Wednesday, April 06, 2016

IN MEMORIAM. SOEJATNO JOSODIPOERO, Sang “Penculik PM Sutan Sjahrir” telah tiada.



Bapak Soejatno Josodipoero meninggal pada 30 Maret 2016, di usia 98 tahun.

Keluarga Besar Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) dan saya pribadi beserta keluarga saya, menyampaikan rasa duka yang sedalam-dalamnya atas kepulangan Bapak Soejatno Josodipoero kembali ke rumah Bapa di Surga.

Saya mengenal alm. Pak Soejatno tahun 1998 di Gedung Joang ’45.
Sejak itu, sampai sekitar 7 tahun lalu, kami berjuang bersama untuk mempertahankan Kedaulatan NKRI dan Martabat Bangsa Indonesia.

Pada 9 November 1999 kami mengadakan Saresehan di Gedung Joang dengan tema:”10 November 1945. Hari Pahlawan yang Terlupakan”.
Tanggal 10 November 1999, Pak Soejatno  bersama sejumlah sesepuh pelaku pertempuran Surabaya November 1945 ikut melakukan demonstrasi ke Kedutaan Inggris, dan menuntut pemerintah Inggris meminta maaf atas pemboman Surabaya November 1945.

(lihat: Menuntut Pemerintah Inggris Atas Pemboman Surabaya November 1945


Pada 27 Oktober 2000, dalam seminar di LEMHANNAS RI, secara resmi Duta Besar Inggris Richard Gozney atas nama pemerintah dan rakyat Inggris meminta maaf atas peristiwa tersebut.

(Lihat Pernyataan Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozney, CMG: http://batarahutagalung.blogspot.co.id/2006/12/pernyataan-duta-besar-kerajaan-inggris.html)

Pada 8 Maret 2002, di Gedung Joang ’45, kami mendirikan Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI). Tanggal 20 Maret 2002, pada puncak acara perayaan 400 tahun berdirinya VOC di belanda, Pak Soejatno ikut dalam demonstrasi KNPMBI ke kedutaan belanda di Jakarta.

KNPMBI menyatakan, bahwa VOC adalah awal penjajahan di Bumi Nusantara, juga awal pembantaian jutaan nenekmoyang Bangsa Indonesia dan perampokan harta Nusantara. Oleh karena itu KNPMBI menuntut belanda untuk meminta maaf atas penjajahan, pembantaian dan berbagai kejahatan lainnya.

Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk permasalahan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda, pada 5 Mei 2005 kami mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB).
Nama ini dipilih karena hingga saat ini (2016) pemerintah belanda tetap tidak mau mengakui de jure kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Untuk belanda, de jure kemerdekaan Indonesia adalah 27 Desember 1949, yaitu ketika belanda “melimpahkan kewenangan” pemerintahan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Karena RIS dipandang sebagai kelanjutan pemerintah Nederlands Indie (India Belanda), pemerintah RIS harus membayar utang pemerintah Nederlands Indie kepada pemerintah belanda sebesar 4,5 milyar gulden (waktu itu setara dengan 1,1 milyar US $). Di dalamnya termasuk biaya agresi milter belanda terhadap Republik Indonesia.

RIS dibubarkan pada 16 Agustus 1950 dan pada 17 Agustus 1950 dinyatakan berdirinya kembali NKRI. Pemerintah RI masih melanjutkan cicilan pembayaran utang pemerintah Nederlands Indie kepada pemerintah belanda sampai tahun 1956, yang sudah mencapai 4 milyar gulden.

Pemerintah Indonesia kemudian secara sepihak membatalkan hasil KMB yang dinilai sangat merugikan dan membatasi kebebasan RI. Juga menghentikan pembayaransisa cicilan sebesar 500 juta gulden.

Untuk para aktifis KNPMBI/KUKB,  Kedaulatan Negara adalah Kehormatan/Martabat Bangsa. Oleh karena itu, sikap pemerintah belanda yang tidak mau mengakui kemerdekaan/kedaulatan Indonesia adalah penghnaan terhadap bangsa Indonesia.

Dilema untuk belanda apabila mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah, bahwa belanda terpaksa mengakui, yang mereka namakan sebagai “aksi polisional” adalah AGRESI MILITER TERHADAP NEGARA YANG MERDEKA DAN BERDAULAT.
Akibatnya, belanda harus membayar PAMPASAN PERANG, dan tentara belanda menjadi PENJAHAT PERANG.

Di buku sejarah Indonesia tercatat, bahwa pada bulan Juni 1946 terjadi penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yang pada waktu itu berada di kota Solo.
Pada 17 Juli 1998 dan kemudian pada 4 Agustus 1998 saya mewawancarai Bapak Soejatno mengenai peristiwa tersebut. Bapak Soejatno juga memberikan catatan beliau mengenai detik-detik penangkapan/ “penculikan” Sutan Syahrir di gedung Javasche Bank (sekarang bank Indonesia) Solo tanggal 27 Juni 1946, dan “pengembalian” Stan Syahrir ke Yogya tanggal 1 Juli 1946.

Catatan Pak Soejatno mengenai peristiwa ini saya muat dalam buku saya (halaman 229 – 239) yang saya terbitkan tahun 2010 dengan judul: “Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam Kaleidoskop Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia”, penerbit LKiS Yogyakarta, 742 halaman.
Catatan: Dalam buku tersebut semua nama ditulis dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).


Selamat jalan Pak Soejatno. RIP


-------------------------------------------



Penculikan Syahrir. Kudeta 3 Juli 1946

Di kalangan Republik mulai timbul ketegangan dan perpecahan sehubungan dengan perundingan yang akan dilakukan oleh Kabinet Syahrir dengan van Mook. Tanggal 6 Januari 1946, Tan Malaka berhasil mengumpulkan puluhan organisasi untuk mengadakan pertemuan di Purwokerto, di mana disepakati untuk mendirikan suatu wadah, yang dinamakan Volksfront. Kemudian Volksfront tersebut  yang menjadi Persatuan Perjuangan (PP), beranggotakan 143 organisasi. Diputuskan untuk mengadakan rapat Volksfront di Solo, dan diusahakan pula, agar Kabinet Syahrir juga mengundang KNIP untuk mengadakan rapat di Solo.
Sementara itu, pada 10 Februari 1946 atas prakarsa Letnan Jenderal Christison, Panglima Tertinggi Tentara Sekutu, dimulai perundingan resmi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda. Pemerintah Inggris mengirim utusan khusus, Sir Archibald Clark-Kerr, Duta Besar Inggris di Uni Sovyet -seorang diplomat senior- ke Indonesia, untuk menjadi fasilitator perundingan antara Belanda dengan Indonesia. Masing-masing pihak mengajukan gagasannya. Belanda menyampaikan usulan seperti yang telah disampaikan oleh Wilhelmina dalam pidatonya tanggal 7 Desember 1941, sedangkan pihak Republik meminta pengakuan penuh terhadap Republik Indonesia yang mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda.
Di pihak Republik tersiar berita mengenai adanya tukar-menukar usulan secara rahasia antara Syahrir dengan van Mook, yaitu bahwa Syahrir bersedia menyetujui, wilayah Republik Indonesia yang akan diakui oleh Belanda dan Inggris hanyalah Jawa, Sumatera dan Madura. Pemberitaan mengenai isi usulan bersimpang siur dan memperkeruh suasana di pihak Republik dan menambah kemarahan kelompok penentang Syahrir yang menilai Syahrir terlalu kooperatif, bahkan sangat mengalah kepada pihak Belanda.
Tanggal 28 Februari 1946, rapat KNIP dimulai di Solo dan dibuka oleh ketuanya, Mr. Asaat Datuk Mudo, yang menggantikan Mr. Kasman Singodimejo. Wakil Presiden M. Hatta juga hadir dalam rapat tersebut. Syahrir menyampaikan 5 butir program pemerintah, yaitu:
1.    Berunding atas dasar pengakuan RI merdeka (100%).
2.    Mempersiapkan rakyat negara di segala lapangan politik, ketentaraan, ekonomi dan sosial untuk mempertahankan kedaulatan RI.
3.    Menyusun pemerintahan pusat dan daerah yang demokratis.
4.    Berusaha segiat-giatnya untuk menyempurnakan pembagian makanan dan pakaian.
5.    Tentang perusahaan dan perkebunan hendaknya oleh pemerintah diambil tindakan-tindakan seperlunya hingga memenuhi maksud sebagai trmaktub dalam Undang-Undang Dasar pasal 33.
Sementara itu, PP juga mengajukan 7 butir pokok perjuangan, yaitu:
1.    Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100%.
2.    Pemerintah Rakyat (dalam arti sesuainya haluan pemerintah dengan kemauan rakyat).
3.    Tentara Rakyat (dalam arti sesuainya haluan tentara dengan kemauan rakyat).
4.    Melucuti tentara Jepang.
5.    Mengurus tawanan bangsa Eropa.
6.    Menyita dan menyelenggarakan pertanian musuh (perkebunan).
7.    Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh (pabrik, bengkel, tambang dll.).

Pendukung PP melihat, ada perbedaan besar antara program yang dimajukan oleh pemerintah dengan usulan pokok perjuangan mereka, sebab kenyataannya, Syahrir berunding dengan Belanda tidak atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%. Setelah dilakukan pembahasan, dan kemudian sidang menerima ketujuh butir yang dimajukan oleh PP, Syahrir menyatakan akan meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri. Pernyataan Syahrir yang sangat mendadak ini tentu menimbulkan keheranan seluruh peserta sidang. Pimpinan PP kemudian menyatakan, bahwa bagi mereka tidaklah penting, siapa yang akan duduk sebagai pimpinan pemerintahan. Setelah adanya pernyataan tersebut, Syahrir menyatakan kesediaannya untuk melaksanakan program 7 pasal tersebut.
Untuk memperkuat posisinya dan memperoleh dukungan yang lebih luas, Syahrir membubarkan kabinetnya, kemudian membentuk kabinet baru yang lebih besar, dengan mengangkat beberapa Menteri Muda serta mengikutsertakan tokoh dari kelompok pemuda revolusioner. Susunan kabinet yang disahkan tanggal 3 Maret 1946 adalah sebagai berikut:
1.   Perdana Menteri                              : Sutan Syahrir
2.   Menteri Luar Negeri                        : Sutan Syahrir
3.   Menteri Muda Luar Negri               : H. Agus Salim
4.   Menteri Dalam Negri                       : dr. Sudarsono
5.   Menteri Pertahanan                         : Mr. Amir Syarifuddin Harahap
6.   Menteri Muda Pertahanan              : Aruji Kartawinata
7.   Menteri Keuangan                           : Ir. Surachman Cokrohadisuryo
8.   Menteri Muda Keuangan                : Mr. Syafruddin Prawiranegara
9.   Menteri Perhubungan                     : Ir. Abdulkadir
10. Menteri Muda Perhubungan          : Ir. Juanda
11. Menteri Kesehatan                          : dr. Darmasetiawan
12. Menteri Muda Kesehatan               : dr. Josef Leimena
13. Menteri Sosial                                  : Mr. Maria Ulfah Santoso
14. Menteri Muda Sosial                       : Mr. Abdul Majid Joyohadiningrat
15. Menteri Kehakiman                         : Mr. R. Suwandhi
16. Menteri Muda Kehakiman              : Mr. Hadi
17. Menteri PP & K                                : Mohammad Syafii
18. Menteri Pekerjaan Umum              : Ir. Putuhena
19. Menteri Muda Pekerjaan Umum   : Ir. H. Laoh
20. Menteri Kemakmuran                     : Ir. Darmawan Mangunkusumo
21. Menteri Muda Kemakmuran          : Syamsu Hary Udaya
22. Menteri Pertanian & Persediaan   : Ir. Rasyad
22. Menteri Muda Pertanian                 : Ir. Saksono
23. Menteri Negara                                : Wikana.

Kabinet Syahrir pertama hanya beranggotakan 11 menteri (Syahrir merangkap tiga jabatan), menjadi 23 orang dalam kabinet kedua. Ini untuk pertama kali kabinet RI mengangkat Menteri Muda. 

Sementara itu, di tengah konflik internal Republik Indonesia, Belanda memanfaatkan situasi ini dengan memperkuat posisi mereka di daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera, yang telah “dibersihkan” oleh tentara Australia. Pada 2 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2.000 tentara di Bali.

Ternyata Syahrir tidak menepati janjinya di hadapan sidang KNIP yang telah memutuskan, bahwa perundingan dengan Belanda dilakukan setelah pengakuan kemerdekaan 100 %. Syahrir berniat melanjutkan perundingan dengan pihak Belanda, sedangkan pihak Belanda mengajukan syarat, bahwa perundingan tidak boleh diganggu oleh kelompok penentang Syahrir, dan dikabarkan, bahwa Belanda meminta pemerintah Republik untuk menindak tegas dan menangkap kelompok Tan Malaka, yang sangat dibenci oleh Belanda.

Perundingan dengan Belanda kemudian dilanjutkan di Hoge Veluwe, Belanda,  tanggal 14 – 24 April 1946. Delegasi Indonesia berjumlah 3 orang, dipimpin oleh Mr. Suwandhi, Menteri Kehakiman. Namun dapat dikatakan, bahwa perundingan di Hoge Veluwe tersebut gagal total, karena kehadiran peserta perundingan dari Indonesia, sangat diremehkan di negeri Belanda. Hal ini juga berkaitan dengan pemilihan umum yang akan diselenggarakan di Belanda pada bulan Mei, sehingga tidak ada satu partai pun yang memberikan pernyataan tegas sehubungan dengan masalah Republik Indonesia, karena kuatir akan mempengaruhi perolehan suara dalam pemilihan umum.

Tanggal 17 Mei 1946, di negeri Belanda diselenggarakan pemilihan umum, yang pertama, setelah bebas dari pendudukan Jerman. Partai Katolik yang ultra konservatif, keluar sebagai pemenang, sedangkan Partai Liberal-Sosialis, yang selama ini berkuasa, melorot ke posisi dua. Dr. L.M.J. Beel dari Partai Katolik menjadi Perdana Menteri, menggantikan Prof. W. Schermerhorn.

Sementara itu, konflik internal di kalangan Republik berlangsung terus, bahkan pertentangan di antara para pemimpin Republik meningkat dengan tajam. Hal ini dipicu oleh tindakan Syahrir, yang mulai menangkap dan memenjarakan lawan-lawan politiknya. Ketika berlangsung Kongres PP di Malang, tanggal 17 Maret 1946, tokoh-tokoh PP seperti Tan Malaka, Chaerul Saleh, Sukarni dan Abikusno ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Pemerintah Republik Indonesia pada waktu itu nampaknya mengikuti cara-cara penjajah dalam menghadapi lawan politiknya, yaitu menangkap dan memasukkan para penentang tersebut ke penjara. 

Di dalam penjara, Tan Malaka berkenalan dengan Sabaruddin, yang kemudian menjadi pengikutnya.
Pada rapat raksasa yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 27 Juni 1947, Wakil Presiden Hatta menyampaikan, bahwa dalam perundingan dengan Belanda, pemerintah Belanda dan Inggris akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas Jawa dan Sumatera. Pernyataan resmi tesebut tentu mengejutkan kalangan yang menuntut kemerdekaan Republik Indonesia 100% atas seluruh wilayah Indonesia, bekas Hindia Belanda. Hal tersebut merupakan bukti dari desas-desus yang telah beredar. Mereka menilai, dengan demikian Kabinet Syahrir telah memberikan sebagian besar wilayah Republik kepada Belanda tanpa adanya perlawanan, dan berarti adalah pengkhianatan terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah penangkapan dan memenjarakan lawan-lawan politiknya, kemudian pemberian konsesi ini kepada Belanda, menambah kecurigaan penentang Syahrir, bahwa Syahrir telah menjadi kepanjangan tangan Belanda.

Pada rapat raksasa itu, juga hadir sejumlah tokoh penentang Syahrir, antara lain Sundoro Budhyarto Martoatmojo, Mr. R. Iwa Kusuma Sumantri, Chaerul Saleh serta Mayor Jenderal Sudarsono, Panglima Divisi III (Jawa Tengah). Setelah usai rapat raksasa, mereka mengadakan pertemuan di rumah Budhyarto, di mana juga kemudian dihadiri oleh Mr. Ahmad Subarjo. Mereka memutuskan untuk menangkap Perdana Menteri Sutan Syahrir. 

Mayor Jenderal Sudarsono memberi surat perintah kepada Mayor Abdul Kadir Yusuf, untuk melaksanakan penangkapan Sutan Syahrir, yang diketahui sedang berada di Solo. Ikut ditangkap bersama Syahrir di Solo a.l. dr. Sudarsono, dr. Darmasetiawan, Mayor Jenderal Sudibyo dan Sumitro Joyohadi-usumo. Mereka kemudian dibawa ke Paras, di sebelah barat Solo. Esok harinya, tanggal 28 Juli, setelah mengetahui adanya penculikan terhadap Perdana Menteri, Presiden Sukarno mengeluarkan pernyataan yang dibacakan di radio, bahwa mulai saat itu Presiden Republik Indonesia mengambil alih kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya No. 6, bulan Juni 1946. Seorang pelaku “penculikan”, Letnan I Suyatno Yosodipuro menuturkan:

Pada tanggal 27 Juni 1946 malam hari, datang sepasukan lengkap dari Yogyakarta ke tempat saya (sebagai komandan Detasemen Polisi Tentara di Tawangmangu) dipimpin oleh Mayor A.K. Yusuf, membawa perintah dari Panglima Divisi Yogyakarta Mayor Jenderal Sudarsono untuk menangkap Sutan Syahrir.
Saya bersama Jenderal Sudarsono, pada waktu beliau memimpin pertempuran melucuti tentara Jepang di Kotabaru, Yogyakarta.
Dengan surat tugas yang diperlihatkan kepada saya, saya tidak keberatan untuk membantunya. Selanjutnya kami mendatangi rumah Mayor Sastrowiharjo (Sastro Lawu), Batalyon 17 Resimen 27, Divisi Surakarta, pada malam itu Mayor Sastro menginap di kota Solo, sesudahnya kami bertemu dan berunding, kami bersama-sama menuju ke rumah dr. Kartono Suwignyo di Pasarngapenan.
Dr. Kartono Suwignyo, beliau ialah satu-satunya orang tua yang kami pandang mengetahui seluk beluk soal politik waktu itu. Setelah kami mendapat keterangan yang jelas dan meyakinkan dan perlu kami bantu tugas yang dibebankan kepada Mayor A.K. Yusuf. Selanjutnya kami menghubungi Polisi Tentara Surakarta, di tempat ini kami ditemui piket Letnan I Marjio, selanjutnya kami melaporkan kepada Panglima Divisi Surakarta (Solo).
Oleh Panglima Divisi Surakarta kami hanya ditugaskan membantu tugasnya Mayor A.K. Yusuf yang menjalankan perintah Panglima Divisi Mayor Jenderal Sudarsono.
Untuk menghindari bentrokan dengan penjaga kepolisian yang bertugas, maka malam itu juga kami menghubungi Komandan Polisi Surakarta R. Ng. Domopranoto untuk segera menarik penjagaan tersebut. Setelah semua penjagaan ditarik, maka dengan aman kami menemui Sutan Syahrir cs. Di Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia Surakarta). Atas kehendak Mayor A.K. Yusuf, Sutan Syahrir akan dibawa ke Tawangmangu, tetapi saya dan Mayor Sastro menolak. Selanjutnya diputuskan sementara dibawa ke Paras, Boyolali, di sini terpisahnya Mayor A.K. Yusuf dengan Sutan Syahrir cs.
Pada tanggal 29 Juni 1946 pada malam hari sesudahnya Presiden Sukarno mengambil alih pemerintahan menjadi Presidensial kembali, dan sebagai Panglima tertinggi memerintahkan agar Sutan Syahrir dikembalikan! Maka dengan penuh keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Proklamator penggerak Revolusi Rakyat untuk menentang penjajahan, tidak akan menerima apa yang telah ditandatangani oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir mengenai hasil perundingan dengan pemerintah Belanda sesuai pidato Wakil Presiden hanya Jawa dan Sumatera, pulau-pulau lainnya masih di dalam penjajahan pemerintah Belanda.
Maka pada malam 1 Juli 1946, Sutan Syahrir cs. dari Paras, Boyolali, terus diantarkan ke Yogyakarta dan diserahkan langsung kepada Presiden RI Bung Karno.

Demikian kesaksian Yosodipuro, yang mengatakan, bahwa setelah itu, ia diperiksa langsung  oleh Panglima Besar dan kemudian ternyata, bahwa dengan tindakannya tersebut Yosodipuro bersama teman-temannya telah menyelamatkan nyawa Perdana Menteri Sutan Syahrir serta rombongannya dari rencana pembunuhan oleh A.K Yusuf.

      Pidato radio Presiden Sukarno tanggal 29 Juni, tersebut dinilai banyak kalangan, sebagai pidato yang mengagumkan. Syahrir serta tahanan lain yang diantar ke Yogyakarta tanggal 30 Juni dan langsung dibawa dengan pesawat terbang ke Jakarta. Tanggal 30 Juni malam, mulai pukul 23.00, sampai pukul 02.00 tanggal 1 Juni, dilakukan “pembersihan” di seluruh Yogyakarta, di mana Buntaran, Budhyarto, Pandu Kartawiguna, Sayuti Melik, Sumantoro, Marlan, Wiranata Kusuma, Moh. Saleh, Maruto Nitimiharjo serta sejumlah tokoh penentang Syahrir ditangkap; sedangkan Iwa Kusuma Sumantri dan M. Yamin lolos. Namun Mayjen Sudarsono, Panglima Divisi Jawa Tengah, memerintahkan untuk membebaskan para tahanan politik tersebut. 

Pada 3 Juli 1946 di Yogyakarta, beberapa orang menyerbu rumah Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin Harahap dan menangkapnya. Dia dimasukkan ke dalam truk di sebelah supir. Ketika orang-orang yang menangkapnya masuk kembali ke rumah, Harahap berhasil meyakinkan sang supir untuk menghidupkan mesin dan membawanya langsung ke Presidenan.

Pada hari itu juga, Hatta dipanggil oleh Sukarno untuk datang ke Kepresidenan, di mana Sukarno sedang berbicara dengan Panglima Divisi Mayjen Sudarsono. Sudarsono menunjukkan surat, yang katanya dibuat oleh Panglima Besar Sudirman. Isi surat tersebut adalah meminta agar kabinet Syahrir dibubarkan. Namun Hatta tidak mempercayainya dan dari ruangan lain Hatta menelepon Letnan Jenderal Urip Sumoharjo, Kepala Staf Umum, untuk meminta penjelasan mengenai kebenaran surat itu. Sumoharjo mengatakan bahwa tidak mungkin Jenderal Sudirman menulis surat seperti itu kepada Presiden. Hatta kemudian menganjurkan kepada Presiden agar memerintahkan penahanan Sudarsono. 

Setelah itu, dilakukan penangkapan besar-besaran atas kelompok yang menentang pemerintahan Syahrir. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai “Kudeta 3 Juli”, di mana ratusan tokoh oposisi ditangkap dan dimasukkan ke penjara.

Tentara Pendudukan Sekutu dan Belanda nampaknya memanfaatkan kemelut internal Republik dan melakukan langkah yang sangat merugikan posisi Republik. Pada 13 Juli 1946 secara resmi South East Asia Command “menyerahkan” wewenang pemerintahan atas Kalimantan, Sulawesi serta daerah-daerah lain di luar Jawa dan Sumatera kepada NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tanggal 15 – 25 Juli 1946, Belanda menggelar “Konferensi Malino” di sebelah utara Makassar, yang dihadiri yang dihadiri oleh 39 orang  “wakil-wakil” dari Indonesia Timur Indonesia pilihan mereka. Dengan demikian Belanda dapat lebih leluasa menyusun strategi untuk membangun kekuasaannya di daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Sumatera.

Perlawanan hebat mereka hadapi terus di Sulawesi Selatan. Belanda masuk kembali ke Sulawesi Selatan dengan membonceng tentara Australia pada pertengahan bulan September 1945. Pada bulan Oktober 1945 Belanda dapat membentuk kembali KNIL yang terdiri dari beberapa ratus tentara orang Ambon. Namun Raja Bone dan Raja Luwu menyatakan mendukung Republik, dan seluruh rakyat mengibarkan bendera merah-putih. Para pemuda pendukung Republik membentuk berbagai laskar dan pasukan. Salah seorang pemuda Sulawesi, Robert Wolter Mongisidi, kelahiran Mamalayang, Manado 14 Februari 1925, bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Sulawesi Selatan (LAPRIS) dan pada 27 Oktober 1945 memimpin serangan terhadap pos tentara Belanda di Makassar. Sejak itu Mongisidi terus mengadakan perlawanan, hingga tertangkapnya pada 28 Februari 1947.

Setelah menerima “pelimpahan” kekuasaan pemerintahan dari tentara Australia, tentara Belanda mengadakan pembersihan terhadap pendukung Republik. Raja-Raja atau tokoh masyarakat yang berpihak ke Republik ditangkap atau disingkirkan. Dr. Sam Ratu Langie, yang oleh Pemerintah Republik Indonesia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi pertama, ditangkap dan kemudian dibuang ke Serui, Papua Barat dan baru dibebaskan bulan Maret 1948. Para pendukung Republik, seperti Datu Luwu dan Arumpone dari Bone juga dibuang, bahkan Datu Suppa dibunuh.











No comments: