into the crowd, with great courage, and shouted to the Indians to cease fire. They obeyed him. Possibly half an hour later, the mob in the square became turbulent again. Brigadier Mallaby, at a certain point in the proceedings, ordered the Indians to open fire again. They opened fire with two Bren Guns and the mob dispersed and went to cover; then fighting broke out again in good earnest. It is apparent that when Brigadier Mallaby gave the order to open fire again, the truce was in fact broken, at any rate locally. Twenty minutes to half an hour after that, he was unfortunately killed in his car –although it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.
I do not think this amounts to charge of foul murder …..because my information came absolutely at first hand from a British officer who was actually on the spot at the moment, whose bona fides I have no reason to question…..”
Di sini Tom Driberg meragukan, bahwa Mallaby terbunuh oleh orang Indonesia. Dia menyatakan:
“….it is not absolutely certain whether he was killed by Indonesians who were approaching his car; which exploded simultaneously with the attack on him.”
Selanjutnya dia juga membantah, bahwa tewasnya Mallaby akibat “dibunuh secara licik” (foully murdered). Kelihatannya pihak pimpinan tentara Inggris -untuk membangkitkan/memperkuat rasa antipati terhadap Indonesia- rela mendegradasi kematian seorang perwira tinggi menjadi “dibunuh secara licik” daripada menyatakan “killed in action” –tewas dalam pertempuran- yang menjadi kehormatan bagi setiap prajurit.
Juga penuturan Venu K. Gopal, waktu itu berpangkat Mayor, yang adalah Komandan Kompi D, Batalion 6, Mahratta. Kompi D ini mengambil tempat pertahanan di Gedung Internatio. Tanggal 8 Agustus 1974, dia menulis kepada J.G.A. Parrot antara lain :
“Let me first give you some background. “D” Coy had been under fire off and on and had already casualties. The firing came from other buildings on the square and by and large we were able to contain it. We could, however, see that armed men barred all the exits from the square.
Meanwhile armed Indonesians swarmed over to the veranda of the building and I had to bluntly tell them that I would fire if they started pressing into the building. By this time I could not see Brigade Mallaby or the LOs (Liaison Officers) because of the crowds on the veranda.
Just then Capt. Shaw and Kundan ( I did not know their names at that time) tried to get into the building but were prevented. Kundan then shouted to the crowd that he would get us surrender and he and Capt.Shaw were then allowed to go into the building if they took an Indonesian officer with them. I allowed them in hoping to play for time. After a little time Kundan went out of the building, leaving Capt. Shaw and the Indonesian Officer behind.
Soon thereafter the armed men started pushing in and I was left with no option but to open fire. The Decision was mine and mine alone. Capt. Smith is correct when he says that BM (Mallaby-pen.) did not give any orders to Capt. Shaw..”
Dengan pengakuan Mayor Gopal, Komandan Kompi D yang bertahan di Gedung Internatio, sekarang terbukti, bahwa yang memulai menembak adalah pihak Inggris; tetapi kelihatannya dia masih ingin melindungi bekas atasannya dengan menggarisbawahi, bahwa perintah menembak tersebut adalah keputusannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan kesaksian T.D. Kundan, yang diperkuat dengan kesaksian seorang perwira Inggris melalui Tom Driberg. Dengan pengakuan ini terlihat jelas, bahwa Inggris pada waktu itu memutar balikkan fakta dan menuduh bahwa gencatan senjata telah dilanggar pihak Indonesia (the truce which had been broken). Di dalam situasi tegang bunyi ledakan ataupun tembakan akan menimbulkan kepanikan pada kelompok-kelompok yang masih diliputi suasana tempur, sehingga tembakan tersebut segera dibalas; maka pertempuran di seputar Gedung Internatio pun pecah lagi.
Dari pengakuan kedua perwira Inggris tersebut telah jelas, bahwa pemicu terjadinya tembak-menembak adalah pihak Inggris sendiri. Dugaan ini sebenarnya tepat, bila disimak jalan pikiran Mallaby, seperti dituliskan oleh Capt. Smith:
“…He (Mallaby, red.) did not believe in the safe-conducts in so far as it applied to us, but thought that some at least of the Company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders…..”
Sebelum itu, menurut Smith, telah terjadi perbedaan pendapat antara Kapten Shaw dan Mallaby mengenai permintaan para pemuda Indonesia, agar tentara Inggris meninggalkan persenjataan mereka di dalam gedung. Awalnya, Kapten Shaw menyetujui permintaan ini, tetapi Mallaby kemudian membatalkannya. Smith :
“…Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safeconduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this………”
Uraian Tom Driberg di Parlemen Inggris (House of Commons) kelihatannya keterangannya diperoleh dari KaptenShaw
Kemudian tuduhan kedua, bahwa orang Indonesia “secara licik membunuh Mallaby”, perlu diteliti lebih lanjut. Di pihak Indonesia banyak orang mengaku bahwa dialah yang menembak Mallaby. Hj. Lukitaningsih I. Rajamin-Supandhan mencatat, ada sekitar 12 orang yang mengaku sebagai yang menembak Mallaby. Namun menurut penilaian beberapa pelaku sejarah, dari sejumlah keterangan yang diberikan, cerita yang benar kemungkinan besar yang disampaikan oleh Abdul Azis. (Lihat: Barlan Setiadijaya, 10 November 1945…., hlm. 429-435.) Dul Arnowo mencatat laporan seorang saksi mata, Ali Harun, yang kemudian diteruskan ke Presiden Sukarno. Surat tersebut dibawa oleh Kolonel dr. W. Hutagalung ke Jakarta, dan diserahkan langsung kepada Presiden Sukarno pada tanggal 8 November 1945.
Dari berbagai penuturan, memang benar adanya penembakan dengan menggunakan pistol oleh seorang pemuda Indonesia ke arah Mallaby, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memastikan, bahwa Mallaby memang tewas akibat tembakan tersebut. Yang menarik untuk dicermati adalah pengakuan Kapten R.C. Smith dari Batalyon 6, Resimen Mahratta, yang pada waktu itu menjabat sebagai Liaison Officer Brigade 49. Tanggal 31 Oktober, dia memberikan laporannya yang pertama, kemudian pada bulan Februari, sehubungan dengan keterangan Tom Driberg di House of Commons. Laporan Smith dimuat oleh J.G.A. Parrot, dalam analisisnya, Who Killed Brigadier Mallaby? Kapten R.C. Smith menulis:
“The Report by Capt. R.C. Smith.
At approximately 1230 hrs. on 30th October, Capt T.L. Laughland and I were ordered by Col. L.H.O.Pugh, DSO, 2i/c (Second in Command) of the Bde., to proceed to the Government offices, where we were each to collect an Indonesian representative. From there one of us was to go north, and the other south, through the town, and try to persuade the mobs to go back to their barracks. Brigadier Mallaby was at this time in conference with the Governor in the Government Offices.
On arrival there, we were told by the Brigadier that the Indonesians had refused to treat with anyone except him. Accordingly we set off with the Brigadier and the FSO (Field Security Officer), Capt. Shaw, plus the leaders of the various parties, in several cars, the foremost of which was flying the white flag.
The first place to which we went was a large building about 150 yards west of the Kali Mas River, which runs north and south through the town. One Coy of the 6 Mahrattas had been having a very stiff fight in this building against about five hundred Indonesians, and had been in considerable difficulties.
On our arrival there, the mob was collected round the cars, and the various party leaders made speeches to them, in an attempt to persuade them to return to their barracks. The speeches were at first quite well received, and the necessary promises given.
We then got into our cars and set off for the next position. We had only gone about 100 yards when we were stopped by the mob aproximately 20 yards from the Kali Mas. From then on the situation rapidly deteriorated. The mob leaders began to incite the mob, and the party leaders gradually lost control. The mob, which up to that time had seemed fairly friendly towards us, became distinctly menacing: swords were waved, and pistols pointed at us and we were left with very little doubt as to their intentions.
Eventually, the mob demanded that the troops in the building laid (sic) down their arms and marched (sic) out: they and us (sic) guaranteed a safe-conduct back to the air field. The Brigadier flatly refused to consider this proposal. After further pressure, however, Capt.Shaw, who was well known to some of the indonesians through his job as FSO, and who had been under a considerable strain since our arrival in Surabaya, agreed to the terms on his own responsibility. The Brigadier at once countemanded this: on further consideration, he decided that the company had been in so bad a position before, that any further fighting would lead to their being wiped out.
He did not believe in the safe-conduct in so far as it applied to us, but thought that some at least of the company might get away. Accordingly Capt. Shaw was sent into the building to give the necessary orders.
The rest of us were disarmed – except for a grenade which Capt. Laughland managed to keep concealed – and made to sit in one of the cars.
The Brigadier was on the side nearest to the Kali Mas, Capt. Laughland in the middle, and myself on the outside nearest to the building in which our troops were.
When Capt. Shaw got into the building, the Indonesians brought up a machine gun to cover the entrance. He and the company commander decided that any attempt to walk out unarmed would lead to a massacre and so the order to open fire was given.
As soon as the firing started, the three of us who were in the car crouched down on the floor as far as possible. An Indonesian came up to the Brigadier’s window with a rifle. He fired four shots at three of us, all of which missed. He went away while we shammed dead. The battle went on for about two and a half hours, to about 2030 hrs, by which time it was dark. At the end of that time, the firing died down to some extent, and we could hear shouting as though the Indonesians were being collected. Two of them came up to the car and attempted to drive it away. That failed and one of them opened the back door on the Brigadier’s side. The Brigadier moved, and as they saw from that, that he was still alive, he spoke to them and asked to be taken to one of the party leaders. The two Indonesians went away to discuss this, and one of them came back to the front door on the Brigadier’s side. The Brigadier spoke to him again, the Indonesian answered, and then suddenly reached his hand in through the front window, and shot the Brigadier. It took from fifteen seconds to half-a-minute for the Brigadier to die, but from the noise he made at the end, there was absolutely no doubt that he was dead. (Notes from Parrot: This was the first time that these details of the final moments of Brigadier Mallaby had been made public. In this second report Smith offered the following explanation:”In the report made by Capt.Laughland and myself the following morning we stated that the Brigadier was killed instantly. This was done in order to spare the feelings of the family.”)
As soon as he had fired, the Indonesian ducked down beside the car, and remained there until after the Brigadier was dead. I took the pin out of the grenade which Capt.Laughland had previously passed to me, and waited. The Indonesian appeared again, and fired another shot which grazed Capt. Laughland’s shoulder. I let go the lever of the grenade, held it for two seconds to make sure it was not returned and threw it out of the open door by Brigadier’s body. As soon as it had exploded, Capt. Laughland and I went out of the door on my side of the car, waited for a short time, then ran around the car and dived into the Kali Mas. As the two Indonesians by the side of the car did not attemp to interfere with us it is presumed that they were killed by the grenade—which also set the back seat of the car on fire. After five hours in the Kali Mas, we managed to reach our troops in the Dock area.”

Keterangan Smith ini a.l. menguatkan penjelasan Gopal, bahwa memang benar pihak Inggris yang memulai penembakan. Kesaksian Smith ini mirip dengan keterangan Abdul Azis; dan ternyata dia tidak mati seperti dugaan Smith.
Sehubungan dengan penembakan dengan senapan yang terjadi sebelum penembakan terhadap Mallaby, dalam surat kepada Parrot tertanggal 23 November 1973, Smith menulis antara lain:
“I have no idea what hapenned to the four shots from the rifleman. He approached the car from the left (the Brigadiers side) with the rifle at the ready, and looking at the three of us. I am not ashamed to say at this point I shut my eyes and started counting the shots!
I think all three of us were equally surprised at finding both ourselves and the others alive afterwards!”

Tentu sangat luar biasa, bahwa menembak tiga orang yang sedang duduk di dalam mobil yang sempit dengan empat tembakan, namun tak satupun yang mengena. Hal ini menunjukkan, bahwa dapat dipastikan, pemilik senapan itu baru pertama kali menembak, sehingga menembak tiga orang dengan jarak mungkin paling tinggi 2 meter, empat tembakan meleset semua.
Mengenai ciri-ciri penembak Mallaby, dalam surat kepada Parrot tanggal 20 Februari 1974, Smith menulis:
“… the indonesian who killed the Brigadier was a young lad around 16 or 17 approximately, but it was too dark to see whether he was wearing any sort of uniform. The weapon was an automatic pistol …”

Kemudian pada 20 Februari 1974, Smith menulis kepada Parrot yang isinya antara lain:
“I have no recollection of the conversation that the Indian interpreter reported and while I certainly could not state that I heard everything that happenned, I think I should have remembered this, if not now after 30 years, certainly at the time when I wrote my report. However, in all fairness, I must say that there were moments when my attention was distracted from the Brigadier myself. For instance, I can remember spending some time trying to convince a very angry young Indonesian that I had not personally be responsible for his brother’s death.
Going back to my report, the position of all of us was very closely gouped around one car so that there was only a matter of a very few feet between us. Therefore, Brigadier Mallaby was certainly able to hear when Captain Shaw agreed to the demands of the mob, which was why he was able to countermand it immediately. As I said, he then changed his mind in the hope that some of the men at least might reach safety, but the orders that he gave Captain Shaw were that the troops in the building should lay down their arms and come out unarmed, in the hope of safe-conduct.
I definitely did not hear any suggestion that they should be ordered to open fire after a certain length of time had elapsed. The one thing that has always been quite firmly established in my memory is that the orders to fire were given by Captain Shaw once he had got into the building.”
Yang perlu diragukan di sini adalah dugaan Smith, bahwa Mallaby tewas sebagai akibat tembakan pistol pemuda Indonesia. Seperti dalam tulisannya, dia mengatakan bahwa pada saat itu sekitar pukul 20.30 dan keadaan gelap. Memang aliran listrik di daerah tersebut telah diputus oleh pihak Indonesia. Dia hanya mengatakan:
“…berdasarkan suara yang didengar dari arah Mallaby, dia yakin bahwa Mallaby telah tewas 15 – 30 detik setelah ditembak dengan pistol…”
Selain itu dia juga mengakui, bahwa granat yang dilemparkannya melewati tubuh Mallaby telah mengakibatkan terbakarnya jok belakang mobil mereka, artinya tempat Mallaby duduk.
Menurut pemeriksaan di rumah sakit, jenazah Mallaby sangat sulit dikenali, karena hangus dan hancur. Dia dikenali melalui tanda bekas jam tangan di kedua lengannya, karena Mallaby dikenal dengan kebiasaannya untuk memakai dua jam tangan; jadi bukan identifikasi wajah atau ciri-ciri tubuh lain. Hal ini disampaikan oleh dr. Sugiri, kepada Kolonel dr. W. Hutagalung.
Seandainya keterangan Smith benar, bahwa Mallaby tidak memberikan perintah untuk memulai menembak, bahkan sebaliknya, yaitu menginstruksikan Kapten Shaw untuk memerintahkan tentara Inggris yang di dalam gedung agar mereka meletakkan senjata dan ke luar gedung tanpa senjata, maka telah terjadi pembangkangan yang berakibat fatal, yaitu perintah dari komandan kompi, Mayor Gopal, untuk memulai menembak. Dilihat dari sudut mana pun, timbulnya tembak-menembak yang berakibat tewasnya Mallaby, adalah kesalahan tentara Inggris.
Mengenai tuduhan bahwa Mallaby tewas akibat tembakan pistol, sangat diragukan. Jelas untuk membela diri, Smith dan Laughland harus menyatakan dahulu bahwa Mallaby telah tewas ketika Smith melemparkan granat, yang kemudian justru membakar bagian belakang mobil yang mereka dan Mallaby tumpangi. Beberapa saksi mata di pihak Indonesia mengatakan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat tersebut sehingga dengan demikian, boleh dikatakan Mallaby tewas karena kesalahan pihak Inggris sendiri. Dari kronologi kejadian dapat disimpulkan, bahwa Mallaby tewas karena tembak-menembak berkobar lagi.
Yang sangat menarik untuk dicermati sehubungan dengan pelemparan granat oleh Kapten Smith, adalah kesaksian Imam Sutrisno Trisnaningprojo, seorang pemuda berpangkat kapten, mantan anggota PETA. Trisnaningprojo ikut dalam iring-iringan mobil dalam rangka penyebarluasan hasil kesepakatan Sukarno-Hawthorn. Bahwa Smith adalah orang yang melemparkan granat yang mengakibatkan mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar, diakui oleh Smith sendiri, tetapi Trisnaningprodjo menuturkan, bahwa Smith tidak berada di dalam mobil bersama Mallaby, melainkan bersama Laughland di luar mobil ketika terjadi penembakan terhadap Mallaby. Trisnaningprojo melihat, Smith berada di dekat gedung dan melemparkan granat ke arah pemuda yang menembak Mallaby, tetapi granat meledak di sebelah mobil Mallaby yang pintu belakangnya terbuka. Jadi, Captain Smith melempar granat tidak dari dalam mobil, melainkan dari luar mobil. Ini berarti bahwa tidak ada yang mengetahui kondisi Mallaby setelah penembakan dari pemuda Indonesia tersebut, apakah terluka atau memang telah tewas seperti penuturan Smith.
Baik dari kesaksian Smith, maupun keterangan Trisnaningprojo yang dilengkapi sketsa lokasi pada saat kejadian, pemuda Indonesia menembak dengan pistol ke arah Mallaby melalui jendela depan di sisi kiri mobil, sedangkan Mallaby –masih menurut Smith- duduk di jok belakang, di sisi paling kiri. Dari posisi pemuda Indonesia tersebut, walaupun dia menggunakan tangan kiri, kemungkinan besar bagian tubuh Mallaby sebelah kanan yang akan terkena tembakan, dan ini biasanya tidak mematikan. Berbeda, apabila yang terkena adalah tubuh bagian kiri, di bagian jantung.
Di samping itu, juga tidak ada yang bisa memastikan, bahwa tembakan pemuda tersebut benar mengenai sasaran karena sebelumnya -juga menurut Smith- ketika bertiga masih duduk di bagian belakang mobil, ada yang menembak ke arah mereka dengan senapan sebanyak empat kali, namun tak satu peluru pun yang mengenai mereka. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa pemuda yang menembak dengan pistol, juga baru pertama kali memegang pistol, sehingga belum mahir menggunakannya.
Ketika diwawancarai oleh Ben Anderson pada tanggal 13 Agustus 1962, Dul Arnowo menyatakan, bahwa dia yakin Mallaby secara tidak sengaja, telah terbunuh oleh anak buahnya sendiri.
Dalam laporan rahasia kepada atasannya, Kolonel Laurens van der Post mantan Gubernur Militer Inggris di Batavia/Jakarta tahun 1945, menuliskan ((Sir Laurens van der Post, The Admiral’s Baby, John Murray, London, 1996):
“The detail of what happenned at Sourabaya is not really relevant to this review but it is interresting that the very latest evidence suggests that the Mallaby Murder, far from being premiditatet or a deliberate breach of faith, was caused more by the indescribable confusion and nervous excitement of everyone in the town. Had General Hawthorn, the General Officer Commanding Java at the same time, had proper Civil Affairs and political officers on his staff to draft his unfortunate proclamations for him and to keep [in] continuous and informed contact with population, the story of Sourabaya may well have been different.”
Setelah Letnan Jenderal Sir Phillip Christison mengeluarkan ancamannya, dalam waktu singkat Inggris menambah kekuatan mereka di Surabaya dalam jumlah sangat besar, mobilisasi militer Inggris terbesar setelah Perang Dunia II usai. Pada 1 November, Laksamana Muda Sir. W. Patterson, berangkat dari Jakarta dengan HMS Sussex dan mendaratkan 1.500 Marinir di Surabaya. Mayor Jenderal Mansergh, Panglima 5th British-Indian Division, berangkat dari Malaysia memimpin pasukannya dan tiba di Surabaya tanggal 3 November 1945. Masuknya pasukan Divisi 5 yang berjumlah 24.000 tentara secara berangsur-angsur, sangat dirahasiakan. Divisi 5 ini sangat terkenal karena ikut dalam pertempuran di El Alamein, di mana pasukan Marsekal Rommel, Perwira Jerman yang legendaris dikalahkan. Mansergh juga diperkuat dengan sisa pasukan Brigade 49 dari Divisi 23, kini di bawah pimpinan Kolonel Pugh, yang menggantikan Mallaby. Rincian pasukan Divisi 5:

4th Indian Field Regiment.
5th Field Regiment.
24th Indian Mountain Regiment.
5th (Mahratta) Anti-Tank Regiment (artileri).

17th Dogra Machine-Gun Battalion.
1/3rd Madras Regiment (H.Q. Battalion).
3/9th Regiment (reconnaissance battalion)
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds)

9th Indian Infantry Brigade.
2nd West Yorkshire Regiment.
3/2nd Punjab Regiment.
1st Burma Regiment.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal H.G.L. Brain)

123rd Indian Infantry Brigade.
2/1st Punjab Regiment.
1/17th Dogra Regiment.
3/9th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.J. Denholm Young)

161st Indian Infantry Brigade.
I/1st Punjab Regiment.
4/7th Rajput Regiment.
3/4th Gurkha Rifles.
(infanteri, di bawah komando Brigadir Jenderal E.H.W. Grimshaw)

Armada di bawah komando Captain R.C.S. Carwood a.l. terdiri dari: Fregat HMS Loch Green dan HMS Loch Glendhu; kapal penjelajah HMS Sussex serta sejumlah kapal pengangkut pasukan dan kapal pendarat (landing boot).
Persenjataan yang dibawa adalah skuadron kavaleri yang semula terdiri dari tank kelas Stuart, kemudian diperkuat dengan 21 tank kelas Sherman, sejumlah Brenncarrier dan satuan artileri dengan meriam 15 pon dan Howitzer kaliber 3,7 cm. Tentara Inggris juga dipekuat dengan squadron pesawat tempur yang terdiri dari 12 Mosquito dan 8 pesawat pemburu P-4 Thunderbolt, yang dapat membawa bom seberat 250 kilo. Jumlah pesawat terbang kemudian ditambah dengan 4 Thunderbolt dan 8 Mosquito.
Tanggal 9 November 1945, Mansergh menyerahkan 2 surat kepada Gubernur Suryo. Yang pertama berupa ULTIMATUM yang ditujukan kepada “All Indonesians of Sourabaya” lengkap dengan “Instructions”. Yang kedua merupakan penjelasan/rincian dari ultimatum tersebut.
Bunyi ultimatum yang disebarkan sebagai pamflet melalui pesawat udara pada 9 November pukul 14.00. adalah :

“November, 9th. 1945.

TO ALL INDONESIANS OF SOERABAYA.

On October 28th, the Indonesians of Soerabaya treacherously and without provocation, suddenly attacked the british Forces who came for the purpose of disarming and concentrating the Japanese Forces, of bringing relief to Allied prisoners of war and internees, and of maintaining law and order. In the fighting which ensued British personel were killed or wounded, some are missing, interned women and children were massacred, and finally Brigadier Mallaby was foully murdered when trying to implement the truce which had been broken in spite of Indonesian undertakings.
The above crimes against civilization cannot go unpunished. Unless therefore, the following ordes are obeyed without fail by 06.00 hours on 10th.November at the latest, I shall enforce them with all the sea, land and air forces at my disposal, and those Indonesians who have failed to obey my orders will be solely responsible for the bloodshed which must inevitably ensue.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces,
East Java.

Instructions

My orders are:
1. All hostages held by the Indonesians will be returned in good condition by 10.00 hours 9th. November.
2. All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.
3. (a) All Indonesians unauthorized to carry arms and who are in possession of same will report either to the roadside Westerbuitenweg between South of the railway and North of the Mosque or to the junction of Darmo Boulevard and Coen Boulevard by 18.00 hours 9 th November, carrying a white flag and proceeding in single file. They will lay down their arms in the same manner as prescribed in the preceeding paragraphs. After laying down their arms they will be permitted to return to their homes. Arms and equipment so dumped will taken over by the uniformed police and regular T.K.R. and guarded untill dumps are later taken over by Allied Forces from the uniformed police and regular T.K.R.
(b) Those authorises to carry arms are only the uniformed police and the regular T.K.R.
4. These will thereafter be a search of the city by Allied Forces and anyone found in possession of firearms of conealing them will be liable to sentence of death.
5. Any attemp to attack or molest the Allied internees will be punishable by death.
6. Any Indonesian women and children who wish to leave the city may do so provided that they leave by 19.00 hours on 9th November and go only towards Modjokerto or Sidoardjo by road.

(Signed) Maj.Gen.R.C.Mansergh
Commander Allied Land Forces, East Java

Mansergh telah menyusun “orders”nya pada butir 2 sedemikian rupa, sehingga boleh dikatakan tidak akan mungkin dipenuhi oleh pihak Indonesia:
“Seluruh pemimpin bangsa Indonesia termasuk pemimpin-pemimpin Gerakan Pemuda, Kepala Polisi dan Kepala Radio Surabaya harus melapor ke Bataviaweg pada 9 November jam 18.00. Mereka harus datang berbaris satupersatu membawa senjata yang mereka miliki. Senjata-senjata tersebut harus diletakkan di tempat berjarak 100 yard dari tempat pertemuan, setelah itu orang-orang Indonesia itu harus mendekat dengan kedua tangan mereka di atas kepala mereka dan akan ditahan, dan harus siap untuk menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.”
(All Indonesian leaders, including the leaders of the Youth Movements, the Chief Police and the Chief Official of the Soerabaya Radio will report at Bataviaweg by 18.00 hours, 9th November. They will approach in single file carrying any arms they possess. These arms will be laid down at a point 100 yards from the rendezvous, after which the Indonesians will approached with their hands above their heads and will taken into custody, and must be prepared to sign a document of unconditional surrender.)

Dalam butir dua ini sangat jelas tertera “ …menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat.” Dengan formulasi yang sangat keras dan kasar ini, Mansergh pasti memperhitungkan, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya tidak akan menerima hal ini, sebab bila sebagai pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia menandatangani pernyataan MENYERAH TANPA SYARAT, berarti melepaskan kemerdekaan dan kedaulatan yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Yang dimaksud dengan senjata adalah: senapan, bedil, pedang, pistol, tombak, pisau, pedang, keris, bambu runcing, tulup, panah berbisa atau alat tajam yang dapat dilemparkan.
Sejarah mencatat, bahwa pimpinan sipil dan militer di Surabaya memutuskan, untuk tidak menyerah kepada tentara Sekutu dan memilih untuk melawan.
Inggris menepati ultimatumnya dan memulai pemboman dan penembakan dari meriam-meriam kapal pukul 06.00. Serangan hari pertama berlangsung sampai malam hari. Meriam-meriam di kapal-kapal perang dan bom-bom dari udara mengenai tempat-tempat yang penting dalam kota, seperti daerah pelabuhan, kantor PTT, kantor pengadilan, gedung-gedung pemerintah dan juga pasar-pasar. Pemboman dari darat, laut dan udara ini diselingi dengan tembakan-tembakan senapan-mesin yang dilancarkan oleh pesawat pemburu, sehingga mengakibatkan korban beribu-ribu orang yang tidak menduga akan kekejaman perang modern. Residen dan Walikota segera memerintahkan pengungsian semua wanita dan anak-anak ke luar kota.
Semua saksi mata, begitu juga berita-berita di media massa, baik Indonesia maupun internasional mengatakan, bahwa di mana-mana mayat manusia dan hewan bergelimpangan, bahkan ada yang bertumpukan. Bau busuk mayat berhari-hari memenuhi udara kota Surabaya karena mayat-mayat tersebut tidak dapat dikuburkan. Mereka yang bekerja di rumah-sakit menceriterakan, bahwa korban-korban tewas tidak sempat dikubur dan hanya ditumpuk saja di dalam beberapa ruangan.
Dalam bukunya, Birth of Indonesia, David Wehl menulis:
“Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda dan kucing-kucing serta anjing-anjing, bergelimpangan di selokan-selokan; gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telepon bergelantungan di jalan-jalan, dan suara pertempuran menggema di tengah-tengah gedung-gedung kantor yang kosong ... Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang.”
Kolonel Dr. Wiliater Hutagalung menuliskan dua peristiwa yang tak dapat dilupakannya:
“… ketika seorang pemuda dibawa masuk ke ruang bedah dengan kedua kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis pertempuran, tertidur di pinggir rel kereta api dengan kedua kakinya melintang di atas rel. Dia tidak terbangun ketika ada kereta api yang lewat, sehingga kedua kakinya putus dilindas kereta api. Dia masih sadar waktu dibaringkan ke tempat tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru:
‘Merdeka! Hidup Indonesia!’,
lalu menghembuskan napas terakhirnya.
Peristiwa yang kedua adalah, ketika melihat kesedihan seorang ibu muda yang menatap wajah anak perempuannya yang kira-kira berumur dua tahun, yang tewas akibat lengannya putus terkena pecahan peluru mortir. Dia menggendong anak itu ke Pos Sepanjang tanpa mengetahui, bahwa anaknya telah tewas ketika sampai di Sepanjang. Kami menanyakan:
‘Di mana ayah anak ini?’
Ibu muda itu menjawab: ‘Tidak tahu, suami diambil tentara Jepang, dijadikan
romusha (pekerja paksa). Dia belum pernah melihat anaknya.’
Pihak Inggris menyebutkan, bahwa berdasarkan data yang mereka kumpulkan, tercatat “hanya” 6.000 korban tewas di pihak Indonesia. Dr. Ruslan Abdulgani dalam satu kunjungan ke Inggris, mendapat kesempatan untuk melihat arsip nasional, dan antara lain melihat catatan mengenai jumlah korban yang tewas. Abdulgani menulis :
Pihak Inggris menemukan di puing-puing kota Surabaya dan di jalan-jalan 1.618 mayat rakyat Indonesia ditambah lagi 4.697 yang mati dan luka-luka. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur, dan yang aktif sekali menangani korban pihak kita, maka jumlah yang dimakamkan secara massal di Taman Bahagia di Ketabang, di makam Tembokgede, di makam kampung-kampung di Kawatan, Bubutan, Kranggan, Kaputran, Kembang Kuning, Wonorejo, Bungkul, Wonokromo, Ngagel dan di tempat-tempat lain adalah sekitar 10.000 orang. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa sekitar 16.000 korban telah jatuh di medan laga bumi keramat kota Surabaya.
Berdasarkan data yang dikumpulkan rekan-rekan dokter serta paramedis lain, Kolonel dr. Wiliater Hutagalung memperkirakan, korban tewas akibat agresi militer Inggris dapat melebihi angka 20.000, dan sebagian terbesar adalah penduduk sipil, yang sama sekali tidak menduga akan adanya serangan tentara Inggris. Di Pasar Turi dan sekitarnya saja diperkirakan ratusan orang yang sedang berbelanja tewas atau luka-luka, termasuk orang tua, wanita dan anak-anak, bahkan pasien-pasien yang rumah sakitnya ikut terkena bom. Pelaku sejarah yang menjadi saksi mata menilai pemboman tersebut adalah suatu kebiadaban.
Menurut Woodburn Kirby, korban di pihak tentara Inggris dari tanggal 10 sampai 22 November 1945 di Jawa tercatat 608 orang yang tewas, hilang atau luka-luka, dengan rincian sebagai berikut:
- tewas : 11 perwira dan 87 prajurit.
- hilang : 14 perwira dan 183 prajurit.
Hampir semua adalah korban pertempuran di Surabaya. Namun diduga, korban di pihak Inggris sebenarnya lebih tinggi, karena menurut Anthony James-Brett, korban di pihak Inggris dalam pertempuran tanggal 28 – 30 Oktober saja sudah mencapai 392 orang, yang tewas, luka-luka atau hilang (18 perwira dan 374 prajurit). Diperkirakan korban di pihak Inggris dalam pertempuran dari tanggal 28 Oktober – 28 November 1945 mencapai 1.500 orang yang tewas, luka-luka dan hilang.
Pihak Indonesia menyebut, bahwa sekitar 300 tentara Inggris asal India/Pakistan melakukan desersi dan bergabung dengan pihak Republik Indonesia.
Kolonel Laurens van der Post dalam laporannya menulis:
“…But the important lessons of Sourabaya were not these so much as the extent to which they proved that Indonesian nationalism was not a shallow, effiminate, intellectual cult but a people-wide, tough and urgent affair.”
Willy Meelhuijsen dalam bukunya “Revolutie in Soerabaya, 17 agustus – 1 december 1945” mengutip seorang pakar sejarah Australia, M.C. Ricklefs, yang menulis:
“ The Republicans lost much manpower and many weapons in the battle of Sourabaya, but their sacrificial resistance there created a symbol of rallying cry for the Revolution. It also convinced the British thet wisdom lay on the side of neutrality in the Revolution. The battle of Sourabaya was a turning point for the Dutch as well, for it schocked many of them into facing reality. Many had quite genuinely believed that the Republic represented only a gang of collaborators without popular support. No longer could any serious observer defend such a view.”
Pertempuran heroik di Surabaya merupakan satu dari empat pertempuran dan perlawanan terhadap tentara Inggris –di samping Palagan Ambarawa, Pertempuran “Medan-Area” dan Bandung Lautan Api- yang membuat Inggris menyadari, bahwa masalah Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer, dan Inggris sebagai tulasng punggung Belanda waktu itu, kemudian memaksa Belanda ke meja perundingan, dan Inggris menjadi fasilitator pertama dalam perundingan Linggajati.

Alasan pemboman yang sebenarnya
Apabila dua butir alasan yang tertera dalam ultimatum 9 November 1945 tidak benar, apa alasan sebenarnya, yang membuat Inggris mengerahkan pasukannya yang terbesar dan termodern setelah Perang Dunia II usai?

I. Alasan psikologis-emosional.
· Inggris datang sebagai salah satu pemenang Perang Dunia II. Brigade 49 adalah bagian dari Divisi 23 yang menyandang julukan kebanggaan “The Fighting Cock”, mempunyai pengalaman tempur melawan Jepang di hutan-rimba Burma. Dalam pertempuran 28 dan 29 Oktober ’45, mereka “dipaksa” oleh rakyat Surabaya mengibarkan bendera putih dan mereka yang MEMINTA BERUNDING. Suatu hal yang tentu sangat memalukan dan menjatuhkan pamor Inggris. Mereka tidak menduga akan diserang, sehingga persiapan pertahanan hampir tidak ada, yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Inggris.
· Setelah Perang Dunia II usai, Inggris bertepuk dada bahwa selama lebih dari lima tahun PD-II, mereka tidak kehilangan seorang Jenderal pun. Ternyata baru lima hari di Surabaya, mereka telah kehilangan seorang perwira tinggi, Brigadir Jenderal Mallaby. Kegeraman pihak Inggris memuncak pada 10 November, karena pada saat pemboman atas kota Surabaya, dua pesawat terbang mereka berhasil ditembak jatuh oleh pejuang Indonesia. Selain pilot pesawat, Osborne, korban yang tewas sehari kemudian akibat luka-lukanya adalah Brigadir Jenderal Robert Guy Loder-Symonds, Komandan Brigade Infanteri. Mallaby dan Loder-Symonds dimakamkan di Commonwealth War Cemetary, Menteng Pulo, Jakarta Selatan.

Dapat dikatakan secara singkat di sini, alasan psikologis-emosional tersebut adalah:
- sebagai “super power” pemenang Perang Dunia II, telah dipermalukan dengan terpaksa mengibarkan bendera putih, serta terancam akan hancur total;
- sebagai tentara yang tangguh sangat dipermalukan, karena yang tewas adalah komandan brigade, seorang perwira tinggi;
- solidaritas korps, membalas dendam.

II. Terikat Perjanjian Dengan Belanda dan Hasil Konferensi Yalta
Bahwa langkah Inggris di Indonesia, sebenarnya hanya untuk memuluskan jalan bagi Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia, sesuai dengan beberapa perjanjian, baik bilateral maupun internasional. Ketika berlangsung pertempuran melawan Inggris di Indonesia yang dimulai di Surabaya, perlahan-lahan Belanda mendatangkan pasukannya ke Indonesia, sehingga pada akhir tahun 1946, seluruh pasukan Inggris telah ditarik dan diganti oleh pasukan Belanda…dan sebagaimana kita ketahui, itulah awal dari penjajahan Belanda di Indonesia jilid dua. Penilaian mengenai tindakan Inggris ini diperoleh setelah mencermati dua hal:

· Salah satu hasil keputusan Konferensi Yalta (4 – 11 Februari 1945), hasil pertemuan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, adalah mengembalikan situasi di Asia seperti sebelum invasi Jepang, dalam arti mengembalikan bekas-bekas jajahan kepada negara penjajah sebelumnya. Keputusan tersebut diperkuat dengan Deklarasi Potsdam, 26 Juli 1945. Hal ini terbukti dari surat Vice Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia, kepada komandan-komandan divisi, yang isinya:

Headquarters, S.E.Asia Command
2 Sept. 1945.

From : Supreme Commander S.E.Asia
To : G.O.C.Imperial Forces.

Re. Directive ASD4743S.

You are instructed to proceed with all speed to the island of Java in the East Indies to accept the surrender of Japanese Imperial Forces on that island, and to release Allied prisoners of war and civilian internees.
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.
The main landing will be by the British Indian Army 5th Division, who have shown themselves to be most reliable since the battle of El Alamein.
Intelligence reports indicate that the landing should be at Surabaya, a location which affords a deep anchorage and repair facilities.
As you are no doubt aware, the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.

I wish you God speed and a sucessful campaign.

(signed)
Mountbatten
____________________
Vice Admiral.
Supreme Commander S.E.Asia.

Kalimat:
In keeping with the provisions of the Yalta Conference you will re-establish civilians rule and return the colony to the Dutch Administration, when it is in a position to maintain services.” dan “……the local natives have declared a Republic, but we are bound to maintain the status quo which existed before the Japanese Invasion.”
menyatakan secara jelas dan gamblang maksud Inggris untuk
“...mengembalikan koloni (Indonesia) kepada Administrasi Belanda...”
dan
“…mempertahankan status quo yang ada sebelum invasi Jepang.”

· Melaksanakan Civil Affairs Agreement (CAA), perjanjian antara Inggris dan Belanda yang ditandatangani tanggal 24 Agustus 1945 di Chequers, Inggris, yang isinya kesediaan Inggris membantu Belanda dalam upaya untuk kembali berkuasa di Indonesia. Kesepakatan 24 Agustus 1945 tersebut diperkokoh oleh Inggris dan Belanda, dalam pertemuan di Singapura tanggal 6 Desember 1945 yang dihadiri para petinggi kedua negara di Asia Tenggara. Radio San Francisco tanggal 10 Desember 1945 menyiarkan antara lain, bahwa dalam permusyawaratan di Singapura, Letnan Jenderal Christison telah mendapat kekuasaan seluas-luasnya untuk menjaga keamanan di Jawa… Christison akan menggunakan kekerasan untuk mengembalikan keamanan dan ketenteraman, supaya dapat memenuhi undang-undang dasar dan peraturan untuk Indonesia di bawah kerajaan Belanda. Di samping melampiaskan dendam mereka terhadap “para ekstremis Indonesia yang –katanya- dipersenjatai Jepang” kelihatannya Inggris memanfaatkan “insiden Surabaya” tersebut untuk memenuhi perjanjian bilateral mereka dengan Belanda, serta menjalankan hasil keputusan Konferensi Yalta, yaitu mengembalikan situasi kepada “Status Quo” seperti sebelum invasi Jepang.

Kesimpulan
Secara moral, tanggungjawab atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, terletak pada Inggris, karena seluruh garis komando, dari mulai Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, Admiral Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu di Indonesia (AFNEI), Letnan Jenderal Sir Philip Chritison, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, Panglima Divisi 5, Mayor Jenderal D.C. Hawthorn, bahkan sampai ke komandan-komandan brigade, seluruhnya adalah bangsa Inggris. Kesalahan serta tanggungjawab Inggris dapat dibuktikan, apabila pendekatan permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan logis (logical approach), yaitu dengan menggunakan kaidah kausalitas (Kausalitätsgesetz: kaidah sebab-akibat) yang taat azas. Dari kronologi kejadian, dapat ditelusuri penyebab atau akar permasalahan dari sesuatu peristiwa/kejadian. Apabila ditelusuri dan diteliti satu persatu, maka rangkaian kejadian adalah sebagai berikut:

· Mallaby tewas karena tembak-menembak di Gedung Internatio pecah lagi. Mengenai apakah dia tewas karena tembakan pistol orang Indonesia, atau karena ledakan granat dari Captain R.C. Smith, susah dibuktikan.
· Tembak-menembak dimulai oleh Inggris atas perintah Mayor Gopal, Komandan Kompi “D”, Brigade ke 49, Divisi ke 23 “The Fighting Cock” Inggris, seperti ditulisnya tanggal 24 Agustus 1974. Menurut Tom Driberg, anggota Parlemen Inggris, perintah menembak diberikan oleh Mallaby sendiri. Perintah menembak ini, apapun alasannya jelas telah melanggar perjanjian Sukarno-Mallaby tanggal 29 Oktober dan Kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober 1945.
· Insiden tembak-menembak di Gedung Internatio pada tanggal 30 Oktober adalah bagian dari Pertempuran 28/29 Oktober ‘45.
· Pertempuran pecah tanggal 28 Oktober karena adanya pamflet tanggal 27 Oktober, yang isinya melanggar kesepakatan yang ditandatangani antara Inggris dan Indonesia tanggal 26 Oktober. Isi Pamflet mengenai butir ini ternyata diakui sebagai kesalahan, dan dianulir dalam kesepakatan Sukarno-Hawthorn tanggal 30 Oktober.

Bila dinilai tingkat kesalahan, maka akan terlihat:
· Mengenai tewasnya Mallaby, kemungkinan kesalahan ada pada kedua belah pihak, walaupun kemungkinannya lebih besar, bahwa Mallaby tewas akibat granat yang dilempar oleh Captain Smith. Di sini dapat dikemukakan pendapat J.G.A. Parrot, sebagai konklusi atas analisisnya, yaitu pertanyaan ke 3, mengenai siapa yang bersalah atas tewasnya Brigadier Mallaby:
Who, if anyone to blame for Brigadier Mallaby’s death?” ,
maka Parrot menulis, bahwa tewasnya Mallaby adalah karena kesalahannya sendiri:
….In the circumstances the only answer can be given to Question 3 is that Brigadier Mallaby was himself responsible for the situation that resulted in his death.
Kesimpulan inilah yang sangat penting!
· Berdasarkan kesaksian Kapten Smith, Mayor Gopal dan keterangan Tom Driberg -yang memperoleh informasi dari Kapten Shaw, ajudan Mallaby- telah diakui oleh pihak Inggris, bahwa yang memulai menembak adalah tentara Inggris yang berada di Gedung Internatio, atas perintah Mayor Gopal. Dengan demikian, terjadinya tembak-menembak yang mengakibatkan tewasnya Mallaby adalah kesalahan Inggris.
· Pecahnya pertempuran 28 Oktober adalah kesalahan Inggris, yaitu provokasi pamflet dari Jakarta tertanggal 27 Oktober, karena dengan demikian Inggris jelas telah melanggar kesepakatan tanggal 26 Oktober 1945 antara pimpinan militer Inggris (Mallaby) dan pimpinan Republik Indonesia di Surabaya.

Jadi berdasarkan analisis yang taat asas, dengan menggunakan kaidah kausalitas, dari rangkaian kejadian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa pemicu segala malapetaka dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Surabaya pada bulan November 1945, adalah pamflet Inggris tertanggal 27 Oktober 1945 dan oleh karena itu:
Segala sesuatu yang terjadi sejak 27 Oktober 1945 adalah mutlak kesalahan Inggris.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Tentara Inggris
Dengan agresi militer yang dilancarkan mulai tanggal 10 November 1945, tentara Inggris telah melakukan sejumlah pelanggaran besar. Dari hasil analisis, pelanggaran yang telah dilakukan oleh tentara Inggris adalah sebagai berikut:

· Pelanggaran Kedaulatan Republik Indonesia
Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sedangkan agresi militer yang dilancarkan tentara Inggris atas suatu wilayah Republik Indonesia, dilakukan mulai tanggal 10 November 1945.

· Pelanggaran Atlantic Charter dan Charter for Peace
Walaupun pada saat itu Republik Indonesia belum diakui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), situasi dunia waktu itu sudah hangat dengan pernyataan kemerdekaan dari berbagai negara bekas jajahan. Pengakuan resmi hanya masalah waktu saja. Atlantic Charter mengenai “Rights for Selfdetermination" (hak untuk menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa) dan kerjasama antar bangsa dalam menyelesaikan pertikaian internasional. Pada tanggal 14 Agustus 1941, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Sir Winston Churchill menandatangani Atlantic Charter yang isinya a.l.:
“…Kami menjunjung tinggi hak-hak segala bangsa untuk memilih pembangunan pemerintahan yang akan melindungi kehidupannya dan kami menghendaki supaya hak-hak kedaulatan dan pemerintahan sendiri (self determination) dikembalikan kepada mereka yang telah dirampas dengan kekerasan ...”

Atlantic Charter ini menjadi juga landasan dalam pertemuan beberapa negara di San Francisco, yang menghasilkan Charter for Peace, 26 Juni 1945. Kesepakatan beberapa negara di San Francisco tersebut menjadi dasar pembentukan PBB, yang diresmikan tanggal 24 Oktober 1945. Selain tidak konsisten dengan Atlantic Charter yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Inggris, Inggris sebagai salah satu negara pendiri PBB melanggar beberapa prinsip yang telah mereka tentukan sendiri. Ini dapat dilihat dari Preambel serta beberapa pasal Anggaran Dasar PBB. Dalam informasi yang dikeluarkan oleh PBB tertera:

The United Nations was established on 24th October 1945 by 51 countries committed to preserving peace through international cooperation and collective security. When States become Members of the United Nations, they agree to accept the obligations of the UN Charter, an international treaty which sets out basic principles of international relations. According to the Charter, the UN has four purposes: to maintain international peace and security, to develop friendly relations among nations, to cooperate in solving international problems and in promoting respect for human rights, and to be a centre for harmonizing the actions of nations. UN Members are sovereign countries. At the UN, all the Member States - large and small, rich and poor, with differing political views and social systems - have a voice and vote in this process.”
Penyerangan Inggris atas Surabaya dilakukan mulai tanggal 10 November 1945, setelah berdirinya PBB tanggal 24 Oktober 1945. Sebagai pendiri dan anggota PBB, Inggris telah menandatangani persyaratan untuk mematuhi Charter for Peace, Preambel dan Anggaran Dasar PBB. Kelihatannya memang benar, bahwa Inggris terbiasa mengabaikan kesepakatan ataupun perjanjian yang telah mereka setujui dan tandatangani.


· Pelanggaran Preambel PBB
Dalam Preambel PBB tertulis a.l (lihat Web site: www.UN.org)
- to save succeeding generations from the scourge of war, which twice in our lifetime has brought untold sorrow to mankind, and
- to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small, and
- to establish conditions under which justice and respect for the obligations arising from treaties and other sources of international law can be maintained, and
- to promote social progress and better standards of life in larger freedom,
AND FOR THESE ENDS
- to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbours, and
- to unite our strength to maintain international peace and security, and
- to ensure, by the acceptance of principles and the institution of methods, that armed force shall not be used, save in the common interest, and
- to employ international machinery for the promotion of the economic and social advancement of all peoples,
HAVE RESOLVED TO COMBINE OUR EFFORTS TO ACCOMPLISH THESE AIMS
Accordingly, our respective Governments, through representatives assembled in the city of San Francisco, who have exhibited their full powers found to be in good and due form, have agreed to the present Charter of the United Nations and do hereby establish an international organization to be known as the United Nations.

· Pelanggaran Bab 1 (Pasal 1 dan 2), Anggaran Dasar PBB.
Bab 1, Pasal 1:
The Purposes of the United Nations are:
1. To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace;
2. To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace;
3. To achieve international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and
4. To be a centre for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends.
Bab 1, Pasal 2:

The Organization and its Members, in pursuit of the Purposes stated in Article 1, shall act in accordance with the following Principles.
1. All Members shall settle their international disputes by peaceful means in such a manner that international peace and security, and justice, are not endangered. All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.
2. All Members shall give the United Nations every assistance in any action it takes in accordance with the present Charter, and shall refrain from giving assistance to any state against which the United Nations is taking preventive or enforcement action.
3. The Organization shall ensure that states which are not Members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security.
4. Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.


· Pelanggaran HAM
- Kejahatan Atas Kemanusiaan (Crime against humanity)Di dalam situasi perang manapun, ada perlindungan bagi penduduk sipil. Tindakan tentara Inggris untuk membalas dendam dendam atas tewasnya seorang perwira tinggi, telah mengakibatkan tewasnya belasan ribu, bahkan mungkin lebih dari 20.000 jiwa penduduk sipil, serta hancurnya banyak sarana/prasarana nonmiliter, karena waktu itu sasaran militer sendiri tidak banyak di dalam kota Surabaya.

- Mengakibatkan Pengungsian (enforced displacement)
Diperkirakan lebih dari 100.000 penduduk terpaksa mengungsi (displaced persons) ke luar kota Surabaya; kebanyakan hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh, karena dalam situasi kepanikan, tidak sempat memikirkan untuk membawa benda berharga. Kesengsaraan yang diderita oleh pengungsi tersebut berlanjut selama berbulan-bulan, sebelum mereka berani kembali ke kota yang telah hancur.

- Penyimpangan Tugas Allied Forces
Tugas yang diberikan oleh Allied Forces (Tentara Sekutu/Serikat) hanyalah tiga butir, yaitu:
1. Melucuti persenjataan tentara Jepang serta memulangkan kembali ke negaranya.
2. Rehabilitasi tawanan tentara Sekutu dan interniran (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees –RAPWI).
3. Memulihkan keamanan dan ketertiban (To maintain Law and Order).

Tidak ada satu patah kata pun yang menyebutkan tugas untuk membantu Belanda kembali berkuasa di bekas jajahannya. Ini hanya ada merupakan perjanjian rahasia antara Churchill dan Roosevelt di sela-sela konferensi Yalta dan perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda (lihat dokumen Lord Mountbatten). Berarti ini adalah penyimpangan atau penunggangan tugas Allied Forces serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang diberikan oleh Allied Forces kepada tentara Inggris dan Australia. Dengan demikian, jelas bahwa baik hidden agenda di konferensi Yalta yang diperkuat dengan deklarasi Potsdam, serta perjanjian bilateral Inggris-Belanda, Civil Affairs Agreement, tidak sejalan dengan tugas dari Allied Forces, yang harus dilaksanakan oleh Komando Tentara Sekutu Asia Tenggara.


- Kejahatan Perang (War Crimes)
Bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dan sudah mendapat pengakuan dari beberapa negara. Kini Republik Indonesia juga tercatat sebagai anggota PBB dengan hari kemerdekaan adalah 17.8.1945. Tidak ada pernyataan perang dari pihak mana pun, baik dari pihak Inggris maupun dari pihak Indonesia. Bahkan pihak Indonesia telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya pertempuran. Alasan Inggris waktu itu adalah menumpas ekstremis, dengan mengabaikan bahwa “ekstremis” tersebut ada di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Agresi militer yang dilakukan oleh tentara Inggris –terbesar setelah berakhirnya Perang Dunia II- tidak dalam konteks perang dan tanpa pernyataan perang. Pemboman terhadap obyek-obyek non-militer dan pembunuhan terhadap non-combatant dalam agresi militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang (war crimes).

Sabang, 9 Desember 2006
-------------------------------------------

The Jakarta Post
Sunday, December 30, 2001
Book Review"10 November '45, Mengapa Inggris Membom Surabaya?" ("10 November '45, Why Did Britain Bomb Surabaya?"); By Batara R. Hutagalung; Millenium Publisher, Jakarta;
(Oct. 2001), first edition, xiv + 472 pp; Rp 59,900,

This book analyzes the simultaneous sea, land and air campaign by British forces against the defenders of the East Java capital of Surabaya in November 1945.
To this day, it remains a bitter memory for older Indonesians.
In the author's opinion, there are two main reasons why Britain, which did not hold colonial authority over Indonesia, launched the invasion.
First, there were psychological and emotional reasons at play, since Britain was victorious in World War II. Second, the British were bound by a treaty with the Dutch stemming from the conference at Yalta on Feb. 11, 1945, and the Postdam Declaration, which took place on July 26, 1945.
The objectives of the treaty were "to reestablish civilian rule, and return the colony to Dutch administration," as well as "to maintain the status quo which existed before the Japanese invasion".
They can be found in a letter dated Sept. 2, 1945 by the Allied Forces' Supreme Commander South East Asia Vice Admiral Lord Louis Mountbatten. British assistance was also in line with the Civil Affairs Agreement between the Dutch and Britain in Chequers, Britain, on Aug. 24, 1945.
The author also outlines the violations committed by British troops. They include infringements upon the sovereignty of the fledgling nation of Indonesia, human rights abuses -- including crimes against humanity and forced displacement -- and war crimes.
Apart from its thorough dissection of this bloody chapter of Indonesian history, this book carries something else of equally important historical significance: an official apology from the British government. It was expressed by British Ambassador to Indonesia Richard Gozney in the name of the British government during a seminar on the Battle of Surabaya in Jakarta in October 2000.
It was a sympathetic act -- one which has yet to be offered by the Dutch who, as a colonial power, ruled Indonesia for centuries.--
Darul Aqsha