Friday, June 12, 2020

Haluan Ideologi Pancasila: Contradictio in terminis


Haluan Ideologi Pancasila: Contradictio in terminis


Catatan Batara R. Hutagalung


(Sejarah berulang kembali, karena pelaku sejarah tidak belajar dari sejarah: Batara R. Hutagalung)


Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2009 – 2014 telah mengeluarkan Empat Pilar MPR di mana Pancasila adalah salahsatu pilarnya, Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2017, Presiden Jokowi membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Kemudian melalui Peraturan Presiden No. 7 tahun 2018, Presiden Jokowi membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

DPR RI periode 2019 – 2024 tidak mau ketinggalan. DPR saat ini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang merupakan inisiatif DPR atas usul dari PDIP.

Tujuannya sebagaimana tertera di Pasal 1, Ketentuan Umum RUU HIP:
“Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi  terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik , hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.”

Mungkin para perumus HIP tidak menyadari, dengan menyatakan  tujuan membuat Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini, sekaligus merupakan pengakuan, bahwa selama 75 tahun berdirinya Republik Indonesia yang seharusnya berdasarkan Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologi Negara. Ternyata para penyelenggara Negara, termasuk DPR RI sendiri, tidak menggunakan Pancasila dalam menyusun dan menetapkan perencanaan dsb., sehingga sekarang, tahun 2020, perlu dibuat Undang-Undang yang mengatur Pancasila sebagai pedoman untuk para penyelenggara Negara dan arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penduduk di Republik Indonesia tidak semua warganegara Indonesia, melainkan juga ratusan ribu warganegara asing yang tinggal di Indonesia sebagai pekerja atau karena alasan-alasan lain. Sebagai penduduk di Indonesia, dengan dicantumkannya warganegara dan “penduduk”, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia, mereka juga diharuskan menghafal Pancasila dan mengikuti arah yang ditetapkan oleh Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila.

Kesalahan pertama penyusunan RUU HIP adalah menggunakan rangkaian kata-kata, “Ideologi Pancasila.” Dalam Empat Pilar MPR dinyatakan, bahwa Pancasila adalah Ideologi Negara. Dengan demikian, menulis Ideologi Pancasila adalah suatu pengulangan, sehinga menjadi “Haluan Ideologi Ideologi.” Jadi seharusnya judulnya adalah “Haluan Pancasila* (HP).

Arti kata Haluan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
1. bagian perahu (kapal) yang sebelah muka,
   2.  yang terdahulu atau terdepan,
   3. arah; tujuan,
   4. pedoman (tentang ajaran dan sebagainya)
       - negara arah, tujuan, pedoman, atau petunjuk resmi politik suatu negara;
       - politik arah atau tujuan politik

Seperti ditulis di atas, di Pasal 1 disebut, tujuan Undang-undag Haluan Ideologi Pancasila adalah sebagai “arah bagi seluruh warganegara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.”

Mau digunakan yang manapun dari keempat penjelasan KBBI, menempatkan Pancasila sebagai haluan atau meletakkan Pancasila terdepan, atau menentukan arah/tujuan Pancasila atau mengarang pedoman Pancasila, semuanya salah.

Kelihatannya penyusun konsep HIP tidak memahami Pancasila, bahwa Pancasila adalah:
1.   Landasan Filosofis Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2.   Ideologi Negara, dan
3.   Merupakan sumber segala sumber hukum Negara 

Mengenai Pancasila sebagai Landasan Filosofis dan Ideologi Negara sudah jelas sejak awal berdirinya Negara Kesatuan republik Indonesia.pancasila sebagai Ideologi Negara juga dicantumkan dalam Empat Pilar MPR. Tanggal 12 Agustus 2011 Presiden Susilo B. Yudhoyono menandatangani Undang-Undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di Pasal 2  ditegaskan:  “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum.”

Jadi semua hukum dan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bersumber dari Pancasila. Sekarang Pancasila akan diletakkan di depan atau mau dibuat arahnya. Dengan demikian, kalimat “Haluan Ideologi Pancasila” adalah suatu Contradictio in terminis., atau rangkaian kata-kata yang saling bertentangan.
Ini adalah kesalahan logika berpikir.

Kesalahan kedua, dan yang paling salah adalah membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011, semua Undang-Undang letaknya di bawah Pancasila. Tidak ada dasar hukum di atas Pancasila yang dapat memberi legitimasi membuat Undang-Undang untuk Pancasila. Oleh karena itu, pemikiran yang sangat aneh akan membuat Undang-undang untuk Sumber Segala Sumber Hukum Negara Indonesia. Ini suatu kesalahan logika berpikir lagi. Oleh karena itu, sebaiknya pembahasan RUU HIP dibatalkan.


Kalau memang dipaksakan akan dilanjutkan dan berhasil menjadi Undang-Undang, maka DPR memunculkan kontroversi baru sehubungan dengan Pancasila. setelah kontroversi penggunaan frasa “Pilar” oleh MPR untuk Pancasila, kini dimunculkan kontroversi oleh DPR mengenai kedudukan Pancasila dan membuat Undang-Undang untuk Pancasila.


Formulasi kalimat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila juga keliru. Pertama, seperti dijelaskan di atas, Pancasila sendiri adalah Ideologi. Jadi memakai rangkaian kata-kata Ideologi Pancasila adalah pengulangan kata Ideologi. Kedua, dengan formulasi kalimat ini, maka berarti yang dibina adalah Ideologi Pancasila, bukan membina masyarakat untuk menghayati dan mengamalkan Pancsila.

Sebenarnya formulasi yang digunakan di era Orde Baru lebih tepat. Yang dibuat bukan Haluan atau Pedoman Ideologi Pancasila atau “Pembinaan Ideologi Pancasila, melainkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai P – 4. Badan yang dibentuk untuk melaksanankannya dinamakan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7). Jadi bukan “Prembinaan Pancasila”, melainkan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaannya.

Setelah Orde Baru tumbang, Tap MPR No. II tahun 1978 Tentang Ekaprasetya Pancakarsa (P-4)  ini dicabut melalui Tap MPR No. XVIII tahun 1998. Dengan dicabutnya Tap MPR yang menjadi dasar P-4, maka otomatis BP-7 juga hilang.

Pancasila: “Proyek Tanpa Akhir”

Para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia dalam menyusun Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, sepakat menetapkan Pancasila sebagai Landasan Filosofis Negara yang akan dibentuk. Kemudian lima butir Pancasila tersebut dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang dasar 1945, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari batang tubuh Undang-Undang Dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945.

Dalam perkembangannya, kini Pancasila kelihatannya menjadi “proyek tanpa akhir.” Setelah 75 tahun, masih diperdebatkan kapan “lahirnya” Pancasila. Sejak era yang dinamakan Orde Lama, timbul dan tenggelam berbagai tafsir mengenai Pancasila. Di era Orde Lama ada yang dinamakan TUBAPIN, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, yang sebagian besar adalah pidato-pidato Presiden Suukarno setiap tanggal 17 Agustus. Juga da Manifesto Politik (Manipol). Ada gagasan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Hal-hal tersebut semua disosialisasikan ke seluruh Indonesia, dengan dana besar. Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Lama, maka hilang semua doktrin dan gagasan-gagasan dari penguasa Orde Lama.

Di era Orde Baru, melalui Ketetapan MPR No. II tahun 1978 Tentang Ekaprasetya Pancakarsa, disusun tafsir Pancasila dengan nama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang dikenal sebagai P–4. Untuk pelaksanaannya, dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7). Sosialisasi P-4 dinamakan “Penataran.”

P-4 tidak hanya disosialisasikan ke seluruh Indonesia, melainkan juga ke semua warganegara Indonesia di seluruh dunia. Selain biaya transport dan hotel ditanggung oleh panitia penyelenggara, para peserta penataran juga mendapat uang saku harian yang jumlahnya tidak kecil. Dengan demikian, biaya sosialisasi P-4 yang dinamakan Penataran, selama sekitar 20 tahun menjadi sangat fantastis besarnya. Apabila dihitung dengan index perekonomian sekarang, nilainya dapat mencapai belasan triliun rupiah.

Setelah Orde Baru tumbang, Tap MPR No. II tahun 1978 ini oleh Orde Reformasi dicabut melalui Tap MPR No. XVIII tahun 1998. Dengan dinyatakan tidak lagi berlakunya P-4, maka hilang juga BP-7.

Di era Orde reformasi, MPR periode 2009 – 2014 mengarang Empat Pilar MPR Berbangsa dan Bernegara, di mana salahsatu pilarnya adalah Pancasila. Untuk sosialisasi Empat Pilar MPR,dikeluarkan beberapa buku. Biaya sosialisasi Empat Pilar kini mencapai satu triliun rupiah per tahun. Sangat disayangkan, dengan biaya sebesar itu, sangat banyak kesalahan yang ditulis dalam buku Materi Sosialisasi Empat Pilar, baik mengenai Pancasila, terutama dalam penulisan mengenai sejarah.

Demikian juga untuk sosialisasi yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasial. Mungkin biayanya sejak tahun 2018 mencapai ratusan milyar rupiah.

Apabila DPR RI berhasil membuat Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila, maka tentu harus disosialisasikan ke seluruh rakyat dan penduduk di Indonesia, dan juga ke semua warganegara Indonesia di seluruh dunia. Berapa triliun dana yang akan dekeluarkan?

Dipandang dari sudut pembiayaan sosialisasi Pancasila sejak era Orde Lama, terkesan bahwa Pancasila dijadikan “proyek besar tanpa akhir.”

Dengan biaya belasan triliun rupiah, apa manfaatnya indoktrinasi Orde Lama, Penataran P-4 Orde baru selama puluhan tahun untuk rakyat?

Tujuan para pendiri negara dan bangsa Indonesia mendirikan negara, dituangkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-undang Dasar ’45. Yang terpenting dalam alinea keempat tersebut adalah anak kalimat terakhir yang merupakan Sila kelima Pancasila, yaitu “... mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Untuk memahami kalimat terrsebut, tidak diperlukan penjelasan yang rumit sampai ratusan halaman. Tidak perlu penjelasan, bahwa adalah suatu ketidak-adilan, apabila ada seorang pengusaha menguasai lima juta hektart lahan di wilayah Indonesia, sementara rata-rata petani pribumi hanya memiliki 0,5 hektar lahan. Tidak diperlukan penjelasan yang bebelit-belit untuk menilai, bahwa ada ketimpangan sosial besar dan ketidak-adilan, apabila 4 orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan setara dengan 100 juta rakyat Indonesia. Ini hanya dua contoh, yang menunjukkan bahwa negara gagal dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Mencermati hal-hal tersebut di atas, sudah cukup kiranya selama 75 tahun diperdebatan kapan tanggal lahirnya Pancasila, yang tidak bermanfaat samasekali untuk rakyat miskin. Sudah sangat banyak tafsir mengenai Pancasila yang membingungkan masyarakat karena adanya tafsir yang sangat berbeda satu dengan lainnya, seperti yang tertera di Empat Pilar MPR. Tidak perlu membuat tafsir baru mengenai Pancasila, yang sosialisasinya akan memakan biaya triliunan lagi. Semua pejabat negara disumpah untuk setia kepada Pancasila dan UUD ’45. Ternyata sejak 75 tahun ribuan halaman mengenai tafsir Pancasila tidak dapat menghentikan para pejabat/penyelenggara negara melakukan korupsi atau hal-hal yang tidak bermanfaat untuk rakyat banyak.



Sebenarnya untuk mengerti, menghayati dan mengamalkan Pancasila, terutama mewujudkan Sila kelima, tidak diperlukan tafsir yang rumit dan mencapai ratusan halaman, dengan biaya yang besar untuk sosialisasinta. Cukup dengan berpedoman pada Tiga N, yaitu:

1.   NALAR,
2.   NURANI,
3.   NASIONALISME.

Apakah para pelaku sejarah saat ini yakin, bahwa semua tafsir Pancasila di era reformasi setelah tahun 1998 akan dapat berlaku abadi dan bertahan sepanjang masa? Apakah tidak akan bernasib seperti tafsir-tafsir Pancasila di era Orde Lama dan Orde Baru? Sekarang saja sudah sangat banyak tentangan dan penolakan.

Ada adagium: “Sejarah selalu berulang kembali.” Hal ini disebabkan karena para pelaku sejarah tidak belajar dari sejarah. Semua penyelenggara negara adalah pelaku sejarah. Yang memperparah saat ini adalah, banyak penulisan-penulisan yang salah mengenai sejarah. Bahkan di buku Materi Sosialisasi Empat Pilar yang dikeluarkan oleh MPR, di mana MPR adalah kumpulan pelaku sejarah, telah menerbitkan buku yang berisi penulisan sejarah yang salah, bahkan kesalahan fatal yang menyesatkan..

Yang lebih penting daripada membuat tafsir baru mengenai Pancasila versi penguasa sekarang adalah menyusun konsep untuk Membangun Bangsa dan Jatidiri Bangsa (Nation and Character Building). Mengenai pentingnya Nation and Character Building ditegaskan oleh Presiden Sukarnom dalam Pidato kenegaraan pada 17 Agustus 1957. Seluruh rakyat Indonesia harus menyadari dan memahami, bahwa bukan hanya Negara Indonesia yang baru yang lahir pada 17 Agustus 1945, melainkan juga Bangsa Indonesia, sebagai entitas politik, adalah bangsa baru, yang resmi dibentuk pada 17 Agustus 1945. Sebagai suatu bangsa, Bangsa Indonesia belum memiliki Jatidiri (Karakter) yang dapat dikatakan sebagai Jatidiri (Karakter) Bangsa Indonesia.

Oleh karena itu lembaga tinggi negara, yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, para akademisi, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, harus  duduk besama dan menyusun konsep untuk MEMBANGUN BANGSA DAN JATIDIRI BANGSA.

Bagaimana para pelaku sejarah saat ini ingin ditulis dalam buku-buku sejarah yang akan datang, tergantung dari sikap, perilaku, ucapan-ucapan, kebijakan dan langkah yang dilakukan oleh mereka sendiri, apakah penulisan itu akan positif atau negatif, bahkan penghujatan.

Mengenai hal ini telah disampaikan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, sebagai penutup dalam pesan yang disampaikannya di depan Kongres (Parlemen dan Senat) Amerika tanggal 1 Desember 1862. Lincoln mengatakan:


Sesama warga, *kita tidak bisa melarikan diri dari sejarah.
Kita dari Kongres ini dan pemerintahan ini, akan diingat terlepas dari diri kita sendiri.  Tidak ada signifikansi pribadi, atau tidak signifikan, yang dapat menyelamatkan salah satu dari kita.  Pengadilan yang berapi-api yang kita lalui, akan menyoroti kita, dalam kehormatan atau kenistaan, sampai generasi terakhir.


Jakarta, 12 Juni 2020
********


No comments: