Saturday, June 30, 2012

The Galung Lombok Massacre. List of the Victims/Pembantaian di Galung Lombok. Daftar Nama Korban


 

The Galung Lombok Massacre.

List of the Victims

 

(Pembantaian di Galung Lombok.

Daftar Nama Korban)

 
 
By Batara R. Hutagalung
Chairman of the Committee of Dutch Honorary Debts


A few months ago I read the news from the Netherlands Embassy in Washington D.C., United States about the glorification of The Hague, Netherlands:
The Hague "City of Peace and Justice"
The Hague, “the legal capital of the world”
The Hague is “home of the Peace Palace, an international icon for 100 years.”
“Global commitment to defending justice and human rights”
Etc. etc.

See:

Indeed, for the “Global commitment to defending justice and human rights”, the Dutch persistently hunt the German war criminals.

Flashback to 2010. Heinrich Boere, at the age of 89, a former member of a Nazi SS hit squad during World War II, in March 2010 was sentenced to life in prison in a court in the German city of Aachen for shooting to death three Dutch civilians in 1944 (see  http://www.bbc.co.uk/news/world-europe-16204994)

But, for the atrocities committed by the Dutch soldiers during the Dutch military aggression in Indonesia 1945 – 1950, after the end of World War II, and after the Indonesian people proclaimed the independence of the Republic of Indonesia, the Dutch government and many people in the Netherlands act like the proverbial three wise monkeys, "See no evil, hear no evil, speak no evil." It seems that they are suffering from historical amnesia.


The three "wise" monkeys

The Dutch Government has not even conceded de jure recognition of the independence of the Republic of Indonesia of August 17, 1945. As far as the Dutch Government is concerned, the de jure independence of Republic of Indonesia was on December 27, 1949, when the Dutch Government handed over sovereignty to the United States of Republic of Indonesia (Republik Indonesia Serikat or RIS). But RIS was dissolved on August 16, 1950, and on August 17, 1950, President Sukarno proclaimed the reestablishment of the Unitarian Republic of Indonesia.

Indeed, it is a big dilemma for the Dutch Government. De jure recognition of the independence of the Republic of Indonesia on August 17, 1945 would mean that the Dutch Government has to admit that their so called “police actions” of 1947 and 1948 were in fact acts of military aggression toward an independent nation, and thus the Dutch soldiers would be war criminals.

On the other hand, by not recognizing the de jure independence, and the sovereignty of the Republic of Indonesia, makes the official relations between Indonesia and the Netherlands a weird “diplomatic” relation. How can two nations have an equal status in a diplomatic relationship, if one nation does not officially recognize the other nation?

One of the hundreds of atrocities and extraordinary crimes that were committed by Dutch soldiers took place in Majene, West Sulawesi.

On February 1, 1947 at Galung Lombok village, West Sulawesi, Dutch soldiers under the command of Lieutenant Vermeulen massacred more than 650 people – non combatants – from Galung Lombok and surrounding villages, in a so called standrechtelijke executie (summary execution). Among the victims were two women and some children. The number of wounded were not even counted. It was like the Jallianwala Bagh massacre in Amritsar, India, that occurred on Sunday, April 13, 1919.

For more than 65 years the Dutch Government has tried to cover up this cruel war crime against humanity, an act that could be categorized as one of the most cruel massacres of civilians in the history of mankind. It was more cruel than the massacre in the village of Rawagede (now Balongsari) in West Java. On December 9, 1947, Dutch soldiers massacred 431 civilians in Rawagede.

On December 9, 2011, at the 64th  commemoration of the massacre at the Rawagede Monument, Dutch Ambassador Tjeerd de Zwaan, on behalf of the Dutch Government apologized for the massacre to the widows and families of the victims in Rawagede. See: http://indonesiadutch.blogspot.com/2011/12/dutch-apology-for-1947-indonesia.html

The massacre in Rawagede and in Galung Lombok were not the only war crimes and crimes against humanity committed by Dutch soldiers during the Dutch military aggression in the Republic of Indonesia  between 1945 – 1950. From December 1946 – February 1947 Dutch elite troops massacred thousands of civilians in South and West Sulawesi. Hundreds of thousands of Indonesian civilians were killed in other parts of Indonesia during the Dutch military aggression. The exact number of the victims is still unknown until today, because systematic research has never been done.

It was surprising that the Dutch, only a few weeks after they were freed from the cruel German occupation and hundreds of thousands were released from the terrible Japanese internment camps in Indonesia, that they did to Indonesian civilians what they themselves experienced during the German occupation and in Japanese detention. In some cases it was crueler than what they themselves experienced. It was beyond all logic. Just amazing!

The victims of the Galung Lombok massacre were inhabitants of the Districts (Kabupaten) of Majene and Polewali Mandar, in West Sulawesi.


The Galung Lombok Monument

From June 17 – 19, 2012, I visited the ‘killing field’ in Galung Lombok village, 8 km from Majene, the capital of the District of Majene. I interviewed one widow and one son of the victims as well as some eyewitnesses of the massacre. See (in Indonesian language):  http://batarahutagalung.blogspot.com/2012/06/pembantaian-di-galung-lombok-kesaksian.html)


From left: Sama Unding, eyewitness; Baya Langi, 91, widow of Hadollah;
Hama, eyewitness; Batara R. Hutagalung


Baya Langi, widow of Hadollah, showed the ring given by her husband,
few minutes before token away by Dutch soldiers...and killed


With HM Ali Hatta, son of Hatta, victim of the massacre


Siti Amani, daughter of Nakku, shows the name of her killed father



Siti Amani, in front of the grave of her father


With Fatani Thayeb, 104 years, eyewitness

Below is the provisional list of 490 victims. More than 160 names of the victims are still unknown.

Victims from the District (Kabupaten) of Polewali Mandar, 237 persons.





Mass graves of the victims

Mass graves of the victims

Mass graves of the victims


Victims from the District (Kabupaten) of Majene, 253 persons.


                                             *******

Friday, June 29, 2012

Pembantaian di Galung Lombok. Kesaksian

Pembantaian di Galung Lombok

Kesaksian


Sebagaimana dituturkan kepada Batara R. Hutagalung

Ketua Komite Utang Kehormatan Belana (KUKB)

Selama berada di Sulawesi Barat dari tanggal 17 – 19 Juni 2012, selain menjadi narasumber dalam seminar di Majene, saya juga mengunjungi salah satu ladang pembantaian (killing field) yang terkejam di dunia, yaitu di Desa Galung Lombok, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar, sekitar 8 km dari Majene, Sulawesi Barat. Pembantaian tersebut lebih kejam dan dengan korban lebih banyak lagi dari peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda di desa Rawagede (Balongsari) pada 9 Desember 1947, di mana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa.


Ketua KUKB Batara R. Hutagalung bersama HM Ali Hatta,
putra seorang korban, pengurus KKMSB dan pengurus Lembaga Advokasi, 
di depan gerbang masuk ke Monumen Galung Lombok

Di desa Galung Lombok, pada hari Sabtu, 1 Februari 1947 terjadi pembantaian terhadap lebih dari 700 orang, bukan hanya penduduk dari desa Galung Lombok, melainkan juga yang digiring dari desa-desa di sekitar Galung Lombok, bahkan ada yang dari desa yang berjarak sekitar 38 km dari desa Galung Lombok. Pembantaian ini termasuk kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang paling kejam dan biadab di dunia, karena ke arah kerumunan massa -penduduk sipil, non combatant- yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan, diperintahkan untuk menembak secara membabibuta. Tidak terhitung jumlah orang yang menderita luka akibat penembakan yang membabibuta tersebut. Di antara korban tewas, terdapat dua orang perempuan dan beberapa orang anak-anak.

Lembaga Advokasi Korban 40.000 Galung Lombok Sulawesi Barat, yang telah mengumpulkan data sejak sekitar 3 bulan, telah mendapat 485 nama korban, sebagian masih dapat dilacak ahli warisnya. Lebih dari 160 belum diketahui namanya. Pada waktu terjadinya peristiwa pembantaian, karena sangat terburu-buru dan di bawah ancaman tentara Belanda, tidak ada lagi yang berpikir untuk menghitung jumlah korban yang tewas dan berapa yang luka-luka.

Peristiwa seperti ini, yang dilakukan hanya dalam waktu beberapa jam dengan korban ratusan jiwa, hanya terjadi dua kali di dunia, yaitu selain di Galung Lombok, juga telah terjadi di Amritsar, India pada hari Minggu, 13 April 1919 yang dikenal sebagai Jallianwala Bagh massacre. Di tengah kerumunan penduduk sipil yang berjumlah sekitar 15.000 orang, termasuk wanita dan anak-anak, komandan pasukan Inggris Brigjen Reginald Dyer memerintahkan 50 orang serdadunya untuk menembaki kerumunan massa tersebut. Pihak Inggris mengklaim, bahwa korban tewas “hanya” sekitar 300 orang, namun Kongres India menyatakan, bahwa korban tewas mencapai 1.000 jiwa dan 1.500 lainnya terluka.

Saya juga berkesempatan bertemu seorang janda korban yang telah berusia 91 tahun, beberapa saksi mata, dan putra-putri korban pembantaian yang dilakukan oleh anak buah Raymond Westerling dari Depot Speciale Troepen (DST) di Desa Galung Lombok. Beberapa dari mereka sempat saya wawancarai satu-persatu. Karena keterbatasan waktu, tidak semua dapat saya wawancarai. Selain itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama, karena beberapa dari mereka kurang mengerti bahasa Indonesia, sehingga harus diterjemahkan ke bahasa Mandar. Juga setelah 65 tahun tentu tidaklah lagi dapat diingat semua dengan rinci, dan hanya garis besarnya saja yang dapat dituturkan.

Keterangan disampaikan dengan lancar dari putra-putra atau saksi mata, yang pada waktu peristiwa tersebut terjadi, berusia belasan tahun, atau mendengar langsung dari kerabat yang selamat dari pembantaian.

Penyusunan kesaksian ini memang tidak sempurna, mengingat waktu telah berjalan lebih dari 65 (!) tahun, dan para saksi mata atau janda korban sebagian besar usianya telah lebih dari 85 tahun. Juga belum semua yang ditemui di Sulawesi Barat dapat diwawancarai. Memerlukan waktu yang jauh lebih lama lagi dan  lebih intensif untuk mendapat gambaran yang lebih luas dan mendalam mengenai apa yang telah terjadi pada 1 Februari 1947. Putra-putri dari para korban yang tewas pun usianya telah lebih dari 70 tahun. Kebanyakan mereka mendengar penuturan dari para kerabat yang menyaksikan langsung peristiwa pembantaian, yang oleh masyarakat Mandar dikenal sebagai PENYAPUAN/PANYAPUANG!


Monumen Galung Lombok

Peristiwanya
Pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 1947, seperti yang biasa dilakukan oleh pasukan Westerling dalam menebar terror di masyarakat di Sulawesi Selatan (sekarang sebagian termasuk Sulawesi Barat), fase pertama adalah, orang-orang dari desa-desa di sekitar desa Galung Lombok dikumpulkan dan digiring ke desa Galung Lombok. Hari Sabtu di daerah itu adalah hari pasar, dan semua orang yang sedang berada di pasar-pasar di desa-desa di sekitar Galung Lombok digiring ke desa Galung Lombok. Jumlahnya mencapai ribuan orang. Juga ada yang diangkut dengan truk karena jaraknya jauh, seperti dari Soreang, yang berjarak 38 km dari Galung Lombok, namun sebagian terbesar berjalan kaki sekitar 5 – 10 km. Pasukan Depot Speciale Troepen (DST) yang ke Majene dipimpin oleh Letnan Vermeulen.

Ribuan rakyat itu dipaksa menyaksikan eksekusi terhadap orang-orang yang oleh Belanda dituduh sebagai ekstremis, perampok atau pembunuh. Semua tahanan dari penjara-penjara dibawa ke Galung Lombok untuk kemudian langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. Metode tentara Belanda ini dikenal sebagai standrechtelijke executie, atau tembak mati di tempat.

Sebenarnya pola yang akan dilakukan di desa Galung Lombok juga sama, yaitu fase pertama, seluruh masyarakat digiring ke satu lapangan besar yang terbuka, kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan. Fase kedua, dilakukan seleksi terhadap orang-orang yang dipandang sebagai ekstremis, perampok dan pembunuh. Berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari intel Belanda yang kebanyakan dibantu oleh pribumi, komandan tentara Belanda memanggil nama-nama yang ada di daftar, dan langsung ditembak mati. Yang diambil dari penjara juga langsung ditembak mati, karena dianggap sebagai perampok atau pembunuh.

Di beberapa tempat, seperti di Pinrang, mereka sebelumnya disuruh menggali lubang dahulu untuk kuburan mereka sendiri baru kemudian ditembak di depan lubang yang mereka gali. Namun hal ini tidak dilakukan di desa Galung Lombok. Sekitar siang hari, ketika fase kedua sedang berlangsung, komandan pasukan Belanda, Letnan Vermeulen mendapat berita, bahwa terjadi penghadangan terhadap pasukan Belanda di desa Talolo (ada yang menyebut Tadholo), di mana 3 orang serdadu Belanda mati. Berita ini membuat Vermeulen menjadi marah besar, dan kemudian memerintahkan untuk menembaki ribuan orang yang telah terkumpul di lapangan di desa Galung Lombok. Dalam laporannya tahun 1969, pemerintah Belanda menyebut korban tewas di Galung Lombok (Belanda salah menulis nama desanya, yang disebutkan terjadi di desa Galoenggaloeng) antara 350 – 400 orang. Tidak disebut berapa ratus orang yang terluka.

Fase ketiga, setelah selesai dilakukan pembantaian, rakyat disuruh berkumpul semua. Apabila ada kepala desa di antara yang mati ditembak atau yang dianggap tidak mendukung Belanda, maka diangkat kepala desa baru dengan ancaman kepada seluruh rakyat, bahwa demikianlah nasib orang-orang yang menentang kekuasaan Belanda.


Kesaksian
Berikut ini kesaksian singkat dari seorang janda korban dan putra korban serta empat orang saksi mata.

  1. Baya Langi.
Kini berusia 91 tahun. Pada waktu terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap suaminya, Hadollah, di Desa Galung Lombok, dia berusia 26 tahun. Ketika itu, Baya Langi dan Hadollah tinggal di desa Soreang, sekitar 38 km dari desa Galung Lombok.
Di pagi itu sekitar pukul 7, seperti biasanya setiap pagi, Baya Langi menenun kain. Dari dalam rumah mereka telah mendengar hingar-bingar di luar rumah. Terdengar suara truk. Rupanya tentara Belanda datang dengan truk, dan memerintahkan semua laki-laki untuk naik ke truk, tanpa membawa apapun. Semula, Hadollah ke luar rumah dan berpura-pura akan mengambil air wudhu, namun dicegah oleh tentara Belanda, dan diperintahkan untuk langsung naik ke atas truk. Hadollah telah naik ke truk, namun tiba-tiba dia meloncat turun lagi dan menghampiri isterinya. Dia mencabut cincin yang sedang dikenakannya dan memberikan cincin tersebut kepada isterinya sambil berkata: “Sabar, saya tidak bersalah!”
Ternyata Hadollah salah sangka. Dia tidak kembali.


Baya Langi menunjukkan cincin yang diberikan Hadollah sebelum
dibawa pergi oleh tentara Belanda ke Galung Lombok

Hadollah kemudian naik ke truk lagi, di mana telah ada sekitar 30-an orang lain. Hadollahpun tidak tahu akan dibawa kemana. Itulah terakhir kali Baya Langi melihat suaminya. Di malam hari, orang-orang menyampaikan kepadanya, bahwa suaminya ikut dibunuh oleh tentara Belanda di Desa Galung Lombok.

Ketika itu Baya Langi sedang hamil 5 bulan. Anaknya lahir tanpa mengenal ayahnya yang mati ditembak tentara Belanda tanpa proses, tanpa mengetahui mengapa dia dibunuh dengan kejam. Anaknya meninggal di usia 2 tahun.

  1. H.M. Ali Hatta, 71 tahun.
Putra dari Hatta, korban pembantaian di Galung Lombok pada 1 Februari 1947. Pada waktu itu keluarga Hatta tinggal di dekat Galung Lombok. Hatta memiliki 4 orang putra dan satu orang putri. Pada waktu terjadinya peristiwa pembantaian, putra bungsunya baru lahir beberapa minggu. Kini tinggal Ali Hatta dan seorang abangnya yang masih hidup, yang lain telah meninggal. Ali Hatta kini tinggal di Tanjung Priok, Jakarta, dan masih bekerja sebagai petugas keamanan di lingkungannya.


H.M. Ali Hatta di depan makam ayahnya

Pada 1 Februari 1947, dia baru berusia sekitar 5 tahun, dan hanya mendengar ceritera dari kerabatnya. Ayahnya, seorang pengurus warga di desanya, dijemput oleh tentara Belanda waktu subuh. Setelah itu tidak kembali lagi. Di tembok nama-nama korban di Monumen Galung Lombok, nama Hatta tertera di lajur pertama, baris ke tujuh dari atas. Di lajur pertama, nama-nama yang tertera di situ hampir semua adalah kerabat Hatta yang tewas pada 1 Februari 1947.

Almarhumah ibu dari Ali Hatta juga seorang pejuang yang mendapat anugerah Bintang Gerilya dari pemerintah RI. Namun sampai saat ini, belum pernah ada yang menanyakan kepadanya mengenai peristiwa yang dialami oleh keluarga besarnya pada 1 Februari 1947. Ini adalah yang pertama kali Ali Hatta menuturkan kisah pilu keluarganya. Sebagaiman nasib ribuan anak-anak korban pembantaian tentara Belanda, Ali Hatta dan kakak serta adiknya diasuh oleh ibunya dengan bantuan dari kerabat mereka. Tidak pernah mendapat bantuan, baik dari pemerintah Indonesia, apalagi dari pemerintah Belanda.

Adik bungsunya bernama Abdullah Rasyid, namun nama panggilan sehari-harinya adalah Si Sapuan, karena baru lahir ketika terjadi peristiwa PENYAPUAN!

Setiap ada kesempatan, Ali Hatta selalu berziarah ke makam ayah dan kerabatnya yang lain, terutama menjelang bulan suci Ramadhan.

  1. Sama Unding, 85 tahun
Pada waktu terjadinya peristiwa di Desa Galung Lombok, berusia 20 tahun. Sama Unding berasal dari Desa Lawarang, Kecamatan Tinambung.


Sama Unding

Tanggal 1 Februari pagi-pagi, dia dijemput dari rumah dan bersama-sama dengan laki-laki dari desanya digiring ke Galung Lombok. Dia melihat sekitar 40 – 50 orang yang dikawal tentara. Satu kelompok sekitar 5 orang yang diikat tali satu dengan lainnya. Siang hari, ketika dimulai penembakan, dia melarikan diri ke arah pepohonan enau. Telapak tangan kanannya terkena peluru, tetapi dia terus lari. Kemudian dia tidak melihat lagi apa yang terjadi dan hanya mendengar setelah itu, bahwa terjadi pembunuhan terhadap ratusan orang.

  1. Hama, 81 tahun.
Berasal dari desa Lawarang. Pada waktu kejadian berusia sekitar 16 tahun. Pagi itu sekitar pukul 08.00 dia sedang membetulkan atap rumah. Tentara Belanda mengambilnya dari rumah dan dibawa ke tepi sungai, untuk menunggu semua orang dari desa Lawarang yang akan dibawa ke Galung Lombok. Keseluruhan dari desa Lawarang yang dibawa ke Galung Lombok sekitar 40 orang. Dia melihat rombongan tahanan yang dibawa dari Majene.

Dia menyaksikan ada orang-orang yang diadu untuk saling berkelahi, kemudian keduanya ditembak mati. Hama juga melihat kenalan-kenalannya yang ditembak mati oleh tentara Belanda, a.l. Kapa, Kacamba, Tasu, Kaco Pecik, Lawungan. Juga dia melihat Imam Baruga ditembak di kepala. Sebelumnya Imam baruga mengatakan:” Saya Haji!”, Tentara Belanda menjawab:”Semua Haji perampok” dan langsung menembak Imam Baruga di kepala. Kemudian tentara Belanda itu mengambil topi haji dari Imam Baruga dan mengenakan topi tersebut. Lalu dia berkata:”Sekarang saya haji!”


Hama

Sekitar siang hari, Hama melihat seorang tentara Belanda datang membawa surat kepada komandan tentara Belanda yang tidak diketahui namanya oleh Hama. Belakangan diketahui, bahwa komandan tersebut mendapat informasi mengenai penghadangan terhadap pasukan Belanda di desa Talolo, yang mengakibatkan tewasnya 3 tentara Belanda.

Komandan tentara Belanda tersebut kemudian memerintahkan untuk melakukan penembakan ke kerumunan massa yang berjumlah ribuan orang. Penembakan dilakukan dengan menggunakan senjata otomatis (sten gun?). Pada waktu itu, penembakan tersebut dikenal dengan nama “PENYAPUAN”, seperti layaknya menyapu hingga bersih!

Hama menjatuhkan diri ke tumpukan orang yang telah kena tembak. Waktu itu sehabis hujan, jadi darah yang bercampur dengan air memberikan kesan seperti terjadi banjir darah, dan tidak diketahui, mana yang telah tewas dan mana yang masih hidup. Ribuan tubuh bergelimpangan dan semuanya berlumuran darah.

Tentara Belanda kemudian memerintahkan, agar yang masih hidup segera berdiri. Namun mereka yang belum mati kena tembak, tetap tidak mau bangkit. Komandan tentara Belanda sampai tiga kali memerintahkan agar yang tidak mati segera bangkit, dan dia berjanji, tidak akan menembak lagi. Dia mengatakan:”Yang mati itu orang-orang kotor, dan yang hidup orang-orang bersih!” Walaupun ragu-ragu satu persatu yang masih hidup atau yang hanya terluka bangkit.

Komandan tentara Belanda kemudian berkata:”Kuburkan semua yang mati. Kalau sampai jam 18.00 tidak selesai, kami kembali dan kamu semua ditembak mati!”

Tentara Belanda meninggalkan desa Galung Lombok sekitar pukul 17.30. Mereka yang hidup segera menguburkan orang-orang yang mati dengan alat seadanya, dan kebanyakan dengan kayu-kayu yang bisa mereka peroleh dari tempat di sekitar lapangan. Mereka juga mengambil kayu-kayu pagar rumah. Mereka tidak sempat lagi memperhatikan apalagi merawat yang terluka kena tembakan, karena ketakutan tentara Belanda akan kembali dan menembak mati mereka semua.

Beruntung bahwa sehabis hujan, tanah tidak terlalu keras, namun mereka hanya menggali sekitar sebatas dengkul, karena ratusan mayat harus segera dikubur. Di satu lubang dimasukkan antara 5 sampai 10 mayat. Banyak dari mereka masih mengenali, siapa yang mereka kuburkan, sehingga kemudian dapat memberitahu keluarga atau kerabat yang teewas, di tumpukan mana keluarga mereka dikuburkan.

Hama mengingat, dia ikut menguburkan Kacamba, Kapa, Nakku, Kaco Pecik dan Pasu. Mereka selesai menguburkan semua mayat sebelum jam 18.00. Ternyata tentara Belanda tidak kembali, sehingga mereka dapat memulai merawat orang-orang yang terluka. Tidak ada tenaga medis sama sekali, sehingga orang-orang yang terluka hanya diobati seadanya secara tradisional.

  1. H. Fatani Thayeb, 104 tahun.
Pada waktu terjadinya peristiwa tersebut berusia 39 tahun. Pekerjaannya adalah penjahit. Fatani tamatan sekolah menjahit (Kleermaker School) di Batavia, oleh karena itu, dia dikenal sebagai Fatani “Taylor”. Pernah menjahitkan pakaian Presiden Sukarno.

Tahun 1947 dia tinggal di Baruga, tempat pusat perlawanan terhadap Belanda. Bersama-sama semua penjahit dari Baruga dan sekitarnya, pagi-pagi buta sekitar jam 05.00 dia mendengar suara ribut-ribut dan melihat tentara Belanda di depan rumahnya. Dia menuruni anak tangga dari rumah panggungnya, dan pura-pura akan mengambil air wudhu. Namun seorang tentara Belanda menahannya dan mengancam, agar tidak pergi kemana-mana. Seluruh isi rumah harus keluar dan berkumpul di depan rumah. Bersama isteri dan 5 orang anaknya dia berbaris dengan rombongan penjahit dari Baruga dan sekitarnya. Setiap deretan terdiri dari 4 orang.

Para penjahit dituduh menjahitkan pakaian para pejuang, yang untuk Belanda dipandang sebagai ekstremis. Mereka digiring ke Galung Lombok, melalui Desa Simulu, Desa Galung, Desa Tande dan Desa Talolo.

Isterinya sedang hamil tua dan mengalami kesulitan untuk berjalan kaki sepanjang sekitar 8 km, melalui perbukitan. Oleh karena itu, Fatani dan keluarganya tertingal di belakang rombongan penjahit dari Baruga. Di tengah jalan yang dilalui, bergabung juga rombongan dari desa-desa yang mereka lalui, termasuk rombongan orang sakit dari Desa Talolo.


Fatani Thayeb

Ketika mereka tiba di Galung Lombok, rombongan penjahit dari Baruga telah ditembak mati semua. Dia selamat dari eksekusi karena isterinya hamil tua dan jalannya sangat lambat, sehingga dia dan keluarganya kemudian termasuk rombongan orang sakit dari Desa Talolo.

Abangnya, H. Sunusi, diperintahkan untuk berkelahi dengan seseorang yang tak dikenalnya. Dijanjikan, bahwa yang kalah akan ditembak mati dan yang menang akan dibiarkan hidup. Namun ternyata keduanya ditembak mati.

Ketika dimulai penembakan membabi buta oleh tentara Belanda, Fatani menjatuhkan diri dan tiarap serta berpura-pura mati. Banyak yang melakukan ini.

Orang-orang dari Desa baruga yang dibunuh, selain abangnya, yang dia ingat a.l. Kepala Desa Baruga, Sulaiman, Kepala Desa Segeri Daming, Imam Baruga, Ama Makruf, Imam Segeri, H. Nuhung, Setelah penembakan yang membabibuta itu, komandan tentara Belanda memerintahkan agar yang tidak mati segera berdiri. Mereka diperintahkan untuk menguburkan mayat-mayat tersebut.

  1. H. Zainuddin Muhammad.
Menantu dari H. Fatani Thayeb. Usia kini 74 tahun.
Pada waktu peristiwa terjadi, berusia sekitar 8 tahun. Bersama orang tuanya tinggal di desa Baruga, yang merupakan salahsatu basis perjuangan di daerahnya. Di Baruga terdapat markas GAPRI (Gabungan Pemberontak RI) dengan Kode rahasia 351. GAPRI dipimpin oleh H.M. Djud Pance dan isterinya, Hj. Maemunah. Mereka tertangkap dan kemudian dibuang ke Cilacap. Zainuddin masih ingat, pada waktu itu sudah dilibatkan untuk mengawasi jalanan, apabila ada orang asing yang melintas di daerahnya.

Pada 1 Februari 1947 di pagi hari, semua orang dari desa Baruga digiring ke Galung Lombok, termasuk orang-orang yang sakit. Mereka berjalan kaki sekitar 8 km. Setibanya di Galung Lombok, wanita dan anak-anak serta orang sakit dipisahkan. Zainuddin masih ingat, tentara Belanda yang berasal dari Jawa membagikan permen kepada anak-anak.

Pada waktu terjadi penembakan membabi buta, ayah Zainuddin termasuk yang selamat. Tentara yang berasal dari Jawa berteriak kepada mereka untuk tiarap. Yang tergeletak di tanah, apakah sudah mati atau belum, tidak ditembak lagi. Demikianlah yang diingat oleh Zainuddin.

  1. Siti Amani, putri dari Nakku, korban pembantaian oleh tentara Belanda, tidak sempat diwawancarai.

                  Siti Amani menunjukkan nama ayahnya, Nakku


             Siti Amani di depan makam ayahnya

Demikianlah sekelumit kisah pilu dari Sulawesi Barat, yang bisu selama 65 tahun. Hampir 700 orang yang tewas dalam beberapa jam, namun ribuan orang memendam pilu dan derita selama puluhan tahun. Sama seperti kisah pilu dari Rawagede, satu desa yang terletak antara Karawang dan Bekasi, yang juga bisu sampai tahun 2005, sebelum dibawa oleh KUKB ke parlemen Belanda pada 15 Desember 2005. Jeritan Chairil Anwar: “Karawang – Bekasi” akhirnya didengar oleh dunia!

Dari kiri: Sama Unding, Baya Langi, Hama, Batara R. Hutagalung


*******