Saturday, June 27, 2020

Panca Pedoman Bernegara, Berbangsa, Bermasyarakat





BAGIAN PERTAMA

Kritik terhadap Empat “Pilar” [1] MPR RI

Pengantar

Gagasan Panca Pedoman Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat[2] ini merupakan kritik dan koreksi terhadap yang dinamakan Empat “Pilar” Berbangsa dan Bernegara yang dikarang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2009 - 2014. Anggaran sosialisasi Empat Pilar yang dikeluarkan oleh MPR mencapai Rp. 1 triliun per tahun.[3]

Dalam Bahan Tayang yang diterbitkan oleh MPR RI, Empat “Pilar” tersebut adalah:[4]
1.   Pancasila sebagai Dasar dan Ideologi Negara,
2.   UUD NRI Tahun 1945 Sebagai Konstitusi Negara serta Ketetapan MPR.
3.   NKRI Sebagai Bentuk Negara dan
4.   Bhinneka Tunggal Ika Sebagai Semboyan Negara.

Dari penjelasan yang diberikan mengenai Empat “Pilar” MPR RI sebagaimana tertulis dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR terlihat, bahwa landasan filosofis dan landasan sosiologis serta kerangka teoritisnya lemah. Landasan historisnya yang sebenarnya telah tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, bahkan sangat diabaikan. Juga para penyusun Empat “Pilar” MPR telah melakukan kesalahan dalam logika bahasa.[5] Selain itu judulnya juga kurang lengkap, yaitu Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Kalau akan disusun suatu pedoman (“pilar”), maka seharusnya dinamakan Pedoman (“Pilar”) Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat.  Urutan ini sesuai hak-haknya, yaitu Hak Asasi Negara (State’s rights), Hak Asasi Bangsa (Nation’s rights) dan Hak Asasi Manusia (Human rights). Hal ini juga sehubungan dengan Hak dan Kewajiban Negara; Hak dan Kewajiban Bangsa serta Hak dan Kewajiban Warga Negara. Masyarakat adalah kumpulan manusia yang menjadi warga negara di satu negara, yang mempunyai hak dan kewajiban.



Landasan Historis
Landasan historis yang di sini sangat diabaikan untuk kehidupan Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat Indonesia adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Landasan historis Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ’45, yaitu di alinea kedua dan ketiga, di mana disebut:[6]

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa[7] dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Pembukaan UUD ’45 ini disusun pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan, yang kemudian dinamakan ‘Piagam Jakarta.’ Rumusan tersebut disusun masih dalam suasana Perang Dunia II/Perang Asia-Pasifik. Tentara Jepang masih menguasai wilayah bekas jajahan Belanda. Teks tersebut disusun hampir dua bulan sebelum pernyataan kemerdekaan Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Di dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar[8] yang disahkan pada 18 Agustus 1945 ditulis a.l.:

Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.

Alinea kedua menjelaskan bahwa:
“... perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia ...”

dan alinea ketiga menegaskan alinea kedua:
“... maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya ...”

Kalimat terakhir di atas adalah bagian dari teks Proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Sukarno pada 17 Agustus 1945, yaitu:
“KAMI BANGSA INDONESIA DENGAN INI MENYATAKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.”

Dengan demikian jelas bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Pintu Gerbang Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia. Kedudukan proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai Pintu Gerbang harus diletakkan paling depan, atau sebagai pedoman (“Pilar”) pertama.

Logikanya: Tanpa adanya Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai Pintu Gerbang Kemerdekaan, maka Empat “Pilar” yang lain tidak akan ada.

Dalam menyusun Empat “Pilar” MPR Berbangsa dan Bernegara, bukan hanya landasan historisnya saja yang diabaikan. Juga sangat banyak terdapat kesalahan dalam penulisan sejarah Nusantara, baik di masa pra-kolonialisme, di masa kolonialisme. Demikian juga kesalahan-kesalahan dalam penulisan sejarah di masa perang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer yang dilancarkan oleh mantan penjajah bersama sekutu dan antek-anteknya antara tahun 1945 – 1950. Bahkan ada kesalahan-kesalahan penulisan yang fatal dan menyesatkan.

Buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR yang diterbitkan oleh MPR, sebagai Lembaga Tinggi Negara, dengan anggaran besar yaitu mencapai Rp. 1 triliun, seharusnya memberikan pencerahan dan informasi yang benar dan lengkap kepada masyarakat luas mengenai sejarah berdirinya Negara Bangsa (Nation state) Indonesia dan sejarah pembentukan Bangsa Indonesia serta proses dan alasan ditetapkan dan digunakannya bahasa Melayu sebagai Bahasa Persatuan Bangsa Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari dan memahami, bahwa bukan hanya Negara Indonesia yang baru, melainkan Bangsa Indonesia, sebagai entitas politik, adalah juga bangsa yang baru ada sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan demikian, sangat diperlukan konsep untuk Membangun Bangsa dan Jatidiri/Karakter Bangsa (Nation and Character Building).

Jangkauan buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR jauh lebih luas daripada buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah. Buku ini seharusnya meluruskan beberapa mitos yang salah yang telah berkembang di masyarakat, akibat kesalahan-kesalahan yang ada di buku-buku sejarah untuk sekolah-sekolah. Mitos-mitos yang salah antara lain, bahwa “Belanda menjajah Indonesia 350 tahun”, “Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun.” Mitos bahwa“rakyat Indonesia berperang melawan Belanda hanya dengan “bambu runcing.” Mitos yang salah, bahwa “Sumpah Palapa Gajah Mada” adalah untuk “mempersatukan” Nusantara.

Secara garis besar dapat dijelaskan, bahwa INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.[9] Yang dijajah oleh Belanda adalah kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara. Yang diduduki oleh tentara Jepang antara 9 Maret 1942 – 15 Agustus 1945 adalah wilayah bekas jajahan belanda, bukan Indonesia, karena sebagaimana diterangkan di atas, Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945.

Belanda, mantan penjajah, tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, sampai detik ini tahun 2020,[10] dan berusaha menguasai bekas jajahannya yang telah menjadi negara merdeka dan berdaulat sesuai dengan hukum internasional, yaitu Konvensi Montevideo. Sejarah mencatat, sampai berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus – 2 November 1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap eksis dan berpartisipasi dalam konferensi yang difasilitasi oleh PBB sebagai negara yang sejajar dengan Kerajaan Belanda.

Penyebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus selalu digunakan, karena pertama, tertera dalam Undang-Undang Dasar Pasal 1 ayat 1, yaitu:
“Negara Indonesia ialah Negara kesatuan berbentuk Republik.”

Kedua, untuk membedakan dengan negara federal konsep Belanda, yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB.


Mengenai Pancasila
Pengertian secara umum mengenai pilar adalah tiang penyangga, bukan dasar atau fundamen. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)[11] melaksanan persidangan pertama dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Persidangan pertama ini membahas dasar negara yang akan dibentuk. Dalam sidang pertama tanggal 29 Mei 1945, anggota BPUPK Muh. Yamin menyampaikan pandangannya. Dia mengawali dengan menyampaikan Kerangka Uraian secara tertulis, yaitu:[12]
Pekerjaan Panitia Usaha-Istimewa-Anggota berpendirian sebagai orang Indonesia- Harapan Masyarakat:
1.           Peri Kebangsaan,
2.           Peri Kemanusiaan,
3.           Peri Ke-Tuhanan,
4.           Peri Kerakyatan,
5.           Kesejahteraan rakyat.

Setelah membacakan uraian tertulisnya, M. Yamin kemudian melanjutkan uraian lisannya.

Dalam sidang BPUPK pada 1 Juni 1945, anggota BPUPK Ir. Sukarno menyampaikan pandangan dan usulannya mengenai dasar negara yang akan dibentuk, yang disebutnya sebagai landasan filosofis (bahasa Belanda: Filosofische grondslag). Sukarno mengatakan a.l.:[13]
“ ... Filosofische[14] grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Kalimat di atas dengan jelas menerangkan, bahwa negara yang akan dibentuk, dibangun di atas landasan filosofis tersebut. Sukarno menyampaikan lima prinsip dasar menurut pandangannya, untuk menjadi dasar negara yang akan dibentuk,yaitu:
1.   Kebangsaan Indonesia,
2.   Internasionalisme, atau peri kemanusiaan,
3.   Mufakat, atau demokrasi,
4.   Kesejahteraan sosial,
5.   Ketuhanan.

Landasan filosofis ini kemudian dinamakan Pancasila. Lima butir Pancasila tersebut dicantumkan di alinea keempat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disusun pada 22 Juni 1945, seperti disebut di atas. Setelah melalui pembahasan lebih lanjut, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 disepakati formulasi finalnya, yaitu:
1.   Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.   Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.   Persatuan Indonesia,
4.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
5.   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945, adalah a.l.:
“... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Mengenai nama Pancasila, Sukarno mengatakan nama tersebut atas petunjuk seorang temannya:[15]
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa. Namanya ialah Panca Sila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Sebelum digunakan oleh Sukarno, nama Pancasila yang berasal dari bahasa Pali, telah dikenal di kalangan ummat Buddha sejak lebih dari 2.500 tahun, sebagai lima dasar tata-cara kehidupan bermasyarakat sesuai dengan ajaran Buddha. Pancasila Buddhis[16] tersebut berlaku untuk masyarakat luas penganut ajaran Buddha, sedangkan untuk para Bhikku dan Bhikkuni berlaku Dasasila (10 Dasar).

Tahun 1998 MPR RI telah mengeluarkan Ketetapan MPR No. XVIII Tanggal 13 November 1998 Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Pasal 1 Tap MPR No. XVIII menyebut:[17]
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Pada 12 Agustus 2011 Presiden Susilo B. Yudhoyono menandatangani Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di Pasal 2  ditegaskan kedudukan Pancasila, yaitu: 
“Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum.”

Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 telah memutus membatalkan penggunaan frasa “Pilar” untuk Pancasila.[18] Namun MPR tetap menggunakan frasa Empat “Pilar” baik di dalam buku-buku yang diterbitkan oleh Setjen MPR maupun dalam sosialisasinya.

Kesalahan penjelasan mengenai Pancasila:
Dalam buku Materi Sosialisasi Empat “Pilar” MPR terdapat kalimat mengenai Pancasila yang salah dan sangat menyesatkan, yaitu:[19]
“Pancasila diilhami oleh gagasan-gagasan besar dunia, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan gagasan besar bangsa Indonesia sendiri.”

Koreksi: Sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Sukarno, bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia di Nusantara, bukan diilhami oleh gagasan-gagasan dari luar.


Mengenai UUD NRI
Sebagaimana telah ditulis di atas, penyebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus selalu digunakan. Oleh karena itu, adalah suatu kesalahan dengan hanya menulis UUD Negara Republik Indonesia (NRI). MPR menyatakan, bahwa Empat “Pilar” MPR ini menggunakan UUD ’45. Namun sesungguhnya, Empat “Pilar” MPR menggunakan UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002, yang adalah hasil empat kali perubahan UUD. Perubahan dilakukan oleh MPR pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Sewajarnya, UUD yang disahkan pada tahun 2002 dinamakan UUD 2002, sesuai tahun ditetapkannya.

Sebelum dilakukan pembahasan, ada kesepakatan dasar perubahan UUD 1945, yaitu:
1.   Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.   Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.   Mempertegas sistem presidensiil.
4.   Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.
5.   Perubahan dilakukan dengan cara “adendum.”

Selain kesepakatan-kesepakatan dasar yang telah dicantumkan, sebelum pembahasan tahun 1999 ada kesepakatan antara pimpinan MPR RI dengan tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Batang Tubuh UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 Pasal tidak akan diubah.

Setelah dilakukan empat kali perubahan, mengenai Struktur UUD ditulis dalam Bahan Tayang Materi Sosialisai Empat “Pilar” MPR sebagai berikut.[20]

Sebelum perubahan, UUD terdiri dari:
1.   Pembukaan,
2.   Batang Tubuh
-      16 Bab,
-      37 Pasal,
-      49 Ayat,
-      4 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Ayat Aturan Tambahan
3.   Penjelasan

Setelah perubahan:
1.   Pembukaan,
2.   Pasal-Pasal,
-      21 Bab,
-      73 Pasal,
-      179 Ayat
-      2 Pasal Aturan Peralihan,
-      2 Pasal Aturan Tambahan

Faktanya, perubahan tidak dilakukan dengan cara “adendum” (tambahan), melainkan sebagai “amandemen” (Perubahan). UUD yang disahkan pada tahun 2002 tersebut kemudian dinyatakan sebagai UUD ’45. Oleh karena itu banyak yang berpendapat, bahwa ini adalah UUD ’45 PALSU, karena selain struktur, isinya juga tidak sesuai dengan UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Ruh dan semangat yang terkandung dalam UUD ’45 ASLI serta Penjelasan Tentang UUD ’45 tersebut telah dihilangkan. Yang berkembang di masyarakat saat ini adalah adanya “UUD ’45 ASLI”, yaitu yang disahkan pada 18 agustus 1945  dan “UUD ’45 PALSU”, yang disahkan pada 10 Agustus 2002.

Dari strukturnya sudah terlihat perbedaan yang sangat signifikan, terutama jumlah ayat yang semula 49 menjadi 179. Selain itu ada kejanggalan dalam kerangka UUD yang disahkan pada tahun 2002, yaitu adanya Bab yang isinya dihapus, namun Bab-nya tetap dicantumkan, yaitu Bab IV mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Bab IV tetap dicantumkan, namun isinya kosong. Kejanggalan dalam menyusun kerangka Undang-Undang Dasar ini  terjadi, karena terpaksa memenuhi kesepakatan dengan para tokoh masyarakat, untuk tidak mengubah Batang Tubuh UUD ’45 ASLI. Apabila tidak cermat menelitinya, maka terlihat seolah-olah jumlah Bab-nya tetap 16, namun faktanya hanya 15, dengan penambahan Pasal menggunakan huruf Latin besar, A, B, dst.

Perubahan yang sangat mendasar adalah yang sehubungan dengan Kedaulatan Rakyat. Dalam UUD ’45 ASLI Pasal 1 ayat 2 disebut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Mengenai hal ini ditulis dalam Penjelasan Tentang UUD ’45:
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan, bernama "Majelis Permusyawaratan Rakyat" sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertrettungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.

Namun dalam Undang-Undang Dasar 2002 tidak ada satu Pasal atau ayat yang khusus mengatur bagaimana tata-cara melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut.

Dalam UUD 2002, pasal 1 ayat 2 diganti menjadi:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Sehubungan dengan hal ini, kesalahan terbesar dalam perubahan UUD’45 adalah mengubah Pasal 6, yaitu tentang pengangkatan presiden dan Wakil Presiden. Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR sesuai dengan Sila keempat Pancasila, yaitu:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”,
Sebagaimana tertera dalam penjelasan tentang UUD ’45 ASLI, MPR merupakan pernjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan sebagai Lembaga Tertinggi Negara, mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dituangkan dalam Pasal 6 ayat 2, yaitu:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak.”

Dalam UUD tahun 2002,tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden  dibuat Pasal baru, yaitu Pasal 6 A ayat 1 – 5, di mana di ayat 1 ditulis:
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung melanggar Sila keempat Pancasila. Selain itu, UUD NRI 2002 menghilangkan salah-satu kewenangan MPR yang sangat penting, yaitu menetapkan garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tanpa adanya GBHN, maka setiap presiden yang terpilih membuat programnya kerjanya untuk lima tahun. Dengan dihilangkannya GBHN, maka tidak ada jaminan kesinambungan suatu program, apabila Presiden berikutnya tidak melanjutkan program Presiden terdahulu. Hilangnya GBHN dari UUD NKRI dapat mengakibatkan ketimpangan dalam pembangunan di seluruh wilayah NKRI.

Juga dalam UUD yang disahkan pada 10 Agustus 2002 ada ayat yang luar biasa anehnya, yaitu Pasal 28 G ayat 2 yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain (perubahan kedua).”

Kalimat terakhir ini menunjukkan, bahwa Negara dalam hal ini adalah Pemerintah, TNI dan POLRI serta seluruh aparat penegak hukum di Indonesia, gagal melindungi bangsanya sehingga orang-orang Indonesia yang “mengalami penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia” diberi hak untuk meminta suaka politik dari negara lain, yang dapat melindungi orang-orang Indonesia tersbut. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45 ditulis a.l.:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ...”

Apabila ada orang Indonesia yang menggunakan pasal 28 G ayat 2 untuk mencari suaka politik di negara lain, maka para penyelenggara negara dan penegak hukum di Indonesia tidak melaksanakan atau gagal menjalankan amanat yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45.

Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar sangat penting untuk diketahui oleh para penyelenggara Negara, terutama yang ingin melakukan perubahan UUD. Oleh karena itu menjadi pertanyaan besar, mengapa Penjelasan Tentang Undang-undang dasar 1945 dihilangkan dalam UUD 2002.

Di dalam penjelasan a.l. disebut:
I. Undang-undang Dasar, sebagian dari hukum dasar.
Undang-undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak ditulis.

Memang untuk menyelidiki hukum dasar (droit constitutionnel) suatu negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-undang Dasarnya (loi constituionnelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-undang Dasar itu.

Undang-undang Dasar Negara manapun tidak dapat dimengerti, kalau hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya Undang-undang Dasar dari suatu Negara, kita harus mempelajari juga bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui, keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin.
Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya Undang-undang yang kita pelajari aliran pikiran apa yang menjadi dasar Undang-undang itu.

Menghilangkan Penjelasan mengenai UUD ’45 yang disahkan pada 18 Agustus 1945, sama dengan menghilangkan penjelasan mengenai latar belakang sejarah disusunnya UUD ’45 ASLI. (Mengenai Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun Undang-Undang Dasar 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945, lihat link di catatan kaki)[21]


Kesalahan-Kesalahan Penulisan Sejarah
Dalam buku ‘Sosialisasi Materi Empat Pilar MPR’ mengenai sejarah, banyak terdapat kesalahan, bahkan kesalahan fatal dan menyesatkan. Adalah kesalahan besar, apabila suatu Lembaga Tinggi Negara seperti MPR RI memberikan informasi yang salah, apalagi yang sehubungan dengan sejarah Negara dan Bangsa Indonesia, terutama sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer Belanda, mantan penjajah yang dibantu oleh sekutu dan kaki-tangannya, antara tahun 1945 – 1949.[22]

Berikut ini beberapa contoh kesalahan yang ditulis dalam buku Materi Sosialisasi Empat “Pilar” MPR.

Kesalahan asal-usul nama Indonesia:[23] Kesalahan seperti ini sebenarnya tidak perlu terjadi, yaitu sehubungan dengan nama “INDONESIA.” Cukup mencari di google.com, dengan memasukkan kata kunci “asal-usul kata Indonesia”, atau asal-usul nama Indonesia”, akan tampil berbagai artikel mengenai asal-usul kata/nama Indonesia. Di Materi Sosialisasi Empat “Pilar” MPR ditulis:

Pada tahun 1850, George Windsor Earl seorang Inggris etnolog mengusulkan istilah Indunesians dan preperensi Malayunesians untuk penduduk kepulauan Hindia atau Malayan Archipelago. Kemudian seorang mahasiswa bernama Earl James Richardison Logan  menggunakan Indonesia sebagai sinonim untuk Kepulauan Hindia. Namun dikalangan akademik Belanda, di Hindia Timur enggan menggunakan Indonesia sebaliknya mereka menggunakan istilah Melayu Nusantara (Malaische Archipel).

Koreksinya:
“Pencipta” kata Indunesia adalah George Samuel Windsor Earl, seorang ilmuwan asal Inggris. Sedangkan James Richardson Logan, bukan mahasiswa, melainkan seorang pengacara asal Skotlandia dan pendiri Journal yang terbit di Singapura. Namanya Richardson, tidak ada “huruf i” antara huruf “d” dan huruf “s.” Tujuan utama Earl bukan untuk memberi nama suatu wilayah di Asia tenggara, melainkan memberi nama untuk cabang ras polinesia berkulit coklat yang menghuni kepulauan India. Awalnya Earl menyebut penduduk di wilayah Kepulauan India sebagai Indunesian, atau orang-orang di kepulauan India, namun dia kemudian lebih senang menggunakan nama Melayunesian. Logan, sebagai pemilik Jurnal, senang dengan kata Indunesian dengan sedikit perubahan. Dia mengganti huruf “U” dengan huruf “O”, sehingga menjadi Indonesian. Arti kata Indunesian versi Earl  atau Indonesian versi Logan adalah orang-orang di Kepulauan India. Sedangkan wilayahnya dinamakan Indonesia, yang artinya adalah Kepulauan India. Penamaan yang dimaksud oleh Earl dan Logan adalah untuk cabang ras yang berkulit coklat, tidak termasuk penduduk di bagian Timur, yang kemudian dikenal sebagai Melanesian.
Orang-orang Belanda tidak menyebut “Melayu Nusantara.” Mereka menamakan wilayah jajahannya sebagai Nederlands Indie (India Belanda), dan menamakan pribumi di wilayah jajahannya di Asia Tenggara sebagai orang India (Indie).

Kesalahan berikutnya:[24]
Masa Penjajahan
Sejak berakhirnya masa kerajaan di Indonesia, masuklah bangsa Barat seperti Portugis dan Spanyol yang disusul oleh Bangsa Belanda pada abad XVI tepatnya 1596.

Koreksinya: Ini kalimat yang salah total. Pertama, sebelum tanggal 17 Agustus 1945, tidak ada wilayah atau negara atau bangsa yang bernama Indonesia. Kedua, masa kerajaan di Nusantara tidak berakhir ketika bangsa-bangsa barat datang. Kalau masa kerajaan berakhir, siapa yang diperangi oleh para penjajah selama ratusan tahun sampai awal abad 20? Sampai sekarang, tahun 2020 masih ada beberapa kerajaan dan kesultanan, namun tidak sebagai negara yang berdiri sendiri, malainkan menjadi bagian dari NKRI, seperti Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Tidore, Kesultanan Cirebon, Kerajaan-Kerajaan di Bali, dll.

Kesalahan besar: Berikut ini salahsatu contoh penulisan sejarah yang harus dikategorikan sebagai kesalahan besar, yaitu:[25]
Kemudian pada 1920 Indische Social Demokratische Partij atau ISDP dan bagian dari Serikat Islam berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Koreksinya: cikal-bakal Partai Komunis Indonesia, yaitu Indische Sociaal Democratische Vereeniging - ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat India) yang didirikan oleh 85 orang Belanda totok di bawah pimpinan Hendrikus Sneevliet[26] pada 20 Mei 1914 bukan Partij/Partai, melainkan suatu perhimpunan (Vereeniging). Tidak ada seorangpun pribumi yang ikut mendirikan. Tujuannya adalah mengubah sistem kerajaan di Belanda menjadi Republik Sosialis, bukan kemerdekaan jajahan Belanda yang dinamakan Nederlands Indie (India Belanda). beberapa tahun kemudian, tiga orang remaja pribumi, yaitu Darsono, Alimin dan Semaun yang adalah anggota Sarikat Islam, menjadi anggota ISDV. Jadi bukan “bagian” dari Sarikat Islam, melainkan beberapa pemuda dan remaja anggota Sarikat Islam yang bergabung dengan ISDV. Pada 23 Mei 1920 nama ISDV diganti menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Tahun 1921 anggota-anggota Sarikat Islam (SI) yang juga menjadi anggota PKH dipecat dari SI. Tahun 1924 nama PKH diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penjelasan mengenai sejarah yang harus dikategorikan sebagai “ngawur” adalah:[27]
Pada 14 Agustus 1945, melalui Radio Suara Amerika, diberitakan bahwa Hirosima dan Nagasaki dibom, dan karena kejadian ini Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, tentara Inggris dengan nama South East Asia Command yang bertugas menduduki wilayah Indonesia menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang (Setidjo, Pandji, 2009)

Koreksinya: Berita mengenai di Hiroshima dijatuhkan Bom Atom telah diberitakan di Amerika tanggal 6 Agustus 1945 dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom diberitakan tanggal 9 Agustus. Amerika mengancam, bom atom berikutnya akan dijatuhkan di Tokyo. Oleh karena itu Kaisar Hirohito tanggal 15 Agustus (ada sumber yang menyebut tanggal 14 Agustus) 1945 memerintahkan kepada militer Jepang untuk menghentikan semua tindakan militer di seluruh wilayah yang diduduki oleh Jepang. Dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatangani di atas Kapal Perang AS Missouri di Teluk Tokyo (Tokyo Bay) tanggal 2 September 1945. Penyerahan tentara Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura tanggal 12 September 1945, bukan tanggal 14 Agustus 1945. Penyerahan Jepang di Singapura diterima oleh Vica Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander of South East Asia Command, yang berkuasa atas seluruh wilayah Asia Tenggara dan Asia Pasifik, bukan hanya bekas jajahan Belanda.

Kesalahan penulisan yang fatal dan menyesatkan sehubungan dengan hasil KMB adalah:[28]
... dan puncaknya pada 27 Desember 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk Negara Serikat.

Koreksinya: Pada 27 Desember 1949, Belanda bukan mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Yang terjadi pada 27 Agustus 1949 adalah PEMINDAHAN KEDAULATAN (transfer of sovereignty) dari pemerintah Nederlands Indie kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada Republik Indonesia. Bentuk negara Serikat adalah hasil perundingan dari mulai Linggajati, bukan syarat dari Belanda dalam KMB. Sampai detik ini, Juni 2020, pemerintah belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik indonesia adalah 17 Agustus 1945. Pada 16 Agustus 2005, Menlu Belanda Ben Bot  di Jakarta menyampaikan secara lisan, bahwa mulai tanggal tersebut, pemerintah Belanda MENERIMA SECARA MORAL DAN POLITIS (DE FACTO) Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pernyataan ini disampaikan juga oleh Raja Belanda, Willem Alexander, dalam kunjungannya ke Indonesia pada 13 Maret 2020.

Kalimat yang paling “ngawur” adalah yang sehubungan dengan hasil KMB, yaitu pembentukan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS):

... Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia Serikat untuk periode 1949-1950, dengan Moh. Hatta merangkap sebagai perdana menteri;

Koreksi: Sukarno menjabat sebagai Presiden RIS sampai tanggal 16 Agustus 1950 BUKAN HASIL KMB. Setelah RIS berdiri pada 27 Desember 1949, satu-persatu dari 15 Negara Bagian dan Daerah Otonom yang dibentuk oleh Belanda, dibubarkan oleh rakyatnya atau membubarkan diri dan bergabung dengan Republik Indonesia. Pada Bulan Mei 1950, tiga Negara bagian yang tersisa, yaitu Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur sepakat, untuk dibubarkannya RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 agustus 1945. M. Hatta bukan Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri, melainkan hanya Perdana Menteri.

Kesalahan-kesalahan penulisan sejarah bangsa dan negara Indonesia serta tidak menggunakan UUD ’45 ASLI ini bertentangan dengan tujuan para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia mendirikan Negara Indonesia dengan tujuan a.l. mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD ’45, di mana disebut:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah  Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...”

Mengenai Bhinneka Tunggal Ika Dalam Konteks Indonesia[29]
Ditulis:
Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan pada 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Clubgebouw Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda Jalan Kramat Raya Jakarta) milik seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong ...

Koreksi: Pedagang Tionghoa tersebut bukan pemilik gedung, melainkan pemegang HGB (Hak Guna Bangunan). Para pemuda pribumi menyewa gedung tersebut untuk penyelenggaraan sidang ketiga pada 28.10.1928. Sidang pertama dilakukan di satu Gedung Bioskop, sidang kedua dilaksanakan di gedung Katholieke Jongelingen Bond (Persatuan Pemuda Katholik).

Pada waktu itu, masih hangat masalah diskriminasi yang luar biasa besarnya terhadap pribumi. Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regeringsreglement) yang membagi penduduk dalam tiga golongan strata sosial dan hukum. Golongan pertama tentu bangsa Eropa dan bangsa Jepang yang disetarakan dengan bangsa Eropa. Golongan kedua adalah timur asing, yaitu bangsa Tionghoa dan bangsa Arab. Pribumi dimasukkan sebagai golongan ketiga. Peraturan Pemerintah ini tahun 1926 dikukuhkan dalam Peraturan Negara (Staatsreglement).

Jadi penggunaan gedung di Jalan Kramat Raya bukan diberikan gratis, melainkan disewa. Tidak ada hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Bukan rasa persatuan dari pedagang Tionghoa tersebut, melainkan murni transaksi bisnis, yaitu sewa-menyewa ruangan di gedung. Setelah masa berlakunya HGB berakhir, gedung tersebut diambil alih kembali oleh Pemda DKI dan kemudian dijadikan Gedung Sumpah Pemuda.



Mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara Bangsa (Nation state) Indonesia, yang merupakan kesatuan dan persatuan Kerajaan-Kerajaan dan Kesultanan-Kesultanan di Asia tenggara/ Nusantara. Wilayahnya, berdasarkan hukum internasional Uti possidetis iuris, adalah seluruh wilayah bekas Nederlands Indie (India Belanda).


Mengenai Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika bukanlah semboyan Negara, melainkan semboyan kehidupan bermasyarakat dari bangsa baru, yang multi etnis, multi agama, multi kebudayaan dsb. Di atas telah diterangkan, bahwa Negara dan Bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak 17 Agustus 1945.

Oleh karena itu, sebagai Bangsa baru yang multi etnis, multi agama, multi bahasa ibu (etnis dan sub-etnis), multi kebudayaan/tradisi, dalam rangka Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building), penting disusun Pedoman Bernegara, Berbangsa dan Bermasyarakat.

Berikut ini disampaikan gagasan pedoman untuk tujuan tersebut di atas, yaitu:

1.   Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sebagai Hari Lahirnya Negara dan Bangsa Indonesia,
2.   Pancasila Sebagai Landasan Filosofis (Filosofische grondslag) dan Ideologi Negara,
3.   Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Bentuk Negara Bangsa (Nation State) Indonesia,
4.   Undang-Undang Dasar 1945 yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (yang disempurnakan dengan penambahan/Adendum), Sebagai Konstitusi NKRI.
5.   Bhinneka Tunggal Ika, Sebagai Semboyan Kehidupan Masyarakat Indonesia.

 Yang selanjutnya dinamakan Panca Pedoman Bernegara, Berbangsa, Bermasyarakat (PPBBB atau P2B3)





BAGIAN KEDUA

PANCA PEDOMAN BERNEGARA, BERBANGSA, BERMASYARAKAT

Pengantar
Di Nusantara/Asia Tenggara, baik di masa pra kolonialisme maupun di masa kolonialisme, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan saling berperang dengan tujuan untuk menguasai kerajaan/kesultanan yang lain. Yang kalah harus membayar upeti kepada pemenang dan lazimnya waktu itu, banyak penduduk dari kerajaan/kesultanan yang kalah dijadikan budak.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kesatuan dan persatuan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Nusantara/ AsiaTenggara. Berdirinya NKRI berdasarkan kesepakatan para tokoh dari berbagai wilayah di bekas jajahan Belanda di Nusantara/Asia Tenggara. Negara dan bangsa Indonesia sebagai entitas politik baru ada sejak tanggal 17 Agustus 1945.

Sebagai negara dan bangsa yang baru, masyarakatnya harus memiliki pemahaman mengenai negara, bangsa dan masyarakat yang menjadi warga di negara baru tersebut. Masyarakat Indonesia harus mengetahui latar belakang sejarahnya, yaitu dasar dan tujuan didirikannya negara Indonesia dan dibentuknya bangsa Indonesia, serta perlu mengetahui sejarah dan alasan penetapan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Bangsa Indonesia.


PEDOMAN I: PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
17 AGUSTUS 1945

Pembukaan UUD 1945:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di alinea kedua Pembukaan UUD 1945 telah ditulis:

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Untuk sampai pada pintu gerbang kemerdekaan, para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia harus melalui jalan panjang perjuangan yang penuh pengorbanan. Untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, terhadap agresi militer mantan penjajah, sekitar satu juta rakyat Indonesia tewas dibantai oleh tentara Belanda dan sekutu serta antek-anteknya, tanpa proses hukum.

Pernyataan Jepang menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945 adalah pernyataan sepihak dan menghentikan semua kegiatan sipil dan militer di seluruh wilayah kekuasaannya, termasuk di bekas jajahan Belanda yang bernama Nederlands Indie (India Belanda). Namun dokumen menyerah tanpa syarat baru ditandatangani pada 2 September 1945 di atas Kapal Perang AS Missouri di Teluk Tokyo (Tokyo Bay). Dengan demikian, antara tanggal 15 Agustus – 2 September 1945 terdapat yang dinamakan vacuum of power (Kekosongan otoritas/kekuasaan). pasukan Sekutu pertama baru tiba di Jakarta pada 26 September 1945.

Di masa vacuum of power tersebut, Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pernyataan kemerdekaan ini bukan pemberontakan terhadap Belanda, karena pada 9 Maret 1942, pemerintah Nederlands Indie menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Negara Nederlands Indie telah lenyap dari muka bumi. Pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga bukan pemberontakan tehadap Jepang, karena pada 15 Agustus 1945 Jepang telah menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu dan menghentikan semua kegiatan pemerintahan militer di seluruh wilayah yang didudukinya. Pernyataan kemerdekaan Indonesia bukan revolusi, karena tidak ada pemerintahan yang digulingkan atau diganti, melainkan membangun suatu Negara di atas wilayah yang tidak memiliki pemerintahan dan tidak ada otoritas. Ketika Belanda datang ke wilayah bekas jajahannya, Belanda datang ke Republik Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu, konflik bersenjata antara Republik Indonesia dengan Belanda setelah tanggal 17 Agustus 1945, bukan perang kemerdekaan. Yang terjadi adalah PERANG MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta antek-anteknya.

Seandainya Tentara Nasional Indonesia  (TNI) dan rakyat Indonesia kalah dalam perang mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, maka Negara dan Bangsa Indonesia lenyap. Wilayah Negara Indonesia menjadi jajahan Belanda. Juga Pancasila, UUD ’45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika tidak akan ada. Mungkin baru setelah tahun 1960-an dbieri “hadiah” kemerdekaan dari penjajah, seperti kebanyakan negara-negara di Asia dan Afrika yang mendapat “hadiah” kemerdekaan dari para mantan penjajah setelah tahun 1960-an.

Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah sang penjajah, Jepang, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu tanggal 15 Agustus 1945 dengan demikian Indonesia adalah pelopor kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Pernyataan kemerdekaan Indonesia mejadi inspirasi untuk negara-negara terjajah lain dan membangkitkan semangat untuk kemerdekaan. Pada 2 September 1945 Vietnam juga menyatakan kemerdekaannya. Indonesia dan Vietnam berhasil mempertahankan kemerdekaan terhadap agresi militer mantan penjajah masing-masing, yaitu Belanda dan Perancis.

Latar Belakang Sejarah
Tulisan ‘Latar Belakang Sejarah’ yang disampaikan dalam Lampiran. Ini merupakan ringkasan/rangkuman tulisan-tulisan saya sejak tahun 1999, baik sebagai buku-buku maupun sebagai artikel-artikel.
Silakan lihat di::

Mengenai asal-usul nama 'Indonesia' , lihat:

Penjelasan mengenai Bangsa Indonesia Lahir Tanggal 17 Agustus 1945, lihat:


PEDOMAN II: P A N C A S I L A

Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK)[30] dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945, materi yang dibahas adalah dasar negara yang akan dibentuk. Tercatat ada 32 pembicara selama empat hari bersidang. Rincian adalah, 11 orang pembicara pada hari pertama tanggal 29 Mei, 10 orang tanggal 30 Mei, 5 orang tanggal 31 Mei, dan 5 orang tanggal 1 Juni.[31] Semua pembicara menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara yang akan dibentuk, juga menyampaikan berbagai teori-teori kenegaraan.

Di atas telah disampaikan, bahwa pada sidang tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan pandangannya mengenai dasar negara yang akan dibentuk yang disebutnya sebagai landasan filosofis (bahasa Belanda: Filosofische grondslag). Sukarno mengatakan a.l.:
“ ... Filosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Sukarno menegaskan pendapatnya dalam kalimat berikutnya:[32]
“Saudara-saudara. Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka Tuian Ketua yang mulia. Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki. Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosofische grondslag atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan Negara Indonesia.

Kalimat ini mempertegas, bahwa Pancasila sebagai landasan filosofis. Negara Bangsa (Nation state) Indonesia didirikan di atas landasan filosofis tersebut, yaitu Pancasila. Dengan demikian jelas kedudukan Pancasila tidak dapat disamakan atau disejajarkan dengan NKRI, atau dengan “Pilar-Pilar” lain.

Sejak era Orde Lama, Orde Baru dan di era Orde Reformasi telah sangat banyak tafsir mengenai Pancasila. Di sini tidak lagi akan dijabarkan atau ditafsirkan Pancasila. Yang terpenting untuk para penyelenggara negara adalah melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45 ASLI secara murni,


PEDOMAN III: NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Bentuk Negara Kesatuan ini tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal I ayat 1, yaitu:Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.[33]

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara Bangsa (Nation State), yang merupakan persatuan dan kesatuan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara/Nusantara. Kerajaan-kerajaan dan Kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara/ Nusantara adalah negara-negara berdasarkan etnis, yang menjadi suku-suku bangsa di dalam kerangka NKRI. Perlu dipahami dan digaris-bawahi, bahwa berdirinya NKRI berdasarkan kesepakatan.

Penyebutan NKRI penting dipertahankan, untuk membedakan dengan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang adalah konsep Belanda. sebagaimana ditulis di atas, pada awal Perang Asia-Pasifik pemerintah Nederlands Indie (India-Belanda) menyerah kepada tentara Jepang pada 9 Maret 1942. Negara Nederlands Indie lenyap dari muka bumi. Pada 7 Desember 1942, bertepatan dengan peringatan satu tahun dimulainya Perang Asia-Pasifik, Ratu Belanda menyampaikan pidato di radio di London, di mana dia menjanjikan akan memberi kewenangan yang lebih luas kepada pribumi di wilayah jajahannya, dan akan menghapus Undang-Undang yang diskriminatif terhadap pribumi. Sampai tanggal menyerahnya kepada Jepang, di wilayah jajahannya pemerintah kolonial membagi penduduk dalam tiga strata sosial dan hukum, di mana pribumi diletakkan pada strata paling bawah, yang disetarakan dengan anjing. Melalui jaringan intel bawah tanahnya pemerintah Belanda di pengasingan di London mendengar perkembangan di bekas jajahannya, bahwa Jepang akan memberi kemerdekaan kepada bekas wilayah jajahan Belanda. pemerintah Belanda di pengasingan menggagas sistem pemerintahan yang akan dilaksanakan di wilayah bekas jajahannya, yaitu sistem negara federal atau negara-negara bagian.

Konsep Belanda tersebut yang pertama kali disodorkan dalam perjanjian Linggajati tahun 1946, berhasil diwujudkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda dari tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Sebagai hasil KMB, dibentuk negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diresmikan pada 27 Desember 1949. Republik Indonesia dengan Ibukota Yogyakarta, merupakan satu dari 16 Negara Bagian RIS. RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950, dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.

Mengenai Negara Indonesia yang akan dibentuk adalah Negara Bangsa (Nation state), juga disampaikan oleh Ir. Sukarno dalam pidatonya di BPUPK tanggal 1 Juni 1945. Sukarno mengatakan a.l.:[34]
Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia adalah kebangsaan. Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia ... Satu Nationale Staat! (bahasa Belanda. artinya Negara Bangsa/Negara Kebangsaan)”

Pembahasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation State), membentuk Bangsa Indonesia serta “menciptakan” Bahasa Indonesia dimulai dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Pembahasan ini dimatangkan dan dirumuskan sebagai Putusan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II pada sidang terakhir tanggal 28 Oktober 1928. Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia II juga disebut sebagai Kongres Pemuda II. Putusan Kongres Pemuda II kemudian dinamakan Sumpah Pemuda.


PEDOMAN IV: UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap menggunakan Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945 beserta Penjelasannya. Penjelasan UUD ’45 adalah bagian yang tidak terpisahkan dari UUD ’45 itu sendiri, karena di dalam penjelasan tersebut ada hal-hal yang sangat mendasar yang harus diketahui oleh para penyelenggara Negara.

Sejarah memiliki peran penting dalam menyusun UUD ’45. Oleh karena itu, para anggota MPR RI yang akan melakukan pembahasan mengenai UUD, harus mengetahui dan memahami sejarah di masa pra kolonialisme, di masa kolonialisme, di masa pendudukan tentara Jepang dan di masa perang mempertahankan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949.

Misalnya ketika membahas mengenai warga negara, mengacu pada Undang-Undang yang sangat diskriminatif di masa kolonialisme Belanda, yang meletakkan pribumi dalam strata sosial dan hukum sebagai warga kelas tiga, yang paling bawah, yang disetarakan dengan anjing..

Di depan gedung-gedung mewah, hotel-hotel, tempat pemandian umum, gedung-gedung bioskop tertentu, bahkan di perkumpulan olahraga elit, terpasang plakat dengan tulisan VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER, yang artinya adalah TERLARANG UNTUK ANJING DAN PRIBUMI.

Catatan: Uraian yang lebih rinci mengenai “Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun Undang-Undang Dasar Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945, lihat:


Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang disahkan pada 18 Agustus 1945, lihat:


PEDOMAN V: BHINNEKA TUNGGAL IKA

Kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan masyarakat Indonesia ini telah dikenal sejak abad 14. Kalimat ini ada di dalam karya sastra seorang pujangga di zaman Kerajaan Majapahit, Mpu Tantular, karyanya berjudul Kakawin Sutasoma, yang ditulis sekitar tahun 1350-an.[35]

Pada waktu itu, agama Hindu dan agama Buddha berkembang bersamaan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Mpu Tantular sendiri dikenal beragama Buddha. Perpaduan agama Hindu dan agama Buddha masih terlihat di Bali. Dalam ritual-ritual keagamaan di Bali yang dikenal beragama Hindu, masih ada unsur-unsur dari agama Buddha.

Dalam karyanya ini, Mpu tantular menggambarkan kehidupan yang damai dan rukun masyarakat di Kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sebagian beragama Hindu aliran Siwaisme dan sebagian lagi beragama Buddha. Kalimat yang menjadi rujukan di sini tertera dalam yang dinamakan pupuh 139, bait 5. yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno sebagai berikut:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,     
(Konon Buddha dan Siwa merupakan dua unsur yang berbeda)

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,         
(Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?)

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,   
(Sebab kebenaran Jina/Buddha dan Siwa adalah tunggal)

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. 
(Terpecah belahlah itu, tidak ada dharma/kebenaran yang mendua)

Dasar pemikiran Mpu Tantular nampaknya bertitik tolak dari prinsip harmoni Jawa untuk menghindari konflik, dan kemudian mengasumsikan bahwa walaupun Siwa dan Buddha berbeda, namun pada dasarnya mereka adalah satu. Buddha adalah penamaan untuk seorang manusia yang telah mencapai kesempurnaan, dan tidak lagi mengalami siklus lahir, dewasa, mati dan kemudian mengalami reinkarnasi (rohnya lahir/menitis kembali) lagi. Sidharta Gautama yang dinyatakan sebagai pendiri agama Buddha, bukanlah Buddha pertama dan juga bukan Buddha terakhir. Menurut ajaran Buddha, akan datang lagi Buddha Maitreya, atau Buddha Welas Asih (Kasih Sayang).

Para pendiri bangsa Indonesia sepakat menerima usulan untuk menggunakan kalimat Bhinneka Tunggal Ika menggunakan sebagai simbol perekat dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis agama, budaya, bahasa, dsb. Bhinneka Tunggal Ika diharapkan menjadi simbol kerukunan masyarakat Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika kini diartikan sebagai:
“Walaupun bangsa Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda baik, etnis/suku, agama dan budaya, tetapi kini terhimpun sebagai satu kesatuan.”

Semboyan ini sangat baik untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebagai bangsa yang baru, yang tediri dari berbagai etnis, agama, tradisi/adat-istiadat, dll.



********



MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA
(Nation and Character Building)

Permasalahan yang Dihadapi Bangsa Indonesia Setelah Tahun 1950.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, gagasan untuk mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation state) dan  membentuk bangsa serta “menciptakan” Bahasa Indonesia telah mulai dibahas dalam Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I dari tanggal 28 April – 1 Mei 1926. Kerapatan Pemuda ini kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Kongres Pemuda I ini kurang mendapat sorotan dalam sejarah pembentukan Bangsa Indonesia, serta penetapan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Persatuan bangsa yang akan dibentuk.

Di awal abad 20, para pemuda pribumi yang berasal dari berbagai daerah di wilayah jajahan Belanda, mendirikan berbagai organisasi kepemudaan, yang masih berdasarkan etnis atau agama, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (Pemuda sunda) dll. Tidak jarang terjadi konflik di antara mereka karena latar belakang sejarah atau karena politik pecah-belah (divide et impera) yang dilakukan oleh penjajah.

Peran tokoh-tokoh dari Perhimpunan India (Indische Vereeniging) di Belanda sangat besar dalam mendorong agar organisasi-organisasi pemuda pribumi yang berdasarkan etnis dan agama dipersatukan. Awalnya adalah pendekatan-pendekatan pribadi dari anggota-anggota organisasi-organisasi pemuda tersebut.

Akhirnya tercapai kesepakatan untuk mengadakan pertemuan besar resmi yang dinamakan Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia Pertama, yang dikenal sebagai Kongres Pemuda I. Sebagian besar pserta Kerapatan tersebut belum fasih berbahasa Melayu, sehingga para pembicara menggunakan bahasa Belanda. demikian juga hasil-hasil Kerapatan ditulis dalam bahasa Belanda. Dalam kongres inilah diletakkan batu pertama untuk “MEMBENTUK BANGSA INDONESIA”, dan “MENCIPTAKAN BAHASA INDONESIA.”

Apabila dilihat dari segi logika, maka embrio gagasan mendirikan Negara Bangsa (Nation state) dan Bangsa Indonesia serta “terciptanya” Bahasa Persatuan ada di Kerapatan Pemuda-Pemudi Indonesia I (Kongres Pemuda I). Salahsatu penggagas dan kemudian menjadi Ketua Panitia adalah Mohamad Tabrani Soerjowitjitro, seorang pemuda asal Pamekasan, Madura. Tabrani adalah orang pertama yang mengusulkan “diciptakannya” Bahasa Indonesia. Semula M. Yamin menolak usulan ini dan mengusulkan agar digunakan bahasa Melayu. Usulan Tabrani ini diterima dalam Kerapatan Pemuda-Pemudia Indonesia II (Kongres Pemuda II). Tabrani sendiri seuasi Kerapatan Pertama, melanjutkan pendidikan jurnalisme di Jerman, kemudian di Belanda, sehingga tidak hadir dalam Kerapatan II bulan Oktober 1928.

Gagasan untuk mendirikan Negara Bangsa (Nation state) dan membentuk Bangsa Indonesia dimatangkan dalam Kerapatan Pemuda – Pemudi Indonesia II (Kongres Pemuda II) pada 27 dan 28 Oktober 1928. Gagasan tersebut baru dikenal oleh para tokoh dan aktifis pergerakan kemerdekaan, belum dikenal oleh seluruh rakyat di wilayah jajahan Belanda.

Demikian juga pada saat diproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, tidak serta-merta seluruh rakyat Indonesia mengenal gagasan tersebut. Bahkan Bahasa Persatuan, yaitu Bahasa Indonesia, sampai tahun 1970-an masih belum digunakan di seluruh wilayah Indonesia, terutama oleh para lansia di daerah-daerah pedalaman, bukan hanya di luar Jawa, melainkan juga di Jawa. Hal-hal tersebut dikarenakan masih minimnya sarana dan prasarana komunikasi, juga masih sangat kurangnya pencerahan dari pemerintah sejak tahun 1950-an.

Sebagai bangsa yang baru dibentuk pada 17 Agustus 1945, Bangsa Indonesia dari Merauke sampai Sabang dapat dikatakan belum memiliki rasa persatuan sebagai satu bangsa, karena latar belakang sejarah Nusantara. Sebagaimana dijelaskan di atas, baik di masa pra kolonialisme, maupun di masa kolonialisme, kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara/ Nusantara masih saling memerangi dan menjajah. Bahkan tidak jarang, penduduk dari kerajaan yang dikalahkan, dijadikan budak oleh kerajaan yang menang. Juga akibat politik Divide et impera yang dilakukan oleh penjajah, juga mewariskan konflik di antara beberapa etnis di Nusantara. Konflik-konflik warisan ini perlu dijelaskan sebab-sebabnya dan disusun konsep untuk menyelesaikannya secara menyeluruh, agar tidak terus berlarut-larut.

Selain masalah kebangsaan, juga seluruh rakyat Indonesia masih belum memiliki kesamaan jatidiri (karakter), seperti bangsa Jerman yang sudah merupakan masyarakat yang homogen sejak lebih dari 1.000 tahun, baik agama,[36] bahasa dan budaya. Demikian juga bangsa Jepang, bangsa India,[37] bangsa Turki, dll., yang sudah merupakan masyarakat yang homogen sejak lebih dari 1.000 tahun. Masyarakat/bangsaIndonesia pada saat ini masih merupakan masyarakat yang heterogen. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multi ras, etnis, multi agama, multi bahasa ibu (bahasa etnis), multi kebudayaan.

Di samping itu, sampai tahun 1950 masih terdapat jutaan pribumi dan penduduk di wilayah Republik Indonesia yang berpihak ke Belanda dan tidak mau mengambil kewarga negaraan Indonesia. Untuk membentukan suatu masyarakat yang homogen dari masyarakat yang heterogen, tentu memerlukan waktu yang panjang, melalui interaksi yang intensif.

Diperlukan suatu proses yang panjang untuk mengubah pola berpikir dari pola berpikir “KAMI” menjadi “KITA.” Ini salahsatu keunggulan bahasa Indonesia, yaitu dibedakan antara “kami” dan “kita.” Dalam bahasa Inggris, Belanda atau Jerman misalnya, kata “we” (bahasa Inggris), “wij” (bahsa Belanda), atau “wir” (bahasa Jerman), dapat berarti “kami” atau “kita.”

Demikianlah selintas kondisi bangsa Indonesia, setelah menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Masih sangat banyak permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia setelah tahun 1950. Hal ini juga disadari oleh para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia, termasuk Presiden Sukarno. Pada setiap peringatan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus, Presiden Sukarno menyampaikan Pidato dengan judul yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara pada saat itu.

Dalam pidato tanggal 17 Agustus 1957, Presiden Sukarno menyampaikan perlunya MEMBANGUN BANGSA DAN KARAKTER[38] BANGSA (Nation and Character Building). Sukarno juga mengatakan, untuk membangun bangsa dan karakter bangsa, diperlukan suatu Revolusi Mental.  

Konsep PANCA PEDOMAN BERNEGARA, BERBANGSA, BERMASYARAKAT yang sudah disempurnakan, dapat menjadi landasan, pertimbangan atau masukan untuk menyusun konsep MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building), sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia.

Langkah-Langkah dan Kebijakan Yang Harus Dilakukan

Konsep Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa harus diterapkan sejak dini, melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah. Dalam kurikulum harus dimasukkan kembali PENDIDIKAN KEWARGA NEGARAAN dan BELA NEGARA. Sejarah kebangsaan harus diteliti ulang dan diajarkan di sekolah-sekolah, mengganti penulisan-penulisan sejarah yang saat ini banyak terdapat kesalahan.

Di Era Orde Baru, telah dilakukan penjabaran Pancasila menjadi 36 Butir sebagai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, yang dikukuhkan melalui TAP MPR No. II Tahun 1978 Tentang Eka Prasetya Pancakarsa.
36 Butir penjabaran yang dikenal sebagai  P – 4. Adalah:[39]

Sila pertama dengan simbol Bintang:
1.   Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2.   Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.   Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.   Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5.   Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6.   Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
7.   Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Sila kedua dengan simbol Rantai:
1.   Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.   Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3.   Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4.   Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5.   Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.   Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7.   Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8.   Berani membela kebenaran dan keadilan.
9.   Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.               Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.

Sila ketiga dengan simbol Pohon Beringin:
1.   Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2.   Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3.   Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
4.   Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5.   Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
6.   Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7.   Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Sila keempat dengan simbol Kepala Banteng:
1.   Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2.   Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3.   Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.   Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.   Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.   Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7.   Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8.   Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.   Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.               Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.

Sila kelima dengan simbol Padi Dan Kapas:
1.   Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2.   Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
3.   Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
4.   Menghormati hak orang lain.
5.   Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6.   Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7.   Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8.   Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9.   Suka bekerja keras.
10.               Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11.               Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.

Tidak ada yang salah dalam 36 Butir penjabaran Pancasila yang dirumuskan di Era Orde Baru. Kesalahannya adalah pada pelaksanaannya yang terindikasi sebagai indoktrinasi terselubung. Badan yang melaksanakan penataran P-4 tersebut adalah Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai BP-7. Dalam prakteknya, penataran P - 4 dijadikan sebagai keharusan, yang tentu bertentangan dengan butir-butir yang terkandung dalam P-4 tersebut.

Sebenarnya butir-butir penjabaran Pancasila tersebut di atas dapat dikembangkan menjadi dasar-dasar Pendidikan Kewaga negaraan, di samping untuk membangun bangsa, juga untuk pembentukan Jatidiri (karakter) bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru. Ini dalam rangka MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA (Nation and Character Building).

Setelah Orde Baru tumbang, TAP MPR No. II Tahun 1978 Tentang Eka Prasetya Pancakarsa dicabut melalui Tap MPR No. XVIII Tahun 1998. Dengan dicabutnya TAP MPR No. II Tahun 1978 tersebut, maka hilang juga BP-7.

Langkah atau program lain yang dapat dilakukan adalah pertukaran para pelajar dari satu daerah/provinsi dengan para pelajar dari provinsi lain, baik di masa liburan sekolah, maupun dimasukkan ke dalam program sekolah. Hal seperti yang pernah dilakukan di tahun 1960-an. Kunjungan ke situs-situs bersejarah, baik lokal maupun nasional harus dimasukkan dalam program sekolah-sekolah.

Masih sangat banyak cara untuk saling mengenalkan sesama anak bangsa untuk merealisasikan kata-kata bijak: “Tak kenal maka tak sayang.”


Jakarta, 27 Juni 2020.



********

Catatan:
Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa ada tulisan-tulisan yang akan melengkapi gagasan Panca Pedoman Berbangsa, Bernegara, Bermasyarakat.

Tulisan-tulisan tersebut telah dimunggah ke weblog dan juga telah disebar-luaskan ke masyarakat.

Tulisan-tulisan tersebut adalah:
1.   Mengenai asal-usul nama 'Indonesia' , lihat:

2.   Penjelasan mengenai Bangsa Indonesia Lahir Tanggal 17 Agustus 1945, lihat:
3.   Tulisan ‘Latar Belakang Sejarah’ yang disampaikan dalam Lampiran. Ini merupakan ringkasan/rangkuman tulisan-tulisan saya sejak tahun 1999, baik sebagai buku-buku maupun sebagai artikel-artikel.
Silakan lihat di::

Ringkasan dari buku-buku karya saya yang menjadi sumber penulisan latar belakang sejarah adalah:

1.   10 NOVEMBER 1945. Mengapa Inggris Membom Surabaya?
Millenium Publishers, Jakarta 2001. 470 halaman.


2.   SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.
Penerbit LkiS, Yogyakarta, 2010. 742 halaman.



3.   SERANGAN UMUM 1 MARET 1949. Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2016. 316 halaman.
(Versi ringkasnya)



4.   INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH.
Penerbit Matapadi, Yogyakarta, 2017. 310 halaman.




Catatan kaki:


[1] Di sini digunakan tanda kutip pada kata “Pilar” untuk menunjukkan, bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014 telah memutus membatalkan/ melarang penggunaan frasa “Pilar” untuk Pancasila. Namun MPR masih tetap menggunakan frasa “Pilar.”
Pengertian PILAR secara umum adalah tiang penyangga, bukan dasar.
[2] Tulisan ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan tulisan terdahulu yang diposting di weblog tanggal 15 Januari 2013 dengan judul “PANCA PILAR KEHIDUPAN BERNEGARA, BERBANGSA DAN BERMASYARAKAT. PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945. PILAR PERTAMA BANGSA INDONESIA”
[3] Yoseph Umar Hadi, (Anggota MPR/DPR RI 2014 – 2019) sebut, Anggaran Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan capai 1  Trilyun Per Tahun.
[4] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Setjen MPR RI, tahun 2019, halaman 1.
[5] Lihat: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegar: “Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dasar normatif dampak putusan MK terhadap penggunaan istilah Empat Pilar. Putusan MK telah sesuai dengan kaidah logika bahasa hukum dan kaidah yang berlaku terkait dengan konsep dan hakikat Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tidak dapat dikategorikan menjadi satu varian yang sama. Dalam hal ini MPR RI telah melakukan kesalahan logika bahasa dalam menggunakan istilah 4 Pilar MPR RI.

[6] Teks lengkap Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar 1945. Lihat:
[7] Dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, ketika membahas Pembukaan Undang-Undang Dasar, I Gusti Ktut Pudja mengusulkan, agar kalimat alinea ketiga: “Atas berkat Allah Yang Maha Esa” diganti menjadi “Tuhan Yang Maha Kuasa.” Usul ini diterima oleh sidang dan disahkan oleh Ketua PPKI Sukarno. Lihat: Risalah Sidang badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, (PPKI). Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta, 1998. Halaman 537.
[8] Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dari Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
[9] Penjelasan yang rinci, lihat: Batara R. Hutagalung, ‘INDONESIA TIDAK PERNAH DIJAJAH’, Penerbit Matapadi, Yogyakarta, Desember 2017, 316 halaman.
[10] Pada 16 Agustus 2005 Menlu Belanda, Ben Bot (waktu itu) di Jakarta menyampaikan secara lisan, bahwa mulai saat itu, tahun 2005, pemerintah Belanda menerima Proklamasi 17 Agustus 1945 secara politis an moral.
Namun sehari sebelum berangkat ke Jakarta, di Den Haag dia menyatakan dengan jelas, bahwa pemerintah Belanda akan MENERIMA DE FACTO proklamasi 17.8. 1945. Hal ini tentu sangat aneh, karena dalam persetujuan Linggajati bulan November 1946, pemerintah Belanda bahkan MENGAKUI de facto wilayah Indonesia adalah Sumatera, Jawa dan Madura.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, Raja Belanda Willem Alexander mengulangi pernyataan Menlu Ben Bot, bahwa pemerintah Belanda MENERIMA Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17.8.1945 secara politis dan moral.  Jadi Belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan NKRI 17.8.1945. Untuk pemerintah Belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika pemerintah Belanda “memindahkan” kedaulatan dari pemerintah Nederlands Indie (India Belanda) kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950. Pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17.8.1945.
[11] Pada waktu itu belum ditulis nama Indonesia, melainkan hanya BPUPK (bahasa Jepang: Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Ada juga yang menulis Dokuritsu Zyunbi Cosakai), bukan BPUPKI.
[12] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Halaman 11.
[13]Op.cit., halaman 84 - 105.
[14] Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI ditulis ‘Philosifische’, dengan huruf-huruf “Ph.” Dalam bahasa Belanda tidak ditulis dengan huruf-huruf “Ph”, melainkan dengan huruf “F.” Jadi penulisannya yang benar adalah ‘Filosofische grondslag.’
[15] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.. Halaman 102.
[16] 5 sila dalam Pancasila Buddhis (dalam bahasa Pali) tersebut adalah:
-          Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
-          Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
-          Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.
-          Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.
-          Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
[17] Lihat: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyar Republik Indonesia Nomor XVIII/MPR/1998 Tahun 1998 Tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara.
[18] MK Batalkan Empat Pilar Berbangsa-Bernegara. Republika, Kamis , 03 Apr 2014, 18:40 WIB
[19] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Sekretaria  Jenderal MPR RI. Cetak kesembilan, April 2019. Halaman 27.
[20] Bahan Tayang Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Setjen MPR RI, tahun 2019, halaman 27
[21] Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun Undang-Undang Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945; Lihat:
[22] Rincian mengenai kesalahan-kesalahan penulisan  sejarah disampaikan sebagai lampiran
[23] Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Sekretaria  Jenderal MPR RI.Op.cit., halaman 149.
[24] Ibid., halaman 152
[25] Ibid., hHalaman 154.
[26] Ketika Sneevliet membawa gagasan komunis ke Nederlands Indie, belum ada satupun negara di dunia yang memakai sistem komunis. Sneevliet hanya memwawa “angin surga” gagasan “samarata-samarasa komunisme” kepada beberapa remaja pribumi yang terpesona dengan gagasan tersebut.
[27] Materi sosialisasi Empat Pilar. Op.cit., halaman 156
[28] Ibid., halaman 163 - 164
[29] Ibid., halaman 184
[30] Pada waktu itu belum disebut nama Indonesia, jadi nama badan tersebut hanya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (?Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)., yang dibentuk oleh pemerintah militer Jepang di Jawa, yaitu Tentara XVI Jepang. Di Sumatera, pemerintah militer di bawah Tentara XV juga membentuk BPUPK, namun tidak diberitakan mengenai kelanjutan BPUPK di Sumatera.
[31] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998.  Halaman xxxii.
[32] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Halaman 90.
[33] Dicantumkannya Bentuk Negara Kesatuan berbentuk Republik untuk menegaskan pembahasan dalam sidang BPUPK, di mana dibahas a.l. usulan bentuk negara adalah kerajaan.
Di masa Perang Dunia II, pemerintah Belanda melarikan diri ke Inggris. Sementara dalam pengasingan di Inggris, pemerintah Belanda merencanakan, setelah usai Perang dunia, akan membentuk “Persemakmuran bersama “ (common wealth) yang terdiri dari Belanda, Indonesia, Suriname dan Curacao, di bawah naungan Belanda. dalam pidato radionya di London tanggal 7 Desember 1942, ratu Belanda pertama kali menggunakan namas Indonsia, dan bukan Nederlands Indie. Juga dirancang, Indonesia akan dibagi menjadi daerah-daerah otonom, seperti layaknya suatu Negara Federal. Rencana ini berhasil direalisasikan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana sebagai hasil KMB, dibentuk Neraga Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 16 Aguasutus 1950 RIS dibubarkan dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
[34] Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia  (BPUPKI), Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998. Halaman 92 dan 93.
[36] Secara keseluruhan, masyarakat Jerman beragama Kristen, baik Kristen Katholik di jerman bagian selatan, maupun Kristen Protestan (aliran Lutheran) di Jerman bagian utara.
[37] Setelah pemisahan Pakistan, maka mayoritas masyarakat Indiea beragama Hindu. Selain bahasa nasional Hindi, masih ada bahasa-bahasa dari Sub-etnis.
[38] Presiden Sukarno menyebut ‘Karakteer” yang sama dengan kata Character dalam bahasa Inggris. Kini, untuk kata Character dari bahsa Inggris digunakan kata JATIDIRI dalam bahasa Indonesia.